Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

22
MAKALAH KAIDAH FIQIH MUAMALAT ر سي ي ت ل ا ب ل ج ت ة ق ش م ل ا(Kesulitan Mendatangkan Kemudahan) PROGRAM STUDI MANAJEMEN SYARIAH 2012 Oleh: Khairunnisa’ Siddiq Rochmadi Solihin Dj Yugo Fandita

description

Salah satu kaidah penting dalam Fiqih Muamalat, yaitu "Kesulitan Mendatangkan Kemudahan".

Transcript of Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

Page 1: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

Makalah kaidah fiqih muamalat

التيسير تجلب المشقة (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SYARIAH 2012Oleh:

Khairunnisa’Siddiq Rochmadi

Solihin DjYugo Fandita

Page 2: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

التيسير تجلب المشقة(Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)

A. Pengertian

,menurut arti bahasa (etimologis) adalah at-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan المشقة

kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:

�ف�س� .…” األن �ش�ق� ب �ال إ �غ�يه� �ال ب �وا �ون �ك ت �م� ل �د" �ل ب �ى �ل إ �م� �ك �ق�ال ث� أ �ح�م�ل� و�ت

"Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke

tempat tersebut kecuali dengan susah payah (kesukaran)"

Sedangkan التيسير secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi

diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:

Agama itu mudah, tidak memberatkan.

Yusrun lawan dari kata 'usyrun. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan

menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan

atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Hukum-

hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan san kesukaran bagi mukallaf

(subjek hukum), maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat melaksanakan hukum

tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran. Aspek-aspek tersebut tercantum ditekankan dalam

Al-Quran dan Sunnah. Berikut ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkannnya.

“……… �ر �ع�س� ال �م� �ك ب �ر�يد� ي و�ال �ر �س� �ي ال �م� �ك ب ,ه� الل �ر�يد� ”.…… ي

“..Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..”

(QS 2:185)

ع�ه�ا ……” و�س� �ال إ ا �ف�س/ ن ,ه� الل �ل�ف� �ك ي “ ال

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya..” (QS 2:286)

“ �م� �ك �ي ع�ل �ه� �ع�م�ت ن �م, �ت �ي و�ل �م� ك ��ط�ه�ر �ي ل �ر�يد� ي �ك�ن� و�ل ج" �ح�ر م�ن� �م� �ك �ي ع�ل ��ج�ع�ل �ي ل ,ه� �ر�يدالل ي م�ا

ون �ر� ك �ش� ت �م� ,ك �ع�ل ”.…ل

“…Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan

menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS 5:6)

ج" و ..…” �ح�ر م�ن� الد�ين� ف�ي �م� �ك �ي ع�ل �ج�ع�ل م�ا ….”

2

Page 3: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

“….Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam Agama..” (QS 22:78)

Rasulullah juga bersabda: ”Agama Islam adalah mudah. Agama yang paling

dicintai Allah adalah keyakinan yang toleran.”

“Berpeganglah, agama ini mudah, dan barang siapa yang beragama melebihi

kadarnya, maka dia akan dicap berlebihan. Jadi ambillah jalan tengah dan dekati

kesempurnaan dan nikmatilah kehidupan dengan baik.”1

Aisyah RA meriwayatkan bahwa: “Kapan saja suatu pilihan telah diambil, itu

adalah pilihan yang lebih mudah dari dua pilihan yang harus dipilih. Kalau tidak, itu akan

menjadi suatu dosa, kemudian dia jauh dari kemudahan itu.”2 Kaidah ini merupakan kaidah

yang penting dalam syariah. Imam Syatibi menguatkan keabsahan kaidah tersebut.

B. Pentingnya kaidah التيسير تجلب المشقة

Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga kepentingan

dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat, yang menyebabkan kesulitan

dapat diringankan dalam aplikasinya. Kaidah ini mencakup semua keadaan yang

memerlukan suatu konsesi hukum dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajiban dapat

terlaksana dalam kapasitas seorang manusia secara normal. Kaidah ini dapat diterapkan

pada semua konsesi hukum setidaknya pada tujuh macam, yaitu:

1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan

meninggalkan shalat Jumat.

