Modul Akuntansi Perpajakan

67
Yayasan Widya Dewata AKUNTANSI PAJAK 1 PENDAHULUAN BAB 1 Pajak adalah komponen penting bagi pemerintah dalam menjalankan kegiatan kenegaraan di Indonesia, karena pembiayaan pengeluaran rutin serta pembangunan pemerintah sebagian besar berasal dari sektor pajak. Sebagaimana diketahui bahwa penerimaan pajak memegang peranan vital sejak penerimaan dari sektor migas mengalami penurunan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu ingin menunaikan tugas dalam hal menghimpun penerimaan pajak sehingga kelangsungan hidup bangsa ini terus terjaga. Untuk itu DJP berusaha agar pemungutan pajak di Indonesia tepat sasaran dengan selalu berusaha meningkatkan pelayanan dengan cara memperbarui aturan-aturan pemungutan pajak yang memenuhi syarat-syarat keadilan, yuridis, ekonomi, finansial dan sederhana. Sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah dengan menggunakan self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri pajak terutangnya. Didalam sistem ini wewenang besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri dan secara aktif melakukan kewajiban perpajakannya sedangkan DJP tidak ikut menentukan besarnya jumlah pajak terutang tetapi berperan mengawasi dan mengoreksi penghitungan yang dilaporkan Wajib Pajak. Selain itu fungsi pelayanan dan pembinaan juga tetap dilakukan oleh DJP berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak, mempunyai peranan penting untuk menjadi sarana pelaporan Wajib Pajak baik dalam penghitungan dan/atau pembayaran yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak dapat diuji melalui SPT yang dilaporkannya. Untuk itu Wajib Pajak dalam pelaporan SPTnya diharuskan mengisinya dengan benar, jelas dan lengkap. Untuk menghitung pajak secara benar tentunya diperlukan tata cara yang benar seperti telah ditetapkan oleh Undang-undang Perpajakan. Wajib Pajak dalam mengisi SPT harus berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Sedangkan menurut praktek akuntansi secara umum Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan. Dengan demikian pembukuan yang menjadi dasar pengisian SPT Wajib Pajak sudah harus disesuaikan dengan peraturan perpajakan melalui rekonsiliasi fiskal yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Begitu pentingnya peranan pembukuan dalam sistem pemungutan pajak, baik bagi Wajib Pajak sebagai sarana pelaporan dan DJP untuk pengawasan, maka ketetentuan perpajakan selalu mensyaratkan diselenggarakannya pembukuan oleh Wajib Pajak sehingga melalui pembukuan yang baik kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih akurat, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh pihak yang berkepentingan.

description

Modul Belajar Akuntansi Perpajakan

Transcript of Modul Akuntansi Perpajakan

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 1

    PENDAHULUAN BAB 1

    Pajak adalah komponen penting bagi pemerintah dalam menjalankan kegiatan kenegaraan di Indonesia, karena pembiayaan pengeluaran rutin serta pembangunan pemerintah sebagian besar berasal dari sektor pajak. Sebagaimana diketahui bahwa penerimaan pajak memegang peranan vital sejak penerimaan dari sektor migas mengalami penurunan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu ingin menunaikan tugas dalam hal menghimpun penerimaan pajak sehingga kelangsungan hidup bangsa ini terus terjaga. Untuk itu DJP berusaha agar pemungutan pajak di Indonesia tepat sasaran dengan selalu berusaha meningkatkan pelayanan dengan cara memperbarui aturan-aturan pemungutan pajak yang memenuhi syarat-syarat keadilan, yuridis, ekonomi, finansial dan sederhana.

    Sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah dengan menggunakan self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri pajak terutangnya. Didalam sistem ini wewenang besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri dan secara aktif melakukan kewajiban perpajakannya sedangkan DJP tidak ikut menentukan besarnya jumlah pajak terutang tetapi berperan mengawasi dan mengoreksi penghitungan yang dilaporkan Wajib Pajak. Selain itu fungsi pelayanan dan pembinaan juga tetap dilakukan oleh DJP berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.

    Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak, mempunyai peranan penting untuk menjadi sarana pelaporan Wajib Pajak baik dalam penghitungan dan/atau pembayaran yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak dapat diuji melalui SPT yang dilaporkannya. Untuk itu Wajib Pajak dalam pelaporan SPTnya diharuskan mengisinya dengan benar, jelas dan lengkap.

    Untuk menghitung pajak secara benar tentunya diperlukan tata cara yang benar seperti telah ditetapkan oleh Undang-undang Perpajakan. Wajib Pajak dalam mengisi SPT harus berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Sedangkan menurut praktek akuntansi secara umum Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan. Dengan demikian pembukuan yang menjadi dasar pengisian SPT Wajib Pajak sudah harus disesuaikan dengan peraturan perpajakan melalui rekonsiliasi fiskal yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

    Begitu pentingnya peranan pembukuan dalam sistem pemungutan pajak, baik bagi Wajib Pajak sebagai sarana pelaporan dan DJP untuk pengawasan, maka ketetentuan perpajakan selalu mensyaratkan diselenggarakannya pembukuan oleh Wajib Pajak sehingga melalui pembukuan yang baik kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih akurat, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh pihak yang berkepentingan.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 2

    KONSEP DASAR BAB 2

    AKUNTANSI PAJAK DAN LAPORAN

    KEUANGAN FISKAL

    A. Pengertian dan Fungsi Pajak Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan pada pasal 1 angka (1) sebagai berikut:

    Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun mengenai fungsi pajak, Ilyas dan Burton (2007, 10) membagi menjadi: 1. Fungsi budgeter; yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-

    banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

    2. Fungsi regulerend; merupakan suatu fungsi mengatur, yaitu bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.

    3. Fungsi Demokrasi; merupakan salah satu fungsi penjelmaan atau wujud gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia.

    4. Fungsi redistribusi; merupakan fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

    B. Pengertian Akuntansi Pajak dan Fungsi/Tujuan Akuntansi Pajak 1. Pengertian Akuntansi pajak

    Akuntansi Pajak: merupakan metode dan praktik akuntansi khusus untuk memenuhi ketentuan perpajakan, termasuk penyusunan laporan keuangan fiskal dan pengisian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) serta perencanaan dalam rangka mengefisienkan beban pajak (Tax Planning).

    2. Fungsi Akuntansi Pajak Akuntansi perpajakan, secara prinsipil terpengaruh oleh fungsi perpajakan karena merupakan implementasi ketentuan perpajakan. Selanjutnya ketentuan itu merupakan perwujudan kebijakan yang warnanya dipengaruhi oleh fungsi pajak. Oleh karena fungsi utama pajak adalah penerimaan negara maka fungsi akuntansi pajak adalah melindungi hak penerimaan tersebut (public fiscal) dan apabila terdapat keraguan dalam pengakuan dan pengukuran subyek atau obyek pajak terdapat kecenderungan bahwa perpajakan lebih mengedepankan kepastian dan mengesampingkan estimasi.

    C. Kewajiban Penyelengaraan Pembukuan Kewajiban pembukuan oleh Wajib Pajak diatur didalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP). Definisi pembukuan menurut Pasal 1 angka 29 UU KUP adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi aset, kewajiban, ekuitas, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 3

    berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Laporan keuangan disajikan untuk pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Tidak hanya besarnya Pajak Penghasilan yang dapat dihitung, pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut, seperti Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung. Pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah semua Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang mempunyai peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun Rp.4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih. Sedangkan yang kurang dari itu dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan pencatatan dan boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan pembukuan menurut UU KUP disyaratkan sebagai berikut: a. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan

    memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau menunjukkan kegiatan usaha yang sebenarnya.

    b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

    c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas, tahun buku, Metode penilaian persediaan, Metode penyusutan dan amortisasi.

    d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

    e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 4

    D. Tujuan Pelaporan Keuangan Perpajakan 1. Memberikan informasi-informasi yang diperlukan untuk menghitung besarnya

    Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Dasar Pengenaan Pajak (PPN). 2. Membantu wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang. 3. Mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan sistem

    self assessment, terutama apabila sedang terjadi pemeriksaan atau penyidikan pajak.

    E. Ciri Kualitatif Pelaporan Keuangan Perpajakan 1. Dapat dipahami oleh petugas/pemeriksa pajak. 2. Sensitivitas informasi, bukan materialitas. 3. Laporan Keuangan Fiskal disajikan secara jujur, dengan itikad baik, substansi

    penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, substansi beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) adalah beban untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek pajak yang dihitung dari penghasilan neto.

    4. Dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya, terutama untuk kompensasi kerugian, utang-piutang antar periode, dan perbandingan pengakuan laba atau rugi yang menuntut konsistensi kebijakan akuntansi pajak. Perubahan kebijakan akuntansi pajak dimungkinkan dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak dengan mengajukan permohonan dilengkapi alasan.

    5. Laporan keuangan fiskal harus tepat waktu, paling lambat akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.

    6. Akuntansi Pajak harus independen terhadap akuntansi komersial. 7. Apabila akuntansi komersial tidak mampu menerbitkan laporan keuangan tepat

    waktu, akuntansi pajak harus mampu menerbitkan laporan keuangan fiskal sendiri. Koreksi fiskal merupakan salah satu cara praktis dalam penyusunan laporan keuangan fiskal.

    F. Perbedaan Orientasi Pelaporan Dalam sistem perpajakan, negara mempunyai instrumen untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu menutup kebutuhan finansial dan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Secara budgeter pajak merupakan alat untuk mentransfer sumber daya dari sektor privat (masyarakat) ke sektor publik (negara). Oleh karena itu, terdapat perbedaan unsur yang ada dalam laporan keuangan antara sektor privat dengan laporan keuangan yang dilampirkan pada SPT (sektor publik). Unsur-unsur itu meliputi: 1. Laba tahun berjalan (untuk penghitungan pajak penghasilan); 2. Distribusi laba (untuk penghitungan potongan pajak atas dividen); 3. Peredaran usaha (untuk PPN dan PPn BM); 4. Pengeluaran untuk karyawan dan pembelian jasa yang lain (untuk penghitungan

    potongan pajak penghasilan/withholding tax).

    Dalam penyusunan laporan keuangan komersial dan perpajakan terdapat beberapa ketidaksamaan orientasi dan sifat dari pelaporan itu yang tidak mudah dihindarkan, terutama menyangkut tingkat toleransi fleksibilitas pemilihan standar. Pelaporan keuangan komersial disusun berdasarkan konsep "kewajaran penyajian" dengan implikasi manajemen dapat mengambil suatu pertimbangan (judgement) sepanjang batasan toleransi prinsip akuntansi.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 5

    Walaupun mengikuti prinsip akuntansi, assessment pajak bergantung pada kebijakan dan putusan otoritas pajak yang dapat mengesampingkan praktik dan pemikiran profesi. Selebihnya, ketentuan pajak yang terutama didesain untuk kebijakan ekonomi dapat berakibat pelaporan yang menyimpang dari konsep "kewajaran penyajian" yang dianut oleh laporan komersial.

    G. Hubungan Akuntansi Pajak dengan Akuntansi Komersial Akuntansi keuangan merupakan aktivitas jasa yang menyediakan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan. Informasi yang disediakan oleh suatu proses akuntansi diperlukan oleh setiap satuan usaha untuk mengetahui posisi dan hasil usahanya. Jadi tujuan akuntansi komersial antara lain untuk menyediakan laporan keuangan kepada manajemen dan pihak-pihak eksternal yang memerlukamya. Akuntansi pajak merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang menekankan pada penyusunan surat pemberitahuan pajak (SPT) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Dengan kata lain akuntansi pajak dapat didefinisikan sebagai berikut: Akuntansi pajak secara khusus menyajikan laporan keuangan dan informasi lain

    kepada administrasi pajak. Penyajian itu sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan (tax compliance). Walaupun secara teknis proses penyajian laporan tidak diatur secara rinci dalam ketentuan perpajakan, pengukuran dan penilaian atas suatu fakta sangat dipengaruhi oleh ketentuan perpajakan.

    Ketentuan perpajakan merupakan produk lembaga legislatif yang mengikat semua anggota masyarakat (termasuk profesi akuntan). Dengan demikian, apabila terjadi kekurangsesuaian antara ketentuan perpajakan dan praktek akuntansi atau standar akuntansi yang berlaku umum, maka Undang-undang Perpajakan mempunyai prioritas untuk dipatuhi di atas praktek dan kelaziman akuntansi.

    Secara umum, akuntansi komersial disusun dan disajikan berdasarkan Standar yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Namun, untuk kepentingan perpajakan, akuntansi komersial harus disesuaikan dengan aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, apabila terjadi perbedaan antara ketentuan akuntansi dengan ketentuan pajak, maka untuk keperluan perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak, Undang-Undang dan ketentuan Perpajakan memiliki prioritas untuk dipatuhi.

    H. Laporan Keuangan Fiskal Laporan Keuangan Fiskal disusun terpisah di luar proses akuntansi/pembukuan, sering disebut extra comptable. Laporan Keuangan Fiskal disusun melalui proses rekonsiliasi antara akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal/pajak, sehingga laporan yang dihasilkan dari extra comptable tersebut fungsinya hanya sebagai tambahan laporan keuangan komersial. Laporan Keuangan Fiskal tersebut hanya berfungsi untuk membuat/mengisi SPT PPh Badan. Umumnya di Indonesia, menyusun Laporan Keuangan Fiskal (khususnya Laporan Laba-Rugi Fiskal) dengan melakukan Rekonsiliasi Fiskal, untuk menghitung Laba Fiskal atau Penghasilan Kena Pajak.

    Marisi P. Purba (2009) dalam bukunya Akuntansi Pajak Penghasilan, menyatakan bahwa SPT PPh Badan dan Laporan Keuangan Komersial terdapat perbedaan dalam berbagai aspek, yaitu sebagai berikut:

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 6

    NO. ASPEK SPT PPh BADAN LAPORAN KEUANGAN

    1. Pengguna Fiskus Berbagai pengguna seperti: pemegang saham, kreditor, karyawan, fiskus, manajemen, regulator dan masyarakat.

    2. Sifat Informasi Rahasia Dapat digunakan oleh umum.

    3. Pedoman Penyusunan

    Undang-undang Perpajakan dan peraturan pelaksanaan lainnya

    Prinsip akuntansi yang berlaku umum terdiri dari Kerangka dasar penyusunan Laporan keuangan, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), buku teks, simpulan riset dan pendapat ahli.

    4. Mata Uang Pelaporan

    SPT PPh Badan wajib disampaikan dalam mata uang Rupiah atau mata uang lain sepanjang memperoleh izin dari otoritas perpajakan terkait.

    Laporan keuangan dapat disusun dengan mata uang lain selain Rp. Jika disajikan dalam mata uang selain mata uang fungsionalnya, laporan keuangan tersebut harus terlebih dahulu diukur kembali (remeasured).

    5. Dasar Pencatatan Transaksi

    Transaksi dicatat dan dilaporkan apabila memenuhi syarat dan ketentuan perpajakan, yaitu dengan mengutamakan hakekat formal atau hukum dari pada substansinya.

    Transkasi dicatat dengan azas substance over form yaitu pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan mengutamakan substansi ekonomi dari pada hakekat formal atau hukum.

    6. Batas Waktu Penyampaian

    SPT PPh Badan disampaikan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak dan dapat melakukan perpanjangan paling lama dua bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Dirjen. Pajak sebagaimana diatur dalam UU No.16 tahun 2009 tentang "Perubahan Ke-empat atas UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan" Pasal 3 ayat (4).

    Berdasarkan UU No.40 tahun 2007 tentang, "Perseroan Terbatas" Pasal 66 ayat (1), Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 7

    UTANG PAJAK DAN PIUTANG PAJAK BAB 3

    A. Timbulnya Utang Pajak dan Piutang Pajak Wajib Pajak (perusahaan) dalam memenuhi kewajiban perpajakan dapat sebagai pembayar pajak, sebagai pemotong dan pemungut pajak, dan sebagai pihak yang dipotong dan dipungut pajaknya. Oleh karena itu pencatatan atas transaksi-transaksi tersebut, adalah sebagai berikut:

    1. Pemotongan/pemungutan pajak Bersifat sebagai hutang pajak

    2. Dipotong/dipungut pajak oleh Bersifat sebagai piutang pajak

    3. Pembayaran pajak Bersifat pelunasan pajak

    1. Utang Pajak

    Pajak yang bersifat sebagai utang timbul ketika badan diharuskan untuk memotong/memungut pajak, yaitu: PPN dan PPn BM, yaitu: pajak yang dipungut dari pembeli (PPN Keluaran); PPh Pasal 21, yaitu: pajak yang dipotong dari penghasilan Si penerima

    (individu) penghasilan; PPh Pasal 22, yaitu: pajak yang dipotong dari pembelian barang dalam hal

    ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang; PPh Pasal 23, yaitu: pajak yang dipotong dari pembayaran jasa, bunga, dividen,

    royalti dan sewa kepada wajib pajak dalam negeri; PPh Pasal 26, yaitu: pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima oleh

    wajib pajak luar negeri; PPh tertentu yang bersifat final (PPh Pasal 4 ayat (2)), yaitu: pajak yang

    dipotong dari wajib pajak lain yang bersifat final, misal: sewa tanah dan/atau bangunan.

    2. Piutang Pajak (Uang Muka Pajak)

    Pajak yang bersifat kredit pajak adalah pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak lain atau yang dibayar sendiri oleh badan, yang dapat diperhitungkan dengan pihak yang terutang. Pajak yang dipungut oleh pihak lain biasanya dibuktikan dengan bukti pemotongan untuk PPh dan Faktur Pajak untuk PPN. Sebenarnya pembayaran atau pelunasan pajak ini merupakan pembayaran pajak dibayar dimuka (prepaid tax), yang pada akhirnya akan diperhitungkan dengan pajak terutang. Pajak-pajak yang bersifat kredit pajak adalah: PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, fiskal luar negeri, dan PPN Masukan.

    3. Pelunasan Pajak

    Pajak ini bersifat sebagai pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pelunasannya dapat melalui penyetoran sendiri atau melalui pemotongan oleh pihak lain, yaitu: PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Meterai (BM); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB); Seluruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 8

    B. Akuntansi Utang Pajak dan Piutang Pajak 1. PPh Pasal 21

    a. PPh Pasal 21 ditanggung sendiri oleh penerima penghasilan. Misal: pada tanggal 14 Februari 2014, perusahaan melakukan pembayaran gaji karyawannya, dengan data sebagai berikut:

    Total gaji Rp. 500.000.000

    Potongan:

    PPh Pasal 21 Rp. 25.000.000

    Premi Jamsostek Rp. 10.000.000

    Iuran pensiun Rp. 15.000.000

    Dibayar Rp. 450.000.000

    1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Gaji 500.000.000

    Utang PPh Pasal 21 25.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 450.000.000

    2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Utang PPh Pasal 21 25.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 50.000.000

    b. PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja.

