Membingkai KAMMI

download Membingkai KAMMI

of 158

Transcript of Membingkai KAMMI

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    1/158

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    2/158

    2

    Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan

    Oleh:Alikta Hasnah Safitri

    Copyright 2014 by GarudaUNS

    Penerbit

    GarudaUNS

    Desain Sampul:

    Hisyam Latif

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    3/158

    3

    Ucapan Terimakasih

    Untuk KAMMI Shoyyub UNS dan HMI Komisariat M. Iqbal

    Untuk Forum Diskusi KAMMI Kultural

    Untuk Abangku, Adiwena dan Kuncoro

    Untuk Akhi dan Ukhti

    Untuk Kanda dan Yunda

    Untukmu yang sudi membaca paradoks dalam diriku yang tak

    kunjung usai dalam tiga tahun ini (2012-2014)

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    4/158

    4

    Pengantar

    Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yangsaya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status

    sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya

    menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat

    menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji

    matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah

    yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.

    Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia

    hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan

    secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir.

    Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks.

    Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun

    tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat

    besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembacasekalian.

    Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu

    yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini

    belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai.

    Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapanguntuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang

    kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.

    Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt

    menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.

    Surakarta, 29 November 2014

    Alikta Hasnah Safitri

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    5/158

    5

    Daftar Isi

    Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah

    Refleksi 7

    Karena Kita Adalah KAMMI 21

    Mencari Jalan Pulang 27

    Ya, Memang BeginilahKAMMI..33

    Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : AntaraTuntutan, Realita, dan Harapan 37

    Merayakan Keberagaman KAMMI 42

    Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan

    KAMMI 48

    Korupsi dan Budaya Jawa 70Jelang Satu Periode 76

    Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh

    KAMMI 80

    Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY 85

    Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan

    Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI 88

    Pseudo-independence KAMMI 102

    Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS 107

    Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS 114

    Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS 122

    Tentang Aksi KAMMI Esok Hari 130

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    6/158

    6

    Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan

    Mahasiswa Hari Ini 133

    Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI 138

    Melampaui Konflik dalam Kesatuan 143

    Basis Massa Atau Basis Kader? 148

    KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan 153

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    7/158

    7

    Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia,

    Sebuah Refleksi

    Hal yang menarik ketika kita bicara tentang intelektual

    adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di

    depan album waktu yang kita beri nama sejarah. Dalam studi

    sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent

    pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan

    beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku

    ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke

    masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama.

    Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang

    dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya

    hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan

    pikiran saya yang sederhana.

    Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, danbudaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika

    masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak

    menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah

    kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap

    pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang

    sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.

    Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh

    mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum

    terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.[1]

    Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal

    Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan

    Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas

    Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal

    lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selainmemperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya,

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn1https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn1
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    8/158

    8

    semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche

    Schooldan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa

    Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang

    memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual

    Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.

    Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,

    murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan

    Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap

    pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar

    tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklahdimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang

    sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari

    Boedi Oetomo menulis:

    Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini

    memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara

    maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar

    tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota

    Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan

    senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang

    baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir[3]

    Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus

    mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa

    pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan

    praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang

    dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer

    dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga

    kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.

    Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun

    1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya

    yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn2
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    9/158

    9

    mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang

    kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki

    ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya,

    malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.

    ..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus

    dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah

    sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-

    kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi

    Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak

    mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takutsakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa

    yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN![4]

    Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah

    keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran

    beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,

    tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.

    Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan

    propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.

    Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat

    Islam.[5]

    Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama

    dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui

    tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

    Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh

    mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada

    orang Jawa Orang Jawa bodoh, kata Tuan, Sudah tentu saja,

    memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya.

    Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya

    untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti

    bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita

    Nederland?[6]

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn4
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    10/158

    10

    Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif,

    kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi

    kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia.

    Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu

    menjauh dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak

    ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,

    dan terbelakang.

    Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max

    Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi

    pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalamceramah yang dilakukan oleh Blatherer.

    Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera

    Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra

    yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan

    rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka

    merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana

    mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan

    pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon

    pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan

    Tuhan[8]

    Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia

    klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan para

    penyembah berhala miskin, yang di dalam salah satu poinnyaberisi: Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan

    dengan cara bekerja.

    Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah.

    Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi

    untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan

    pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah

    rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan Sekolah

    Rakyat[9] bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn7
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    11/158

    11

    mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan

    untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga

    menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk

    penjajahan dan penindasan.

    Begitulah, kaum intelektual di zamannya

    mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam

    praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi

    pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik

    konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk

    dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritismasa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat

    di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun

    pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang

    dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya

    bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS

    Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam

    dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk

    gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubuSoekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih

    berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-

    Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan

    Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.

    Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai

    disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahanpasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda.

    Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah

    kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika

    pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan

    Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas

    kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di

    masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari

    upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankankemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan,

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    12/158

    12

    kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan

    kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan

    secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa.

    Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat

    pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan

    mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.

    Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif

    terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama

    PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi

    mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.

    Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya

    mengenal beberapa intelektual yang hidup di zaman pasca

    kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan

    hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie

    (Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang

    Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran

    Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah

    mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.

    Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga

    merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad

    Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM

    yang juga merupakan kader HMI.

    Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simakdengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang

    berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim

    bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya)

    menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika

    meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas

    lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal

    menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief

    Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    13/158

    13

    Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966

    mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia

    menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru

    dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak

    benar.Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah

    pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan

    mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak

    mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu,

    kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan

    bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin

    tidak kelihatan.[10]

    Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief

    Budiman katakan, Sekali lagi memang salah apabila ada

    anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga

    tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-

    apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang

    sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.

    ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapimemfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang

    besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang

    mungkin lain, yang mungkin juga kurang menguntungkan.[11]

    Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut

    dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-

    organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:

    Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis

    Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis

    ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-

    Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan

    mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan

    Mahasiswa Indonesia).[12]

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn10
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    14/158

    14

    Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film

    Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar

    organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka

    saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun,

    yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie

    bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca

    lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya

    calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim

    dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek,

    akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi

    kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasandemokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak

    muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk

    antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam

    kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru

    yang kini berkuasa.

    Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan

    Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktisruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus

    mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus

    menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan

    semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.

    Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan

    munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam

    kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam.Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada

    sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa

    Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)

    munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.

    Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini

    dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin

    Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruhkampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    15/158

    15

    FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah

    beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna

    membahas khittahLDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan

    kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus,

    hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus

    tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi

    perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas

    acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati

    bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

    pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada

    tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakniperubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang

    permanen.

    Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan

    penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah

    reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil

    membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan

    mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masakepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena

    ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan

    mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka

    pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan

    baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-

    aturannya sendiri.

    Ide-ide para pahlawan reformasi ini pun tidak hidup.

    Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide

    mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud

    eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-

    kananyang menggaungkan politik progresif pun digempur

    militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan

    masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan

    tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadimenurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    16/158

    16

    sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin

    oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri).

    Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian

    kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak,

    antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan

    dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu

    kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling

    realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.

    Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para

    intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj KaderisasiKAMMI 1427 H, sebagai berikut:

    Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi

    reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini

    mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau

    termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat

    pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak

    sebagaiwatch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,

    maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang

    kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.

    Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan

    gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada

    pemecahan masalah umat dan bangsa.

    Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abaiterhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan

    turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar

    ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan

    sikapnya.

    Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan

    guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi

    penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,

    kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    17/158

    17

    untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam

    organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding

    fathersguna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia

    (dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki

    organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang

    lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi

    yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-

    baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi

    solusi permasalahan umat dan bangsa.

    Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan

    pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum

    dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana,

    yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali

    kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita

    harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan

    berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para

    ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi pelayanpembangunan ketimbang penggerak perubahan.

    Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat,

    dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat

    manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian

    terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent

    of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada

    posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, merasa lebih

    intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena

    mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap

    jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,

    merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan

    bernama rakyat.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    18/158

    18

    Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas

    mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,

    menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak

    dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-

    mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi

    terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab

    kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian

    inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang

    kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di

    perguruan tinggi.

    Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian

    kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri

    sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa

    berkaca pada Hadji Misbach yang menggaungkan semangat

    perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan.

    Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap

    otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem

    pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan.Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak

    kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.

    Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada

    sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran

    kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari

    sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah

    bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual!

    Akhirul kalam,

    Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang

    lurus Ya Tuhan kami..

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    19/158

    19

    Sumber Bacaan:

    Islam, R. J. (2013, November 15).Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4,

    2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang

    Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225

    Multatuli. (2008). Max Havelaar.Jakarta: Penerbit Narasi.

    Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.Yogyakarta: Resist

    Book.

    Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N.Saluz,Dynamics of Islamic Student Movements(pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.

    Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana

    Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda.Jakarta: Pustaka

    Republika.

    Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966.Jakarta: Penerbit Buku

    Kompas.

    Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam.Jakarta: Pustaka LP3ES.

    Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi.

    In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka

    Republika.

    _______________________________

    [1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

    [2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme

    [3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

    [4] ibid, hal 189

    sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

    1926 hal 181

    http://www.jejakislam.net/?p=225https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref1https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref1http://www.jejakislam.net/?p=225
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    20/158

    20

    [5] Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan

    kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini

    pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena

    dianggap sebagai aib.

    [6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

    [7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan

    mengimani risalah yang dibawa ayahnya.

    [8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165

    [9] Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama Sekola h

    Kerakyatan. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut

    karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat.

    [10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

    [11] Ibid, hal 121

    [12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

    https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref5
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    21/158

    21

    Karena Kita Adalah KAMMI

    Apa yang pertama rekan rasakan saat pertama kali terlibat

    dalam suatu aktivitas dawah?

    Barangkali yang akan muncul dalam benak rekan sekalian

    ketika pertanyaan sederhana ini saya lontarkan adalah sebuah

    kenangan manis bercampur getir yang rekan alami di awal mula

    perkenalan dengan dawah ini. Akankah sebuah senyuman yangtergurat di wajah sebab merasakan bahagia dan syukur teramat

    karena telah diberi kesempatan mengenal dien yang kita cintai

    bersama ini? Ataukah, sebuah emosi yang tertahan jauh di dalam

    jiwa seketika terpantik untuk menyala, manakala teringat bahwa

    keterlibatan kita disini murni bukanlah atas dasar keikhlasan

    serta ketundukan hati, melainkan paksaan dari kakak tingkat atau

    murobbi.

    Tentunya, akan ada banyak ekspresi lain yang akan

    terjabarkan ketika kita kembali mengingat awal mula menapaki

    perjalanan kita yang masih teramat panjang ini, dan pastinya

    akan ada lebih banyak ekspresi yang tersirat dalam gurat wajah

    ketika kita tengah menempuh perjalanan ini. Bias getir air mata?

    Kekecewaan yang parah? Rona pias manakala genting menyapa?

    Setiap kenangan yang terhampar menyisakan jawaban

    atas pertanyaan. Dan setiap jawaban akan menciptakan satu

    pertanyaan baru lagi untuk dijawab. Demikianlah dawah

    mengajarkan pada kita, bahwa jalan ini amat sangat panjang dan

    berat, boleh jadi malah tak berkesudahan.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    22/158

    22

    Saya mengenal KAMMI jauh sebelum saya menginjakkan

    kaki saya di kampus. Waktu itu, saya masih anak kecil polos dan

    lugu yang memproklamirkan diri sebagai Aktivis DakwahSekolah. Bukan karena saya berada di kota besar serta saya

    mengetahui langkah dan gerak perjuangan KAMMI maka saya

    terobsesi. Bukan, bukan itu. Bahkan, yang saya ketahui tentang

    KAMMI sangatlah jauh pucuk dari akar. Mendengar KAMMI pun

    hanya lewat kisah dan cerita singkat murobbi mengisahkan

    perjuangan yang dulu dilalui hingga akhirnya dawah dikenal dan

    tak lagi terkesan eksklusif dan saklek. Selebihnya, saya tak tahudan tak mau tahu.

    Bagi saya, KAMMI tak lain hanya sebuah wajihah dakwah.

    Ia memiliki kedudukan dalam taraf yang sama dengan Lembaga

    Dakwah Kampus (LDK) maupun forum-forum lain yang bergerak

    dalam spesialisasinya masing-masing, entah di bidang

    kepenulisan maupun sosial. Dan saya yakin, tentu saja masih

    banyak wajihah dakwah lain yang terhampar dan menanti

    kontribusi dari saya.

    Awalnya, tak ada niat sedikit pun untuk bergabung

    dengan KAMMI. Alasan saya cukup jelas kala itu. Begitu

    mengetahui kepanjangan dari nama KAMMI, yakni Kesatuan AksiMahasiswa Muslim Indonesia. Saya langsung antipati dan

    menolak segala bentuk hal yang berhubungan dengannya

    karena satu suku kata itu, AKSI.

    Barangkali rasa antipati ini muncul sebab trauma

    mendalam karena aksi pertama yang saya ikuti saat SMA (saat itu

    saya mengikuti aksi kepedulian untuk Palestina dengan

    memboikot produk-produk Yahudi laknatullah). Karena hal itu,

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    23/158

    23

    esoknya guru Kewarganegaraan di SMA saya menyindir habis-

    habisan tindakan aksi yang saya ikuti dengan tak lupa sedikit

    mendelik ke arah saya. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, benar-benar drop, down, mati kutu, apapun namanya itu.

    Dengan adanya kata AKSI itu, saya memasung sama sekali

    keinginan saya untuk bergabung dengan KAMMI. Cukuplah saya

    memberikan kontribusi saya untuk dakwah di LDK di kampus

    manapun saya berada nantinya, begitu pikir saya.

    Semakin menguatkan pemikiran saya kala itu, saya pun

    membuat dalih macam-macam dalam otak saya: Memangnya

    kenapa kalau saya tidak ikut KAMMI? Toh, bukan KAMMI yang

    saya junjung tinggi. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib saya

    bela sampai mati.

    Jadi, meskipun ketika itu murobbi berkisah lagi tentang

    KAMMI, atau ketika mbak dan mas saya yang lebih dulu

    melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengatakan bahwa

    mereka masuk dan bergabung bersama KAMMI, saya kukuh dan

    kokoh, tak tergoda.

