RUBRIK MUAMALAT MAJALAH HIDAYATULLAH

2
SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com 44 Datang ke seorang ustadz untuk minta solusi, malah disuruh infaq. Namun dari situlah pintu rezekinya terbuka kembali. unya usaha sendiri merupakan impian Hasan Basri (50). Meski sudah bekerja dan mendapat penghasilan tinggi, tidak membuatnya tenang, sebab ia bisa diberhentikan kapan saja. “Meski berpenghasilan sedikit, tapi hasil usaha sendiri tentu lebih tenang dan punya harapan maju,” katanya. Itulah yang menginspirasi Hasan memulai usaha sendiri setelah lama bekerja di beberapa perusahaan. “Gaji cukup besar waktu itu karena saya punya jabatan,” kenang ayah tiga anak ini. Hasan yang lebih dikenal dengan nama Hasan Sagita ini, menjelang lulus dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 90- an, bekerja di sebuah perusahaan garmen yang cukup terkenal di Kota Kembang tersebut. Karena keuletan dan prestasinya, ia mendapat kepercayaan menjadi wakil direktur. Tahun 2001, Hasan pindah bekerja ke perusahaan percetakan buku-buku pelajaran sekolah dan sejenisnya. Perkerjaan ini ternyata memberinya inspirasi untuk punya usaha sendiri. Saat itu, ia mulai menabung agar kelak bisa mandiri. Apalagi waktu itu perusahaannya membutuhkan rekanan dalam memenuhi beberapa item kebutuhannya. Hasan pun membeli alat yang dibutuhkan. Dari sisa waktu kerja, ia mulai mengambil pekerjaan yang tidak ditangani perusahaannya. “Dari usaha ini saya mendapat keuntungan hingga sepuluh persen,” terangnya. Namun hal itu hanya berlangsung selama empat tahun, karena perusahaannya gulung tikar. Hasan lalu pindah ke perusahaan roti di Bali. Di tempat baru ini, ia mendapat gaji yang lebih besar dibanding sebelumnya. “Namun saya kurang sreg karena khawatir bahan bakunya terkontaminasi minyak babi atau produk turunan- nya,” jelas Hasan yang kemudian keluar dari perusahaan tersebut. Akhirnya, Hasan pulang ke Bandung untuk memulai usaha baru yang membuat batinnya tenang. Lalu ia memulai usaha penerbitan buku sekolah kecil-kecilan. Dengan modal Rp 20 juta, ia mulai merintis usaha tersebut. Allah SWT rupanya membukakan pintu rezeki Hasan. Alhamdulillah order saya banyak,” jelas suami Cendi Yuliana kepada Suara Hidayatullah ketika ditemui di kantornya. Waktu terus berputar. Karena keuletannya, usahanya kian maju dan diperhitungkan. Sehingga untuk menambah kapasitas produksinya, ia membeli mesin cetak seharga Rp 240 juta. MUAMALAT BANGKRUT, BANGKIT LALU SUKSES NGADIMAN/SUARA HIDAYATULLAH Bisnis Percetakan Hasan Basri MUAMALAT

Transcript of RUBRIK MUAMALAT MAJALAH HIDAYATULLAH

Page 1: RUBRIK MUAMALAT MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com44

Datang ke seorang ustadz untuk minta solusi, malah disuruh infaq. Namun dari situlah pintu rezekinya terbuka kembali.

unya usaha sendiri merupakan impian Hasan Basri (50). Meski sudah bekerja dan mendapat

penghasilan tinggi, tidak membuatnya

tenang, sebab ia bisa diberhentikan kapan saja. “Meski berpenghasilan sedikit, tapi hasil usaha sendiri tentu lebih tenang dan punya harapan maju,” katanya.

Itulah yang menginspirasi Hasan memulai usaha sendiri setelah lama bekerja di beberapa perusahaan. “Gaji cukup besar waktu itu karena saya punya jabatan,” kenang ayah tiga anak ini.

Hasan yang lebih dikenal dengan nama Hasan Sagita ini, menjelang

lulus dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 90-an, bekerja di sebuah perusahaan garmen yang cukup terkenal di Kota Kembang tersebut.

Karena keuletan dan prestasinya, ia mendapat kepercayaan menjadi wakil direktur.

Tahun 2001, Hasan pindah bekerja ke perusahaan percetakan buku-buku pelajaran sekolah dan sejenisnya. Perkerjaan ini ternyata memberinya inspirasi untuk punya usaha sendiri.

Saat itu, ia mulai menabung agar kelak bisa mandiri. Apalagi waktu itu perusahaannya membutuhkan rekanan dalam memenuhi beberapa item kebutuhannya. Hasan pun membeli alat yang dibutuhkan. Dari sisa waktu kerja, ia mulai mengambil pekerjaan yang tidak ditangani perusahaannya. “Dari usaha ini saya mendapat keuntungan hingga sepuluh persen,” terangnya.

Namun hal itu hanya berlangsung selama empat tahun,

karena perusahaannya gulung tikar. Hasan lalu pindah ke perusahaan

roti di Bali. Di tempat baru ini, ia mendapat gaji yang lebih besar dibanding sebelumnya. “Namun saya kurang sreg karena khawatir bahan bakunya terkontaminasi minyak babi atau produk turu nan-nya,” jelas Hasan yang kemudian keluar dari perusahaan tersebut.

Akhirnya, Hasan pulang ke Bandung untuk memulai usaha baru yang membuat batinnya tenang. Lalu ia memulai usaha penerbitan buku sekolah kecil-kecilan. Dengan modal Rp 20 juta, ia mulai merintis usaha tersebut. Allah SWT rupanya membukakan pintu rezeki Hasan. “Alhamdulillah order saya banyak,” jelas suami Cendi Yuliana kepada Suara Hidayatullah ketika ditemui di kantornya.