2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil

duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, wanita

yang sedang menstruasi.

3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad

yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli,

gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau

menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.

4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa

membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.

5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,

kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang

1Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Din Yusrun2 Shahih Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab Sifah al-Nabi

3

Page 4: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

wakil tidak tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak

hukum, misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu

bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan

tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada kaidah lain bahwa ketidaktahuan

tentang hukum tidak bisa diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk

tahu telah ada. "Tidak diterima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum

Islam"

6. Kesulitan Umum (Umum al-Balwa), Misalnya kebolehan Bai al-salam (uangnya dahulu,

barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk

mengobati, sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang

mengenai sarung untuk shalat.

7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang

dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini

disebut unsur pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.

C. Jenis-Jenis المشقة

itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B المشقة

tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan

masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah,

contohnya terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat saum pada masa

musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.

Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam

ketaatan kepada Allah. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut

akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan

lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.

Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu

tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama

membagi masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. al-Masyaqqah al-'Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan

hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau

anggotabadan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna.

Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.

2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga

tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih

4

Page 5: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih

dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah yang

penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.

3. al-Masyaqqah al-Kliafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa,

terasa letih waktu tawaf dan sai, terasa pusing waktu rukuk dan sujud, dan lain

sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan

cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasan-nya, kemaslahatan dunia dan akhirat

yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.

D. Kaidah Pelengkap

Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal dalam kasus

darurat dan kebutuhan (hajat). Kaidah ini akan dijelaskan lebih jauh dalam kaidah-kaidah

pelengkap sebagai berikut:

1. المحظورات تبيح الضرورات

Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang.

Darurat didefiniskan dalam hukum Islam ke dalam dua pengertian, yaitu pengertian

khusus dan pengertian umum.

Darurat dalam pengertian khusus

Darurat dalam pengertian ini merupakan suatu kepentingan esensial yang jika tidak

dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang membuat kematian.

Ilustrasinya adalah pelarangan makan babi bagi Muslim untuk memakannya. Jika

orang yang diambang kematian mengikuti larangan ini ia bisa mati kelaparan.

Sehingga memakan babi bagi seorang sekarat karena kelaparan dan tidak memiliki

pilihan lain dibolehkan atas dasar kebutuhan yang mendesak

Darurat dalam pengertian umum

Darurat dalam pengertian umum lebih merujuk kepada suatu hal terkait perlindungan

dalam menjaga tujuan-tujuan dasar syariah. Menurut Imam Syatibi enam tujuan

dasar syariah tersebut adalah:

1) Menjaga dan melindungi agama

2) Menjaga dan melindungi nyawa

3) Menjaga dan melindungi keturunan

4) Menjaga dan melindungi akal

5) Menjaga dan melindungi kesehatan

6) Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan diri

5

Page 6: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

Jadi, menurut definisi ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan

dasar syariah ini adalah darurat. Membandingkannya dengan interpretasi sebelumnya, kita

menemukan bahwa pengertian yang pertama membatasi darurat pada kasus-kasus kesulitan

yang dapat membawa kematian. Sebaliknya interpretasi kedua memperluas area dan

hukum darurat pada perlindungan seluruh tujuan-tujuan dasar syariah. Imam Syatibi dan

beberapa ulama lainnya berpegang pada interpretasi kedua ini. Mustafa Zarqa ketika

menjelaskan “Istihsan yang didasarkan atas darurat” menulis:

“Arti dari bentuk istihsan ini adalah pertimbangan kemudahan dan penghilangan

kesulitan, serta peangadopsian ukuran-ukuran semisal yang sesuai dengan tujuan-tujuan

syariah, meskipun hal itu tidak dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan.”

Syarat-syarat keadaan darurat

Para ulama Fiqh telah meletakkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum

keringanan diambil atas dasar kebutuhan yang memaksa. Syarat-syarat ini adalah:

1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini

atau diprediksi kuat akan terjadi. Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok

dasar yang telah disinggung di atas itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan

terjadi. Di mana kalau tidak memakan yang haram, maka akan membinasakannya atau

minimalnya mendekati kebinasaan. Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka

atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.

Contohnya, tidak dibenarkan mengambil bunga bank melalui pinjaman utang ke bank

untuk memperluas usaha bisnis atau untuk melipatgandakan keuntungan dengan alasan

bahwa perlindungan harta juga dibolehkan dalam syariah.

2. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi masalah tersebut kecuali dengan

adanya keringanan tersebut. Sehingga hal yang haram menjadi halal untuk dilakukan.

Meskipun begitu seorang Muslim harus senantiasa mencari solusi agar dapat

menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan halal. Misalnya, seseorang tidak

diperbolehkan memiliki asuransi dagang dengan tujuan untuk melindungi hartanya.

Meskipun diketahui bahwa asuransi itu perlu, namun syariah masih memiliki jalan lain

dengan cara takaful. Begitu juga tidak diperbolehkan meminjam uang dengan sistem

bunga ke bank untuk membeli rumah bagi tempat tinggal keluarganya dengan alasan

menyelamatkan keluarga, karena tujuan ini dapat dicapai dengan menyewa.

6

Page 7: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

3. Solusi tidak dapat menyalahi aturan-aturan sakral yang memicu pembunuhan,

pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis. Atas alasan

apapun seseorang dalam keadaaan tertekan tidak dibenarkan membunuh orang lain.

4. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya

saja.Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya

sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut

sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:

  ه� ي� ل� ل ل ي� � ه ل�ا ل� د� لا ل�ا ل� د� ل�ا ل� ي� ل� �� ل �ط �ي ه� � ل م  ل� ه#� $� ل م$ ط&و ل� ل� �� ل ل�) �ل � ه [٢:١٧٣]

...Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak

menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 2:

173)

Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia

maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai

kenyang.

5. Dalam pandangan pakar, solusi tersebut merupakan satu-satunya solusi yang tersedia.

Misalnya dalam pengobatan medis, hanya seorang doketer ahli yang mengatakan bahwa

hanya pengobatan dengan minuman keras tertentu yang dapat mengobati suatu penyakit

dan tidak ada jalan lain yang lebih efektif.

Aturan-aturan Syariah yang dibuat berdasarkan konsep darurat

Berikut ini adalah beberapa aturan dalam hukum Islam modern dan klasik yang

dibangun atas konsep darurat.

1. Dibolehkan bagi orang yang sekarat karena kelaparan untuk memakan daging babi

ataupun bangkai binatang. Juga dibolehkan bagi orang yang sangat kelaparan untuk

mencuri dari orang yang tidak kelaparan dengan syarat ia akan mengganti kerugian

yang dialami orang tersebut.

2. Jika seseorang butuh untuk menafkahi keluarganya namun ia tidak mampu

mendapatkan pinjaman qardul hasan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kasus

darurat maka ia boleh menerima pinjaman utang dengan keuntungan yang

ditetapkan dimuka untuk orang yang meminjamkan.

3. Penjualan darah untuk keperluan transfusi dan donasi, serta penjualan organ tubuh

manusia seperti mata dan ginjal juga diperbolehkan menurut kondisi darurat ini.

7

Page 8: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

4. Dibawah kondisi darurat dokter pria boleh melihat aurat pasien wanita demi

kepentingan menyelamatkan hidupnya.

5. Seorang yang diamanahkan untuk menjaga harta anak yatim boleh menggunakan

harta tersebut dalam keadaan darurat namun dalam rangka yang diperlukan untuk

melayani anak yatim yang memiliki harta tersebut.

