Makalah Andika Ya
-
Upload
diajeng-dara-rahmi-asrita -
Category
Documents
-
view
13 -
download
2
description
Transcript of Makalah Andika Ya
1
MAKALAH
HUKUM ACARA PERDATA
TENTANG PENGERTIAN HUKUM PERDATA
oleh :
Nama : R. ANDIKA ARDIANSYAH
Nim : 12150046
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEHAJARAN 2012/2013
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalahkami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kemudian shalawat dan salam kami sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang dengan izin Allah telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu bahan penunjang materi pembelajaran “Hukum Acara Perdata ”.
Melalui makalah ini kami mencoba memberikan materi tentang hukum acara perdata yang kami ambil dari sumber buku. Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada bapak APRILIAN, S.H. atas kesediaan beliau untuk menjadi Dosen kami, dan kepada teman-teman sekalian yang selalu membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca semua.
Sebagai manusia biasa, kami meminta maaf atas ketidak sempurnaan makalah ini. Oleh karenaitupula, kritik dan saran dari para pakar, senior, teman sejawat, dan pembaca lainnya akan kami terima dengan senang hati.
Hormat Kami,( Penulis )
R. ANDIKA ARDIANSYAH
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………….……………………....
Daftar Isi ......................................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan ................................................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................
C. Manfaat penulisan................................................................................................................. BAB II
Pembahasan………..…........…………………………………………………………........……
2.1 Pengertian Hukum Acara Perdata.........................................................................................
2.2 Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia.............................................................
2.3 Pembuktian.......................................................................................................................
2.4 Asas-Asas Dalam Hukum Acara Perdata.................................................................................
2.5 Sifat/Karakteristik Hukum Acara Perdata...............................................................................
BAB III
Penutup.......................................................................................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................................
4
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan untuk hidup bersama dengan
manusia lainya serta bersama mahluk dan lingkungan sekitarnya untuk bermasyarakat dan menjaga
hak dan kewajibanya atas diri dan sesama. Dalam hidup bermasyarakat ini mereka saling menjalin
hubungan yang sifat dan jumlahnya tidak terhinga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka saling bertentangan, yang kadang
menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk
mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh
setiap angota masyarakat. Sehingga kepentingan angota masyarakat lainya akan terjaga dan
terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan diberikan
sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan kepentingan disini adalah hak-hak dan kewajiban
perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat bagaimana caranya
orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya pihak yang terserang kepentinganya
mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil,
bagaimana melaksanakan keputusan hakim yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban
yang telah diatur dalam hukum perdata materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga
terwujud tegaknya hukum dan keadilan.
Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting, karena adanya hukum
acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum bahwa setiap orang berhak
mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan
pelangaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut
melalui pengadilan. Selain itu hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan,
mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui
perantaraan peradilan. Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kita tarik dari latar belakang diatas adalah :
5
Apa Pergertian dari Hukum Acara Perdata, sifat-sifat, dan azas-azasnya, kemudian sejarah singkat
hokum acara perdata di Indonesia
1.3. Manfaat Penulisan
Dalam segala hal yang di buat manusia pasti mempunyai tujuan yang akan di ingin di capai.
Begitu pula dengan makalah ini. Makalah ini mempunyai tujuan di antaranya: Untuk mengetahui
secara mendetail mengenai Hukum Acara Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan
hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk
membahas dalam makalah ini.
Berikut adalah beberapa pengertian Hukum Acara Perdata menurut beberapa pakar,
Pada dasarnya semua artian atau pengertian dari pada Hukum Acara Perdata memang searah,
maksud dari searah itu nyaris sama karena memang satu tujuan/ untuk satu arti. Berikut
pemaparannya:
a. Menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
b. Menurut Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah
hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
• Hukum formil atau hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan
atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum
dalam hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.
6
• Hukum Acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan oleh
undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan dan kemudian
diputuskan oleh pengadilan.
• Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan
negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil
itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
2.2. Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus tentang
Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan,
tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan
Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit penambahan dan perubahan yang ti ak begitu berarti.
Sementara itu. Mr. H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang berkeduclukan & Batavia (sekarang Jakarta) melarang dalam
praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan golongan
Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan aturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan hal tersebut terjadi kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk
golongan Bumi Putra. sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum
acara khusus yang diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim
dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal 5
Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan untuk menyusun sebuah
reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan pribumi
atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku Stb.1819 No. 20 yang memuat 7
(tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan
dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada tanggal 6
Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen
untuk dibahas lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung
Hindia Belanda pada waktu itu. Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia
Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers
itu terlalu sederhana, mereka menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya
ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana
yang terdapat pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don
Abdul Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
7
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas penambahan
sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang
dipergunakan untuk golongan Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di
Jakarta, Semarang dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya
dilarang dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung
penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang
dibuat itu ditambah sebagaimana yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang
diberlakukan seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konse-D rancangan itu
ditambah lagi dengan hat-hat yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan
konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi malah akan menjadi kabur dan tidak
terang lagi rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran
dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat
(2) dirubah, kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum
yang mengatur berbagai aturan termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana
tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang sangat penting karena
dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk golongan
Bumi Putra, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakanketentuan
lain dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan d1an penambahan sebagaimana tersebut di atas, akhirnya
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5 April 1848 menerima rancangan
Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara
resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan "Reglement Op de Uitoefening Van
de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch
Reglement" (IR). Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda
dengan firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement
ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi), juga diperuntukkan bagi
golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur
Asing itu kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir Muhammad, SH.:
1978: 21).
