Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan

158

description

Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati. Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir. Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks. Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian. Untuk dua tahun KAMMI Kultural..

Transcript of Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan

2

Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan

Oleh: Alikta Hasnah Safitri

Copyright © 2014 by GarudaUNS

Penerbit

GarudaUNS

Desain Sampul:

Hisyam Latif

3

Ucapan Terimakasih

Untuk KAMMI Shoyyub UNS dan HMI Komisariat M. Iqbal

Untuk Forum Diskusi KAMMI Kultural

Untuk Abangku, Adiwena dan Kuncoro

Untuk Akhi dan Ukhti

Untuk Kanda dan Yunda

Untukmu yang sudi membaca paradoks dalam diriku yang tak

kunjung usai dalam tiga tahun ini (2012-2014)

4

Pengantar

Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang

saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status

sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya

menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat

menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji

matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah

yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.

Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia

hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan

secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir.

Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks.

Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun

tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat

besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca

sekalian.

Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu

yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini

belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai.

Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang

untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang

kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.

Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt

menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.

Surakarta, 29 November 2014

Alikta Hasnah Safitri

5

Daftar Isi

Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah

Refleksi 7

Karena Kita Adalah KAMMI 21

Mencari Jalan Pulang 27

“Ya, Memang Beginilah KAMMI..” 33

Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : Antara

Tuntutan, Realita, dan Harapan 37

Merayakan Keberagaman KAMMI 42

Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan

KAMMI 48

Korupsi dan Budaya Jawa 70

Jelang Satu Periode 76

Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh

KAMMI 80

Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY 85

Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan

Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI 88

Pseudo-independence KAMMI 102

Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS 107

Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS 114

Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS 122

Tentang Aksi KAMMI Esok Hari 130

6

Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan

Mahasiswa Hari Ini 133

Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI 138

Melampaui Konflik dalam Kesatuan 143

Basis Massa Atau Basis Kader? 148

KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan 153

7

Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia,

Sebuah Refleksi

Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’

adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di

depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi

sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent

pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan

beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku

ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke

masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama.

Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang

dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya

hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan

pikiran saya yang sederhana.

Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan

budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika

masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak

menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah

kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap

pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang

sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.

Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh

mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum

terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.[1]

Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal

Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan

Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas

Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal

lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain

memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya,

8

semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche

School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa

Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang

memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual

Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.

Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,

murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan

Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap

pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar

tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah

dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang

sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari

Boedi Oetomo menulis:

Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini

memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara

maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar…

tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota

Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan

senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang

baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir”[3]

Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus

mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa

pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-

karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan

praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang

dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer

dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga

kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.

Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun

1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya

yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita

9

mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang

kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki

ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya,

malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.

“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus

dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah

sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-

kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi

Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak

mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut

sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa

yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!”[4]

Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah

keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran

beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,

tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.

Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan

propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.

Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat

Islam.[5]

Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama

dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui

tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

“…Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh

mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada

orang Jawa… “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja,

memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya.

Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya

untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti

bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita

Nederland?”[6]

10

Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif,

kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi

kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia.

Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu

‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak

ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,

dan terbelakang.

Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max

Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi

pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam

ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.

“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera

Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra

yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan

rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka

merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana

mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan

pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon

pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan

Tuhan…”[8]

Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia

klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para

penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya

berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan

dengan cara bekerja.”

Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah.

Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi

untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan

pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah

rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah

Rakyat’[9] bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya

11

mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan

untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga

menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk

penjajahan dan penindasan.

Begitulah, kaum intelektual di zamannya

mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam

praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi

pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik

konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk

dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis

masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat

di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun

pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang

dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya

bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS

Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam

dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk

gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu

Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih

berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-

Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan

Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.

Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai

disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan

pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda.

Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah

kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika

pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan

Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas

kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di

masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari

upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankan

kemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan,

12

kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan

kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan

secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa.

Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat

pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan

mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif

terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama

PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi

mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.

Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya

mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca

kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan

hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie

(Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang

Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran

Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah

mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.

Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga

merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad

Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM

yang juga merupakan kader HMI.

Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak

dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang

berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim

bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya)

menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika

meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas

lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal

menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief

Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

13

Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966

mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia

menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru

dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak

benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah

pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan

mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak

mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu,

kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan

bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin

tidak kelihatan.[10]

Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief

Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada

anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga

tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-

apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang

sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.

ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi

memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang

besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang

mungkin lain, yang mungkin juga kurang menguntungkan.”[11]

Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut

dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-

organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:

Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis

Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis

ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-

Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan

mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan

Mahasiswa Indonesia).[12]

14

Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film

Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar

organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka

saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun,

yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie

bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca

lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya

calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim

dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek,

akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi

kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasan

demokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak

muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk

antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam

kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru

yang kini berkuasa.

Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan

Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis

ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus

mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus

menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan

semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.

Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan

munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam

kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam.

Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada

sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa

Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)

munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.

Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini

dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin

Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh

kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya

15

FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah

beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna

membahas khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan

kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus,

hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus

tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi

perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas

acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati

bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada

tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni

perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang

permanen.

Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan

penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah

reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil

membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan

mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa

kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena

ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan

mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka

pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan

baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-

aturannya sendiri.

Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup.

Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide

mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud

eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-

kanan yang menggaungkan politik progresif pun digempur

militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan

masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan

tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi

menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi

16

sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin

oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri).

Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian

kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak,

antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan

dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu

kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling

realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.

Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para

intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi

KAMMI 1427 H, sebagai berikut:

Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi

reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini

mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau

termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat

pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak

sebagaiwatch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,

maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang

kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.

Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan

gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada

pemecahan masalah umat dan bangsa.

Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai

terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan

turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar

ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan

sikapnya.

Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan

guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi

penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,

kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar

17

untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam

organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding

fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia

(dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki

organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang

lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi

yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-

baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi

solusi permasalahan umat dan bangsa.

Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.

Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan

pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum

dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana,

yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali

kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita

harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan

berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para

ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan

pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.

Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat,

dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat

manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian

terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent

of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-

lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada

posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih

intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena

mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap

jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,

merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan

bernama rakyat.

18

Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas

mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,

menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak

dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-

mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi

terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab

kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian

inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang

kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di

perguruan tinggi.

Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian

kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri

sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa

berkaca pada Hadji Misbach yang menggaungkan semangat

perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan.

Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap

otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem

pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan.

Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak

kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.

Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada

sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran

kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari

sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah

bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual!

Akhirul kalam,

Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang

lurus Ya Tuhan kami..

19

Sumber Bacaan:

Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4,

2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang

Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225

Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.

Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta: Resist

Book.

Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N.

Saluz,Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.

Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana

Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda.Jakarta: Pustaka

Republika.

Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.

Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi.

In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka

Republika.

_______________________________

[1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

[2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme

[3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

[4] ibid, hal 189

sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926 hal 181

20

[5] Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan

kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini

pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena

dianggap sebagai aib.

[6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

[7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan

mengimani risalah yang dibawa ayahnya.

[8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165

[9] Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah

Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut

karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat.

[10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

[11] Ibid, hal 121

[12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

21

Karena Kita Adalah KAMMI

Apa yang pertama rekan rasakan saat pertama kali terlibat

dalam suatu aktivitas da’wah?

Barangkali yang akan muncul dalam benak rekan sekalian

ketika pertanyaan sederhana ini saya lontarkan adalah sebuah

kenangan manis bercampur getir yang rekan alami di awal mula

perkenalan dengan da’wah ini. Akankah sebuah senyuman yang

tergurat di wajah sebab merasakan bahagia dan syukur teramat

karena telah diberi kesempatan mengenal dien yang kita cintai

bersama ini? Ataukah, sebuah emosi yang tertahan jauh di dalam

jiwa seketika terpantik untuk menyala, manakala teringat bahwa

keterlibatan kita disini murni bukanlah atas dasar keikhlasan

serta ketundukan hati, melainkan paksaan dari kakak tingkat atau

murobbi.

Tentunya, akan ada banyak ekspresi lain yang akan

terjabarkan ketika kita kembali mengingat awal mula menapaki

perjalanan kita yang masih teramat panjang ini, dan pastinya

akan ada lebih banyak ekspresi yang tersirat dalam gurat wajah

ketika kita tengah menempuh perjalanan ini. Bias getir air mata?

Kekecewaan yang parah? Rona pias manakala genting menyapa?

Setiap kenangan yang terhampar menyisakan jawaban

atas pertanyaan. Dan setiap jawaban akan menciptakan satu

pertanyaan baru lagi untuk dijawab. Demikianlah da’wah

mengajarkan pada kita, bahwa jalan ini amat sangat panjang dan

berat, boleh jadi malah tak berkesudahan.

22

Saya mengenal KAMMI jauh sebelum saya menginjakkan

kaki saya di kampus. Waktu itu, saya masih anak kecil polos dan

lugu yang memproklamirkan diri sebagai Aktivis Dakwah

Sekolah. Bukan karena saya berada di kota besar serta saya

mengetahui langkah dan gerak perjuangan KAMMI maka saya

terobsesi. Bukan, bukan itu. Bahkan, yang saya ketahui tentang

KAMMI sangatlah jauh pucuk dari akar. Mendengar KAMMI pun

hanya lewat kisah dan cerita singkat murobbi mengisahkan

perjuangan yang dulu dilalui hingga akhirnya da’wah dikenal dan

tak lagi terkesan eksklusif dan saklek. Selebihnya, saya tak tahu

dan tak mau tahu.

Bagi saya, KAMMI tak lain hanya sebuah wajihah dakwah.

Ia memiliki kedudukan dalam taraf yang sama dengan Lembaga

Dakwah Kampus (LDK) maupun forum-forum lain yang bergerak

dalam spesialisasinya masing-masing, entah di bidang

kepenulisan maupun sosial. Dan saya yakin, tentu saja masih

banyak wajihah dakwah lain yang terhampar dan menanti

kontribusi dari saya.

Awalnya, tak ada niat sedikit pun untuk bergabung

dengan KAMMI. Alasan saya cukup jelas kala itu. Begitu

mengetahui kepanjangan dari nama KAMMI, yakni Kesatuan Aksi

Mahasiswa Muslim Indonesia. Saya langsung antipati dan

menolak segala bentuk hal yang berhubungan dengannya

karena satu suku kata itu, AKSI.

Barangkali rasa antipati ini muncul sebab trauma

mendalam karena aksi pertama yang saya ikuti saat SMA (saat itu

saya mengikuti aksi kepedulian untuk Palestina dengan

memboikot produk-produk Yahudi laknatullah). Karena hal itu,

23

esoknya guru Kewarganegaraan di SMA saya menyindir habis-

habisan tindakan aksi yang saya ikuti dengan tak lupa sedikit

‘mendelik’ ke arah saya. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, benar-

benar drop, down, mati kutu, apapun namanya itu.

Dengan adanya kata AKSI itu, saya memasung sama sekali

keinginan saya untuk bergabung dengan KAMMI. Cukuplah saya

memberikan kontribusi saya untuk dakwah di LDK di kampus

manapun saya berada nantinya, begitu pikir saya.

Semakin menguatkan pemikiran saya kala itu, saya pun

membuat dalih macam-macam dalam otak saya: “Memangnya

kenapa kalau saya tidak ikut KAMMI? Toh, bukan KAMMI yang

saya junjung tinggi. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib saya

bela sampai mati.”

Jadi, meskipun ketika itu murobbi berkisah lagi tentang

KAMMI, atau ketika mbak dan mas saya yang lebih dulu

melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengatakan bahwa

mereka masuk dan bergabung bersama KAMMI, saya kukuh dan

kokoh, tak tergoda.

Sampai di suatu kesempatan, saya bertanya pada seorang

kakak yang saya kenal baik sejak SMA. “Mbak, kenapa memilih

KAMMI, bukan organisasi mahasiswa lain?”

Dari hasil diskusi dengan beliau, saya pun belajar dengan

menyimpulkan.

“Ya. KAMMI tak lain memang hanyalah sebuah wajihah

dakwah. Namun dengan menunjukkan kata “hanya”, tak berarti ia

24

tak memiliki arti penting dalam perjuangan dakwah ini. Berada di

dalamnya pun bukanlah suatu perkara yang mudah. Tak seperti

di Lembaga Dakwah Kampus maupun organisasi mahasiswa

internal lainnya yang memiliki suplai kader berlimpah, KAMMI

memiliki kader aktif yang relatif sedikit. Saat berada di KAMMI

akan menjadi sangat membosankan. Sedikit yang kita dapatkan,

namun begitu banyak yang harus dikorbankan. Melelahkan,

karena ia menuntut begitu banyak perhatian dari kita.

Menyebalkan, karena tak semua orang didalamnya sejalan

dengan pemikiran. Bahkan menakutkan, lantaran resiko besar

yang siap menghadang kapan saja.”

Setelahnya, bukannya saya semakin termotivasi untuk

tetap meneguhkan pendirian saya dengan menolak KAMMI

dalam hidup saya. Malah saya semakin kagum dengan

keberjalanan wajihah dakwah yang satu ini.

Nyatanya, dengan segenap problematika yang ada.

Dengan minimnya suplai kader dan dana, dakwah KAMMI tetap

eksis dalam kancah perpolitikan mahasiswa hingga sekarang. Ia

tetap kokoh berdiri meski ribuan tangan berusaha

merobohkannya. Bahkan dari rahimnya senantiasa lahir sosok-

sosok pemim pin yang teguh membawa misi juang sebagai

‘Director of Change’.

Jika diibaratkan, maka KAMMI tak lain adalah sebuah

perahu yang berlayar di atas samudra kehidupan. Sedang kita

yang berada didalamnya, masing-masing adalah nahkoda serta

awak kapalnya. Apakah kita hendak mengikuti aliran arus

kemanapun ia membawa kita tanpa perlu bersusah payah

mendayung, ataukah kita hendak membawa bahtera ini melawan

25

dinamika arus yang ada dengan mengokohkan eksistensi kita

lewat dayungan dari tangan-tangan yang kokoh serta hati-hati

yang tangguh?

Akankah jika bahtera kita terhempas ombak dan

menabrak karang yang kokoh hingga terjadi chaos padanya kita

akan menyerah dan rela menceburkan diri ke laut untuk

menyelamatkan diri, ataukah kita tetap berada didalamnya

dengan menanggung segala resiko yang ada?

Ya, semua kembali pada kita.

Maukah kita berada di dalamnya atau tidak. Semua

bergantung pada kemauan kita. Toh, seperti yang saya katakan

di awal tadi. KAMMI bukanlah satu-satunya wajihah dakwah.

Dan kini, disinilah saya berada.

Baru beberapa bulan memang. Ya, baru sebentar. Belum

ada getar-getar aneh pertanda cinta yang menggebu

didalamnya. Meski demikian, ada amarah yang bergemuruh di

dada manakala orang lain mengatakan hal yang buruk tentang

KAMMI. Katanya, KAMMI ini lah, itu lah. Saya yakin, pasti rekan

semua lebih tahu dari saya pribadi.

Namun, seperti kata Imam Hasan Al Banna dalam Bainal

Amsi Walyaum (Antara Kemarin dan Hari ini)

“Setiap pemerintahan akan membatasi gerak langkah

kalian serta menaburkan duri-duri di jalan yang kalian tempuh.

26

Para perampas akan berjuang dengan segala cara untuk

menyerang dan memadamkan cahaya dakwah kalian.

……

Semua orang akan menaburkan debu-debu keraguan di

sekitar dakwah kalian dan melancarkan tuduhan-tuduhan tak

beralasan kepadanya. Mereka akan berusaha untuk mencari-cari

setiap kekurangan di dalam dakwah kalian serta mengeksposnya

kepada khalayak ramai setelah dimanipulasi seburuk mungkin

dengan bantuan kekuatan dan kekuasaan mereka, berbekalkan

harta dan pengaruh yang mereka miliki.

‘Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-

mulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya,

meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.’ (Ash-Shaff:8)

……

Namun, Allah SWT menjanjikan bahwa setelah itu semua

berlalu. Akan ada pertolongan bagi para mujahidin serta pahala

bagi orang-orang yang bekerja secara ihsan.

Maka Akankah Kalian Tetap Tegar Menjadi Pembela

Agama Allah? Saya menjawab seruan ini, rekan. Dan saya

pastikan, anda pun demikian.

Karena saya adalah KAMMI. Karena anda adalah KAMMI.

Karena kita adalah KAMMI.

27

Mencari Jalan Pulang

Mengapa aku mencintai KAMMI?

Pertanyaan ini sering terbersit dalam benak saya tanpa

pernah saya coba temukan jawabnya secara pasti. Entah, apakah

karena cinta itu tak pernah ada, atau karena saya masih yakin

sepenuhnya bahwa cinta tak butuh alasan, atau karena tertutupi

oleh sekian baris daftar kekecewaan yang saya rasakan selama

menjadi bagian dari barisan ini?

Beberapa orang mengatakan mereka mulai jatuh cinta

pada KAMMI sejak mengikuti Dauroh Marhalah 1. Saya? Ah,

tidak sepertinya. Dauroh Marhalah 1 (DM1) tak memberi kesan

yang mendalam bagi saya. Bukannya saya tak memperhatikan,

sungguh, saya mencoba berkonsentrasi, memperhatikan setiap

detik pemaparan materi, berusaha menyelesaikan tugas dengan

baik, berusaha sepenuhnya menjalankan setiap ketetapan

maupun peraturan yang digariskan oleh panitia. Nyatanya? Saya

gagal menyimpulkan satu ketetapan yang pasti bahwa saya jatuh

cinta pada KAMMI setelah mengikuti DM 1.

Saya belum menyerah. Saya lemparkan pernyataan pada

diri saya kembali, sekadar untuk meyakinkan. “Mungkinkah kau

jatuh cinta sejak mengikuti ICES-Islamic Civilization Engineering

School-Sekolah Rekayasa Peradaban Islam?” Saya ragu untuk

menjawab. Berfikir sedemikan panjang untuk menjawab. Namun

kembali harus dihadapkan pada jawaban jujur yang tak

memuaskan : Tidak.

28

Bukan, tentu bukan karena ICES. Saya rasakan forum-

forum yang kering dari nilai-nilai intelektualitas, miskin diskusi

dan dialektika, sekadar ceramah satu arah, Tanya jawab, lalu

selesai. Diskusi yang tak diimbangi dengan diskursus dan bacaan

komprehensif serta ketidakjelasan materi, yang sekali lagi

membuat saya kecewa karena dari sekian banyak buku yang saya

baca, tak ada satu pun yang dijadikan landasan dalam

berdialektika. Saya coba maklumi itu. Saya coba pahami bahwa

inilah kesatuan. Kesatuan pandang dalam menyikapi masalah.

Kesatuan arah dalam memandang persoalan. Dan kesatuan

gerak dalam menjawab tantangan kehidupan. Ya, karena ini

barisan yang bersatu. Karena inilah yang disebut Kesatuan.

Maka mulailah saya coba mencari alasan itu. Jawaban dari

pertanyaan “Mengapa” yang normalnya dijawab dengan kata

“karena bla bla bla ”. “Karena KAMMI adalah organisasi yang

komprehensif. Lengkap dengan gerakan dakwah tauhid,

kemamapanan intelektual profetik, aktif berkontribusi secara

langsung dalam ranah garap sosial, hingga terjun langsung

dalam pergulatan politik praktis di kampus.” Ujar saya mantap

ketika salah seorang teman di Lembaga Dakwah Kampus

menanyakan “Kenapa anti semangat banget di KAMMI ukh?”

Benar begitu? Ah, jawaban itu tak bertahan lama. Karena

pada kenyataannya, saya kembali merasa kecewa pasca didaulat

menjadi salah satu staff dalam jajaran kepengurusan KAMMI

komisariat Shollahudin Al Ayyubi UNS. Kecewa bukan main.

Karena harapan tak sesuai kenyataan? Ya. Karena saya harus

menghadapi ketidakidealan disetiap sisi? Ya.

29

Meskipun pada kenyataannya, sebagai pengurus belum

banyak yang bisa saya berikan. Bahkan barangkali tak pernah

benar-benar saya hadirkan hati dan totalitas kesungguhan dalam

setiap aktivitas, sungguhpun betapa keras saya meyakinkan diri

saya bahwa ini normal. Wajar. Tak jadi soal. Semua baik-baik saja.

Saya tak mengatakan bahwa kinerja KAMMI payah. Tak

begitu. Saya rasakan betapa KAMMI tetap berusaha untuk

bercokol, berusaha untuk tetap eksis dengan memberikan

sumbangsih dalam ranah garap sosial, intelektual, maupun

pembelajaran politik baik secara teoritis maupun praktis, tak

sebatas aksi ‘parlemen jalanan’ semata. Jauh lebih berarti dari

sekedar mereka yang sibuk bernyanyi dengan nada-nada

sumbang dalam upaya destruksi pemikiran, pemandulan kerja-

kerja intelektual dan taktis, bahkan hanya sibuk cari massa dan

cari sensasi.

Saya hanya rasa ada yang kurang pas. Mungkin saya

salah. Mungkin semua baik-baik saja. Mungkin saya yang tak

baik-baik saja.

Mengapa aku mencintai KAMMI? Belum juga terjawab.

Maka saya lakukan sebuah proses pencarian panjang

yang bahkan sampai saya selesai menuliskan tanda titik di akhir

tulisan ini, belum bisa saya temukan jawabnya.

Atas ajakan seorang teman, jelang detik terakhir semester

pertama, saya putuskan mengikuti Latihan Kader 1 HMI dengan

mendapat predikat yang sangat memalukan: TIDAK LULUS.

Predikat ini sama sekali tak membuat saya jera, malahan saya

30

semakin antusias dan bergairah. Mulailah saya rutin mengikuti

diskusi-diskusi yang diadakan komisariat, membaca buku-buku

yang sering dijadikan referensi oleh Kanda-Yunda saya,

mengikuti alur berpikir mereka yang bebas, merdeka, tanpa

sekat. Sungguh menyenangkan.

Saya semakin tertarik. Mungkin atas dasar hasrat anak

muda yang selalu ingin cari hal-hal baru. Entahlah, tak tahu.

Mengalir saja seperti itu. Maka saya biarkan diri saya larut dan

hanyut mengkomparasikan pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi

dan Mukti Ali. Mulai rajin searching e-book Nurcolis Madjid,

Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi yang notabene selalu

dikaitkan dengan JIL. Meskipun, di sisi yang lain selalu disodori

buku Fathi Yakan: Robohnya Dakwah di Tangan Da’I dan buku

Ust Eko Novianto, Sudahkah Kita Tarbiyah?

Saya sering merasa lelah dan galau, marah dan sedih,

jengkel dan kecewa, meski terkadang ada rasa asyik yang

menggairahkan saat saya temukan banyak hal baru dalam

petualangan saya ini. Beberapa teman mulai katakan saya

pengkhianat, selingkuh, dualis, dan lain sebagainya, saya tetap

berpura-pura cuek dan lakukan rutinitas saya sebagai pengurus

di KAMMI tanpa rasa bersalah. Tetap berusaha profesional dan

persembahkan totalitas kerja untuk membuat jantung KAMMI

yang bernama Kaderisasi ini berdetak—meski tak banyak yang

bisa saya lakukan.

Enam bulan berselang, tak ada tanda yang pasti bahwa

saya akan akhiri pencarian ini. Saya masih asik masyuk dengan

dialektika yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri. Sibuk

menandingkan pikiran ustadz ini dengan syekh itu. Lakukan

31

destruksi besar-besaran pada konsepsi soal ketuhanan dan

kemerdekaan dengan menyandingkannya dengan konstruksi

pada landasan dakwah tauhid dan konsep al qiyadah wal

jundiyah. Penat. Pusing.

Pada akhirnya, saya tetap turuti dorongan yang begitu

bergemuruh dalam dada untuk kembali menjajal mengikuti

Latihan Kader 1, tepatnya di Sukoharjo. Berbeda dengan hasil

memalukan di LK pertama, di LK yang kedua ini, saya mendapat

predikat: Peserta Terbaik yang tak terlantik. Mungkin begitulah

rencana yang Tuhan gariskan, agar saya tak begitu kesulitan saat

menjadi kader ganda dimana di satu sisi saya masih terdaftar

dalam kepengurusan KAMMI namun disisi yang lain menjadi

Anggota Biasa 1 di organisasi eksternal yang lain.

Belum lagi usai kisah cinta segitiga ini, saya lakukan

pencarian kembali. Kali ini dengan Muslimah Hizbut Tahrir

Indonesia (M-HTI) yang diawali dari sebuah seminar yang batal

saya ikuti karena lebih prioritaskan ikuti pleno tengah KAMMI.

Pasca itu, rutinlah saya mengikuti Focus Group Discussion yang

dilaksanakan setiap sepekan sekali dalam komunitas M-HTI.

Dengan pemikiran yang sudah acak-acakan karena belum

sempurna terkonstruksi kembali, saya dipaksa benturkan lagi itu

pada satu konsepsi pemikiran baru yang masih asing untuk saya.

Sempurnalah kegilaan temporal yang saya alami.

Sudah demikian banyak yang saya tuliskan. Tapi belum

jua sampai pada jawaban atas pertanyaan “Mengapa aku

mencintai KAMMI?” Menjengkelkan ya? Sungguh, tak bermaksud

lakukan itu. Tapi memang dengan cara inilah saya belajar

32

mencintai KAMMI. Belajar mencintai dengan adanya acuan

kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga

pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnya

dipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai

secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan

pertimbangan akal sehat.

Dengan melalui semua itu, saya dapatkan pelajaran

berharga bahwa setiap etnosentris golongan maupun pribadi

yang menganggap bahwa dirinya-lah yang serba tahu dan

faham, yang anggap bahwa orang-orang diluar diri dan

lingkungannya tak mengerti soal kelembagaan, organisasi,

wawasan keislaman dan pengetahuan tak akan hasilkan apapun

kecuali kematian intelektual yang menjerumuskan.

Saya mencintai KAMMI secara sadar. Dengan kesadaran

itu, saya yakin bahwa KAMMI mampu kembalikan spirit

perjuangan yang dulu membara, yang tak akan pernah

berkompromi terhadap idealisme walau dibujuk dengan harta

dan tahta. Spirit perjuangan yang membentuk pribadi muslim

untuk menjadi penegak dalam bergerak mengembalikan

kegemilangan Islam.

33

“Ya, Memang Beginilah KAMMI..”

Prawacana

Muda dan energik, begitulah saya memandang KAMMI di

usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai

organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan

Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil

menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman,

kemahasiswaan, dan keindonesiaan. Namun, dengan latar

belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada

semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika

kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada

otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga

menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir,

dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untuk

melakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman

tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar.

Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus

menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang

menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan

parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam

tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah

ini menyisakan kalimat, “Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu

memang seperti ini..” ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari

eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif

dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu

sentral dalam pergerakannya.

34

Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti

minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di

tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mau

tidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis

sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi.

Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat

dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang

melingkupinya.

Dua Kutub dan Gebrakan Baru

Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan

mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuan-

intelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan

minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan

politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik

praktis dan kerja-kerja teknis.

Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam

mendiagnosa ‘penyakit’ ini cukup tepat untuk menjelaskan apa

yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini. Dengan konteks historis

yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut

bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis, namun

bukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian

mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan.

Bukan begitu?

Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini

mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat

sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah

mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-

35

forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang

menghadirkan para founding fathers KAMMI guna merealisasikan

secara kongkrit perubahan yang diharapkan.

Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan

terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam

kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata,

“Ya, beginilah KAMMI..”, sehingga sebuah gebrakan yang tegas

dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal

guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur

dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah

disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.

Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas

ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang

setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan,

yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan

menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan

referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia.

“Ya, Memang Beginilah KAMMI. . .”

Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa

menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan

mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan

perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tanda-

tanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa

terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan

kekritisannya menjadi tersumbat.

36

Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif

ini digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan

dengan percaya diri dan lantang mengatakan, “Ya, Memang

Beginilah KAMMI. .”

Semoga.

37

Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan

Reformasi : Antara Tuntutan, Realita,

dan Harapan

‘Mahasiswa’ adalah sebuah kata dengan asumsi

tanggungjawab besar dalam perkembangan keberjalanan

sebuah negara. Dengan idealisme dan ketajaman intelektual

serta energi yang melimpah, kelompok mahasiswa selalu

diidentikkan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Maka, adalah menjadi realitas historis yang sangat masuk akal

apabila kalangan mahasiswalah yang secara aktif melakukan

perlawanan terhadap otoritas kekuasaan. Hal ini lebih

dikarenakan pada alasan bahwa mereka mempunyai komitmen

serta otoritas moral yang tinggi terhadap penderitaan yang

berlangsung di sekitarnya. Sebagai intelektual, kalangan

mahasiswa dinilai mempunyai kemampuan berpikir serta

kapasitas keilmuan untuk membaca struktur sosial yang secara

kontinyu mengalami perubahan.

Dalam membaca lintas kesejarahan mahasiswa, perlu kita

lihat adanya corak khas yang menjadi karakter gerakan

mahasiswa, yakni menempatkan dirinya di posisi

ekstraparlementer yang memanfaatkan momentum dan

bertindak vis a vis negara. Tuntutan yang diusung pun relatif

sama, yakni berupaya secara tegas melawan kekuasaan yang

dinilai melakukan penindasan terhadap rakyat.

Saat rezim orde baru berkuasa, digunakanlah terminologi

baru untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni politik

38

praktis versus politik moral. Ini dikarenakan pemerintah melihat

munculnya gelombang perlawanan dari mahasiswa yaitu

penolakan terhadap kenaikan BBM yang dinilai menyengsarakan

rakyat dan desakan menuntut ketegasan pemerintah

memberantas korupsi yang dimotori oleh Arif Budiman dan

Hariman Siregar. Penolakan ini berpuncak pada peristiwa Malari

tahun 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana

Menteri Jepang Tanaka, yang memunculkan lahirnya Tritura baru:

Ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi presiden, dan

turunkan harga.

Hal ini tentu saja dinilai mengancam kekuasaan dan

otoritas pemerintah. Maka, pemerintahan orde baru pun

mengambil tindakan pengekangan berupa SK No.0156/U/1978

mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan

Koordinasi Kampus) melalui SK menteri P&K No.037/U/1979

dimana setiap organisasi Dewan Mahasiswa di kampus

dibubarkan dan atau diawasi secara ketat guna menekan

aktivitas poltik yang ada. Ditambah lagi dengan UU Ormas serta

munculnya LSM sebagai gerakan alternatif yang berdampak

pada generasi kampus yang apatis dan rezim rezim pemerintah

semakin represif. Dengan demikian, politik praktis seolah

menjadi hal yang haram untuk dimasuki, sehingga mahasiswa

pun seolah berada dalam sangkar moralitas yang kesuciannya

tak boleh ternoda oleh sifat praktis dari politik.

Namun, apakah gerakan mahasiswa kemudian mati

begitu saja? Ternyata tidak! Kondisi yang demikian represif justru

menyuburkan budaya diskusi dan gelombang baru pergerakan

mahasiswa yang berporos pada masjid-masjid kampus, sebut

saja munculnya LDK di masjid salman ITB yang dimotori oleh

39

Imaduddin Abdulrahim yang berkembang dan menyebar di

seluruh kampus di Indonesia.

Pada tahun 1990, kebijakan NKK-BKK dicabut, sehingga

kebebasan berpendapat dan berorganisasi kembali dapat

berjalan meskipun masih dalam kekangan yang sedemikian rupa.

Namun, masjid kampus sebagai basis aktivisme baru mahasiswa

nyatanya semakin subur dan berkembang dengan dinamisasi

tersendiri yang tak terjamah oleh pemerintahan yang represif. 8

tahun berselang, dalam sebuah momentum FSLDK (Forum

Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) ke X se Indonesia yang

diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada

tanggal 29 April 1998 dicetuskan dan dimunculkanlah KAMMI

sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis

mahasiswa muslim.

Kejenuhan mahasiswa terhadap rezim orde baru semakin

memuncak ketika untuk kesekian kalinya Soeharto terpilih

kembali menjadi Presiden RI, ditambah lagi dengan krisis

ekonomi yang melanda Indonesia sedemikian parahnya.

Gelombang perlawanan mahasiswa ini dimulai sejak 20

Mahasiswa UI mendatangi gedung MPR-DPR yang dengan tegas

menolak laporan pertanggungjawaban presiden, yang kemudian

disusul dengan aksi besar-besaran hingga menilbulkan

kerusuhan berdarah di beberapa tempat, termasuk Solo.

Selanjutnya, pada Mei 1998 ribuan mahasiswa berhasil

menduduki gedung DPR/MPR yang menjadi titik balik lahirnya

era reformasi dengan tuntutan: diturunkannya Soeharto,

dicabutnya dwi-fungsi ABRI, diberantasnya KKN,

40

diamandemennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah,

serta ditegakkannya supremasi hukum.

Pasca reformasi, banyak pihak merasa belum

terbentuknya suatu mekanisme perpolitikan nasional dalam

memformulasikan terjadinya perubahan dalam konstelasi politik

nasional. Alih-alih menciptakan pola masyarakat yang melakukan

politik konstruktif, hingar bingar dalam pentas politik kita justru

mencerminkan kebinatangan yang tak beradab dari para

lakonnya yang cenderung berorientasi pada kekuasaan dan

mengesampingkan etika serta tatanan nilai yang berlaku secara

umum dalam masyarakat.

Reformasi melahirkan sejumlah aktor politik baru yang

diharap bisa memberi wajah baru politik menjadi lebih bermoral

dan bermartabat. Mereka muncul dari kalangan akademisi,

agamawan, maupun para pengusaha, tidak melulu dari kalangan

militer. Sayangnya, integrasi yang diharapkan ini tak berjalan

sesuai yang diharapkan, politik tetap sajalah bernama politik

yang tentunya memakai perhitungan matematis kalkulasi

kekuasaan yang untuk meraihnya sering kali menggunakan cara

yang bertentangan dengan hati nurani.

Realita perselingkuhan antara kekuasaan politik dengan

mekanisme pasar globa turut membenarkan apa yang dikatakan

Marx bahwa Negara dimanapun ia, akan selalu berpihak pada

pemegang kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi

secara agresif dan privatisasi secara massif baik itu dalam bidang

ekonomi maupun pendidikan telah membawa dampak yang bisa

kita rasakan bersama dimana pendidikan yang bertujuan

41

mendorong tradisi intelektual kemudian disulap menjadi pasar

kerja.

Pada akhirnya, kita menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Selain menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada

kelompok akar rumput. Institusi yang dianggap mewakili rakyat

pun malah menjadi pengusung utama digelontorkannya

kebijakan tersebut.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa latar

belakang kelahiran KAMMI dan peranan yang dilakukan dalam

penggulingan orde baru menuju era reformasi dan pola yang

bisa ditempuh oleh KAMMI dan gerakan mahasiswa secara

umum untuk mengawal 15 tahun agenda reformasi? Kita lah

yang harus menjawab.

42

Merayakan Keberagaman KAMMI

Aku Berpikir, maka Aku Ada

“Apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar,

dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap

bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai

semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan

yang berfungsi.”-Erikson

Dalam teori perkembangan kepribadian yang

dikemukakan oleh Erikson, ada delapan tahap perkembangan

yang terjadi dalam perkembangan identitas seseorang.

Perkembangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang teratur

dan bersifat hierarkis. Delapan tahap perkembangan kepribadian

menurutnya, memiliki ciri utama dimana di satu pihak bersifat

biologis, sementara di lain pihak bersifat sosial. Keduanya

berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Disini, penulis hanya

akan membahas mengenai tahap ke-5 dari perkembangan teori

kepribadian tersebut.

Dalam cultural studies, saat seseorang menginjak usia

remaja hingga 18-20 tahun, sebenarnya ia tengah menjalani

masa peralihan dari ketergantungan masa anak-anak menuju

otonomi masa dewasanya. Jika orang dewasa menilai masa

muda sebagai era transisi semata, kaum muda justru

menjadikannya sarana untuk mengungkap identitas diri mereka.

Menurut Erikson, dalam tahap ini pencapaian identitas

pribadi dan menghindari peran ganda harus dicapai. Kaum muda

43

haruslah memahami siapa dirinya yang sebenarnya di tengah

pergaulan dan struktur sosialnya agar pada akhirnya tidak

mengalami kekacauan identitas.

Dalam pencapaian identitas diri tersebut, seringkali kaum

muda bertindak sangat ekstrim dan berlebihan. Oleh karena

itu, pemberontakan senantiasa mengiringi perjalanan

pengalamannya dalam mengungkap berbagai penanda ideologis

yang menguak gambaran utopis tentang masa depannya. Tak

pelak, slogan “Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari”

seolah menjadi cambuk yang melecut gairah kaum muda untuk

beraktualisasi lebih.

Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda, dengan

menggunakan sudut pandang diatas sejatinya memiliki substansi

yang sama. Mahasiswa mencoba mengaktualisasikan

keberbedaannya dengan melakukan sebuah movement, antara

lain dengan membuat komunitas dengan masuk dalam sebuah

organisasi maupun menjadi pegiat diskusi atau kajian. Ruang

diri yang lebih terbuka seolah menjadi identitas baru yang ia

identifikasikan dalam kepribadiannya yang khas.

Pergerakan mahasiswa dalam hal ini, menggunakan

logika dengan gejala yang sama. “Aku berpikir maka aku ada”,

demikian kata Descartes yang kemudian oleh mahasiswa aktivis

diplesetkan menjadi, “aku berdiskusi, aku aksi, aku berontak, aku

berbeda dari mainstream, maka aku ada”. Mungkin hal ini

memang tidak berangkat dari teori an sich, tapi kenyataan-

kenyataan yang penulis lihat di lapangan menunjukkan gejala

yang relatif sama.

44

Dua Kutub

Pada dasarnya, dalam setiap ruang, manusia memiliki

penyikapan yang beragam atas situasi yang dihadapi.

Penyikapan ini, hemat penulis, bisa digolongkan dalam dua

kategori ekstrem, yaitu ‘adaptasi’ dan ‘rekayasa’. Sederhananya,

jika kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang panas,

adaptasi yang kita lakukan adalah dengan menyesuaikan tubuh

kita agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan

melepas jaket yang dikenakan, misalnya. Sementara, rekayasa

yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah kondisi

lingkungan, misal dengan menyalakan kipas angin atau

membuka jendela agar terjadi sirkulasi udara.

Demikian pula yang kaum muda lakukan dalam

pencapaian identitas kepribadiannya. Dalam dunia aktivis,

mereka akan mensekatkan diri pada pengkotak-kotakan

idealisme gerakan. Tak hanya bertumpu pada satu mainstream

gerakan, tapi tersebar dalam seluruh komponen, baik komponen

hobi, minat, bakat, aktivitas politik, keagamaan, dan lain

sebagainya. Seringkali terjadi kekacauan identitas antara dirinya

dengan entitas yang bersama hidup dalam kelompoknya. Erikson

menyebut malignansi ini dengan sebutan ‘pengingkaran’. Ia akan

mengingkari keanggotaannnya dalam sebuah entitas tempat ia

hidup bermasyarakat dan mencari identitas di tempat lain yang

merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan

sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka

sebagai bagian dalam kelompoknya.

Hal ini menjelaskan bahwa di lapangan-dalam dunia

aktivis, ada beragam kasus yang mengungkap bahwa sebagian

45

orang dari suatu entitas cenderung keluar dari pakem kebiasaan

yang melekat di organisasinya karena menganggap bahwa

perbedaan yang mereka rasakan harus diaktualisasikan. Disisi

lain, mereka memproduksi ide perjuangannya dalam komunitas

yang memiliki mind-set seragam. Suatu hal yang kontradiktif

memang, tapi patut mendapat apresiasi.

Merayakan Keberagaman KAMMI

Berbicara tentang dunia aktivisme mahasiswa, tak akan

berlepas dari keberadaan KAMMI sebagai organisasi yang telah

penulis ikuti sejak tahun pertama di kampus. Bagi penulis, mitos

tentang internal kammi yang begitu-begitu saja, manut-manut

saja, adem ayem saja, statis dan homogen, harus diekspose

maknanya.

Sejak masa berdirinya, kenyataan yang heterogen dalam

internal KAMMI secara sadar ataupun tidak telah diingkari oleh

kelompok-kelompok internal yang seolah takut membiarkan

suara-suara yang tak beraturan berselisih paham dan

menimbulkan kekacauan internal. Hingga hari ini, ketakutan akan

resiko dan ketidakmenentuan berada pada tingkatan patologis.

Keberagaman dalam KAMMI seolah tak disepakati, disetujui, dan

bahkan didesak dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengikis

kesatuan internal.

Pertama-tama, yang harus dilakukan adalah sebuah

otokritik terhadap diri kita sendiri berkaitan dengan gagasan

tentang identitas dan perbedaan. Hal ini terjadi karena KAMMI

untuk waktu yang lama telah terjerat dalam jalan buntu

dialektika yang dibuatnya sendiri. KAMMI perlu menerima,

46

mengenali, dan bahkan merayakan keberagaman internal di

dalam dirinya.

Perlu disadari bawa keberagaman adalah sebuah fakta

kehidupan dan ciri yang bisa ditemui dalam semua peradaban.

Untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan

lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke

dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika kita belajar

menerima perbedaan-perbedaan internal kita dengan menerima

secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda

dari mainstream kebanyakan.

Mengontrol energi dan suara internal yang berbeda

bukanlah dengan menghapus atau meniadakan kehadiran energi

dan suara itu sendiri. Bahkan, cara tersebut hanya akan membuat

suara-suara yang tersumbat itu bermutasi dan menyembunyikan

diri menjadi suara-suara sub-altern yang beragam, gerakan

bawah tanah yang tersembunyi, dan semakin memperparah

ketidakstabilan organisasi.

Jika memang internal KAMMI ingin menciptakan kondisi

sosial yang kondusif agar tak menghambat kinerja organisasi,

maka, membuka pintu perbincangan, pikiran, dan perbedaan

dalam diri KAMMI sendiri adalah solusi ideal yang bisa

diterapkan secara berkelanjutan.

Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri

dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,

padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan

wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.

Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan

47

memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih

jujur.

Bukankah mengenali keberagaman yang ada dalam diri

kita akan membuka jalan untuk mengenali kebergaman yang

lain-lain juga?

Penutup

Dalam teorinya, Erikson mengatakan, kesetiaan akan

diperoleh sebagai nilai positif yang dipetik setelah melewati

tahap ini. Kesetiaan yang ia maksud memiliki makna tersendiri,

yakni kemampuan hidup berdasar standar yang berlaku di

tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,

dan ketidakkonsistenannya.

Pada akhirnya apapun yang dilakukan oleh sebagian dari

kader KAMMI yang ‘berbeda’ dari mainstream adalah dalam

rangka mencari identitas diri. Insya Allah, tak ada satu aktivitas

pun yang sia-sia. Jika memang yang dilakukan itu berangkat dari

keyakinan yang teguh akan kebenaran yang diperjuangkan,

maka biarlah Allah menilainya sebagi kebaikan, tetapi apabila

ternyata salah, minimal menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri.

Billahi taufiq wal Hidayah.

48

Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma

Gerakan KAMMI

To win being strong is not enough, you must be an idea

(Batman Begins)

Begitulah yang niscaya! Terlebih bagi sebuah organisasi

pergerakan dan terkhususnya lagi organisasi pergerakan

mahasiswa muslim. Ia tak hanya membutuhkan sejumlah besar

pasukan tangguh yang memiliki senjata tempur yang canggih,

tapi juga haruslah memiliki sebuah ide-ide dasar yang melandasi

setiap langkahnya. Ide-ide ini berkaitan dengan hal-hal yang

prinsip dan strategis dalam menentukan corak dan etika gerakan

dalam berfikir dan bertindak. Dengan landasan tersebut, maka

sebuah organisasi pergerakan akan memiliki rambu-rambu

dalam membimbing para anggotanya untuk mencapai visi yang

ingin dicapai.

Bukankah visi KAMMI sebagai wadah perjuangan

permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam

upaya mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang islami

sejatinya adalah visi dari setiap anggota KAMMI itu sendiri?

KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam

dalam hal ini merumuskan substansi spirit, paham, corak,

landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan

KAMMI. Menurut Ahimsa, Paradigma dapat didefiniskan sebagai

seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara

logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi

untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan

49

masalah yang dihadapi[1]. Seperangkat konsep inilah yang akan

membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang

ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalam

bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau

segmentasi yang lain sehingga pada akhirnya lahirlah sebuah

pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada

akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan

dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.

Namun demikian, Paradigma Gerakan KAMMI sebagai

seperangkat konsep ternyata baru memberikan gambaran umum

tentang isi dari kerangka pemikiran, belum memberikan

keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu

sendiri. Padahal, dalam upaya pengembangan paradigma,

pendefinisian konsep saja belum cukup, yang lebih penting

adalah pendefinisian unsur-unsur yang tercakup dalam

pengertian paradigma itu sendiri[2].

Dalam sarasehan intelegensia KAMMI yang dilaksanakan

24 Desember 2012 di Yogya, Imron Rosyadi selaku ketua SC

Muktamar IV KAMMI tahun 2004 menyatakan bahwa paradigma

gerakan KAMMI saat ini belum selesai dan bukan sesuatu yang

final. Dengan demikian, penjelasan lebih lanjut terkait dengan

komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka

pemikiran epistemologi dari paradigma tersebut sangatlah

diperlukan sehingga penerjemahannya ke ranah aksiologis akan

lebih terarah dan tidak menimbulkan multitafsir.

Dengan tidak bermaksud lancang dan sembrono, disini

penulis ingin mencoba menyusuri jejak epistemologis Paradigma

50

Gerakan KAMMI secara ringkas dann sederhana mengingat

kedangkalan pengetahuan yang penulis miliki.

Maka, Izinkan Aku Merajutnya dengan Benang

Kesederhanaan dan Jarum Ikhtiar-Alikta

Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti,

yakni: Dakwah Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independen,

dan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penulis akan

membahasnya dalam poin per poin.

Pertama, KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid. Tafsir

dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan dakwah tauhid adalah

gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan

terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta

mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah

SWT. 2) Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang

menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang

berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan

(ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam

(rahmatan lil ‘alamin). 3) Gerakan da’wah tauhid adalah gerakan

perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan

universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf

nahi munkar).

Mengapa dari sekian banyak frasa yang mungkin bisa

dirangkai, diambillah dua kata tersebut : Dakwah dan Tauhid.

Apa esensi yang terkandung dibaliknya? Jawaban yang paling

rasional disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki

adalah apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, beliau

menyatakan bahwa Tauhid adalah cara bertuhan yang paling

51

manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri.

Lebih lanjut, beliau menambahkan, inti kemanusiaan itu sendiri

adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan dan

memerdekakan. Sebab, manakala ia hanya bergantung dan

berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas. Contoh

analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa

bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia

tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu

dan statis[3]. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau

mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itu

sendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa(41:37). Ini disebut Tauhid,

dan lawannya disebut syirik, artinya mengadakan tandingan

terhadap Tuhan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka

jelaslah bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan

peradaban kemanusiaan….[4]Konsekuensi logis dari tauhid ini

adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia,

materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang

merdeka.

Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat

pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan

mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar

pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidak

ada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material

dan dunia spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan

manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain

kepasrahan kepada Tuhan. Manusia hanya bertanggungjawab

dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam,

ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan

terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud

menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan

52

Tuhan. Sehingga ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh

untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam

(rahmatan lil ‘alamin).

Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat

ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang

oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada

tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan.

Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan

dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus

mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan

dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: “Engkau

adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk

menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan

beriman kepada Allah”(3:110).

Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan

bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan

transdensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia,

menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan

kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan

amar ma’ruf. Liberasi atau pembebasan merupakan

implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi

merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billaah.

Kerja-kerja kemanusiaan ini secara essensial haruslah

menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu

menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang

memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.

Usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna

mengarahkan masyarakat pada nilai-nilai yang lebih baik, lebih

53

maju, dan lebih insani itu disebut amar ma’ruf, sementara usaha

guna mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-

nilai kemanusiaan itu disebut nahi munkar.[5]

Dan pada akhirnya, marilah kita maknai dalam-dalam

mengenai apa yang disampaikan Ust. Fathi Yakan berkaitan

dengan definisi dakwah. Beliau mengatakan bahwa dakwah

adalah menghancurkan dan membangun, maksudnya

menghancurkan jahiliah dengan segala macam bentuknya, baik

jahiliah pola pikir maupun jahiliah perundang-undangan dan

hukum, setelah itu membangun masyarakat Islam berlandaskan

Islam dalam bentuk, isi, perundang-undangan dan cara hidup,

maupun dalam persepsi keyakinan terhadap alam, manusia, dan

kehidupan[6].

Maka, demikianlah unsur pertama dari Paradigma

Gerakan KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid mengantarkan

saya pada pemahaman bahwa dakwah tauhid adalah landasan

mutlak bagi kader KAMMI untuk berfikir dan berkehendak

merdeka serta menjadi petarung sejati yang pemberani.

Kedua, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik.

Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan intelektual profetik

adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas

penjelajahan nalar akal. 2) Gerakan intelektual profetik

merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus

dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang

universal. 3) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang

mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha

perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan

pemberdayaan manusia secara organik. 4) Gerakan intelektual

54

profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas

rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara

bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal,

dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki

daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran,

terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.

Intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu :

Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran,

Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi,

kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan,

bukan yang dirubah oleh lingkungannya.[7]

Dalam menyelami makna profetik sebagai paradigma

gerakan KAMMI yang kedua ini, penulis dengan segala

keterbatasannya ternyata gagal memahami cara berfikir

Kuntowijoyo yang cenderung strukturalis-integralis, sehingga

disini penulis hanya menggunakan makalah Ahisma yang

bertutur mengenai akar epistemologis dan kritik terhadap Ilmu

Sosial-Profetik yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mencari akar

ontologis dari kata profetik untuk memudahkan pemahaman.

Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti

nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of,

pertaining or proper to a prophet or prophecy”; “having the

character or function of a prophet”; (2) “Characterized by,

containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna

profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau

55

bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita

terjemahkan menjadi ‘kenabian’.

Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa

Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat

dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan

adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak

hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga

memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,

untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik

tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah

berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini,

pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu

menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam

merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu

pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan

bertindak seorang muslim.

Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas

penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai

relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan

menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber

Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteks

profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman

kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan

dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang

beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-

pembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman

kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan

Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan

sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi

56

antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir

artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini

kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdir

berarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat

terhindarkan.

Dengan demikian, mengembalikan segala penalaran yang

dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses

sakralisasi terhadap-NYA. Inilah yang membedakan ilmu profetik

dengan ilmu sosial yang lainnya.

Pengembalian secara tulus dialektika wacana pada

prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dalam Paradigma

Gerakan KAMMI ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan

Ahimsa, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas

kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja

kemanusiaan yang meliputi : kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan

penghargaan.

Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar

wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Qur’an) dan

sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk

merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalam

upaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk

perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan

pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara

organik yakni merujuk pada intelektual yang merujuk pada

intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikulator dari

ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas yang

sedang tumbuh.

57

Dari Paradigma KAMMI yang kedua sebagai Gerakan

Intelektual Profetik, mestinya bisa menempatkan para kader

KAMMI sebagai ilmuwan yang memiliki ketajaman analisa

sehingga mampu menjadi penghitung resiko yang cermat yang

pada akhirnya akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang

mampu menjangkau realitas masyarakat secara tekstual dan

kontekstual guna mencari solusi paling efektif dan efisien dalam

penyelesaian masalah-masalah kerakyatan.

Ketiga, KAMMI adalah gerakan sosial independen. Tafsir

dari kalimat tersebut adalah : 1) Gerakan sosial

independen adalah gerakan kritis yang menyerang sistem

peradaban materialistik dan menyerukan peradaban manusia

berbasis tauhid. 2) Gerakan sosial independen merupakan

gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan

yang berakar pada nurani kerakyatan. 3) Gerakan sosial

independen merupakan gerakan pembebasan yang tidak

memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politik-

ekonomi yang membatasi. 4) Gerakan Sosial Independen

bertujuan menegakkan nilai sosial politik yang tidak bergantung

pada institusi manapun, termasuk Negara, partai, maupun

lembaga donor.

Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan

beberapa tokoh yang menjadikan kebebasan manusia sebagai

bagian utama filsafat mereka, yakni Hegel, Karl Marx, dan Jean

Paul Sarte. Hegel meyakini bahwa dalam sebuah Negara modern

masyarakat menginginkan pembebasan dari segala macam

belenggu. Ide Hegel ini diteruskan oleh Karl Marx dengan

sosialismenya yang mendobrak rezim kapitalisme yang kala itu

tengah membelenggu tatanan manusia.

58

Marxisme klasik menyuarakan pembebasan kaum buruh

dari kapitalisme guna terciptanya masyarakat tanpa kelas. Bagi

kalangan marxisme klasik, revolusi adalah sebuah keniscayaan

sejarah, sebab mereka menganggap kapitalisme adalah ideologi

yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Selain itu, mereka juga menganggap bahwa hubungan antar

sesama manusia hanyalah berdasar pada sistem produksi.

Persepsi yang muncul akan hal ini adalah bahwa

sesuatu/seseorang hanya akan memiliki nilai ketika ia mampu

menghasilkan atau memproduksi barang sehingga

mengesampingkan bahwa manusia pun memiliki dimensi

sosiologis dan psikologis[8].

Ide marxisme klasik ini ditentang oleh Antonio Gramsci,

Tan Malaka dan beberapa tokoh lain (revisionis Marx) yang

menyatakan bahwa revolusi bukanlah suatu keniscayaan sejarah,

namun muncul karena adanya kesadaran masyarakat terhadap

dominasi kaum mayoritas. Sehingga, kesadaran kolektif itu

haruslah ditumbuhkan, bukan hanya ditunggu sampai titik kritis

itu datang.

Dalam dunia Islam sendiri, Hassan Hanafi, seorang

mantan aktivis IM, juga menyuarakan kritiknya terhadap relasi

antara barat dan timur, dimana barat dinilai memarginalkan

dunia timur dengan menganggap bahwa peradaban mereka

adalah peradaban yang superior sementara peradaban timur

hanyalah kaum inferior sehingga mereka berhak mendikte timur

baik dalam masalah politik, ekonomi, maupun ideologi. Ia sendiri

juga berpendapat bahwa menempatkan teks-teks agama

(skriptualisme) untuk memahami Islam dalam pencarian

kebenaran tanpa menggunakan potensi akal adalah perbuatan

59

orang yang cepat putus asa dan lemah, sehingga ia selalu

melakukan kritik pada pemahaman Islam yang bercorak mistis

dan normatif.

Keduanya, baik revisionis Marx maupun revolusioner

Islam, mengangkat isu yang sama, yakni pembebasan manusia

dari belenggu baik dogma agama maupun dominasi kaum yang

berkuasa.

Gerakan sosial merupakan fenomena penting dalam

sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa-bangsa.

Hampir semua peristiwa besar yang mengubah sebuah tatanan,

baik itu dalam konteks politik, ekonomi maupun tatanan sosial,

seringkali bermula dan mendapat momentum dari sebuah

gerakan sosial. Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia

adalah pergerakan mahasiswa yang berkembang tahun 1960-

1970an.

Menegakkan nilai sosial politik yang independen adalah

jawaban konkrit atas sinisme pendanaan yang selama ini

dilakukan oleh sejumlah ornop (organisasi non profit) atau yang

biasa kita sebut dengan LSM. Tudingan yang umum dilancarkan

adalah konten agenda program yang harus menyesuaikan

keinginan lembaga donor. Hal ini tentunya akan membawa

implikasi buruk pada citra Gerakan, selain tentunya membawa

dampak jangka panjang yakni mudahnya gerakan disetir oleh

kepentingan-kepentingan politik dari Negara atau partai,

maupun kepentingan swasta dari lembaga donor.

Keempat, KAMMI adalah gerakan Politik

Ekstraparlementer. Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan

60

politik ekstraparlementer adalah gerakan perjuangan melawan

tirani dan menegakkan demokrasi egaliter 2) Gerakan politik

ekstraparlementer adalah gerakan sosial kultural dan

struktural yang berorientasi pada penguatan rakyat secara

sistematis dengan melakukan pemberdayaan institusi-institusi

sosial/rakyat dalam mengontrol proses demokrasi formal. 3)

Gerakan ekstraparlementer berarti tidak menginduk pada

institusi parlemen maupun pembentuk parlemen (partai politik

dan senator). Independensi sikap politik bulat utuh tanpa

intervensi partai apapun. 4) Gerakan ekstraparlementer bergerak

di luar parlemen dan partai politik, sebagai representasi rakyat

secara independen.

Saat menulis ini, ada yang mengganjal dalam benak

penulis, yaitu terkait stigma yang berkembang di masyarakat

secara umum mengenai hubungan struktural KAMMI sebagai

underbow dari Partai Keadilan Sejahtera yang memang

berlatarbelakang ideologi yang ‘identik’ (lepas dari kontroversi

yang muncul tentang itu). Untuk tidak memperlebar

pembahasan, maka disini penulis tidak akan membahas hal

tersebut.

Berbicara mengenai politik, seperti yang tertera dalam

Paradigma Gerakan KAMMI yang keempat, penulis melihat

bahwa politik yang ingin diperjuangkan KAMMI adalah politik

sebagai alat untuk melakukan suatu konstruksi sosial. Dalam hal

ini, ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat,

sebab manakala terjadi dikotomi antara keduanya akan berakibat

pada hilangnya kepercayaan publik (masyarakat) terhadap politik

yang diperjuangkan.

61

Namun, pada prinsipnya perjuangan guna melakukan

konstruksi sosial ini tak bisa lepas dari kondisi sosial-masyarakat

itu sendiri. Masih ingat dengan ucapan mahsyur ini ‘homo

hominis lupo est–manusia adalah serigala untuk sesama’? Akan

hal ini, Montesquieu beranggapan bahwa manusia purba yang

belum berkongsi sadar betul lemahnya ia di tengah alam

sekitarnya. Namun, hukum alam menuntun manusia guna

berkongsi dengan sesamanya yang mengakibatkan

kecenderungan untuk saling menguasai manusia lain, sebab saat

ia berkongsi, ia sadari bahwa manusia lain juga lemah dan

hilanglah ketakutannya. Kecenderungan pada kekuasaan ini

melahirkan nafsu dan tirani dalam diri manusia maupun

kelompok tempat ia melibatkan diri didalamnya.

Perlawanan terhadap tirani adalah kewajiban dari setiap

warga masyarakat. Akan tetapi, dalam prakteknya diperlukan

adanya suatu kelompok dalam masyarakat yang senantiasa

berusaha terus menerus melawan tirani yang pada prinsipnya

tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan guna menegakkan

keadilan yang merata.

Montesquieu berpendapat bahwa aspek pemerataan

(égalité) secara khusus bermakna persaman semua warga

dihadapan hukum. Namun, lebih lanjut ia mengatakan bahwa

égalité kurang bersifat legalis melainkan lebih menjurus kepada

faham fraternité, persaudaraan. Konsekuensinya, setiap warga

boleh memiliki harta, namun diharapkan setiap warga mencukupi

kebutuhan hidup dan keluarganya dan yang berlebihan

diberikan kepada negara untuk disalurkan kepada warga yang

kekurangan[9], sehingga muncullah solidaritas sosial sesama

62

warga, dan lahirlah sebuah konstruksi sosial menuju masyarakat

madani (civil society).

Civil society adalah modal yang dibutuhkan untuk

membentuk masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga

otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan Negara.

Akan menjadi hal menarik jika kita perhatikan kenyataan yang

ada, bahwa ternyata kekuasaan yang mendominasi kita secara

struktur justru merupakan komunitas minoritas disbanding

keseluruhan jumlah warga Negara Indonesia. Penguatan

masyarakat secara sistematis dengan melakukan pemberdayaan

institusi-institusi sosial/rakyat baik melalui jalur struktural

(meskipun saya tidak tahu bagaimana melakukan pemberdayaan

institusi melalui jalur struktural yang dimaksud disini- dengan

asumsi bahwa ggerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual

dan gerakan kultural) maupun kultural dalam meletakkan

pemahamannya pada asumsi bahwa demokrasi menuntut

keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial guna

mengontrol proses demokrasi formal yang berjalan.

Disinilah peran gerakan mahasiswa Islam sebagai basis

intelektual masyarakat untuk melakukan pencerdasan politik

pada masyarakat, dengan pembangunan opini publik maupun

penyelenggaraan diskusi rasional sehingga penguatan politik

masyarakat akan mampu membangun ruang komunikasi timbal

balik antara rakyat dan penguasa. Ketika ruang-ruang dialektis

terbuka dengan persamaan hak yang utuh, pada akhirnya akan

memberi kesempatan pada rakyat untuk bisa berperan dalam

pengambilan kebijakan/ peraturan perundang-undangan yang

hendak diberlakukan.

63

Agar hal ini dapat terjadi, maka gerakan tidak boleh

menginduk pada institusi parlemen maupun pembentuk

parlemen (partai politik dan senator). Ilustrasi sederhananya

adalah tidak mungkin seseorang akan mengatakan A dan B di

waktu yang bersamaan. Misal pada saat yang sama saya

mengatakan : IBU, saya juga mengatakan: AYAH. Apakah yang

kemudian akan didengar oleh orang lain? BUAYA? UUAAA? Atau

*&%$#@ (sebuah bahasa yang tak dikenal maknanya)? Apa

yang kemudian di dengar oleh orang lain tentulah berbeda

dengan pemaknaan awal kata IBU maupun AYAH. Jelas disini

bahwa seseorang yang berbicara atas nama rakyat tidak

mungkin kemudian berbicara juga atas nama pemerintah. Tentu

yang saya maksud bukan pengertian rakyat vis a vis pemerintah.

Namun, kontradiksi/ketidaksesuaian antara kedua institusi itulah

yang mengharuskan gerakan mengambil posisi independen,

sebab ketergantungan gerakan pada institusi partai sebagai

bagian dari pemerintah dikhawatirkan akan membuat distorsi

yang membatasi obyektivitas gerakan dalam menentukan

langkah aksiologis dalam menanggapi suatu permasalahan.

Disini, diperlukan suatu sikap independensi bulat utuh tanpa

intervensi dari pihak manapun, meskipun hal ini juga tak berarti

bahwa gerakan mengambil posisi yang sejauh-jauhnya dari

partai politik dan berantipati padanya.

Disini, penulis melihat adanya kontradiksi mengenai apa

yang ada dalam Paradigma Gerakan dan Unsur Perjuangan

KAMMI terkait independensinya sebagai gerakan politik

ekstraparlementer (merujuk pada teks, bukan pada ranah

praksis). Tanpa bermaksud melakukan tindakan korektif terhadap

kedua hal tersebut, penulis memandang bahwa hal tersebut

64

menjadi batu penghalang dalam merajut epistem pemahaman

mengenai independensi KAMMI.

Berikut penulis sampaikan agar benang epistem ini tidak

kusut dan memperburuk rajutan (yang sudah cukup buruk). Saat

dalam Paradigma Gerakan ditegaskan bahwa Independensi

KAMMMI adalah sikap bulat utuh tanpa intervensi partai apapun

serta menempatkan diri sebagai representasi rakyat yang

independen. Disisi yang lain, Unsur-Unsur Perjuangan KAMMI

pada bagian KAMMI dan Partai Politik berisikan: ‘… KAMMI akan

siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih

mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada

rakyat dalam berpolitik.’

Disini, ada semacam ‘pseudo-tolerance’[10]yang kentara

terlihat. Disebut pseudo-tolerance karena toleransi yang

demikian adalah konsep toleransi yang setengah-setengah,

penuh kompromi dan tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu

sisi KAMMI menegaskan sikap independennya, namun disisi lain

tetap membuka kran kerjasama dengan partai politik. Bagi saya,

ini bukanlah hal yang sehat. Meskipun demikian, penulis tidak

akan membahas lebih jauh hal tersebut karena (lagi-lagi) pasti

akan bersinggungan dengan ranah praksis. Harap dimaafkan.

Independensi adalah bentuk nyata dari fitrah

kemanusiaan manusia yang telah memutuskan untuk

mentauhidkan Allah SWT, ini akan teraktualisasikan dalam

dinamika berfikir, bersikap, dan berperilaku dalam konteks

hubungan vertikalnya dengan Allah SWT maupun hubungan

horizontalnya terhadap sesama manusia. Independensi ini akan

memunculkan kebebasan, keterbukaan, dan kemerdekaan yang

65

melahirkan sikap objektif, rasional, dan kritis, sehingga pada

akhirnya membentuk karakter insan yang progesif, dinamis,

demokratis, jujur, dan adil[11].

Ketika masing-masing pribadi telah mengaktualisasikan

konsep independensi dalam dirinya, maka independensi gerakan

semestinya bisa menjadi watak yang secara alamiah tergambar

dalam pola pikir maupun tindakan nyata gerakan. Hal ini akan

melahirkan sikap independensi sikap politik bulat utuh tanpa

intervensi partai apapun sebagai representasi rakyat secara

independen.

Penulis berharap, makna-makna dalam kata independensi

kaitannya dengan partai maupun lembaga donor bisa diartikan

secara lebih bijak. Sebab, independen sendiri tak mesti bermakna

‘menjaga jarak yang sama dalam semua momentum’. Sebab,

melihat tata dunia sekarang yang serba terbuka, modern, dan

kompleks, saling memengaruhi dan saling bergantung tidak bisa

dinafikan, sehingga terkadang dalam derajat tertentu kita harus

memberikan interdependensi dalam pemaknaan independensi

tersebut. Lebih lanjut lagi, ini dikarenakan KAMMI adalah

gerakan politik aktif (sebagai implementasi dari harokatul ‘amal),

bukan gerakan politik pasif.

a Man May Die, a Nation May Rise, But an Idea Lives On-J.F

Kennedy

Kata Cak Nur, ide itu berkaki. Maksudnya, ide-ide yang

kuat berakar pada persoalan-persoalan teoritis dan kontekstual

akan memiliki kakinya sendiri. Ide-ide itu akan menjadi

perdebatan di pasar bebas ide (free market of ideas). Ada orang

66

yang meneruskannya, dan tentu saja akan ada yang

mengkritiknya.[12]

Apakah Paradigma KAMMI akan mengakar kuat dalam

sanubari para kader untuk kemudian diwariskan ke generasi

berikutnya akan tergantung dari bagaimana ide-ide itu

menyentuh persoalan dari segi tekstual dan kontekstual. Karena

itulah epistemologi yang menyusun kerangka berfikir menjadi

sebuah bahasan yang penting. Meskipun demikian, penulis pun

menyadari bahwa berlelah-lelah dengan epistemologi ini

sungguh akan menghabiskan waktu dan tenaga. Apalagi jika

menilik konteks historisnya epistemologi bisa dikatakan hampir

atau telah mati.

Berangkat dari konsep Descartes yang cenderung skeptis

memandang dunia, orang-orang yang skeptis merasa bahwa

mereka berdiri otonom diluar dunia sehingga bebas

mengeksplorasi dunia sekehendak hatinya. Akan tetapi, cara

berfikir macam ini ternyata menuai kritik tajam dari aliran

posivitisme yang menitikberatkan metodologi dalam suatu

pengetahuan sesuai hukum sains, yang kemudian-sayangnya-

meminggirkan kedalaman individu dan perkembangan sosial

yang dinamis dalam sebuah masyarakat yang menyentuh

kearifan lokal. Maka, bolehlah kita mengarah pada apa yang

dikatakan Feyarabend dengan ‘anti-metode’nya, agar ilmu

pengetahuan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan menjadi

lebih kaya. Dengan konsekuensi logisnya mengakui bahwa

Epistemology is DEAD.

67

Feeling guilty is a big deal for some, since the others choose

to prove they’re guilty or not-Adiwena

Dalam tulisan ini, saya mencoba ‘berbicara’ mengenai

Paradigma Gerakan KAMMI yang sampai saat ini belum memiliki

keterangan tafsir lebih lanjut selain dari gambaran umum yang

telah ada dengan interpretasi semau saya. Pastilah sangat

dangkal dan tidak ilmiah, tak lain disebabkan oleh kedangkalan

pengetahuan, sedikitnya wacana dan sumber referensi, serta

terbatasnya ruang dan waktu. Lebih lanjut, saya pun menyadari

bahwa upaya konklusi per poin atas Paradigma Gerakan dengan

Kredo Gerakan dengan tujuan ‘memberikan kesan mendalam’

malah semakin memberi kesan ketidak-ilmiahan dalam tulisan

ini.

Namun, saya harap tulisan ini bisa menjadi prasasti dan

kenangan indah atas ikhtiar terbaik yang bisa saya berikan dalam

mengerjakan salah satu penugasan sebelum mengikuti Dauroh

Marhalah 2 KAMMDA Sleman. Karena bagi saya DM 2 bukanlah

sekedar peningkatan jenjang marhalah semata, melainkan

sebuah langkah awal untuk lebih menghayati ke-KAMMI-an saya,

belajar mencintainya dengan adanya acuan kepada sikap kritis

dan pertimbangan matang, sehingga pengikutan atas dasar

kecintaan itu pun dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan.

Yang membuat saya tidak mencintai secara membabi-buta, akan

tetapi tetap kritis dengan pertimbangan akal sehat.

Kritik apapun bentuknya, baik konstruktif maupun

destruktif akan saya terima dengan segala kerendahan hati.

Sungguh, Allah-lah yang Maha Tahu. Segala kesalahan pasti dari

68

saya pribadi. Semoga Allah mengampuni, dan pembaca

memaafkan.

Surakarta, 28 Januari 2013

[1] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Makalah Sarasehan Profetik tahun

2012 : Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah?

[2] lebih lanjut baca Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu:

Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana

[3] Zezen Zaenal Muttaqien dalam buku All You Need Is Love-

Cak Nur di Mata Anak Muda Bagian Teologi Perdamaian Cak

Nur, dengan judul Sebuah Surat tentang NDP, Tauhid, dan

Sekularisasi Cak Nur, hal 96

[4] Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Sukoharjo 2012 dalam

Nilai Dasar Perjuangan HMI BAB I (Dasar-Dasar Kepercayaan), hal

81

[5] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang

Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009.

[6] Dr. Sayid Muhammad Nuh, Dakwah Fardiyah, (Solo : Era

Adicitra Intermedia, 2011)

[7] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang

Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009.

69

[8] Jostein Gaarder, Dunia Sophie-Sebuah Novel Filsafat,

(Bandung : Mizan, 2006)

[9] Dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama-Bunga Rampai

70 Tahun Djohan Effendi, bagian Agama, Teologi, dan Demokrasi,

dengan judul ‘Mengenai Roh Kehidupan Demokrasi’ oleh Prof. Dr.

Olaf Schumann, hal 691

[10] M. Asrul Pattimahu, lihat

http://rullypattimahu.wordpress.com/

Istilah ini mengutip essai yang ditulis oleh Prio Pramono dalam

Kolom Edisi 004, Agustus 2011 yang berjudul : Pseudo-Toleransi :

Metode Dakwah Al-Qardlawi Dan Masa Depan Pluralisme Kita

[11] Badan Pengelola Latihan Kader 1 HMI Cabang Sukoharjo

2012 dalam Tafsir Independensi Himpunan Mahasiswa Islam, hal

73

70

Korupsi dan Budaya Jawa

Budaya Korupsi dari Masa ke Masa

“Korupsi di negeri kita bukanlah akibat dari pikiran yang

korup, melainkan akibat dari tekanan ekonomi. . . Pada akhirnya,

ketika pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian pesat dan dan

menciptakan taraf kehidupan yang lebih baik dalam segala

bidang, para pegawai pemerintahan akan menerima gaji yang

memadai dan tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan

korupsi.”- Soeharto, mantan Presiden RI

Tidaklah mengherankan bahwa di era kepemimpinan

Suharto, Indonesia menyabet reputasi sebagai salah satu negara

terkorup di dunia. Dari pernyataanya yang seolah acuh tak acuh

terhadap korupsi seperti yang saya kutip di awal tulisan ini,

kiranya bisa memberikan gambaran bahwa persoalan suap, uang

terima kasih, hadiah yang bernilai ratusan juta pada klien atau

bawahan, anggota keluarga, atau pejabat yang loyal terhadap

kekuasaan pemerintah hanyalah persoalan kecil yang dalam

politik ‘diperbolehkan’.

Memang, bagi sebagian besar masyarakat kita, pemberian

hadiah oleh seseorang terhadap pemimpin atau rekan bisnis

bukanlah suatu perkara yang bisa dikategorikan dalam tindak

pidana korupsi. Memberikan jabatan pada keluarga maupun

kerabat dekat juga bukan merupakan bentuk tindakan nepotis.

Hal ini tentu bisa dijelaskan, mengingat bahwa jika kita ingin

menjustifikasi tindakan korupsi sebagai ‘korupsi’ kita harus

71

melihatnya berdasarkan pada perspektif budaya yang menjadi

pemahaman yang menghegemoni bawah sadar manusianya.

Beberapa praktik yang saat ini kita sebut sebagai korupsi

sebenarnya dapat kita temukan dilaksanakan di kerajaan-

kerajaan di Pulau Jawa pada masa lampau. Para raja Jawa di

masa lalu berupaya mendapat jaminan loyalitas dari para elite

politik di kerajaannya dengan menempatkan orang-orang yang

setia terhadapnya pada posisi-posisi tertentu dengan pemberian

gelar khusus agar pada saatnya nanti memberikan

kebermanfaatan bagi posisi sang Raja. Dan pemanfaatan

kekuasaan untuk hal-hal semacam itu tidak dikategorikan

sebagai nepotisme. Sebagai akibatnya, para bangsawan yang

diangkat oleh sang Raja pun secara berkala memberikan upeti

yang berfungsi sebagai simbol loyalitas dan ‘balas jasa’ kepada

sang Raja. Inilah yang seolah membenarkan praktik tahu sama

tahu, yang diadopsi untuk membenarkan praktik-praktik serupa

di era sekarang.

Konsepsi kepemimpinan Jawa yang menempatkan

kekuasaan Raja dalam hierarkis kasta yang kaku dan memberikan

pandangan bahwa jabatan sebagai Raja memiliki kekuasaan

absolut sehingga rakyat harus nrimo ing pandum pada segala

bentuk kebijakan yang diambil oleh raja yang tak pernah salah

telah memberi dampak kuatnya tradisi patronasi dalam gaya

kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik

dari masa ke masa. Patronasi ini terlembaga dalam sistem

patrimonial yang berhubungan dengan corak politik dimana

kekuasaan penguasa diperoleh terutama dari kemampuannya

mempertahankan loyalitas dari elite politik yang menyokong

kepemimpinannya dengan jalan memuaskan keinganan mereka.

72

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika penjajah datang

ke Nusantara, praktik aristokrasi tradisional pun mulai diterapkan

dengan mempekerjakan para pamong praja/ penguasa pribumi

oleh pemerintah kolonial. Sehingga, otoritas para penguasa

pribumi lebih tergantung pada koloni penjajah, bukan atas

legitimasi mereka sebagai penguasa sah. Budaya Indonesia

secara substantif pun banyak dibentuk oleh kebudayaan Jawa,

apalagi sejarah kepemimpinan republik ini secara periodik

menunjukan dominasi kepemimpinan para pribumi Jawa. Lihat

saja pada kepemimpinan Soekarno, Soeharto, Megawati, Gus

Dur, dan SBY yang memiliki latar belakang budaya Jawa yang

relatif bisa kita lihat dalam corak kepemimpinannya.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa korupsi

akan selalu menimbulkan pengaruh politis yang membawa pada

kejatuhan sebuah sistem. Pada abad ke 18, praktik bisnis korup

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkrutan VOC.

Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan kebijakan nasionalisasi

asset-aset asing menjadi milik Negara membawa dampak

mewabahnya praktik korupsi besar-besaran, seiring dengan

inflasi anggaran belanja hingga membawa kejatuhannya antara

tahun 1965-1966. Pun, demikian terulang pada Soeharto tiga

dekade setelahnya dengan praktik korupsi dalam birokrasi

pemerintahannya. Kini, di era reformasi, korupsi bukannya habis,

malah semakin berkembang dengan meluasnya otonomi daerah

yang menyebar pada tiap elemen lembaga kekuasaan negara.

Kini, yang menjadi pertanyaan adalah, akankah

pemerintahan yang kini sedang memegang tampuk kekuasaan

akan kembali digulingkan karena kasus korupsi yang juga

semakin merajalela? Jika pun hal itu terjadi, bisakah kita

73

menjamin bahwa praktik KKN akan habis sepenuhnya dari bumi

Nusantara ini?

Masihkah ada Harapan?

Sekali lagi, kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan

upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya

telah dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran

teologi korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi

setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta

pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi.

Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.

Gagasan mengenai good governance yang bersih dari

praktik KKN pun mulai terdengar sumbang untuk digaungkan,

oleh sebab para elite yang selalu berbicara mengenai

pemerintahan yang bersih pun telah menodainya ketika

menjabat dalam tatanan struktural di pemerintahan. Ironis,

memang. Kalaupun sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh

sekelompol warga masyarakat, baik itu ormas, organisasi

kemahasiswaan, maupun LSM, hasilnya belum begitu terlihat

kalau tak bisa dibilang nihil.

Tokoh dan lembaga keagamaan Islam khususnya,

haruslah memiliki common platform dalam gerakan bersama

melawan korupsi. Bukan sekedar menyuarakan jargon retoris

semata! Jikalah patronasi hierarkis budaya Jawa dalam gaya

kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik

dari masa ke masa ini masih relevan di era sekarang, maka

hierarki institusi yang berbasis keagamaan entah itu parpol,

ormas, LSM dan lain sebaginya mampu melakukan pengawasan

74

pada semua level organisasi, dari atas hingga ke bawah sehingga

transparansi dapat terwujud pasti.

KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang

dalam prosesi kelahirannya merupakan salah satu pengusung

reformasi yang menuntut terselenggaranya pemerintahan yang

bebas dari korupsi dengan penegakkan supremasi hukum

memiliki tanggungjawab moral yang besar dalam upaya

pemberantasan korupsi.

Dengan paham keagamaan yang modern dan puritan,

massa yang banyak, serta basis pengkaderan yang relatif mapan,

maka KAMMI semestinya bisa memainkan peran untuk

menggaungkan gerakan anti korupsi yang lebih menyentuh pada

tatanan praksis. Sebagai pressure group, KAMMI semestinya

secara ‘cantik’ mampu memainkan perannya dengan membawa

suara moral keagamaan dalam melakukan kontrol sosial

terutama pada pimpinan parpol dan organisasi massa khususnya

yang memiliki basis keislaman untuk membuktikan bahwa

organisasi dan partainya bersih dari KKN.

Namun, sejatinya komitmen KAMMI dalam

pemberantasan korupsi harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ bi

nafsika). Sejauh mana komitmen itu terpegang teguh manakala

yang terlibat adalah salah satu kader, simpatisan, petinggi,

alumni, atau penyokong dana yang menghidupi organisasinya.

Lebih lanjut, beranikah kita bergerak secara sadar dan objektif

menyikapi kasus-kasus yang menimpa mereka sebagaimana kita

asik masyuk menilai organisasi/parpol yang juga terlibat dalam

skandal kasus korupsi. Ataukah kita malah terjebak dalam praktik

budaya para Raja Jawa yang melembagakan tradisi patronasi

75

sebab kitalah para punggawa yang ingin memberi balas jasa

pada ‘sang Raja’?

Bisakah kita bersikap dan bertindak dewasa?

76

Jelang Satu Periode

Tak terasa, satu periode kepengurusan KAMMI Shoyyub

UNS periode 2013-2014 akan segera usai. Begitu banyak cerita

yang terbingkai dalam kenangan. Seperti sebuah film pendek,

kenangan itu menyajikan abstarksi gambaran di benakku, satu

per satu. Dimulai saat pelantikan kami di gladak, di bawah

patung Slamet Riyadi, ikrarkan dengan teguh janji untuk terus

berjuang dan menegakkan dien ini.

Saat itu, sebetulnya aku masih ragu, “Sungguhkah ini jalan

yang akan kupilih?”

Mataku mencari sosok kakakku di Himpunan yang juga

turut hadir dalam pelantikan. Pagi sebelum pelantikan itu ia

mengirim sebuah pesan pendek, “Semoga bertahan.” Satu. Dua.

Tiga. Mata kami sempat bertemu sesaat, meski segera ia

mengalihkan pandangan dariku.

Lalu, dimulailah hari-hari panjang di kepengurusan baru.

Sepi. Itulah gambaran dari komisariat kami, sebuah rumah

kontrakkan di dekat kuburan Mojo. Warnanya hijau, di depannya

berjejer bendera merah putih dan bendera KAMMI, ada

beberapa tulisan yang digantung di dinding, mengguratkan

semangat perjuangan dalam sepi. Menujunya, mesti diingatkan

dengan aroma kematian yang menguar dari ratusan makam

yang berjejer di sepanjang jalan.

Syuro-syuro kami dilaksanakan disana, pun dengan

agenda diskusi dwi-pekanan yang juga sepi peminat. Tak apa.

77

Memang sepi itu indah, nikmat, manis. Jika di tempat lain

bergugurannya pengurus adalah karena faktor bosan dan lelah,

bergugurannya jumlah pengurus dalam kepengurusan kami

adalah cerita soal pembagian peran dan tanggung jawab lebih

untuk berkontribusi. Ya, begitulah kami.

Musyawarah komisariat (Muskom) KAMMI Komisariat

Shalahuddin Al Ayyubi UNS sebentar lagi akan diadakan.

Semaraknya berusaha untuk dikobarkan oleh kesekjenan meski

tak mendapat tanggapan yang begitu antusias dari kadernya.

Obrolan-obrolan tentang bagaimana komsat akan dibawa ke

depan menjadi menarik bagi beberapa kader disaat beberapa

lainnya bicara soal suksesi kepemimpinan. Namun, tak jarang

beberapa lagi yang lain tak tau apa itu muskom. Tak apa.

Aku pun risau, mau dibawa kemana KAMMI periode ini?

Akankah sama seperti sebelumnya? Ataukah hilangkan

segalanya dan mulai mengkonsepsi dari awal lagi?

Seorang kakak pernah mengutip (dan memodifikasi)

kalimat Hasan Al Banna dalam Risalah Pegerakan,

mengirimkannya padaku dalam sebuah email panjang saat

kubilang padanya aku sudah terlibat aktif sebagai staff kaderisasi

lembaga dakwah di fakultasku, dan aku mengamininya sampai

hari ini.

Mulailah dari titik dimana generasi pendahulu berhenti.

Janganlah memutus pencapaian yang telah diraih. Janganlah

hancurkan komponen-komponen yang telah dibangun. Janganlah

mendongkel pondasi yang telah diletakkan, dan janganlah

memporak-porandakan apa yang telah dirakit.

78

Kalau kau tak menambahkan pada tingggalan para

pendahulu yang baik, paling tidak kau bisa bertahan dengan

produk yang telah ada dan menjaganya sekuat tenaga.

Kalau kau tidak mengikuti jejak pendahulu dengan

menambah tingkat bangunan lalu melangkah ke tujuan yang

diinginkan, paling tidak serahkanlah tongkat estafet perjuangan

kepada yang lain. Begitu seterusnya. Sampai cita-cita dan impian

dapat terwujud.

Kekhawatiran ini semakin menjadi. Aku tenggelam dalam

perenungan yang panjang namun belum ada sedikit pun hal

yang terlintas dalam benakku. Kupikir, akan baik kalau pada

periode ini KAMMI Shoyyub UNS berfokus pada pengkaderan

dan pembinaan. Misal dengan melakukan sebuah lokakarya

kaderisasi demi tercapainya kaderisasi yang terintegrasi di

semua bidang. Mungkin bedah IJDK bisa menjadi alternatif

pilihan, karena pada dasarnya penerjemahan visi dan orientasi

kaderisasi KAMMI tak akan pernah lepas dari pemenuhan IJDK

itu sendiri.

Varian diskusi juga harus dirombak ulang. Bukan hanya

berfokus pada apa yang kader butuhkan, tapi apa yang mereka

inginkan. Untuk yang satu ini, memang aku agak konservatif.

Kupikir, banyak kader yang menginginkan suplemen soal

kepemimpinan kampus dengan menghadirkan tokoh-tokoh

kampus yang telah besar namanya. Ini bagus. Tapi, sejatinya aku

menginginkan gerakan eksternal tak terlalu berfokus ke ranah

itu, lebih ingin kembali menekuni buku-buku, berdialog,

berdiskusi, membentuk mind-set yang utuh sebagai bagian dari

tanggung jawab intelektualnya.

79

Aku telah melewati perjalanan yang cukup panjang untuk

menemukan orientasi perjuanganku, sesuatu yang membuatku

menjadi manusia lagi, dan berada di KAMMI adalah pilihan sadar

yang kubuat. Tak banyak yang bisa kuberi sejauh ini. Tapi,

memperjuangkan idealisme di tengah idealisme-idealisme yang

lain, berani memberikan inisiatif ditengah inisiatif-inisiatif kuat

yang lain, serta menemukan jalanku bertemu dengan Tuhanku

adalah sebuah keindahan yang membuatku merasakan

keutuhan diri lagi.

“Semoga bertahan.

80

Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam

Tubuh KAMMI

Labelisasi KAMMI (Struktural-Kultural)

Sejak perdebatan mengenai lahirnya sebuah gerakan

dalam tubuh KAMMI yang melabeli dirinya sebagai Gerakan

Kultural bergulir, adu argumen yang terjadi antar dua kubu

menjadi bahan kajian yang menarik untuk dibahas. Sebab, disini

kedua belah pihak yang sama-sama menolak pengkotak-kotakan

gerakan, justru mengkotaki terlebih dahulu dirinya dengan label

Struktural-Kultural di ranah perdebatan literal.

Bukannya mempertanyakan apa fungsi label struktural-

kultural ini. Ironisnya, kader KAMMI yang berada di luar arena

perdebatan literal itu malah sibuk berspekulasi dengan meng-

homolog-kan label Struktural-Kultural dengan label halal-haram.

Mungkin, karena budaya verbalisme yang telah mengurat nadi,

mereka yang tak tahu duduk persoalan pun turut mengamini

labeling tersebut, sehingga tak pelak isu yang menyatakan

bahwa gerakan kultural adalah sebuah gerakan sempalan,

gerakan manuver, yang digagas oleh beberapa kader dalam

upaya melakukan destruksi terhadap warna gerakan Ikhwanul

Muslimin dan patronasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) pun menguar ke permukaan. Menjadikan gerakan Kultural

yang baru hadir tersebut menjadi musuh bersama bagi seluruh

kader KAMMI, baik yang masuk dalam struktur pengurus

maupun mereka yang hanya berafiliasi.

81

Nah, disinilah poin pertama yang ingin saya ungkapkan.

Homogenisasi label struktural-kultural dengan label halal-haram

ini sejatinya telah merancukan kerangka berfikir kita untuk

melihat segala sesuatunya secara objektif. Padahal, inti dari

persoalan bukanlah pada pelabelan itu, akan tetapi pada

argumentasi rasional yang akan menopang dan mengarahkan

pada posisi teoritik yang diringkaskan ke arah frasa pelabelan

yang dimaksud. Maka, sebelum melangkah ke pembahasan

selanjutnya, mari kita jernihkan terlebih dahulu persepsi kita

mengenai penggunaan kedua term ini.

Kultural, Menjawab ‘Inkusifisme Lip Service’ Struktural

Fenomena makin menggeliatnya gerakan kultural di

media sosial, baik di facebook (Group KAMMI Lintas Generasi dan

akun facebook Diskusi Kultural) maupun website

(kammikultural.org) yang berupaya membedah kembali identitas

dan ideologi KAMMI melalui kajian keilmuan yang rasional dan

empiris, serta menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan

jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta

sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual sudah

saatnya mendapat apresiasi dari rekan-rekan KAMMI di seluruh

Indonesia, bukannya mendapat label haram, ‘barisan sakit hati’,

pemberontak, sempalan, maupun ungkapan steriotipe lainnya.

Sadar tidak sadar, diakui maupun tidak, semaraknya

group dan website tersebut menandakan bahwa pada dasarnya

Kultural telah diterima untuk mengisi ruang-ruang dialektis serta

pertarungan wacana di tubuh KAMMI yang selama ini identik

dengan mitos statis, homogen, dan terkesan eksklusif. Tentu saja

82

hal ini merupakan langkah awal yang sangat positif dalam

membangun pencerdasan bersama menuju kemajuan dan

kemandirian organisasi yang egaliter di setiap level struktur.

Bahwa untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna

dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan

membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi

jika KAMMI belajar menerima perbedaan-perbedaan internal

dengan menerima secara bijak kehadiran suara-suara baru yang

bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan.

Selama ini, kita seringkali acuh tak acuh (atau tidak

sadar?) apabila ideologi gerakan KAMMI yang tertuang dalam

paradigma, kredo, dan prinsip gerakan digunakan secara

apologis, yakni dengan memilih teks yang pas untuk

membebaskan diri dari inkonsistensi (atau ‘kemunafikan’) yang

terjadi dalam praktek. Malah, tanpa pikir panjang menjadikannya

sebagai tameng guna menutup diri demi menjaga kemurnian

ajaran. Padahal, ide tetaplah ide, akan selamanya bersifat ekletik.

Diperlukan pematangan meskipun harus mengkonfrontasikannya

dengan ide dan gagasan lain dalam percaturan wacana.

Memang, sebagai organisasi yang memiliki pucuk

pimpinan dan terorganisasi secara terpusat kader KAMMI

berharap bahwa struktur-lah yang mengambil peran

menentukan identitas organisasi untuk kemudian diartikulasikan

dalam perjuangan politik dan ideologinya, bukannya oleh

segelintir orang yang berada di tataran grassroot. Akan tetapi,

seringkali upaya-upaya penyadaran identitas itu tersandera oleh

kepentingan-kepentingan lain yang menyuntikkan pengaruhnya

ke dalam struktur hingga menyebabkan KAMMI terjebak pada

83

dinamika parlementer dan politik an sich serta keberpihakan

dalam penyikapan isu yang menuntut kesatuan bulat suara untuk

menghimpun massa. Heterogenitas dinilai akan menghancurkan

soliditas dan harus diberangus sampai ke akar-akarnya.

Otomatis, suara-suara sub-altern itu pun tenggelam dan tak lagi

terdengar, inklusifitas akan keberagaman pun seolah menjadi lip

service semata, inklusifitas yang malas dan cenderung parsial.

Maka, langkah yang paling masuk akal adalah membuat

agensi di luar struktur yang merumuskan identitas kolektif dan

artikulasi perjuangan organisasi dalam rangka merealisasikan

tanggungjawab moralnya sebagai kader KAMMI yang otonom

dan independen, tanpa ada tendensi untuk merebut kekuasaan

struktur dalam upaya merealisasikannya secara revolusioner.

Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami

Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri

dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,

padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan

wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.

Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan

memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih

jujur. Dan kiranya, kalimat Mewujudkan bangsa dan negara

Indonesia yang Islami, sebagai visi KAMMI yang tertuang dalam

konstitusi bisa menjadi kalimat perekat kebersamaan yang

mempersatukan kolektivitas perjuangan kader KAMMI di seluruh

penjuru tanah air, baik yang melabeli dirinya struktural maupun

kultural.

84

Dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila pada Juni

1945, Bung Karno mengatakan, “Kita mendirikan negara

Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat

semua! Bukan Kristen buat Indonesia, golongan Islam buat

Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck

buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi

Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”

Mungkin untuk sekali lagi, kita harus memaknai bahwa

perjuangan yang heroik lagi panjang ini bukanlah untuk

kepentingan kelompok, apalagi hanya perkara struktural-kultural,

akan tetapi merupakan suatu komitmen pengabdian yang murni

dan tulus untuk merumuskan yang terbaik bagi semua, bagi

KAMMI, bagi Indonesia, bagi ummah.

Semua buat semua!

Sekalipun hanya daur ulang ide dan kesimpulan lama,

semoga tulisan ini bermanfaat,

Akhirul kalam, astaghfirullah hal’adzim.

85

Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY

Senin, 11 Februari lalu saya dan rekan-rekan dari Pengurus

Komisariat KAMMI Shoyyub UNS melakukan kunjungan ke

KAMMI Komsat UNY (yang mereka sebut Gaza University) untuk

bersilaturrahim dan sharing berbagai hal yang menjadi

kegelisahan maupun tawaran solusi di masa yang akan datang

mengenai keberjalanan organisasi ini, minimal di tingkat

komisariat.

Hal pertama yang kami bahas adalah mengenai struktur

organisasi dan keberjalanannya. KAMMI UNY di komandani oleh

Mas Ngadino. Secara instruktif di bawah ketua ada dua

Sekretaris Umum dengan dua departemen di bawahnya, yakni

BPO (Pengembangan Organisasi) dan KSK (Kesekretariatan) serta

Bendum dengan BUMK (Badan Usaha Milik KAMMI) yang

dimilikinya. Sementara secara koordinatif instruktif ketua umum

KAMMI UNY mengomandani lima bidang, yakni Kaderisasi,

Humas, Kebijakan Publik, Sosial Masyarakat, dan DPW

(Departemen Pengembangan Wilayah).

Dari kunjungan kali ini saya mendapatkan pengertian baru

mengenai permasalahan kolektif yang dimiliki KAMMI baik di

komisariat UNS maupun UNY.

Pertama, mengenai dilarangnya organisasi eksternal di

internal kampus dan dualitas peran kader sabagai kader KAMMI

dan kader lembaga internal kampus. Pembahasan panjang

terkait hal ini lebih cenderung dikaitkan dengan posisi kader

sendiri yang semestinya menjadikan KAMMI sebagai wajihah dan

organisasi Internal sebagai wasilah, bukan sebaliknya.

86

Kedua, mengenai sasaran kaderisasi. Selama ini, kita harus

mengakui bahwa kaderisasi KAMMI belum mampu menghasilkan

kader genuine, kader yang asli ‘cetakan’ KAMMI. Rata-rata

mereka datang dari objek dakwah yang saat SMA sudah ngaji,

mereka yang aktif terlebih dahulu di LDK maupun AAI, bukan

karena KAMMI memang berhasil mengkader. Efeknya, apabila

kita berbicara soal loyalitas, maka KAMMI selalu dijadikan rumah

kedua bagi kader.

Ketiga, ideologisasi. KAMMI harusnya mampu mencetak

kader-kader pemimpin seperti yang tertuang dalam visinya. Hal

ini membutuhkan penanganan ekstra terlebih jika kita ingin

menjadikan KAMMI sebagai lumbung kader yang mampu

mengorbitkan banyak kader (meminjam istilah Mas Panca). Tentu

ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas kader,

sehingga aktivis KAMMI selain mapan secara intelektual dan

mentalitas, juga matang secara loyalitas.

Keempat, penetrasi nilai-nilai keKAMMIan dalam kampus.

Dari pembahasan dapat saya simpulkan bahwa KAMMI UNS

menggunakan cara-cara kultural, sedang UNY dengan cara

struktural.

Kelima, fungsi taurits. Karakter KAMMI sebagai organisasi

pengkaderan dan organisasi amal menuntut KAMMI memiliki

platform dalam gerakannya. Akan tetapi, selama ini kita belum

memiliki sebuah platform yang bisa diwariskan dan dievaluasi

secara periodik sehingga keberjalanan kepengurusan ‘seolah’

hanya mengulang lagi dari periode sebelumnya. Ini patut

menjadi evaluasi bersama. Hal yang harus diupayakan segera

adalah membuat grand desain KAMMI di masing-masing

87

komisariat agar tidak terjadi diskontinuitas program tanpa ada

taurits, selain itu pengejawantahan renstra KAMMI secara

nasional tahun 2014-2022 pun patut menjadi perhatian bersama.

Selain berbagai hal diatas, ada beberapa hal lain yang kami

bahas. Akan tetapi, agaknya lebih etis untuk dibahas dalam

forum tersendiri.

88

Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah

Harapan Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam

Tubuh KAMMI

Refleksi Sederhana

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan

pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan.

Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis,

berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka

parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana

keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai

harokatu tajnid menuntut konsekuensi logis akan kebutuhan

proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan

berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama

organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu

terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia

mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat

pusat hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa

penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di

komisariat maupun tingkat daerah, kritik terhadap kaderisasi

selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru

diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi.

Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa

perubahan berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara,

mandul dalam praksis di lapangan.

Beberapa kali saya sempatkan membahas persoalan

kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban seragam

yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni

89

kegagalan KAMMI melakukan proses kaderisasi mandiri.

Memang, tak bisa dipungkiri, relasi kekuasaan dan politik praktis

telah membawa KAMMI dalam dilema berkepanjangan dalam

merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya berimplikasi pada

aksiologis gerak KAMMI secara taktis di lapangan.

KAMMI sebagai organisasi pengkaderan memiliki

instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj Kaderisasi

1433 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah

terbinanya kader KAMMI yang secara konseptual membentuk

Muslim Negarawan, yang pada gilirannya mampu memimpin di

berbagai sektor kehidupan dalam fase mihwar daulah dalam

kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi menunjang hal

tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki kompetensi

wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak,

ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan,

kepakaran dan profesionalitas, kemampuan sosial politik,

pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri.

Dengan segala macam tata ukur tersebut, saya sering

membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada

haikatnya adalah manusia super yang tanpa cela dan cacat,

sebuah terminologi alay yang justru menjadi kebanggaan

organisasi bernama KAMMI. Tak masalah. Meski paradoks

dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label ini

kemana-mana.

Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua sistem

pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada kader yang

sama, dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu

membawa problema dilematis bagi KAMMI sebagai organisasi

pergerakan mahasiswa yang independen. Di satu sisi, ia ingin

melaksanakan secara total aplikasi manhaj KAMMI yang telah

disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki posisi sebagai

wajihah dakwah jama’ah Tarbiyah yang juga memberlakukan

manhaj-nya sendiri.

90

Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam pembenaran

bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan berupa

tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jama’ah, jadi buat

apa lagi KAMMI kembali mengadakan? Bukankah itu

pemborosan waktu, tenaga, dan biaya?

Awalnya, saya mengamini kalimat diatas. Namun,

kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam diri

saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum

mandiri secara ideologi. Apakah sama karakteristik gerak sebuah

organisasi mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir

gerakan mahasiswa dengan organisasi politik-keagamaan yang

menekankan pada politik praktis?

Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung menjawab

pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya

sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas

KAMMI sebagai organisasi mahasiswa independen dan

hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya,

pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas sebelum seorang

kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti

Dauroh Marhalah1.

Menyoal Dauroh Marhalah1

Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H, ada

lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh Marhalah1.

Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam,

Problematika Umat Islam, Islam Pemuda dan Perubahan Sosial,

serta Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI1. Selain lima materi

wajib ini, pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS

1 di UNS, materi ini diberi nama Ke-KAMMI-an

91

menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi,

Pengembangan Diri, serta setting dan Simulasi Aksi.

Materi tersebut semestinya diberikan oleh Instruktur yang

telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps Instruktur Daerah

Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu

maupun pengelola Dauroh. Materi pertama dan kedua biasanya

disampaikan oleh ustadz terpilih, materi ketiga dan selanjutnya

oleh instruktur (kader KAMMI yang berkompeten), sedang materi

Pengembangan Diri yang baru sekali diuji cobakan dalam

Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer

dari luar kader KAMMI.

Sangat disayangkan bahwa KIDS belum menjalankan

perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI yang

secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi

KAMMI Jawa Tengah. KIDS juga belum secara konsisten

melakukan pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan kader

agar mampu menghasilkan kader yang berkualitas secara moral,

spiritual, maupun intelektual. Dalih yang sekali lagi muncul

adalah: tujuan menghasilkan kader yang demikian sudah

diemban oleh manhaj jama’ah, melakukan hal yang sama persis

merupakan pemborosan!

Namun, saya tidak ingin memperlebar pembahasan

mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut. Disini,

saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu

gerbang pertama bagi seorang mahasiswa memasuki organisasi

bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai dengan

diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis bagi

mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh

Marhalah1. Dalam pengelolaan Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS

pada Oktober 2013, peserta diwajibkan mengikuti screening

92

berupa tes tertulis dan wawancara. Selain mengetahui data diri

peserta, pengelola juga memberikan soal sebagai tes tertulis. Tes

berupa soal essay yang dikerjakan secara individu dan open

source. Berikut soal tes tersebut:

1. Sejauh mana anda mengetahui Aqidah

Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan

sehari-hari?

2. Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI?

Mengapa anda ikut DM1?

3. Menurut anda permasalahan apa yang paling

krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan

untuk mengatasi permasalahan tersebut?

Selain tes tertulis, pengelola juga melakukan wawancara

dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta mengenai

kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di

Indonesia, kondisi sosio-politik-budaya Negara Indonesia,

pemahaman peserta terhadap ajaran Islam, serta

pengetahuannya mengenai KAMMI dan alasan peserta

mengikuti Dauroh Marhalah 1.

1. Peserta lurus aqidahnya, tidak

percaya tahayul, dll.

2. Peserta mengetahui semua gerakan

mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui

perbedaan masing-masing.

3. Peserta memahami kondisi di

Indonesia.

4. Mengetahui pemahaman peserta

terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).

93

5. Mengetahui tentang KAMMI dan tahu

alasan mengapa ikut DM1.

Secara teknis, saya tidak begitu mempersoalkan

mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa

janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai

pengetahuan peserta mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia.

Menurut saya pribadi, tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan

dalam pelaksanaan wawancara (tanpa menafikan hal yang lain)

adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang telah tercakup dalam

tes tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan 4, (2)

Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal

tertulis poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan

Kemahasiswaan yang tercakup dalam lembar biodata peserta.

Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang

KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya KAMMI, juga

mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta

Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya singgung di muka,

dualitas kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi

maupun yang dialami oleh kader KAMMI sendiri semestinya

membuat kita melakukan refleksi kritis terhadap segmentasi

peserta DM1.

Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1 akan memberikan

jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti DM1. Ada yang

menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi

kader Tarbiyah, ada yang karena desakan/ paksaan murobbi, ada

yang hanya sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain

sebagainya. Motif awal ini semestinya menjadi data berharga

94

bagi pengelola dalam melakukan proses pengelolaan data base

calon peserta DM1.

Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang

berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki kepahaman saklek

bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader

Tarbiyah membutuhkan penanganan yang berbeda dengan

peserta lain yang menganggap bahwa KAMMI adalah sebuah

entitas pergerakan mahasiswa ekstra kampus yang independen

dan bebas kepentingan golongan/partai manapun.

Ini merupakan tantangan awal yang harus dijawab oleh

pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan

selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan

onggokan kertas belaka, atau menjadi instrumen pendukung

vital dalam pengelolaan dauroh yang sebenarnya.

Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska screening

dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat essay

dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal

problematika umat, sedang buku bacaan wajib di KAMMI UNS

adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari

Gerakan ke Negara. Evaluasi dari penugasan ini, sekali lagi, hanya

menjadi onggokan kertas yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa

essay tersebut merupakan plagiasi dari tulisan yang dengan

mudah didapat di internet, tanpa penghargaan bahwa tulisan

tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat

yang luar biasa. Buku referensi yang diwajibkan pun hanya

menjadi bacaan yang mengawang di angan-angan, tak ada

pembacaan kritis mengenai buku-buku tersebut. Ya, kita baru

sampai sebatas itu.

95

Pasca pengelola melakukan screening, selanjutnya

diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang dilaksanakan

sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya

adalah mengenalkan KAMMI pada mahasiswa sekaligus

meyakinkan mereka bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1

merupakan hal yang benar, tepat, dan memang seharusnya

mereka lakukan. Tidak ada kritik mendasar mengenai

pengelolaan Pra-DM1 sampai sejauh ini oleh saya.

Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang selalu dirayakan

dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud di depan

mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias

(mungkin ditambah ekspektasi berlebih). Hal ini membuat

perasaan saya sebagai OC dalam empat Dauroh Marhalah 1

terakhir di UNS berdebar. Apakah KAMMI mampu menjawab

ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di hari

pertama Dauroh? Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka

dapat karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja?

Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak

ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya bahwa

DM1 itu payah dan begitu-begitu saja. Mungkinkah pengelolaan

DM1 selama ini memang luar bisa sempurna, atau kader KAMMI

yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas dasar

ikut-ikutan?

Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1 adalah agenda

yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI. Disinilah,

untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari

mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan, paradigma, ideologi KAMMI

dan bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang

berkembang di masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI

96

mengejawantahkan nilai-nilai syahadatain dan syumuliyatul Islam

dalam langkah gerak organisasinya.

Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic Training) Himpunan

Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen mengenai

bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa

menafikan bahwa kultur yang dibangun di HMI tak selalu tepat

dan relevan untuk diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun

memiliki karakter khas yang harus selalu dipertahankan. Namun

demikian, penulis berusaha mensarikan kritik mendasar terhadap

pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI.

Pertama, Segi Peserta

Sesuai dengan Panduan Kerja Nasional yang

digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan

yang secara nasional dijadikan parameter dalam mengukur

keberhasilan kaderisasi. Efeknya, di tingkat komisariat pengejaran

kuantitas menjadi hal yang otomatis dominan terasa. Dalam

empat DM1 yang penulis ketahui di UNS, jumlah peserta DM1

selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang sesi selalu

mengambil pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola yang

efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun sama

kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila

jumlah peserta membludak, tak akan jauh beda dengan seminar.

Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan penanganan

serius. Apabila instruktur memang menginginkan keidealan dan

kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi

jumlah peserta atau membuat kelas-kelas tersendiri yang

maksimal hanya diperuntukkan untuk 20-25 orang.

97

Kedua, Metode Penyampaian

Metode penyampaian materi pun terkesan indoktrinatif.

Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan pengantar,

waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan,

peserta berbicara saat sesi tanya jawab. Ini menyebabkan peserta

sebatas tahu dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan

hal tersebut dalam sebuah metodologi pikir yang utuh dan

integral.

Dampaknya, peserta akan gagap menarik benang merah

yang menghubungkan antara satu materi ke materi lainnya,

sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah

kepahaman yang parsial, tidak utuh dan padu.

Ketiga, Gagalnya Ideologisasi

Yang terparah dari semua permasalahan yang saya

kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1

mencetak kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran

wacana, utamanya terkait dengan tafsir paradigma gerakan

KAMMI. Dauroh Marhalah 1 mestinya menjadi gerbang utama

bagi kader untuk mengenal KAMMI, akan tetapi tidak ada materi

ideologisasi yang cukup relevan didalamnya. Peserta hanya

dituntut untuk tahu dan paham dengan sejarah gerakan KAMMI.

Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif

mengenai ideologi KAMMI.

Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam,

materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar), Sejarah

Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI

(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Struktur

98

Organisasi, Pedoman Atribut, Memori Penjelasan tentang Islam

sebagai Azas HMI, Tafsir Tujuan serta Tafsir Independensi),

kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada saat

dipaparkan mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai

Dasar Perjuangan.

Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang mencakup

banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter, unsur-

unsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi

penyampaian materi yang sama dengan materi lainnya. Menurut

hemat saya, porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang,

karena disinilah kader bisa mengkontruksi pemikirannya sebagai

kader KAMMI yang memiliki identitas jelas, jelas dalam platform

gerakan maupun karakter pribadi.

Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI

Adalah hal yang sangat wajar, manakala penulis

berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks materi

DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus

merupakan perangkat utama dalam pelaksanaan Dauroh

Marhalah 1. Setidaknya dengan modul tersebut, kita berharap

peserta memiliki kesiapan dalam menghadapi materi yang akan

diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis sebelum materi,

artinya ia tidak datang dari suatu ruang kosong, melainkan dari

argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun pengalaman

empiris yang pernah dilaluinya.

Modul tersebut akan memuat materi Dauroh Marhalah 1

yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi KAMMI atau

tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain

dan syumuliyatul Islam akan menjadi bab awal di modul ini

99

dengan judul Tafsir Paradigma Islam KAMMI. Disini, KAMMI akan

melakukan penafsiran secara qur’ani dengan dilengkapi pisau

analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh mengenai

bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islam menjadi muara

dari semangat penggerak yang dijiwai kader KAMMI dalam

setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam

melakukan perubahan sosial.

Materi ketiga mengenai Problematika Umat Islam tidak

akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi wajib diskusi.

Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat

screening diberikan pada kader KAMMI. Tugas tersebut berupa

analisa kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa

berupa isu kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena

sosial yang peserta lihat di kesehariannya. Disini, instruktur dapat

mulai memahami bagaimana peserta memposisikan dirinya

dalam dinamika kelompok, pola pikir, serta pandangannya akan

hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya, ini akan menjadi data

awal dalam pengelolaan kaderisasi saat mereka dikelompokkan

dalam kelompok diskusi.

Materi keempat mengenai Islam, Pemuda, dan Perubahan

Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul KAMMI dan

Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan

sosial macam apa yang akan dilakukan KAMMI sebagai entitas

yang lahir dari rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok

organisasi kepemudaan milik Bangsa Indonesia. Dalam kerangka

tersebut, instruktur akan mengambil benang merah dari

problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI tawarkan

sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi bagi kader

KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader

bangsa. Akan dibahas pula Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil

100

dari perubahan sosial yang coba dilakukan oleh kalangan

mahasiswa muslim di Indonesia dalam perannya sebagai kader

bangsa Indonesia.

Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI akan dibahas

dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang dirumuskan secara

nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam

menjelaskan tafsir paradigmatik ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi

Gerakan ini akan mirip dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI

yang menjadi dasar teoritis penjelasan ideologi HMI. Jika dalam

Nilai Dasar Perjuangan terdapat tujuh bab berisi : Dasar-Dasar

Kepercayaan, Pengertian-Pengertian tentang Dasar

Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan

Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan

Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan

Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan

dan Penutup.

Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan KAMMI nantinya

akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi Gerakan, Prinsip

Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur

Perjuangan, serta Kredo Gerakan.

Sementara, materi-materi yang merupakan inisiasi dari

tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian tersendiri

dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari

instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi. Keseriusan

instruktur untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari

i’tikad baiknya menuliskan tujuan dari penyampaian materi pada

peserta Dm1.

Tafsir dan Kemandirian

101

Merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI adalah PR

besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu dekat ini

membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema

besar itu. Sebab, dalam tingkat yang paling sederhana Tafsir

Filosofi Gerakan KAMMI merupakan landasan normatif dalam

perjuangan organisasi. Ia merupakan etos yang menjiwai spirit

perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam aksiologisnya,

ketiadaan tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan

kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat.

Yang jadi persoalan adalah bagaimana mungkin dibentuk

Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan

apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi

kaderisasi Jama’ah yang menancapkan pengaruhnya dengan

begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir hanyalah sekedar tafsir,

berhenti di ruang-ruang diskusi dalam dauroh maupun diskusi.

Paska itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan pembenaran

atas nama efisiensi dan efektifitas.

Ya, mau bagaimana lagi?

102

Pseudo-independence KAMMI

Relasi KAMMI dan independensi politiknya merupakan

sebuah perbincangan yang tidak akan habis untuk diwacanakan

sebab dalam waktu yang lama KAMMI telah terjerat dalam jalan

buntu dialektika yang dibuatnya sendiri mengenai hubungannya

dengan Partai Politik tertentu. Kita boleh membuat berbagai

macam argumen yang rasional (maupun tidak) untuk

membenarkan bahwa KAMMI adalah organisasi mahasiswa yang

independen. Itu sah-sah saja. Akan tetapi dalam aktifitas

keseharian organisasi ini, nyata terlihat bahwa metode yang

digunakan dalam rekruitmen anggota baru, kurikula yang

digunakan dalam proses kaderisasi, serta sistem penjagaan

kader, telah menempatkan KAMMI sebagai identitas formal

untuk melembagakan diri dalam afiliasi kader pada partai politik

yang bersangkutan.

Jika Paradigma Gerakan KAMMI adalah cerminan dari

metodologi berpikir dan bertindak, maka sejatinya saat ini kita

tengah berkaca pada cermin yang buram. Buramnya cermin ini

adalah karena adanya gap antara apa yang ada dalam pantulan

cermin dengan diri kita yang tengah berkaca di depannya.

Buramnya kaca (gap) bisa kita maknai sebagai sikap pseudo-

independence KAMMI. Disebut pseudo-independence karena

independensi yang selama ini diterapkan adalah sikap

independen yang setengah-setengah, penuh kompromi dan

tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu sisi KAMMI

menegaskan sikap independennya, namun disisi lain tetap

membuka kran kerjasama (bahkan hubungan mesra) dengan

partai politik tersebut.

103

Betapapun KAMMI sebagai gerakan mahasiswa

menyuarakan independensinya, independensi itu hanya menjadi

lip service secara organisatoris-formal saja, sementara secara

kultural-ideologis, adanya kesamaan latar belakang dan metode

kaderisasi, keterpautan emosional, serta kesamaan gerak

membuat ikatan yang terjalin antara keduanya susah

direnggangkan. Efeknya, sebagai gerakan mahasiswa KAMMI

pun gagap mengidentifikasi dan merumuskan jati dirinya sebagai

gerakan yang memiliki nalar politiknya sendiri, malah cenderung

menegasikan segala macam pemikiran dan tindakan politik yang

tidak sejalan dengan kepentingan partai yang bersangkutan.

Agaknya memang optimisme memperjuangkan

independensi KAMMI secara bulat utuh harus dipendam dalam-

dalam mengingat betapa secara struktural KAMMI lebih memilih

setia dengan ikatan kultural-ideologis yang dibangun secara

emosional daripada kembali pada khittah konstitusinya sebagai

organisasi yang independen.

Realisasi Independensi KAMMI, Mungkinkah?

Di tengah skeptisisme dan pesimisme tersebut, saya

meyakini bahwa pilar independensi bukan hanya sebatas

tampilan luar secara organisatoris, akan tetapi menjadi spirit

yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan yang

diambil oleh tiap pribadi yang menisbahkan dirinya sebagai

bagian dari kesatuan. Sehingga, poin intinya bukanlah terletak

pada output, bukan pada mereka yang selama menjadi aktifis

tergabung dalam kesatuan lantas setelahnya menjadi politikus

yang berkecimpung dalam percaturan politik praktis, melainkan

104

pada input, pada mereka yang untuk kali pertama memilih

KAMMI sebagai jalan aktifismenya.

Sudah semestinyalah, saat memutuskan berhimpun dalam

kesatuan ini, secara kolektif masing-masing dari kita

menumbuhkan independensi dalam pola pikir, pola sikap, serta

pola tindakan sehingga untuk selanjutnya secara sadar kita bisa

menimbang dan menetapkan tiap keputusan secara independen,

tanpa terpengaruh intervensi dan tekanan dari siapapun.

Sehingga, di masa yang akan datang, tak ada lagi cerita soal

kader yang ragu berpendapat karena khawatir dianggap

berbeda, takut mengambil langkah karena khawatir menyimpang

dari koridor ketaatan pada senior, tidak mau mengambil sikap

tegas karena takut dikira gerakan sempalan.

Hal ini tentu saja telah tergambar jelas dalam Kredo

Gerakan KAMMI yang sejatinya telah merangkum bagaimana

independensi kader semestinya diterapkan: Kami adalah orang-

orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tidak asa satu

orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya

bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar

keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan. Maka, yang

diperlukan saat ini adalah pemaknaan dan realisasi dari

independensi yang melekat pada watak dan kepribadian kader

KAMMI di masa kini dan masa yang akan datang.

Wujud dari pemaknaan dan realisasi ini dapat bersifat

formal dan informal. Pada ranah formal, realisasi independensi

kader dimasukkan ke dalam training perkaderan KAMMI (Dauroh

Marhalah) yang menekankan pada kontekstualisasi nilai-nilai

independensi dalam internal organisasi serta dalam kehidupan

105

berbangsa dan bernegara. Pada ranah informal, KAMMI haruslah

memberikan percontohan sikap independensi itu dalam

merespon ragam isu kampus, nasional, hingga tataran global.

Sementara, bagi kader yang memang dalam prosesnya memilih

untuk menjalankan dualisme (sebagai penggerak KAMMI

sekaligus penggerak partai politik), maka diperlukan pula tata

aturan (kode etik) yang membatasi hingga sejauh mana peran

dualisme itu bisa berjalan.

Pada Akhirnya..

Visi KAMMI sebagai wadah perjuangan permanen yang

akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya

mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami

seharusnya dapat kita maknai dalam kerangka independensi ini,

yakni lahirnya kader pemimpin independen yang kelak akan

mengisi pos-pos pengabdian, baik itu sebagai praktisi

pendidikan, birokrat di lembaga pemerintahan, pengusaha

swasta, maupun pos pengabdian lain yang dengan teguh

mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dalam

koridor Al-Qur’an dan As sunnah di tengah kecamuk

problematika umat dan hiruk pikuknya politik transaksional demi

mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami.

Bisakah kita bayangkan apabila sejak dalam rahim KAMMI

saja kadernya sudah gagal berpikir, bersikap, dan bertindak

secara independen, bagaimana jadinya apabila mereka mengisi

pos-pos pengabdiannya di masa yang akan datang?

Pemahaman sebagaimana yang saya sebutkan di atas

memang belum lengkap atau bahkan sangat sederhana, akan

106

tetapi dari yang sederhana itu, harus saya akui betapa berat dan

lelahnya berjalan di atasnya sampai sejauh ini.

Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat.

107

Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS

Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada

hakikatnya memikul tanggung jawab untuk melaksanakan

fungsinya sebagai kaum muda terdidik yang berperan dalam

mempelopori proses perubahan masyarakat. Apalagi, bagi

mereka yang mengikrarkan dirinya sebagai bagian dari

organisasi bernama KAMMI. Mereka, pada akhirnya memiliki

tanggung jawab lebih, bukan hanya mempelopori proses

perubahan, akan tetapi berupaya dengan segenap

memampuannya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia

yang Islami (seperti yang tertuang dalam visi KAMMI).

Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki

peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti

mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi

ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang

konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah

melahirkan generasi yang lemah.

Sebagai organisasi pengkaderan, KAMMI memiliki Manhaj

Kaderisasi yang menjadi pedoman pengkaderan dalam

perekrutan, pembinaan, maupun pengkaryaan. Hanya saja,

pelaksanaan manhaj di lapangan berbenturan dengan banyak

hal, dari mulai ketidaktersediaan sumber daya, sumber dana,

hingga dalih efektifitas atau efisiensi. Semua problem itu

membawa KAMMI pada keharusan menciptakan suatu back-up

plan agar kaderisasi tidak menghasilkan kader yang lemah dalam

pikir, sikap, dan tindak.

Permasalahan yang hampir dialami oleh semua komisariat

adalah belum berjalannya Madrasah KAMMI sebagai sarana

follow-up pasca mengikuti Dauroh Marhalah1. Padahal, transfer

ideologi yang dilakukan pada saat DM1 berlangsung barulah

108

sedikit, hanya sebatas di permukaan/ kulit luar, sementara

substansi pengkaderan yang sebenarnya barulah akan dikecap

paska mengikuti DM1.

Selama beberapa tahun terakhir ini, KAMMI UNS

menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization Engineering School).

ICES didirikan karena sebagai organisasi kader, KAMMI harus

memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem penahapan

suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang

profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi

kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI sebab

ketidakberjalanan MK Khos.

Materi yang dibahas saat ICES berkisar dari Pengantar

Peradaban Islam serta Pergerakan Islam Kontemporer, Fiqh Siyasi

dan Fiqh Negara, Penegakkan Syariah Islam dan Sejarah Politik

Islam di Indonesia, Studi Gerakan Mahasiswa, serta Dakwah

Sya’biyah. Beberapa materi lain pun disisipkan dalam upaya

akselerasi tingkat kematangan kader.

Namun sekali lagi, pengelolaan ICES pun memiliki banyak

kelemahan. Diantaranya, pesertanya yang terbatas bagi para

alumni DM1, penyampaian yang masih indoktrinatif, serta

dinamika forum yang minim.

Karena hal itu, kami berinisiatif menyelenggarakan sebuah

alternatif baru kajian keilmuan yang bertujuan meningkatkan

kapasitas keilmuan kader sekaligus mahasiswa umum. Kajian

keilmuan ini dikemas dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan

dua pekan sekali berbentuk Diskusi Integratif.

Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang

oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara

integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan.

Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan

109

setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang

pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan

sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan

mahasiswa.

Tema-tema tersebut antara lain:

No. Materi Pokok Bahasan

1 Tanggungjawab

Intelektual

Mahasiswa

Dalam Konteks

Gerakan Dakwah

Kampus

1. Definisi siapa intelektual

mahasiswa

2. Bagaimana cara mencapai derajat

intelektual mahasiswa

3. Peran dan tanggungjawab

inteletual mahasiswa

2 Anatomi

masyarakat islam

(Yusuf Qhardawi)

1. Mengidentifikasi pemikiran

Yusuf Qardhawi

2. Menganalisis pemikiran

yusuf Qardawi dan

relevansinya terhadap

fenomena sosial masyarakat

muslim di setiap zaman

3 Studi

perbandingan

tokoh pemikir

islam modern

- Jamaluddin Al Afghani

- Muhammad Abduh

- M. Rashid Ridha

110

4 Studi tokoh dan

strategi kebijkan

kebangkitan

pergerakan islam

dunia

- Syaikh taqiyuddin an nabhani

- Muhammad ilyas

- Hasan Al Banna

5 Pemikiran

Kontemporer

Politik Ikhwanul

Muslimin (Prof.

Dr. Taufiq Yusuf

al Wa’iy.)

Bedah buku Prof. Dr. Taufiq Yusuf al

Wa’iy

6 Kebangkitan

Post Islamisme

Bedah buku ahmad Dzakirin “analisis

strategi dan kebijakan AKP turki”

7 Lintasan Sejarah

perkembangan

gerakan

Pembaharuan

Islam di

Indonesia

-Mengidentifikasi munculnya

gerakan pembaharuan Islam di

Indonesia

- Menganalisis kelompok-kelompok

pemikiran yang berkembang di

Indonesia dalam lintasan sejarah

pembaharuan pemikiran Islam.

8 Bedah buku Api

Sejarah 1 dan 2

9 Sejarah

Pergerakan

mahasiswa

1. tahun 1945-1965 (Munculnya

Konsep Berbangsa)

2. Dinamika Gerakan Mahasiswa

selama Orde Baru

3. Mahasiswa dan Era Reformasi

111

10 Refleksi Sejarah

Pergerakan

Mahasiswa-

Rekonstruksi

Pola Gerakan

Mahasiswa yang

mampu

menjawab

Tantangan

Zaman

1. Merefleksikan sejarah

pergerakan mahasiswa yang

merupakan warisan dari

NKK/BKK dengan polarisasi

mainstream gerakan yang

menyebabkan pemodelan

spesifikasi gerakan

2. Membuat formulasi baru

gerakan mahasiswa yang

mampu menjawab tantangan

zaman

11 Quo Vadis

Gerakan

Intelektual

Mahasiswa

Mahasiswa dan Profesionalisme

Kepakaran, antara Fakta dan Realita-

Mengukur Peran Mahasiswa dalam

Pembangunan

12 Jurnalistik

Investigasi dan

Riset Gerakan

1. Metode investigasi dalam

mendapatkan berita, data dan

informasi yang akurat dan

populer

2. Mengolah data dan mengemas

informasi

3. Kaidah-kaidah asas riset gerakan,

perbedaannya dengan riset

akademis

4. Merancang kerangka dasar riset

gerakan

13 Manajeman Isu

dan Propaganda

Teknik manajemen isu yang baik dan

benar agar mampu memikat publik

(konsep gagasan, koordinasi massa,

controling dan evaluasi)

112

14 Manajemen

Jaringan

(Network

Society)

1. Urgensi jaringan dalam gerakan

2. Langkah takstis membangun

jaringan

3. Merawat jaringan sebagai bentuk

gerakan massa

15 Gagasan

Kebangkitan

Gerakan

Mahasiswa ala

KAMMI

Merumuskan gagasan kebangkitan

yang berdasar pemahaman ideologi

KAMMI

Tabel diatas bukanlah sebuah rumusan final mengenai

hal-hal yang akan dibahas, akan tetapi Insya Allah tema-tema

diatas akan dilaksanakan secara konsisten, entah dalam bilangan

pekan maupun bulan, sebab satu tema tak mesti akan selesai

dilaksanakan dalam satu hari diskusi.

Selain diskusi integratif, Badan khusus Jaringan Fakultas

UNS menyelenggarakan Diskusi Kepakaran yang bertujuan

meningkatkan profesionalisme kader KAMMI dalam bidang

kepakaran masing-masing. Kedua diskusi ini saling melengkapi

dan membangun satu sama lain.

Di tengah berbagai persoalan yang mendera KAMMI yang

menjalar dari tingkat pusat ke tingkat daerah, beberapa alternatif

inisiatif kader di tingkat komisariat patut diapresiasi. Harapannya,

ini menjadi bentuk ikhtiar terbaik selagi menunggu realisasi

113

terbentuknya Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI sebagai rujukan

kaderisasi dalam lingkup nasional, serta beberapa instrumen

pendukung lain dalam mewujudkan kemandirian organisasi.

114

Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS

Prawacana

Kaderisasi dan pembinaan merupakan napas utama dari

pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap bertahan,

eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat,

maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah

bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya.

Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki

peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti

mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi

ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang

konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah

melahirkan generasi yang lemah.

KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang

memiliki visi untuk melahirkan kader-kader pemimpin dalam

upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami

memiliki konsekuensi dan tanggung jawab untuk senantiasa

melandasakan seluruh aktivitas keorganisasian dalam rangka

menggali potensi kualitatif dari kader demi memenuhi kualifikasi

kepemimpinan sebagaimana yang dirumuskan dalam

terminologi Muslim Negarawan-nya.

Arah perkaderan KAMMI untuk membentuk Muslim

Negarawan ini menuntut dilaksanakannya proses perkaderan

yang dilaksanakan secara integratif dan berkesinambungan

dalam aktivitas keorganisasian. Adapun penekanan perkaderan

KAMMI menitikberatkan pada beberapa kompetensi berikut:

aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah

keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan

115

profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan

kepemimpinan, serta pengembangan diri.

Proses kaderisasi adalah sebuah refleksi panjang

mengenai bagaimana sebuah gerakan melakukan transformasi

nilai-nilai perjuangan yang dimilikinya ke dalam aktivitas

organisasi sehingga seluruh aktivitas keorganisasian tetap

diarahkan pada arah perkaderan KAMMI yakni untuk

melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan

bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Demikian halnya yang dilakukan KAMMI Komisariat

Sholahuddin Al Ayyubi Universitas Sebelas Maret dalam

melaksanakan kaderisasi integratif sebagai arahan kerja pada

Musyawarah Komisariat yang dilaksanakan setahun silam.

Setelah kader melalui Dauroh Marhalah 1 dan resmi

dilantik sebagai anggota biasa KAMMI, ia berhak mendapatkan

suplemen kaderisasi KAMMI UNS, antara lain:

1. Madrasah KAMMI

Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H mensyaratkan

dilaksanakannya Madrasah KAMMI baik secara klasikal maupun

khos (kelompok halaqoh/usroh) sebagai instrumen wajib

kaderisasi di tingkat daerah hingga komisariat. Madrasah KAMMI

untuk Anggota Biasa ini ditujukan untuk membina kader menjadi

manusia yang memiliki syakhsiyah islamiyah (kepribadian islam)

yang memiliki kesiapan serta kesediaan untuk bergerak ditengah

tengah masyarakat guna merealisasikan, dan mengeksekusi

tugas tugas dakwah.

2. ICES (Sekolah Rekayasa Peradaban Islam)

116

Selama beberapa tahun terakhir, termasuk tahun ini,

KAMMI UNS menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization

Engineering School) atau yang bisa disebut Sekolah Rekayasa

Peradaban Islam. ICES didirikan karena sebagai organisasi kader,

KAMMI harus memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem

penahapan suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang

profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi

kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI disebabkan

belum efektifnya Madrasah KAMMI Klasikal dan Khusus.

Beberapa poin materi yang dibahas di ICES antara lain:

Keislaman, Pemikiran, Keindonesiaan, Kepakaran dan

Profesionalisme, Kepemimpinan, Kekampusan, dan Pergerakan

Mahasiswa.

3. Ragam Varian Diskusi (Diskusi Integratif dan Diskusi

Kepakaran)

Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang

oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara

integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan.

Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan

setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang

pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan

sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan

mahasiswa.

Ketika membahas satu tema tertentu, pembahasan tidak

hanya akan berkutat mengenai tema tersebut, akan tetapi

merambah pada aspek lain yang masih berkaitan dengan tema

yang tengah dibahas. Beberapa tema yang telah dibahas antara

lain: Tanggung jawab Intelektual Mahasiswa dalam Konteks

Gerakan Dakwah Kampus, Anatomi Masyarakat Islam, Studi

Perbandingan Tokoh Pemikir Islam Modern, Studi Tokoh dan

Strategi Kebijkan Kebangkitan Pergerakan Islam Dunia, Pemikiran

117

Kontemporer Politik Ikhwanul Muslimin, Kebangkitan Post

Islamisme, dan Lintasan Sejarah Perkembangan Gerakan

Pembaharuan Islam Di Indonesia.

Diskusi Kepakaran adalah diskusi yang diselenggarakan

secara rutin oleh biro khusus Jaringan Fakultas yang bekerja

sama dengan beberapa lembaga internal kampus, seperti

Himpunan Mahasiswa Jurusan, Himpunan Mahasiswa Prodi, serta

Lembaga Studi Mahasiswa guna meneropong suatu

permasalahan dilihat dari kacamata keilmuan yang berkaitan.

Tujuan diadakannya diskusi ini adalah untuk menumbuhkan

kepekaan kader agar menguasai disiplin keilmuan yang digeluti

sehingga dengan kapasitas tersebut ia mampu melakukan aksi-

aksi sosial, baik dalam bentuk pemberdayaan masyarakat

maupun sikap dukungan/penentangan/perlawanan terhadap

kebijakan pemerintah.

Tentunya, sinergisitas antara Diskusi Integratif dan Diskusi

Kepakaran adalah hal yang seharusnya terus diupayakan, sebab

apabila tengah berbicara mengenai suatu topik keilmuan,

seorang kader KAMMI tetaplah harus mendasarkannya pada

pandangan Islam (baik dari hukum Islam, ijtihad para ulama,

maupun belajar dari sejarah). Hal ini merupakan upaya

penyadaran akan tanggung jawab keilmuan mahasiswa sebagai

insan akademis yang berkepribadian islami.

4. Ragam Varian Dauroh (Dauroh Qur’an, Dauroh

Ijtima’i, dll)

Dauroh Qur’an adalah salah satu kegiatan yang dilakukan

bidang kaderisasi KAMMI UNS untuk (sekali lagi) memahamkan

kader bahwa fikroh KAMMI bersumber dari Al-Qur’an,

konsekuensi logisnya adalah kader KAMMI memiliki motivasi

yang tinggi untuk bertilawah, menghafal, dan mengamalkannya

dalam keseharian.

118

Dauroh Ijtima’i dilaksanakan untuk menumbuhkan

sensitivitas kader terhadap lingkungan sosialnya, sehingga ia

belajar mengenai dakwah sya’biyah hingga pada akhirnya

mampu melakukan pendekatan pada masyarakat untuk

membangun basis sosial. Hal ini perlu dilakukan mengingat

kader dakwah dan seperangkat sistem yang ia bangun (untuk

perubahan/perbaikan) tak mungkin bisa lepas dari akar

masyarakatnya.

Refleksi Hari Ini

Adalah sebuah keindahan melihat terintegrasinya proses

perkaderan yang terjadi beberapa pekan terakhir di KAMMI UNS.

Pada Rabu tanggal 19 Maret lalu, pertemuan ICES ke

empat membahas mengenai Keindonesian (konteks Solo), hal

yang dibahas dalam poin tersebut yakni Sejarah pergerakan

Islam di Solo dan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan Islam di

Solo (H.Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Haji Misbach, Mas

Marco Kartodikromo). Sabtu-Ahad, tanggal 22-23 Maret kemarin

diadakanlah Dauroh Ijtima’i. Selasa sore tadi (25/3), diadakan

Diskusi Integratif yang membahas mengenai Lintasan Sejarah

perkembangan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dengan

pokok bahasan: Munculnya gerakan pembaharuan Islam di

Indonesia dan analisis kelompok-kelompok pemikiran yang

berkembang di Indonesia dalam lintasan sejarah pembaharuan

pemikiran Islam. Sementara, ICES esok hari (26/3) akan

membahas mengenai kepakaran dan profesionalisme dengan

melakukan pengkajian terhadap potensi/permasalahan kota Solo

dan interpretasi potensi/permasalahan tersebut untuk melakukan

konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai

keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti. Pekan yang akan

datang ICES akan membahas poin Kepemimpinan, Diskusi

Kepakaran akan membahas mengenai kepemimpinan salah

seorang tokoh nasional, disusul ICES lagi yang membahas materi

119

Kekampusan dan Diskusi Integratif yang membahas mengenai

Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia periode 1945-1965.

Jika kita perhatikan urutan dan keterkaitan kegiatan

antara satu dengan lainnya, dapat kita lihat bahwa sejatinya telah

dilakukan upaya kaderisasi secara integratif dengan arah untuk

mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan sosial. Hal-hal

yang tengah diupayakan diatas sejalan dengan teori perubahan

sosial yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Beliau menyatakan

bahwa metode historis adalah pendekatan terbaik untuk

memahami perubahan sosial. Menurut beliau, perubahan sosial

dapat mengambil pelajaran suatu umat atau sejarah masyarakat

itu sendiri. Dengan mengenal lintas kesejarahan masyarakat

dimana ia tinggal, ia dapat mengetahui gambaran pola pikir,

adat istiadat, kebiasaan, maupun cara pengambilan keputusan

masyarakat, sehingga kajian mendalam tentang masyarakat dan

budayanya adalah hal yang menjadi poin mendasar. Ini telah

coba diupayakan dalam materi ICES dan Diskusi Integratif

KAMMI UNS.

Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun, karena masyarakat

adalah sistem yang hidup, tentulah ia memiliki beragam faktor

perubahan sosial. Hal ini menyebabkan perubahan sosial

membutuhkan amal dan usaha yang memiliki pengaruh besar,

diantaranya adalah pendidikan dan politik. Berkaitan dengan hal

tersebut, pertemuan ICES esok hari akan menyelenggarakan

diskusi dengan wakil ketua DPRD Kota Surakarta untuk

membahas mengenai sasaran pembangunan daerah berdasarkan

prioritas nasional.

Teori ketiga yang Ibnu Khaldun kemukakan adalah bahwa

perubahan sosial berkaitan denga organisasi sosial, setelah

membahas mengenai berbagai organisasi yang ada di Indonesia

(baik yang sudah bubar maupun yang masih ada), kader

diharapkan memiliki gambaran interpretasi untuk melakukan

120

konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai

keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti dengan

membentuk/berjuang dalam wajihah amal sesuai bidang yang

menjadi lahan garapnya.

Gambaran yang terbentuk dari penjelasan diatas tentunya

masih sangat abstrak, akan tetapi hal tersebut merupakan ikhtiar

dari segenap pelaksana kaderisasi KAMMI UNS untuk

mewujudkan tujuan organisasi sebagaimana yang telah disebut

di muka.

Penutup

Saat dengan bangga dan lantangnya kita selaku kader

KAMMI menyebut diri sebagai agent of change, agent of social

control, maupun agen-agen lainnya, sudah selayaknya kita

mengimbangi slogan dan label tersebut dengan meningkatkan

kapasitas keilmuan kita.

Ada beragam jalan yang telah coba diupayakan, dari

mulai Madrasah KAMMI, ICES, maupun ragam varian diskusi dan

dauroh, yang dibutuhkan adalah kemauan dari pribadi kita

sebagai pembelajar yang selalu haus dengan terus membaca,

bertanya, dan mengetuk setiap pintu keilmuan yang ada.

Memang belum sempurna, mungkin belum ideal, ada

begitu banyak celah yang kurang disana-sini, namun salah satu

hal yang mampu menutup celah itu adalah kehadiran kita, kita

yang pernah dan telah berikrar bergabung menjadi bagian dari

kesatuan ini. Dengan segala kekurangan yang ada, setulusnya

saya meyakini, bahwa model kaderisasi integratif ini adalah

jawaban untuk membebaskan diri dari slogan dan label yang

kosong menjadi lebih berisi dan penuh kebermaknaan.

121

Mudah-mudahan kita belajar, mudah-mudahan kita

dengan lapang dada melakukan otokritik terhadap pribadi

maupun organisasi, mudah-mudahan kita selalu ingin melakukan

perbaikan. Mudah-mudahan Alloh swt memudahkan langkah

kita.

122

Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS

Tujuan Dakwah Kampus= Tujuan Dakwah KAMMI

Dakwah Islam dilaksanakan di setiap tempat, tidak

terkecuali di kampus sekalipun. Dakwah kampus (DK) merupakan

salah satu dari sekup kecil wilayah perjuangan dakwah. Dakwah

kampus dijalankan dari kampus, oleh civitas akademika

(kalangan kampus) demi manfaat untuk kampus sampai

masyarakat global. Dakwah kampus (DK) dilaksanakan untuk

sebesar-besarnya perjuangan menegakkan kemenangan Allah

swt. (Atian, 2010)

Dakwah kampus adalah implementasi dakwah Illallah

dalam lingkup perguruan tinggi. Dimaksudkan untuk menyeru

civitas akademika ke jalan Islam dalam berbagai sarana

formal/informal yang ada dalam kampus. Dakwah kampus

bergerak di lingkungan masyarakat ilmiah yang mengedepankan

intelektualitas dan profesionalitas. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa aktivitas Dakwah Kampus merupakan tiang

dari dakwah secara keseluruhan, puncak aktivitasnya, serta

medan yang paling banyak hasil dan pengaruhnya pada

masyarakat. Sasarannya, adalah terbentuknya barisan pendukung

dan penggerak DK yang terlatih untuk menjalankan kegiatan

dakwah kampus yang regeneratif. (FSLDKN, 2004)

Pada akhirnya, dakwah kampus, tiada lain bertujuan

jangka panjang untuk membentuk alumni-alumni yang memiliki

afiliasi terhadap dakwah Islam.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang lahir

sebagai anak kandung dakwah Islam ini pun memiliki tujuan

yang serupa. Hal ini ditegaskan dalam visinya, yakni: Wadah

perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader

123

pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara

Indonesia yang Islami.

Kedua tujuan yang seiring sejalan ini seharusnya ditopang

dengan sinergisitas peran antara KAMMI dengan ADK. Kaderisasi

KAMMI yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader

pemimpin seharusnya tetap berjalan dalam koridor dakwah

illallah yang dirumuskan oleh LDK, demikian pula peran kader

ADK juga tidak berlepas dari aktivitas siyasi sebagaimana yang

telah menjadi dasar pembinaan KAMMI selama ini.

Dalam sejarah KAMMI tertulis jelas bahwa KAMMI lahir

pasca dilaksanakannya Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah

Kampus di Malang yang ke sepuluh. Para aktivis di forum

tersebut menyadari perlunya segera berkontribusi dalam upaya

penyelesaian krisis yang terjadi. Akhirnya, setelah forum

muktamar FSLDKN berakhir, sebagian besar dari mereka

mendeklarasikan suatu front aksi yang bernama Kesatuan Aksi

Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). (Muhammad Hasanudin,

Kartika Nurrahman, 2009)

Hal ini tentunya membawa kesadaran akan kesamaan

nasib yang sepenanggungan antara aktivis dakwah kampus

maupun KAMMI sendiri, sebab pada dasarnya sejak kelahirannya

kedua elemen ini telah dipersaudarakan, pun dalam

implementasi tujuan yang pada dasarnya bermaksud untuk

mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami dalam

naungan ridho Allah swt.

Diskusi Siyasi= Merumuskan Profil Kader Siyasi

Jumat, 7 April 2014 lalu telah diselenggarakan Diskusi

Siyasi kampus, dalam diskusi tersebut dirumuskan mengenai

124

profil kader siyasi kampus UNS. Kesimpulan diskusi tersebut

memutuskan bahwa kader siyasi, adalah mereka yang telah

mengikuti alur kaderisasi KAMMI melalui Dauroh Marhalah 1

KAMMI UNS.

Selanjutnya, kami membahas peran yang mestinya

dimiliki oleh kader siyasi. Pertama, perannya sebagai kader

dakwah. Kedua, perannya sebagai kader lembaga. Ketiga,

perannya sebagai kader KAMMI. Ketiga peran ini tak bisa

dipisahkan satu sama lain. Berikut kami rumuskan bagan peran

kader siyasi tersebut.

Disisi lain, kader dakwah yang dilahirkan melalui

kaderisasi KAMMI haruslah memiliki kompetensi yang telah

dirumuskan dalam indeks jati diri kader KAMMI. Kompetensi

tersebut meliputi: Keislaman, Aqidah, Tsaqofah, Ibadah, Akhlaq,

Fikrah dan manhaj perjuangan, keindonesiaan, kepakaran dan

profesionalisme, kemampuan sosial politik, pergerakan dan

kepemimpinan, serta pengembangan diri.

Indeks jati Diri Kader tersebut akan menunjukkan

spesifikasi/kecenderungan kepemimpinan kader sebelum

berperan menjalankan amal siyasi melalui wajihah yang ada

dalam internal kampus. Meskipun, seluruh kader memang

diwajibkan untuk mengenal seluruh amalan dakwah, baik itu

Memimpin di Lembaga (Kader Lembaga)

Kader Pemimpin (Kader Dakwah)

Kaderisasi KAMMI

125

da’wiy, siyasi, maupun ‘ilmy. Dengan kata lain, kader memang

dituntut untuk menjadi seorang yang generalis, tapi memiliki

spesifikasi tertentu, sehingga pola penempatan kader dalam

wajihah amal dalam internal kampus dapat dilakukan secara

tepat dan efektif.

Titik Tekan: Pengembangan, bukan (sekedar) Perubahan

Dalam diskusi tersebut, banyak dimunculkan pernyataan

mengenai perubahan yang mestinya dilakukan di masa yang

akan datang. Baik itu mengenai suksesi kepemimpinan, pola

kaderisasi, hingga upaya sadar membuka kran keterbukaan

dengan organisasi maupun fikrah yang bertentangan. Semua isu

yang dilontarkan semakin membuat diskusi memanas.

Penulis meyakini bahwa perubahan tak selalu sama

dengan pengembangan, akan tetapi pengembangan selalu

mengandung perubahan. Pengembangan berarti meningkatkan

nilai atau mutu, sementara perubahan adalah proses pergeseran

posisi, kedudukan atau keadaan, yang mungkin akan membawa

perbaikan, tetapi dapat juga memperburuk keadaan (Lise

Chamisijatin, 2009).

Kader KAMMI (menguasai IJDK)

Amal Siyasi Lembaga Amal

Siyasi

Amal Da’wiy Lembaga Amal

Da’wiy

Amal Ilmy Lembaga Amal

Ilmy

126

Berdasar hal tersebut, penulis secara subjektif mengambil

term pengembangan dalam perumusan platform2 kader siyasi di

kampus UNS.

Jika kita membahas mengenai pengembangan platform,

kita dapat mempertanyakan mengenai dalam arti apa platform

tersebut digunakan. Apakah ia hanya dipandang sebagai alat

yang menunjang tercapainya ideologisasi, sistem guna

menghasilkan produk, ataukah hanya sebagai slogan/jargon.

Atau bisa jadi, ia bermakna sebagai sesuatu yang hidup dan

berlaku selama jangka waktu tertentu, serta selalu dikembangkan

secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Menurut penulis, dalam sebuah gerakan, platform

memiliki beberapa peran. Pertama, peran konservatif. Platform

2 menurut wikipedia, platform atau serambi merupakan kombinasi antara sebuah arsitektur perangkat keras dengan sebuah kerangka kerja perangkat lunak (termasuk kerangka kerja aplikasi). Kombinasi tersebut memungkikan sebuah perangkat lunak, khusus perangkat lunak aplikasi, dapat berjalan. Platform yang umum sudah menyertakan arsitektur, sistem operasi, bahasa pemrograman dan antarmuka yang terkait (pustaka sistem runtime atau antarmuka pengguna grafis) untuk komputer. Platform adalah unsur yang penting dalam pengembangan perangkat lunak. Platform mungkin dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tempat untuk menjalankan perangkat lunak. Penyelenggara platform menyediakan pengembang perangkat lunak dengan kesepakatan serangkaian kode logika yang akan berjalan secara konsisten sepanjang platform ini berjalan di atas platform yang lainnya. Kode logika ini mencakup bytecode, kode sumber, dan kode mesin. Dengan demikian, pelaksanaan program tidak dibatasi oleh jenis sistem operasi yang tersedia. Platform telah menggantikan sebagian besar bahasa mesin independen

127

memiliki peran konservatif sebab ia merupakan instrumen guna

mengkonservasi ideologi yang dianut oleh suatu gerakan. Tanpa

memiliki suatu platform gerakan, ideologi suatu gerakan bisa

sirna dengan sekejap karena tak adanya pengejawantahan

ideologi dalam ranah praksis maupun literal. Kedua, peran kritis

dan evaluatif. Maksudnya, platform dapat dengan kritis menilai

dan mengevaluasi implementasi ideologi yang telah

dilaksanakan, apabila dalam ranah praksis beberapa hal tidak lagi

sesuai dengan perkembangan zaman dan dibutuhkan

penyesuaian-penyesuaian, maka perlu dilakukan suatu kritik

evaluatif agar ia tetap selaras dengan kebutuhan, tetapi tidak

meninggalkan akar pijakannya.

Meskipun selalu ada hukum pengulangan dan kausalitas

dalam sejarah, namun dalam sejarah pergerakan mahasiswa, tak

pernah ada sesuatu yang kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya

yang lama akan timbul dalam bentuk yang lain. Ada masanya

pergerakan bercorak kedaerahan berdasar agama/ras/suku,

kemudian muncul rasa kebangsaan yang menguatkan

nasionalisme. Perjuangan fisik pernah berjaya, lantas berubah

menjadi perjuangan diplomasi dan lobi-lobi. Sementara

mahasiswa kembali terkotak dalam ragam gerakan mahasiswa

yang mengusung ideologinya masing-masing, timbul pulalah

suatu gerakan menentang pengkotak-kotakkan tersebut,

sehingga semua gerakan diharap menanggalkan jaket

organisasinya dan melebur dalam satu suara, demi Indonesia,

atas nama nasionalisme.

Pasca pemilu 2014 ini, gerakan mahasiswa harus

menentukan platform geraknya. Apakah gerakan mahasiswa

akan terjebak pada kepentingan politik yang cenderung

pragmatis, ataukah secara cerdas membangun basis kaderisasi

yang mapan guna menyiapkan diri menghadapi berbagai

tantangan di masa yang akan datang.

128

Setiap masa peralihan merupakan masa yang rawan.

Sebab dalam masa peralihan, di dalamnya berlangsung proses

perubahan. Dalam proses ini, gerakan mahasiswa akan mudah

terjebak dalam kebingungan, kecemasan, dan ketidakpastian.

Sama halnya yang terjadi dalam suksesi kepemimpinan KAMMI

UNS di periode 2014 ini. Selayaknyalah generasi baru tidak

mengingkari hakikat bahwa keberadaannnya merupakan mata

rantai yang menghubungkan hasil yang telah dicapai di masa

lalu dengan apa yang akan diraih di periode mendatang.

Untuk itulah, maka merupakan suatu keniscayaan bahwa

sebagai organisasi pergerakan mahasiswa, KAMMI mendidik dan

melatih para kadernya agar memiliki visi dan platform yang jelas.

Kader pemimpin yang dihasilkan KAMMI sebagaimana yang

tertuang dalam visinya akan terbentuk apabila KAMMI mulai

mempraktekkan sikap, sistem, dan prosedur demokratik yang

baik dalam membina organisasi.

Sejak awal, kader KAMMI dilatih berpikir demokratik.

Berpikir demokratik artinya membiasakan diri senang berdialog

dengan siapapun, dibiasakan untuk mendengar dan menerima

pendapat dan kebenaran orang lain, toleran dan mampu

mengidentifikasi bahkan menunjukkan kekurangan dalam

reasoning lawan dialog. Tapi, lebih penting lagi adalah

keberanian untuk mengakui kekurangan dan kekeliruan

pendapatnya sendiri secara terbuka. Persaingan secara sehat dan

terbuka harus menjadi bagian kehidupan kader. (Soemitro, 1997)

Sumber Referensi

Atian, A. (2010). Menuju Kemenangan Dakwah Kampus.

Surakarta: Era Intermedia.

129

FSLDKN, T. P. (2004). Risalah Manajemen Dakwah Kampus.

Depok: Studi Pustaka.

Lise Chamisijatin, d. (2009). Pengembangan Kurikulum SD.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.

Muhammad Hasanudin, Kartika Nurrahman. (2009). KAMMI:

Membentuk Lapis Intelegensia Muslim Negarawan. Dalam C. N.

Saluz, Dynamics of islamic Student Movements. Yogyakarta: Resist

Book.

Soemitro. (1997). Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

130

Tentang Aksi KAMMI Esok Hari

Dalam psikoanalisis, kekecewaan selalu berasal dari

kegagalan sesuatu yang kita harap-harapkan (rely on) untuk

memenuhi harapan dan aspirasi kita. Pada tahap selanjutnya,

kegagalan akan segera diikuti dengan ansambel ekspresi

kekecewaan: marah, protes, menggertak. Layaknya suara satu

dan suara dua dalam paduan suara, variasi paradigmatik itu tak

banyak berbeda.

Seperti banyak dilansir beberapa media belakangan ini,

isu mengenai hubungan diplomatik yang merenggang antara

Indonesia-Australia lantaran penyadapan yang dilakukan pihak

intelegen Australia terhadap beberapa tokoh penting di Republik

(termasuk Presiden dan beberapa menteri) menuai banyak kritik.

Utamanya karena ketidaktegasan Presiden dalam mengambil

sikap demi menjaga kehormatan NKRI.

Dengan memposisikan problem ini, maka alternatif solusi

yang bisa diambil adalah: mengganti presiden/anak buahnya,

mengevaluasi kenerja kementerian atau pihak-pihak terkait,

memutus hubungan diplomatik dengan australia, atau bisa jadi

hanya sekedar menumpahkan histeria dan ekspresi kekecewaan

di media/ jejaring sosial.

Saat merenungkan hal ini, saya tersenyum simpul. Semisal

memang yang dilakukan intelegen Australia merugikan

kepentingan nasional dan mencoreng harga diri Bangsa

Indonesia, lantas mengapa permasalahan ini tak kunjung

terselesaikan?

131

Mengapa pemerintah ‘seolah’ tidak berusaha

menyelesaikan persoalan ini secara sistematis?

Apa sulitnya bagi Presiden SBY menelepon pemerintah

Australia, memprotes dengan keras perilaku aparatnya yang

melakukan tindakan yang melampaui batasan etika intelejen

tersebut?

Bagi saya, jawaban pertanyaan tersebut sudah mutlak.

Negara tidak serius menangani permasalahan ini. (Memang

negara jarang serius menangani masalah diplomatik dengan luar

negeri), akan tetapi fakta ini semakin membuat saya yakin bahwa

ketidakseriusan memang telah melekat secara alamiah pada

kedaulatan negara kita.

Beberapa Tanggapan

“Atas nama Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia,

Indonesia harus mengusir Diplomat AS & Australia. Ini adalah

pesan tegas bahwa Pemerintah Indonesia memiliki komitmen

besar melindungi Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia, dan

siap bertindak tegas kepada siapapun yang mengusik dan

mengancam Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia”, demikian

dilansir web Pengurus Pusat KAMMI (http://kammi.or.id/usir-

diplomat-as-australia-demi-melindungi-kepentingan-nasional-

bangsa-indonesia/) pada 20 November 2013.

Tak lama berselang, kira-kira pukul 15.00 WIB sore tadi,

Ketua Bidang saya di KP KAMMI UNS mengirim pesan berisi

seruan aksi kader KAMMI se-Solo Raya untuk esok Jum’at pukul

8.30 WIB.

132

Namun pikiran saya malah mengembara pada suasana

kelas tadi pagi. Dosen saya sedikit berkomentar mengenai

permasalahan ini. Menurut beliau, ketidakjelasan negara dalam

menangani kasus ini bukan karena ‘ketidakseriusan’ negara dan

minimnya nasionalisme pemimpin kita, akan tetapi jika negara

dipaksa untuk meladeni lebih jauh, maka hanya akan berimplikasi

negatif pada akumulasi kapital yang telah dibangun.

Yah, secara politik memang negara telah tunduk pada

logika kapital tertentu. Atau dengan kata lain, negara tunduk

pada sistem kapital yang menjadikannya memble dalam bersikap.

Adalah tantangan berat untuk mengubah

‘ketidakberdayaan’ pemerintah dan segala kebijakan yang

diterapkan dalam menangani kasus ini, maka mahasiswa sebagai

agent of social dan political control memiliki tanggung jawab

moral untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa.

133

Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi

Gerakan Mahasiswa Hari Ini

Malam sabtu kemarin, kawan-kawan GMNI UNS

mengundang saya dan kawan-kawan KAMMI untuk hadir dalam

diskusi pekanan mereka. Diskusi kali ini membahas mengenai

sekolah rakyat Tan Malaka dan relevansi pemikirannya untuk

diterapkan pada dunia pendidikan hari ini. Berbekal tulisan Tan

Malaka yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, berangkatlah

saya untuk sekedar berbagi resah dan berbincang hangat

dengan kawan-kawan GMNI UNS. Dan tepat seperti yang saya

duga sebelumnya, mereka pun memberikan hard-copy tulisan

Tan Malaka tersebut sesampainya kami di sekre mereka.

Sebagai pemantik, dua orang kawan GMNI UNS

membuka diskusi dengan memberikan pemaparan singkat

mengenai sosok Tan Malaka berikut sejarah perjalanan hidup

yang tak hanya membuatnya menjadi seorang pejuang, tapi juga

pendidik yang konsisten dan persisten menanamkan semangat

juang pada diri setiap muridnya.

Kisah ini berawal ketika Tan bekerja menjadi guru sebuah

perkebunan kuli kontrak di Deli. Sesampainya disana, ia melihat

buruh-buruh perkebunan hidup tidak layak. Melihat realita yang

demikian, Tan berkeinginan memberikan pendidikan yang layak

bagi anak-anak kuli kontrak perkebunan tersebut. Namun, ide

mendirikan sekolah yang ‘layak’ tersebut baru terealisasi ketika

pada 1921 ia memutuskan hijrah ke tanah Jawa. Sekolah yang ia

dirikan diikhususkan bagi anak-anak Sarikat Islam di Semarang.

134

Dalam tulisannya yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, Tan

mengungkapkan bahwa tujuan sekolah tersebut tidak untuk

menjadi juru tulis seperti tujuan sekolah-sekolah khas kolonial,

melainkan selain untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan

keluarganya, juga membantu rakyat dalam pergerakannya.

Progresifitas sekolah tersebut membuat banyaknya permintaan

dari luar Semarang untuk membuat sekolah yang serupa,

akhirnya Tan membuka pendidikan kelas khusus bagi siswa kelas

5 untuk dipersiapkan menjadi calon guru.

Saya rasa, banyak hal yang dapat kita pelajari dari Tan

Malaka dengan sekolah rakyatnya. Bukan hanya sekadar untuk

mengkomparasikan relevansi pemikirannya guna diterapkan

dalam dunia pendidikan dewasa ini, tapi juga membuat kita turut

serta memikirkan satu konsepsi mendasar mengenai gagasan

kemerdekaan yang ia gelorakan jalur pendidikan. Ya, kita harus

berpikir jauh melampaui zaman dimana kita hidup saat ini,

seperti Tan.

Tan tidak menyebut sekolah yang ia dirikan sebagai

Sekolah Kerakyatan, tidak sama sekali. Analisa yang panjang dari

para sejarawan lah yang menghasilkan terminologi Sekolah

Kerakyatan (yang kita kenal sekarang). Sekolah khas Tan Malaka

hadir secara pragmatis untuk menjawab tantangan zaman di

masanya. Maka, wajarlah yang diajarkan di sekolah adalah ilmu-

ilmu taktis tanpa kurikulum yang tersusun secara sistematis.

Namun, selain ‘cacat’ pragmatis ini, saya harus memberikan

penghormatan sedalam-dalamnya pada gagasan Tan Malaka

dengan tujuan pendidikan sekolah rakyatnya, yakni:

mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan, serta

memperhalus perasaan…, disamping itu juga menanam

135

kebiasaan berkarya yang tak kurang mulianya dari pekerjaan

kantor.

Sebetulnya, saya rasa, ia telah melakukan need assesmen

secara mendalam sebelum mendirikan sekolah tersebut, saya

bisa katakan bahwa kepragmatisan sekolah tersebut adalah buah

dari assesmen yang ia lakukan sebelumnya: melihat kebutuhan

mendasar bangsanya yang mesti segera sadar atas keterjajahan

yang tengah dialaminya tanpa perlawanan berarti! Ya,

memberantas kebodohan yang sengaja kaum kolonial semai dan

suburkan di persada tanah airnya, Republik Indonesia. Sayang,

buah dari kepragmatisan ini pun berakhir pahit, semakin lama ia

semakin kehilangan ruh dan daya penggerak, maka sesuai

sunatullah, mandeglah sekolah tersebut.

Semangat pembebasan yang sama juga pernah dilakukan

oleh Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil. Dalam bukunya

yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (hal 27), Freire

mengatakan: “Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan

para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap

pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan

melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan.

Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah

berubah, pendidikan ini tak lagi menjadi milik kaum tertindas

tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses

mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini,

dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat

dilawan secara kultural pula.”

Kedua tokoh ini mengaktualisasikan gagasannya dalam

pola awal yang sama, yakni kaum tertindas (atau kaum kromo,

136

meminjam istilah Tan) harus menyadari ketertindasannya. Dalam

situasi apapun, ketika “Penindas” melakukan

penindasan/pemerasan pada “Tertindas”, maka hal tersebut

resmi disebut penindasan. Ini mutlak, dan sifatnya pasti,

meskipun kaum penindas menutupinya dengan penghargaan

atau kedermawanan palsu.

Agaknya, saat ini kita harus mengangkat kepala sejenak

guna memandang realitas pendidikan kita hari ini. Artikel Febri

Hendri AA di kolom opini Kompas, Jum’at 19 September 2014

kemarin patut menjadi cermin jernih untuk berkaca. Secara garis

besar, artikel tersebut membahas kekecewaan Penulis pada

kurikulum baru yang dirasanya penuh masalah yang urung

dituntaskan, diantaranya: motif yang mendasari terbentuknya

kurikulum baru baik yang berkenaan dengan motif kepentingan

maupun motif politik serta implementasi penerapan kurikum

secara teknis di lapangan.

Tentunya, hal ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita.

Dalam kurun 1920an-2014, pendidikan senantiasa menyisakan

problematika yang tak kunjung tuntas. Jika di Era Tan Malaka, ia

berjuang untuk menyadarkan rakyat hakikat kebebasan dan

kemerdekaan, saat ini yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan

menjadi alat untuk menjajah dan menindas. Pun, hal ini tak

hanya terjadi untuk pendidikan dasar dan menengah, tapi juga

bagi kita yang saat ini menyandang status sebagai mahasiswa.

Status mahasiswa bukanlah status yang permanen, kita

harus melepasnya (suka tidak suka). Akan tetapi, apa yang terjadi

jika universitas tempat kita menempa diri malah menjadi penjara

yang memasung kemerdekaan dan kebebasan kita? Bagaimana

137

jika sistem perkuliahan yang kita jalani selama ini pelan tapi pasti

malah merenggut kesadaran humanis kita? Ah, bagaimana bisa?

Kita harus menyalakan lilin, bukan mengutuk kegelapan.

Begitu kata orang. Maka, dengan keyakinan tersebut, saya masih

sangat percaya bahwa kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal

mampu menjadi titik tolak pendidikan yang membebaskan,

pendidikan yang menumbuhkan nilai dan kesadaran, pendidikan

yang membuat kita merdeka dalam pikir, tindak, dan laku.

Saat ini, kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal masih

kembang kempis didera banyak persoalan. Kita sibuk

membandingkan heroisme generasi pendahulu dan memble-nya

generasi hari ini. Tapi, penanaman nilai dan kesadaran ini tak

boleh putus. Karena akan tiba saatnya, gerakan mahasiswa

kembali dibutuhkan oleh zaman. Mungkin bukan di zaman kita,

atau zaman adik-adik kita, tapi akan ada masanya.. Ya, saya yakin

seyakin-yakinnya. Keyakinan itulah yang membuat saya bertahan.

138

Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI

Pengelolaan dauroh selalu menjadi topik yang menarik

untuk diperbincangkan dari waktu ke waktu, utamanya oleh saya

yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa fakultas

keguruan dan ilmu pendidikan. Setiap kali dosen memberikan

materi mengenai strategi pembelajaran, inovasi kurikulum,

manajemen berbasis sekolah, hingga asesmen pembelajaran,

dalam benak saya langsung terbayang bagaimana membuat

konsep ideal pengelolaan dauroh yang efektif di KAMMI. Akan

tetapi, saat tiba masanya bagi saya mengaplikasikan ilmu yang

telah saya dapatkan di lapangan, dalam hal ini mengajar peserta

didik, saya menyadari bahwa segala teori yang telah saya

dapatkan menguap, berganti dengan grusa-grusu, grogi, gagap

ketika kondisi ideal yang diperlukan untuk mendukung proses

pembelajaran tak terwujud sebagaimana yang saya harapkan.

Dari sinilah saya paham bahwa semua ilmu mengajar,

menajemen kelas, dan lain-lian, hanya akan hanya jadi teori

apabila saya gagap mengejawantahkannya di ranah praksis. Pun,

saya akhirnya menyadari bahwa mengimplementasikan bidang

keilmuan saya ini di KAMMI memang tak semudah membalikan

telapak tangan. Ada begitu banyak tantangan dan kesulitan yang

harus dihadapi dan ditaklukan.

Saya akan memulai tulisan ini dengan memberikan

gambaran umum pengelolaan Dauroh Marhalah 1 terakhir di

KAMMI UNS yang melibatkan saya sebagai salah satu panitia

teknisnya. Dauroh Marhalah 1 terakhir di komisariat saya

dilaksanakan beberapa bulan yang lallu dan diikuti oleh 80 an

peserta dengan input kader dari 9 fakultas di UNS. Dauroh

139

Marhalah 1 ini diawali dengan Pra-DM1 yang terbagi ke dalam

tiga sesi, yakni untuk rumpun MIPA (meliputi Fakultas

Kedokteran, MIPA, Pertanian, dan Teknik), rumpun sosial

(meliputi Fakultas ISIP, Ekonomi, Hukum), dan terakhir rumpun

FKIP. Sepanjang dilaksanakannya Pra-DM1 tersebut, pengelola

dauroh menjalankan proses screening untuk mengenal peserta

lebih mendalam dan mengetahui tingkat kepahaman mereka,

khususnya yang berkiatan dengan tsaqofah keislaman,

keindonesiaan, kepemimpinan, hingga pergerakan mahasiswa

(dalam hal ini KAMMI). Pada akhirnya, terselenggaralah Dauroh

Marhalah 1 di KAMMI UNS yang dilaksanakan selama 3 hari dua

malam dengan 5 materi wajib dan materi tambahan berupa

manajemen dan simulasi aksi. Sepintas saya tangkap, dalam lelah

dan kantuk para peserta yang mengikuti dauroh, mereka cukup

antusias mengikuti rangkaian kegiatan hingga usai.

Akan tetapi, apakah hanya karena tak ada peserta yang

memilih pulang saat acara berlangsung dapat kita tarik

kesimpulan bahwa dauroh berjalan sukses? Apakah hanya karena

mereka dapat mengerjakan soal post-test yang pengelola

berikan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dauroh menghasilkan

kader dengan output berkualitas? Apakah hanya karena satu dua

pertanyaan yang dilontarkan peserta lantas kita menganggapnya

sebagai keaktifan nyata yang pantas mendapat penghargaan?

Selayaknya, saat ini kita merenungkan kembali bagaimana

pengelolaan dauroh marhalah kita selama ini berjalan.

Pola dauroh sudah semestinya berpusat pada kebutuhan

peserta dauroh. Peserta haruslah mampu mengkonstruksi

kembali pengalaman atau pengetahuan yang dimilikinya.

140

Sementara, MOT hanya berfungsi sebagai fasilitator atau

pencipta kondisi dauroh yang memungkinkan peserta dauroh

secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan

mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkontruksinya menjadi

pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan lama yang

telah dimilikinya.

Maka, sebagai MOT, yang harus kita lakukan antara lain:

memberi kesempatan kepada peserta dauroh unuk

mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, memberi

kesempatan pada peserta dauroh untuk mencoba gagasan baru

kemudian mendebatnya untuk selanjutnya mendorong peserta

dauroh memikirkan perubahan gagasan mereka.

Mengapa demikian? Sebab, konstruksi pengetahuan yang

ideal erat sekali kaitannya dengan pola pikir divergen, yakni

kemampuan menghasilkan jawaban alternatif. Kemampuan ini

dapat dikembangkan dengan mencoba berbagai alternatif

jawaban guna penyelesaian masalah, sehingga mereka dapat

memiliki keluwesan berpikir yang secara fleksibel dapat

dikembangkan dalam mengatasi berbagai persoalan yang

berbeda di lingkungan sekitar. Lebih jauh lagi, diharapkan kader

berhasil mengemukakan ide dan gagasan yang orisinal serta

kemampuan mengelaborasi ide sampai pada hal yang sifatnya

detil.

Hal yang perlu dimunculkan guna mencapai tahap

tersebut adalah motivasi intrinsik dari tiap individu. Hal ini yang

akan menyebabkan peserta dauroh melakukan segala aktivitas

dengan optimal dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.

141

Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri setiap

individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara

berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi

mendasar, yakni kebutuhan fisik, sampai jenjang yang paling

tinggi yakni aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai keinginan

untuk mengaktualisasi diri, yakni untuk menjadi dirinya sendiri,

karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti

dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani

sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, MOT harus

bisa memfasilitasi tiap peserta dauroh untuk mengaktualisasikan

dirinya. Hal ini bisa dilakukan apabila MOT telah mengetahui

motivasi peserta mengikuti dauroh marhalah 1 KAMMI, artinya,

kita hanya perlu memberikan apa yang mereka inginkan, apa

yang menjadi ekspektasi mereka. Maka, selesai, antusiasme

mereka akan mampu menjaga semangat mereka hingga akhir.

Hal yang ingin saya bahas dalam tulisan ini bukanlah

bagaimana pengelolaan dauroh yang ideal (dari segi teknis),

karena hal itu telah saya tulis di makalah yang saya buat 24

Novermber 2013 silam, yang ingin saya tekankan disini adalah

pola asesmen terpadu yang meliputi penilaian proses serta

penilaian hasil. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat Manhaj

Kaderisasi KAMMI belum memuat hal-hal yang berkaitan dengan

prinsip maupun pola asesmen dauroh secara komprehensif.

Padahal, dengan pola asesmen yang benar, MOT dapat

mengetahui tingkat pemahaman peserta dauroh setelah proses

dauroh berlangsung, lebih penting lagi, ini merupakan kontrol

bagi pengelola tentang perkembangan kader.

Saat pelaksanaan ICES (Islamic Civilization Engineering

School) di KAMMI UNS, pengelola merumuskan model penilaian

142

baru guna memudahkan penilaian dauroh. Model penilaian ini

dikembangakan dan dimodifikasi berdasar model penilaian

dauroh yang dilaksanakan oleh Pelajar Islam Indonesia, yakni

dengan menggunakan beberapa kriteria pokok, yang kami sebut

dengan ARLEI (Attitude, Respon, Logic, Emotion, dan Integrity).

Akan tetapi, cukupkah angka-angka tersebut mewakili

pelaksanaan penilaian proses dauroh yang berlangsung? Tentu,

hal tersebut tidaklah cukup. Baiknya, kita memberi kesempatan

pada peserta dauroh untuk melakukan self assessment (penilaian

diri).

Self assessment akan membuat peserta dauroh dapat

menilai dirinya sendiri berdasar status, proses, dan tingkat

pencapaian materi yang diberikan berdasar sejumlah acuan yang

telah disiapkan. Teknik penilaian diri ini tentunya memiliki

keunggulan, diantaranya: menumbuhkan kepercayaan peserta

dauroh karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya

sendiri, mengintrospeksi kelebihan dan kekurangan yang ia

miliki, serta mendorong peserta dauroh bersikap objektif dalam

menilai dirinya sendiri. Hal yang perlu dilakukan oleh MOT

hanyalah melakukan komparasi antara self assesment yang

dilakukan mandiri oleh peserta dauroh dan penilaian objektif

yang dilakukan oleh pengelola, sehingga didapatkanlah

pemahaman yang utuh mengenai apa yang dipahami dan

dirasakan oleh peserta selama materi berlangsung.

Tentunya, terlaksanakanya pola dauroh yang konstruktif

dan pola asesmen yang komprehensif ini tidak dapat terwujud

apabila tidak mendapat keseriusan dan perhatian serius dari

pengelola dauroh.

143

Melampaui Konflik dalam Kesatuan

Saat membuka beranda facebook sore tadi, saya

dikejutkan oleh beragam respon yang muncul untuk

menanggapi tulisan yang dirilis oleh Bang Umar akhir pekan lalu

berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI”.

(http://www.kammikultural.org/2014/10/melupakan-fahri-

hamzah-dari-pikiran.html)

Yunda Zahra memberi tanggapan dengan membangun

narasi tentang KAMMI sebagai sebuah keluarga. Setiap kader

diharapkan memiliki loyalitas terhadap KAMMI sebagai bagian

dari keluarga besar yang akan terus menopang, mendukung, dan

menguatkan. Bahkan Yunda Zahra mencontohkan Anas

Urbaningrum yang hingga saat ini masih didukung oleh kader

HMI untuk menguatkan argumennya.

Saya tidak tahu dari mana Yunda Zahra mengambil

kesimpulan naif ini. Jelaslah tidak semua kader HMI membabi

buta membela senior yang bersalah, banyak dari mereka yang

juga mengutuk alumni yang jadi broker politik, banyak juga dari

mereka yang berupaya keras menyelamatkan kader-kader baru

untuk tak terjebak pada rantai politik yang dibangun oleh senior-

senior busuk yang menggerogoti organisasi. Jangan sampai

terjadi, atas dasar solidaritas keluarga ini, KAMMI malah

melegalkan pembelaan membabi buta pada alumni yang terseret

kasus (jika ada), tentu kita tak ingin ini terjadi.

Lebih jauh, Bang Dharma membedah ingatan kita pada

tagline yang dibawa PP pada periode ini. Tagline yang menarik:

KAMMI Untuk Indonesia. Ia mencoba mengajak kader

144

menegaskan wajah baru KAMMI yang otentik Indonesia, tentu

tanpa menegasikan pemikiran Ikhwan yang lebih dulu mapan

dalam tubuh KAMMI sendiri.

Bang Faqih secara lebih detail membawa kita untuk

merenungkan QS Al Mujadalah ayat 22 yang turun setelah salah

seorang sahabat Rasulullah, Abu Ubaidah bin Jarrah membunuh

ayahnya sendiri dalam perang badar. Rasul pun bersabda bahwa

yang Abu Ubaidah bunuh bukanlah ayahnya, melainkan

kesyirikan dan kebathilan dalam dirinya (ayah Abu Ubaidah).

Senada dengan Bang Dharma, Bang Faqih pun mengajak

kita untuk menjadikan nilai kebenaran sebagai landasan dalam

gerak dan pikir, bukan pada asas kekeluargaan seperti yang

disampaikan oleh Yunda Zahra. Selanjutnya, Bang Faqih pun

mencoba melakukan analisis semantik atas tulisan Bang Umar.

(lih https://www.facebook.com/notes/865923736775903/)

Masing-masing berusaha membentuk dan

mempengaruhi opini publik dengan argumentasi dan kebenaran

pendapatnya sendiri-sendiri, dan anehnya semua terasa masuk

akal untuk dimengerti.

Beberapa kader merasa pesimis dan khawatir bahwa

perdebatan di ranah literal ini akan berdampak negatif sebab

dinilai dapat memunculkan konflik horizontal di kalangan kader

sendiri, baik itu di pengurus daerah maupun pengurus

komisariat. Beberapa lainnya merasa optimis. Mereka

menganggap perdebatan adalah hal yang wajar dan mampu

menjadi proses pendewasaan yang baik dalam keberjalanan

organisasi. Sisanya, cenderung tidak peduli, “banyak hal lain

yang lebih esensial untuk dipikirkan”, begitu pikir mereka.

145

Sebagai pribadi, saya sendiri cenderung beranggapan

bahwa munculnya konflik/perdebatan harus diterima sebagai

kenyataan hidup. Bahwa konflik/perdebatan bisa terjadi dimana

pun, kapan pun, dan oleh siapa pun. Tak terkecuali bagi

organisasi yang dalam namanya mengandung kata “kesatuan”

ini.

Perbedaan cara pandang dalam melihat dan memahami

sesuatu menimbulkan dorongan untuk meningkatkan semangat

berpikir, menulis, dan berdialektika dengan sehat. Karenanya,

perdebatan harus dikelola dengan baik, sehingga setiap pihak

memiliki kesempatan belajar membangun kemerdekaan pikir

berdasar argumen teoritisnya masing-masing. Harapannya,

sintesa baru akan lahir menjadi kebenaran sementara, begitu

seterusnya, hingga sintesa-sintesa baru terus memperkaya ruang

gagasan kita. Saya meyakini, apabila kader terbiasa dengan

budaya debat publik secara terbuka, jujur, dan tanpa tedeng

aling-aling, mereka pun akan terlatih berpikir dan bertindak

secara objektif.

Lagi-lagi, tulisan Bang Umar telah menyentuh sisi sensitif

kader KAMMI dimana pun berada. Tujuan tulisan untuk

menjadikan Fahri Hamzah serta relasi patron klien KAMMI dan

alumninya yang terjun ke pergulatan politik praktis sebagai

metafor malah dipahami sebagai provokasi untuk menegasikan

KAMMI dari akar sejarahnya. Bahkan beberapa berburuk sangka

dengan berkomentar singkat yang lepas dari konteks. Hanya

dengan mencari titik lemah dari deretan kata-kata dengan

dibumbui kecurigaan untuk melakukan serangan balik.

146

Saya berharap setiap orang yang turut berkomentar

dalam perdebatan ini, entah dalam celetukan singkat maupun

uraian panjang mampu berbesar hati membawa keakuan dan

egoisme diri ke titik yang paling rendah. Mengutip apa yang

disampaikan oleh Musa Asy’arie, “sehingga kata-kata yang

diucapkan punya jiwa dan menjadi kekuatan pencerahan, tidak

mengundang kebencian dan sakit hati, tetapi menyejukkan, dan

dapat menjadi penggerak lahirnya perilaku kesalihan sosial.”

Ketika Yunda Zahra membangun narasi tentang KAMMI

sebagai sebuah keluarga, agaknya Yunda Zahra perlu

mempertimbangkan rekonsiliasi di tingkat pusat sebagai bentuk

pertanggungjawaban atas narasinya. Rekonsiliasi jelas diperlukan

sebagai upaya perdamaian di atas puing reruntuhan konflik

antara Pengurus Pusat dan KAMMI Nasional. Dan itu tak akan

dapat terwujud tanpa ada adanya loyalitas kader terhadap

KAMMI sebagai bagian dari keluarga besar yang akan terus

menopang, mendukung, dan menguatkan. Namun, sudah pasti

rekonsiliasi akan gagal manakala masing-masing dari kita

enggan mengosongkan egoisme, atau paling tidak menekan

keakuan hingga level terendah.

Ada banyak hal yang harus dikawal dalam kepengurusan

PP KAMMI periode ini. Salah satunya adalah tagline yang

digagas oleh Bang Arif Susanto: KAMMI Untuk Indonesia. Sudah

sejauh mana KAMMI mampu mengindonesia? Masihkah fasih

mengutip kalimat Hasan Al Banna tapi enggan belajar sejarah

perjuangan ulama-ulama yang berjuang menegakkan Islam di

bumi Indonesia?

147

Atau, bagaimana kelanjutan lokus-lokus kepakaran yang

sempat digagas di awal kepengurusan? Apakah ia hanya

berhenti sebatas pada pewacanaan global tanpa realisasi di

lapangan? Sudahkah ada prototype komisariat yang menjadi

bahan percontohan giatnya lokus-lokus kepakaran? Cukupkah

lokus ini menjadi kelompok studi, atau akan dikembangkan

menjadi Lembaga Semi Otonom?

Baru-baru ini, PP juga menggagas “Rekruitmen 100.000

Kader Penggerak Kebangkitan Indonesia”. Tak ada pertanyaan,

mengapa harus seratus ribu? Mungkin, karena angka itu paling

mudah diambil, karena bulat, dramatis, dan cukup abstrak untuk

dibubuhi keterangan lebih panjang. Lantas, siapkah KAMMI

melakukan pembinaan terstruktur untuk seratus ribu kader

tersebut?

“Menggagas ide adalah satu tahapan, dan mewujudkan

ide itu menjadi nyata adalah tahapan yang lain.” Kata Bang Wibi.

Fahri Hamzah telah mendeklarasikan lahirnya KAMMI.

Imron Rosyadi, Mu’tamar Ma’ruf, dan Yusuf Maulana telah

meletakkan pondasinya. Kita? Telah berproses sependek ini..

Bukan, bukan melupakan. Melampaui Fahri Hamzah dan para

senior kita adalah suatu keharusan..

148

Basis Massa Atau Basis Kader?

Beberapa waktu lalu, kawan-kawan Gema Pembebasan

menyelenggarakan ICMS. Kakak-kakak saya di sekretariat

KAMMI-lah yang menerima undangan tersebut. Katanya, mereka

sempat berbincang soal grand design kongres meskipun sedikit.

Lebih jauh, saya tak tahu apa yang mereka perbincangkan.

Kalau bicara soal kongres Gema Pembebasan, prakiraan

saya, ruhnya terasa senada dengan vergaadering yang dilakukan

Sarekat Islam di masa perjuangan melawan kolonialisme. Agitasi

masa. Pidato persuasif. Metodenya sama seperti yang dilakukan

oleh HOS Tjokroaminoto dan Soekarno. Bedanya mungkin hanya

pada kemasan dan kontennya saja. Atau, ada perbedaan yang

lain lagi?

Saya sendiri agak kaget dengan metode-metode yang

mereka gunakan. Agitasi masa tak sekali ini saja mereka lakukan.

Di banyak kesempatan mereka sering kumpulkan massa dan

lakukan propaganda. Beda betul dengan metode yang

disampaikan Ust Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul al

Hizbiy.

Jika telah terdapat tiga hal pokok, yakni fikrah yang

dalam, thariqah yang jelas, dan manusia yang bersih, maka akan

terbentuklah sel utama. Sel utama ini akan bertambah menjadi

sel-sel kecil (halqah) pertama dalam partai, yang sekaligus

menjadi pimpinan partai. Nah, barulah kemudian terbentuk

kutlah hizbiyah (kelompok kepartaian) yang akan berjuang

mewujudkan fikrah yang diyakininya. Mirip dengan sistem Partai

149

Komunis Indonesia ya? Atau sama juga dengan metodenya

Tarbiyah? Hehe

Sejujurnya saya ingin belajar secara lebih mendalam soal

propaganda yang secara persisten mereka gencarkan di kampus.

Lantas, bagaimana si kabar sel-sel ini? Pernah selama empat

bulan saya ikut ngaji dengan kawan-kawan Musliman HTI Solo

Raya, tetapi terlalu banyak perbedaan yang tak dapat saya

jembatani, karenanya, demi kebaikan saya pribadi, saya pun

memilih keluar.

Saya rasa sel-sel kecil tadi masih hidup dan eksis. Tapi

saya kurang yakin apa saja yang mereka bahas. Waktu itu, saya

masih begitu muda dan lekas bosan akan segala sesuatu,

makanya saya putuskan keluar karena wacana yang diusung

memang itu-itu lagi. Tak memberikan kebebasan berpikir dan

menuangkan gagasan alternatif lain. Judgement. Berontak. Satu

solusi. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Selain aksi dan propaganda yang massif, saya rasa kawan-

kawan GP juga punya massa yang sangat militan. Kalau tak

militan. Siapalah yang mau repot-repot pasang selebaran dan

pamflet di setiap spot di kota Solo?

Dipikir lebih jauh, karakter gerakan kawan-kawan GP

sangat jauh berbeda dengan KAMMI. KAMMI memiliki karakter

sebagai organisasi kader dan organisasi amal. Makanya, yang

jadi fokus KAMMI adalah basis kader, bukan basis massa. Perlu

dibedakan antara siapa yang kita sebut sebagai kader, dan siapa

yang kita golongkan sebagai simpatisan. Lantas, mana yang lebih

baik? Fokus pada kader atau pada massa?

150

Ah, jawabannya tentu sulit. Tapi, perbedaan pendapat

antara Soekarno dan Hatta mengenai bagaimana tepatnya partai

bergerak patut jadi bahan renungan bagi kita yang mengaku

sebagai aktivis pergerakan.

Setelah dijebloskan ke penjara Sukamiskin, PNI secara

resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Aktivis partai

kemudian mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tetapi

gerakannya tidak terasa, jarang sekali mereka mengadakan

pertemuan, dan kalaupun ada, pengunjungnya sangat sedikit.

Sementara itu, dua tokoh intelektual: Hatta dan Sjahrir pun

mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Aktivis dan

simpatisan PNI pun terbelah, antara mengikuti Partindo dan PNI-

Baru. Bung Karno merasa kecewa dengan perpecahan ini, ia

menginginkan persatuan dari dua kubu.

Bung Hatta : Dengan sistem Bung Karno, partai tidak

memiliki kestabilan. Ketika Bung Karno beserta tiga kawan kita

masuk penjara, seluruh gerakan tercerai berai. Gagasanku adalah

membentuk satu inti kecil dari organisasi yang kemudian akan

melatih kader untuk digembleng sesuai cita-cita kita.

Bung Karno : Lalu apa yang akan dilakukan para

kader ini? Apakah akan mendatangi massa rakyat dan

membangkitkan semangat mereka seperti yang telah kukerjakan?

Bung Hatta : Tidak. Konsepsiku lebih didasarkan

pada pendidikan praktis untuk rakyat daripada didasarkan pada

daya tarik pribadi dari seorang pemimpin. Dengan cara demikian,

bila para pemimpin puncak berhalangan, partai akan tetap

berjalan dengan pemimpin di bawahnya yang sudah sadar

mengenai apa yang kita perjuangkan. Pada gilirannya, mereka

151

akan meneruskan cita-cita ini ke generasi berikutnya sehingga

barisan kita bertambah banyak dengan mereka yang simpati

pada perjuangan kita. Kenyataannya sekarang, tanpa pribadi

Soekarno, tidak ada partai. Ini akan membuat partai bubar karena

rakyat tidak memiliki kepercayaan kepada partai itu sendiri. Yang

ada hanya kepercayaan pada Soekarno.

Bung Karno : Mendidik rakyat agar cerdas

membutuhkan waktu bertahun-tahun Bung Hatta. Cara yang

Bung lakukan baru akan tercapai puluhan tahun.

Bung Hatta : Kemerdekaan memang tidak akan

tercapai selagi kita masih hidup. Tapi setidak-tidaknya cara ini

pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun-tahun.

Seperti yang telah kita ketahui, perdebatan yang berlanjut

hingga beberapa bulan kemudian itu menemui jalan buntu. Baik

Bung Karno maupun Bung Hatta sama-sama meyakini jalan

juang yang dipilihnya. Menurut Bung Karno, yang dikatakan

Hatta adalah khayalan revolusioner. Buku teks tak dapat

mempimpin dan menggerakkan jutaan rakyat. Sementara, Bung

Hatta pun keukuh mempertahankan yang diyakininya, ia katakan,

“Ini merupakan janji kesetiaan pada negeri kita. Ini merupakan

soal prinsip. Soal kehormatan.” Bung Karno pada akhirnya masuk

Partindo, dan Bung Hatta tetap meneruskan perjuangannya

lewat PNI-Baru.

Agak janggal menarik persoalan ini pada kebimbangan

gerakan menentukan mana yang lebih baik, membina basis

massa atau basis kader. Tapi setidaknya percakapan dua tokoh

besar tadi mampu membuat kita menyelami hakikat perbedaan

152

paling prinsipil yang pernah terjadi dalam perjuangan

kemerdekaan republik.

Kawan-kawan GP, janganlah anti pada buku-buku sejarah

bangsamu sendiri. Kawan-kawan Tarbiyah, jangan hanya

andalkan wacana IM tahun 85. Mari kita saling berdialog dan

berwacana dengan kajian yang matang. Era informasi kian

membanjir, maka kita tahu bahwa era ini akan segera berakhir.

Gerakan intelektual akan kembali berjaya. Pastinya, kita harus

segera menyiapkan diri.

Referensi

1. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya

Cindy Adams

2. At Takattul Al Hizbiy karya Taqiyuddin an Nabhani

153

KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita

Pertaruhkan

Training For Instructure KAMMI Daerah Solo Raya usai

dilakukan. 14 Instruktur baru resmi dilantik. Sayang, komposisi

instruktur baru ini tidak berimbang. Kebanyakan berasal dari

angkatan lama. 2008-2009. Padahal, keinstrukturan yang

dipegang kaum muda adalah keniscayaan yang kuyakini mampu

membangkitkan semangat zaman.

Aku kagum (sekaligus iri) pada kader KAMMI Jogja.

Konsep-konsep keinstrukturan yang mereka inisasi goal di

muktamar. Ide-ide mereka dipakai secara nasional meskipun

belum merata. Pemerataan in tentu merupakan sebuah proses

yang panjang. Membutuhkan waktu lama dan konsistensi yang

tak mudah surut, apalagi luruh.

Sungguh, pertanggungjawaban kita pada mereka yang

telah memilih KAMMI sebagai saluran aktualisasi dan kawah

candradimuka untuk menempa diri harus dihayati dengan

sebenar-benarnya penghayatan dan kesadaran.

Pertanggungjawaban itu harus mewujud dalam kerja-

kerja perkaderan yang tersusun dalam kerangka konseptual,

integral, dan holistik. Yang ku tahu, pembenahan kaderisasi kita

tidak akan tuntas dalam waktu singkat. Kerja-kerja kaderisasi

adalah kerja yang tak pernah putus. Mata rantainya

menyambung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terus

begitu.

154

Hanya saja, karakter gerakan KAMMI sebagai harokatul

amal menuntut kadernya tak hanya fokus mengurus kaderisasi,

tapi secara taktis berkontribusi memecahkan persoalan umat dan

bangsa.

Atas sebab keanggotaan dan kepengurusan organisasi

yang terus berjalan dari periode ke periode, maka sangat sulit

mengharapkan kematangan sikap, kestabilan organisasi, dan

kematangan konsepsi di tubuh KAMMI sendiri. Karenanya, taurits

(pewarisan) haruslah menjadi hal pokok yang jadi prioritas.

Sayangnya, budaya taurits ini belum terwujud secara utuh. Hanya

sebatas dokumen-dokumen kerja yang tak menguraikan proses

berpikir, kurasa.

Aku berharap bisa menjadi saksi sejarah yang

mendokumentasikan serangkaian proses berpikir itu dalam

tulisan-tulisanku (termasuk tulisan ini). Proses berpikir

merupakan pondasi yang paling fundamen dalam melakukan

perbaikan. Bisa jadi, karena ketiadaan dokumen ‘proses berpikir’

ini, generasi selanjutnya akan memulai konsep dari awal lagi.

Seperti yang kubilang di awal, karena KAMMI adalah

rumah tinggal sementara (kawah candradimuka untuk menempa

diri), maka waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan sebaik-

baiknya.

Mengoptimalkan proses perkaderan di tubuh KAMMI

dengan pengoptimalan Korps Instruktur adalah ikhtiar yang

dipilih. Di beberapa organisasi kader lain, jalan ini telah ditempuh

sejak lama. KAMMI sebetulnya tinggal mengadopsi atau

mengadaptasi saja apa yang telah diterapkan oleh PII atau HMI,

tentunya dengan tetap berpegang pada filosofi gerakan dan

155

nalar/orientasi kaderisasi nasional kita. Tapi, memang tak

semudah itu.

Kemarin, pasca TFI usai. Dilaksanakan pula lokakarya KIDS

(Korps Instruktur Daerah Solo). Ada tiga agenda yang jadi pokok

bahasan. Pertama, laporan pertanggungjawaban penanggung

jawab sementara KIDS. Kedua, pembentukan renstra KIDS.

Ketiga, pembentukan struktur dan penempatan personil KIDS.

Dari laporan PJS KIDS sebelumnya, aku menyimpulkan

bahwa fungsi keinstrukturan belum berjalan sebagaimana pola

ideal yang diharapkan. Meskipun memang KIDS telah

menginisiasi dihapusnya Sie Acara dalam kepanitiaan DM1

(sebetulnya KIDS bertanggungjawab untuk semua suplemen

dauroh yang diselenggarakan KAMMI, akan tetapi fokus garapan

pokok di periode awal ini adalah mengidealkan DM1) dan

menggantinya dengan sistem kepengelolaan.

Dari empat komisariat yang berada di KAMMI Daerah

Solo (Sholahuddin Al Ayyubi UNS, Al Fath UMS, Al Aqsha IAIN,

dan Abdullah Azzam yang merupakan gabungan beberapa

universitas macam Universitas Setia Budi, Universitas Slamet

Riyadi, serta Poltekes), hanya Shoyyub UNS lah yang telah

established menerima konsep keinstrukturan dalam pengelolaan

Dauroh Marhalah.

Maka dari itu, aku mengusulkan dibentuknya suatu

renstra jangka pendek. Dengan logika yang sama, saya, Mas

Umam, dan Mas Hartono mengusulkan renstra satu tahun.

Melalui perdebatan yang cukup alot, renstra satu tahun yang

dibagi dalam dua fase tersebut disepakati forum.

156

Ada empat poin yang menjadi acuan kerja-kerja KIDS

selama satu tahun ke depan, yakni 1) Bertambahnya jumlah

instruktur 2) Selesainya sosialisasi KIDS ke seluruh komisariat 3)

Pengelolaan DM1 yang 100% ditangani KIDS dan peninjauan

dauroh-dauroh lain untuk pembuatan SWOT renstra jangka

panjang satu tahun mendatang 4) Peningkatan kompetensi

intruktur melalui Halaqoh Instruktur (HI).

Untuk menunjang tercapainya renstra tersebut,

dibentuklah struktur sebagai berikut:

Koordinator : Ahmad Walid (Pascasarjana UNS)

Sekretaris & Bendahara : Diandaru (Pascasarjana UNS)

Tim Instruktur Lapangan : Evi (UNS-alumni), Alvian (UMS),

Irine (UNS-alumni), Fitri (IAIN), Amin (UNS)

Tim Manajemen Data dan Informasi : Rahmad (UNS), Titis

(UNS), Titik (UMS)

Tim Pengembangan Kompetensi Instruktur: Nuzul (UMS),

Alikta (UNS), Umam (UNS-alumni), Vike (IAIN), Syahid (UNS-

alumni)

Besar harapan yang ku tumpukan pada sistem

keinstrukturan ini. Aku sadar betul bahwa satu tahun ke depan

adalah masa trial and error. Mudah-mudahan Alloh SWT

mengampuni kami semua.

Aku ingin menggubah tulisan Ahmad Wahib untuk

mengakhiri tulisanku kali ini..

157

Arena telah kita pilih

KAMMI sebagai saluran

Bertahun-tahun kita membina

Satu generasi muslim kita pertaruhkan

Untuk umat Islam

Kegagalan KAMMI kegagalan satu generasi

Keberhasilan KAMMI keberhasilan satu generasi

Kita telah memilih KAMMI sebagai wadah perjuangan

permanen (seperti yang kita hafal sebagai visinya). Mari berdoa,

mudah-mudahan Alloh SWT membimbing KAMMI ke jalan-Nya

yang lurus. Mudah-mudahan Alloh SWT mengampuni kita atas

satu generasi muslim yang kita pertaruhkan.

158

TENTANG PENULIS:

Alikta Hasnah Safitri adalah mahasiswi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret. Terhitung

sejak awal tahun 2012 aktif dalam

kepengurusan KAMMI UNS. Saat ini,

masih menikmati perannya sebagai

admin website resmi KAMMI UNS

(kammiuns.org) dan Dewan Redaksi Jurnal KAMMI Kultural

(kammikultural.org).