Beberapa ketentuan-ketentuan Fiqh Modern

1. Ketentuan Islamic Fiqh Academy of India atas bolehnya asuransi bagi kaum

Muslimin India

Pandangan umum yang dominan dalam hukum Islam tentang asuransi komersial

adalah haram karena mengandung elemen-elemen yang merusak seperti riba, gharar

(ketidakpastian), qimar (judi) dan lain-lain. Faktanya komunitas Muslim India selalu

dihantui dengan fakta kerusuhan dan penyerangan yang menyebabkan kerugian dahsyat

seperti kehilangan nyawa dan harta benda. Oleh karena itu, Islamic Fiqh Academy telah

menetapkan bahwa asuransi ini dibolehkan dengan prinsip dasar:”Kebutuhan yang sangat

mendesak membuat sesuatu yang diharamkan menjadi halal”, dengan dalih menghapus

mudarat dan menghilangkan kesulitan. Ketentuan ini juga dimotivasi oleh pertimbangan

beberapa tujuan dasar seperti menyelamatkan nyawa dan harta.

2. Keputusan European Fiqh Council atas pembiayaan kredit untuk membeli

rumah

Akomodasi adalah kebutuhan dasar tiap individu. Di Eropa kaum muslimin tidak

memperoleh cara untuk membeli rumah dengan kontan. Satu-satunya cara dengan mencicil

rumah dengan pinjaman berbunga. Sehingga hal ini diperbolehkan, namun dengan syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Rumah yang dibeli harus untuk pembeli dan keluarganya

b. Pembeli benar-benar tidak memiliki rumah yang lain

c. Pembeli benar-benar tidak memiliki kelebihan asset yang dapat menolongnya

untuk membeli rumah dengan cara selain kredit

Fatwa ini tidak mengizinkan masyarakat untuk membeli rumah untuk tujuan komersil.

Aturan-aturan Penyeimbang

8

Page 9: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

Prinsip “kebutuhan yang sangat mendesak membuat yang haram menjadi halal”

sifatnya bukanlah absolut dan tidak memiliki batas. Ada kaidah-kaidah yang menjadi

aturan-aturan penyeimbang yang membatasi ruang lingkup aktivitas kaidah tersebut.

Kaidah اذا االءمر ضاق اتسع

(Suatu urusan jika meluas, akan menyempit)

Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh harta dengan cara halal sesuai pilihannya.

Namun, pemerintah dapat membekukan rekening atau mengambil harta orang yang tidak

mampu membayar klaim pemerintah, utang pribadi maupun institusi untuk membayar

klaim tersebut dari rekening atau harta yang dibekukan tersebut.

Kaidah بقدرها تقدر الضرورة

(Keadaan darurat itu ditentukan oleh kadarnya)

Namun sesuai kaidah ini maka pemerintah hanya boleh mengambil harta sesuai dengan

klaim yang harus dibayarkannya.

Kaidah بزواله بطل لعذر جاز ما

(Sesuatu yang dibolehkan karena ada alasannya, akan dilarang ketika alasan itu tidak ada)

Misalnya pelarangan yang diberlakukan terhadap orang yang berutang, maka larangan itu

juga akan hilang ketika ia sudah membayar seluruh utangnya.

Kaidah الغىر حق ىبطل ال االضطرار

(Darurat tidak meniadakan hak orang lain)

Darurat tidak dapat menjadi sebab dan justifikasi untuk melanggar hak-hak orang lain.

Misalnya, jika seseorang dipaksa untuk memakan makanan orang lain, maka dia

bertanggung jawab untuk membayar ongkosnya dikemudian hari.

E. Hajat dan Akibatnya

خاصة أو كانت عامة الضرورة منزلة تنزل الحاجة

(Suatu kebutuhan (baik sifatnya pribadi atau umum) bisa dianggap sebagai suatu keadaan

darurat)

Sama halnya dengan darurat yaitu hajat yang menerapkan keringanan terhadap

hukum asal dan memberikan alas an untuk berbeda darinya. Hajat terdiri dari dua jenis,

hajat amah dan hajah khassah. Hajah Khassah adalah kebutuhan yang dihadapi komunitas

tertentu atau orang dari profesi tertentu, seperti kebutuhan yang dihadapi oleh penduduk

Bukharah untuk memperoleh pinjaman lewat penjualan tebusan (redeemable sale).

