Makalah kaidah ushuliyah

22
MAKALAH BA’I BI TSAMAN AJIL DAN BAI’ AL WAFA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Masail al-Fiqhiyah al-Haditsah Dosen Pengampu : A. Saefullah, Drs., M.Pd.I. Oleh : SITI NURLAELA ROSMIATI FAKULTAS TARBIYAH

Transcript of Makalah kaidah ushuliyah

Page 1: Makalah kaidah ushuliyah

MAKALAH

BA’I BI TSAMAN AJIL DAN BAI’ AL WAFA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Masail al-Fiqhiyah al-Haditsah

Dosen Pengampu : A. Saefullah, Drs., M.Pd.I.

Oleh :SITI NURLAELA

ROSMIATI

FAKULTAS TARBIYAHPRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)CIAMIS - JAWA BARAT

2014

KATA PENGANTAR

Page 2: Makalah kaidah ushuliyah

Segala puji adalah bagi Allah yang telah menunjukan kita kepada hal ini,

kami tidak akan memperoleh petunjuk kalau sekiranya Allah menunujukan kami

akan hal ini.

Shalawat dan salam adalah untuk Rasulullah yang telah diutus oleh Allah

untuk menyampaikan syari’at yang pasti, yang lurus dan toleran. Asas syari’at ini

adalah kemudahan kepada manusia, penghilangan kesulitan dari mereka. Juga

shalawat dan salam untuk para keluarganya, dan sahabat-sahabatnya yang

menggantikan Beliau dalam memelihara Syari’atnya dan membimbing umatnya.

Adapun materi makalah ini tentang ”Ba’i Bi tsaman Ajil dan Bai’ Al Wafa’

”. Dengan dituliskannya makalah ini, diharapkan kepada semua yang

membacanya dapat memahami secara mendalam tentang hal yang berkaitan

dengan materi yang di kaji dalam makalah kami ini yang pembahasannya tentang

Masail al-Fiqhiyah al-Haditsah.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan

kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca mengaharapkan saran dan kritik

demi kesempurnaan makalah kami ini pada penulisan selanjutnya.

Demikianlah pengantar yang dapat kami sampaikan, semoga Allah memberi

taufik kepada orang yang menghendaki kebenaran, dan menunjukkan kepada

siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.

Penulis,

BAB I

Page 3: Makalah kaidah ushuliyah

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaid Ushuliyyah (kaidah ushuliyah) adalah kaidah yang berkaitan

dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyah ini juga merupakan kaidah yang sangat

penting, karena kaidah ushuliyah merupakan media/ alat untuk menggali

kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-

Sunnah, sehingga dengan kaidah ushuliyah ini, merupakan modal utama dalam

memproduk fiqih. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung

belum semuanya.

Karena pentingnya hal tersebut, sehinggga merupakan suatu kebutuhan bagi

kita semua khususnya mahasiswa yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-

pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam untuk mempelajari hal ini.

Karena banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti

sama sekali apa itu Qawaid ushuliyah . Oleh karena itu penting bagi seorang

mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali sebuah hukum dengan

mempelajari kaidah ushuliyyah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kaidah ushuliyah ?

2. Apa saja lafadz dan dalalahnya ?

3. Apa yang dimaksud al Amm ?

4. Apa yang dimasud al Khas ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah ushuliyah ?

2. Untuk mengetahui lafadz dan dalalahnya ?

3. Untuk mengetahui al Amm ?

4. Untuk mengetahui al Khas ?

BAB II

Page 4: Makalah kaidah ushuliyah

PEMBAHASAN

A. Kaidah Ushuliyah

1. Pengertian Kaidah Ushuliyah

Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.

Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kuli dan mujmal) dan ada yang hanya di tujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang besifat menyeluuh itu di sebut pula qaidah ushuliyyah. Dari pengetian ushul fiqih yang telah di kemukakan di atas terkandung maksud bahwa objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbenya. Dengan demikian yang di maksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.(Rachmat Syafi’i: 147: 1999)

Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”. Defenisi ini belummaani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.

Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.

Page 5: Makalah kaidah ushuliyah

Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.

Seperti disebutkan diatas, bahwa qaidah ushuliyah itu berkaiatan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hokum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu qaidah ushuliayah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahaui qaiadah ushuliayh dapat mempermudah faqih untuk mengetahuai hukum allah dalam setiap peristiwa yang dihadapinya.

Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:

1. Kaidah :

السبب البخصوص اللفظ بعموم العبرةArtinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar

lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).2. Kaidah :

المانع قدم والمانع المقتضى اجتمع اذاArtinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang

melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”3. Kaidah :

التصريح مقابلة في للداللة العبرةArtinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan

makna eksplisit.”4. Kaidah :

العموم تفيد النفي مقام في النكرةArtinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung

pengertian umum.”5. Kaidah :

الظاهر على مقدم النصArtinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”

6. Kaidah :

الوجوب يفيد االمرArtinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.”

7. Kaidah :

النص مورود فى جتهاد لال المساغArtinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”

8. Kaidah :

Page 6: Makalah kaidah ushuliyah

المقيد يحمل المطلقArtinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”

9. Kaidah :

ضده عن نهي بالشيئ االمرArtinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

LAFAZH DAN DALALAHNYA

1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh.

Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang

menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk(dilalah) lafazh-

lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang

kurang jelas (khafa).

Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebutmubayyan

atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat

disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada

disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok

Page 7: Makalah kaidah ushuliyah

untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik

melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).

Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’

bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab)seperti

mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami

atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisaberarti

menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti

memulai dan menyambungkan (dan).

Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan.

Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di

ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori

ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara tingkatan-

tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.

2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.

Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan,

Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan

dengan bagan berikut:

Page 8: Makalah kaidah ushuliyah

Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil

atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan

Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir),cukup jelas

(nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).

2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah

2.1.1 Zhahir

Berikut beberapa definisi tentang Zahir:

“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,

melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)

“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa

harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)

Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain,

melainkanlangsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap

mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan

bahwa zhahir itu adalah:

“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu

sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun

mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib

Salih,1984,I : 143)

Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan

haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan

Qarinah lain.

Page 9: Makalah kaidah ushuliyah

Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang

mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib

diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang

mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.

2.1.2 Nash

Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak

diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri

yang bisa diketahui dengan qarinah.

Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu

yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai

berikut:

“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan

dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)

“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil

dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)

Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:

“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil

menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan

ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang

terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah

(zaman Rasul).”

Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya

persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari

susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi

kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena

maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.

Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib

diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan,

mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah

kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari

kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi

pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih

didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh

Nash.

2.1.3 Mufassar

Page 10: Makalah kaidah ushuliyah

Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk

yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau

ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-

Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):

“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya

dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”

Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada

petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih

terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar

kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah

SWT:

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun

memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta

orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )

Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang

me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan

dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh

mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak

mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah

apabila ada dalil yang mengubahnya.

2.1.4 Muhkam

Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu

pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak

adanya penakwilan dan adanya nasakh.”

Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan

dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-

takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada

masa setelah Nabi.

Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak

mungkin diubah :

” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”

Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila

lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman

Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan

lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada

dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu

bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.

Page 11: Makalah kaidah ushuliyah

Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari

maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada

seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka

yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.

2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya

terhadap penetapan Hukum

2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash

Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)

”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa

kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”(QS. An-

Nisa :24)

yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi

empat orang saja (Nash).

”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan),

maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga,

empat.Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah

cukup satu saja, atau kawinilah budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-

Nisa : 3).

Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah

nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.

2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash

Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan

dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:

”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini

istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)

Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah

dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53

mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus

diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.

2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar

Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada

Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah,

sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?”

Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah

shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap

shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I :

299 ).

Page 12: Makalah kaidah ushuliyah

Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.”(Az-

Zayla’i, I, t,t : 125).

Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat,

sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat,

sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk

melakukan shalat itu masih ada.

Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua

berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena

termasuk mufassar.

2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam

“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS.

Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:

“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”

Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa

saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima

kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam

hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.

2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)

Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak

membedakan antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya,

setelah Imam Asy-Syafi’i, nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-

masing, Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai

kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk

ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali,“Suatu lafazh yang sama

sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun

takwil jauh.“ Dan ” Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta

muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil maka

lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.” (Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).

3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.

3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah

3.1.1 khafi

Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut

istilah,

”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada

diluar lafazh itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat

dan mendalam.” (Al-Dabusi)

Page 13: Makalah kaidah ushuliyah

”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi

tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk

mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang

mendalam.” (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230).

Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang

mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk

dimiliki, pada tempat yang terpelihara. Jika pengertian ini diterapkan pada

masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam

kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.

3.1.2 Musykil

Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas

perbedaannya, sedangkan menurut istilah,

”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan

dalil dan qarinah”. (As-Sarakhsi, I, 1372 H : 168).

”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya

karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya

diperlukan adanya qarinah yang dapat menjelasan kerumitan itu,dengan jalan

pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih,1982,I:254).

Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri.

Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada

khafi. Sebagai contoh kata an-na pada surat Al Baqarah : 223

yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok dari ketiga

makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti

Ibnu Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah

boleh menggauli istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu

haid. Ada yang mengartikan, selagi ia menghendakinya.

3.1.3 Mujmal

Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah,

”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari

pembuat mujmal (Syari’)” (As-Sarakhsi,I,1372H :168)

Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami

maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya

dapat karena peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang

dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh itu sendiri, ataupun karena lafazh itu

ganjil artinya.

Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga

mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya

Page 14: Makalah kaidah ushuliyah

lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah

syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh

Rasullullah.

Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu

timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat

memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-

Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus

melihat nash Al-Quran.

3.1.4 Mutasyabih

Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan

dan atau simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu

sendiri kepada maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang

menerangkannya. 3 Menurut istilah,

berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya

tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun

Sunah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang

yang mendalam ilmu pengetahuannya” (Asy-Syarakhsi, I, 1372 H.: 169).

3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Segi Ketidakjelasannya menurut Ulama

Mutakallimin

Pendapat golongan Mutakallimin (syafi’iyyah) secara umum dapat dikatakan

bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan

makna yang dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas, sehingga makna yang

dimaksud lafazh itu memerlukan penjelasan, seperti,lafazh shalat dan zakat.

Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh mutasyabih dengan mujmal,

yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya, dan ada pula yang membedakan

antara mujmal dan Mua’wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal dengan

Mua’wwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang di

maksud. Makna yang dimaksud pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh),

sedangkan makna yang terdapat pada lafazh mujmal adalah kuat (rajih).

Jadi dalam hal ini dalam lafazh mutasyabih adalah lemah (marjuh), Al-asnawi

menegaskan bahwa lafazh mutsayabih itu tidak mempunyai makna yang kuat.

Dari aspek ini, lafazh mutsayabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai

makna yang sama dari berbagai makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk

lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutsayabih lebih umum daripada lafazh

mujmal dan mu’awwal.

Page 15: Makalah kaidah ushuliyah

B.    LAFADZ ‘AM

1.    Pengertian Lafadz ‘am

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah

adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang

termasuk dalam pengertian lafadh itu “.

Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian

umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan

tidak terbatas.

2.    Bentuk-bentuk lafadz ‘am

Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:

a.    LAFADH (setiap)  كxxxxxxxxل dan .(seluruhnya) جxxxxxxxxامع

Misalnya firman Allah:

و~ت| �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxم~ ة� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxق| �ف~س� ذ�ائ ل� ن �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxك

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

Dan sabda Rasulullah SAW:

ه| |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxت� ي ع| ؤ�ل� ع�ن~ ر� ~xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxاع� م�س ل� ر� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxك

“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang

dipimpinnya”

ا �xxxxxxxxxxxxxxxxر~ض| ج�م|يع� ا ف|ي األ~ �xxxxxxxxxxxxxxxxم~ م� �ك ق� ل �xxxxxxxxxxxxxxxxل ذ|ي خ� �xxxxxxxxxxxxxxxxو� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxه

“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara

keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)

LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan

yang tidak terbatas jumlahnya.

b.    Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:

~ن| �ي ام|ل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxن| ك~ �ي و~ل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxد�ه�ن� ح و~ال�� ع~ن� أ |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxض �ر~ د�ات� ي |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxو�ال~ و�ال

“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi  orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-

Baqarah:233)

Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap

yang bernama atau disebut ibu.

c.    Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.

Contoh:

ا �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxب م� الر¤ ر� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxع� و�ح ~xxxxxxxxxxxxxxxxxxxي� ~ب ه� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxل� الل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxح� و�أ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

(Al_baqarah: 275).

LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di

ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am

yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan

kedalamnya.

Page 16: Makalah kaidah ushuliyah

d.    LAFADH Asma’ al-Mawshu>l. Seperti ma, al-ladhi>na, al-lazi dan

sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:

ا ع|ير� �xxو~ن� س� ل ~xxص� ي ا و�س� ار� �xxه|م~ ن| ون �xxط� �ل�ون� ف|ي ب ~ك أ �xxا ي �xxم� |ن ا إ �xxم~ ام�ى ظ�ل �xxت� ~ي و�ال� ال ~xxم� �ون� أ �ل ~ك أ �xxذ|ين� ي �xxن� ال| إ

“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim

secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu

menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang

menyala-nyala”. (An-Nisa:10)

e.    LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk

mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:

د�ق�وا �xxxص� �ن~ ي |ال� أ ه| إ |xxxه~ل� |ل�ى أ �م�ة� إ ل �xxxة� م�س �xxxة� و�د|ي �xxxة� م�ؤ~م|ن �xxxق�ب �ح~ر|يxxxر� ر� � ف�ت أ �xxxا خ�ط �xxxل� م�ؤ~م|ن �xxxو�م�ن~ ق�ت

“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah

(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta

membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),

kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)

f.    Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi> (negatif), seperti kata اح�� ن ال� ج�

dalam ayat berikut:

ه�ن� ور� �xxxxxxxxxxxxxxxxج� وه�ن� أ �xxxxxxxxxxxxxxxxم� ~ت �ي �ت |ذ�ا آ وه�ن� إ �xxxxxxxxxxxxxxxxك|ح~ �ن �ن~ ت �م~ أ ~ك �ي اح� ع�ل �xxxxxxxxxxxxxxxxن و�ال� ج�

“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar

kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).

3.    Dalalah Lafadz ‘am

Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu

dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian

pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy

dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah

ushuliyah yang berbunyi:

ص� ¤xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxخ�ص � |ال � إ ام �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxا م|ن~ ع �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxم

“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.

Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha

dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi

tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena

lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua

satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama

Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa

menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum,

yang berbunyi:

ه| ~xxxxxxxxxxxxxxي� ه| ع�ل �xxxxxxxxxxxxxxم� الل ~xxxxxxxxxxxxxxر| اس� ذ~ك �xxxxxxxxxxxxxxم~ ي� ا ل �xxxxxxxxxxxxxxوا م|م� �ل ~ك أ �xxxxxxxxxxxxxxو�ال� ت

“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah

ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)

Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi

yang berbunyi:

م¤ . (رواه أبxxxxxxxو داود) �xxxxxxxس� و~ لم� ي� م�ى أ �xxxxxxxه| سxxxxxxxالل | م ~xxxxxxxح� ع�ل�ى اس� ذ~ب �xxxxxxxم� ي| ل ~xxxxxxxالم~س

Page 17: Makalah kaidah ushuliyah

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia

benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)

Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud

(turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy

wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.

Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat

ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-

sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits

itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.

4.    Macam-macam lafadz ‘am

a.    Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau

indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish

(pengkhususan). Misalnya:

|ين� اب� م�ب �xxت| ل ف|ي ك �xxو~د�ع�ه�ا ك� ت ~xxه�ا و�م�س �ق�ر� ت ~xxم� م�س� �ع~ل ا و�ي �xxق�ه ه| ر|ز~ �xxال� ع�ل�ى الل| ر~ض| إ� �ة� ف|ي األ~ و�م�ا م|ن~ د�اب

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah

yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang

itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang

nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).

Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.

b.    Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada

indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:

ه|م~ |xxف�س~ �ن |أ وا ب �xxغ�ب �ر~ ه| و�ال� ي �xxس�ول| الل �ف�وا ع�ن~ ر� ل �خ� �ت �ن~ ي اب| أ �ع~ر� �ه�م~ م|ن� األ~ �ة| و�م�ن~ ح�و~ل ~م�د|ين �ه~ل| ال �ان� أل| م�ا ك

ه| |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxس �ف~ ع�ن~ ن

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui

yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi

berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka

daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).

Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya

orang-orang yang mampu.

c.    Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna

umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:

وء� ر� �xxxxxxxxxxxxxxxة� ق �xxxxxxxxxxxxxxxث �ال� ه|ن� ث |xxxxxxxxxxxxxxxف�س~ �ن |أ ن� ب ~xxxxxxxxxxxxxxxص� ب �ر� �ت ات� ي �xxxxxxxxxxxxxxxق� ~م�ط�ل و�ال

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

quru.( Al-Baqarah: 228).

Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita

yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang

dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

C.    LAFADH KHASH

1.    Pengertian lafaz khas

Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti

umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.

Page 18: Makalah kaidah ushuliyah

Menurut istilah, definisi khas adalah:

“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada

perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis,

seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga

belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan,

sekelompok, dan lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan

beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.

2.    Dalalah Khash

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna

khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy,

bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada

makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

~ح�ج¤ � ف|ي ال ام �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxي� ة| أ �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxث �ال� �ام� ث ي |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxد~ ف�ص |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxج� �م~ ي ف�م�ن~ ل

Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka

wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)

LAFADH tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak

mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh

lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah

hukumnya pun qath’iy.

Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan

kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang

berbunyi:

اة� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxاة� ش �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxن� ش~ �ع|ي ب ر~� ل¤ أ �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxف|ي~ ك

“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor

kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut

tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh

lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah

qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat

qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat

adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan

bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat

dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

Khallaf, Wahhab Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April 2003 M

Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar  Dalam Istinbath Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta:1993.

Page 19: Makalah kaidah ushuliyah

Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011

Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Alma’rif, Bandung: 1986.

Al-qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al Munawwarah, 1994.Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2000.Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.

 Idrus bin Ali bin Abdul kadir bin Hasan al-

Jufri,http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-

tathbiqi/

2. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

3. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

5. Syafe’i, Prof. DR. Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.