Makalah kaidah fiqih muamalat
التيسير تجلب المشقة (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SYARIAH 2012Oleh:
Khairunnisa’Siddiq Rochmadi
Solihin DjYugo Fandita
التيسير تجلب المشقة(Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)
A. Pengertian
,menurut arti bahasa (etimologis) adalah at-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan المشقة
kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
�ف�س� .…” األن �ش�ق� ب �ال إ �غ�يه� �ال ب �وا �ون �ك ت �م� ل �د" �ل ب �ى �ل إ �م� �ك �ق�ال ث� أ �ح�م�ل� و�ت
"Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke
tempat tersebut kecuali dengan susah payah (kesukaran)"
Sedangkan التيسير secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
Agama itu mudah, tidak memberatkan.
Yusrun lawan dari kata 'usyrun. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan
atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Hukum-
hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan san kesukaran bagi mukallaf
(subjek hukum), maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat melaksanakan hukum
tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran. Aspek-aspek tersebut tercantum ditekankan dalam
Al-Quran dan Sunnah. Berikut ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkannnya.
“……… �ر �ع�س� ال �م� �ك ب �ر�يد� ي و�ال �ر �س� �ي ال �م� �ك ب ,ه� الل �ر�يد� ”.…… ي
“..Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..”
(QS 2:185)
ع�ه�ا ……” و�س� �ال إ ا �ف�س/ ن ,ه� الل �ل�ف� �ك ي “ ال
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya..” (QS 2:286)
“ �م� �ك �ي ع�ل �ه� �ع�م�ت ن �م, �ت �ي و�ل �م� ك ��ط�ه�ر �ي ل �ر�يد� ي �ك�ن� و�ل ج" �ح�ر م�ن� �م� �ك �ي ع�ل ��ج�ع�ل �ي ل ,ه� �ر�يدالل ي م�ا
ون �ر� ك �ش� ت �م� ,ك �ع�ل ”.…ل
“…Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS 5:6)
ج" و ..…” �ح�ر م�ن� الد�ين� ف�ي �م� �ك �ي ع�ل �ج�ع�ل م�ا ….”
2
“….Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam Agama..” (QS 22:78)
Rasulullah juga bersabda: ”Agama Islam adalah mudah. Agama yang paling
dicintai Allah adalah keyakinan yang toleran.”
“Berpeganglah, agama ini mudah, dan barang siapa yang beragama melebihi
kadarnya, maka dia akan dicap berlebihan. Jadi ambillah jalan tengah dan dekati
kesempurnaan dan nikmatilah kehidupan dengan baik.”1
Aisyah RA meriwayatkan bahwa: “Kapan saja suatu pilihan telah diambil, itu
adalah pilihan yang lebih mudah dari dua pilihan yang harus dipilih. Kalau tidak, itu akan
menjadi suatu dosa, kemudian dia jauh dari kemudahan itu.”2 Kaidah ini merupakan kaidah
yang penting dalam syariah. Imam Syatibi menguatkan keabsahan kaidah tersebut.
B. Pentingnya kaidah التيسير تجلب المشقة
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga kepentingan
dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat, yang menyebabkan kesulitan
dapat diringankan dalam aplikasinya. Kaidah ini mencakup semua keadaan yang
memerlukan suatu konsesi hukum dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajiban dapat
terlaksana dalam kapasitas seorang manusia secara normal. Kaidah ini dapat diterapkan
pada semua konsesi hukum setidaknya pada tujuh macam, yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat Jumat.
2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil
duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, wanita
yang sedang menstruasi.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad
yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli,
gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau
menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang
1Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Din Yusrun2 Shahih Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab Sifah al-Nabi
3
wakil tidak tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak
hukum, misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu
bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan
tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada kaidah lain bahwa ketidaktahuan
tentang hukum tidak bisa diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk
tahu telah ada. "Tidak diterima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum
Islam"
6. Kesulitan Umum (Umum al-Balwa), Misalnya kebolehan Bai al-salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk
mengobati, sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang
mengenai sarung untuk shalat.
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang
dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini
disebut unsur pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.
C. Jenis-Jenis المشقة
itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B المشقة
tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan
masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah,
contohnya terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat saum pada masa
musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam
ketaatan kepada Allah. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut
akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.
Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu
tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama
membagi masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. al-Masyaqqah al-'Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan
hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau
anggotabadan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna.
Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga
tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih
4
dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih
dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah yang
penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.
3. al-Masyaqqah al-Kliafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa,
terasa letih waktu tawaf dan sai, terasa pusing waktu rukuk dan sujud, dan lain
sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan
cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasan-nya, kemaslahatan dunia dan akhirat
yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.
D. Kaidah Pelengkap
Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal dalam kasus
darurat dan kebutuhan (hajat). Kaidah ini akan dijelaskan lebih jauh dalam kaidah-kaidah
pelengkap sebagai berikut:
1. المحظورات تبيح الضرورات
Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang.
Darurat didefiniskan dalam hukum Islam ke dalam dua pengertian, yaitu pengertian
khusus dan pengertian umum.
Darurat dalam pengertian khusus
Darurat dalam pengertian ini merupakan suatu kepentingan esensial yang jika tidak
dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang membuat kematian.
Ilustrasinya adalah pelarangan makan babi bagi Muslim untuk memakannya. Jika
orang yang diambang kematian mengikuti larangan ini ia bisa mati kelaparan.
Sehingga memakan babi bagi seorang sekarat karena kelaparan dan tidak memiliki
pilihan lain dibolehkan atas dasar kebutuhan yang mendesak
Darurat dalam pengertian umum
Darurat dalam pengertian umum lebih merujuk kepada suatu hal terkait perlindungan
dalam menjaga tujuan-tujuan dasar syariah. Menurut Imam Syatibi enam tujuan
dasar syariah tersebut adalah:
1) Menjaga dan melindungi agama
2) Menjaga dan melindungi nyawa
3) Menjaga dan melindungi keturunan
4) Menjaga dan melindungi akal
5) Menjaga dan melindungi kesehatan
6) Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan diri
5
Jadi, menurut definisi ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan
dasar syariah ini adalah darurat. Membandingkannya dengan interpretasi sebelumnya, kita
menemukan bahwa pengertian yang pertama membatasi darurat pada kasus-kasus kesulitan
yang dapat membawa kematian. Sebaliknya interpretasi kedua memperluas area dan
hukum darurat pada perlindungan seluruh tujuan-tujuan dasar syariah. Imam Syatibi dan
beberapa ulama lainnya berpegang pada interpretasi kedua ini. Mustafa Zarqa ketika
menjelaskan “Istihsan yang didasarkan atas darurat” menulis:
“Arti dari bentuk istihsan ini adalah pertimbangan kemudahan dan penghilangan
kesulitan, serta peangadopsian ukuran-ukuran semisal yang sesuai dengan tujuan-tujuan
syariah, meskipun hal itu tidak dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan.”
Syarat-syarat keadaan darurat
Para ulama Fiqh telah meletakkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum
keringanan diambil atas dasar kebutuhan yang memaksa. Syarat-syarat ini adalah:
1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini
atau diprediksi kuat akan terjadi. Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok
dasar yang telah disinggung di atas itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan
terjadi. Di mana kalau tidak memakan yang haram, maka akan membinasakannya atau
minimalnya mendekati kebinasaan. Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka
atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.
Contohnya, tidak dibenarkan mengambil bunga bank melalui pinjaman utang ke bank
untuk memperluas usaha bisnis atau untuk melipatgandakan keuntungan dengan alasan
bahwa perlindungan harta juga dibolehkan dalam syariah.
2. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi masalah tersebut kecuali dengan
adanya keringanan tersebut. Sehingga hal yang haram menjadi halal untuk dilakukan.
Meskipun begitu seorang Muslim harus senantiasa mencari solusi agar dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan halal. Misalnya, seseorang tidak
diperbolehkan memiliki asuransi dagang dengan tujuan untuk melindungi hartanya.
Meskipun diketahui bahwa asuransi itu perlu, namun syariah masih memiliki jalan lain
dengan cara takaful. Begitu juga tidak diperbolehkan meminjam uang dengan sistem
bunga ke bank untuk membeli rumah bagi tempat tinggal keluarganya dengan alasan
menyelamatkan keluarga, karena tujuan ini dapat dicapai dengan menyewa.
6
3. Solusi tidak dapat menyalahi aturan-aturan sakral yang memicu pembunuhan,
pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis. Atas alasan
apapun seseorang dalam keadaaan tertekan tidak dibenarkan membunuh orang lain.
4. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya
saja.Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya
sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut
sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:
ه� ي� ل� ل ل ي� � ه ل�ا ل� د� لا ل�ا ل� د� ل�ا ل� ي� ل� �� ل �ط �ي ه� � ل م ل� ه#� $� ل م$ ط&و ل� ل� �� ل ل�) �ل � ه [٢:١٧٣]
...Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 2:
173)
Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia
maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai
kenyang.
5. Dalam pandangan pakar, solusi tersebut merupakan satu-satunya solusi yang tersedia.
Misalnya dalam pengobatan medis, hanya seorang doketer ahli yang mengatakan bahwa
hanya pengobatan dengan minuman keras tertentu yang dapat mengobati suatu penyakit
dan tidak ada jalan lain yang lebih efektif.
Aturan-aturan Syariah yang dibuat berdasarkan konsep darurat
Berikut ini adalah beberapa aturan dalam hukum Islam modern dan klasik yang
dibangun atas konsep darurat.
1. Dibolehkan bagi orang yang sekarat karena kelaparan untuk memakan daging babi
ataupun bangkai binatang. Juga dibolehkan bagi orang yang sangat kelaparan untuk
mencuri dari orang yang tidak kelaparan dengan syarat ia akan mengganti kerugian
yang dialami orang tersebut.
2. Jika seseorang butuh untuk menafkahi keluarganya namun ia tidak mampu
mendapatkan pinjaman qardul hasan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kasus
darurat maka ia boleh menerima pinjaman utang dengan keuntungan yang
ditetapkan dimuka untuk orang yang meminjamkan.
3. Penjualan darah untuk keperluan transfusi dan donasi, serta penjualan organ tubuh
manusia seperti mata dan ginjal juga diperbolehkan menurut kondisi darurat ini.
7
4. Dibawah kondisi darurat dokter pria boleh melihat aurat pasien wanita demi
kepentingan menyelamatkan hidupnya.
5. Seorang yang diamanahkan untuk menjaga harta anak yatim boleh menggunakan
harta tersebut dalam keadaan darurat namun dalam rangka yang diperlukan untuk
melayani anak yatim yang memiliki harta tersebut.
Beberapa ketentuan-ketentuan Fiqh Modern
1. Ketentuan Islamic Fiqh Academy of India atas bolehnya asuransi bagi kaum
Muslimin India
Pandangan umum yang dominan dalam hukum Islam tentang asuransi komersial
adalah haram karena mengandung elemen-elemen yang merusak seperti riba, gharar
(ketidakpastian), qimar (judi) dan lain-lain. Faktanya komunitas Muslim India selalu
dihantui dengan fakta kerusuhan dan penyerangan yang menyebabkan kerugian dahsyat
seperti kehilangan nyawa dan harta benda. Oleh karena itu, Islamic Fiqh Academy telah
menetapkan bahwa asuransi ini dibolehkan dengan prinsip dasar:”Kebutuhan yang sangat
mendesak membuat sesuatu yang diharamkan menjadi halal”, dengan dalih menghapus
mudarat dan menghilangkan kesulitan. Ketentuan ini juga dimotivasi oleh pertimbangan
beberapa tujuan dasar seperti menyelamatkan nyawa dan harta.
2. Keputusan European Fiqh Council atas pembiayaan kredit untuk membeli
rumah
Akomodasi adalah kebutuhan dasar tiap individu. Di Eropa kaum muslimin tidak
memperoleh cara untuk membeli rumah dengan kontan. Satu-satunya cara dengan mencicil
rumah dengan pinjaman berbunga. Sehingga hal ini diperbolehkan, namun dengan syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Rumah yang dibeli harus untuk pembeli dan keluarganya
b. Pembeli benar-benar tidak memiliki rumah yang lain
c. Pembeli benar-benar tidak memiliki kelebihan asset yang dapat menolongnya
untuk membeli rumah dengan cara selain kredit
Fatwa ini tidak mengizinkan masyarakat untuk membeli rumah untuk tujuan komersil.
Aturan-aturan Penyeimbang
8
Prinsip “kebutuhan yang sangat mendesak membuat yang haram menjadi halal”
sifatnya bukanlah absolut dan tidak memiliki batas. Ada kaidah-kaidah yang menjadi
aturan-aturan penyeimbang yang membatasi ruang lingkup aktivitas kaidah tersebut.
Kaidah اذا االءمر ضاق اتسع
(Suatu urusan jika meluas, akan menyempit)
Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh harta dengan cara halal sesuai pilihannya.