9

Page 10: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

Syatibi mendefinisikan hajat sebagai suatu kepentingan yang kalau dipenuhi akan

menghilangkan kesusahan dan kesulitan, dan kalau tidak dipenuhi akan membuat

hilangnya tujuan-tujuan yang dimaksud. Jadi, jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi,

maka segala sesuatu yang terkait dengan aturan-aturan syariah pada umumnya akan

mengalami kesulitan, tapi hal ini tidak dianggap sebagai suatu penyebab kekacauan yang

diprediksi sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kepentingan yang esensi ini.

Contoh kebutuhan yang selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah

bolehnya kontrak salam (pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman barang

belakangan), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas dasar pesanan), bay’ bil

wafa’ (penjualan dengan hak penebusan), pinjaman, ijarah dan lain-lain.

Aturan-aturan Syariah yang didasarkan Hajat

1. Kontrak Salam

Dalam bahasa Arab, kata Salam artinya memajukan atau mendorong ke muka. Ini

adalah kontrak di mana si pembeli membayar harganya di muka dan pengiriman barang

ditunda hingga waktu yang ditentukan. Jadi bay’ salam adalah penjualan di mana

pembayaran di muka dilakukan kepada penjual untuk penyediaan barang di kemudian hari.

Bay’ Salam adalah suatu transaksi yang lumrah terjadi sebelum periode Rasulullah

SAW dengan struktur yang berbeda. Ketika Rasul hijrah ke Madinah kaum Anshar

menanyakan hukumnya, Rasulullah membolehkannya dengan beberapa syarat. Sesuai

prinsip, penjualan suatu komoditi yang tidak dimiliki oleh penjual tidak diperbolehkan. Ini

dinyatakan Rasulullah sebagai prinsip umum. Jadi praktik Bay’ Salam dilegalkan

pengecualian dari prinsip ini, karena kebutuhan petani dan produsen terhdap uang untuk

mengolah tanaman mereka.

Perbedaan antara Jual-beli Salam dan Jual-beli biasa

(a) Dalam jual-beli Salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam

jual beli biasa tidak diperlukan

(b) Dalam jual-beli Salam, komoditi yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang

dalam jual beli biasa tidak dapat dijual

(c) Dalam jual-beli Salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan

kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual-beli biasa, segala komoditas

yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al-Quran atau Hadits

10

Page 11: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

(d) Dalam jual-beli Salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak; yang

dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika

pengiriman barang berlangsung.

2. Kontrak Istisna’

Dalam kontrak ini, seorang produsen setuju untuk memproduksi produk tertentu dengan

karakteristik tertentu yang disepakati sebelumnya. Dengan istisna’, seseorang dapat

menghubungi seorang pembuat sepatu dengan kesepakatan harga tertentu. Kontrak ini

sama seperti Salam, yaitu membeli barang yang belum tidak ada keberadaanya. Namun

objek istisna’ pada umumnya adalah barang-barang yang dideskripsikan oleh klien. Barang

tempahan ini biasanya tidak tersedia di pasar.

Kontrak istisna’ mengikat pihak-pihak yang terlibat jika syarat-syarat tertentu dipenuhi,

termasuk spesifikasi jenis, bentuk, kualitas dan kuantitas barang harus diketahui, jika

diperlukan maka waktu pengiriman harus ditentukan. Jika barang yang yang diterima tidak

sesuai dengan permintaan maka konsumen memiliki hak untuk menerima atau menolak

barang tersebut. Karena sifatnya yang mengikat, maka pihak-pihak yang terlibat dalam

kontrak terlibat dalam kontrak terikat dengan semua kewajiban dan konsekuensi yang

timbul dari kesepakatan mereka. Dengan kata lain, pihak-pihak yang terlibat tidak perlu

memperbaharui ijab-kabul setelah barang itu selesai. Inilah perbedaannya dengan kontrak

murabaha kepada pemesan pembelian, yang menghendaki tanda tangan kontrak jual-beli

melalui ijab Kabul yang baru oleh pihak-pihak yang terlibat ketika kepemilikan barang

yang akan dijual diambil oleh institusi

3. Khiyar al-syart (Persyaratan hak membatalkan kontrak)

“Saya beli barang ini dari Anda, tapi saya punya hak untuk mengembelikan barang ini

dalam tiga hari”. Ini merupakan contoh berupa hak yang disyaratkan oleh satu atau kedua

belah pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat, namun begitu periode

yang disyaratkan berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat ini

tidak berlaku. Konsekuensi dari kontrak ini bahwa hak yang awalnya mengikat menjadi

tidak mengikat lagi. Tujuan dari kontrak ini adalah memberi kesempatan kepada orang

yang menderita kerugian untuk membatalkan kontrak dalam kurun waktu yang telah

ditentukan.

4. Khiyar Al-Ta’yin (hak untuk memastikan)

Contoh dari kontrak ini adalah seorang pembeli yang akan membeli suatu mobil dapat

mencoba tiga dari mobil yang ditawarkan sebelum akhirnya memutuskan mobil mana yang

akan dibeli. Aturan umum, barang yang telah dibeli harus dipastikan ketika kontrak

11

Page 12: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

berlangsung, oleh karena itu mazhab Syafi’I dan Hambali tidak membolehkan persyaratan

hak untuk memastikan ini. Penganut mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan hal ini

karena kemungkinan si pembil adalah wakil dari pembeli asli sehingga ia harus

memastikan bahwa barang yang dibeli sesuai dengan keinginan pembeli asli.

Hak ini dibolehkan sebagai pengecualian dari qiyas (aturan umum) melalui istihsan

(prediksi adanya kebaikan) dan pelaksanaannya sangat sempit, yaitu dibolehkan hanya

pada kontrak jual-beli. Menurut mayoritas penganut mazhab Hanafi, hak diberikan kepada

pembeli yang didasarkan atas kebutuhan dan tidak diberikan kepada penjual.

5. Bay’ bil Wafa’ (jual beli dengan tebusan)

Mustafa Zarqa mengklaim bahwa semua ulama mazhab Hanafi sejak abad ke-6 Hijriah

menyetujui keabsahan Bay’ bil wafa. Bay’ bil Wafa’ merupakan suatu jual beli barang

dengan utang pada kreditur dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi peminjam

uang dalam transaksi ini) membayar harga barang atau membayar utangnya, maka si

pembeli harus mengembalikan barangnya kepada pemiliknya. Ibnu Abidin

mengilustrasikan kontrak ini sebagai berikut: “Saya jual barang ini kepada Anda utang

yang saya dengan syarat kapan saja saya bayar utang itu, barang itu harus kembali ke

tangan saya.

Mazhab hanafi membolehkan kontrak ini berpatokan pada prinsip bahwa kebutuhan

umum diperlakukan sebagai darurat dalam meringankan suatu hukum asal. Mazhab

lainnya tidak mengakui keabsahan kontrak ini karena memberi celah hukum bagi si

pemberi pinjaman untuk mengambil manfaat dari barang yang dijaminkan.

6. Kafalah bil-dark

Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan pada kebutuhan Kafalah bil dark. Itu

merupakan jaminan dari penjual, bahwa dia akan mengembalikan harga barang jika barang

itu diambil alih oleh orang lain. Misalnya, seseorang membeli suatu barang dan meminta

penjualnya menjamin pengembalian harga barang itu jika ada orang lain yang mengklaim

sebagai pemilik barang itu, dan sebagai konsekuensinya orang tersebut mengambil

barangnya dari sang pembeli

7. Penggantian harta wakaf

Prinsip umum dari harta wakaf adalah tidak dapat dijual, dihadiahkan, ataupun diganti,

namun dalam kasus jika harta wakaf telah kehilangan manfaatnya dan bahkan

menyusahkan penerima wakaf karena harta tersebut tidak memiliki sumber ekonomi untuk

merevitalisasi ataupun merahibilitasinya. Dalam kasus tersebut, ulama mazhab Hanafi atas

12

Page 13: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

dasar kebutuhan dan maslahat, membolehkan penjualan harta wakaf itu sesuai harga pasar

dan membeli lahan lain yang lebih bernilai untuk tujuan wakaf.

8. Bolehnya Hawalah (Penugasan utang)

Prinsip umumnya, pertukaran utang dengan utang tidak diperbolehkan dalam hukum

Islam. Dengan alasan kebutuhan masyarakat dan sebagai pengecualian dari aturan umum,

maka hawalah (penugasan untuk membayar utang dari orang yang berutang kepada orang

lain) telah dibolehkan. Hawalah adalah subtitusi dari satu orang yang berutang kepada

orang lain dengan persetujuan orang yang mengutangkan.

Lane memberikan tiga bentuk transfer ketika membahas sifat dan ruang lingkup

hawalah. Bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:

(1) Transfer klaim utang dengan memindahkan kewajiban dari satu orang ke orang yang

lain.

(2) Transfer utang dengan memindahkan kewajiban seseorang yang mentransfernya

kepada seseorang yang ditransfer.

(3) Suatu pesanan untuk membayar utang atau sejumlah uang kepada orang lain, yang

diberikan oleh seseorang kepada orang lain.

Keabsahan Hawalah

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah (ra) bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Menghindari

dan menunda (pembayaran utang) bagi orang kaya adalah suatu kezaliman. Jika utang

ditransfer kepada orang kaya, maka orang kaya tersebut (penerima transfer utang) harus

dikejar pembayarannya.

Diriwayatkan oleh Ibn Umar (ra); menghindari dan menunda (pembayaran utang) bagi

orang kaya adalah suatu kekejaman. Jika utang ditransfer kepada orang kaya, maka si

orang kaya itu harus diikuti.”

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hadits-hadits ini adalah:

(1) Boleh mentransfer utang seseorang dari satu orang ke orang lain

(2) Orang yang menerima transfer harus diminta membayar karena dia menggantikan

posisi orang yang berutang

(3) Setelah transfer dilakukan maka orang yang berutang tidak dikenakan kewajiban

membayar utang kepada orang yang mengutangkan, karena dia mentrensfer utang

demi keamanan.

(4) Transfer utang dari orang yang berutang kepada orang yang menerima transfer

utang harus disepakati oleh semua pihak: orang yang berutang, yang member utang

dan yang menerima transfer utang

13

Page 14: Makalah Kaidah Fiqih Muamalat

(5) Orang yang menerima utang harus menerima penugasan utang dan mengejar

pengutang baru untuk mengutip utangnya sepanjang penugasan itu diberikan kepada

orang yang mampu.

F. Kesimpulan

Merangkum pembahasan tentang darurat dan hajat, dapat disimpulkan bahwa darurat

adalah kepentingan yang sangat krusial dalam urusan agama dan sehari-hari. Sesuatu yang

menyimpang daripada hal tersebut akan menyebabkan kerusakan di muka bumi. Hajat di

sisi lain mementingkan aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk menghilangkan

kesulitan, supaya hokum tersebut dapat diikuti tanpa menyebabkan kerusakan ataupun

bahaya.

Referensi:

Terjemahan Al-Quranul Karim, Depag

Sarwat, Ahmad, “Seri Fiqih Kehidupan (1) Ilmu Fiqih, 2011, DU Publishing: Jakarta

Mansoori, Tahir Muhammad, Kaidah-kaidah Fiqih, Keuangan dan Transaksi Bisnis, 2010,

Ulil Albaab Institute: Bogor

14