Makalah Kelompok A7 Pbl 5

download Makalah Kelompok A7 Pbl 5

of 23

description

mklh

Transcript of Makalah Kelompok A7 Pbl 5

Etika Kedokteran dalam Kelalaian Medik

Etika Kedokteran dalam Kelalaian Medik

Kelompok A-7:Ferdina maria ginting 10-2008-225Gabriella angelina 10-2009-057Ivan agusta Dwi kristiawan 10-2009-075Elisabeth arya Yuliana 10-2009-087Alessandrasesha Santoso 10-2009-115Ruth Yoknaem 10-2009-182Stephen Dharmawan 10-2009-194Kurniawati Hesli Pratiwi 10-2009-238Muhammad Adib Thaqif Bin Mazlan 10-2009-276Basirah Anati Basaruddin 10-2009-317Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510BAB 1Pendahuluan1.1 Latar belakangPada saat persalinan, perlukaan atau trauma kelahiran kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh salah satu sebab. Penanganan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi peristiwa tersebut.Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Fraktur yang berhubungan dengan trauma lahir sering terjadi saat proses persalinan. Prevalensi fraktur berhubungan dengan banyak faktor antara lain faktor ibu, faktor janin, dan keahlian penolong persalinan. Profesi dokter merupakan sebuah profesi yang menjalankan tugas kemanusiaan yang berkecimpung dalam suatu bidang yang tidak seluruhnya jelas.Disiplin Hukum Medik adalah cabang dari hukum. Suatu disiplin ilmu pada prinsipnya harus taat kepada prinsip dan asas disiplin induknya.Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.1

1.2 Tujuan Bertujuan untuk lebih mengetahui tentang etika kedokteran antara dokter-pasien serta dokter-rekan sejawat agar dapat diterapkan dalam kehidupan profesi dokter.

1.3 Skenario PBL 5Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter Obgyn B sewaktu melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. 10 hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi. Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk kalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan kapan kira kira terjadinya. Bila benar patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, maka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat mediagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya kedokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.

BAB IIPembahasan1. Etika kedokteranEtika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).2Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengatuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang isu-isu tertentu.3Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filosof memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas.Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu (a) Kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, (b) Kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan, istirahat, santai, (c) Kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga, teman dan komunitas, serta (d)Kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan, kebenaran, cinta, dan lain-lain.3Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang. Apabila seseorang memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang, maka ia telah menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya, yang belum tentu baik secara obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral, seseorang dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik di bidang keputusan moral.3Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis.3Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah : Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?3Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien ? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi ?3Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.3Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah :1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent;1. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat);1. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau "above all do no harm".1. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).3Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).3Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral" antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu masyarakat profesinya.3Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi "pemimpin" dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.3Sejak disusun pertama kali hingga sekarang norma-norma dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia telah mengalami banyak perubahan, sebagai konsekuensi dari dinamika etik itu sendiri yang selalu berupaya mengikuti etika kedokteran internasional.Kodeki terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.Bunyi pasal-pasalnya adalah sbb:1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.1. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar yang tertinggi.1. Dalam melaksanakan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.1. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.1. Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.1. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.1. Setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.7a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.1. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harusmemperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yangmenyeluruh (promotif, preventif, kuratif danrehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, sertaberusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakatyang sebenar-benarnya.1. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.1. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.1. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.1. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.1. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.1. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan.1. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.1. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.1. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.3

2. Aspek hukum2.1 Hak Pasien atas Informasi dalam Rekam MedikBerdasarkan PERMENKES RI No. 629/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medik Pasal 12 dikatakan bahwa berkas rekam medic adalah milik sarana pelanayan kesehatan dan isi rekam medik adalah milik rekam medik. Bentuk ringkasan rekam medic dapat diberikan, dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. Namun boleh tidaknya pasien mengetahui isi rekam medic tergantung kesanggupan pasien untuk mendengar informasi mengenai penyakit yang dijelaskan oleh dokter yang merawatnya. Jadi pasien isi rekam medic bukan milik pasien sebagaimana pada PERMENKES sebelumnya (1989)tentang rekam medik. Pasien hanya boleh memilikinya dalam bentuk ringkasan rekam medik.UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2), dan pasal 11 Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran: rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinana sarana kesehatan. UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi jika;41) Untuk kepentingan kesehatan pasien2) Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hokum dalam rangka penegakan hukum3) Permintaan pasien sendiri4) Berdasarkan ketentuan undang- undangPasal 12 Permenkes 749a:1) Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat emmaparkan isi rekam medis tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang- undangan.Pasien sebagai pemilik isi rekam medis/ informasi kesehatan memiliki hak untuk mengakses informasi kesehatannnya dan hak untuk menentukan boleh atau tidaknya informasi kesehatannya diakses oleh pihak lain, kecuali apabila ada peraturan mengaturnya lain.4

2.2 Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum Kedokteran.Pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup :51. Diagnosis dan tata cara tindakan medis2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan3. Alternatif tindakan lain dan resikonya4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3)Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien (PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi pasal 17).Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien.Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.52.3 Dasar hukum kelalaian medisPasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.6Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya.Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :6Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.6

2. Hubungan dokter-pasienHubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya. Hal inilah yang menyebabkan hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang sulit tergantikan oleh dokter lain. Akan tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah akibat makin menipisnya keharmonisan antara keduanya. Berubahnya pola hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik menjadi hubungan kolegial atau kemitraan, membuat pasien makin kritis terhadap dokternya. Ketika terjadi suatu hasil pengobatan yang tidak diinginkan seperti penyakit makin parah, kecacatan atau kematian, maka pasien serta merta menganggap dokter dan rumah sakitnya lalai.3,7Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter (superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara(tidak superior-inferior) sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yangdialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.7

3. Dampak hukumDi dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent,wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Sebenarnya banyak kasus penuntutan hukumkepada dokter yang diduga melakukan kelalaian medic. Apabila penuntutan dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan dalam upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain, penuntutan sendiri dapat menyebabkan banyak dampak negative juga.3,7Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu garis, denganetik profesi di satu ujung dan hukum pidana di ujung lainnya. Disiplin profesi terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya normaetik profesi yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai nilai etika. Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku diiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur danstandar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap professional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18 tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin pofesi, yaitu permasalahan yang timbul akibat dari pelanggaran seseorang professional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (professional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK. Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatanperdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dandisiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI,sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan diantara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etikoleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikapaktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh : Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah / brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek TenagaMedis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hear say dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan. Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung mengakibatkan semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan dokter dengan biaya yang tinggi. Demikian pula biaya gugatan ganti rugi melalui persidangan, pengacara dan success fee. Oleh karena itu World Medical Association menganjurkan kepada IDI untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan masalah tuntutan ganti rugi seperti lebih memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada mellalui pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologi bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran ganti rugi dilakukan dengan menggunakan uang pertanggung jawaban asuransi profesi, namun peristiwa penuntutan tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan bersalah dan kehilangan rasa percaya diri dokter, karena nama baik dan reputasi dokter yang bermasalah tersebut dapat tercemar. Para dokter yang pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress syndrome dengan derajat yang bervariasi.34. Hubungan dokter-rekan sejawatHubungan antara dokter dan dokter, dalam hal ini tentang teman sejawat diatur dalam: 1. Lafal sumpah dokter..... Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung. ...82. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) (1983)Pasal 15Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagai mana ia sendiri ingindiperlakukan.Pasal 16Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya, tanpapersetujuannya.8Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan tetap harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja sosial dan lainnya.Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan memperlakukan profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang lain, bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji: Kolega saya akan menjadi saudara saya. Interpretasi janji ini bervariasi dari satu negara dan negara lain sepanjang waktu.9

4.1 Kerjasama Dokter Dengan Sejawat Menurut KKIa) Merujuk pasienPada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan fasilitas pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain untuk mendapatkan saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang menerima rujukan, sesuai dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis tindakan akan terapi dan mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam keadaan tertentu dokter penerima rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan lanjutan dengan persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah selesai perawatan dokter rujukan mengirim kembali kepada dokter yang merujuk. Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter dapat menyampaikan kepada pasien kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain karena alasan kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau alih rawat.Pada saat meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi penjelasan tentang alasan, tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh usaha ditujukan untuk kepentingan pasien.Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan dalam rawat bersama harus ditetapkan dokter penanggung jawab utama.Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan segala informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis serta bersifat rahasia. Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang pasien yang diketahui sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang memeriksa harus menginformasikan kepada dokter pasien tersebut tentang hasil pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting lainnya demi kepentingan pasien.9b) Bekerjasama dengan sejawatDokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis kelamin, ras, kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status sosial atau perbedaan kompetensi yang dapat merugikan hubungan profesional antar sejawat. Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik teman sejawat melalui pasien yang mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan seorang dokter memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa atau merawat secara langsung.9c) Bekerjasama dalam timAsuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim multidisiplin. Apabila bekerja dalam sebuah tim, dokter harus :1) Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab2) Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan asuhan yang diberikan.3) Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim.4) Memelihara hubungan profesional dengan pasien5) Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim.6) Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa yang bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien.7) Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim, serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja dan kekurangan tim.8) Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara terbuka dan sportif.9Memimpin tim. Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa :1) Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pelayanan kedokteran.2) Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien3) Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab tim untuk keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat serta mendiskusikan permasalahan yang dihadapi4) Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien5) Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus tahu siapa yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran6) Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia7) Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan kedokteran dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap kekurangan harus diselesaikan segera8) Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan dalam kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai9) Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan baik.9d) Mengatur dokter penggantiKetika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter pengganti serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan dokter pengganti. Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien.Dokter harus memastikan bahwa dokter pengganti mempunyai kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter pengganti. Dokter pengganti harus tetap bertanggung jawab kepada dokter yang digantikan atau ketua tim dalam asuhan medis.9e) Mematuhi tugasSeorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran harus mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter pengganti.Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga pasien mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh anggota tim yang akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian informasi tersebut, dokter penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien keuntungan bertukar informasi dalam pelayanan kedokteran.10f) Pendelegasian wewenangPendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta program pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan atau perawatan atas nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi dalam melaksanakan prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dokter yang mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas penanganan pasien secara keseluruhan.9

4.2 Hubungan dan kinerja teman sejawatSeorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain, kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Jika seorang dokter memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam keadaan fit untuk praktek, dokter tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa penundaan, kemudian kekhawatiran tersebut ditelaah dan pasien terlindungi bila diperlukan. Hal ini berarti seorang dokter harus memberikan penjelasan yang jujur mengenai kekhawatiran terhadap seseorang dari tempat ia bekerja dan mengikuti prosedur yang berlaku. Jika sistem setempat tidak memadai atau sistem setempat tidak dapat menyelesaikan masalah dan seorang dokter masih mengkhawatirkan mengenai keselamatan pasien, maka dokter harus menginformasikan badan pengatur terkait.10

4.3 Menghormati teman sejawatSeorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman sejawatnya, atau mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.

4.4 Berbagi informasi dengan teman sejawatBerbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah penting untuk keselamatan dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter tersebut harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya, termasuk riwayat medis dan kondisi saat itu.9

5. Kelalaian medikKelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi bila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualifikasi yang sama pada keadaan yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.3Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient . WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya ( unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of thelack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physicianshould not bear any liability .10Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini:a) Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, danberbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.10b) Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (dassollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang normal sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation.10c) Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.10d) Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.10e) Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat unsur diatas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.10

6. Proses penyembuhan frakturProses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :11a) Fase Reaktif1) Fase hematom (24 jam fraktur terjadi) dan inflamasi (1-5 hari setelah trauma)2) Pembentukan jaringan granulasib) Fase Reparatif1) Fase pembentukan callus (6-10 hari setelah trauma)2) Pembentukan tulang lamellar (2-3 minggu sampai sembuh)c) Fase Remodelling1) Remodelling ke bentuk tulang semula (waktu lebih 10 minggu)

Gambar 1: Proses penyembuhan fraktur11

BAB IIIPenutup1.4 Kesimpulan Visum et repertum merupakan salah satu bentuk bantuan dokter dalam penegakan hukum dan proses peradilan. Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.Penentuan derajat atau kualifikasi luka memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.Dalam kasus forensic, adalah sangat perlu untuk menjalankan tindakan bersesuaian medikolegal. Pemeriksaan luar dan dalam sangat penting dalam menentukan identifikasi jenazah, tanda kekerasan, penyebab dan cara kematian serta waktu kematian.

BAB IVDaftar Pustaka1. Cunningham, et al. Normal labour. In williams obstetrics, twenthy-third edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010.p.24-36.2. Samil R.S. Etika Kedokteran Indonesia. Ed. 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.3. Sampurna, B., Syamsu, Z., Siswaja, T.D. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.4. Undang-undang Kesehatan.Yogyakarta;Pustaka Widyatama;2006 5. Undang-undang HAM Nomor 9 Tahun 1999.Jakarta;Asa Mandiri;20066. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.Surabaya;Kesindo Utama;20077. Daliyono.Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta. 2006.8. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Diunduh dari : http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Hukum_Kedokteran/ETIKA%20KEDOKTERAN%20_%20KODEKI%20(4).pdf , 15 Januari 2013.9. Subijanto, H. A. A. Peran Komunikasi Dalam Menjalankan Profesi Dokter Yang Berkualitas Di Masyarakat . Diunduh dari : http://pustaka.uns.ac.id/?menu=news&option=detail&nid=150. 15 Januari 2013.10. Guwandi J. Medical error dan hukum medik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007. 11. Kwek K, Yeo GSH. Shoulder distocia and injuries: prevention and management. Curr Opin Obstet Gynecol. 2006;18:123-8.

20