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa kali terjadi
perubahan. Perubahan penama dilaksanakan pada tahun 1926 yang merubah dan
menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang kemudian dirumuskan
8
dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua dilaksanakan pada tahun 1941.
perubahan ini sangat mendasar sehubungan di bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung di bawah
Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-
pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga tersebut menyangkut soal-soal pidanasehingga perlu
diatur juga tentang acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat
mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia
'Wandsch reglement" diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement"
disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari Reglement
Indonesia yang di:perbaharui. Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan
dengan Stb. 1941 No. 44.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1942
pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan
Madura memberlakukan ketentuan yang mengatakanbahwa semua Badan
pemerintah dan kekuasannva Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu
tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer. Atas dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap
berlaku. Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon
mengeluarkan peraturan Baru tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan yaitu yang
membentuk suatu P e n g a d i l a n u n t u k t i n g k a t p e r t a m a y a n g H o o i n . dan
Kootoo Hoon untuk pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua macamPeradilan tersebut
di peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan orang,
kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan di
hapusnya Raad Van Justitie dan Residentie Gerech, dengan sendirinya Hukum Acara yang
termuat dalam B.R%-. juga tidak berlaku lagi kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum
sepanjang diperlukan sedangkan dalam HIR dan R. Bg. juga tidak diatur.
(Wirjono Projodikoro : 1-962; 25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 kondisi yang
be r laku pada zaman pen ja jahan Jepang t e t ap be r l aku berdasarkan Aturan
Peralihan pasal II dan IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap
berlaku sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan sipil yang
9
diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun
1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus dipedomani
dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung RI.
2.3. Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana dan
apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini,
pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya
dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.
Kebenaran yang diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan
yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui
oleh hakim.
2.4. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam
mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
1. Asas Hakim Aktif
Hakim sebagai tempat pelarian bagi para pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu
akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Seorang hakim
diharapkan dapat memberi pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan
martabatnya serta berwibawa, dan juga memiliki sifat yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata
(burgelijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara
(Supomo, 1985:13). Berhubung dengan tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali
dipersoalkan mengenai seberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam
memutus perkara.
2. Asas Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat aktif, juga memilik sifat pasif, akan tetapi hanya dalam
arti kata bahwa dalam ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh
hakim (Sudikno Mertokusumo, 1988: 11).
Pengertian pasif diatas adalah yang dianut oleh sistem hukum acara perdata dalam
HIR/RBg, akan tetapi pengertian pasif menurut regelement rechtsvordering agak berbeda,
yaitu bahwa proses beracara adalah soal kedua belah pihak yang berperkara, yang memakai
proses itu sebagai alat untuk menetapkan saling hubungan hukumnya dikemudian hari, baik
10
posistif maupun negatif, sedangkan hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan
acara yang ditetapkan dengan undang-undang dituruti oleh kedua belah pihak (Supomo,
1985:18)
3. Asas Terbukanya Pengadilan
Peraturan hukum acara perdata seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat
yang fleksibel dan terbuka, sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang hukum
perdata materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat (Abdulkadir Muhamad, 1990:24).
Menurut K. Wantjik Saleh (1981:13), dalam mencontoh lembaga hukum itu,
pengadilan menerapkan suatu “ciptaan sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum
yurisprudensi”, jadi tanpa menyebutkan pasal-pasal dari regelement tersebut. Asas
terbukanya sidang pengadilan telah diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yang
menentukan: sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali Undang-
Undang menentukan lain (Pasal 18 ayat 1 UU No. 5 tahun 2004).
4. Asas Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengarkan bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar dikenal
dengan asas “audi et alteram partem atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man
soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg) (Sudikno
Mertokusumo, 1988:12).
5. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya
kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian hakim tetap memeriksa
sengketa yang diajukan, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasanya
(Sudikno Mertokusumo, 1988:16).
2.5. Sifat/Karakteristik Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana
(tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
11
mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis sepanjang
tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa (kata “merasa” perlu digaris bawahi)
haknya dilanggar berhak untuk menuntut di pengadilan atau orang yang “dirasa” melanggar
hak dituntut dipengadilan. Dengan kata “merasa” dan “dirasa” ini menunjukan bahwa belum
tentu orang tersebut dilanggar haknya dan melanggar hak orang lain.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut dengan Penggugat. Sedang orang yang
dirasa melanggar hak Penggugat dan ditarik sebagai pihak dimuka pengadilan disebut sebagai
Tergugat.
Apabila dalam satu perkara terdapat banyak Penggugat, maka disebut dengan
Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Penggugat.
Demikian juga dengan Tergugat disebut dengan Tergugat I, Terugat II dan seterusnya yang
kesemuanya disebut dengan Para Tergugat.
Sedangkan apabila terdapat pihak yang dalam praktek disebut dengan Turut Tergugat
yang merupakan pihak yang tidak menguasai barang sengketa tapi harus diikutsertakan untuk
melengkapi gugatan dan biasanya hanya berkewajiban untuk mematuhi isi putusan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum formil atau hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan
atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum
dalam hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.
hukum acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan oleh
undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan dan kemudian
diputuskan oleh pengadilan.
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan
negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil
itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak
formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempergunakan
hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
13
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang Udang Hukum Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)
Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta