Modul 4

30
KONSE Pengam Kontak Fakulta A. Nama/Judul Pokok Sumber Daya Haya B. Deskripsi Singkat ancaman pada kean ancaman global (peru (pembangunan wilay darat (sedimentasi) penangkapan berleb berdasarkan ketentu ditimbulkan dan kem setelah mengalami te C. Tujuan Instruksion 1. Peserta mampu m perubahan iklim ekosistem dan bio 2. Peserta mampu m ancaman global d 3. Peserta dapat m sumber daya haya 4. Peserta bisa me sumber daya haya 5. Peserta mampu m urutan teratas unt D. Isi Pokok Bahasan (disajikan mulai halaman ERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN P mpu : Wiadnya, D.G.R., D. Setyohadi, D.O. Sutji Sukandar, T.D. Lelono, D.K. Saputra k : [email protected] as Perikanan & Ilmu Kelautan UB. Jl. Veteran 6514 k Bahasan: Ancaman pada Keanekara ati Laut (pokok bahasan): menjelaskan berbaga nekaragaman sumber daya hayati laut te rubahan iklim dan pemanasan global), ancama yah pesisir, pencemaran di laut, pembukaan l ), penangkapan tidak ramah lingkungan bih). Berbagai jenis ancaman bisa di-R uan cakupan ancaman, tingkat keparahan mampuan pada sumber daya untuk pulih k ekanan. nal Khusus : menjelaskan (dengan kata sendiri) proses ter global dan dampak kerugian yang ditimbulka ota di laut; menjelaskan (dengan kata sendiri) perbedaan dan local; menyebutkan 5 (lima) jenis ancaman loca yati laut; embuat tabel rating berbagai jenis ancama yati laut; memilih dua jenis ancaman local yang mem tuk bisa diatasi atau dikurangi (prioritas progr n berikut) PERIKANAN ipto, 45, Malang agaman ai jenis ermasuk an local lahan di n, dan RATING n yang kembali rjadinya an pada n antara al pada an pada mpunyai ram). MODUL 4

description

dwdawdwadwa

Transcript of Modul 4

Page 1: Modul 4

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pengampu : Wiadnya, D.G.R., D. Setyohadi, D.O. Sutjipto,Sukandar, T.D. Lelono, D.K. Saputra

Kontak : [email protected] Perikanan & Ilmu Kelautan UB. Jl. Veteran 65145, Malang

A. Nama/Judul Pokok Bahasan: Ancaman pada KeanekaragamanSumber Daya Hayati Laut

B. Deskripsi Singkat (pokok bahasan): menjelaskan berbagai jenisancaman pada keanekaragaman sumber daya hayati laut – termasukancaman global (perubahan iklim dan pemanasan global), ancaman local(pembangunan wilayah pesisir, pencemaran di laut, pembukaan lahan didarat (sedimentasi), penangkapan tidak ramah lingkungan, danpenangkapan berlebih). Berbagai jenis ancaman bisa di-RATINGberdasarkan ketentuan cakupan ancaman, tingkat keparahan yangditimbulkan dan kemampuan pada sumber daya untuk pulih kembalisetelah mengalami tekanan.

C. Tujuan Instruksional Khusus :

1. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) proses terjadinyaperubahan iklim global dan dampak kerugian yang ditimbulkan padaekosistem dan biota di laut;

2. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) perbedaan antaraancaman global dan local;

3. Peserta dapat menyebutkan 5 (lima) jenis ancaman local padasumber daya hayati laut;

4. Peserta bisa membuat tabel rating berbagai jenis ancaman padasumber daya hayati laut;

5. Peserta mampu memilih dua jenis ancaman local yang mempunyaiurutan teratas untuk bisa diatasi atau dikurangi (prioritas program).

D. Isi Pokok Bahasan

(disajikan mulai halaman berikut)

MODUL

4

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pengampu : Wiadnya, D.G.R., D. Setyohadi, D.O. Sutjipto,Sukandar, T.D. Lelono, D.K. Saputra

Kontak : [email protected] Perikanan & Ilmu Kelautan UB. Jl. Veteran 65145, Malang

A. Nama/Judul Pokok Bahasan: Ancaman pada KeanekaragamanSumber Daya Hayati Laut

B. Deskripsi Singkat (pokok bahasan): menjelaskan berbagai jenisancaman pada keanekaragaman sumber daya hayati laut – termasukancaman global (perubahan iklim dan pemanasan global), ancaman local(pembangunan wilayah pesisir, pencemaran di laut, pembukaan lahan didarat (sedimentasi), penangkapan tidak ramah lingkungan, danpenangkapan berlebih). Berbagai jenis ancaman bisa di-RATINGberdasarkan ketentuan cakupan ancaman, tingkat keparahan yangditimbulkan dan kemampuan pada sumber daya untuk pulih kembalisetelah mengalami tekanan.

C. Tujuan Instruksional Khusus :

1. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) proses terjadinyaperubahan iklim global dan dampak kerugian yang ditimbulkan padaekosistem dan biota di laut;

2. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) perbedaan antaraancaman global dan local;

3. Peserta dapat menyebutkan 5 (lima) jenis ancaman local padasumber daya hayati laut;

4. Peserta bisa membuat tabel rating berbagai jenis ancaman padasumber daya hayati laut;

5. Peserta mampu memilih dua jenis ancaman local yang mempunyaiurutan teratas untuk bisa diatasi atau dikurangi (prioritas program).

D. Isi Pokok Bahasan

(disajikan mulai halaman berikut)

MODUL

4

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pengampu : Wiadnya, D.G.R., D. Setyohadi, D.O. Sutjipto,Sukandar, T.D. Lelono, D.K. Saputra

Kontak : [email protected] Perikanan & Ilmu Kelautan UB. Jl. Veteran 65145, Malang

A. Nama/Judul Pokok Bahasan: Ancaman pada KeanekaragamanSumber Daya Hayati Laut

B. Deskripsi Singkat (pokok bahasan): menjelaskan berbagai jenisancaman pada keanekaragaman sumber daya hayati laut – termasukancaman global (perubahan iklim dan pemanasan global), ancaman local(pembangunan wilayah pesisir, pencemaran di laut, pembukaan lahan didarat (sedimentasi), penangkapan tidak ramah lingkungan, danpenangkapan berlebih). Berbagai jenis ancaman bisa di-RATINGberdasarkan ketentuan cakupan ancaman, tingkat keparahan yangditimbulkan dan kemampuan pada sumber daya untuk pulih kembalisetelah mengalami tekanan.

C. Tujuan Instruksional Khusus :

1. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) proses terjadinyaperubahan iklim global dan dampak kerugian yang ditimbulkan padaekosistem dan biota di laut;

2. Peserta mampu menjelaskan (dengan kata sendiri) perbedaan antaraancaman global dan local;

3. Peserta dapat menyebutkan 5 (lima) jenis ancaman local padasumber daya hayati laut;

4. Peserta bisa membuat tabel rating berbagai jenis ancaman padasumber daya hayati laut;

5. Peserta mampu memilih dua jenis ancaman local yang mempunyaiurutan teratas untuk bisa diatasi atau dikurangi (prioritas program).

D. Isi Pokok Bahasan

(disajikan mulai halaman berikut)

MODUL

4

Page 2: Modul 4

57 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

4.1 Pendahuluan

Pada pertengahan tahun 1800an, seorang naturalist berkebangsaan Inggris,Alfred Russel Wallace, mengunjungi Ambon.Catatan temuan Wallace tentangkeragaman hayati laut, sekarang masih valid dan secara ilmiah disebut Wallace

Line.Salah satu petikan tulisan Wallace, ialah sebagai berikut: “ketika saya melihat kedalam air laut, dasar perairan tersembunyi dan ditutupi sepenuhnya oleh karang, spons,actinia dan produksi lainnya, dalam dimensi yang sangat indah, dalam berbagai bentukdan warna yang sangat brillian”. Pada saat itu, terumbu karang Indonesia dipercayamasih dalam kondisi asli (pristine) dan dijadikan acuan dalam menentukan statuskesehatan karang dewasa ini.Persentase tutupan karang hidup ialah satu diantaraberbagai indikator tingkat kesehatan karang. Tingkat kesehatan karang dibedakanmenjadi 4 (empat) kategori: excellence (sangat baik) ialah tutupan karang hidup > 75%;good (baik) dengan tutupan karang hidup antara 50 – 75%; moderate (sedang) antara 25– 50%; dan poor (jelek), dengan tutupan karang hidup < 25%.Ketika Russel Wallace

berkunjung ke Ambon, terumbu karang dijadikan titik acuan (reference point), dengantutupan karang hidup > 75%.Setelah kunjungan Wallace, terumbu karang Indonesiadiduga mengalami degradasi secara bertahap.Meningkatnya penduduk, pembangunandan permintaaan pada sumber daya laut berdampak nyata pada terumbu karang. Padatahun 2000, Prof. Rokhmin Dahuri, seorang ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor(IPB) sampai pada kesimpulan bahwa luas terumbu karang Indonesia, dengan statustutupan karang keras > 75% hanya tersisa 6% dari kondisi 100 tahun sebelumnya.Terumbu karang mengalami kerusakan dengan laju antara 0,5 – 1,0% per tahun. Denganluas total terumbu karang Indonesia 48.000 km2, bisa dikatakan terumbu karangmengalami kerusakan setara 24.000 ha per tahun.

MODUL 4:

ANCAMAN PADA KEANEKARAGAMANSUMBER DAYA HAYATI LAUT

Page 3: Modul 4

58 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

Gambar 4.1 Tutupan karang hidup yang tinggi, menunjukkan terumbu karang yangsehat (Foto: diambil dari Wakatobi, oleh Purwanto)

Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman serius olehberbagai aktifitas manusia di darat.Kegiatan tersebut bisa berdampak langsung atausecara tidak langsung pada keanekaragaman hayati – ancaman langsung ialah jenisancaman yang dampaknya langsung kepada sumber daya laut, misalnya penangkapanikan.Sedangkan ancaman tidak langsung ialah kegiatan-kegiatan yang tidak terkaitdengan pengambilan sumber daya hayati di laut, namun akhirnya berpengaruh padapenurunan sumber daya hayati.Sebagai contoh misalnya, penambangan minyak di lautlepas, ketika kilang minyak mengalami kebocoran dan terjadi pencemaran minyak.

Berdasarkan cakupannya, ancaman pada sumber daya hayati laut bisa dibedakanmenjadi: ancaman yang bersifat lokal, dan ancaman global. Ancaman lokal ialah jenisancaman dengan sumber ancaman bersifat lokal, terjadi pada titik tertentu dilaut.Pencemaran, konversi lahan atau penangkapan ikan ialah termasuk jenis ancamanlokal.Ancaman global ialah tekanan pada sumber daya hayati laut yang terjadi padahampir semua wilayah di laut.Meningkatnya suhu permukaan air laut ialah contohdalam kategori ancaman global.

Page 4: Modul 4

59 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 20124.2 Perubahan iklim

Pertambahan penduduk dan pemenuhan kebutuhan manusia yang hampir tidakterbatas ialah dua faktor yang menyebabkan perubahan ekologi di darat, dan akhirnyajuga berdampak pada laut.Karena laut juga mempengaruhi daratan secara timbal balik,maka daratan menerima “double-blow effect”, atau dampak ganda dari kegiatan yangdimulai dari darat.Pada akhirnya, manusia yang tinggal di darat yang harus menerimaatau menanggung kerugian ini secara bersama.Diantara kita mungkin masih ingatdengan kata “freon”, yang banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, terutamasebagai pendingin (refrigerant), penyemprot (propellant) dan pelarut.Freonialah merekdagang untuk senyawa organik chlorofluorocarbon (CFC) yang mengandung carbon,chlorine dan fluorine.Belakangan, bahan ini diketahui menyebabkan penipisan lapisanozon pada atmosphere.Dampaknya ialah radiasi spektrum ultraviolet dari matahari yangditerima langsung oleh bumi, yang sebelumnya ditahan (sebagian) pada lapisan ozon.Negara Eropa melarang total penggunaan CFC sejak tahun 2000 – semua negara didunia sudah harus menghentikan penggunaan bahan CFC paling lambat tahun2010.Cerita tentang CFC atau freon mungkin akan segera berakhir. Namun dampak dariCFC masih akan kita terima sampai waktu yang relatif lama. CFC ialah senyawa yangstabil dan bisa bertahan sampai 100 tahun lamanya. Andaikata benar bahwa produksiCFC sudah diakhiri, maka dalam 100 tahun ke depan,CFC yang tersisa tetap bisamenyebabkan penipisan lapisan pada ozon.

Revolusi industri, dibarengi dengan pertambahan penduduk, memacupenggunaan sumber-sumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam danbatubara.Pengembangan pemukiman dan industri memaksa pembukaan lahan hutanyang selama ini berfungsi sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon padaatmosphere bumi.Dampak yang paling nyata ialah meningkatnya kandungan CO2 padaatmosphere bumi.Dampak turunan yang dihasilkan dari pembakaran energi fosil danpembukaan lahan hutan ialah pada peningkatan suhu atmosphere dan hujan asam –lebih ekstrem lagi, dia menghasilkan dampak turunan lain berupa hujan, disertai denganintensitas badai tinggi. Sebaliknya, bisa terjadi kemarau berkepanjangan, hujan asamdan banjir di darat.Semua dampak turunan tersebut terangkum dalam istilah yangsekarang terkenal dengan sebutan perubahan iklim, climate change.Perubahan iklimterjadi karena aktifitas manusia di darat.Sumber ancaman bisa terjadi secara lokal,namun dengan intensitas yang cukup besar, atau umumnya bersifat global.Dampak yangditimbulkan (perubahan iklim) bersifat global, terjadi pada hampir semua wilayah didunia, bahkan pada wilayah kutub sekalipun.Jenis ancaman ini disebut dengan istilahancaman global.

Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut sedang menjadi pembahasanhangat diatara peneliti bidang kelautan.Sebagian ahli menyatakan bahwa lautlah yangmenerima dampak pertama dari perubahan iklim global.Ancaman yang ditimbulkan bisaterjadi dalam bentuk:

Page 5: Modul 4

60 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012a. Perubahan susunan kimia air laut dalam bentuk asidifikasi air laut, sebagai

akibat dari hujan asam;

b. Meningkatnya suhu permukaan air laut sebagai akibat dari peningkatan suhuatmosphere;

c. Peningkatan permukaan air laut (sea level) karena pemuaian air pada suhuyang lebih tinggi dan mencairnya lapisan es di kutub

4.2.1 Asidifikasi

Hujan asam, oleh para ahli, diduga akan menyebabkan perubahan susunan kimiadan penurunan pH air laut. Dampak pertama yang ditimbulkan ialah perubahan sistembikarbonat pada air laut.Dampak turunannya ialah terganggunya pembentukan struktureksoskeleton(rangka penyangga) pada terumbu karang. Sistem bikarbonat pada air laut,pada dasarnya mengikuti persamaan disosiasi sebagai berikut:

CO2 + H2O H2CO3; H2CO3 H+ + HCO3-; HCO3

- H+ + CO32-

Meningkatnya CO2akan menurunkan konsentrasi ion carbonat pada air laut,reaksi bergeser ke arah kanan. Hal ini akan mempengaruhi seluruh organisme yanghidupnya tergantung dari kemampuan membentuk kerangka luar (eksoskeleton) darikarbonat. Coral polyp ialah diantara organisme yang paling sensitif dan menerimadampak pertama dari hujan asam.

Pembentukan kerangka kapur (eksoskeleton) oleh coral polyp ditentukan olehnilai kejenuhan aragonite, Ω, yang merupakan fungsi dari konsentrasi CO2 pada air lautdan suhu permukaan air. Peningkatan CO2akan menurunkan kejenuhan aragonite, dansebagai konsekuensinya, menurunkan laju pembentukan kerangka kapur oleh coral

polyp. Para ahli membuat dugaan bahwa kondisi CO2 dan suhu permukaan laut padatahun 1850an, ialah kondisi optimal untuk mendukung pembentukan kerangka kapuroleh binatang karang, termasuk di dalam dan di sekitar wilayah Coral Triangle.Sejakpertengahan tahun 1850an, terjadi peningkatan kandungan CO2 dan suhu atmosphere,sebagai dampak dari revolusi industri.Perkembangan industri terus berjalan sampai awaltahun 2010, walaupun negara berkembang sudah mulai membatasi penggunaan bahan-bahan yang bisa menyebabkan peningkatan CO2pada atmosphere.Saat ini, tingkatkejenuhan aragonite diduga masih cukup (walaupun berada pada kondisi di bawahoptimal) untuk mendukung pembentukan kerangka kapur oleh coral polyp. Namun jikaskenario pembangunan tetap berjalan pada laju peningkatan CO2 seperti saat ini, dalam50 tahun kedepan, para ahli meramalkan bahwa terumbu karang akan mengalami erosiyang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kerangka kapur oleh binatangkarang. Peningkatan CO2, melalui hujan asam akan melemahkan struktur carbonat padakerangka luar terumbu karang. Sebagai akibatnya, kerangka kapur akan mengalamierosi. Jika kecepatan erosi alami lebih cepat dari laju pembentukan kerangka kapur olehbinatang karang, luas dan kualitas (kekuatan struktur) terumbu karang akan menurun.

Page 6: Modul 4

61 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Penurunan luas dan kekuatan terumbu karang akan berdampak buruk bagi terumbukarang, terkait dengan fungsi alaminya sebagai pelindung daratan dari serangangelombang pasang.

Asidifikasi pada air laut juga diramalkan akan berpengaruh pada organisme yanghidupnya tidak ditopang oleh kerangka kapur, seperti ikan dan organismeakuatik(perairan) lainnya. Asidifikasi, melalui hujan asam, diduga akan menyebabkansuatu kondisi yang disebut asidosis. Asidosis ialah meningkatnya, atau tepatnya,turunnya nilai pH pada plasma darah. Gejala asidosis terjadi ketika pH plasma darahturun < 7,35 (namun tergantung dari spesies). Asidemia ialah gejala yang ditimbulkanoleh peristiwa asidosis, ialah kondisi melemahnya sistem kekebalan tubuh (imunitas)dan terganggunya proses metabolisme tubuh pada sebagian besar organismeakuatik.Gejala lainnya ialah menurunnya kapasitas reproduksi, terutama ikan-ikan dilaut. Jika ramalan para ahli benar, kita akan berpeluang menerima resiko darimenurunnya potensi laut sebagai penyedia protein hewani bagi manusia.

4.2.2 Suhu permukaan air laut

Suhu udara (atmosphere) mempengaruhi suhu permukaan air laut, biasa diukurdalam istilah SST (Sea Surface Temperature). Meningkatnya suhu permukaan air laut,bersama radiasi sinar matahari akan menyebabkan efek “Photo-Thermal Stress” padabinatang karang (coral polyp). Pada kondisi stress, Coral Polypakan melepas simbion

zooxanthellae dari dalam tubuhnya – zooxanthellae ialah simbion yang menyebabkanterumbu karang tampak berwarna, sesuai dengan jenis zooxanthellae. Ketika alga

zooxanthella dilepas, coral polyp menjadi transparan.Akibatnya, kitamelihat seolah-olah terumbu karang berwarna putih.Warna putih yang terlihat ialah warna darikerangka luar (eksoskeleton) dari karbonat.Peristiwa ini disebut dengan istilahbleaching.

Bleaching pada karang bisa digambarkan dalam beberapa mekanisme yangberbeda (Gambar 3.2). Peningkatan suhu dan sinar matahari menyebabkan binatangkarang mengalami stress dan berdampak pada kematian secara langsung, atau dalamperiode yang relatif pendek. Ketika mengalami kematian, zooxanthellaeakan keluar daridalam tubuh binatang karang. Akibatnya, terumbu karang mengalami bleaching. Tidakbeberapa lama setelah proses ini, permukaan karang akan ditumbuhi lumut. Jikaperistiwa bleaching diikuti dengan tumbuhnya lumut, dengan demikian, artinyabinatang karang (coral polyp) sudah mati. Pemulihan mungkin terjadi dalam waktulama, melalui dua kriteria dasar, ialah: terdapat cukup ikan herbivor pemakan lumut(seperti ikan kakatua dari famili Scaridae, ikan kulit pasir dari famili Acanthuridae atauikan beronang dari famili Siganidae); dan ada terumbu karang sehat di sekitar lokasibleaching (proses perpindahan larva karang, planula, dari wilayah sekitarnya).

Mekanisme kedua ialah: stress photo-thermal menyebabkan coral bleaching,karena binatang karang melepas zooxanthellae. Pada kondisi ini, binatang karang: bisa

Page 7: Modul 4

62 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012mati (indikatornya ialah ditumbuhi lumut), atau bisa bertahan dan setelah beberapalama, kembali normal. Setelah pulih, binatang karang akan menyerap simbionzooxanthellae dan berwarna kembali, sesuai dengan jenis zooxanthellayang tinggal didalam tubuhnya. Terumbu karang yang mampu pulih kembali setelah mengalami stresdisebut mempunyai kemampuan resilience.Resilience ialah suatu kemampuan untukmengembangkan mekanisme pertahanan dari stressor luar, atau jika terkena stress,mampu untuk beradaptasi dan pulih kembali, seperti semula.Sifat resiliensi ini ialahsalah satu indikator kuat pemilihan lokasi terumbu karang atau habitat lainnya untukdilindungi.

Meningkatnya suhu permukaan air laut terjadi secara global pada semua wilayahpermukaan laut di dunia, sampai ke wilayah kutub.Peningkatan suhu permukaan air lauttelah berdampak nyata pada pencairan sebagian islet atau bongkahan es di kutub.Beberapa wilayah di dunia, mempunyai mekanisme lokal yang secara tidak langsungberpengaruh dalam proses penetralan suhu permukaan air laut. Contoh yang paling kuatialah upwelling dan/atau percampuran antara air laut yang dingin dan hangat, olehpengaruh photo-thermal. Suhu permukaan air laut mengalami peningkatan secaraperlahan, namun tidak semua terumbu karang akan mengalami bleaching secarabersamaan. Resiliensi, proses-proses lokal dan jenis spesies karang dominan akanmempengaruhi terjadinya bleaching karena stress photo-thermal.

Gambar 4.2 Dua mekanisme proses bleaching karang yang bisa menyebabkan kematian pada coralpolyp. Mekanisme pertama ialah coral polyp mengalami kematian setelah stress yangditandai dengan bleacing dan ditumbuhi lumut. Mekanisme kedua ialah stress yangdiikuti oleh bleaching dengan dua kemungkinan dampak lanjutan: mengalami kematianatau bisa pulih kembali. Karang jenis ini disebut mempunyai sifat resilience.

Secara global, peningkatan suhu permukaan air laut telah menyebabkanterjadinya bleaching pada beberapa terumbu karang di laut. Laporan UNEP (United

Nations Environmental Program) dan data ReefBasepada tahun 1998 membuktikanterjadinya peristiwa bleaching pada beberapa lokasi di laut. Sepuluh tahun kemudian(tahun 2008), UNEP melaporkan lokasi kejadian bleaching karang yang jauh lebihbanyak dibandingkan tahun 1998. Hal ini hanya mempunyai arti bahwa perubahaniklim, melalui peningkatan suhu permukaan air laut, sudah riil atau nyata terjadi di

Page 8: Modul 4

63 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012depan mata, dan berpengaruh pada kehidupan ekosistem terumbu karang. Para ahli terusmencari indikator lapang yang bisa dikaitkan dengan ramalan akan terjadinya bleaching

pada suatu tempat. Mereka menemukan indikator DHW, Degree Heating Week, untukmengembangkan mekanisme peringatan awal akan terjadinya bleaching.DHW ialahnilai besaran peningkatan suhu dalam satuan minggu.DHW = 2, bisa diartikan sebagaimeningkatnya suhu permukaan air laut setara 1°C, dari kondisi rata-rata, selama periodedua minggu, atau peningkatan 2°C selama periode waktu satu minggu.

Seperti telah disebutkan, salah satu dampak dari perubahan iklim ialahmeningkatnya suhu udara atau atmosphere bumi. Dengan cara yang sama, suhu udaraberpengaruh pada meningkatnya suhu permukaan air laut. Terumbu karang ialah habitatdi laut yang diduga paling sensitif menghadapi photo-thermal stress. Mekanisme stress

dari coral polypbisa ditunjukkan dari keluarnya zooxanthellae dari dalam tubuh coral

polyp. Jika tidak bisa bertahan terhadap stress, coral polypakanmati dan permukaanterumbu karang segera ditumbuhi lumut. Jika karang bisa bertahan, dan normalkembali, dia akan menyerap zooxanthellae dan bisa mengatasi stress (resilience). Padabeberapa tempat di laut, terjadi upwelling dan/atau pengadukan masa air lokal, sehinggapeningkatan suhu permukaan air laut akan segera dinetralkan dan tidak mempengaruhiterumbu karang.Beberapa lokasi terumbu karang di Indonesia dilaporkan mengalamibleaching karena pengaruh dari peningkatan SST.Wilayah Bali Utara (Taman NasionalBali Barat) dan Pulau Seribu ialah dua tempat yang tercatat mengalami bleaching.Jadi,perubahan iklim pada dasarnya sudah mulai mengancam kehidupan di laut, dan inicukup berbahaya bagi laut sebagai sumber penghidupan penduduk di darat.

Terjadinya bleaching pada karang tidak selalu disebabkan oleh peningkatansuhu permukaan air laut.Penyakit, predasi atau racun seperti potasium sianida juga bisamenyebabkan terumbu karang terlihat mengalami bleaching.Crown-Of-Thorn (COT),starfish atau Mahkota Bintang Berduri (MBB) dan siput,Drupella cornus(Röding,

1798), ialah dua predator karang yang umum diketahui.Kedua jenis organisme inimemakan coral polypdan menyebabkan terjadinya bleaching, sebelum permukaankarang ditumbuhi oleh lumut.Namun, bleaching oleh predasi atau penyakit sangatberbeda dengan mekanisme bleaching yang disebabkan oleh pengaruh SST.Bleaching

karena pengaruh predasi atau penyakit bersifat lokal, disebut juga spot

bleaching.Sebaliknya, bersifat masal (mass bleaching) dan terjadi atau mencakupwilayah yang lebih luas.Persamaannya ialahbahwa keduanya akan merugikan bagikeberlanjutan sumberdaya hayati laut, termasuk perikanan.

Selain terumbu karang, SST juga berpengaruh pada habitat lain di laut, terutamajenis habitat yang menempati wilayah dekat pantai. Peningkatan suhu udara, didugaakan menurunkan kemampuan pembentukan daun pada jenis tumbuhan bakau. Habitatpadang lamun akan mengalami peristiwa seagrass burning. Dampaknya, lajumetabolisme dan pertumbuhan lamun akan terhambat, dan mekanisme reproduksimenurun. Sebaliknya, pertumbuhan alga kompetitor(pesaing) lamun akan meningkatdan merubah komposisi habitat, dari lamun menjadi habitat yang didominasi oleh alga.

Page 9: Modul 4

64 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Perubahan ini tentu saja akan berdampak pada struktur komunitas dan populasiorganisme penghuni lamun. Peningkatan SST diramalkan akan berdampak padatumbuhan rumput laut (seaweed). Sebagian masyarakat pantai menjadikan budidayarumput laut sebagai usaha tambahan untuk menghidupi keluarga.Walaupun bukanpenghasilan utama, kerugian dari tumbuhan rumput laut bisa berpengaruh padapenghasilan keluarga.Selain habitat, peningkatan suhu permukaan air laut jugaberpengaruh pada sumber hayati spesies. Dampak perubahan suhu diduga akanberpengaruh pada ratio tukik pada penyu, turtle. Penyu selalu meletakkan telur padapasir di pinggir pantai. Peningkatan suhu inkubasi pada sarang, secara teoritis, akanmeningkatkan jumlah tukik betina, dibandingkan jantan. Pada kondisi dewasa, setiapsatu ekor induk betina membutuhkan beberapa induk jantan dalam proses kelengkapansiklus reproduksi (memperkaya keragaman genetik). Perubahan iklim global bisamenimbulkan kondisi yang sebaliknya.

Ringkasnya, ancaman global pada dasarnya terjadi melalui pemanasan globalsuhu permukaan air laut dan asidifikasi. Peningkatan suhu permukaan air laut akanmemberikan dampak negatif pada habitat dan spesies di laut – terumbu karangmengalami bleaching, pembentukan daun dan kemampuan fotosistensis pada tanamanbakau menurun, seagrass burning pada habitat lamun, kematian pada tumbuhan rumputlaut dan perubahan ratio kelamin pada tukik (anak penyu). Bleaching bisa menyebabkankematian binatang karang dan dominasi lumut. Hal ini akan mengurangi fungsi terumbukarang sebagai rumah bagi ikan sehingga produksi ikan karang kemungkinan akanmenurun. Kapasitas produksi petani rumput laut kemungkinan akan berkurang. Halyang sama juga bisa terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur habitat pada bakaudan lamun. Asidifikasi akan melemahkan struktur kerangka kapur pada terumbu karang– bisa terjadi erosi kerangka kapur lebih cepat dibandingkan dengan pembentukankerangka yang sama oleh binatang karang. Hal ini akanmelemahkan fungsi terumbukarang sebagai pelindung pantai. Asidifikasi, pada ikan dan organisme laut lainnya, bisamenyebabkan gejala asidemia, menurunnya pH plasma darah. Pada kondisi seperti initingkat kekebalan ikan dan organisme laut lainnya akan menurun, serta menurunnyakemampuan reproduksi. Dengan demikian, ancaman global akan berdampak negatifpada kemampuan laut untuk menyediakan sumber daya bagi manusia serta menurunnyafungsi laut dalam memberikan jasa ekosistem lainnya.

4.3 Ancaman lokal

Sumber daya hayati laut bisa terancam oleh aktifitas manusia di darat maupun dilaut.Namun dampak dari ancaman tersebut bersifat terlokalisir, pada wilayah yangsangat terbatas di laut – jenis anmacan ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya, disebutancaman lokal(local threats). Pelabuhan, port atau harbour, ialah tempat di pinggirpantai, secara umum kita kenal sebagai lokasi untuk menambatkan perahu atau kapal,menurunkan atau menaikkan barang, atau komoditas perikanan dan lainnya, sebelum

Page 10: Modul 4

65 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012berangkat ke tempat tujuan pelabuhan lain. Karakteristik yang paling spesifik daripelabuhan ialah banyak tumpahan minyak atau sejenisnya yang menutupi permukaan airdi pantai. Tutupan minyak akan mempengaruhi kehidupan organisme dan habitat di lautsekitarnya. Namun tutupan minyak tersebut hanya terkonsentrasi dalam radius terbatas,di sekitar pelabuhan.Pembangunan atau pengembangan pelabuhan dikatakan sebagaisumber ancaman lokal pada organisme dan habitat (sumber daya hayati) laut.Ancamanlokal pada sumber daya hayati laut, pada dasarnya, bisa dibedakan ke dalam kategori:pembangunan di wilayah pantai, konversi lahan pantai, sedimentasi, polusi ataupencemaran, penangkapan destruktif dan penangkapan berlebih.

4.3.1 Pembangunan wilayah pesisir

Hasil kajian ahli pesisir di Asia Tenggara menyatakan, 80% pendudukterkonsentrasi pada wilayah antara 0 – 60 km dari laut. Pembangunan perumahan,fasilitas transportasi, pemanfaatan sumber daya, pariwisata dan pembuangan sampahmaupun limbah akan terkonsentrasi di wilayah pesisir. Semua aktifitas tersebut di atasakan menekan dan mengancam sumber daya habitat dan hayati laut. Kebanyakan darikita pernah berkunjung ke pantai Sanur – lokasi pariwisata kedua di Bali, setelah Kutaatau Legian.Sebelum tahun 1970an, masyarakat melakukan penambangan karang untukbahan bangunan.Bongkahan karang yang diambil dari laut dibakar di pinggirpantai.Belakangan, Sanur menjadi lokasi wisata, termasuk penyelaman (terumbukarang).Secara perlahan, masyarakat menurunkan dan akhirnya menghentikan kegiatanpenambangan karang.Namun dampaknya segera terlihat – pantai mengalami abrasi,daratan terkikis secara perlahan dan tamu hotel merasa terganggu karena bangunan terusdiserang ombak.Contoh kedua bisa dilihat di wilayah Candi Dasa, berjarak sekitar 40km dari Sanur, ke arah timur.Untuk mengurangi serangan ombak, pemerintahmembangun break-water atau pemecah gelombang.Tindakan ini sebenarnya tidakdiperlukan jika terumbu karang terpelihara dengan baik.

Penambangan karang sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia – NusaTenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua, masyarakat melakukanpengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam, baik secara subsisten maupundilakukan untuk tujuan komersial. Walaupun secara terbatas, pemerintah masihmengeluarkan ijin beberapa perusahaan untuk melakukan pengambilan terumbukarang.Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah.Namunpemerintah tidak selalu bisa melakukan pengawasan secara ketat.Akibatnya, seringterjadi pelanggaran dalam aktifitas penambangan terumbu karang.Seorang Kepala Dinasdi Kabupaten Alor pernah dituntut di Pengadilan Negeri karena melarang usahapengambilan karang di wilayahnya.Putusan pengadilan, bahkan, memenangkanpengusaha yang mengambil karang.

Page 11: Modul 4

66 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

Gambar 4.3 Pemukiman di atas hamparan karang, sangat beresiko merusaklingkungan terumbu karang (photo: Misool, Raja Ampat, oleh AndreasMuljadi)

4.3.2 Konversi Lahan

Saat ini, beberapa tempat di dunia, bisa dipelajari secara detail dengantersedianya informasi melalui citra satelite – Google Earth misalnya, menyajikanfasilitas sampai citra geo-eye, hanya beberapa ratus meter dari permukaan daratan.Kalau kita perhatikan pesisir pantai wilayah utara Pulau Jawa melalui Google Earth,bisa dibayangkan wilayah tersebut ditutupi oleh hutan bakau (mangroves) yang sangatlebat.Alasan klasik, tuntutan pembangunan dan teknologi, memaksa konversi hutanbakau menjadi tambak dan peruntukan lainnya.Konversi lahan bakau tidak saja terjadipada wilayah dengan populasi penduduk yang padat.Pemandangan dari pelabuhan udaraBima, Sumbawa, menunjukkan sebagian besar dari hutan bakau sudah dirubah menjadilahan tambak dan kolam garam.

Hutan bakau berfungsi untuk menjebak bahan organik, mejadi perangkap bahanpencemar dan menahan bahan-bahan partikulat sebelum sampai di pantai.Hutan bakaujuga berfungsi sebagai penyangga untuk mencegah intrusi air laut ke arahdaratan.Secara fisik, hutan bakau bisa menahan pantai dari serangan gelombang,tsunami, dan angin topan.Secara ekologis, hutan bakaumerupakan asuhan (nursery

ground) bagi ikan kecil, tempat mencari makan ikan-ikan dari laut dan sebagai lokasipemijahan.Hampir semua hutan bakau pada wilayah pasang surut menghasilkankepiting soka atau kepiting bakau, Scylla serrata (Forskål, 1775).Konversi lahan seringmengorbankan hutan bakau yang ada di pinggir pantai. Jika alih fungsi hutan bakau

Page 12: Modul 4

67 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012dilakukan secara berlebihan, bakau akankehilangan berbagai fungsi seperti tersebut diatas.Ancaman terhadap bakau, dengan kata lain, bisa berdampak negatif pada perikanantangkap, misalnya.

Gambar 4.4 Konserversi lahan bakau yang berubah menjadi tambak udang atau garam. Pada saatyang sama kita juga akan kehilangan potensi perikanan tangkap (photo: Bima,Sumbawa Besar, oleh Peter Mous, TNC)

4.3.3 Sedimentasi

Hasil studi resiko kerusakan terumbu karang di Asia Tenggara mendapatkanbahwa lebih dari 80% lahan di Pulau Jawa dan Bali sudah dibuka untuk berbagaikepentingan yang berbeda. Pembukaan lahan di Pulau Sumatera dan Sulawesi mencapai61 – 80%.Hanya sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Papua yang masih cukupbaik, dengan pembukaan lahan antara 0 – 20%.Pembukaan lahan membuat tanahpermukaan labil dan terbawa bersama air permukaan pada saat hujan.Seluruh bahantersebut hanyut dan sampai di wilayah muara sungai. Dengan semakin berkurangnyalahan bakau, air sungai bersama partikel lumpur akan mengendap pada wilayah littoral

dan paparan benua. Sedimentasi ini menjadi ancaman bagi lingkungan terumbukarang.Sedimentasi menutupi coral polyp dengan partikel lumpur.Kekeruhan olehpartikel lumpur juga menghambat radiasi sinar matahari sehingga tidak bisadimanfaatkan secara optimal oleh zooxanthellae, simbion dari coral polyp.

Habitat terumbu karang yang baik hampir tidak pernah ditemukan dekat denganmuara sungai besar.Hal ini disebabkan karena sungai di Indonesia selalu membawapartikel lumpur dan bahan pencemar lainnya yang membuat habitat terumbu karang

Page 13: Modul 4

68 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012sulit berkembang.Sebaliknya, terumbu karang bisa tumbuh baik pada lokasi pulau-pulaukecil yang relatif tidak memiliki sungai besar. Komodo, Teluk Maumere, Wakatobi danRaja Ampat ialah beberapa wilayah di Indonesia dengan populasi terumbu karang yangmasih relatif baik dan tidak terpengaruh oleh partikel lumpur dari sungai. Hasil studiyang dilakukan oleh Tomascik mendapatkan kedalaman optimal terumbu karang diKepulauan Seribu mencapai 8 – 12 m dari permukaan.Kondisi terumbu karang sehat initerjadi pada tahun 1931 dimana Sungai Ciliwung belum menghasilkan partikel lumpurdan bahan pencemar lainnya dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Setelah pascakemerdekaan dan Jakarta menjadi pusat kota dan ibu kota negara, populasi terumbukarang tidak mencapai kedalaman 12m. Hasil studi yang dilakukan pada tahun 1986mendapatkan bahwa kedalaman optimal terumbu karang di Pulau Seribu hanyamencapai 4 m dari permukaan. Bahkan, studi yang dilakukan pada tahun 1993,kedalaman optimal populasi terumbu karang lebih dangkal dari 4 m. Sedimentasi olehpartikel lumpur dan bahan pencemar lainnya terakumulasi di wilayah Teluk Jakarta,yang dibawa oleh aliran Kali Ciliwung. Partikel lumpur terbawa oleh arus ke arah PulauSeribu.Kekeruhan akibat sedimentasi tersebut membuat terumbu karang tidak bisatumbuh dengan optimal.

Perubahan tata guna lahan di darat bersama sistem pertanian yang tidakberkelanjutan, keduanya menyebabkan pencemaran pada badan dan tangkapanair.Pencemaran tersebut bisa bersifat poin-source yang mudah dilacak maupun non-

point-source yang tidak mudah dilacak.Tipe pencemaran ini biasanya membawa nutrien

secara berlebihan dan menyebabkan eutrofikasi di wilayah muara sungai danpantai.Eutrofikasi berdampak pada pertumbuhan lumut dan alga lain secara berlebihandan mendominasi permukaan perairan. Alga atau lumut menutupi permukaan coral

polyp dan menyebabkan stress atau kematian. Dominasi alga juga mengurangi infiltrasi

sinar matahari yang seharusnya optimal untuk pertumbuhan polyp dan pembentukankerangka kapur.Sumatera, Utara Jawa dan Kalimantan ialah tiga pulau besar diIndonesia yang juga mempunyai muara sungai besar.Meningkatnya pembukaan lahan,perubahan tata guna lahan serta sistem pertanian yang tidak berkelanjutan terusmeningkatkan sedimentasi dan nutrien ke wilayah pesisir pantai.Terumbu karang padamuara sungai dari tiga pulau ini relatif sudah terdegradasi dibandingkan dengan diwilayah timur Indonesia.Contoh nyata yang bisa dilihat ialah pada Taman NasionalKepulauan Seribu, yang berada sangat dekat dengan muara sungai Ciliwung.Berbedadengan Teluk Bintuni di wilayah Papua, dengan pembukaan lahan dan sistem pertanianyang relatif masih konvensiaonal.Laporan beberapa pegiat konservasi kelautan danpemerintah menunjukkan kondisi terumbu karang di sekitarnya masih relatif baik.

Page 14: Modul 4

69 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

Gambar 4.5 Sedimentasi di laut dan beresiko mengancam terumbu karang, sebagai akibat daripembukaan lahan hutan di darat (Foto oleh Peter J. Mous)

4.3.4 Pencemaran Minyak

Beberapa kegiatan manusia yang berbasis di laut dan menyebabkan degradasisumber daya laut, antara lain ialah termasuk: pelabuhan, tumpahan minyak di laut,bangkai kapal yang ditinggalkan pemilik, pembuangan sampah dari atas kapal,pelemparan jangkar tambak (anchor), pembuangan air ballast dan aktifitas pengeboranminyak (di pantai atau lepas pantai). Wilayah sekitar pelabuhan umumnya didominasioleh tiga kategori pencemaran: pembuangan minyak dari limbah pembakaran,pembuangan air ballast dan sampah.Intensitas pencemaran minyak bisa terlihat padapermukaan air laut karena berat jenis minyak yang lebih rendah.Komposisi kimia hidro-

karbon minyak lebih banyak berdampak negatif pada organisme permukaan(pelagis).Lapisan permukaan minyak bisa membentuk micro-film yang berdampak padaserapan energi matahari yang seharusnya bisa diterima oleh zooxanthella pada coral-

polyp. Pembuangan air ballast umumnya mengandung bahan organik dan organismeinfasive yang akhirnya menjadi kompetitor keragaman hayati lokal. Beberapa jeniskapal harus berlabuh dan melemparkan jangkar di luar pelabuhan.Secara fisik, dia bisamerubah struktur dasar perairan di sekitar pelabuhan.

Pada dasarnya, pencemaran di laut bersifat lokal di sekitar sumberpencemaran.Beberapa jenis pencemar, terutama yang tidak bisa diencerkan oleh air laut,terbawa oleh arus laut dan menyebabkan dampak negatif pada area yang lebih

Page 15: Modul 4

70 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012luas.Kejadian-kejadian seperti tumpahan minyak di Selat Malaka yang terjadi karenakaramnya Kapal Showa Maru, pada tahun 1975.Showa Maru menumpahkan sekitar 1juta ton minyak di wilayah perairan Selat Malaka.Tumpahan minyak ini terus meluas,mencemari wilayah perairan laut yang dilewati bersama arus.Beberapa lokasi diIndonesia yang rawan dari pencemaran minyak ialah Selat Malaka, Selat Makasar,Cilacap, Lhokseumawe, Pulau Natuna dan Tanjung Emas (Semarang).Kebocoran bahanradioaktif yang baru saja terjadi di Jepang, diduga meluas sampai di wilayah perairanAmerika Serikat.Beberapa jenis ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan sudahterkena radiasi dan mengkhawatirkan konsumen.

4.3.5 Penangkapan Berlebih

Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan sebagai pengambilansumber daya hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi kemampuan sumber daya untukmelakukan pemulihan secara alami.Indikasi awal penangkapan berlebih ialahberkurangnya stok populasi, dan akhirnya, hasil tangkapan nelayan.Indikasi lainnyaialah pada semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan. Penangkapanberlebih, jelas akan merugikan nelayan dan masyarakat karena potensi sumber dayayang bisa dimanfaatkan akan semakin menurun. Hal ini akan berdampak pada kerugianekonomi masyarakat lokal, bahkan bisa terjadi dalam bentuk hilangnya salah satusumber penghidupan masyarakat pesisir dari penangkapan ikan. Ketika sumber dayamulai berkurang, kita bisa melihat frekuensi konflik diantara nelayan pengguna sumberdaya yang semakin intens.Konflik nelayan di Selat Madura (Jawa Timur) atau di SelatMalaka (Sumatera) ialah dua contoh yang masih kita bisa lihat sampai saat ini.

Sumber daya hayati laut tinggal pada habitat atau ekosistem dan membentuksimbion, satu sama lain saling terkait, membentuk kesimbangan ekosistem.Penangkapan berlebih dari salah satu sumber daya hayati menyebabkan perubahankeseimbangan ekosistem secara biologis – Ikan napoleon, Cheilinusundulatus (Rüppell,1835) dan siput terompet, Charonia tritonis (Linnaeus, 1758) ialah dua jenis spesiesyang dipercaya sudah mengalami penangkapan berlebih.Ikan napoleon diburu karenanilai ekonomisnya yang sangat tinggi pada perdagangan ikan karang hidup diHongkong.Kedua jenis spesies ini diduga merupakan pemangsa telur Crown-Of-

Thorn.Sedangkan Crown-of-Thorn ialah jenis organisme (Echinodermata) yangmenjadi predator coral polyp. Penangkapan berlebih pada ikan napoleon dan siputterompet (triton)akan menyebabkan meledaknya populasi COT secaramendadak.Penangkapan berlebih pada kondisi ini lebih disebut sebagai ecological over-

fishing yang tentu saja berdampak buruk pada ekosistem terumbu karang.Ikan napoleondan siput terompet (triton)sering disebut sebagai keystone species, yang merupakanindikator kesehatan karang.

Beberapa tempat di laut menjadi lokasi perkawinan ikan, sering disingkatSPAGs (Spawning Aggregation Sites). Gili Lawa Laut (Taman Nasional Komodo),

Page 16: Modul 4

71 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Ayau (Raja Ampat), Gebe (Kofiau, Raja Ampat) ialah tempat-tempat yang sudahdisurvei sebagai lokasi potensial perkawinan ikan karang (seperti ikan kerapu). Lokasitersebut umumnya merupakan area yang sangat kecil, pada ujung terumbu luar dansering kali sudah diketahui oleh nelayan.Bahkan nelayan sudah sangat tahu saat,tepatnya, waktu induk-induk berkumpul melakukan pemijahan.Induk-induk tersebutberasal dari tempat berbeda, berkumpul (agregasi) dalam waktu yang singkat danmelakukan pemijahan. Setelah menyelesaikan siklus pemijahan dia akan kembali ketempat aslinya. Karena waktu dan lokasi pemijahan sering diketahui oleh nelayan, bisaterjadi penangkapan berlebih pada induk yang akan melakukan pemijahan. Jikasebagian besar calon induk yang akan memijah tersebut ditangkap nelayan, pemijahantidak terjadi dan tidak ada individu baru pada tahun berikutnya. Penangkapan berlebihtipe ini sering disebut dengan istilahrecruitment over-fishing.

Penangkapan berlebih bisa terjadi dalam beberapa bentuk – growth over fishing,recruitment over-fishing dan ecological over-fishing.Growth over-fishing terlihat darigejala ukuran ikan hasil tangkap yang semakin kecil.Ecological over-fishing

menyebabkan perubahan susunan rakitan spesies yang selanjutnya berdampak padatidak seimbangnya struktur ekosistem.Recruitment over-fishing dicirikan darimenghilangnya individu baru secara mendadak sebagai dampak dari pengurasan indukpotensial.Ketiga jenis penangkapan berlebih ini tentu saja merupakan ancaman bagisumber daya dan keragaman hayati laut.

4.3.6 Penangkapan Destruktif

Penangkapan destruktif ialah jenis kegiatan pengambilan ikan dengan cara ataumetode yang berdampak negatif pada populasi ikan dan habitat atau lingkungan tempattinggal ikan. Penangkapan destruktif disebut juga dengan istilah penangkapan tidakramah lingkungan, Unfriendly Fishing Methods.Peledak (bom ikan, dinamit) dan racunikan (potasium sianida, tuba, akar bore, deris) ialah dua jenis metode penangkapan diIndonesia yang sangat terkenal, tergolong dalam metode destruktif.Trawl atau pukathariamau juga termasuk dalam kategori alat destruktif bersama penangkapan denganmenggunakan strum listrik, electro-fishing.

Dampak dari penangkapan destruktif dibedakan dalam dua kategori, ialah:tertangkapnya ikan non-target dan menyebabkan hasil sampling (by-catch), dankerusakan kolateral. Trawl dan electro-fishing sering kali atau hampir selalumenghasilkan by-catch yang sering kali tidak bermanfaat secara ekonomis dan terpaksaharus dibuang oleh nelayan. Kerusakan kolateral ialah dampak negatif, baik kerusakanhabitat atau ikan-ikan kecil yang tidak pernah bisa dihitung, sebagai akibat dari caraoperasi alat tangkap. Trawl dasar, bom ikan dan racun ikan sering kali menimbulkandampak dalam bentuk kerusakan kolateral ini. Bom ikan umumnya digunakan untukmenangkap ikan pelagis yang bergerombol di atas terumbu karang, seperti ikan ekorkuning, Caesio spp, atau ikan kuwe, Caranx spp. Ledakan oleh bom akan menimbulkan

Page 17: Modul 4

72 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012kerusakan fisik pada terumbu karang, menjadi serpihan kecil yang disebut rubble. Bommenyebabkan perubahan struktur dasar, dari substrat keras (fix) menjadi substrat yanglabil. Pada kondisi seperti ini, terumbu karang akan sulit tumbuh kembali karena bayikarang (planula) selalu membutuhkan subsrat keras untuk menempel.

Trawl, disebut juga Pukat Harimau atau Pukat Hela, lebih banyak dioperasikanpada dasar berpasir atau pasir berlumpur. Dalam operasi, jaring ini menggaruk dasarperairan.Akibatnya, terjadi perubahan struktur dan kualitas habitat dasar yangsebelumnya sangat cocok untuk ikan.Ukuran mata jaring cod-end pada Trawl dibuatberukuran sangat kecil.Hal ini dimaksudkan agar udang, yang menjadi target utamapenangkapan, tertinggal pada jaring cod-end. Namun, pada saat yang sama, ikan-ikanlain yang tidak menjadi target penangkapan juga tertangkap. Sebagian besar ikan-ikanini tidak bernilai ekonomis untuk dibawa ke darat – nelayan harus membuang ikan-ikantersebut ke tengah laut, disebut dengan istilah discard. Untuk mendapatkan 1 kg udang,operasi jaring Trawl di Australia Utara dilaporkan sampai membuang 20 kg ikan hasilsamping atau by-catch.

Ringkasnya, penangkapan dengan alat tangkap atau metode yang tidak ramahlingkungan mengancam keberlanjutan sumber daya dan keanekaragaman hayatilaut.Ancaman tersebut terjadi dalam bentuk tingginya hasil samping dan kerusakankolateral yang ditimbulkan oleh operasi alat.Harus diingat pula bahwa alat tangkapdestruktif juga memberikan kontribusi nyata terjadinya penangkapan berlebih. Jadi, alattangkap destruktif disebut menyebabkan terjadinya double-blow effect, penangkapanberlebih dan pada saat yang sama juga menyebabkan kerusakan habitat potensial bagiikan.

Page 18: Modul 4

73 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

Gambar 4.6 Kerusakan terumbu karang menjadi serpihan kecil (rubble) sebagai akibat daripenggunaan alat tangkap bom ikan (photo: Misool Raja Ampat, oleh Purwanto)

4.4 Prioritas Ancaman

Seperti telah dijelaskan di atas, sumber ancaman pada keanekaragaman hayatilaut bisa dibedakan dalam dua kategori, ialah: ancaman global dan ancaman lokal –ancaman global terjadi dalam bentuk perubahan iklim dengan contoh pemanasan global(global warming) dan hujan asam (acid rain). Ancaman lokal, pada dasarnya dibedakandalam kategori: pembangunan wilayah pesisir, konversi lahan, sedimentasi, pencemarandi laut, penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Pembahasan selanjutnyayang lebih penting ialah untuk menentukan sumber ancaman yang paling penting danmenyebabkan dampak kerusakan yang paling tinggi.

4.4.1 Prioritas Ancaman Terumbu Karang di Asia Tenggara

Suatu komisi di Asia Tenggara, terdiri dari ilmuwan, praktisi, pemerintah danmasyarakat lokal bergabung untuk menentukan prioritas ancaman pada habitat terumbukarang di Asia Tenggara. Sumber ancaman dibedakan dalam lima kategori, ialah:pembangunan di wilayah pesisir, sedimentasi, pencemaran di laut, penangkapanberlebih dan penangkapan destruktif.

Page 19: Modul 4

74 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Pada masing-masing sumber ancaman dibuat komponen atau indikator untuk

menentukan indeks besarnya ancaman. Komponen ancaman untuk sumber ancamanpembangunan di wilayah pesisir ialah: letak kota di wilayah pesisir, jumlah dankepadatan penduduk, kegiatan pertambangan dan jarak dari pesisir pantai. Komponenancaman pada pencemaran laut ialah: keberadaan dan ukuran pelabuhan, keberadaandan ukuran tangki minyak dan jalur pelayaran. Tingkat sedimentasi ditentukan olehkomponen persentase pembukaan lahan (tata guna lahan) di darat, kemiringan lahan dankeberadaan tangkapan sedimen, catchment areas, di muara sungai.Penangkapanberlebih diukur dari komponen jumlah penduduk dalam jarak 10 km dari pantai,Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan konsumsi protein hewani dari ikan.Sedangkankomponen penangkapan destruktif didapat dari konsultasi ahli terkait keberadaan alattangkap bom dan racun.Semua faktor komponen yang bernilai negatif tersebut bisadinetralkan jika terdapat usaha pengelolaan yang efektif (untuk mengurangi ancamandari masing-masing komponen). Besarnya ancaman dibuat dalam skor dan disebutindeks ancaman, dengan kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah.

Besar dan wilayah sebaran ancaman dari masing-masing komponen dan sumberancaman dipetakan pada masing-masing wilayah pesisir dan laut di AsiaTenggara.Penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif ialah dua sumber ancamanyang paling penting dan menyebabkan resiko paling tinggi terhadap kerusakan terumbukarang di Asia Tenggara. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Indonesia dibagian timur (Gambar 3.6). Strategi paling tepat untuk mengurangi ancaman kerusakanterumbu karang di Indonesia ialah dengan menekan insiden penangkapan berlebih danpenangkapan destruktif, tentu saja dengan tidak mengabaikan tiga faktor lainnya.Namunperlu diketahui bahwa usaha yang lebih prioritas harus dilakukan pada kegiatan ataurencana untuk mengurangi penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif.

4.4.2 Dampak Operasi Alat Tangkap pada Terumbu Karang: Studi Kasus

Terumbu karang termasuk ekosistem yang paling produktif, sensitif, menyimpankeanekaragaman sumber daya hayati sangat beragam dan mempunyai nilai gunaekonomi sangat tinggi. Indonesia mempunyai peran sangat penting dalam perlindunganterumbu karang karena posisinya di dalam Coral Triangle. Pada saat yang sama,terumbu karang di Indonesia mengalami ancaman yang sangat serius, terutama darikegiatan penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Suatu penelusuran jeniskegiatan penangkapan yang memberikan prakiraaan dampak penting pada ekosistemterumbu karang dilakukan di wilayah Jawa Timur, sebagai contoh studi kasus.

Page 20: Modul 4

75 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012

Gambar 4.7 Indeks ancaman terhadap terumbu karang di Asia Tenggara (A) dan Indonesia(B) (Sumber: dimodifikasi kembali dari Reef at Risk in Southeast Asia).

A. Metode Perkiraan Dampak

A.1 Kerangka Teoritis

Alat tangkap di Jawa Timur sangat beragam, seperti umumnya karakteristikperikanan di Indonesia. Namun pada dasarnya alat tangkap bisa dibedakan ke dalam 10kategori, yaitu: (1) bubu dan perangkap; (2) rawai dasar; (3) gillnetatau jaring insang;(4) pukat pantai; (5) bom dan compressor sianida; (6) pancing; (7) gillnet; (8) dogol; (9)rawai permukaan; dan (10) pukat cincin. Masing-masing kategori alat tangkap bisamenyebabkan penangkapan berlebih (over-fishing) atau penangkapan destruktif

Page 21: Modul 4

76 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012(penangkapan merusak) pada tingkatan yang berbeda. Penangkapan berlebih ataupenangkapan destruktif terhadap ekosistem terumbu karang terjadi melalui salah satuatau kombinasi mekanisme berikut: (1) kerusakan kolateral; (2) hasil sampling (By-

catch); (3) perubahan rakitan spesies; dan (4) alat non-selektif.

Kerusakan kolateral didefinisikan sebagai kerusakan lingkungan habitat danikan yang terjadi sebagai akibat dari cara operasi suatu alat tertentu pada ekosistemterumbu karang. Setiap alat tangkap selalu ditujukan untuk menangkap ikan tertentuyang disebut target spesies. Dalam operasi penangkapan, alat tangkap sering menangkapikan-ikan lain secara insidental, selain ikan target. Ikan-ikan non-target yang tertangkapsecara insidental dari operasi alat tangkap tertentu disebut hasil samping atau by-catch.Hasil samping atau by-catch didefinisikan sebagai operasi alat tangkap tertentu yangmendapatkan hasil sampling (by-catch), walaupun tidak diinginkan, melebihi biomassdari ikan target spesies. Rakitan spesies didefinisikan sebagai operasi alat tangkap yangmenyebabkan pengurangan suatu spesies tertentu secara berlebihan sehinggamenyebabkan berubahnya struktur rantai makanan pada ekosistem terumbu karang. Halini sering terjadi jika alat tangkap mempunyai target spesies yang berada pada puncakrantai makanan. Alat tangkap non-selektif didefinisikan sebagai operasi satu jenis alattangkap yang mengambil hampir semua jenis dan semua ukuran dari ikan yang beradadi dalam lingkungan terumbu karang.

Besarnya dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing alat tangkappada ekosistem terumbu karang atau spesies dalam terumbu karang ditentukanberdasarkan ukuran scope (luasan dampak), severity (tingkat keparahan kerusakan yangditimbulkan pada terumbu karang) dan irreversibility (ketidak berbalikan dari ekosistemterumbu karang).

Scope – cakupan atau luasan dampak, didefinisikan sebagai proporsi (spasial)kerusakan ekosistem terumbu karang (dalam skala luasan) yang disebabkan olehkegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-

catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), selama 10 tahunmendatang (diukur dari kondisi saat ini). Kategori Scope dibedakan sebagai berikut:

Sangat Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang sangat luas(pervasive), memengaruhi sebagian besar atau seluruh (71-100%) ekosistemterumbu karang.

Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang luas (widespread)memengaruhi sebagian besar (31-70%) ekosistem terumbu karang.

Sedang: dampak kerusakan mencapai beberapa bagian (11-30%) dari ekosistemterumbu karang

Rendah: dampak kerusakan mencapai cakupan yang terbatas, memengaruhisebagian kecil (1-10%) dari ekosistem terumbu karang.

Page 22: Modul 4

77 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Severity – keparahan, didalam scope (spasial), didefinisikan sebagai besarnya(keparahan) dampak kerusakan pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan olehkegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-

catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), jika penangkapan terusterjadi selama periode 10 tahun ke depan (dari kondisi saat ini). Tingkat keparahankerusakanan pada ekosistem terumbu karang, didefinisikan sebagai tingkat kerusakanatau degradasi dari terumbu karang yang ada di dalam scope. Untuk spesies di dalamekosistem terumbu karang, keparahan diukur sebagai tingkat penurunan populasi yangada di dalam scope. Kategori Severity dibedakan sebagai berikut:

Sangat Tinggi: didalam scope, dampak bisa merusak atau menghilangkanekosistem terumbu karang, atau mengurangi jumlah populasi spesies sebesar 71-100% dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang.

Tinggi: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistemterumbu karang secara nyata, atau mengurangi jumlah populasinya sebesar 31-70% dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Sedang: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistemterumbu karang dalam skala sedang, atau mengurangi jumlah populasinyasebesar 11-30% dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Rendah: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistemterumbu karang relatif rendah, atau mengurangi populasi sebesar 1-10% dalamkurun waktu sepuluh tahun.

Irreversibility: ireversibilitas, ketidak berbalikan, didefinisikan sebagai tingkat yangmenunjukkan besarnya pengaruh aktifitas penangkapan (melalui mekanisme kerusakankolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-

selektif) yang menyebabkan ekosistem terumbu karang atau spesies penghuni terumbukarang tidak bisa dipulihkan kembali. Kategori irreversibility dibedakan sebagaiberikut:

Sangat Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan tidak bisadibalikkan dan hampir tidak mungkin bagi terumbu karang untuk dipulihkan,dan/atau akan memakan waktu lebih dari 100 tahun untuk mencapai hal ini(misalnya, seluruh area terumbu karang dibom yang menyebabkan permukaansubstrat dasar tidak stabil)

Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan secarateknis dan ekosistem terumbu karang bisa dipulihkan, tetapi secara finansial

tidak praktis untuk dilakukan dan/atau akan memakan waktu antara 12 sampai100 tahun untuk mencapai hal ini (misalnya sebagian besar wilayah terumbukarang tertutup partikel sedimentasi)

Sedang: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan danekosistem terumbu karang bisa dipulihkan dengan adanya komitmen sumber

Page 23: Modul 4

78 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012daya secara wajar dan/atau membutuhkan waktu antara 6 – 20 tahun untukkembali (misalnya, penangkapan berlebih terhadap ikan karang pada tingkatanterbatas)

Rendah: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan denganmudah dan ekosistem terumbu karang bisa dengan mudah dipulihkan denganbiaya yang relatif rendah dan/atau dalam kurun waktu 0 – 5 tahun (misalnya,penangkapan berlebih terhadap ikan pelagis pada tingkatan yang terbatas –contoh lain misalkan kerusakan terumbu karang akibat yang ditimbulkan olehpenyelam pemula)

A.2 Penentuan Besarnya Dampak (Impact Rating)

Penentuan besarnya prakiraan dampak kegiatan penangkapan oleh masing-masing alat tangkap di Jawa Timur secara akumulatif, ditentukan dari pembobotanmasing-masing mekanisme terjadinya kerusakan terumbu karang dan besaran kerusakanyang ditimbulkan (scope, severity dan irreversibility). Untuk memudahkan pembahasan,masing-masing komponen diberi bobot yang sama (kenyataan di lapang tidak selalusama).

Setiap dampak dibedakan menjadi empat kategori: Sangat Tinggi, Tinggi,Sedang, dan Rendah. Masing-masing kategori diberi nilai secara numerikal – sangattinggi setara dengan nilai = 4, tinggi = 3, sedang = 2, dan rendah = 1. Rata-rata besarandampak dari suatu mekanisme kerusakan terumbu karang, dengan demikian akanbervariasi antara 1 – 4. Jika masing-masing besaran dampak (scope, severity danirreversibility) masuk dalam kategori sangat tinggi, maka rata-rata besaran dampak = 4,yaitu 12/3. Impact Rating didefinisikan sebagai nilai rata-rata antara nilai besaran dalamscope, severity dan irreversibility. Kategori impact rating juga dibedakan menjadiempat, yaitu: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 – 3,25), sedang (1,75 – 2,50) danrendah (< 1,75).

Besarnya dampak suatu kegiatan penangkapan terhadap kerusakan ekosistemterumbu karang ditentukan secara bersama melalui mekanisme kerusakan yangditimbulkan, yaitu: kerusakan kolateral, hasil sampling (by-catch), perubahan rakitanspesies dan alat tangkap non-selektif. Besaran ini disebut Dampak Akumulatif (DA)suatu kegiatan penangkapan terhadap ekosistem terumbu karang.Nilai DA didefinisikansebagai rata-rata antara mekanisme kerusakan kolateral, hasil sampling (by-catch),perubahan rakitan spesies dan alat non-destruktif. Dampak Akumulatif juga dibedakanke dalam empat kategori, ialah: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 – 3,25), sedang (1,75– 2,50) dan rendah (< 1,75).

Semua informasi di atas bisa dibuat dalam satu tabel pendugaan perkiraandampak kerusakan terumbu karang oleh kegiatan penangkapan ikan seperti disajikanpada Tabel 3.1.Walaupun semua ketentuan besaran sudah didefinisikan secara tangible

Page 24: Modul 4

79 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012(terukur), pengisian nilai dalam tabel hanya bisa dilakukan oleh ahli (expert judgment)atau praktisi yang bekerja dalam bidang pengelolaan perikanan atau sumber daya alam.

Tabel 4.1 Format isian untuk mengukur perkiraan dampak kerusakan ekosistemterumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan di Jawa Timur (kategorialat tangkap disintesis dari DJP, 1975 dan Yamamoto, 1980)

No. Alat TangkapMekanismeKerusakan Karang

Besaran Dampak: ImpactRatingScope Severity Irreversibility

1 Bubu dan Perangkap Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang

2 Rawai dasar Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang

3 Gillnet dasar Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Gillnet dasar terhadap terumbu karang

4 Pukat pantai Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang

5 Bom & komp. sianida Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang

6 Pancing (hook & line) Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Pancing terhadap terumbu karang =

7 Gillnet pertengahan Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Gillnet pertengahan terhadap terumbu karang

8 Dogol Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang =

9 Rawai permukaan Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang =

Page 25: Modul 4

80 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012No. Alat Tangkap

MekanismeKerusakan Karang

Besaran Dampak: ImpactRatingScope Severity Irreversibility

10 Pukat cincin Kerusakan KolateralBy-catch/hasil sampingRakitan spesiesAlat non-selektifPerkiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang =

B. Pendugaan Kerusakan Terumbu Karang: Kasus Di Jawa Timur

Untuk menguji kesesuaian metode prakiraan dampak kerusakan terumbu karangyang dikembangkan seperti tersebut di atas, form isian pada Tabel 3.1 dicobakan diFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang.

B.1 Responden

Pengisian form isian pada Tabel 3.1 memerlukan penjelasan yang cukupmendalam terhadap masing-masing istilah yang digunakan dalam tabel. Hal inimemerlukan diskusi yang cukup lama dengan responden. Untuk menghindari keragu-raguan dalam memilih nilai yang tepat, pengujian melibatkan responden yang terbatas.Staf pengajar Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, bersama mahasiswasenior pada program studi yang sama telah dipilih secara selektif untuk mengisi Tabel3.1. Seleksi dilakukan berdasarkan kriteria: kemauan dan ketertarikan responden untukmeluangkan waktu dan terlibat dalam diskusi, semua responden mempunyaipengalaman yang cukup untuk mengetahui proses operasi masing-masing alat tangkapyang terdapat pada Tabel 3.1, responden memahami semua definisi istilah yangdigunakan dalam penentuan ukuran perkiraan dampak, dan masing-masing respondenmempunyai kedudukan yang sama dalam berbagi informasi maupun dalam memutuskanmasing-masing nilai skor. Dari total responden, hanya satu orang yang berjenis kelaminwanita, dari mahasiswa. Staf Pengajar yang mempunyai kekhususan alat tangkap(fishing gear) semuanya berjenis kelamin pria, sehingga proporsi sex responden tidakseimbang.

B.2 Pengisian Skor pada Tabel

Responden mendapat penjelasan kriteria seleksi sehingga mereka terpilihsebagai responden. Semua responden diberi form isian seperti pada Tabel 3.1. Diskusitahap pertama dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang sama (diantararesponden) tentang 10 kategori alat tangkap yang terdapat pada Tabel. Selanjutnya,peneliti memberikan penjelasan terhadap masing-masing definisi istilah yang digunakanpada Tabel (kerusakan kolateral, hasil sampling atau by-cath, perubahan rakitan spesies,alat tangkap non-destruktif, scope, severity dan irreversibility). Peneliti jugamenjelaskan kisaran nilai pada Impact Rating dan Dampak Akumulatif (DA) darimasing-masing alat tangkap.

Page 26: Modul 4

81 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Pada tahap selanjutnya, masing-masing responden diminta untuk mengisi Tabel

sesuai dengan infromasi terbaik yang mereka miliki saat ini (best information

available). Pengisian Tabel 3.1 dilakukan oleh masing-masing responden berdasarkanpersepsi kepakaran mereka (expert judgment). Data isian oleh mahasiswa mendapatperlakukan yang sama (tidak dibedakan) dengan tabel isian yang dilakukan oleh stafpengajar (dosen).

Semua form yang sudah diisikan dikumpulkan oleh enumerator. Selanjutnya,semua responden diminta untuk menyatukan persepsi untuk mengisi Tabel 3.1 secarabersama. Melalui diskusi dan argumentasi, masing-masing responden harus bisamenerima pilihan suatu nilai berdasarkan pilihan suara terbanyak dari responden,walaupun pilihan nilai tersebut berbeda dengan yang diisi oleh responden sebelumnya.

C. Hasil Penilaian Persepsi

Tabulasi hasil pengisian Tabel 3.1 oleh responden menunjukkan kecenderunganpenilaian yang sama – data mengumpul pada suatu tempat. Namun masih ada beberapaperbedaan dalam menilai beberapa alat. Perbandingan tersebut berkisar antara 1:5 dan2:4. Hal ini diduga karena masih adanya perbedaan persepsi diantara responden karenaperbedaan latar belakang pengetahuan mereka. Perbedaan penilaian terjadi pada alattangkap bubu/perangkap dan pukat cincin.

Setelah dilakukan diskusi lebih lanjut, semua responden sepakat untukmemberikan satu penilaian terhadap masing-masing alat, mekanisme kerusakan danbesaran dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem terumbu karang (scope, severity

dan irreversibility). Tabulasi hasil kesepakatan responden disajikan pada Tabel 3.2.

Hasil perhitungan Impact Rating (IR) dan Dampak Akumulatif (DA)mendapatkan bahwa alat tangkap pukat pantai dan bom & kompresor sianidamenyebabkan dampak kerusakan sangat tinggi terhadap ekosistem terumbu karang.Nilai DA pada pukat pantai mencapai 3,33, sedangkan alat tangkap bom & kompresorsianida mencapai 4,00. Semua responden sepakat bahwa bom dan kompresor sianidamenyebabkan dampak kerusakan paling tinggi terhadap ekosistem terumbu karang.Penangkapan destruktif dengan menggunakan bom dan racun sianida merupakanmasalah yang sangat kronis bagi perikanan tangkap di Indonesia. Walaupun sudahdilarang dan dinyatakan sebagai alat tangkap ilegal yang melanggar hukum, praktekpenangkapan dengan menggunakan alat tangkap jenis ini masih banyak dilakukannelayan.

Tabel 4.2 Tabulasi penilaian prakiraan dampak (kerusakan) dari 10 jenis alat tangkapyang umum di Jawa Timur terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang

No. ALAT TANGKAPMEKANISMEKERUSAKAN ALAT

BESARAN DAMPAK IMPACTRATINGSCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY

1 Bubu danPerangkap

Kerusakan Kolateral 2 2 2 2,00

By-catch/hasil samping 2 1 1 1,33Rakitan spesies 1 2 1 1,33

Page 27: Modul 4

82 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012No. ALAT TANGKAP

MEKANISMEKERUSAKAN ALAT

BESARAN DAMPAK IMPACTRATINGSCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY

Alat non-selektif 1 2 1 1,33Perkiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang 1,58

2 Rawai dasar Kerusakan Kolateral 2 2 1 1.67By-catch/hasil sampling 2 1 1 1.33

Rakitan spesies 2 1 1 1.33Alat non-selektif 2 2 2 2.00Perkiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang 1.58

3 Gillnet dasar Kerusakan Kolateral 1 3 2 2.00By-catch/hasil sampling 2 2 2 2.00Rakitan spesies 2 2 2 2.00Alat non-selektif 1 2 1 1.33Perkiraan DA alat Gillnet dasar terhadap terumbu karang 1.83

4 Pukat pantai Kerusakan Kolateral 4 4 4 4.00By-catch/hasil sampling 3 4 3 3.33Rakitan spesies 3 3 3 3.00Alat non-selektif 4 3 3 3.33Perkiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang 3.42

5 Bom & comp.sianida

Kerusakan Kolateral 4 4 4 4.00By-catch/hasil sampling 4 4 4 4.00Rakitan spesies 4 4 4 4.00Alat non-selektif 4 4 4 4.00Perkiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang 4.00

6 Pancing (hook &line)

Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00By-catch/hasil sampling 1 2 1 1.33

Rakitan spesies 1 1 2 1.33Alat non-selektif 1 1 1 1.00Perkiraan DA alat Pancing (hook & line) terhadap terumbu karang 1.17

7 Gillnetpertengahan

Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00By-catch/hasil sampling 2 1 2 1.67Rakitan spesies 1 1 1 1.00Alat non-selektif 1 1 1 1.00Perkiraan DA alat Gillnet pertengahan terhadap terumbu karang 1.17

8 Dogol Kerusakan Kolateral 3 4 3 3.33By-catch/hasil sampling 2 3 3 2.67Rakitan spesies 2 3 3 2.67Alat non-selektif 3 3 3 3.00Perkiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang = 2.92

9 Rawaipermukaan

Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00By-catch/hasil sampling 2 1 1 1.33Rakitan spesies 1 1 1 1.00Alat non-selektif 1 1 1 1.00Perkiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang = 1.08

10 Pukat cincin Kerusakan Kolateral 1 2 3 2.00By-catch/hasil sampling 3 3 4 3.33Rakitan spesies 2 3 3 2.67Alat non-selektif 3 4 4 3.67Perkiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang = 2.92

Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap terhadap ekosistemterumbu karang secara berurutan ialah sebagai berikut:

Page 28: Modul 4

83 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012No. ALAT TANGKAP

NILAIDAMPAKAKUMULATIF(DA)

BESARANDAMPAK

1 Bom & kompresorsianida

4,00 Sangat Tinggi

2 Pukat pantai 3,33 Sangat Tinggi3 Dogol 2,92 Tinggi4 Pukat cincin 2,92 Tinggi5 Gillnet dasar 1,83 Sedang6 Bubu dan perangkap 1,58 Rendah7 Rawai dasar 1,58 Rendah8 Pancing (hook & line) 1,17 Rendah9 Gillnet pertengahan 1,17 Rendah10 Rawai permukaan 1,08 Rendah

Semua responden menyatakan bahwa metode perkiraan dampak (kerusakan) inimerupakan pendekatan baru bagi mereka untuk menilai dampak kegiatan perikanantangkap terhadap lingkungan. Hal ini sesuai dengan perubahan paradigma pengelolaanperikanan, dari berbasis spesies menuju pada basis ekosistem. Undang Undang No. 31tahun 2004 tentang Perikanan juga menyatakan pergeseran kebijakan pengelolaanperikanan ke arah basis ekosistem melalui Kawasan Konservasi Perairan (KKP).

Semua responden menyatakan bahwa semua variabel sudah didefinisikandengan jelas, termasuk: kerusakan kolateral, hasil sampling, perubahan rakitan spesies,alat non-selektif, scope, severity dan irreversibility. Namun responden masih mengalamikesulitan untuk menentukan nilai terhadap masing-masing alat tangkap (expert

judgment). Hal ini disebabkan karena pengetahuan responden tentang alat tangkap dankerusakan yang ditimbulkan akibat operasi alat masih beragam. Untuk mengurangi bias,mereka menyarankan untuk menambah jumlah responden (sample), walaupun hal iniakan berdampak pada kesulitan dalam penyamaan persepsi, setelah pengisian form isian(Tabel 3.1).

4.5 Daftar Pustaka:

Adhuri, D. S., 1998. Who can Challenge Them? Lessons Learned from Attempting to

Curb Cyanide Fishing in Maluku, Indonesia. Live Reef Fish Information

Bulletin4: 12-17.

Burke, L., E. Selig, & M. Spalding, 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. Washington

D.C., USA, World Resource Institute.

IPCC, 2007. Climate Change 2007 The Physical Science Basis. New York, USA,

Cambridge University Press.

Page 29: Modul 4

84 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 2012Kura, Y., C. Revenga, E. Hoshino, & G. Mock, 2004. Fishing for Answers: Making

Sense of the Global Fish Crisis. Washongton, DC, World Resource Institute.

Lowe, C., 2002. Who is to blame? Logics of responsibility in the live reef food fish trade

in Sulawesi, Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin10: 7-16.

Mous, P. J., L. Pet-Soede, M. Erdmann, H.S.J. Cesar, Y. Sadovy & J.S. Pet, 2000.

"Cyanide fishing on Indonesian coral reefs for the live food fish market - what is

the problem." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 7: 20-27.

UNEP-WCMC, 2006. In the front line: shoreline protection and other ecosystem

services from mangroves and coral reefs. Cambridge, UK, UNEP-WCMC: 33.

Wilson, S. K., R. Fisher, M.S. Pratchett, N.A.J. Graham, N.K. Dulfy, R.A. Turner, A.Caka Caka, N.V.C. Polunin, & S.P. Rusthon, 2008. Exploitation and habitat

degradation as agents of change within coral reef fish communities.Global

Change Biology14: 2796–2809.

4.6 Latihan Soal:

1. Perubahan iklim global melalui global warming berdampak negatif padastruktur populasi penyu. Bagaimana proses yang menjelaskan hal ini?

2. Peneliti meramalkan bahwa terumbu karang ialah ekosistem di laut yangpaling pertama akan terkenan dampak dari global warming, melaluibleaching. Jelaskan mekanisme terjadinya proses bleaching masal yangterkait dengan kemampuan terumbu karang untuk pulih (resilience) dariancaman

3. Apa karakteristik yang membedakan antara ancaman global dan ancamanlokal pada sumber daya hayati laut?

4. Sumber daya hayati laut mengalami berbagai jenis ancaman yangdisebabkan oleh manusia (ancaman lokal). Jika anda ialah seorang pengelolaperikanan atau praktisi konservasi, jenis ancaman mana yang menjadiprioritas utama untuk diatasi pertama kali? Apa alasan anda untuk memilihancaman prioritas tersebut?

5. Jelaskan proses terjadinya seagrass burning dan pengaruhnya pada populasiikan beronang, Siganus spp.

6. Susunlah prioritas kerusakan yang ditimbulkan oleh beberapa aktifitasberikut pada habitat di pesisir pantai: pembangunan pemukiman di wilayahpesisir, pelabuhan pelayaran dan perikanan, pembukaan lahan hutan untukpertanian dan pemukiman, penangkapan destruktif dan penangkapanberlebih.

Page 30: Modul 4

85 Wiadnya, Setyohadi, Sutjipto, Sukandar, Lelono, Saputra. Kontak: [email protected]

Mata Kuliah KSDKP FPIK/University of Brawijaya: 20127. Sebutkan salah satu contoh penangkapan berlebih yang menimbulkan

dampak ecological over-fishing;

8. Buat deskripsi tentang proses terjadinya recruitment over-fishing;

9. Alat tangkap om ikan dan pukat pantai ialah dua jenis alat tangkap yangmenimbulkan dampak kerusakan besar pada terumbu karang. Jelaskanbagaimana proses ini bisa terjadi

10. Jelaskan yang dimaksud dengan double-blow effect pada alat tangkapdestruktif