Waktu terus berputar. Karena keuletannya, usahanya kian maju dan diperhitungkan. Sehingga untuk menambah kapasitas produksinya, ia membeli mesin cetak seharga Rp 240 juta.

MUAMALAT

Bangkrut, Bangkit

LaLu SukSeS

NG

AD

IMA

N/S

UA

RA H

IDAY

ATU

LLA

H

Bisnis Percetakan

Hasan Basri

MUAMALAT

Page 2: RUBRIK MUAMALAT MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2014/SHAFAR 1435 45

Kesuksesannya itu rupanya dilirik oleh kalangan partai politik. Ia ditawari jadi anggota legislative. Namun akhirnya ia gagal. Padahal, sudah mengeluarkan banyak uang. Bahkan ia terpaksa menjual rumahnya untuk menutupi biaya kampanyenya. Yang membuat Hasan semakin sedih karena perusahaannya bangkrut dan punya banyak utang. “Tetapi saya tetap berbaik sangka bahwa Allah telah memilihkan lahan dakwah lain, bukan di jalur politik,” akunya.

Sedekah Menuntun arah Saat gelisah itu, Hasan diajak

seorang kawannya mendatangi seorang ustadz di sebuah pesantren untuk mendapat nasehat dan pencerahan. Ia mengungkapkan permasalahannya. Usai bercerita, ia dibuat kaget ketika sang ustadz mengucapkan kalimat hamdallah (Alhamdulillah). Menurut sang ustadz, Hasan harus tetap bersyukur karena Allah SWT masih menguji hamba-Nya. Hasan lebih kaget lagi setelah ia diminta untuk membangun masjid dan tempat wudhu.

“Bingung juga, waktu itu saya punya uang sekitar tiga jutaan, saya sedekahkan dan hanya ambil untuk ongkos pulang naik bis,” kenang pengurus IKAPI Jabar ini.

Dalam perjalanan pulang, ia masih gelisah. Namun, berusaha tenang dan berbaik sangka kepada sang ustadz sambil berharap keajaiban itu datang.

Selang beberapa bulan, ia merintis kembali usaha penerbitan buku. Seiring berjalannya waktu, iapun merasakan keajaiban tersebut. Usaha penerbitannya mulai berkembang pesat. Ia menyadari salah satu buah hikmah dari sedekah adalah Allah SWT akan mengganti dengan berlipat. “Saya merasakan hal itu,” jelasnya.

Kini, ia memiliki karyawan 45 orang. Omset perusahaanya sudah mencapai Rp 800 juta per bulan.

Sebagai wujud syukur dan ingin menjadi Muslim yang bermanfaat bagi umat, ia selalu mengeluarkan zakat dan infaq. Bahkan sejak tiga tahun terakhir ini, ia salurkan sendiri. Caranya, sebulan sekali ia mengadakan pengajian yang diikuti sekitar 800 jamaah dari kalangan dhuafa. Usai mengikuti pengajian, mereka langsung diberi santunan.

Hasan yakin bahwa usaha penerbitannya akan tetap lancar karena ia tidak pernah serakah. Setiap mendapat order, ia selalu bagi kepada orang lain. “Kami memberikan pelayanan yang ramah, kualitas produk dan selalu berusaha tepat waktu,” jelasnya.

Kini, sambil terus mencari terobosan dibidang penerbitan, ia bersama istrinya juga mulai merambah usaha busana Muslim. Bahkan ke depan, ia ingin merambah dunia kuliner halal. “Motivasi saya bukan sekadar mencari keuntungan, tapi juga ada misi dakwah,” katanya.

Dengan usaha yang ia jalankan

saat ini, Hasan berharap banyak membawa manfaat bagi orang lain. Ia sadar banyak orang yang bekerja padanya, sehingga jika usahanya mundur, maka secara otomatis banyak yang merasa kehilangan pekerjaan. Jika itu terjadi, bukan hanya berdampak pada karyawannya, tapi juga pada anggota keluarganya. Untuk itu, ia ingin usahanya terus bisa maju, besar dan berkembang sehingga banyak orang yang marasakan manfaatnya, baik langsung maupun tidak langsung.

Jiwa bisnis Hasan yang kuat sebenarnya sudah ada sejak duduk di bangku SD. Saat itu, ia sudah berani jualan es thermos jinjing. Ia pun tidak minta uang jajan kepada orangtuanya, meski secara ekonomi mereka tergolong keluarga mampu. “Ini membuat saya tidak manja,” kenangnya.

Kebiasaan itu berlanjut saat memasuki SMP, meski tidak lagi jualan es. Setiap menjelang Idul Adha, ia berjualan kambing untuk kurban. Hewan tersebut ia dapat dari para peternak yang menitipkan kepadanya. “Keuntungannya sebagian saya tabung,” jelas anak ketujuh dari delapan bersaudara ini.

Di antara delapan bersaudara itu, hanya Hasan yang memiliki jiwa dagang dan sekolah di lembaga umum. Sedangkan saudara-saudaranya sekolah di pesantren.

Meski demikian, jika musim liburan tiba, Hasan memilih menjadi santri “kalong” ketimbang mengisi liburan dengan bermain-main. Tidak heran jika di kemudian hari, ia oleh teman-temannya dikenal sebagai pribadi yang kuat terhadap Islam. Kecintaannya terhadap Islam ia wujudkan dalam dunia dakwah mulai masuk SMP sampai kuliah. “Tapi cara dakwah saya bukan ceramah di mimbar, melainkan lewat tulisan, seperti buletin atau lembar Jumat,” katanya.* Ngadiman, Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah

45

Pengajian yang digelar sebulan sekali diikuti ratusan jamaah