    Sampai di suatu kesempatan, saya bertanya pada seorangkakak yang saya kenal baik sejak SMA. Mbak, kenapa memilih

    KAMMI, bukan organisasi mahasiswa lain?

    Dari hasil diskusi dengan beliau, saya pun belajar dengan

    menyimpulkan.

    Ya. KAMMI tak lain memang hanyalah sebuah wajihah

    dakwah. Namun dengan menunjukkan kata hanya, tak berarti ia

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    24/158

    24

    tak memiliki arti penting dalam perjuangan dakwah ini. Berada di

    dalamnya pun bukanlah suatu perkara yang mudah. Tak seperti

    di Lembaga Dakwah Kampus maupun organisasi mahasiswainternal lainnya yang memiliki suplai kader berlimpah, KAMMI

    memiliki kader aktif yang relatif sedikit. Saat berada di KAMMI

    akan menjadi sangat membosankan. Sedikit yang kita dapatkan,

    namun begitu banyak yang harus dikorbankan. Melelahkan,

    karena ia menuntut begitu banyak perhatian dari kita.

    Menyebalkan, karena tak semua orang didalamnya sejalan

    dengan pemikiran. Bahkan menakutkan, lantaran resiko besaryang siap menghadang kapan saja.

    Setelahnya, bukannya saya semakin termotivasi untuk

    tetap meneguhkan pendirian saya dengan menolak KAMMI

    dalam hidup saya. Malah saya semakin kagum dengan

    keberjalanan wajihah dakwah yang satu ini.

    Nyatanya, dengan segenap problematika yang ada.

    Dengan minimnya suplai kader dan dana, dakwah KAMMI tetap

    eksis dalam kancah perpolitikan mahasiswa hingga sekarang. Ia

    tetap kokoh berdiri meski ribuan tangan berusaha

    merobohkannya. Bahkan dari rahimnya senantiasa lahir sosok-

    sosok pemim pin yang teguh membawa misi juang sebagaiDirector of Change.

    Jika diibaratkan, maka KAMMI tak lain adalah sebuah

    perahu yang berlayar di atas samudra kehidupan. Sedang kita

    yang berada didalamnya, masing-masing adalah nahkoda serta

    awak kapalnya. Apakah kita hendak mengikuti aliran arus

    kemanapun ia membawa kita tanpa perlu bersusah payah

    mendayung, ataukah kita hendak membawa bahtera ini melawan

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    25/158

    25

    dinamika arus yang ada dengan mengokohkan eksistensi kita

    lewat dayungan dari tangan-tangan yang kokoh serta hati-hati

    yang tangguh?

    Akankah jika bahtera kita terhempas ombak dan

    menabrak karang yang kokoh hingga terjadi chaospadanya kita

    akan menyerah dan rela menceburkan diri ke laut untuk

    menyelamatkan diri, ataukah kita tetap berada didalamnya

    dengan menanggung segala resiko yang ada?

    Ya, semua kembali pada kita.

    Maukah kita berada di dalamnya atau tidak. Semua

    bergantung pada kemauan kita. Toh, seperti yang saya katakan

    di awal tadi. KAMMI bukanlah satu-satunya wajihah dakwah.

    Dan kini, disinilah saya berada.

    Baru beberapa bulan memang. Ya, baru sebentar. Belum

    ada getar-getar aneh pertanda cinta yang menggebu

    didalamnya. Meski demikian, ada amarah yang bergemuruh di

    dada manakala orang lain mengatakan hal yang buruk tentang

    KAMMI. Katanya, KAMMI ini lah, itu lah. Saya yakin, pasti rekansemua lebih tahu dari saya pribadi.

    Namun, seperti kata Imam Hasan Al Banna dalam Bainal

    Amsi Walyaum(Antara Kemarin dan Hari ini)

    Setiap pemerintahan akan membatasi gerak langkah

    kalian serta menaburkan duri-duri di jalan yang kalian tempuh.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    26/158

    26

    Para perampas akan berjuang dengan segala cara untuk

    menyerang dan memadamkan cahaya dakwah kalian.

    Semua orang akan menaburkan debu-debu keraguan di

    sekitar dakwah kalian dan melancarkan tuduhan-tuduhan tak

    beralasan kepadanya. Mereka akan berusaha untuk mencari-cari

    setiap kekurangan di dalam dakwah kalian serta mengeksposnya

    kepada khalayak ramai setelah dimanipulasi seburuk mungkin

    dengan bantuan kekuatan dan kekuasaan mereka, berbekalkan

    harta dan pengaruh yang mereka miliki.

    Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-

    mulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya,

    meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. (Ash-Shaff:8)

    Namun, Allah SWT menjanjikan bahwa setelah itu semua

    berlalu. Akan ada pertolongan bagi para mujahidin serta pahala

    bagi orang-orang yang bekerja secara ihsan.

    Maka Akankah Kalian Tetap Tegar Menjadi Pembela

    Agama Allah? Saya menjawab seruan ini, rekan. Dan saya

    pastikan, anda pun demikian.

    Karena saya adalah KAMMI. Karena anda adalah KAMMI.

    Karena kita adalah KAMMI.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    27/158

    27

    Mencari Jalan Pulang

    Mengapa aku mencintai KAMMI?

    Pertanyaan ini sering terbersit dalam benak saya tanpa

    pernah saya coba temukan jawabnya secara pasti. Entah, apakah

    karena cinta itu tak pernah ada, atau karena saya masih yakin

    sepenuhnya bahwa cinta tak butuh alasan, atau karena tertutupi

    oleh sekian baris daftar kekecewaan yang saya rasakan selamamenjadi bagian dari barisan ini?

    Beberapa orang mengatakan mereka mulai jatuh cinta

    pada KAMMI sejak mengikuti Dauroh Marhalah 1. Saya? Ah,

    tidak sepertinya. Dauroh Marhalah 1 (DM1) tak memberi kesan

    yang mendalam bagi saya. Bukannya saya tak memperhatikan,

    sungguh, saya mencoba berkonsentrasi, memperhatikan setiapdetik pemaparan materi, berusaha menyelesaikan tugas dengan

    baik, berusaha sepenuhnya menjalankan setiap ketetapan

    maupun peraturan yang digariskan oleh panitia. Nyatanya? Saya

    gagal menyimpulkan satu ketetapan yang pasti bahwa saya jatuh

    cinta pada KAMMI setelah mengikuti DM 1.

    Saya belum menyerah. Saya lemparkan pernyataan pada

    diri saya kembali, sekadar untuk meyakinkan. Mungkinkah kau

    jatuh cinta sejak mengikuti ICES-Islamic Civilization Engineering

    School-Sekolah Rekayasa Peradaban Islam? Saya ragu untuk

    menjawab. Berfikir sedemikan panjang untuk menjawab. Namun

    kembali harus dihadapkan pada jawaban jujur yang tak

    memuaskan : Tidak.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    28/158

    28

    Bukan, tentu bukan karena ICES. Saya rasakan forum-

    forum yang kering dari nilai-nilai intelektualitas, miskin diskusi

    dan dialektika, sekadar ceramah satu arah, Tanya jawab, laluselesai. Diskusi yang tak diimbangi dengan diskursus dan bacaan

    komprehensif serta ketidakjelasan materi, yang sekali lagi

    membuat saya kecewa karena dari sekian banyak buku yang saya

    baca, tak ada satu pun yang dijadikan landasan dalam

    berdialektika. Saya coba maklumi itu. Saya coba pahami bahwa

    inilah kesatuan. Kesatuan pandang dalam menyikapi masalah.

    Kesatuan arah dalam memandang persoalan. Dan kesatuangerak dalam menjawab tantangan kehidupan. Ya, karena ini

    barisan yang bersatu. Karena inilah yang disebut Kesatuan.

    Maka mulailah saya coba mencari alasan itu. Jawaban dari

    pertanyaan Mengapa yang normalnya dijawab dengan kata

    karena bla bla bla .Karena KAMMI adalah organisasi yang

    komprehensif. Lengkap dengan gerakan dakwah tauhid,

    kemamapanan intelektual profetik, aktif berkontribusi secara

    langsung dalam ranah garap sosial, hingga terjun langsung

    dalam pergulatan politik praktis di kampus. Ujar saya mantap

    ketika salah seorang teman di Lembaga Dakwah Kampus

    menanyakan Kenapa antisemangat banget di KAMMI ukh?

    Benar begitu? Ah, jawaban itu tak bertahan lama. Karena

    pada kenyataannya, saya kembali merasa kecewa pasca didaulat

    menjadi salah satu staff dalam jajaran kepengurusan KAMMI

    komisariat Shollahudin Al Ayyubi UNS. Kecewa bukan main.

    Karena harapan tak sesuai kenyataan? Ya. Karena saya harus

    menghadapi ketidakidealan disetiap sisi? Ya.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    29/158

    29

    Meskipun pada kenyataannya, sebagai pengurus belum

    banyak yang bisa saya berikan. Bahkan barangkali tak pernah

    benar-benar saya hadirkan hati dan totalitas kesungguhan dalamsetiap aktivitas, sungguhpun betapa keras saya meyakinkan diri

    saya bahwa ini normal. Wajar. Tak jadi soal. Semua baik-baik saja.

    Saya tak mengatakan bahwa kinerja KAMMI payah. Tak

    begitu. Saya rasakan betapa KAMMI tetap berusaha untuk

    bercokol, berusaha untuk tetap eksis dengan memberikan

    sumbangsih dalam ranah garap sosial, intelektual, maupun

    pembelajaran politik baik secara teoritis maupun praktis, tak

    sebatas aksi parlemen jalanan semata. Jauh lebih berarti dari

    sekedar mereka yang sibuk bernyanyi dengan nada-nada

    sumbang dalam upaya destruksi pemikiran, pemandulan kerja-

    kerja intelektual dan taktis, bahkan hanya sibuk cari massa dan

    cari sensasi.

    Saya hanya rasa ada yang kurang pas. Mungkin saya

    salah. Mungkin semua baik-baik saja. Mungkin saya yang tak

    baik-baik saja.

    Mengapa aku mencintai KAMMI? Belum juga terjawab.

    Maka saya lakukan sebuah proses pencarian panjang

    yang bahkan sampai saya selesai menuliskan tanda titik di akhir

    tulisan ini, belum bisa saya temukan jawabnya.

    Atas ajakan seorang teman, jelang detik terakhir semester

    pertama, saya putuskan mengikuti Latihan Kader 1 HMI dengan

    mendapat predikat yang sangat memalukan: TIDAK LULUS.

    Predikat ini sama sekali tak membuat saya jera, malahan saya

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    30/158

    30

    semakin antusias dan bergairah. Mulailah saya rutin mengikuti

    diskusi-diskusi yang diadakan komisariat, membaca buku-buku

    yang sering dijadikan referensi oleh Kanda-Yunda saya,mengikuti alur berpikir mereka yang bebas, merdeka, tanpa

    sekat. Sungguh menyenangkan.

    Saya semakin tertarik. Mungkin atas dasar hasrat anak

    muda yang selalu ingin cari hal-hal baru. Entahlah, tak tahu.

    Mengalir saja seperti itu. Maka saya biarkan diri saya larut dan

    hanyut mengkomparasikan pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi

    dan Mukti Ali. Mulai rajin searching e-book Nurcolis Madjid,

    Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi yang notabene selalu

    dikaitkan dengan JIL. Meskipun, di sisi yang lain selalu disodori

    buku Fathi Yakan: Robohnya Dakwah di Tangan DaI dan buku

    Ust Eko Novianto, Sudahkah Kita Tarbiyah?

    Saya sering merasa lelah dan galau, marah dan sedih,

    jengkel dan kecewa, meski terkadang ada rasa asyik yang

    menggairahkan saat saya temukan banyak hal baru dalam

    petualangan saya ini. Beberapa teman mulai katakan saya

    pengkhianat, selingkuh, dualis, dan lain sebagainya, saya tetap

    berpura-pura cuek dan lakukan rutinitas saya sebagai pengurus

    di KAMMI tanpa rasa bersalah. Tetap berusaha profesional danpersembahkan totalitas kerja untuk membuat jantung KAMMI

    yang bernama Kaderisasi ini berdetakmeski tak banyak yang

    bisa saya lakukan.

    Enam bulan berselang, tak ada tanda yang pasti bahwa

    saya akan akhiri pencarian ini. Saya masih asik masyuk dengan

    dialektika yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri. Sibuk

    menandingkan pikiran ustadz ini dengan syekh itu. Lakukan

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    31/158

    31

    destruksi besar-besaran pada konsepsi soal ketuhanan dan

    kemerdekaan dengan menyandingkannya dengan konstruksi

    pada landasan dakwah tauhid dan konsep al qiyadah waljundiyah. Penat. Pusing.

    Pada akhirnya, saya tetap turuti dorongan yang begitu

    bergemuruh dalam dada untuk kembali menjajal mengikuti

    Latihan Kader 1, tepatnya di Sukoharjo. Berbeda dengan hasil

    memalukan di LK pertama, di LK yang kedua ini, saya mendapat

    predikat: Peserta Terbaik yang tak terlantik. Mungkin begitulah

    rencana yang Tuhan gariskan, agar saya tak begitu kesulitan saat

    menjadi kader ganda dimana di satu sisi saya masih terdaftar

    dalam kepengurusan KAMMI namun disisi yang lain menjadi

    Anggota Biasa 1 di organisasi eksternal yang lain.

    Belum lagi usai kisah cinta segitiga ini, saya lakukan

    pencarian kembali. Kali ini dengan Muslimah Hizbut Tahrir

    Indonesia (M-HTI) yang diawali dari sebuah seminar yang batal

    saya ikuti karena lebih prioritaskan ikuti pleno tengah KAMMI.

    Pasca itu, rutinlah saya mengikuti Focus Group Discussion yang

    dilaksanakan setiap sepekan sekali dalam komunitas M-HTI.

    Dengan pemikiran yang sudah acak-acakan karena belumsempurna terkonstruksi kembali, saya dipaksa benturkan lagi itu

    pada satu konsepsi pemikiran baru yang masih asing untuk saya.

    Sempurnalah kegilaan temporal yang saya alami.

