Meningitis Purulenta

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis purulenta merupakan infeksi purulen akut di ruang subarakhnoid yang diikuti oleh reaksi inflamasi sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan koma, aktivitas kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark iskemik. Menings, ruang subarakhnoid, dan parenkim otak dapat terlibat dalam proses reaksi inflamasi ini. Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan predileksi usia sangat muda dan sangat tua. Meningitis purulenta merupakan penyakit di seluruh dunia dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi yang berkisar antara 10-30%. Angka mortalitasnya yaitu 5% pada anak, 25% pada neonatus, dan 25% pada dewasa. Di Amerika Serikat, pada penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa insidensi penyakit ini telah berkurang sebanyak 0,2 kasus per 100.000 populasi, terutama disebabkan oleh peningkatan penggunaan vaksin meningokokus. Dimana saja di seluruh dunia, angka insidensi tetap tinggi terutama di negara berkembang seperti Afrika Barat dimana dijumpai 213.658 kasus meningitis yang menyebabkan 21.830 orang meninggal antara tahun 1996-1997. 1

description

meningitis purulenta (neurologi)

Transcript of Meningitis Purulenta

Page 1: Meningitis Purulenta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningitis purulenta merupakan infeksi purulen akut di ruang

subarakhnoid yang diikuti oleh reaksi inflamasi sistem saraf pusat yang dapat

menyebabkan koma, aktivitas kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark

iskemik. Menings, ruang subarakhnoid, dan parenkim otak dapat terlibat dalam

proses reaksi inflamasi ini. Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan

predileksi usia sangat muda dan sangat tua.

Meningitis purulenta merupakan penyakit di seluruh dunia dengan tingkat

mortalitas dan morbiditas yang tinggi yang berkisar antara 10-30%. Angka

mortalitasnya yaitu 5% pada anak, 25% pada neonatus, dan 25% pada dewasa. Di

Amerika Serikat, pada penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa insidensi

penyakit ini telah berkurang sebanyak 0,2 kasus per 100.000 populasi, terutama

disebabkan oleh peningkatan penggunaan vaksin meningokokus. Dimana saja di

seluruh dunia, angka insidensi tetap tinggi terutama di negara berkembang seperti

Afrika Barat dimana dijumpai 213.658 kasus meningitis yang menyebabkan

21.830 orang meninggal antara tahun 1996-1997.

Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari

septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodrom atau gejala awalnya berupa

infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di

nasofaring. Baik menimgokokus, hemofilis influenza maupun pneumokokus dapat

menjadi penyebab otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi

dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.

Meningitis purulenta termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan

inflamasi menings sebagai bentuk respon imun tubuh tehadap infeksi bacterial.

Bila tidak ditangani, mortalitasnya sampai 100%, meskipun sudsh diobati dengan

antibiotik, insiden kematian mencapai 5-10%. Di dunia, resiko timbul sequel

neurologis pada pasien mencapai 20%. Diagnose sedini mungkin dan penanganan

tepat sangat diperlukan.

1

Page 2: Meningitis Purulenta

Yang masih menjadi pertanyaan di antara komunitas medis yaitu

bagaimana terapi untuk meningitis purulenta yang efektif bagi anak dan dewasa

yang mengalami penyakit ini untuk meminimalisasi komplikasi dan permasalahan

yang berhubungan seperti kehilangan pendengaran dan sekuele neurologis.

Komplikasi jangka panjang, seperti defisit kognitif, epilepsi, hidrosefalus, dan

tuli, yang dialami oleh seperempat pasien. Antibiotik telah menjadi standar terapi

bagi pasien, tetapi penggunaan terapi kortikosteroid ajuvan masih dipertanyakan.

2

Page 3: Meningitis Purulenta

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi

Menings

Otak dan medulla spinalis diselimuti meningss yang melindungi struktur

saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal.

Meningss terdiri dari tiga lapis, yaitu:

1. Lapisan Luar (Durameter)

Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,

medulla spinalis, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi

lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak

(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan

tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan

diafragma sella.

2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)

Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan

durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi

cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara

durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan

jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah

arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan menings serta

dipenuhi oleh cairan serebrospinal.

3. Lapisan Dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah

kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini

melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan

diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang

ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak

ke sumsum tulang belakang.

