Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

63
REFERAT MENINGITIS PURULENTA Pembimbing : Dr. Afaf, Sp.A Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak RSUD KOJA DISUSUN OLEH : ANINDITA JUWITA PRASTIANTI 03.008.031

Transcript of Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Page 1: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

REFERAT

MENINGITIS PURULENTA

Pembimbing : Dr. Afaf, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak

RSUD KOJA

DISUSUN OLEH :

ANINDITA JUWITA PRASTIANTI

03.008.031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

SEPTEMBER 2013

Page 2: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis purulenta (dalam sinonimnya “meningitis piogenik” atau meningitis bakterial

akut {non-TB}) termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan inflamasi meningen sebagai

bentuk respon imun tubuh terhadap infeksi bakterial. Bila tidak ditangani, mortalitasnya sampai

100%, meskipun sudah diobati dengan antibiotik terkini dan menggunakan perawatan Pediatric

Intensive Care Unit (PICU). Insiden kematian sampai 5-10% (1). Di dunia, resiko timbul sequel

neurologis pada pasien mencapai 20% (2). Diagnosis sedini mungkin dan penanganan tepat sangat

diperlukan.

Meningitis purulenta terutama menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak angka

kejadian pada usia 6-18 bulan (3). Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus

influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD).

Insidens meningitis purulent di negara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan

imunisasi Hib dan IPD (4). Kejadian meningitis purulenta oleh Hib menurun 94%, dan insidensi

penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1 tahun

menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan (5,6). Di

Indonesia, kasus tersangka meningitis purulenta sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi

Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan

negara maju (7).

Sekuele neurologis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang paling sering

terjadi. Komplikasi ini mencapai sekitar 50%-65% di Negara berkembang. Keterlambatan

diagnosis dan terapi, serta berbagai kendala di negara berkembang merupakan faktor yang

mempunyai kontribusi dalam menimbulkan sekuele (8). Beberapa sekuele terjadi pada awal

penyakit dan sebagian menetap sehingga menimbulkan gangguan perkembangan akibat

disabilitas. (8,9). Pada tulisan ini, penulis akan membahas mengenai meningitis purulenta yang

menyerang anak-anak.

Page 3: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

BAB II

MENINGITIS PURULENTA

DEFINISI

Meningitis purulenta (dalam sinonimnya “meningitis piogenik” atau meningitis bakterial

akut {non-TB}) . Meningitis sendiri adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan

pada meninges atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang

belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater yang dapat disebabkan oleh

beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) (10).

Meningitis purulenta adalah infeksi SSP pada meningen yang menyerang anak (usia 0-14

tahun) dengan penyebab utama bakteri non spesifik (Haemophilus influenzae tipe B (Hib),

Streptococcus pneumonia, N. Meningitidis, etc) yang ditandai dengan demam dengan awitan

akut (>38,5ºC rektal atau 38ºC aksilar) disertai dengan satu atau lebih gejala kaku kuduk,

penurunan kesadaran, dan tanda Kernig atau Brudzinski (3,10) dengan kriteria laboratorium

apabila biakan liquor cerebro spinalis (LCS) positif atau biakan negatif namun jumlah sel

>10/mm3 , protein >0,6 g/l, perbandingan kadar glukosa dalam LCS dan darah <0,5 dan

morfologi sel PMN >60% (11).

Gambar 1 : eksudat hijau pada otak bayi (infant)

Source : http://tulane.edu/som/departments/pathology/neuropg5_id4.cfm

Page 4: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

ANATOMI (12,13)

LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah

pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea

dan piamater.

1.Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan

suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang

melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah

untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di

antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di

antara bagian-bagian otak.

Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga

membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam

tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal

darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium

terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke

crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana

duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri

membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing

hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda

yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di

sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus

clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat

lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam

dua lamina dura.

Page 5: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Gambar 2 : Lapisan-lapisan selaput otak/meninges

Source : http://hallingwellnesscenter.com/clients/564/images/meninges-of-the-brain-picture_1.jpg

2. Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya

terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi

spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis

dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu

anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.

Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-

sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea).

Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae

lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang

secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga

tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran

rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak

yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan

dengan rongga sub arachnoid umum.

Page 6: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid

di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung

dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral

dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat

rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna

chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan

cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis,

parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).

3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi

permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di

seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus

callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,

dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk

membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di

atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS) (12, 13)

Fungsi

LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung dari

air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa keluar

metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa

perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume cairan

cerebrospinal).

Page 7: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Komposisi dan Volume

Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-ratanya

yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal

LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis

internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui

dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari

ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa, volume cairan cerebrospinal

total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari

system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal

diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.

4. Tekanan

Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air;

perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan

meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor),

volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)

karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat

menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

Page 8: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

5. Sirkulasi LCS

LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis

ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus

quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui

foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system

ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki

rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke

dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam

pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan

melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah –

kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus

ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan

cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan

reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

Gambar 3 : Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

Copyright © 1998, Lynne Larson

EPIDEMIOLOGI

Page 9: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Di US, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal, insidens dari

meningitis purulenta ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah pasien anak. N.

meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan

S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Angka ini menurun

setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pada anak. Insidens dari meningitis

purulenta pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per

1000 bayi lahir premature. Hampir 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003 (13,14)

Di Indonesia, kasus tersangka meningitis purulenta sekitar 158/100.000 per tahun,

dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila

dibandingkan dengan negara maju (7). Kejadian meningitis purulenta oleh Hib menurun 94%, dan

insidensi penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1

tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan (5,6).

ETIOLOGI

Etiologi berdasarkan usia (14) :

Risk and/or Predisposing Factor Bakterial Pathogen

Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)

E coli K1

Listeria monocytogenes

Age 4-12 weeks S agalactiae

E coli

H influenzae

S pneumoniae

N meningitides

Age 3 months to 18 years N meningitidis

S pneumoniae

H influenza

Age 18-50 years S pneumoniae

N meningitidis

H influenza

Age older than 50 years S pneumoniae

N meningitidis

L monocytogenes

Page 10: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state S pneumoniae

N meningitidis

L monocytogenes

Aerobic gram-negative bacilli

Intracranial manipulation, including

neurosurgery

Staphylococcus aureus

Coagulase-negative staphylococci

Aerobic gram-negative bacilli, including

P aeruginosa

Basilar skull fracture S pneumoniae

H influenzae

Group A streptococci

CSF shunts Coagulase-negative staphylococci

S aureus

Aerobic gram-negative bacilli

Propionibacterium acnes

Neonatus (usia bayi 0-28 hari kehidupan)(15)

Bakteri biasanya terdapat dalam flora vagina maternal (ibu). Flora enteric gram negative

dan Streptokokus grup B (SGB) adalah pathogen yang dominan. Pada bayi prematur yang

menerima pemberian antibiotik multipel, pemberian Nutrisi Parenteral Total (hiperalimentasi),

dan pada bayi newborn yang sempat melalui proses pembedahan, Stafilokokus epidermidis dan

Candida jarang menyebabkan meningitis namun memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada

neonates. L monocytogenes adalah pathogen lain yang diketahui merupakan etiologi namun juga

jarang (15).

Meningitis SGB awitan cepat muncul 7 hari pertama dalam kehidupan bayi sebagai

akibat kolonisasi bakteri dari maternal dan tidak adanya antibody protektif pada neonates.

Biasanya sering dihubungkan dengan komplikasi obstetric. Penyakit ini seringkali terdapat pada

bayi berat lahir rendah (BBLR) atau premature. Patogen ini didapatkan sebelum dan saat proses

persalinan (15).

Meningitis awitan lambat muncul setelah usia bayi 7 hari. Penyebabnya didapatkan saat

perinatal maupun pathogen nosokomial di Rumah Sakit. Strep. agalactiae (SGB) serotype III

merupakan 90% causa dari meningitis awitan lambat. Penggunaan alat bantu nafas pada

Page 11: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

perawatan juga meningkatkan resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa dan proteus.Peralatan

medis invasive (spuit untuk injeksi) dapat menjadi media untuk S. epidermidis, bacterioides, dan

Citrobacter (80-90% menimbulkan abses) (15). Bakteri E.coli sering menjadi etiologi meningitis

pada C.(16).

Infants (usia 0-1 tahun) dan anak-anak

Pada anak yang usianya diatas 4 minggu, S. pneumonia dan N. meningiditis (USA)

merupakan etiologi yang paling sering. Haemophillus Influenzae tipe B (HiB) hampir tidak

menjadi etiologi yang utama setelah pemberian vaksin dirutinkan pada suatu Negara (15).

1. Streptococcus pneumonia :

S pneumoniae adalah bakteri gram positive, berbentuk seperti lancet, diplokokus

merupakan penyebab pertama meningitis purulenta. Bakteri ini merupakan flora normal

pada saluran pernapasan bagian atas. Penularannya melalui kontak langsung. Periode

inkubasinya 1-7 hari, dan biasanya muncul pada musim dingin (di Negara 4 musim) atau

dengan diawali infeksi virus. Patogen ini dapat menyebabkan meningitis dengan tuli

sensorineural, hidrosefalus, dan sekuele SSP lain. Prolong fever juga merupakan gejala

yang sering muncul.

Gambar 4 : Streptococcus pneumonia

Source : http://genome.microbio.uab.edu/strep/info/strep5.gif

Antibiotik yang adequate dapat mengeradikasi organisme nasofaring pada 24 jam

pertama kehidupan. Namun, Pneumococci seringkali resisten terhadap berbagai golongan

antibiotic; pada seluruh belahan dunia. Jumlah insiden yang resisten penisilin antara 10-

Page 12: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

60%. Penelitian multisenter dari pneumococci yang di isolasi dari CSF memiliki

resistensi penisilin sebesar 20% dan ceftriakson sebesar 7%.

Pneumococci yang resisten penisislin disebabkan karena adanya gangguan pada

enzim untuk pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penisilin. Ini menyebabkan

inhibitor Beta laktamase tidak ampuh. Pneumococci resisten penisilin juga biasanya

resisten terhadap trimetropim, sulfametoksazol, tetrasiklin, kloramfenikol, dan makrolid.

Dalam hal ini, sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime dan ceftriakson) masih dapat

mengeradikasi pneumokok resisten penisilin.

Sekarang, biakan pneumococci masih mempan terhadap vancomisin dan beberapa

variasioxazolidinones. Beberapa antibiotic dari golongan fluorokuinolon seperti

levofloksasin masih dinilai efektif terhadap pneumococci dan dapat menembus SSP.

2. Neisseria meningitides :

N meningitides adalah bakteri gram negative, berbentuk seperti ginjal,

intraselular. Pada Negara berkembang, serotype B, C, dan Y, serta W-135 menyerang

anak-anak. Grup A dari bakteri ini telah menimbulkan epidemic meningitis meningokok

di beberapa bagian dunia, termasuk dalam barak militer.

Gambar 5 : Neisseria meningitides

Source : www.bioquell.com

Saluran pernapasan atas (SPA) biasanya terdapat flora normal meningokok ini.

Transmisinya melalui kontak langsung dengan droplets terinfeksi dan sekret pernapasan,

Page 13: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

biasanya dari carrier asimptomatik. Masa inkubasinya kurang dari 4 hari (range : 1-7

hari)

Kebanyakan kasus menyerang anak usia 6-12 bulan, dan kemudian pada remaja.

Kemerahan atau rash pada kult berupa ptechiae dan purpura sering menjadi tanda

meningitis ini. Mortalitas sangat tinggi pada pasien dengan gejala fullminan. CSF juga

dapat normal dalam jumlah sel (normoselular). Kematian muncul dalam 24 jam setelah

masuk Rumah Sakit dengan gejala berprognosis buruk yakni : hipotensi, shock,

neutropenia, usia tua, ptekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC,

asidosis, adanya organism didalam leukosit pada sediaan apus, LED rendah, dan C-

Reactive Protein yang tinggi (CRP).

3. Haemophilus influenzaetype b (Hib) :

Hib adalah gram negative pleomorfik dengan bentuk batang yang bervariasi

dalam bentuk. Dari coccobasiller sampai batang panjang. Meningitis Hib muncul primer

pada anak yang belum di imunisasi dengan vaksin Hib; 80-90% kasus menyerang pada

anak usia 1 sampai 3 bulan. Pada usia 3 tahun terdapat antobodi didapat pada anak yang

belum di imunisasi terhadap kapsul poliribofosfat Hib, yang sangat protektif.

Gambar 6 : Haemophilus influenzaetype b (Hib)

Source : http://www.nhs.uk/Conditions/hib/PublishingImages/B220877-

Haemophilus_influenzae_bacteria_342x198.jpg

Page 14: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Tranmisi melalui droplets terinfeksi dan sekret respirasi. Masa inkubasi kurang

dari 10 tahun. Mortalitas kurang dari 5%. Gejala yang paling parah muncul pada

beberapa hari pertama penyakit. Bakteri ini resiten terhadap penisilin, kurang lebih dalam

30-35% kasus merupakan Hib resisten penisilin. 30% memiliki sekuele yang lama.

Pemberian deksametason sebagai pengobatan awal mengurangi morbiditas dan sekuele.

4. Eschecheria Coli (16)

Merupakan bakteri gram negative, fakultatif anaerob, berbentuk batang yang

merupakan flora normal usus. Meningitis E. coli mayoritas disebabkan oleh strain E.coli

K1. Meningitis E.coli sering muncul pada anak dengan trauma kepala,

immunocompromized, riwayat operasi di kepala, dan Shunt CSF, yang merupakan port de

entry bakteri. Infeksi pada bayi terjadi saat persalinan, saat bayi di rumah sakit, atau di

rumah. Bayi BBLR dan prematur merupakan faktor resiko.

Infeksi dari E. coli seringkali menyebabkan septicemia di usia 1-2 hari pertama

kehidupan pada bayi baru lahir. Bila dibiarkan lebih dari 2 hari maka bayi dapat dengan

mudah terkena meningitis. Terhitung 20% kasus meningitis pada neonates merupakan

akibat E.coli, tapi hanya 2% dari golongan umur yang lain. Pada Negara berkembang,

E.coli menjadi penyebab utama meningitis.

 

5. Listeria monocytogenes

L. monocytogenes menyebabkan meningitis pada bayi yang baru lahir, anak

dengan imunocompromized,dan wanita hamil. Penyakit ini sering dihubungkan dengan

higienitas makanan (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan sertipe Ia, Ib, dan

IVb. Tanda dan gejala pada meningitis listerial ini seringkali sulit didiagnosis. Pada

pemeriksaan lab, pathogen ini mirip dengan difteri dan steptokokus hemolitikus.

Organisme lain

S. epidermidis dan Stafilokok koagulase negative sering menyebabkan meningitis pada

pasien hidrosefalus yang menggunakan shunt CSF atau yang melalui operasi bedah saraf. Anak

dengan imunitas rendah dapat terinfeksi meningitis pseudomonas, Serratia proteus, dan difteri

PATOGENESIS

Page 15: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :

1. Hematogen: oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis, endokarditis,

pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif

pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak karena dapat terjadi

bacterimia sebelum meningitis (17,18). Mungkin juga terdapat kolonisasi bakteri yang

asimptomatik dan kronis, dan menimbulkan invasi cepat bakteri di kemudian hari. Infeksi

virus yang menyebabkan ISPA dapat meningkatkan patogenitas bakteri yang

menyebabkan meningitis (18) .

2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) : yang disebabkan oleh infeksi dari

sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.

3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan

mielokel.

4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena: Aspirasi cairan amnion yang terjadi

pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan

lahir dan infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria. (17)

Gambar 7 : portal of entry of meningitis bacteria

Source : medical-dictionary.thefreedictionary.com/bacterial%2Bmeningitis

Page 16: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran

napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses

terjadinya meningitis purulenta melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai

berikut : 1.) Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi), 2.) Bakteri

menembus rintangan mukosa. 3.) Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar

dari sel fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia. 4.) Bakteri masuk ke

dalam cairan serebrospinal. 5.) Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal. 6.)

Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak. (18)

Gambar 8 : Tahap interaksi bakteri-host dalam pathogenesis meningitis bakteri

Source : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12728265

Page 17: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua

tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan

masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-

tahap tersebut. Terjadinya meningitis bakterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu

host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang (19).

1. Faktor Host - Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis9telah

dibuktikan :

- Bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan dengan wanita. Pada

neonates sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1

- Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita

meningitis disbanding bayi cukup bulan

- Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,

adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan

meningitis

- Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi

beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum,

rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada

bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta),

akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya

IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram

negatif.

- Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau

dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B

dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis

- Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin

menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah

terjadinya infeksi.

- Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya

infeksi

- Malnutrisi

Page 18: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

2. Faktor Mikroorganisme :

- Penyebab meningitis purulenta terdiri dari bermacam-macam bakteri.

Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien.

o neonatal : bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama

Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B,

Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp.

o 2 bulan sampai 4 tahun : Haemophillus influenza type B disusul oleh

Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides.

o 4 tahun ke atas : yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria

meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis purulenta

adalah kuman batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter,

Klebsiella Sp dan Seprata Sp.

3. Faktor Lingkungan

Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial

ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada

tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya

vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk terjadinya

leptospirosis.

PATOFISIOLOGI (14,18, 19)

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis purulenta,

yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi

berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan

perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran

darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada

bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf

pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di

mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi

bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam

cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh

Page 19: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal

melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan

dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang

menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak

(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga

timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan

lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam

teikoat).

Gambar 9 : Respon imun host yang akhirnya menyebabkan neuronal injury

Source : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12728265

Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di

susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti

Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam

proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang

Page 20: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bakterial dapat juga

terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena

proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin

endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini

menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas

serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan

kejang.

Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan terjepit

pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan herniasi dari

gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis

menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari

batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,

perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif

menyebabkan henti nafas dan jantung.

Gambar 10. Patofisiologi Molekuler Meningitis purulenta (17)

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga

disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan

Page 21: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan

tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah

sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan

autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan

pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak,

peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi

metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan

penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob,

keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya

hipoglikorakia.

Ensefalopati pada meningitis purulenta dapat juga terjadii akibat hipoksia sistemik dan

demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis purulenta adalah peradangan pada selaput

otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak

akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot

tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku

kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah,

iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan

karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan

timbul hiperestasi dan fotofobia.

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia

pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya

merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga

mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel

polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan

selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang

subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS

diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar

serebelum.

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit bakteri,

secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang

jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu

Page 22: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat,

sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan –

perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan

hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi

maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga

mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan

adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang

menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus

dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan

tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.

Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi,

buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak

mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari

dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah

berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang

fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah

otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering

menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.

Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.

Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman

akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik berupa

paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga

menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan

tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses

infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau

arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid

menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan

subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam

yang lama, kejang dan muntah.

Page 23: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)

menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus

akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.

Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi

toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf

kranial pada meningitis purulenta disebabkan karena adanya peradangan lokal pada perineurium

dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang

ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke

selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.

Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid, sehingga

timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelain saraf

kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena

infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal

yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan

peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk

prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.

MANIFESTASI KLINIS (18, 20)

Onset dari meningitis akut memiliki 2 pola awal yang dominan. Yang paling

membahayakan namun tidak memiliki gejala yang begitu jelas adalah yang timbul mendadak

dengan shock yang timbul cepat, purpura, DIC, kematian dan koma dalam 24 jam. Yang lainnya

adalah meningitis akan berlangsung selama beberapa hari, dengan gejala demam, disertai gejala

infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) maupun traktus gastrointestianal (GIT) , disertai gejala

SSP non spesifik seperti letargi dan iritabilitas(18)

Gejala dan tanda meningitis purulenta berhubungan dengan penemuan tidak khas tanda-

tanda infeksi sistemik dan iritasi menigeal. Gejala dan tanda yang tidak khas antara lain demam,

anoreksia, nafsu makan yang berkurang, sefalgia, gejala ISPA, mialgia, atralgia, takikardia,

hipotensia, dapat pula timbul kelainan kulit seperti pada meningitis N. Meningiditis, Petechia

dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus). Terdapat tanda rangsang meningeal seperti

nuchal rigidity, nyeri punggung, kernig sign dan brudzinski sign. Pada anak dengan usia yang

lebih muda dari 12-18 bulan, tanda kernig dan brudzinski tidak sealalu tampak. Demam, pusing,

Page 24: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

dan rigiditas nuchal hanya terdapat pada 40% orang dewasa dengan meningitis purulenta.

Peningkatan tekanan intra cranial (TIK) diketahui dengan adanya sakit kepala, vomitus, Moaning

cry /Tangisan merintih (pada neonatus), penonjolan (bulging) dari fontanela atau pelebaran

sutura, Crack pot sign. pernafasan Cheyne Stokes,paralisis okulomotor (ptosis, anisokor) dan

paralisis N. abducens, hipertensi dengan bradikardia, apnoe atau hiperventilasi, postur

dekortikasi atau deserebrasi, stupor, coma, dam tanda herniasi otak. Papiledema jarang pada

meningitis. Tanda neurologis fokal biasanya disebabkan obstruksi vascular. Neuropati N.

Kranialis pada mata, otot oculomotor, fasialis, dan auditorik juga dapat timbul akibat adanya

inflamasi. Secara keseluruhan 10-20% anak dengan meningitis purulenta memiliki tanda

neurologis fokal.

Kejang (fokal maupun generalisata) yang diakibatkan cerebritis, infark, atau gangguan

elektrolit dapat muncul pada 20-30% pasien dengan meningitis. Kejang yang muncul dalam hari

ke 1 sampai 4 biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kejang yang

muncul sampai lebih dari hari ke-4 dan sulit ditangani.

Gangguan status mental dapat timbul secara umum pada pasien dengan meningitis dan

disebabkan oleh peningkatan TIK, cerebritis atau hipotensi, manifestasi klinis dapat timbul

iritabilitas (rewel), letargi, stupor, dan koma. Pasien dengan koma memiliki prognosis yang

buruk. Manifestasi lain yang dapat timbul adalah fotofobia dan tache cerebrale.

Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan sebagai

diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk

mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada meningitis purulenta, pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis

dan menentukan etiologi dengan didapatkan jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis

predominan polimorfonuklear (neutrofilik dominan 75-90%), protein 200-500 mg/dl, glukosa

<40 mg/dl. CSF keruh didapatkan bila leukosit CSF lebih dari 200-400/mm3. Hitung leukosit

CSF <250mm3 daapat puncul pada meningitis purulenta akut; pleositosis dapat tidak ada pada

pasien dengan sepsis dan meningitis dan memiliki prognosis yang buruk. Pleositosis dengan

dominan limfosit dapat muncul pada meningitis purulenta dini. Pleositosis neutrofil dapat

Page 25: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

muncul pada meningitis viral akut. Pewarnaan gram positif hasilnya pada 70-90% pasien dengan

meningitis purulenta yang tidak berobat.

Apabila telah mendapat antibiotik oral sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik

atau hasilnya negative dari pemeriksaan kultur atau gram pada 20-50% kasus. Pada kasus berat,

pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian antibiotik empirik (penundaan

2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali identifikasi bakteri, itupun jika antibiotiknya

senstitif). Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda

peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati.

Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.

Pleositosis dengan neutrofil predominan, protein yang meningkat, dan penurunan kadar

glukosa pada CSF dapat bertahan selama beberapa hari setelah pemberian antibiotic intravena.

Maka dari itu, meskipun hasil kultur negatif tidak ditemukan bakteri, namun diagnosis presumtif

masih dapat ditegakkan. Beberapa klinisi melakukan lumbal pungsi untuk mencari antigen

bakteri pada anak yang sebelumnya sudah diberikan antibiotic, namun pemeriksaan ini lebih

canggih lagi.

Lumbal pungsi traumatik mungkin dapat menyulitkan diagnosis meningitis. Mengulang

kembali lumbal pungsi pada daerah intervertebra yang lebih luas rongganya akan mengurangi

resiko perdarahan, namun biasanya tetap terdapat sel darah merah.

Interpretasi leukosit CSF dan konsentrasi priotein dipengaruhi oleh lumbal pungsi yang

traumatik, meskipun kadar glukosa, pewarnaan gram, dan kultur tidak ikut terpengaruh.

Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan

tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.

Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada

komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak). Pada pemeriksaan

elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

Page 26: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Tabel 2. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan etiologinya (14)

DIAGNOSIS

Diagnosis meningitis purulenta tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda

saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda

rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan

meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya

dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan CSF melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap

pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal (17)

Dalam pemeriksaan CSF dapat ditemukan bakteri causa dengan melakukan gram stain

dan kultur, pleositosis neutrofil, peningkatan protein (100-500 mg/dL dengan normalnya 20-45

mg/dL), penurunan kadar glukosa atau glukosa serum (dibawah 40 mg/dL pada glukosa CSF dan

dibawah 50 mg/dL pada glukosa serum dengan normalnya diatas 50 mg/dL pada glukosa CSF

dan >75mg/dL pada glukosa serum.), dan leukositosis dengan kisaran 10-10.000/mm3, dengan

PMN yang dominan. Normalnya leukosit <5/mm3 dan >75% merupakan limfosit(18).

Kontraindikasi untuk lumbal pungsi pada pasien meningitis purulenta adalah adanya

peningkatkan TIK (selain penonjolan fontanela) seperti adanya palsi N. III dan N. VI disertai

Page 27: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

hilangnya kesadaran, atau hipertensi dengan bradikardia dan kelainan respirasi; gangguan

kardiopulmoner yang membutuhkan resusitasi segera untuk shock atau ketika pungsi lumbar

malah meningkatkan beban kardiopulmoner. Dan infeksi kulit di lokasi pungsi lumbal akan

dilakukan. Bila lumbal pungsi ditunda, maka terapi antibiotic empiris perlu dilakukan. CT scan

dapat dilakukan untuk mencari adanya abses pada cerebri atau tidak dan terapi harus tetap

dilakukan walaupun terdapat abses. Lumbal pungsi dilakukan setelah TIK menurun. Kultur

darah harus selalu dilakukan pada pasien suspek meningitis, dan 80-90% kasus kultur darah

dapat menunjukan bakteri kausa (18).

DIAGNOSIS BANDING (18)

Selain S.pneumoniae dan N.meningitidis, Hib banyak mikroorganisme lain yang dapat

menyeluruh di SSP dengan manifestasi klinis yang sama. Organisme ini antara lain bakteri atipik

seperti M.tuberculosis, Nocardia spp, Treponema pallidum (Sifilis), jamur (Histoplasma) dan

infeksi oportunistik (Candida, Cryptococcus, dan Aspergillus), parasit seperti Toxoplasma

Gondinii dan penyebab Cysticercosis, serta virus. Infeksi fokal dari SSP seperti abses otak dan

abses parameningeal (empiema subdural, abses epidural dan cranial) juga dapat disalahkelirukan

dengan meningitis. Penyakit non infeksi, antara lain keganasan, sindrom kolagen vascular, dan

eksposur dengan racun atau zat toksik.

Untuk menentukan penyebab spesifik dari infeksi SSP dapat difasilitasi dengan

pemeriksaan teliti dari CSF dengan pewarnaan spesifik (karbol fusin Kinyon untuk micobacteria,

Tinta india untuk jamur), sitologi, deteksi antigen (Cryptococcus), serologi (sifilis, arbovirus),

kultur virus (enterovirus), dan PCR pada herpes simpleks dan enterovirus. Pemeriksaan

diagnotik lain yang bernilai antara lain kultur darah, CT dan MRI dari otak, tes serologi, serta

biopsy otak.

Meningitis virus akut adalah yang paling sulit dibedakan dengan meningitis bakterial.

Meskipun dari klinis memiliki gejala lebih ringan dibandingkan meningitis purulenta, namun

beberapa anak dengan meningitis purulenta juga mungkin memiliki gejala dan tanda yang lebih

ringan, sementara meningitis viral kadang lebih berat. Sehingga pemeriksaan CSF sangat

diperlukan

Page 28: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

KOMPLIKASI (13, 17, 19)

Komplikasi dini dari meningitis purulenta dapat terjadi syok septik, termasuk DIC,

koma, kejang (30-40% pada anak) , edema serebri, septic arthritis, efusi pericardial , atau anemia

hemolitik. Sedangkan komplikasi lanjut dapat terjadi gangguan pendengaran samapi tuli,

disfungsi saraf kranial, kejang multipel, paralisis fokal, efusi subdural, hidrocephalu, defisit

intelektual, ataksia, Buta, Waterhouse-Friderichsen syndrome, dan gangren periferal

Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5 pasien.

Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien meninggal akibat dari

iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi sistemik. Walaupun dengan

terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi pada 30% pasien. Edema

serebral sering terjadi pada meningitis purulenta. Komplikasi ini merupakan penyebab penting

kematian. Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti infark,

merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus tertentu, pungsi lumbal

atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi efek dari peningkatan ini.

Padainfark serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen pembuluh darah

dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada dinding

arteri dan vena memicu terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi dibandingakan

arteri.

Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan defisit sensoris dan motoris, serebral palsi,

Learning disabilities, retardasi mental, buta kortikal, kejang. Serebritis dapat terjadi juga.

Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim otak. Biasanya,

seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik akibat infeksi otorhinologik

ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi ekstrakranial.

Ventrikulitis adalah Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder dengan

penyebaran mikroorganisem dari ruang subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi

kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92%

pada bayi dengan meningitis purulenta. Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii,

maka infeksinya menjadi stempat (terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan

intracranial yang cepat dan dapat menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan

dengan antibiotic parenteral secara massif, irigasi dan drainase secara periodic.

Page 29: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam

pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa membonjol,

gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan neurologis

fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan.

Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur

kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih

daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a.

kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah banyak; c. membentuk

membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema.

Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural

apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik,

peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari

(selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah

Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang

berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk

neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan

timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua

sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom, setelah tap beberapa kali menjadi

kuning muda.

Pada pasien meningitis bakterial kadang disertai gangguan cairan dan elektrolit dengan

hipervolemia (edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena

SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien,

memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis

urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien

berat dapat diberikan sedikit natrium.

Komplikasi lain adalh tuli. Kira-kira 5-30% pasien meningitis bakterial mengalami

komplikasi tuli terutama apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh

karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli

sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII.

Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya

penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.

Page 30: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

TATA LAKSANA

Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya

kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang

diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis menunjukkan pungsi

lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan

beberapa hari pengobatan awal berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun

hasil kultur bisa negatif (21).

Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis rentan untuk

mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi terhadap

timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit. Peningkatan tekanan intrakranial

sekunder akibat edema serebral jarang pada bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk

memastikan oksigenasi yang memadai dan stabilitas metabolisme (21).

MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang dibutuhkan

untuk menggambarkan kelainan intrakranial.  Pediatric Academic Societies merekomendasikan

bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan komplikasi meningitis 7-10

hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa tidak ada penyulit yang

terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis harus dinilai auditory evoked

potential untuk skrining adanya ketulian. Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis

bakteri akut melibatkan kedua terapi antimikroba yang tepat dan terapi suportif.  Semua pasien

harus evaluasi audiologic setelah selesai terapi.

Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa tanda-

tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan,

risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga

tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan

yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan

risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain

mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai (21).

Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara

intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang

Page 31: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian

fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-

5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti

dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan

kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya

5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan

langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.

TERAPI ANTIBIOTIK (21)

Neonatus

Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan

meningitis bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari

ampisilin dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae

dicurigai, vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada

bayi prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau

meropenem.

Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk

streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis H

influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor cerebrospinal

(LCS). Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas yang

baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan Serratia

marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada cairan LCS dan

ventrikel, bahkan ketika meninges meradang.

Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah

muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan

bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan cadangan

albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone dapat

meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko

tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari

sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,

tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan

sefalosporin generasi ketiga diperlukan.

Page 32: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum

inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan sendiri. Cefotaxime

dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap kebanyakan S.pneumoniae resisten

penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus diberikan pada pasien dengan meningitis S.

pneumoniae sebelum hasil uji resistensi antibiotik tersedia.

Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara ekstensif

dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS, agen ini telah

terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk pengobatan meningitis

yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan enterococcus yang sensitif. 

Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin

memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi dari

seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus

menentukan penggunaan.

Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun

pengobatan selama 10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup B. Waktu

yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil gram negatif,

dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu .8

Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau

meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik

gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama

pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS

untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;

specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8

Antibiotic Admin-

istration

Route

Dose for birth

weight < 2000g

and age 0-7 d

Dose for birth

weight >2000g

and age 0-7 d

Dose for birth

weight < 2000g

and age >7 d

Dose for birth

weight >2000g

and age >7 d

Penicillins

Page 33: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Penicillin-G IV 50,000 U q12h 50,000 U q8h 50,000 U q8h 50,000 U q6h

Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h

Cephalosporins

Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ceftriaxone IV, IM 50 mg once

daily

50 mg once daily 50 mg once

daily

75 mg once daily

Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h

Tabel 3 Dosis antibiotik untuk meningitis purulenta pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis tertinggi

diantara rentang dosis) dan interval pemberian (21)

Antibiotic Admin-

istration

Route

Desired

Serum level

(mcg/mL)

Initial dose

for birth

weight <

2000g and

age 0-7 d

(mg/kg /

dose)*

Initial dose

for birth

weight

>2000kg and

age 0-7 d

(mg/kg /

dose)*

Dose for

birth

weight <

2000g and

age >7 d

(mg/kg /

dose)*

Dose for

birth

weight

>2000g and

age >7 d

(mg/kg /

dose)*

Aminoglycosides

Amikacin † IV, IM 20-30

(peak), < 10

(trough)

7.5 q12h 10 q12h 10 q8h 10 q8h

Page 34: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Gentamicin † IV, IM 5-10 (peak),

< 2.5

(trough)

2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h

Tobramycin † IV, IM 5-10 (peak),

< 2.5

(trough)

2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h

Glycopeptide

Vancomycin* † IV, IM 20-40

(peak), < 10

(trough)

15 q12h 15 q8h 15 q8h 15 q6h

*Dose stated is highest within dosage range.

† Serum levels must be monitored when patient has kidney disease or is receiving other

nephrotoxic drugs; adjust doses accordingly.

Tabel 4. Antibiotik untuk meningitis purulenta pada neonatus yang membutuhkan dosis

berdasarkan kadar serum.

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk neonatus

dengan meningitis purulenta sebagai berikut (23)

Umur 0-7 hari

- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari

setiap 12 jam IV atau

- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau

- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari

setiap 12 ajm IV.

Umur >7 hari

- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari

setiap 12 jam IV atau

- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau

- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Page 35: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Bayi dan anak

Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah

penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S

pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.

Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for bakterial

meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan

bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan pada

kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat terhadap

pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten beta-laktam. Perlu

diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap penumococcus dan tidak dapat

digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau ceftriaxone.

Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang lebih

tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat. Cefotaxime atau

ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila S.pneumonia terisolasi

mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari)

dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan

Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten

sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang lebih

rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon

dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau

gagal pada terapi sebelumnya

Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih vankomisin

dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga direkomendasikan pada pasien

dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.

Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau

rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret nasofaring walopun

setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg

dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat

penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring

setelah terapi meningitis berhasil.

Page 36: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Antibiotic Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval

Ampicillin 400 6-12 g q6h

Vancomycin 60 2-4 g q6h

Penicillin G 400,000 U 24 million q6h

Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h

Ceftriaxone 100 4 g q12h

Ceftazidime 150 6 g q8h

Cefepime* 150 2-4 g q8h

Imipenem † 60 2-4 g q6h

Meropenem 120 4-6 g q8h

Rifampin 20 600 mg q12h

*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.

† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.

Tabel 5 : Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis purulenta (21)

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak

dnegan meningitis purulenta sebagai berikut (24):

Usia 1 – 3 bulan :

- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300

mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau

- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

Usia > 3 bulan :

- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau

- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau

Page 37: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur

dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bakterial

meningitis adalah sebagai berikut : (21)

N meningitidis - 7 hari

H influenzae - 7 hari

S pneumoniae - 10-14 hari

S agalactiae - 14-21 hari

Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu

L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason

Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis purulenta yang

menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema

serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.

Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B yang

mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa

neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh karena

itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza

tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg

setiap 6 jam selama 2-4 hari.

Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh

karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan

manfaatnya.

Bedah

Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema

subdural, abses otak, atau hidrosefalus

Page 38: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

PENCEGAHAN (22)

Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal merupakan

pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup, tidak kontak

langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko meningitis oleh bakteri

Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan benar, hindari keju yang

terbuat dari susu tanpa pasteurisasi. Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab

meningitis: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type

b (Hib):

Vaksin Meningococcus

Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America

Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin Meningococcus conjugate,

Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua tipe penyakit,

namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin

meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak

serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.

Vaksin Pneumococcal

Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan

konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir tahun

2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.

PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin

pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa

sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di

rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau lebih yang

mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit, infeksi HIV, atau

kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan mempunyai asma.

Page 39: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Vaksin Hib

Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi melawan

meningitis purulenta oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat mencegah

can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri Hib.

Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat,

dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan

vaksin lainnya.

PROGNOSIS

Prognosis pasien meningitis purulenta tergantung dari banyak faktor, antara lain:

1. Umur pasien

2. Jenis mikroorganisme

3. Berat ringannya infeksi

4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan

5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan

Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang menderita

meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai prognosis yang

kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan

kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap

antibiotik bersifat fatal.

Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan

pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun

kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi

meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan

meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele

Meningitis purulenta 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan

setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan

dengan temuan klinis pada saat itu. (17, 20)

BAB III

KESIMPULAN

Page 40: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

Meningitis Purulenta pada anak adalah kegawatdaruratan yang membutuhkan keahlian

dalam pemeriksaan, Diagnosis yang tepat, dan manajemen sedini mungkin. Progam vaksinasi

yang baru telah ada untuk mengubah epidemiologi di dunia. Kemajuan dalam anamnesis dan

teknik pemeriksaan bertujuan untuk menegakkan diagnosis meningitis purulenta serta

menyingkirkan diagnosis bandingnya. Antibiotik, steroid dan terapi supportive masih digunakan,

dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan terutama untuk menentukan terapi adjuvant yang

digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. V. P. Novelli, M. Peters, and S. Dobson, “Infectious diseases,” in Care of the Critically

Ill Child, A. J. Macnab, D. J. Macrae, and R. Henning, Eds., pp. 281–298, Churchill Livingstone,

London, UK, 1999.

2. K. Edmond, A. Clark, V. S. Korczak, C. Sanderson, U. K. Griffiths, and I. Rudan,

“Global and regional risk of disabling sequelae from bacterial meningitis: a systematic review

and meta-analysis,” The Lancet Infectious Diseases, vol. 10, no. 5, pp. 317–328, 2010.

3. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele meningitis bakterial pada anak.

Sari Pediatri 2008; 9:342-7.

4. Golnik A. Pneumococcal meningitis presenting with a simple febrile seizure and negative

blood-culture result. Pediatrics 2007; 120:c428-33.

Page 41: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

5. Suchat A,Robinso K,Wenger JD. Bacterial Meningitis in The United States in 1995:

Active Surveillance Team, N Engl J Med 1997;337(14):970-6.

6. Black S,Shinefield A, Fireman B the Northern California Kaiser Permanente Vaccine

Study Center Group. Efficacy, safety and immunogenicity of heptavalent pneumococcal

conjugate vaccinein children.Pediatr Infect Dis J,2000;19:187-95.

7. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG, Fletcher T, Gerudug K, dkk.

Incidences of vaccine-preventable Haemophilus influenzae type B pneumonia and meningitis in

Indonesian children: hamlet-randomised vaccine-probe trial. Lancet 2005; 365:43-52.14.

Karande S. Febrile seizure: a review for family

8. Urowayino OE, Afolabi LF, Chinyere EK, Olufunmilayo GA. Neurological sequelae in

children with pyogenic meningitis in a tertiary centre in Lagos (Nigeria), African J Neurol Sci,

2004; 23:31-8

9. Farag HF, Abdel-Fattah MM, Youssri AM. Epidemiological, clinical and prognostic

profile of acute bacterial meningitis among children in Alexandria, Egypt. Indian J Clin.

Microbiol 2005; 23:95-101.

10. Rosman NP, Peterson DB, Kaye EM, Colton T. Seizure in bacterial meningitis,

prevalence, patterns, pathogenesis and prognosis, Pediatr Neurol 1985;1:278-85.

11. Bashir HE, Laundy M, Booy R. Diagnosis andtreatment of bacterial meningitis, Archs

Dis Child 2003; 88:615-20.

12. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :

http://repository .usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed Sept

2013.

13. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,

penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71

14. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Sept, 2013. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview . Accessed Sept ,2013.

15. Martha LM. Pediatric Bacterial Meningitis. Updated: Aug 7, 2013. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview#aw2aab6b2b4. Accessed at Sept 2013

16. George K. E. coli meningitis. Available at “http://www.meningitis.org/disease-info/types-

causes/ecoli . accessed at : Sept 2013

Page 42: Referat Anindita Meningitis Purulenta FIX2003

17. Saharso D. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,

penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71

18. Kliegman, Stanton, St Geme, Schor, Behrman. Nelson Textbook of PEDIATRIC 18 th

edition. Part XXVII The Nervous System, Central Nervous System Infection. Philadelphia :

2011. H 2089-2090

19. Kim KS, PATHOGENESIS OF BACTERIAL MENINGITIS: FROM

BACTERAEMIATO NEURONAL INJURY. 376 . MAY 2003. VOLUME 4. Available at :

www.nature. com/reviews/neuro

20. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian

Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9

21. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. Septth, 2013. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed Septth, 2013.

22. CDC. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th, 2009

Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html . Accessed Septst, 2013

23. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:

Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.

24. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.

Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.