    Contoh yang sama dengan point a, namun PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja. 1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Gaji 500.000.000

    Beban PPh 25.000.000

    Utang PPh Pasal 21 25.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 525.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 9

    2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Utang PPh Pasal 21 25.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 50.000.000

    c. PPh Pasal 21 ditunjang oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja (perhitungan tidak di gross-up)

    Contoh yang sama dengan point a, namun pemberi kerja misalkan memberikan tunjangan pajak sejumlah Rp.10.000.000, sehingga menjadikan (misal) PPh Pasal 21 terhutang menjadi sebesar Rp.35.000.000 (bukan perhitungan yang sebenarnya) 1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Gaji 500.000.000

    Beban PPh 10.000.000

    Utang PPh Pasal 21 35.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 450.000.000

    2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Utang PPh Pasal 21 35.000.000

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 60.000.000

    d. PPh Pasal 21 ditunjang oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja

    (perhitungan di gross-up).

    Contoh yang sama dengan point a, namun pemberi kerja memberikan tunjangan pajak sebesar sama dengan PPh Pasal 21 terhutang yaitu yang dihitung secara gross-up. Misalkan biaya gaji sebesar Rp.500.000.000 tersebut sudah merupakan Penghasilan Kena Pajak, maka tunjangan pajak yang dihitung secara gross-up (Misal Tunjangan Pajak = X), adalah sbb:

    X = (5% x 50.000.000) + (15% x 200.000.000) +(25% x 250.000.000) +(30% x X)

    X = 2.500.000 + 30.000.000 + 62.500.000 + 0,30 X

    X - 0,30 X = 95.000.000

    0,70 X = 95.000.000

    X = 135.714.286 (Tunjangan Pajak)

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 10

    TEST:

    Penghasilan kena pajak (termasuk tunjangan pajak)=

    Rp.500.000.000 + Rp.135.714.286 = Rp.635.714.286

    PPh Pasal 21 terutang:

    5% X Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000

    15% X Rp. 200.000.000 = Rp 30.000.000

    25% X Rp. 250.000.000 Rp. 62.500.000

    30% X Rp. 135.714.286 Rp. 40.714.286

    Jumlah PPh Pasal 21 terutang = Rp. 135.714.286

    Jadi tunjangan pajak sama besarnya dengan PPh Pasal 21 terutang, yaitu sebesar Rp.135.714.286.

    1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Gaji 635.714.286

    Utang PPh Pasal 21 135.714.286

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 475.000.000

    2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Utang PPh Pasal 21 135.714.286

    Utang Premi Jamsostek 10.000.000

    Utang Iuran Pensiun 15.000.000

    Kas/Bank 160.714.286 2. PPh pasal 22

    Contoh 1 PT. Sampi Moglong menjual sapi sebanyak 100 ton kepada Kementerian Keuangan dengan harga Rp.250.000.000 Atas pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Kementerian Keuangan akan dilakukan pemungutan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari Harga jual (dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai). Jumlah pemungutan PPh Pasal 22, adalah sebesar:

    1,5% X Rp. 250.000.000 = Rp. 3.750.000

    Bagi perusahaan (PT. Sampi Moglong) PPh pasal 22 yang dipungut oleh Bendaharawan dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada akhir tahun saat perusahaan menghitung pajak di akhir tahun.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 11

    Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT Sampi Moglong adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 246.250.000

    Uang Muka PPh Pasal 22 3.750.000

    Penjualan 250.000.000

    Contoh 2 PT. Luar Biasa mengimpor bahan baku dengan nilai impor Rp.1.000.000.000. Bahan baku dibebaskan dari PPN, perusahaan menggunakan API pada waktu impor. Atas impor bahan baku tersebut, perusahaan dipungut PPh pasal 22 impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar 2,5% karena menggunakan Angka Pengenal Impor (API). Jumlah pemungutan PPh Pasal 22 Impor, adalah sebesar:

    2,5% X Rp. 1.000.000.000 = Rp. 25.000.000

    Bagi perusahaan PPh pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada akhir tahun saat perusahaan menghitung pajak diakhir tahun.

    Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT Luar Biasa adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Bahan Baku 1.000.000.000

    Uang Muka PPh Pasal 22 25.000.000

    Kas/Bank 1.025.000.000

    Contoh 3 PT. Beton Mania membeli semen sebagai bahan baku dengan harga Rp.600.000.000 (harga belum termasuk PPN) dari PT. Semen Gresik (GS). PT.Semen Gresik adalah perusahaan industri semen yang ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22. Selain sebagai pemungut PPh pasal 22, PT Semen Gresik adalah Pengusaha Kena Pajak sehingga atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan harus dipungut juga Pajak Pertambahan Nilainya. Besar tarif pemungutan PPh pasal 22 atas industri baja adalah sebesar 0,3% x dasar pengenaan pajak. Jumlah pemungutan adalah sebesar:

    0,3% X Rp. 600.000.000 = Rp. 1.800.000

    Bagi perusahaan PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT. Semen Gresik dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada akhir tahun saat perusahaan menghitung pajak diakhir tahun

    Jurnal yang dilakukan oleh PT Beton Mania adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Bahan Baku 600.000.000

    PPN Masukan 60.000.000

    Uang Muka PPh Pasal 22 1.800.000

    Kas/Bank 661.800.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 12

    3. PPh Pasal 23 Contoh 1 Pada tanggal 27 Maret 2013 PT. Kroco Kroco melakukan pembayaran atas jasa instalasi internet kepada PT. Ketap Ketip (pengusaha kecil non PKP) sebesar Rp.20.000.000. Atas penghasilan yang diterima oleh PT. Ketap Ketip merupakan objek pemotongan PPh pasal 23 dengan tarif 2% x jumlah bruto (dasar pengenaan pajak). Jumlah Pemotongan adalah sebesar:

    2% X Rp. 20.000.000 = Rp. 400.000

    Pemotongan tersebut dilakukan oleh PT. Kroco Kroco. Bagi PT. Ketap Ketip, pemotongan tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada waktu melakukan pelaporan atas penghitungan PPh Badannya diakhir tahun pajak.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Kroco Kroco adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Install 20.000.000

    Utang PPh Pasal 23 400.000

    Kas/Bank 19.600.000

    Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Kroco Kroco sesuai dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan takwim pajak.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ketap Ketip adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 19.600.000

    Uang Muka PPh Pasal 23 400.000

    Penghasilan Jasa Install 20.000.000

    Contoh 2 PT. Batik Batok mempunyai usaha sebagai pabrikan garmen (Pengusaha Kena Pajak/PKP) melakukan pembayaran atas jasa maklon kepada PT. Pola Bundar yang mempunyai usaha sebagai jasa maklon (PKP) sebesar Rp.50.000.000 (belum termasuk PPN). PT. Batik Batok pada saat melakukan pembayaran akan memotong PPh pasal 23 sebesar 2% x jumlah bruto (dasar pengenaan pajak), yaitu:

    2% X Rp. 50.000.000 = Rp. 1.000.000

    Bagi PT. Pola Bundar, pemotongan tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada waktu melakukan pelaporan atas penghitungan PPh badannya diakhir tahun pajak.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT Batik Batok adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Jasa Maklon 50.000.000

    Utang PPh Pasal 23 1.000.000

    Kas/Bank 49.000.000

    Pajak pertambahan nilai yang dibayar oleh PT. Batik Batok dapat menjadi kredit pajak pada saat penghitungan PPN terutang pada akhir bulan takwim.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 13

    Jurnal yang dilakukan oleh PT Pola Bundar adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 49.000.000

    Uang Muka PPh Pasal 23 1.000.000

    Penghasilan Jasa Catering 50.000.000

    Pajak pertambahan nilai yang dipungut oleh PT. Pola Bundar dapat menjadi pajak keluaran pada saat penghitungan PPN terutang pada akhir bulan takwim.

    Contoh 3 PT. Lusa membayar bunga pinjaman kepada PT. Esok sebesar Rp.2.000.000. Atas pembayaran bunga ini merupakan objek PPh pasal 23, PT. Lusa akan memungut bunga sebesar 15% x penghasilan bruto, yaitu:

    15% X Rp. 2.000.000 = Rp. 300.000

    Bagi PT. Esok, pemotongan tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada waktu melakukan pelaporan atas penghitungan PPh badannya diakhir tahun pajak.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Lusa adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Bunga 2.000.000

    Utang PPh Pasal 23 300.000

    Kas/Bank 1.700.000

    Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Lusa sesuai dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan takwim pajak. Jurnal yang dilakukan oleh PT Esok adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 1.700.000

    Uang Muka PPh Pasal 23 300.000

    Penghasilan Bunga 2.000.000

    Contoh 4 PT. Bobby melakukan pembayaran sewa gedung pada PT. Ariwibowo (pengusaha kecil non PKP) sebesar Rp.12.000.000. Atas pembayaran uang sewa tersebut, PT. Bobby mempunyai kewajiban untuk memotong PPh pasal 4 ayat (2) sebesar 10% x penghasilan bruto, yaitu:

    10% X Rp. 12.000.000 = Rp. 1.200.000

    Bagi PT. Ariwibowo, karena pemotongan ini bersifat final, maka PPh pasal 4 ayat (2) tersebut tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 14

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Bobby adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Sewa 12.000.000

    Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 1.200.000

    Kas/Bank 10.800.000

    Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Bobby sesuai dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan takwim pajak.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT Ariwibowo adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 10.800.000

    PPh Pasal 4 Ayat (2) 1.200.000

    Penghasilan Sewa 12.000.000

    4. PPh Pasal 24

    Misal: diterima penghasilan dividen di Swiss, sebesar Rp.100.000.000 dan telah dipotong pajak di Swiss Rp.10.000.000.

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 90.000.000

    PPh Pasal 24 dibayar dimuka 10.000.000

    Penghasilan Dividen 100.000.000

    5. PPh Pasal 25

    Misal: angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2011 adalah Rp.36.000.000.

    Perkiraaan Debet Kredit

    PPh Pasal 25 (Prepaid Tax) 36.000.000

    Kas/Bank 36.000.000

    6. PPh pasal 26

    Secara sederhana pengenaan PPh Pasal 26 bisa dikenal dari penghasilan bruto maupun perkiraan penghasilan neto, selain itu kita juga mengenal adanya Branch Profit Tax. Untuk pengenaannya adalah sebagai berikut: a) Tarif 20% dari Penghasilan Bruto (atau Tarif Tax Treaty), untuk penghasilan

    berupa: Dividen; Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan

    jaminan pengambilan utang; Royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 15

    b) Tarif 20% dari Penghasilan Neto (atau Tarif Tax Treaty), untuk penghasilan berupa: Penghasilan dari Penjualan Harta di Indonesia

    Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan dari penjualan saham kepada Wajib Pajak Luar Negeri Besarnya persentase penghasilan neto atas penghasilan dari penjualan saham adalah 25% dari harga jual, sehingga besarnya pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

    PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Harga Jual

    = 5% x Harga Jual

    Penghasilan Premi Asuransi yang Dibayarkan kepada Perusahaan Asuransi

    Luar Negeri

    Jenis Premi Penghasilan Neto Tarif

    Efektif

    Premi yang dibayarkan kepada perusahaan di Luar Negeri

    50% x Premi dibayar 10%

    Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi Luar Negeri oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia

    10% x Premi dibayar 2%

    Premi yang dibayarkan kepada Perusahaan asuransi Luar Negeri oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia

    5% x Premi dibayar 1%

    Contoh 1 PT. Mayun berusaha di bidang properti mengasuransikan bangunannya kepada perusahaan asuransi di luar negeri, dengan premi asuransi dibayar sebesar Rp.1.000.000.000 untuk 1 tahun. Pada saat pembayaran PT. Mayun harus memotong PPh pasal 26 sebesar:

    PPh Pasal 26 = 50% x 20% x 1.000.000.000

    = 10% x 1.000.000.000

    = 100.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Mayun adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Asuransi 1.000.000.000

    Utang PPh Pasal 26 100.000.000

    Kas/Bank 900.000.000

    Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Mayun sesuai dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan takwim pajak

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 16

    Contoh 2 PT. Manyun membayar royalti kepada Wes Suez Corp di Monaco atas pemakaian merek dagang sebesar Rp.250.000.000. Pada saat pembayaran PT. Manyun harus memotong PPh pasal 26 sebesar 20% x jumlah pembayaran, yaitu

    20% X Rp. 250.000.000 = Rp. 50.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Manyun adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya Royalti 250.000.000

    Utang PPh Pasal 26 50.000.000

    Kas/Bank 200.000.000

    Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Manyun sesuai dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan takwim pajak

    7. PPN dan PPn-BM Dalam akuntansi komersial tidak mengatur tersendiri perlakuan akuntansi khusus untuk PPN maupun PPn BM. PSAK hanya mengatur Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK 46). Namun demikian baik dalam akuntansi komersial maupun dalam akuntansi pajak terdapat persamaaan dalam melakukan pencatatan yang harus dipersiapkan, antara lain: 1 . Akun Pajak Masukan Untuk mencatat besarnya Pajak Masukan yang dibayar

    atau dipungut atas transaksi pembelian atau penerimaan BKP/JKP 2. Akun Pajak Keluaran Untuk mencatat Pajak Keluaran yang dipungut atau

    disetorkan ke Kas Negara atas transaksi penyerahan BKP/JKP. Beberapa contoh perhitungan dan pencatatan transaksi yang berkaitan adanya PPN, adalah sebagai berikut: Contoh 1 PT Ceebee adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada bulan Januari dan Pebruari 2013, mempunyai data sebagai berikut:

    Januari Februari

    > Penjualan Rp. 250.000.000 Rp. 250.000.000

    > Pembelian Rp. 300.000.000 Rp. 200.000.000

    > PPN Masukan Rp. 30.000.000 Rp. 20.000.000

    > PPN Keluaran Rp. 25.000.000 Rp. 25.000.000

    Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada waktu melakukan pembelian dibulan Januari 2014:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Barang Dagangan 300.000.000

    PPN Masukan 30.000.000

    Utang Dagang/Kas/Bank 330.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 17

    Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT.Ceebee pada waktu melakukan Penjualan dibulan Januari:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Dagang/Kas/Bank 275.000.000

    PPN Keluaran 25.000.000

    Penjualan 250.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada akhir bulan Januari:

    Perkiraaan Debet Kredit

    PPN Keluaran 25.000.000

    PPN Masukan 25.000.000

    Jurnal ini dilakukan untuk mengetahui saldo dari PPN, apabila saldo atas PPN Keluaran diakhir bulan lebih besar maka terjadi kekurangan bayar atas PPN di bulan tersebut. Sebaliknya apabila saldo atas PPN Masukan diakhir bulan lebih besar maka terjadi kelebihan bayar atas PPN di bulan tersebut. Kekurangan bayar atas PPN harus dilunasi pada tanggal akhir bulan takwim. Kelebihan bayar atas PPN, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan untuk masa pajak berikutnya dan dapat meminta restitusi atas kelebihan tersebut. Pada saat terjadinya pembayaran atas kekurangan pembayaran PPN, maka saldo dari PPN Keluaran akan menjadi nol. Sedangkan apabila terjadi kelebihan pembayaran PPN, Wajib Pajak meminta kompensasi, maka saldo atas PPN masukan akan tetap sesuai dengan jumlah kelebihannya. Apabila Wajib Pajak meminta restitusi, maka timbul perkiraan Piutang Restitusi dan saldo atas PPN masukan menjadi nol. Diasumsikan kasus diatas, Wajib Pajak mengkompensasi atas kelebihan pembayaran PPN, sehingga diakhir bulan masih ada saldo atas PPN Masukamya sebesar Rp.5.000.000. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada waktu melakukan pembelian dibulan Februari:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Barang Dagangan 200.000.000

    PPN Masukan 20.000.000

    Utang Dagang/Kas/Bank 220.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada waktu melakukan penjualan dibulan Februari:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Dagang/Kas/Bank 275.000.000

    PPN Keluaran 25.000.000

    Penjualan 250.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 18

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada akhir bulan februari:

    Perkiraaan Debet Kredit

    PPN Keluaran 25.000.000

    PPN Masukan 25.000.000

    Pada akhir bulan Pebruari, terjadi saldo PPN masukan Rp.25.000.000 (saldo awal Rp.5.000.000 + Rp.20.000.0000). Sedangkan saldo PPN keluaran Rp.25.000.000. Dengan demikian untuk mengetahui berapa saldo atas PPN, maka jurnal yang dilakukan adalah dengan melakukan jurnal tersebut diatas. Saldo atas PPN-Keluaran maupun PPN-Masukan akan menjadi 0. Contoh 2 PT. Dimbi (PKP) adalah eksportir, membeli barang untuk di ekspor. Pada masa Maret 2014, pembelian seluruhnya BKP sejumlah Rp.175.000.000 sedang penjualan ekspor sebesar Rp.250.000.000. kelebihan pembayaran direstitusikan pada bulan Maret 2014. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada saat mengajukan restitusi: Apabila dibulan tersebut hanya terjadi transaksi seperti diatas, maka terjadi kelebihan pembayaran atas PPN, karena untuk penjualan ekspor dikenakan PPN dengan tarif sebesar 0%.