Namun, pemerintah dapat membekukan rekening atau mengambil harta orang yang tidak
mampu membayar klaim pemerintah, utang pribadi maupun institusi untuk membayar
klaim tersebut dari rekening atau harta yang dibekukan tersebut.
Kaidah بقدرها تقدر الضرورة
(Keadaan darurat itu ditentukan oleh kadarnya)
Namun sesuai kaidah ini maka pemerintah hanya boleh mengambil harta sesuai dengan
klaim yang harus dibayarkannya.
Kaidah بزواله بطل لعذر جاز ما
(Sesuatu yang dibolehkan karena ada alasannya, akan dilarang ketika alasan itu tidak ada)
Misalnya pelarangan yang diberlakukan terhadap orang yang berutang, maka larangan itu
juga akan hilang ketika ia sudah membayar seluruh utangnya.
Kaidah الغىر حق ىبطل ال االضطرار
(Darurat tidak meniadakan hak orang lain)
Darurat tidak dapat menjadi sebab dan justifikasi untuk melanggar hak-hak orang lain.
Misalnya, jika seseorang dipaksa untuk memakan makanan orang lain, maka dia
bertanggung jawab untuk membayar ongkosnya dikemudian hari.
E. Hajat dan Akibatnya
خاصة أو كانت عامة الضرورة منزلة تنزل الحاجة
(Suatu kebutuhan (baik sifatnya pribadi atau umum) bisa dianggap sebagai suatu keadaan
darurat)
Sama halnya dengan darurat yaitu hajat yang menerapkan keringanan terhadap
hukum asal dan memberikan alas an untuk berbeda darinya. Hajat terdiri dari dua jenis,
hajat amah dan hajah khassah. Hajah Khassah adalah kebutuhan yang dihadapi komunitas
tertentu atau orang dari profesi tertentu, seperti kebutuhan yang dihadapi oleh penduduk
Bukharah untuk memperoleh pinjaman lewat penjualan tebusan (redeemable sale).
9
Syatibi mendefinisikan hajat sebagai suatu kepentingan yang kalau dipenuhi akan
menghilangkan kesusahan dan kesulitan, dan kalau tidak dipenuhi akan membuat
hilangnya tujuan-tujuan yang dimaksud. Jadi, jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi,
maka segala sesuatu yang terkait dengan aturan-aturan syariah pada umumnya akan
mengalami kesulitan, tapi hal ini tidak dianggap sebagai suatu penyebab kekacauan yang
diprediksi sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kepentingan yang esensi ini.
Contoh kebutuhan yang selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah
bolehnya kontrak salam (pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman barang
belakangan), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas dasar pesanan), bay’ bil
wafa’ (penjualan dengan hak penebusan), pinjaman, ijarah dan lain-lain.
Aturan-aturan Syariah yang didasarkan Hajat
1. Kontrak Salam
Dalam bahasa Arab, kata Salam artinya memajukan atau mendorong ke muka. Ini
adalah kontrak di mana si pembeli membayar harganya di muka dan pengiriman barang
ditunda hingga waktu yang ditentukan. Jadi bay’ salam adalah penjualan di mana
pembayaran di muka dilakukan kepada penjual untuk penyediaan barang di kemudian hari.
Bay’ Salam adalah suatu transaksi yang lumrah terjadi sebelum periode Rasulullah
SAW dengan struktur yang berbeda. Ketika Rasul hijrah ke Madinah kaum Anshar
menanyakan hukumnya, Rasulullah membolehkannya dengan beberapa syarat. Sesuai
prinsip, penjualan suatu komoditi yang tidak dimiliki oleh penjual tidak diperbolehkan. Ini
dinyatakan Rasulullah sebagai prinsip umum. Jadi praktik Bay’ Salam dilegalkan
pengecualian dari prinsip ini, karena kebutuhan petani dan produsen terhdap uang untuk
mengolah tanaman mereka.
Perbedaan antara Jual-beli Salam dan Jual-beli biasa
(a) Dalam jual-beli Salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam
jual beli biasa tidak diperlukan
(b) Dalam jual-beli Salam, komoditi yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang
dalam jual beli biasa tidak dapat dijual
(c) Dalam jual-beli Salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan
kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual-beli biasa, segala komoditas
yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al-Quran atau Hadits
10
(d) Dalam jual-beli Salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak; yang
dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika
pengiriman barang berlangsung.