3

Page 4: Meningitis Purulenta

Gambar 1. Meningss

2.2. Meningitis Purulenta

4

Page 5: Meningitis Purulenta

2.2.1. Definisi

Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang

bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh

bakteri spesifik maupun virus. Meningitis purulenta merupakan infeksi SSP pada

meanings dengan penyebab utama bakteri non spesifik (Haemophilus influenza

tipe B/ Hib, Streptococcus pneumonia, etc) yang ditandai dengan demam bersifat

akut (>38oC rektal atau 38oC aksilar) disertai dengan satu atau lebih gejala

misalnya kaku kuduk, penurunan kesadaran dan tanda Kernig atau Brudzinski.

2.2.2. Epidemiologi

Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena

sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. Puncak insidensi kasus

meningitis karena Haemophilus influenzae di negara berkembang adalah pada

anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak

usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk

Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus

meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia <

5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan vaksin,

Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate

meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.

Di Indonesia sendiri kasus tersangka meningitis purulenta sekitar

158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain

67/100.000, angka yang tinggi bila dibandingkan dengan negara maju.

Penyebab utama meningitis purulenta adalah Haemophilus influenzae tipe

B (Hib) dan Streptococcus pneumonia (invasive pneumococcal disease/IPD).

Insiden meningitis purulenta di negara maju sudah menurun sebagai akibat

keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-

ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan

jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara

yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Insidensi tertinggi

5

Page 6: Meningitis Purulenta

terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis belt, yang luas

wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara.

Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per

100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik. Di daerah

Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh

Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.

Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus-

kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika Utara

insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi

sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim kering.

Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerang

bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri

Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan yang

berkulit putih.

2.2.3. Etiologi

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal

dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan

gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.

Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan

umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli,

S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun

(balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.

Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria

meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)

disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan

Listeria.

Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus,

Pneumococcus dan Haemophilus influenza. Meningitis Meningococcus yang

sering mewabah di kalangan jemaah haji dan dapat menyebabkan karier

disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,B,C,X,Y,Z dan W 135. Grup

6

Page 7: Meningitis Purulenta

A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan Amerika Latin,

grup B dan C sebagai penyebab utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya

adalah grup A. Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi

selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup

W135 dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis

Meningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan oleh serogroup W135.

Secara epidemiologi serogrup A,B,dan C paling banyak menimbulkan penyakit.

2.2.4. Patogenesis

Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita

dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan

cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada

penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui

pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk

secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan

memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput

otak dan otak.

Proses terjadinya meningitis purulenta melalui jalur hematogen dengan

tahap-tahap:

1. Bakteri melekat pada sel epitel nasofaring (kolonisasi)

2. Bakteri menembus rintangan mukosa

3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit

dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakterimia

4. Bakteri masuk untuk beberapa hari pertama penyakit. Bakteri ini resisten

terhadap penisilin, kurang lebih dalam 30-35% kasus merupakan Hib resisten

penisilin. 30 % memiliki sekuele yang lama. Pemberian dexametasone

sebagai pengobatan awal mengurangi mobiditas dan sekuele.

7

Page 8: Meningitis Purulenta

Gambar 2. Patogenesis

Langkah - langkah patogenesis meningitis bakteri :

1. kolonisasi bakteri

2. menginvasi aliran darah

3. sisanya akan memperbanyak diri

4. menyebabkan bakterimia, melalui aliran darah dan otak.

5. menginvasi menings dan sistem saraf pusat

6. selanjutnya, bakteri dapat menginduksi dan meningkatkan permeabilitas

darah, pembatas otak

7. pleocytosis

8. menyebabkan edema dan meningkatkan tekanan intracranial

9. melepaskan senyawa proinflamasi dari infeksi sel darah putih dan sel

inang lainnya.

10. akhirnya, proses ini menyebabkan cedera neuronal.

8

Page 9: Meningitis Purulenta

Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan

organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya di abses otak, otitis

media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman

bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi

bedah otak. Invasi kuman-kuman kedalam ruang sub arakhnoid menyebabkan

reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS (cairan serebrospinal) dan sistem

ventrikulus.

Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami

hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit

polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.

Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu

kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar

mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam

terdapat makrofag.

Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan

dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-

neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen

menyebabkan kelainan kranialis.