    Sudah demikian banyak yang saya tuliskan. Tapi belum

    jua sampai pada jawaban atas pertanyaan Mengapa aku

    mencintai KAMMI?Menjengkelkan ya? Sungguh, tak bermaksud

    lakukan itu. Tapi memang dengan cara inilah saya belajar

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    32/158

    32

    mencintai KAMMI. Belajar mencintai dengan adanya acuan

    kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga

    pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnyadipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai

    secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan

    pertimbangan akal sehat.

    Dengan melalui semua itu, saya dapatkan pelajaran

    berharga bahwa setiap etnosentris golongan maupun pribadi

    yang menganggap bahwa dirinya-lah yang serba tahu dan

    faham, yang anggap bahwa orang-orang diluar diri dan

    lingkungannya tak mengerti soal kelembagaan, organisasi,

    wawasan keislaman dan pengetahuan tak akan hasilkan apapun

    kecuali kematian intelektual yang menjerumuskan.

    Saya mencintai KAMMI secara sadar. Dengan kesadaran

    itu, saya yakin bahwa KAMMI mampu kembalikan spirit

    perjuangan yang dulu membara, yang tak akan pernah

    berkompromi terhadap idealisme walau dibujuk dengan harta

    dan tahta. Spirit perjuangan yang membentuk pribadi muslim

    untuk menjadi penegak dalam bergerak mengembalikan

    kegemilangan Islam.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    33/158

    33

    Ya, Memang BeginilahKAMMI..

    Prawacana

    Muda dan energik, begitulah saya memandang KAMMI di

    usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai

    organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan

    Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil

    menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman,

    kemahasiswaan, dan keindonesiaan. Namun, dengan latar

    belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada

    semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika

    kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada

    otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga

    menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir,

    dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untukmelakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman

    tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar.

    Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus

    menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang

    menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan

    parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam

    tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah

    ini menyisakan kalimat, Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu

    memang seperti ini..ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari

    eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif

    dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu

    sentral dalam pergerakannya.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    34/158

    34

    Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti

    minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di

    tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mautidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis

    sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi.

    Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat

    dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang

    melingkupinya.

    Dua Kutub dan Gebrakan Baru

    Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan

    mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuan-

    intelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan

    minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan

    politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik

    praktis dan kerja-kerja teknis.

    Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam

    mendiagnosa penyakit ini cukup tepat untuk menjelaskan apa

    yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini. Dengan konteks historis

    yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut

    bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis, namunbukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian

    mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan.

    Bukan begitu?

    Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini

    mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat

    sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah

    mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    35/158

    35

    forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang

    menghadirkan para founding fathersKAMMI guna merealisasikan

    secara kongkrit perubahan yang diharapkan.

    Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan

    terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam

    kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata,

    Ya, beginilah KAMMI.., sehingga sebuah gebrakan yang tegas

    dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal

    guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur

    dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah

    disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat

    dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.

    Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas

    ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang

    setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan,

    yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan

    menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan

    referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia.

    Ya,Memang Beginilah KAMMI. . .

    Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa

    menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan

    mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan

    perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tanda-

    tanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa

    terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan

    kekritisannya menjadi tersumbat.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    36/158

    36

    Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif

    ini digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan

    dengan percaya diri dan lantang mengatakan, Ya, MemangBeginilah KAMMI. .

    Semoga.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    37/158

    37

    Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan

    Reformasi : Antara Tuntutan, Realita,

    dan Harapan

    Mahasiswa adalah sebuah kata dengan asumsi

    tanggungjawab besar dalam perkembangan keberjalanan

    sebuah negara. Dengan idealisme dan ketajaman intelektual

    serta energi yang melimpah, kelompok mahasiswa selaludiidentikkan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.

    Maka, adalah menjadi realitas historis yang sangat masuk akal

    apabila kalangan mahasiswalah yang secara aktif melakukan

    perlawanan terhadap otoritas kekuasaan. Hal ini lebih

    dikarenakan pada alasan bahwa mereka mempunyai komitmen

    serta otoritas moral yang tinggi terhadap penderitaan yang

    berlangsung di sekitarnya. Sebagai intelektual, kalangan

    mahasiswa dinilai mempunyai kemampuan berpikir serta

    kapasitas keilmuan untuk membaca struktur sosial yang secara

    kontinyu mengalami perubahan.

    Dalam membaca lintas kesejarahan mahasiswa, perlu kita

    lihat adanya corak khas yang menjadi karakter gerakan

    mahasiswa, yakni menempatkan dirinya di posisi

    ekstraparlementer yang memanfaatkan momentum dan

    bertindak vis a vis negara. Tuntutan yang diusung pun relatif

    sama, yakni berupaya secara tegas melawan kekuasaan yang

    dinilai melakukan penindasan terhadap rakyat.

    Saat rezim orde baru berkuasa, digunakanlah terminologibaru untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni politik

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    38/158

    38

    praktis versus politik moral. Ini dikarenakan pemerintah melihat

    munculnya gelombang perlawanan dari mahasiswa yaitu

    penolakan terhadap kenaikan BBM yang dinilai menyengsarakanrakyat dan desakan menuntut ketegasan pemerintah

    memberantas korupsi yang dimotori oleh Arif Budiman dan

    Hariman Siregar. Penolakan ini berpuncak pada peristiwa Malari

    tahun 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana

    Menteri Jepang Tanaka, yang memunculkan lahirnya Tritura baru:

    Ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi presiden, dan

    turunkan harga.

    Hal ini tentu saja dinilai mengancam kekuasaan dan

    otoritas pemerintah. Maka, pemerintahan orde baru pun

    mengambil tindakan pengekangan berupa SK No.0156/U/1978

    mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan

    Koordinasi Kampus) melalui SK menteri P&K No.037/U/1979

    dimana setiap organisasi Dewan Mahasiswa di kampus

    dibubarkan dan atau diawasi secara ketat guna menekan

    aktivitas poltik yang ada. Ditambah lagi dengan UU Ormas serta

    munculnya LSM sebagai gerakan alternatif yang berdampak

    pada generasi kampus yang apatis dan rezim rezim pemerintah

    semakin represif. Dengan demikian, politik praktis seolah

    menjadi hal yang haram untuk dimasuki, sehingga mahasiswapun seolah berada dalam sangkar moralitas yang kesuciannya

    tak boleh ternoda oleh sifat praktis dari politik.

    Namun, apakah gerakan mahasiswa kemudian mati

    begitu saja? Ternyata tidak! Kondisi yang demikian represif justru

    menyuburkan budaya diskusi dan gelombang baru pergerakan

    mahasiswa yang berporos pada masjid-masjid kampus, sebut

    saja munculnya LDK di masjid salman ITB yang dimotori oleh

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    39/158

    39

    Imaduddin Abdulrahim yang berkembang dan menyebar di

    seluruh kampus di Indonesia.

    Pada tahun 1990, kebijakan NKK-BKK dicabut, sehingga

    kebebasan berpendapat dan berorganisasi kembali dapat

    berjalan meskipun masih dalam kekangan yang sedemikian rupa.