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada waktu melakukan pembelian:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Barang Dagangan 175.000.000

    PPN Masukan 17.500.000

    Utang Dagang/Kas/Bank 192.500.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada waktu melakukan penjualan ekspor:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Dagang/Kas 250.000.000

    Harga Pokok Penjualan 175.000.000

    Persediaan Barang Dagangan 175.000.000

    Penjualan Ekspor 250.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada saat mengajukan restitusi:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Restitusi PPN 17.500.000

    PPN Masukan 17.500.000

    Pada akhir bulan terdapat saldo PPN Masukan sebesar Rp.17.500.000. Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi atas saldo PPN Masukan tersebut, maka dilakukan jurnal tersebut diatas.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 19

    Contoh 3 PT. Sejuk pada bulan Februari 2014 melakukan penjualan barang kena pajak seharga Rp.750.000.000. Barang tersebut waktu diimpor pada bulan yang sama dikenakan PPn BM karena termasuk barang kena pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp.500.000.000 (PPn BM 20%). Penghitungan PPN Impor adalah sebesar 10% x Rp.50.000.000 = Rp.50.000.000. Penghitungan PPnBM Impor adalah sebesar 20% x Rp.50.000.000 = Rp.100.000.000. PPn BM hanya dikenakan sekali sehingga pada waktu Wajib Pajak menjualan barang tersebut, PPn BM dimasukan kedalam unsur biaya atau harga pokok penjualan. Dengan demikian persediaan barang dagangan menjadi Rp.600.000.000. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada waktu melakukan pembelian:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Persediaan Barang Dagangan 600.000.000

    PPN Masukan 50.000.000

    Utang Dagang/Kas/Bank 650.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada waktu melakukan penjualan:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Dagang/Kas 825.000.000

    PPN Keluaran 75.000.000

    Penjualan 750.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada saat melakukan pembayaran atas kekurangan PPN:

    Perkiraaan Debet Kredit

    PPN Keluaran 75.000.000

    PPN Masukan 50.000.000

    Kas/Bank 25.000.000

    8 Pajak Bumi dan Ragunan (PBB)

    Misal : Pembayaran PBB tahun 2014 sebesar Rp.25.000.000.

    Perkiraaan Debet Kredit

    Biaya PBB 25.000.000

    Kas/Bank 25.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 20

    AKUNTANSI PENGHAPUSAN PIUTANG USAHA

    BAB 4 (Selain Bank, SGU dengan Hak Opsi dan Asuransi)

    Dalam kenyataan kegiatan usaha, tidak semua piutang bisa ditagih. Berdasarkan pengalaman dari waktu ke waktu, entitas dapat memperkirakan jumlah piutang yang kemungkinan tidak dapat tertagih. Prinsip konservatif dalam akuntansi mengharuskan entitas mengungkapkan kemungkinan tidak tertagihnya piutang dalam laporan keuangan. Standar Akuntansi Keuangan mengatur penyajian piutang dalam laporan keuangan dinyatakan sebesar jumlah bruto tagihan diikuti dengan jumlah taksiran piutang yang tidak dapat ditagih.

    A. Metode Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi Komersial Terdapat dua metode penghapusan piutang dalam akuntansi komersial yaitu: a. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method) b. Metode Penyisihan (Allowance Method) Metode penghapusan langsung digunakan apabila kemungkinan tidak tertagihnya piutang relatif kecil (immaterial) dan jarang terjadi. Sebaliknya jika berdasarkan pengalaman jumlah piutang tak tertagih relatif besar dan sering terjadi, entitas menggunakan metode penyisihan. a. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method)

    Penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang benar-benar tidak dapat tertagih (Prinsip realisasi). Pencatatan dilakukan dengan mendebet Beban Piutang Tak Tertagih dan mengkredit akun Piutang. Sebagai contoh, CV Maju Jaya mempunyai tagihan piutang dagang kepada Tn. Mahmud sebesar Rp.15.000.000. Setelah dilakukan upaya penagihan piutang tersebut tidak dapat ditagih juga dan harus dihapus. Ayat jurnal yang dibuat CV Maju Jaya:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    Beban Piutang Tak Tertagih 15.000.000

    Piutang Dagang 15.000.000

    Apabila ternyata piutang yang telah dihapus ternyata dilunasi, dibuat ayat jurnal sbb: 1. Penyesuaian untuk menimbulkan kembali saldo piutang

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    Piutang Dagang 15.000.000

    Beban Piutang Tak Tertagih 15.000.000

    2. Mencatat pelunasan piutang

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 15.000.000

    Piutang Dagang 15.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 21

    b. Metode Penyisihan (Allowance Method) Dengan metode ini penghapusan piutang tidak dilakukan secara langsung melainkan dengan membentuk Penyisihan/penyisihan piutang tak tertagih. Pembentukan dilakukan pada akhir periode akuntansi dengan membuat estimasi jumlah piutang yang kemungkinan tidak dapat ditagih pada periode berikutnya.

    B. Pencatatan Akuntansi Metode Penyisihan a. Pembentukan pertama kali penyisihan piutang tidak tertagih

    31-12-2013, PT Xaraf untuk pertama kalinya membentuk Penyisihan piutang tak tertagih. Penyisihan yang terbentuk berdasarkan umur piutang sebesar Rp.45.000.000. Ayat jurnal yang dibuat:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    31-12-2013 Beban Piutang Tak Tertagih 45.000.000

    Penyisihan Piutang Tak

    Tertagih 45.000.000

    Beban piutang tidak tertagih untuk tahun 2010 sebesar Rp.45.000.000

    b. Penghapusan Piutanq 01-04-2014, diketahui PT Aziz, salah satu debitur PT Xaraf bangkrut dan tidak dapat melunasi utangnya sebesar Rp.10.000.000. PT Xaraf menghapus (write-off) piutang PT Aziz Ayat jurnal yang dibuat:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    01-04-2014 Penyisihan Piutang Tak Tertagih 10.000.000

    Piutang Dagang 10.000.000

    c. Pelunasan piutang yang telah dihapusbukukan

    01-06-2014, PT Bobox, debitur PT Xaraf yang telah dihapus utangnya, ternyata membayar utangnya sebesar Rp.5.000.000. Ayat jurnal yang dibuat PT Xaraf. 1). Penyesuaian untuk menimbulkan kembali piutangnya:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    01-06-2014 Piutang Dagang 5.000.000

    Penyisihan Piutang Tak

    Tertagih 5.000.000

    2). Mencatat pelunasan piutang

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    01-06-2014 Kas/Bank 5.000.000

    Piutang Dagang 5.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 22

    d. Pembentukan kembali penyisihan piutang tidak tertagih Setelah mutasi-mutasi selama tahun 2014, akun Penyisihan Piutang Tidak Tertagih per 31-12-2014 bersaldo kredit Rp.40.000.000. PT Xaraf, pada akhir tahun 2014 membentuk lagi penyisihan piutang tak tertagih berdasarkan umur dari saldo piutang per 31-12-2014, misalkan diperoleh perhitungan sebesar Rp.50.000.000, maka penyesuaian yang harus dibuat pada 31 Desember 2014 adalah sebagai berikut:

    > Penyisihan Piutang Tak Tertagih 31/12/2014 = Rp. 50.000.000

    > Saldo Penyisihan Piutang Tak Tertagih 31/12/2014

    = Rp. 40.000.000

    Beban Piutang Tidak Tertagih Tahun 2014 = Rp. 10.000.000

    Ayat jurnal yang dibuat:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    31-12-2014 Beban Penyisihan Piutang Tak Tertagih

    10.000.000

    Penyisihan Piutang Tak

    Tertagih 10.000.000

    Apabila PT Xaraf membentuk Penyisihan pada akhir tahun 2014 sebesar Rp.35.000.000, maka PT Xaraf mengakui Laba Piutang tak tertagih sbb:

    > Penyisihan yang Dibentuk per-31/12/2014 = Rp. 35.000.000

    > Saldo Penyisihan Piutang Tak Tertagih per-31/12/2014

    = Rp. 40.000.000

    Laba Piutang Tidak Tertagih Tahun 2014 = Rp. 5.000.000

    Ayat jurnal yang dibuat:

    Tanggal Perkiraaan Debet Kredit

    31-12-2014 Penyisihan Piutang Tak Tertagih 5.000.000

    Laba Piutang Tak Tertagih 5.000.000

    C. Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi Pajak Pasal 6 ayat (1) huruf h UU No.36 Tahun 2008 mengatur, beban piutang tidak tertagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

    Direktorat Jenderal Pajak; dan 3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi

    pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

    4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaamya diatur lebih lanjut dengan berdasarkan Menteri Keuangan.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 23

    Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir. Yang dimaksud usaha maksimal atau terakhir apabila merujuk pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut: 1) Menyerahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi

    pemerintah yang menangani piutang negara. Penyerahan perkara penagihan piutang yang memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai piutang negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilakukan kepada Pengadilan Negeri atau kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), sedangkan penyerahan perkara penagihan piutang selain piutang negara hanya dapat dilakukan pada Pengadilan Negeri. Atau;

    2) Membuat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan Perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara kreditur dan debitur harus memuat secara jelas data dan informasi mengenai kreditur, debitur, pihak ketiga terkait, pinjaman dan bentuk perjanjian restrukturisasi yang dilakukan, serta harus disahkan oleh Notaris. Atau;

    3) Dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus Yang dimaksud dengan penerbitan umum atau khusus adalah: 2). Penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang

    berskala nasional; atau 3). Penerbitan khusus Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan

    Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS); atau 4). Penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.

    Dalam memori penjelasan UU PPh No.36 Tahun 2008 ditambahkan dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.