2. Kontrak Istisna’
Dalam kontrak ini, seorang produsen setuju untuk memproduksi produk tertentu dengan
karakteristik tertentu yang disepakati sebelumnya. Dengan istisna’, seseorang dapat
menghubungi seorang pembuat sepatu dengan kesepakatan harga tertentu. Kontrak ini
sama seperti Salam, yaitu membeli barang yang belum tidak ada keberadaanya. Namun
objek istisna’ pada umumnya adalah barang-barang yang dideskripsikan oleh klien. Barang
tempahan ini biasanya tidak tersedia di pasar.
Kontrak istisna’ mengikat pihak-pihak yang terlibat jika syarat-syarat tertentu dipenuhi,
termasuk spesifikasi jenis, bentuk, kualitas dan kuantitas barang harus diketahui, jika
diperlukan maka waktu pengiriman harus ditentukan. Jika barang yang yang diterima tidak
sesuai dengan permintaan maka konsumen memiliki hak untuk menerima atau menolak
barang tersebut. Karena sifatnya yang mengikat, maka pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak terlibat dalam kontrak terikat dengan semua kewajiban dan konsekuensi yang
timbul dari kesepakatan mereka. Dengan kata lain, pihak-pihak yang terlibat tidak perlu
memperbaharui ijab-kabul setelah barang itu selesai. Inilah perbedaannya dengan kontrak
murabaha kepada pemesan pembelian, yang menghendaki tanda tangan kontrak jual-beli
melalui ijab Kabul yang baru oleh pihak-pihak yang terlibat ketika kepemilikan barang
yang akan dijual diambil oleh institusi
3. Khiyar al-syart (Persyaratan hak membatalkan kontrak)
“Saya beli barang ini dari Anda, tapi saya punya hak untuk mengembelikan barang ini
dalam tiga hari”. Ini merupakan contoh berupa hak yang disyaratkan oleh satu atau kedua
belah pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat, namun begitu periode
yang disyaratkan berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat ini
tidak berlaku. Konsekuensi dari kontrak ini bahwa hak yang awalnya mengikat menjadi
tidak mengikat lagi. Tujuan dari kontrak ini adalah memberi kesempatan kepada orang
yang menderita kerugian untuk membatalkan kontrak dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
4. Khiyar Al-Ta’yin (hak untuk memastikan)
Contoh dari kontrak ini adalah seorang pembeli yang akan membeli suatu mobil dapat
mencoba tiga dari mobil yang ditawarkan sebelum akhirnya memutuskan mobil mana yang
akan dibeli. Aturan umum, barang yang telah dibeli harus dipastikan ketika kontrak
11
berlangsung, oleh karena itu mazhab Syafi’I dan Hambali tidak membolehkan persyaratan
hak untuk memastikan ini. Penganut mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan hal ini
karena kemungkinan si pembil adalah wakil dari pembeli asli sehingga ia harus
memastikan bahwa barang yang dibeli sesuai dengan keinginan pembeli asli.
Hak ini dibolehkan sebagai pengecualian dari qiyas (aturan umum) melalui istihsan
(prediksi adanya kebaikan) dan pelaksanaannya sangat sempit, yaitu dibolehkan hanya
pada kontrak jual-beli. Menurut mayoritas penganut mazhab Hanafi, hak diberikan kepada
pembeli yang didasarkan atas kebutuhan dan tidak diberikan kepada penjual.
5. Bay’ bil Wafa’ (jual beli dengan tebusan)
Mustafa Zarqa mengklaim bahwa semua ulama mazhab Hanafi sejak abad ke-6 Hijriah
menyetujui keabsahan Bay’ bil wafa. Bay’ bil Wafa’ merupakan suatu jual beli barang
dengan utang pada kreditur dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi peminjam
uang dalam transaksi ini) membayar harga barang atau membayar utangnya, maka si
pembeli harus mengembalikan barangnya kepada pemiliknya. Ibnu Abidin
mengilustrasikan kontrak ini sebagai berikut: “Saya jual barang ini kepada Anda utang
yang saya dengan syarat kapan saja saya bayar utang itu, barang itu harus kembali ke
tangan saya.
Mazhab hanafi membolehkan kontrak ini berpatokan pada prinsip bahwa kebutuhan
umum diperlakukan sebagai darurat dalam meringankan suatu hukum asal. Mazhab
lainnya tidak mengakui keabsahan kontrak ini karena memberi celah hukum bagi si
pemberi pinjaman untuk mengambil manfaat dari barang yang dijaminkan.
6. Kafalah bil-dark
Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan pada kebutuhan Kafalah bil dark. Itu
merupakan jaminan dari penjual, bahwa dia akan mengembalikan harga barang jika barang
itu diambil alih oleh orang lain. Misalnya, seseorang membeli suatu barang dan meminta
penjualnya menjamin pengembalian harga barang itu jika ada orang lain yang mengklaim
sebagai pemilik barang itu, dan sebagai konsekuensinya orang tersebut mengambil
barangnya dari sang pembeli
7. Penggantian harta wakaf
Prinsip umum dari harta wakaf adalah tidak dapat dijual, dihadiahkan, ataupun diganti,
namun dalam kasus jika harta wakaf telah kehilangan manfaatnya dan bahkan
menyusahkan penerima wakaf karena harta tersebut tidak memiliki sumber ekonomi untuk
merevitalisasi ataupun merahibilitasinya. Dalam kasus tersebut, ulama mazhab Hanafi atas
12
dasar kebutuhan dan maslahat, membolehkan penjualan harta wakaf itu sesuai harga pasar
dan membeli lahan lain yang lebih bernilai untuk tujuan wakaf.
8. Bolehnya Hawalah (Penugasan utang)
Prinsip umumnya, pertukaran utang dengan utang tidak diperbolehkan dalam hukum
Islam. Dengan alasan kebutuhan masyarakat dan sebagai pengecualian dari aturan umum,
maka hawalah (penugasan untuk membayar utang dari orang yang berutang kepada orang
lain) telah dibolehkan. Hawalah adalah subtitusi dari satu orang yang berutang kepada
orang lain dengan persetujuan orang yang mengutangkan.
Lane memberikan tiga bentuk transfer ketika membahas sifat dan ruang lingkup
hawalah. Bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:
(1) Transfer klaim utang dengan memindahkan kewajiban dari satu orang ke orang yang
lain.
(2) Transfer utang dengan memindahkan kewajiban seseorang yang mentransfernya
kepada seseorang yang ditransfer.
(3) Suatu pesanan untuk membayar utang atau sejumlah uang kepada orang lain, yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain.
Keabsahan Hawalah
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah (ra) bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Menghindari
dan menunda (pembayaran utang) bagi orang kaya adalah suatu kezaliman. Jika utang
ditransfer kepada orang kaya, maka orang kaya tersebut (penerima transfer utang) harus
dikejar pembayarannya.
Diriwayatkan oleh Ibn Umar (ra); menghindari dan menunda (pembayaran utang) bagi
orang kaya adalah suatu kekejaman. Jika utang ditransfer kepada orang kaya, maka si
orang kaya itu harus diikuti.”
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hadits-hadits ini adalah:
(1) Boleh mentransfer utang seseorang dari satu orang ke orang lain
(2) Orang yang menerima transfer harus diminta membayar karena dia menggantikan
posisi orang yang berutang
(3) Setelah transfer dilakukan maka orang yang berutang tidak dikenakan kewajiban
membayar utang kepada orang yang mengutangkan, karena dia mentrensfer utang
demi keamanan.
(4) Transfer utang dari orang yang berutang kepada orang yang menerima transfer
utang harus disepakati oleh semua pihak: orang yang berutang, yang member utang
dan yang menerima transfer utang
13
(5) Orang yang menerima utang harus menerima penugasan utang dan mengejar
pengutang baru untuk mengutip utangnya sepanjang penugasan itu diberikan kepada
orang yang mampu.
F. Kesimpulan
Merangkum pembahasan tentang darurat dan hajat, dapat disimpulkan bahwa darurat
adalah kepentingan yang sangat krusial dalam urusan agama dan sehari-hari. Sesuatu yang
menyimpang daripada hal tersebut akan menyebabkan kerusakan di muka bumi. Hajat di
sisi lain mementingkan aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kesulitan, supaya hokum tersebut dapat diikuti tanpa menyebabkan kerusakan ataupun
bahaya.
Referensi:
Terjemahan Al-Quranul Karim, Depag
Sarwat, Ahmad, “Seri Fiqih Kehidupan (1) Ilmu Fiqih, 2011, DU Publishing: Jakarta
Mansoori, Tahir Muhammad, Kaidah-kaidah Fiqih, Keuangan dan Transaksi Bisnis, 2010,
Ulil Albaab Institute: Bogor
14
Top Related