    Namun, masjid kampus sebagai basis aktivisme baru mahasiswa

    nyatanya semakin subur dan berkembang dengan dinamisasi

    tersendiri yang tak terjamah oleh pemerintahan yang represif. 8

    tahun berselang, dalam sebuah momentum FSLDK (Forum

    Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) ke X se Indonesia yang

    diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada

    tanggal 29 April 1998 dicetuskan dan dimunculkanlah KAMMI

    sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis

    mahasiswa muslim.

    Kejenuhan mahasiswa terhadap rezim orde baru semakin

    memuncak ketika untuk kesekian kalinya Soeharto terpilih

    kembali menjadi Presiden RI, ditambah lagi dengan krisis

    ekonomi yang melanda Indonesia sedemikian parahnya.

    Gelombang perlawanan mahasiswa ini dimulai sejak 20

    Mahasiswa UI mendatangi gedung MPR-DPR yang dengan tegas

    menolak laporan pertanggungjawaban presiden, yang kemudiandisusul dengan aksi besar-besaran hingga menilbulkan

    kerusuhan berdarah di beberapa tempat, termasuk Solo.

    Selanjutnya, pada Mei 1998 ribuan mahasiswa berhasil

    menduduki gedung DPR/MPR yang menjadi titik balik lahirnya

    era reformasi dengan tuntutan: diturunkannya Soeharto,

    dicabutnya dwi-fungsi ABRI, diberantasnya KKN,

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    40/158

    40

    diamandemennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah,

    serta ditegakkannya supremasi hukum.

    Pasca reformasi, banyak pihak merasa belum

    terbentuknya suatu mekanisme perpolitikan nasional dalam

    memformulasikan terjadinya perubahan dalam konstelasi politik

    nasional. Alih-alih menciptakan pola masyarakat yang melakukan

    politik konstruktif, hingar bingar dalam pentas politik kita justru

    mencerminkan kebinatangan yang tak beradab dari para

    lakonnya yang cenderung berorientasi pada kekuasaan dan

    mengesampingkan etika serta tatanan nilai yang berlaku secara

    umum dalam masyarakat.

    Reformasi melahirkan sejumlah aktor politik baru yang

    diharap bisa memberi wajah baru politik menjadi lebih bermoral

    dan bermartabat. Mereka muncul dari kalangan akademisi,

    agamawan, maupun para pengusaha, tidak melulu dari kalangan

    militer. Sayangnya, integrasi yang diharapkan ini tak berjalan

    sesuai yang diharapkan, politik tetap sajalah bernama politik

    yang tentunya memakai perhitungan matematis kalkulasi

    kekuasaan yang untuk meraihnya sering kali menggunakan cara

    yang bertentangan dengan hati nurani.

    Realita perselingkuhan antara kekuasaan politik dengan

    mekanisme pasar globa turut membenarkan apa yang dikatakan

    Marx bahwa Negara dimanapun ia, akan selalu berpihak pada

    pemegang kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi

    secara agresif dan privatisasi secara massif baik itu dalam bidang

    ekonomi maupun pendidikan telah membawa dampak yang bisa

    kita rasakan bersama dimana pendidikan yang bertujuan

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    41/158

    41

    mendorong tradisi intelektual kemudian disulap menjadi pasar

    kerja.

    Pada akhirnya, kita menjadi anak tiri di negeri sendiri.

    Selain menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada

    kelompok akar rumput. Institusi yang dianggap mewakili rakyat

    pun malah menjadi pengusung utama digelontorkannya

    kebijakan tersebut.

    Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa latar

    belakang kelahiran KAMMI dan peranan yang dilakukan dalam

    penggulingan orde baru menuju era reformasi dan pola yang

    bisa ditempuh oleh KAMMI dan gerakan mahasiswa secara

    umum untuk mengawal 15 tahun agenda reformasi? Kita lah

    yang harus menjawab.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    42/158

    42

    Merayakan Keberagaman KAMMI

    Aku Berpikir, maka Aku Ada

    Apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar,

    dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap

    bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai

    semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan

    yang berfungsi.-Erikson

    Dalam teori perkembangan kepribadian yang

    dikemukakan oleh Erikson, ada delapan tahap perkembangan

    yang terjadi dalam perkembangan identitas seseorang.

    Perkembangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang teratur

    dan bersifat hierarkis. Delapan tahap perkembangan kepribadian

    menurutnya, memiliki ciri utama dimana di satu pihak bersifatbiologis, sementara di lain pihak bersifat sosial. Keduanya

    berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Disini, penulis hanya

    akan membahas mengenai tahap ke-5 dari perkembangan teori

    kepribadian tersebut.

    Dalam cultural studies, saat seseorang menginjak usia

    remaja hingga 18-20 tahun, sebenarnya ia tengah menjalani

    masa peralihan dari ketergantungan masa anak-anak menuju

    otonomi masa dewasanya. Jika orang dewasa menilai masa

    muda sebagai era transisi semata, kaum muda justru

    menjadikannya sarana untuk mengungkap identitas diri mereka.

    Menurut Erikson, dalam tahap ini pencapaian identitaspribadi dan menghindari peran ganda harus dicapai. Kaum muda

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    43/158

    43

    haruslah memahami siapa dirinya yang sebenarnya di tengah

    pergaulan dan struktur sosialnya agar pada akhirnya tidak

    mengalami kekacauan identitas.

    Dalam pencapaian identitas diri tersebut, seringkali kaum

    muda bertindak sangat ekstrim dan berlebihan. Oleh karena

    itu,pemberontakansenantiasa mengiringi perjalanan

    pengalamannya dalam mengungkap berbagai penanda ideologis

    yang menguak gambaran utopis tentang masa depannya. Tak

    pelak, slogan Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari

    seolah menjadi cambuk yang melecut gairah kaum muda untuk

    beraktualisasi lebih.

    Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda, dengan

    menggunakan sudut pandang diatas sejatinya memiliki substansi

    yang sama. Mahasiswa mencoba mengaktualisasikan

    keberbedaannya dengan melakukan sebuah movement, antara

    lain dengan membuat komunitas dengan masuk dalam sebuah

    organisasi maupun menjadi pegiat diskusi atau kajian. Ruang

    diri yang lebih terbuka seolah menjadi identitas baru yang ia

    identifikasikan dalam kepribadiannya yang khas.

    Pergerakan mahasiswa dalam hal ini, menggunakanlogika dengan gejala yang sama. Aku berpikir maka aku ada,

    demikian kata Descartes yang kemudian oleh mahasiswa aktivis

    diplesetkan menjadi, aku berdiskusi, aku aksi, aku berontak, aku

    berbeda dari mainstream, maka aku ada. Mungkin hal ini

    memang tidak berangkat dari teori an sich, tapi kenyataan-

    kenyataan yang penulis lihat di lapangan menunjukkan gejala

    yang relatif sama.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    44/158

    44

    Dua Kutub

    Pada dasarnya, dalam setiap ruang, manusia memilikipenyikapan yang beragam atas situasi yang dihadapi.

    Penyikapan ini, hemat penulis, bisa digolongkan dalam dua

    kategori ekstrem, yaitu adaptasi dan rekayasa. Sederhananya,

    jika kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang panas,

    adaptasi yang kita lakukan adalah dengan menyesuaikan tubuh

    kita agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan

    melepas jaket yang dikenakan, misalnya. Sementara, rekayasa

    yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah kondisi

    lingkungan, misal dengan menyalakan kipas angin atau

    membuka jendela agar terjadi sirkulasi udara.