    Atau; 4). Adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah

    utang tertentu. Pengakuan dari debitur ini merupakan ketentuan baru dalam UU No.36 Tahun 2008. Bentuk dan cara pengakuan debitur ini belum ada pengaturan lebih lanjut. Agar piutang tidak tertagih dapat dibiayakan WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, Prosedur penyerahan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut: (1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih diserahkan kepada Kepala

    KPP tempat WP terdaftar bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh tahun pajak yang bersangkutan (sebagai lampiran), disertai dengan fotokopi bukti penyerahan perkara penagihamya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang telah dilegalisir oleh Notaris, dan fotokopi bukti pengumuman dalam penerbitan umum atau khusus.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 24

    (2) Daftar piutang memuat data dan informasi mengenai debitur, yaitu: nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Pencatuman NPWP berlaku bagi debitur: a. Seluruh debitur WP badan; b. Debitur WP OP yang jumlah kredit atau utangnya lebih dari

    Rp.100.000.000; c. Debitur WP OP yang jumlah kredit atau utangnya tidak lebih dari

    Rp.100.000.000 sepanjang telah memiliki NPWP. (3) Dalam hal jumlah debitur lebih dari 100 (seratus) dan sepanjang nilai piutang

    yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dari masing-masing debitur tidak lebih dari Rp.5.000.000 (lima juta rupiah), daftar piutang dapat dibuat secara kumulatif dengan menyajikan data dan informasi debitur yaitu: jumlah debitur kecil dan jumlah total nilai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

    UU PPh jelas menegaskan bahwa pembebanan penghapusan piutang tidak tertagih menganut prinsip realisasi dengan menggunakan Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method) sepanjang memenuhi syarat-syarat di atas. Metode Penyisihan tidak diperkenankan oleh peraturan perpajakan, sehingga apabila WP menggunakan metode Penyisihan maka harus melakukan koreksi dan melakukan pembebanan dengan menggunakan metode langsung atas piutang yang tidak dapat ditagih yang telah memenuhi syarat yang ditentukan peraturan perpajakan.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 25

    AKUNTANSI AKTIVA TETAP BAB 5

    Aktiva tetap merupakan salah satu sumber yang dimiliki perusahaan dalam jangka

    waktu yang relatif lama dan digunakan perusahaan dalam kegiatan operasi serta tidak untuk tujuan investasi (dijual kembali di masa yang akan datang utuk mendatangkan keuntungan).

    A. Klasifikasi Aktiva Tetap 1. Aktiva Tetap Berwujud

    Aktiva tetap berwujud adalah aktiva yang wujud fisiknya dapat kita lihat, misalnya adalah tanah, property, peralatan, mesin, dan pertambangan. Aktiva tetap berwujud terbagi dalam dua kategori yaitu: (1) Aktiva tetap berwujud yang tidak dapat disusutkan yaitu tanah. (2) Aktiva tetap berwujud yang dapat disusulkan, contohnya adalah gedung,

    peralatan, dan mesin.

    2. Aktiva Tetap Tak Berwujud

    Aktiva tetap tak berwujud merupakan aktiva yang wujud fisiknya tidak dapat kita lihat, yang terlihat hanyalah wujud pengakuan kepemilikan perusahaan atas aktiva tersebut yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, contohnya adalah hak paten, hak cipta, dan goodwill.

    B. Perolehan Aktiva Tetap Berwujud Perusahaan dapat memperoleh aktiva tetap berwujud dengan membeli tunai, membangun sendiri, memberikan wesel bayar, atau menukar dengan aktiva lain. Aktiva tetap dicatat dengan prinsip harga perolehan yaitu suatu prinsip yang menyebutkan bahwa semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aktiva sampai aktiva tersebut siap untuk digunakan merupakan harga perolehan dari aktiva tersebut. Hal-hal yang perlu diketahui dalam Perolehan Aktiva Tetap adalah sebagai berikut:

    Prinsip Harga Historis (Historical Cost)

    Pasal 10 UU PPh menunjukkan bahwa PPh menganut prinsip harga historis dalam menentukan penghasilan dan biaya, hal ini sesuai dengan yang dianut akuntansi. Berikut ini berapa contoh mengenai komponen yang menyusun harga perolehan aktiva tetap berwujud

    1. Tanah

    Harga perolehan dari tanah meliputi: (1). Harga Beli, (2). Bea Balik Nama, (3). Biaya Notaris, (4). Komisi Broker, (5). PBB yang belum dilunasi oleh pemilik lama.

    Bila perusahaan membeli sebidang tanah dengan bangunan di atasnya tapi perusahaan tidak menginginkan bangunan tersebut dan berniat untuk menghancurkannya, maka biaya yang dikeluarkan untuk menghancurkan gedung, pembersihan, dan perataan sampai tanah tersebut siap digunakan masuk dalam harga perolehan atas tanah, sedangkan penjualan dari puing-puing bangunan yang masih bisa dijual merupakan pengurang dari harga perolehan atas tanah.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 26

    2. Pengembangan Tanah

    Pengembangan tanah adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan tanah tersebut sampai tanah tersebut berfungsi seperti yang direncanakan. Contohnya adalah pembuatan lapangan parkir. Biaya-biaya yang termasuk harga perolehan dari pengembangan tanah adalah pengaspalan atau pem-pavingan, lampu, dan pembuatan pembatas atau pagar. Di dalam aturan perpajakan pengembangan tanah termasuk kelompok bangunan.

    3. Bangunan Harga perolehan gedung meliputi semua biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membeli atau membangun gedung atau bangunan. Bila perusahaan membeli gedung, maka harga perolehan meliputi harga beli, komisi makelar, dan biaya notaris. Harga perolehan juga termasuk biaya yang dikeluarkan sampai gedung siap untuk digunakan seperti disain ulang ruangan, memperbaiki atap, lantai, sirkuit listrik, dan saluran pembuangan, Sedangkan bila perusahaan membangun sendiri, biaya yang termasuk harga perolehan adalah biaya bahan bangunan, biaya arsitek, IMB dan bunga bila pembiayaannya menggunakan pinjaman.

    4. Peralatan

    Harga perolehan peralatan meliputi semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sampai peralatan tersebut siap digunakan. Biaya tersebut meliputi harga beli, pajak, ongkos angkut, asuransi, biaya instalasi, dan biaya pengetesan.

    Cara Perolehan Aktiva Tetap Berwujud

    Adapun Cara Perolehan Aktiva Tetap tersebut dapat melalui berbagai macam cara, yaitu:

    a. Pembelian; b. Pertukaran Aktiva; c. Setoran Modal; d. Sumbangan; e. Konstruksi Sendiri; f. Sewa Guna Usaha; g. Build Operate and Transfer (BOT); h. Merger, Penggabungan Usaha.

    berikut ini beberapa penjelasan dari hal tersebut di atas:

    a. Pembelian Aktiva Tetap Berwujud

    Akuntansi menganut prinsip historical cost dalam pencatatan pembelian, yaitu pengorbanan ekonomis yang benar-benar dikeluarkan. Yaitu semua biaya yang diperoleh sampai aktiva tersebut siap digunakan.

    Menurut peraturan perpajakan, pembelian aktiva tetap diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 tahun 2008, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

    Secara umum, "lex generalis" perolehan aktiva diakui sebesar jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan.

    Dalam hal diperoleh bukti bahwa terdapat hubungan istimewa antara pihak pembeli dan penjual, maka nilai perolehan aktiva tetap adalah harga yang seharusnya dikeluarkan. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud di atas dianggap ada apabila Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung

    paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 27

    Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir, atau

    Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak dibawah pengusaaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung, atau

    Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat.

    b. Pertukaran Aktiva Tetap Berwujud

    Secara akuntansi, perolehan aktiva tetap dengan melalui pertukaran, dilihat apakah aktiva yang dipertukarkan tersebut sejenis atau tidak. Apabila aktiva tersebut tidak sejenis, maka nilai perolehan aktiva adalah nilai pasar dari aktiva yang bersangkutan. Dalam hal aktiva yang dipertukarkan tersebut sejenis, nilai perolehan aktiva sebesar nilai pasar dikurangi keuntungan pertukaran yang tidak boleh diakui.

    Dalam hal pihak yang mendapatkan keuntungan pertukaran tersebut menerima kas maka terdapat pengakuan laba pertukaran secara proporsional dengan kas yang diterima dan aktiva yang diserahkan. Pembahasan yang dilakukan dalam bahasan ini diasumsikan tidak ada aliran kas yang diterima.

    Peraturan perpajakan yang mengatur transaksi pertukaran adalah Pasal 10 Ayat (2) UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 tahun 2008, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa:

    "(2) Nilai perolehan dan/atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar."

    Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

    Bahwa peraturan perpajakan memandang suatu transaksi pertukaran aktiva tersebut sebagai transaksi jual dan beli;

    Pengakuan nilai perolehan adalah sebesar harga pasar dari aktiva yang diterima (walaupun tidak ada pembayaran atas harga pasar tersebut);

    Karena terjadi pelepasan aktiva tetap, maka pihak-pihak yang melepaskan aktiva akan mengakui keuntungan/kerugian pelepasan aktiva (Gain or Loss on Disposal of Plant Asset) sebesar selisih antara harga pasar dengan nilai buku aktiva tetap;

    Penentuan Capital Gain/Loss dihitung dari nilai buku menurut pajak dengan memperhatikan metode penyusutan menurut pajak.

    c. Setoran Modal Berupa Aktiva Tetap Berwujud

    Penyertaan wajib pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai maupun pengalihan harta. Perlakuan perpajakan atas penyetoran modal dengan aktiva tetap berwujud adalah sebagai berikut:

    1) Bagi pihak yang menerima aktiva tetap, bukan merupakan objek pajak 2) Penilaian harga perolehan berdasarkan harga pasar 3) Penentuan harga pasar dilakukan oleh pihak yang independen yang diakui

    pemerintah 4) Harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis, status, tempat

    kedudukan dan hal lain yag berhubungan dengan identifikasi aktiva 5) Dalam bentuk benda bergerak maupun barang tidak bergerak 6) Bagi pihak yang mengalihkan dicari Capital Gain (Loss) sebesar nilai pasar

    dengan nilai buku yang merupakan objek pajak 7) Dalam hal setoran modal berupa tanah dan/atau bangunan, pengalihan

    tersebut menimbulkan kewajiban BPHTB atas pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 28

    d. Sumbangan

    Secara akuntansi, sumbangan akan dimasukkan ke dalam "modal donasi" sehingga tidak ada pendapatan sumbangan

    Sedangkan secara peraturan pajak, sumbangan akan ditinjau dari pihak yag melakukan transaksi sumbangan, apakah antara pihak-pihak tersebut mempunyai hubungan usaha atau tidak. Jika ada hubungan usaha, sumbangan dinilai berdasarkan harga pasar. Bagi yang menerima adalah obyek pajak penghasilan dan bagi yang menyumbang dihitung selisih antara nilai pasar dengan nilai buku yang merupakan capital gain (loss) yang nanti dikaitkan dengan posisi aktiva bagi pengakuan biaya.

    Apabila tidak ada hubungan usaha, dinilai berdasarkan nilai buku. Bagi penerima adalah bukan objek pajak dan bagi yang menyumbang adalah bukan biaya.

    e. Membangun Sendiri

    Pengeluaran untuk membangun sendiri aktiva tetap merupakan unsur harga perolehan aktiva tetap. Secara pajak, harus dikeluarkan biaya yang merupakan bukan pengurang penghasilan bruto. Dalam hal terdapat biaya bunga selama masa konstruksi, maka biaya bunga harus diperlakukan khusus berbeda dengan perlakuan terhadap biaya-biaya konstruksi yang lain.

    Biaya selama konstruksi diperlakukan sebagai berikut:

    1) Sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf b UU PPh, pengeluaran untuk memperoleh harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dikapitalisir dengan harga perolehan/harga pokok. Pembebanannya sebagai biaya dapat dilakukan melalui penyusutan, amortisasi, ataupun pada saat penjualan sebagai bagian dari harga pokok penjualan.

    2) Sesuai dengan SE-20/PJ.42/1994, pengeluaran bunga pinjaman selama masa konstruksi merupakan komponen dari biaya langsung yang menjadi bagian pembentukan harga pokok atau harga perolehan aktiva seperti rumah atau gedung. Oleh karena itu pengeluaran bunga pinjaman sampai dengan rumah atau gedung selesai dan siap digunakan atau dipasarkan harus dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan gedung.

    f. Sewa Guna Usaha (Leasing)

    1). Operating Lease

    a). Perlakuan Perpajakan Bagi Lessor: Yaitu sama dengan perlakuan menurut akuntansi komersial:

    Seluruh pembayaran yang diterima/diperoleh oleh lessor merupakan penghasilan (obyek PPh).

    Lessor berhak menyusutkan aktiva yang disewa-guna-usahakan (penyusutan sesuai ketentuan fiskal).

    Lessor wajib mengenakan PPN atas jasa sewa tersebut.

    b) Perlakuan Perpajakan Bagi Lessee:

    Yaitu sama dengan perlakuan menurut akuntansi komersial:

    Jumlah sewa yang dibayar atau terutang pada tahun yang bersangkutan merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense).

    Lessee tidak berhak menyusutkan aktiva yang disewanya.

    Lessee wajib memotong PPh Pasal 23 atas sewa.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 29

    2). Capital Lease

    a). Perlakuan Perpajakan Bagi Lessor:

    Penghasilan lessor (obyek PPh) adalah imbalan jasa SGU (pendapatan bunga), yaitu dihitung dari seluruh pembayaran SGU dikurangi angsuran pokok.

    Lessor tidak diperbolehkan menyusutkan aktiva yang disewa-guna-usahakan.

    Lessor dapat membentuk dana Penyisihan piutang tak tertagih yang dapat dibiayakan, maksimum = 2,5% x saldo rata-rata piutang SGU.

    Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Laporan Keuangan Triwulanan yang disetahunkan.

    Pembayaran SGU tidak dikenakan PPN.

    b). Perlakuan SGU Bagi Lessee:

    Lessee tidak boleh menyusutkan aktiva tetap yang dileasingnya. Hal ini berbeda dengan perlakuan akuntansi komersial. Dalam akuntansi komersial aktiva tetap SGU disusutkan oleh lessee.

    Angsuran SGU yang dibayar atau terutang angsuran pokok maupun bunga diakui sebagai biaya. Hal ini juga berbeda dengan perlakuan akuntansi komersial. Dalam akuntansi komersial angsuran pokok SGU diperlakukan sebagai pembayaran (pelunasan) hutang SGU, sedangkan bunganya merupakan biaya (expense).

    Dengan demikian, lessee harus melakukan Koreksi Fiskal atas Laporan Keuangamya sbb:

    Melakukan koreksi biaya penyusutan, yaitu tidak membebankan biaya penyusutan atas aktiva tetap SGU.

    Melakukan koreksi biaya angsuran SGU, yaitu dengan memasukkan angsuran pokok SGU sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).

    Biaya bunga tetap dapat diakui sebagai biaya (sama antara akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal).

    c). Penyisihan Piutang Tak Tertagih:

    Perusahaan Jasa Capital Lease dapat membentuk Penyisihan piutang tak tertagih.

    Besarnya dana Penyisihan piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya maksimum sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang (Maksimum = 2,5% x (Saldo Awal Piutang SGU + Saldo Akhir Piutang SGU) / 2.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 30

    C. Perolehan Aktiva Tetap Tak Berwujud Aktiva tak berwujud (intangible asset) adalah aktiva tak lancar (non current asset) dan tak berbentuk yang memberikan hak ke-ekonomi-an dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi aktiva yang lain. Salah satu karakteristik aktiva tak berwujud yang paling penting adalah tingkat ketidak pastian mengenai nilai dan manfaatnya dikemudian hari. Dalam banyak kasus, nilai aktiva tak berwujud antara lain dapat berbentuk hak paten, hak cipta, franchise, dan merk dagang.

    Perlakuan akuntansi aktiva tak berwujud menyangkut masalah yang tidak berbeda dengan perlakuan akuntansi terhadap aktiva tetap, diantaranya adalah penentuan nilai perolehan, pelakuan akuntansi selanjutnya terhadap nilai perolehan tersebut dalam kondisi usaha normal (amortisasi), dan perlakuan akuntansi atas penurunan nilai aktiva tak berwujud yang material dan permanen. Kesulitan yang dihadapi dalam pemecahan masalah perlakuan akuntansi aktiva tak berwujud pada umumnya disebabkan oleh sifat aktiva tersebut, seperti tidak adanya wujud fisik yang menyebabkan bukti keberadaamya kabur, dan kesulitan dalam penentuan nilai perolehan serta masa manfaat ke-ekonomian-nya.

    Aktiva tak berwujud dibedakan menurut sifat ke-khususan-nya, masa manfaatnya, hubungannya dengan kegiatan usaha, dan penghapusannya. Dasar penggolongan aktiva tak berwujud adalah sebagai berikut: a. kemampuan untuk di-identifikasikan: dapat atau tidak dapat di-identifikasikan

    secara khusus. b. cara perolehan: diperoleh secara individual, secara kelompok, melalui

    penggabungan badan usaha atau dikembangkan sendiri. c. masa manfaat yang diharapkan: tergantung pada pembatasan yang diatur oleh

    hukum/perjanjian, pada faktor ke-ekonomian atau manusia, atau pada jangka waktu yang tidak terbatas atau tidak dapat ditentukan di masa depan.

    d. kemampuan untuk dipisahkan dari keseluruhan perusahaan: hak yang dapat dialihkan tanpa bukti pemilikan, dapat dijual atau tidak dapat dipisahkan dari perusahaan atau dari bagian pokoknya.

    Perusahaan harus mencatat nilai perolehan aktiva tak berwujud yang diperoleh dari individu atau badan usaha lain sebagai aktiva. Biaya pemeliharaan atau penyimpanan aktiva tak berwujud yang tidak dapat diidentifikasikan secara khusus tidak dapat ditentukan masa manfaatnya/umurnya, atau tidak dapat dihindarkan dalam suatu kegiatan usaha harus dibebankan dalam laporan laba rugi periode yang bersangkutan.

    Nilai aktiva tak berwujud pada akhirnya akan habis pada saat tertentu, sehingga harga perolehan aktiva tak berwujud harus diamortisasi secara sistematis selama taksiran masa manfaatnya dan tidak boleh dibebankan seluruhnya pada periode perolehan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menaksir masa manfaat suatu aktiva tak berwujud adalah sebagai berikut: a. Ketentuan hukum, peraturan, perjanjian yang membatasi masa manfaat

    maksimum. b. Kemungkinan untuk memperbaharui atau memperpanjang batas masa manfaat

    yang telah ditentukan. c. Pengaruh keusangan, permintaan, persaingan dan faktor perubahan ekonomi dan

    teknologi yang mempengaruhi masa manfaat. d. Prakiraan tindakan yang akan dilakukan oleh pesaing, pelaksana hukum/peraturan

    dan lainnya yang membatasi keunggulan dalam daya saing (competitive advantage).

    e. Adanya suatu masa manfaat yang tidak terbatas, dan masa manfaat yang diharapkan tidak dapat ditaksir secara wajar.

    f. Kemungkinan aktiva tak berwujud terdiri dari beberapa jenis/faktor yang mempunyai masa manfaat yang berbeda.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 31

    Untuk menentukan masa manfaat aktiva tak berwujud secara wajar maka hal-hal tersebut diatas harus dianalisa terlebih dahulu. Taksiran masa manfaat yang wajar biasanya ditentukan dengan membuat batas atas dan batas bawah karena taksiran masa manfaat yang sesungguhnya sulit untuk ditentukan.

    Metode amortisasi aktiva tak berwujud adalah Metode Garis Lurus (Straight Line method), kecuali jika ada metode lain yang lebih sesuai dengan kondisi perusahaan. Laporan keuangan harus mengungkapkan metode dan periode amortisasi yang digunakan. Perusahaan harus mengevaluasi periode amortisasi aktiva tak berwujud secara teratur untuk memutuskan apakah peristiwa dan kondisi selanjutnya menuntut perubahan taksiran masa manfaat yang ditentukan. Jika taksiran masa manfaat berubah, maka jumlah harga perolehan yang belum diamortisasi harus dibebankan pada sisa masa manfaat yang baru, dengan syarat tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun dari tanggal perolehan. Taksiran nilai dan manfaat masa depan suatu aktiva tak berwujud yang belum diamortisasi tersebut harus dikurangi dengan jumlah tertentu sebagai beban usaha dalam laporan laba rugi periode yang bersangkutan. Meskipun demikian, kerugian pada satu atau beberapa tahun tertentu secara berurutan tidak dapat dijadikan alasan untuk membebankan semua atau sebagian harga perolehan aktiva tak berwujud yang diamortisasi sebagai pembebanan luar biasa pada periode yang bersangkutan. Jika ada pembebanan luar biasa, maka alasan pembebanamya harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

    Berdasarkan eksistensinya, aktiva tak berwujud dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: 1. Aktiva tak berwujud yang eksistensinya dibatasi oleh ketentuan perundang-

    undangan, peraturan pemerintah, perjanjian yang dibuat antara para pihak atau sifat dari aktiva tersebut, misalnya hak paten, hak sewa, hak cipta, franchise yang terbatas lisensi.

    2. Aktiva tak berwujud yang masa manfaatnya tidak terbatas dan tidak dapat dipastikan masa berakhirnya, misalnya merk dagang, proses dan formula rahasia, perpetual franchise, goodwill.

    D. Penyusutan Aktiva Tetap Berwujud 1. Metode Penyusutan

    Metode penyusutan aktiva tetap berwujud yang diperkenankan menurut ketentuan pajak, terdiri dari:

    a. Metode Garis Lurus Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

    b. Metode Saldo Menurun

    Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud di atas, selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 32

    c. Metode lain Menyimpang dari ketentuan di atas, ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, seperti pertambangan.

    2. Saat Mulai Penyusutan

    Penyusutan dimulai pada bulan dilakukamya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutamya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

    Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

    Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

    Contoh 1:

    Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp.100.000.000. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2013 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2014. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2014.

    Contoh 2:

    PT Xolang Xaling yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2013. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2014. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2014 Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU PPh, dasar penyusutan atas harta tersebut adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.

    3. Kelompok Harta Berwujud, Masa Manfaat, dan Tarif Penyusutan

    Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan seperti tabel di bawah ini, sedangkan perinciamya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan

    Kelompok Harta Berwujud Masa

    Manfaat

    Tarif Penyusutan

    Metode Garis Lurus

    Metode Saldo Menurun

    I. Bukan Bangunan

    Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

    Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

    Kelompok 1 16 tahun 6,25% 12,5%

    Kelompok 1 20 tahun 5% 10%

    II. Bangunan

    Permanen 20 tahun 5%

    Tidak Permanen 10 tahun 10%

    Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 33

    garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.

    Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.

    Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan

    Contoh penggunaan metode garis lurus:

    Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp.100.000.000 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp.5.000.000 (Rp.100.000.000 20).

    Contoh penggunaan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2011 dengan harga perolehan sebesar Rp.150.000.000 Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:

    Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku

    Harga Perolehan ----------------------------------------------- 150.000.000

    2011 50% 75.000.000 75.000.000

    2012 50% 37.500.000 37.500.000

    2013 50% 18.750.000 18.750.000

    2014 disusutkan sekaligus 18.750.000

    Contoh 1

    PT. Prima pada tanggal 21 Februari 2014 membeli sebuah bangunan dengan harga Rp.150.000.000. Wajib Pajak ingin menghancurkan bangunan tersebut dan akan membangun gedung kantor yang baru. Biaya penghancuran diperkirakan Rp.10.000.000, dan puing bangunan dijual dengan harga Rp.1.000.000. Selain itu Wajib Pajak mengeluarkan biaya untuk balik nama Rp.1.000.000, biaya notaris Rp.150.000 dan membayar PBB yang masih terutang sebesar Rp.250.000. Harga perolehan atas tanah dihitung sebagai berikut:

    > Harga beli bangunan Rp. 150.000.000

    > Biaya pembongkaran gedung lama Rp. 10.000.000

    > Penjualan puing bangunan ( Rp. 10.000.000 )

    > Biaya balik nama Rp. 1.000.000

    > Biaya notaris Rp. 150.000

    > PBB Rp. 250.000

    > Harga perolehan atas tanah Rp. 160.400.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Prima pada saat perolehan tanah adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Tanah 160.400.000

    Kas/Bank 160.400.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 34

    Contoh 2

    Pada tanggal 10 Januari 2014, PT. Karya melakukan pembelian aktiva berupa peralatan (kelompok 2) dari PT. Sarana dengan harga beli Rp.120.000.000. PT.Sarana memperoleh aktiva tersebut pada tanggal 15 Januari 2010 dengan harga perolehan Rp.200.000.000. Apabila PT. Sarana melakukan penyusutan menggunakan metode garis lurus, maka penghitungan atas Nilai sisa buku pada waktu dijual adalah sebagai berikut:

    Harga Perolehan Rp. 200.000.000

    Akumulasi Penyusutan selama 4 tahun

    Rp. 200.000.000 x 12,5% x 4 = Rp. 100.000.000

    Nilai Sisa Buku Rp. 100.000.000

    Harga Beli dari PT. Karya Rp. 120.000.000

    Rugi dari PT. Karya ( Rp. 20.000.000 )

    Kerugian ini dapat dikurangkan dari penghasilan neto PT. Karya, sedangkan PT.Sarana mengalami laba dengan jumlah yang sama. Laba tersebut merupakan objek pajak penghasilan dan menambah penghasilan neto dari PT. Sarana. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Karya adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Aktiva tetap-Peralatan 100.000.000

    Rugi Pembelian Aktiva 20.000.000

    Kas/Bank 120.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sarana adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kas/Bank 120.000.000

    Akumulasi Penyusutan Peralatan 100.000.000

    Aktiva tetap-Peralatan 200.000.000

    Laba Penjualan Aktiva 20.000.000

    Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.

    Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan/atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 35

    Contoh 3

    Wajib Pajak Aktiva Kelompok Harga

    Perolehan

    Tanggal perolehan

    PT. Abadi Mesin II 300.000.000 15-01-2010

    PT. Ashi Kendaraan II 240.000.000 10-07-2010

    Aktiva tetap tersebut ditukar pada tanggal 21 Januari 2014. Nilai pasar wajar dari aktiva tersebut adalah sebesar Rp.140.000.000. Wajib Pajak menggunakan metode penyusutan garis lurus. Berapa laba atau rugi yang atas pertukaran tersebut bagi masing-masing wajib pajak? PT. Abadi

    Harga Perolehan Mesin Rp. 300.000.000

    Akumulasi Penyusutan

    Rp. 300.000.000 x 12,5% x 4 = Rp. 150.000.000

    Nilai Sisa Buku Rp. 150.000.000

    Harga Beli dari PT. Ashi Rp. 140.000.000

    Rugi Pertukaran ( Rp. 10.000.000 )

    PT. Ashi

    Harga Perolehan Kendaraan Rp. 240.000.000

    Akumulasi Penyusutan

    Rp. 300.000.000 x 12,5% x 3,5 = Rp. 131.250.000

    Nilai Sisa Buku Rp. 108.750.000

    Harga Beli dari PT. Abadi Rp. 140.000.000

    Laba Pertukaran Rp. 31.250.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Abadi:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Kendaraan 140.000.000

    Akumulasi Penyusutan Mesin 150.000.000

    Rugi Pertukaran Aktiva 10.000.000

    Mesin 300.000.000

    Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ashi adalah:

    Perkiraaan Debet Kredit

    Mesin 140.000.000

    Akumulasi Penyusutan Kendaraan 131.250.000

    Laba Pertukaran Aktiva 31.250.000

    Kendaraan 240.000.000

  • Yayasan Widya Dewata

    AKUNTANSI PAJAK 36

    E. Amortisasi Aktiva Tak Berwujud Amortisasi terhadap intangible asset adalah atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. Kelompok amortisasi:

    Kelompok Harta

    Tak Berwujud

    Masa Manfaat

    Tarif Amortisasi berdasarkan Metode

    Garis Lurus Saldo Menurun

    Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

    Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

    Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

    Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

    Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.