2.2.5. Manifestasi Klinis

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat

pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara

akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang,

nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan

fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan

penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 %

oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan

dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas,

penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,

malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh

atau purulen.

9

Page 10: Meningitis Purulenta

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis meningitis purulenta ditegakkan dari anamnesis serta

pemeriksaan fisik dan dibantu oleh pemeriksaan laboratorium serta radiologis.

Saat datang ke rumah sakit, kebanyakan pasien telah mengalami meningitis

selama 1-7 hari. Gejala yang dialami termasuk demam, konfusi, muntah, nyeri

kepala, serta kekakuan pada leher.

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya demam dan tanda-tanda

infeksi parameningeal sistemik, seperti abses kulit atau otitis. Ruam petekie

dijumpai pada 50-60% pasien dengan meningitis N meningitides. Tanda iritasi

meningeal dijumpai pada sekitar 80% kasus, tetapi sering tidak dijumpai pada

pasien yang terlalu muda dan terlalu tua, atau dengan kesadaran yang terganggu

sebelumnya. Tanda-tanda tersebut yaitu kaku kuduk pada fleksi pasief, fleksi paha

saat memfleksikan leher (tanda Brudzinski), dan tahanan pada ekstensi pasif dari

lutut dengan fleksi sendi panggul (tanda Kernig). Tingkat kesadaran, jika berubah,

dalam rentang konfusi ringan sampai koma. Tanda neurologis fokal, kejang, dan

paralisis nervus kranialis dapat dijumpai.

2.2.7. Diagnosa banding

Selain S.pneumoniae, N.meningitidis, dan Hib banyak mikroorganisme lain

yang dapat menyeluruh di SSP dengan manifestasi klinis yang sama. Organisme

ini antara lain bakteri atipik seperti M.tuberculosis, Nocardia spp, Treponema

pallidum (Sifilis), jamur (Histoplasma) dan infeksi oportunistik (Candida,

Cryptococcus, dan Aspergillus), parasit seperti Toxoplasma Gondinii dan

penyebab Cysticercosis, serta virus. Infeksi fokal dari SSP seperti abses otak dan

abses parameningeal (empiema subdural, abses epidural dan cranial) juga dapat

disalahkelirukan dengan meningitis. Penyakit non infeksi, antara lain keganasan,

sindrom kolagen vascular, dan eksposur dengan racun atau zat toksik.

Untuk menentukan penyebab spesifik dari infeksi SSP dapat difasilitasi

dengan pemeriksaan teliti dari CSF dengan pewarnaan spesifik (karbol fusin

Kinyon untuk micobacteria, Tinta india untuk jamur), sitologi, deteksi antigen

(Cryptococcus), serologi (sifilis, arbovirus), kultur virus (enterovirus), dan PCR

10

Page 11: Meningitis Purulenta

pada herpes simpleks dan enterovirus. Pemeriksaan diagnotik lain yang bernilai

antara lain kultur darah, CT dan MRI dari otak, tes serologi, serta biopsy otak.

Meningitis virus akut adalah yang paling sulit dibedakan dengan meningitis

bakterial. Meskipun dari klinis memiliki gejala lebih ringan dibandingkan

meningitis purulenta, namun beberapa anak dengan meningitis purulenta juga

mungkin memiliki gejala dan tanda yang lebih ringan, sementara meningitis viral

kadang lebih berat. Sehingga pemeriksaan CSF sangat diperlukan.

2.2.8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan

protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan

tekanan intrakranial. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,

cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,

kultur (+) beberapa jenis bakteri.

Dapat dijumpai adanya defisit fokal dengan bukti peningkatan sel dari

250-100.000 sel/mm3, tetapi biasanya 1000-10.000 sel/mm3. Neutrofil

mendominasi (85-95% dari total hitung jenis sel), tetapi peningkatan proporsi sel

mononuklear ditemukan pada infeksi yang berkepanjangan, khususnya pada

meningitis yang diterapi tidak adekuat. Hitung sel >50.000 sel/mm3 meningkatkan

kemungkinan adanya abses otak yang ruptur ke ventrikel. Dapat dijumpai

peningkatan jumlah total leukosit di cairan serebrospinal dalam 18-36 jam setelah

inisiasi terapi antibiotik.

Konsentrasi glukosa cairan serebrospinal lebih rendah dibandingkan

dengan serum. Glukosa CSS normal antara 45-80 mg/dl pada pasien dengan

glukosa serum 70-120 mg/dl, atau sekitar 65% glukosa serum. Konsentrasi

glukosa CSS di bawah 40 mg/dl merupakan keadaan yang abnormal.

Hiperglikemia meningkatkan konsentrasi glukosa CSS dan keadaan ini akan

menyamarkan penurunan konsentrasi glukosa CSS. Oleh karena itu paling baik

ditentukan dengan rasio glukosa CSS:serum. Rasio glukosa CSS:serum normal

11

Page 12: Meningitis Purulenta

yaitu 0,6. Rasio glukosa CSS:serum kurang dari atau sama dengan 0,4 merupakan

prediktif tinggi terhadap meningitis purulenta.

Nilai normal konsentrasi protein di CSS sisterna dan ventrikular berkisar

dari 13-30 mg/dl pada dewasa, dan dari 20-170 mg/dl pada neonatus. Peningkatan

konsentrasi protein CSS biasanya dijumpai pada meningitis purulenta, tetapi

konsentrasi protein CSS akan meningkat pada semua proses yang merusak sawar

darah otak. Ketika punksi lumbal menyebabkan trauma konsentrasi protein CSS

akan meningkat 1 mg/dl untuk setiap 1000 eritrosit yang ada per kubik mm.

Peningkatan konsentrasi laktat pada meningitis purulenta pertama kali

diketahui pada tahun 1925. Konsentrasi asam laktat CSS telah ditunjukkan

penggunaan klinisnya untuk membantu membedakan meningitis tuberculosis dan

meningitis purulenta dengan meningitis viral. Konsentrasi asam laktat ≥ hingga 35

mg/dl merupakan prediktif yang tinggi terhadap adanya meningitis purulenta atau

meningitis tuberkulosa.

Dalam keadaan pleositosis CSS, konsentrasi C-reactive protein (CRP) >

100 ng/ml berguna untuk mengidentifikasi meningitis purulenta. CRP telah

dilaporkan memiliki sensitivitas 100% dan spesivisitas 94% dalam membedakan

meningitis purulenta dari meningitis non-purulen pada bayi (4 minggu atau lebih)

dan anak-anak.

Tabel 1. Temuan pada pemeriksaan CSS pada meningitis

12

Page 13: Meningitis Purulenta

Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap

Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis

Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

Pemeriksaan Radiologis

Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus

paranasal, gigi geligi) dan foto thoraks. Foto thoraks dapat dilakukan untuk

melihat tanda-tanda pneumonia atau cairan di dalam paru. Sebanyak 50% pasien

dengan meningitis pneumokokal dibuktikan mengalami pneumonia pada foto

thoraks.

Peran yang paling penting dari CT scan pada pasien dengan meningitis

yaitu untuk mengidentifikasi kontraindikasi punksi lumbal dan komplikasi yang

memerlukan intervensi bedah saraf segera, seperti hidrosefalus simptomatik,

empiema subdural, dan abses serebral. CT scan dengan kontras juga dapat

mendeteksi komplikasi seperti thrombosis vena, infark, dan ventrikulitis.

Ventrikulitis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang umum dijumpai

pada neonatus. Enhancement ependimal dapat dijumpai pada CT scan dengan

kontras.

Nilai CT scan dalam diagnosis dini empiema subdural dan efusi masih

kontroversial, karena modalitas ini tidak dapat mendeteksi meningitis, khususnya

CT scan tanpa kontras pada stadium awal penyakit. Hasil yang normal dari CT

scan tidak dapat mengesampingkan adanya meningitis akut.

CT scan dapat menunjukkan penyebab infeksi meningeal. Hidrosefalus

obstruktif dapat terjadi dengan perubahan inflamasi kronik pada ruang

subarakhnoid atau pada kasus obstruksi ventricular. Defek struktur otorinologik,

kongenital, dan kalvaria pasca trauma juga dapat dievaluasi.

13

Page 14: Meningitis Purulenta

Gambar 3. Serebritis dan pembentukan abses pada pasien dengan meningitis purulenta. CT

scan dengan kontras, potongan aksial dilakukan 1 bulan setelah bedah dan menunjukkan

adanya massa kecil, ring-enhanced, hipoattenuasi (abses rekuren) di ganglia basalis (panah)

dan kumpulan cairan subdural berbentuk lentiformis dengan enhanced meningss (anak

panah)

MRI dengan kontras merupakan modalitas paling sensitif untuk diagnosis

meningitis purulenta karena pemeriksaan ini dapat membantu mendeteksi adanya

dan luasnya proses inflamasi di menings begitu juga dengan komplikasinya. MRI

tanpa kontras yang dilakukan pada pasien dengan meningitis purulenta tanpa

komplikasi menunjukkan hasil yang kurang bermakna.

Gambar 4. Sinusitis frontalis, empiema, dan pembentukan abses pada pasien dengan

meningitis purulenta. T2-weighted axial MRI menunjukkan sinusitis frontalis, defek tulang

(panah), dengan edema kortikal (anak panah), dan kumpulan cairan subdural

oksipitoparietal kanan (empiema).

2.2.9. Penatalaksanaan

14

Page 15: Meningitis Purulenta

Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis

fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika

cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan.

Ketika tanda fokal atau papiledema dijumpai, pemeriksaan kultur darah sebaiknya

dilakukan, antibiotik dimulai, dan CT scan dilakukan. Jika dari CT scan tidak

dijumpai lesi fokal yang akan menyebabkan kontraindikasi untuk dilakukannya

punksi lumbal, punksi lumbal dapat dilakukan.

Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan

faktor predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika

pewarnaan Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Punksi

lumbal dapat diulang untuk menilai respon terhadap terapi. Cairan serebrospinal

harus steril selama 24 jam. Penurunan pleositosis serta penurunan proporsi

leukosit PMN harus terjadi dalam 3 hari.

Regimen terapi empiris untuk meningitis purulenta ditunjukkan pada tabel

di bawah ini:Tabel 2. Terapi Empiris Meningitis Purulenta

FAKTOR PASIEN TERAPI EMPIRIS

Dewasa <50 tahun

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam

atau

Cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

ditambah dengan vancomycin 15

mg/kgBB IV setiap 8-12 jam

Dewasa > 50 tahun

Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam

ditambah dengan ceftriaxone 2 g

IV setiap 12 jam atau

Cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

ditambah dengan vancomycin 15

mg/kgBB IV setiap 8-12 jam

Gangguan imunitas seluler Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam

ditambah dengan ceftazidime 1 g

IV setiap 8 jam ditambah dengan

15

Page 16: Meningitis Purulenta

vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap

8-12 jam

Bedah saraf, cedera kepala, atau

CSF shunt

Vancomycin 15 mg/kgBB IV

setiap 8-12 jam ditambah dengan

ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam

Regimen terapetik spesifik organisme untuk meningitis purulenta

termasuk untuk meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,

Haemophillus influenza, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes,

Streptococcus agalactie, Enterobacteriaceae, dan Pseudomonas aeruginosa

ditampilkan pada tabel di bawa ini.

Table 3. Regimen Terapi Antibiotik Spesifik Organisme

ORGANISME REGIMEN TERAPI

Streptococcus pneumonia Sensitif Penisilin

Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau

ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxon 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IVsetiap 4-6 jam ditambah

dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap

8-12 jam

Durasi terapi: 10-14 hari

Sensitif Ceftriaxone

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah

dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap

8-12 jam atau rifampin 600 mg PO/IV/hari

16

Page 17: Meningitis Purulenta

Durasi terapi 10-14 hari

Haemophillus influenza

Negatif beta laktamase:

Ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Positif beta laktamase:

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Neisseria meningitides

Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau

ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Listeria monocytogenes

Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau

ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah

dengan 3-5 mg/kgBB IV perhari dibagi

setiap 8 jam

Durasi terapi: ≥ 21 hari

Streptococcus agalactie

Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam

ditambah dengan gentamisin 3-5 mg/kgBB

IV per hari, dibagi setiap 8 jam, jika

diperlukan

Durasi terapi: 14-21 hari

Enterobacteriaceae

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah

dengan gentamicin 3-5 mg/kgBB IV per hari

dibagi setiap 8 jam

Durasi terapi: 21 hari

Pseudomonas aeruginosa Ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam atau

cefepime 2 g IV setiap 8 jam ditambah

17

Page 18: Meningitis Purulenta

dengan 3-5 mg/kgBB IV per hari dibagi

setiap 8 jam

Durasi terapi: 21 hari

Sitokin inflamasi seperti IL-1,6 dan TNF-alfa meningkatkan respon CSS

terhadap pelepasan produk dinding sel bakteri aktif. Hal ini akan menyebabkan

eksaserbasi inflamasi dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut. Berdasarkan

hal di atas, terapi ajuvan kortikosteroid telah dicoba. Pada 4 penelitian prospektif,

placebo controlled trials pada anak lebih dari 2 bulan, terapi tambahan dengan

deksametason menghasilkan penurunan sekuele audiologik dan neurologic.

Namun, kebanyakan pasien anak terinfeksi dengan H.influenza dan keuntungan

terapi glukokortikoid tidak dapat diaplikasikan pada anak yang terinfeksi

organism lain seperti S.pneumonia.

Keuntungan glukokortikoid ajuvan pada dewasa belum jelas. Terapi

tersebut akan menurunkan penetrasi beberapa antibiotik seperti vancomycin ke

CSS. Oleh karena itu, terapi deksametason direkomendasikan pada anak lebih dari

2 bulan yang mengalami meningitis purulenta, terutama H.influenza, anak yang

tidak divaksinasi terhadap H.influenza, atau ditemukannya kokobasil gram

negative pada pewarnaan Gram CSS. Deksametason diberikan dengan dosis 0,15

mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari. Pada dewasa, penggunaan glukokortikoid

terbatas pada pasien dengan konsentrasi bakteri yang tinggi di CSS dan bukti

peningkatan tekanan intrakranial. Dosis 0,15 mg/kgBB IV setiap 6 jam

direkomendasikan.

2.2.10. Prognosis

Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas

meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami

sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan

kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan

mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.

18

Page 19: Meningitis Purulenta

2.2.11. Pencegahan

Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor risiko

meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan

melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan

imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin

yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal

conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV),

Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).

Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2

bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,

Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena

meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah

direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan

interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu

bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak

dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat

membentuk antibodi.

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian

kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah

dengan penderita.Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C,

W135 dan Y. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal

hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal,

saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat

menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan

diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan

mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal

meningitis.

19

Page 20: Meningitis Purulenta

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan

pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat

terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat

lainnya untuk menemukan penderita secara dini. Penderita juga diberikan

pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab

meningitis.

Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan

lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat

pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat

meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap

kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk

mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau

ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk

mencegah dan mengurangi cacat

BAB III

KESIMPULAN

20

Page 21: Meningitis Purulenta

Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang

bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh

bakteri spesifik maupun virus. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat

lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan

dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih

berat.

Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita

dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan

cairan tenggorok penderita. Penyebaran bakteri dapat pula secara

perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput

otak. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur

terbuka atau komplikasi bedah otak. Gejala yang dialami termasuk demam,

konfusi, muntah, nyeri kepala, serta kekakuan pada leher.

Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis

fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika

cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan.

Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan faktor

predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika pewarnaan

Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Deksametason

diberikan dengan dosis 0,15 mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Meningitis Purulenta

Brian M, Greenwood MD. 2007. Corticosteroids in Acute Bacterial

Meningitis. The New England Journal of Medicine. Available from :

www.NEJM.org.

Dhamija RM, Bansal J. 2006. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis):

A Review. JIACM

Incesu, Lutfi. James G. Imaging in Bacterial Meningitis. 2013. Available

from : www. Medscape.com.

Meissadona G, Soebroto AD, Estiasari R,. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana

Meningitis Bakterialis. CDK-244/vol, 22 no. 1

Poblano P, Artega C. 2012. Early Neuroligic Outcame and EEG of Infants

with Bacterial Meningitis. National University of Mexico: Mexico City.p.

Siddiqui, EU. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. In :

MENINGITIS. 2012. Aga Khan University Hospital : Pakistan.p.

Smith, DS. 2013. Bacterial Meningitis Organism-Specific Therapy.

Available from : ww.Medscape.com

Stoddard J.J, DeTora L.M. 2012. Strategies for the Prevention of

Meningitis. Marburg University : Germany.p.

22