    Demikian pula yang kaum muda lakukan dalam

    pencapaian identitas kepribadiannya. Dalam dunia aktivis,

    mereka akan mensekatkan diri pada pengkotak-kotakan

    idealisme gerakan. Tak hanya bertumpu pada satu mainstream

    gerakan, tapi tersebar dalam seluruh komponen, baik komponen

    hobi, minat, bakat, aktivitas politik, keagamaan, dan lain

    sebagainya. Seringkali terjadi kekacauan identitas antara dirinya

    dengan entitas yang bersama hidup dalam kelompoknya. Erikson

    menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Ia akanmengingkari keanggotaannnya dalam sebuah entitas tempat ia

    hidup bermasyarakat dan mencari identitas di tempat lain yang

    merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan

    sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka

    sebagai bagian dalam kelompoknya.

    Hal ini menjelaskan bahwa di lapangan-dalam dunia

    aktivis, ada beragam kasus yang mengungkap bahwa sebagian

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    45/158

    45

    orang dari suatu entitas cenderung keluar dari pakem kebiasaan

    yang melekat di organisasinya karena menganggap bahwa

    perbedaan yang mereka rasakan harus diaktualisasikan. Disisilain, mereka memproduksi ide perjuangannya dalam komunitas

    yang memiliki mind-setseragam. Suatu hal yang kontradiktif

    memang, tapi patut mendapat apresiasi.

    Merayakan Keberagaman KAMMI

    Berbicara tentang dunia aktivisme mahasiswa, tak akan

    berlepas dari keberadaan KAMMI sebagai organisasi yang telah

    penulis ikuti sejak tahun pertama di kampus. Bagi penulis, mitos

    tentang internal kammi yang begitu-begitu saja, manut-manut

    saja, adem ayem saja, statis dan homogen, harus diekspose

    maknanya.

    Sejak masa berdirinya, kenyataan yang heterogen dalam

    internal KAMMI secara sadar ataupun tidak telah diingkari oleh

    kelompok-kelompok internal yang seolah takut membiarkan

    suara-suara yang tak beraturan berselisih paham dan

    menimbulkan kekacauan internal. Hingga hari ini, ketakutan akan

    resiko dan ketidakmenentuan berada pada tingkatan patologis.

    Keberagaman dalam KAMMI seolah tak disepakati, disetujui, danbahkan didesak dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengikis

    kesatuan internal.

    Pertama-tama, yang harus dilakukan adalah sebuah

    otokritik terhadap diri kita sendiri berkaitan dengan gagasan

    tentang identitas dan perbedaan. Hal ini terjadi karena KAMMI

    untuk waktu yang lama telah terjerat dalam jalan buntu

    dialektika yang dibuatnya sendiri. KAMMI perlu menerima,

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    46/158

    46

    mengenali, dan bahkan merayakan keberagaman internal di

    dalam dirinya.

    Perlu disadari bawa keberagaman adalah sebuah fakta

    kehidupan dan ciri yang bisa ditemui dalam semua peradaban.

    Untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan

    lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke

    dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika kita belajar

    menerima perbedaan-perbedaan internal kita dengan menerima

    secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda

    dari mainstream kebanyakan.

    Mengontrol energi dan suara internal yang berbeda

    bukanlah dengan menghapus atau meniadakan kehadiran energi

    dan suara itu sendiri. Bahkan, cara tersebut hanya akan membuat

    suara-suara yang tersumbat itu bermutasi dan menyembunyikan

    diri menjadi suara-suara sub-alternyang beragam, gerakan

    bawah tanah yang tersembunyi, dan semakin memperparah

    ketidakstabilan organisasi.

    Jika memang internal KAMMI ingin menciptakan kondisi

    sosial yang kondusif agar tak menghambat kinerja organisasi,

    maka, membuka pintu perbincangan, pikiran, dan perbedaandalam diri KAMMI sendiri adalah solusi ideal yang bisa

    diterapkan secara berkelanjutan.

    Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri

    dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,

    padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan

    wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.

    Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    47/158

    47

    memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih

    jujur.

    Bukankah mengenali keberagaman yang ada dalam diri

    kita akan membuka jalan untuk mengenali kebergaman yang

    lain-lain juga?

    Penutup

    Dalam teorinya, Erikson mengatakan, kesetiaan akan

    diperoleh sebagai nilai positif yang dipetik setelah melewati

    tahap ini. Kesetiaan yang ia maksud memiliki makna tersendiri,

    yakni kemampuan hidup berdasar standar yang berlaku di

    tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,

    dan ketidakkonsistenannya.

    Pada akhirnya apapun yang dilakukan oleh sebagian dari

    kader KAMMI yang berbeda dari mainstream adalah dalam

    rangka mencari identitas diri. Insya Allah, tak ada satu aktivitas

    pun yang sia-sia. Jika memang yang dilakukan itu berangkat dari

    keyakinan yang teguh akan kebenaran yang diperjuangkan,

    maka biarlah Allah menilainya sebagi kebaikan, tetapi apabila

    ternyata salah, minimal menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri.

    Billahi taufiq wal Hidayah.

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    48/158

    48

    Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma

    Gerakan KAMMI

    To win being strong is not enough, you must be an idea

    (Batman Begins)

    Begitulah yang niscaya! Terlebih bagi sebuah organisasi

    pergerakan dan terkhususnya lagi organisasi pergerakan

    mahasiswa muslim. Ia tak hanya membutuhkan sejumlah besar

    pasukan tangguh yang memiliki senjata tempur yang canggih,

    tapi juga haruslah memiliki sebuah ide-ide dasar yang melandasi

    setiap langkahnya. Ide-ide ini berkaitan dengan hal-hal yang

    prinsip dan strategis dalam menentukan corak dan etika gerakan

    dalam berfikir dan bertindak. Dengan landasan tersebut, maka

    sebuah organisasi pergerakan akan memiliki rambu-rambudalam membimbing para anggotanya untuk mencapai visi yang

    ingin dicapai.

    Bukankah visi KAMMI sebagai wadah perjuangan

    permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam

    upaya mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang islami

    sejatinya adalah visi dari setiap anggota KAMMI itu sendiri?

    KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam

    dalam hal ini merumuskan substansi spirit, paham, corak,

    landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan

    KAMMI. Menurut Ahimsa, Paradigma dapat didefiniskan sebagai

    seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara

    logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi

    untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    49/158

    49

    masalah yang dihadapi[1].Seperangkat konsep inilah yang akan

    membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang

    ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalambagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau

    segmentasi yang lain sehingga pada akhirnya lahirlah sebuah

    pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada

    akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan

    dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.

    Namun demikian, Paradigma Gerakan KAMMI sebagai

    seperangkat konsep ternyata baru memberikan gambaran umum

    tentang isi dari kerangka pemikiran, belum memberikan

    keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu

    sendiri. Padahal, dalam upaya pengembangan paradigma,

    pendefinisian konsep saja belum cukup, yang lebih penting

    adalah pendefinisian unsur-unsur yang tercakup dalam

    pengertian paradigma itu sendiri[2].

    Dalam sarasehan intelegensia KAMMI yang dilaksanakan

    24 Desember 2012 di Yogya, Imron Rosyadi selaku ketua SC

    Muktamar IV KAMMI tahun 2004 menyatakan bahwa paradigma

    gerakan KAMMI saat ini belum selesai dan bukan sesuatu yang

    final. Dengan demikian, penjelasan lebih lanjut terkait dengankomponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka

    pemikiran epistemologi dari paradigma tersebut sangatlah

    diperlukan sehingga penerjemahannya ke ranah aksiologis akan

    lebih terarah dan tidak menimbulkan multitafsir.

    Dengan tidak bermaksud lancang dan sembrono, disini

    penulis ingin mencoba menyusuri jejak epistemologis Paradigma

    http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn2http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn2http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    50/158

    50

    Gerakan KAMMI secara ringkas dann sederhana mengingat

    kedangkalan pengetahuan yang penulis miliki.

    Maka, Izinkan Aku Merajutnya dengan Benang

    Kesederhanaan dan Jarum Ikhtiar-Alikta

    Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti,

    yakni: Dakwah Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independen,

    dan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penulis akan

    membahasnya dalam poin per poin.

    Pertama, KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid. Tafsir

    dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan dakwah tauhid adalah

    gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan

    terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta

    mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah

    SWT. 2) Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang

    menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang

    berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan

    (ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam

    (rahmatan lil alamin). 3) Gerakan dawah tauhid adalah gerakan

    perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan

    universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar marufnahi munkar).

    Mengapa dari sekian banyak frasa yang mungkin bisa

    dirangkai, diambillah dua kata tersebut : Dakwah dan Tauhid.

    Apa esensi yang terkandung dibaliknya? Jawaban yang paling

    rasional disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki

    adalah apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, beliau

    menyatakan bahwa Tauhid adalah cara bertuhan yang paling

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    51/158

    51

    manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri.

    Lebih lanjut, beliau menambahkan, inti kemanusiaan itu sendiri

    adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan danmemerdekakan. Sebab, manakala ia hanya bergantung dan

    berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas. Contoh

    analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa

    bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia

    tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu

    dan statis[3]. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau

    mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itusendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa(41:37). Ini disebut Tauhid,

    dan lawannya disebut syirik, artinya mengadakan tandingan

    terhadap Tuhan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka

    jelaslah bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan

    peradaban kemanusiaan.[4]Konsekuensi logis dari tauhid ini

    adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia,

    materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang

    merdeka.

    Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat

    pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan

    mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar

    pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidakada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material

    dan dunia spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan

    manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain

    kepasrahan kepada Tuhan. Manusia hanya bertanggungjawab

    dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam,

    ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan

    terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud

    menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan

    http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn3http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn3
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    52/158

    52

    Tuhan. Sehingga ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh

    untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam

    (rahmatan lil alamin).

    Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat

    ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang

    oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada

    tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan.

    Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan

    dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus

    mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan

    dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: Engkau

    adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk

    menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan

    beriman kepada Allah(3:110).

    Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan

    bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan

    transdensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia,

    menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan

    kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan

    amar maruf. Liberasi atau pembebasan merupakan

    implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensimerupakan implementasi dari nilai tuminuuna billaah.

    Kerja-kerja kemanusiaan ini secara essensial haruslah

    menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu

    menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang

    memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.

    Usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna

    mengarahkan masyarakat pada nilai-nilai yang lebih baik, lebih

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    53/158

    53

    maju, dan lebih insani itu disebut amar maruf, sementara usaha

    guna mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-

    nilai kemanusiaan itu disebut nahi munkar.[5]

    Dan pada akhirnya, marilah kita maknai dalam-dalam

    mengenai apa yang disampaikan Ust. Fathi Yakan berkaitan

    dengan definisi dakwah. Beliau mengatakan bahwa dakwah

    adalah menghancurkan dan membangun, maksudnya

    menghancurkan jahiliah dengan segala macam bentuknya, baik

    jahiliah pola pikir maupun jahiliah perundang-undangan dan

    hukum, setelah itu membangun masyarakat Islam berlandaskan

    Islam dalam bentuk, isi, perundang-undangan dan cara hidup,

    maupun dalam persepsi keyakinan terhadap alam, manusia, dan

    kehidupan[6].

    Maka, demikianlah unsur pertama dari Paradigma

    Gerakan KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid mengantarkan

    saya pada pemahaman bahwa dakwah tauhid adalah landasan

    mutlak bagi kader KAMMI untuk berfikir dan berkehendak

    merdeka serta menjadi petarung sejati yang pemberani.

    Kedua, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik.

    Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan intelektual profetikadalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas

    penjelajahan nalar akal. 2) Gerakan intelektual profetik

    merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus

    dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang

    universal. 3) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang

    mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha

    perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan

    pemberdayaan manusia secara organik. 4) Gerakan intelektual

    http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn6http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn6http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    54/158

    54

    profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas

    rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara

    bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal,

    dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki

    daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran,

    terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.

    Intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu :

    Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran,

    Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi,

    kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan,

    bukan yang dirubah oleh lingkungannya.[7]

    Dalam menyelami makna profetik sebagai paradigma

    gerakan KAMMI yang kedua ini, penulis dengan segala

    keterbatasannya ternyata gagal memahami cara berfikir

    Kuntowijoyo yang cenderung strukturalis-integralis, sehingga

    disini penulis hanya menggunakan makalah Ahisma yang

    bertutur mengenai akar epistemologis dan kritik terhadap Ilmu

    Sosial-Profetik yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.

    Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mencari akarontologis dari kata profetik untuk memudahkan pemahaman.

    Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet, yang berarti

    nabi. Menurut Oxford Dictionary prophetic adalah (1) Of,

    pertaining or proper to a prophet or prophecy; having the

    character or function of a prophet; (2) Characterized by,

    containing, or of the nature of prophecy; predictive. Jadi, makna

    profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau

    http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn7http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn7
  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    55/158

    55

    bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita

    terjemahkan menjadi kenabian.

    Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa

    Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat

    dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan

    adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak

    hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga

    memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,

    untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik

    tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah

    berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini,

    pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu

    menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam

    merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu

    pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan

    bertindak seorang muslim.

    Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas

    penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai

    relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan

    menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber

    Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteksprofetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman

    kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan

    dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang

    beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-

    pembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman

    kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan

    Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan

    sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi

  • 7/25/2019 Membingkai KAMMI

    56/158

    56

    antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir

    artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini

    kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdirberarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat

    terhindarkan.

    Dengan demikian, mengembalikan segala penalaran yang

    dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses

    sakralisasi terhadap-NYA. Inilah yang membedakan ilmu profetik

    dengan ilmu sosial yang lainnya.

    Pengembalian secara tulus dialektika wacana pada

    prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dalam Paradigma

    Gerakan KAMMI ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan

    Ahimsa, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas

    kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja

    kemanusiaan yang meliputi : kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan

    penghargaan.

    Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar

    wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Quran) dan

    sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk

    merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalamupaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk

    perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan

    pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara

    organik yakni merujuk pada intelektual yang merujuk pada

    intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikula