Makalah 2 Ham

download Makalah 2 Ham

of 17

description

makalah 2 hzm

Transcript of Makalah 2 Ham

BAB IPENDAHULUAN

Diskusi kami berlangsung 4 jam, dibagi dalam 2 sesi pertemuan diskusi. Diskusi bertempat di Ruang Diskusi 205 lantai 2 Kampus B Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Diskusi diikuti oleh empat belas orang mahasiswa. Diskusi sesi 1 yang dilaksanakan pada hari Kamis, 27 Juni 2013 pukul 10.00 11.00 WIB dengan ketua Hidris Damanik dan sekretaris Dira Megiani Rosti, serta tutor Prof. dr. Murad Lesmana, SpMK. Diskusi dilanjutkan pada sesi kedua yang jatuh pada hari Selasa, 02 Juli 2013 Pkl 08.00 09.00 WIB dengan ketua Disa Edralyn dan sekretaris Dira Megiani Rosti, serta tutor Prof. dr. Murad Lesmana, SpMK. Pada diskusi sesi 1 dan 2, semua peserta diskusi aktif dalam berkontribusi selama diskusi berjalan.

BAB IILAPORAN KASUS

Sesi 1

Tuan B, 65 tahun, dibawa keluarganya ke UGD RS Trisakti dengan keluhan utama adanya penurunan kesadaran secara mendadak. Satu hari sebelum dibawa ke RS, ketika hendak mengendarai motornya tiba-tiba terjatuh karena sisi kanan tubuhnya menjadi lemas. Sejak itu, kesadarannya menjadi semakin menurun. Dokter segera melakukan pemeriksaan dan direncanakan segera dilakukan CT Scan kepala.

Dari anamnesis keluarga diperoleh informasi bahwa pada pasien ada riwayat hipertensi sejak setahun yang lalu, dan pasien tidak kontrol teratur. Tidak terdapat riwayat stroke, kencing manis, penyakit jantung, maupun trauma kepala sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:Kesadaran:ApatisPemeriksaan Neurologis

Tek. darah:160/80 mmHgKesadaran:Somnolen

Nadi:86x/menitGCS:E3M5V3

RR:20x/menitPupil:bulat, isokor

Suhu:35,5 0Cdiameter 3/3

refleks cahaya langsung +/+

Generalis:DBNref. chy. Tak lgsg +/+

Rangs. Mening.:tidak ada

Pada pemeriksaan nervus kranialis, didapatkan paresis nervus VII dekstra, sentral. Status motorik: kesan hemiplegi kanan, dengan refleks fisiologis (+2) dan refleks patologis -/- pada keempat ekstremitas. Status sensorik belum dapat dinilai, sedangkan status otonom, pasien dipasang kateter urin. Hasil CT scan kepala menunjukkan perdarahan intraserebral pada ganglia basal sinistra dengan volume 20 cc, disertai pendorongan ventrikel lateral kiri, serta pergeseran garis tengah.

Pada pasien, ditegakkan diagnosis kerja: obervasi penurunan kesadaran, parevis nervus VII kanan, sentral, hemiplegi kanan akibat stroke hemoragik. Pasien dirawat di unit perawatan intensif, diberikan obat-obatan untuk mengatasi keadaan dan dikonsulkan ke unit bedah saraf. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, diindikasikan untuk dilakukan tindakan kraniotomi pro evakuasi perdarahan. Dokter kemudian memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang indikasi, manfaat, dan resiko prosedur tindakan ini. Pada saat itu, keluarga langsung setuju agar pasien segera menjalani kraniotomi.

Sesi 2

Setelah dokter melakukan tindakan untuk mempersiapkan operasi, dalam beberapa jam kemudian kesadaran pasien tampak semakin membaik, bahkan cenderung compos mentis (Glasgow Coma Scale E4M6V5). Atas permintaan pasien, diberikan penjelasan ulang tentang kondisi pasien, tatalaksana yang telah dilakukan, serta perencanaan operasi kraniotomi untuk evakuasi perdarahan, dengan segala manfaat dan resikonya ketika pasien mengetahui bahwa ia akan menjalanka operasi kraniotomi, pasien menolak dan mengatakan ia baik-baik saja dengan diberikan terapi konservatif tanpa operasi. Bahkan akhirnya pasien sendiri memutuskan untuk menandatangani surat penolakan tindakan. Setelah mengetahui pasien menolak operasi, keluarga sangat menyesalkan tindakan dokter yang telah menjelaskan prosedur dan resiko operasi langsung pada pasien. Akibat penjelasan itu, pasien menjadi ketakutan dan tidak rasional lagi dalam mengambil keputusan untuk menolak operasi. Keluarga meminta agar pasien diberi obat penenang, lalu dibius dan segera dilakukan operasi. Surat persetujuan operasi ditandatangani oleh keluarga, sedangkan surat penolakan tindakan yang ditandatangani pasien dinyatakan tidak berlaku dengan adanya surat persetujuan operasi baru yang ditandatangani keluarga.

BAB IIIPEMBAHASAN

A. IDENTITASNama: Tn. BUmur: 65 tahunAlamat: -Agama: -Pekerjaan: -Keluhan utama: Penurunan kesadaran secara mendadakKeluhan tambahan: Sisi kanan tubuhnya menjadi lemas ketika hendak mengendarai motorRiwayat penyakit dahulu: Hipertensi selama setahun dan tidak terkontrol

B. MASALAH Pasien datang dengan penurunan kesadaran dan dilakukan tindakan sesuai prosedur, lalu dokter menyarankan untuk pengambilan tindakan kraniotomi sebagai terapi, dengan persetujuan keluarga dikarenakan pada saat itu pasien tidak kompeten untuk memberikan persetujuan tindakan medis. Setelah pasien sadar penuh dan diberikan penjelasan tentang kraniotomi secara lengkap beserta risiko, pasien menolak tindakan tersebut, tetapi keluarga memaksa dan bahkan membuat surat persetujuan baru dan menganggap surat penolakan oleh pasien tidak berlaku.

C. INFORMED CONSENTSebelum melakukan tindakan, setiap dokter wajib untuk memberikan penjelasan mengenai apa yang akan dilakukan. Dokter harus menjelaskan sejelas-jelasnya, bahkan sampai kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Penjelasan ini bisa diberikan baik kepada pasien itu sendiri, maupun yang mewakili. Perwakilan bisa terjadi jika pasien dalam keadaan tidak kompeten. Setelah pasien mendapat penjelasan dan mengerti mengenai apa yang dijelaskan, pasien atau perwakilannya berhak memutuskan apakah tindakan tetap dilakukan atau tidak.Kriteria yang menyatakan bahwa seorang pasien dianggap kompeten antara lain adalah:1 Sudah berusia 21 tahun ke atas atau sudah menikah. Sadar penuh (compos mentis) Sehat secara mental, tidak didapatkan keterbelakangan mental.

Bila salah satu kriteria di atas tidak terpenuhi, maka pasien dianggap tidak kompeten dan tidak berhak mengambil keputusan medis atas dirinya sendiri.

Doktrin informed consent tidak berlaku pada lima keadaan, yaitu keadaan darurat medis, ancaman terhadap kesehatan masyarakat, pelepasan hak memberikan consent, clinical privilege, dan pasien yang tidak kompeten memberikan consent.2

Pada kasus ini, pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga penjelasan diberikan kepada keluarga pasien. Dokter sudah melakukan informed consent dengan benar dan keluarga pun sudah menyetujui untuk dilakukannya kraniotomi tersebut. Tetapi, setelah pasien sadar penuh, perlu dilakukan evaluasi terhadap status mental terlebih dahulu untuk memastikan bahwa pasien benar-benar kompeten untuk mengambil keputusan penolakan tindakan medis tersebut, dan jika pasien memang kompeten, maka keluarga tidak berhak untuk membatalkan surat penolakan tersebut berdasarkan hak otonomi yang dimiliki pasien.

D. SUDUT PANDANG HUKUM, AGAMA, MORAL, DAN ETIKA

Sudut pandang hukumSeperti yang sudah dibahas sebelumnya, pada kasus ini perlu dilakukan tinjauan ulang tentang kompetensi pasien untuk menentukan sah atau tidaknya surat penolakan tindakan medis yang ditandatangani pasien di mata hukum. Menurut hukum, apabila pasien memenuhi kriteria yang menyatakan bahwa dirinya kompeten, maka pasien lah yang memegang otoritas penuh tentang keputusan yang akan dibuat mengenai dirinya sendiri. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008, Pasal 13 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan medik diberikan oleh pasien yang kompeten, ataupun keluarga terdekat pasien. Kompetensi pasien haruslah dapat ditentukan oleh dokter yang bersangkutan sebelum tindakan dilakukan. Apabila didapatkan keraguan persetujuan oleh pasien maupun keluarganya, persetujuan ulang dapat dilakukan.3Peran dokter disini sudah jelas, yaitu harus melakukan evaluasi ulang terhadap status pasien secara keseluruhan untuk menghindari adanya kesalahan yang dapat terjadi pada kasus ini.

Sudut pandang etika Ditinjau dari dua sudut pandang etika, yaitu teleologi dan deontologi. Pada sudut teleologi yang menilai baik-buruknya perbuatan dari hasil atau akibatnya, maka tindakan pembatalan surat penolakan tindakan medis tersebut dapat dinilai baik dari segi teleologi, karena tujuan akhirnya adalah berpihak pada kehidupan atau menyelamatkan kehidupan pasien dan memberikan terapi yang lebih baik dibandingkan terapi konservatif yang dipilih pasien.Ditinjau dari segi deontologi, yang menilai baik-buruknya perbuatan dari perbuatan itu sendiri, tindakan pembatalan surat penolakan tindakan medis dan bahkan keinginan keluarga untuk memberikan obat penenang dan membius pasien untuk melakukan tindakan kraniotomi adalah buruk. Apabila ditinjau dari segi ini, sudah jelas bahwa dokter tidak boleh memaksa pasien dan mengikuti keinginan keluarga yang jelas-jelas bertentangan dengan hak otonomi pasien, walaupun maksudnya baik. Berdasarkan 4 kaidah dasar moral yang digunakan dalam etika kedokteran, maka dijabarkan sebagai berikut:1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien.2 Ini adalah prinsip yang paling utama yang harus dipegang dan prinsip yang mendasari lahirnya informed consent. Pada kasus ini, pasien menolak dilakukan kraniotomi dan memilih untuk melakukan terapi konservatif, dan pasien juga sudah menandatangani surat penolakan tindakan. Surat penolakan akan berlaku sah di mata hukum apabila pasien merupakan pasien yang kompeten. 2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujuakn demi kebaikan pasien, termasuk juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya.2 Pada kasus ini, kraniotomi memang lebih dianjurkan untuk pasien ini walaupun merupakan suatu tindakan invasif dan berisiko, namun tujuan dan manfaatnya lebih besar dibandingkan terapi konservatif. 3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.2 Pada kasus ini, tindakan dokter sudah benar dengan melakukan langkah-langkah perawatan pada pasien sesuai dengan prosedur dan tidak memperburuk keadaan pasien.4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap maupun mendistribusikan sumber daya,2 tidak dilanggar pada kasus ini.

Sudut pandang moralKewajiban moral seorang dokter adalah sebagai berikut:1. Kewajiban menghormati kehidupan.2. Kewajiban mencegah perbuatan bunuh diri.3. Kewajiban melindungi pihak ketiga.4. Integritas etis profesi dokter.Pada kasus ini, ditinjau dari segi moral, memang harus dilakukan tindakan terbaik bagi pasien. Dokter sudah bertindak dengan benar dan sesuai prosedur yang berlaku. Dokter juga sudah menjelaskan tindakan yang akan dilakukan secara lengkap pada pasien, sehingga tidak melanggar kewajiban moral seorang dokter. Untuk pelaksanaan tindakan, dikembalikan lagi pada hak otonomi pasien apakah akan dilakukan tindakan atau tidak.

Sudut pandang agama Agama IslamMenurut fiqih, segala sesuatu yang bermanfaat itu diperbolehkan. Firman Allah dalam surat Al Maidah: 32, Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dalam ayat ini, Allah memuji orang yang berusaha menyelamatkan jiwa dari kematian dan pada kasus ini, kraniotomi adalah tindakan yang bermanfaat untuk keberlangsungan hidup pasien.Fiqih kedokteran juga menyatakan bahwa tidak boleh mengutamakan tindakan yang samar-samar daripada yang jelas-jelas lebih bermanfaat. Pada kasus ini, kraniotomi lebih memberikan manfaat yang baik dibandingkan terapi konservatif saja. Sehingga, ditinjau dari segi agama Islam, tindakan kraniotomi lebih dipilih dilihat dari manfaatnya.

Agama Kristen dan KatolikPada ajaran Kristiani, tidak ada ajaran yang berasal dari alkitab yang menentang maupun mengatur permasalahan yang ada pada kasus ini. Namun, secara iman Kristen, terdapat berbagai pandangan dan ajaran yang dapat dijadikan acuan pengetahuan umum bagi dokter. Pada Amsal 3:5-6 tertulis, Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Ayat tersebut adalah salah satu ayat yang menggambarkan bagaimana manusia harus menyerahkan diri secara penuh kepada Allah. Pada kasus ini, pasien yang memilih untuk menjalankan terapi konservatif, tidak ada larangan. Pada keluarga pasien, menurut iman Kristen, maka dapat dijelaskan bahwa sebagai penganut ajaran Kristiani manusia tidak boleh bersandar pada pengertian sendiri dan harus berserah penuh kepada Allah dan percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Kehendak pasien dalam kasus ini harus dihargai sebagai kehendak bebas seorang manusia, dan apabila akan terjadi kematian sebagai hasil akhir, keluarga dapat melihat hal ini sebagai sebuah rencana Tuhan yang terbaik dan tetap menghormatinya, dan yang terpenting adalah sudah dilakukan penanganan semaksimal mungkin sesuai dengan kasus yang dihadapi. Dari sudut pandang Kristen pun, kematian dianggap sebagai upah dosa, dimana semua manusia pasti akan menghadapi kematian, dan kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebagai suatu permulaan dari kebangkitan bersama Kristus.

Agama HinduDalam sudut pandang agama Hindu, pengobatan secara medis diperbolehkan, namun sebaiknya pengobatan dibarengi dengan pengobatan secara rohaniah, memohon kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) serta doa-doa dari umat Hindu yang dapat melaksanakan pengobatan secara semadi baik jarak dekat dan jarak jauh. Dalam sudut pandang agama Hindu pun sakit harus dipandang berkaitan dengan hukum karma, bukannya sebuah kutukan Tuhan. Dokter dan petugas kesehatan juga hendaknya berusaha melaksanakan tugas dan kewajiban dengan memberikan bantuan pengobatan serta perawatan dengan sabar.Pada kasus ini, apabila pasien melakukan penolakan, maka dalam agama Hindu dikatakan sebaiknya dilakukan perundingan tiga pihak, apabila pasien tetap menolak, maka keinginan pasien harus dihormati.

Agama BuddhaDalam ajaran agama Buddha dikatakan bahwa menolong orang sakit, cacat, dan menderita adalah kamma baik, jasanya setara dengan menolong Sammasambuddha, dimulai dengan niat yang baik, dilakukan dengan bijaksana dan dengan cara yang benar. Berbagai macam cara menolong antara lain adalah berusaha untuk mengurangi atau meringankan penderitaan makhluk lain, dan menganjurkan agar rela menerima segala yang datang, namun tetap optimis. Dalam ajaran Buddha juga tidak diperbolehkan sama sekali untuk membunuh dan letting die (membiarkan mati secara alamiah tanpa melakukan penanganan apa-apa).

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA

A. Status Pengampuan menurut Hukum Perdata

Pengampuan atau curatele dapat dikatakan sebagai lawan dari Pendewasaan (handlichting). Karena adanya pengampuan, seseorang yang sudah dewasa (meerderjarig) karena keadaan-keadaan mental dan fisiknya dianggap tidak atau kurang sempurna, diberi kedudukan yang sama dengan seorang anak yang belum dewasa (minderjarig).

Menurut ketentuan Pasal 433 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu:1. keborosan (verkwisting)2. Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen)3. Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan dungu disertai sering mengamuk (razernij).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 436 Burgerlijk Wetboek, yang berwenang untuk menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang akan berada di bawah pengampuan. Sedangkan menurut Pasal 434 Burgerlijk Wetboek, orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengampuan adalah:1. Untuk keborosan oleh setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke samping sampai derajat ke-4 dan istri/suaminya.2. Untuk lemah akal budinya oleh pihak yang bersangkutan sendiri apabila ia merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri.3. untuk kekurangan daya berpikir oleh:a. setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau suamib. jaksa, dalam hal ia tidak mempunyai istri atau suami maupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia.

Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus. Sedangkan orang yang menjadi pengampu disebut curator. Pengampuan mulai berlaku sejak hari diucapkannya putusan atau ketetapan pengadilan.3

B. Hal Persetujuan Tindakan MedikDalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008, Pasal 13 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan medik diberikan oleh pasien yang kompeten, ataupun keluarga terdekat pasien. Kompetensi pasien haruslah dapat ditentukan oleh dokter yang bersangkutan sebelum tindakan dilakukan. Apabila didapatkan keraguan persetujuan oleh pasien maupun keluarganya, persetujuan ulang dapat dilakukan.2

Meskipun demikian, pasien dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang telah ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.

Otoritas yang dimaksud di sini termasuk hak untuk menolak perawatan medis. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.

Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi di mana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan:1. Jika keluarga dekat setuju2. Jika memang menurut medis perlu penatalaksanaan segera3. Jika tidak dilarang oleh undang-undang.4

C. Informed consentInformed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.2Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:1. Threshold elementsPemberi konsen haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disisni diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Secara hukum seseorang dianggap cakap atau kompeten adalah apabila telah dewasa, sadar, dan berada dalam keadaan mental yang tidak dibawah pengampuan2. Information elementsElemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure yaitu pengungkapan dan understanding yaitu pemahaman. Informasi yang baik harus diberikan agar pasien mencapai pemahaman yang adekuat. Baiknya informasi dilihat dari 3 standar yaitu standar praktek profesi, standar subyektif, dan standar reasonable persom3. Consent elementsElemen ini juga terdiri dari dua bagian yaitu voluntariness yaitu kesukarelaan, kebebasan dan authorization yaitu persetujuan. Consent dapat diberikan dengan dinyatakan secara lisan atau tertulis, dan tidak dinyatakan. Pasien tidak menyatakan secara lisan atau tertulis namun melakukan tingkah laku atau gerakan yang menunjukkan jawabannya.

D. KraniotomiKraniotomi adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater. Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea.INDIKASI OPERASI1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.4. Kontra indikasi operasi (tidak ada)5. Diagnosis Banding6. Hematom intracranial lainnya7. Pemeriksaan Penunjang8. CT Scan kepala

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKProsedur diagnostik praoperasi dapat meliputi : (Doenges, Marilynn.E, 1999)1. Tomografi komputer (pemindaian CT)Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.2. Pencitraan resonans magnetik (MRI)Sama dengan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain. 3. Electroencephalogram (EEG)Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis4. Angiografy SerebralMenunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma5. Sinar-XMendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid9. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.KOMPLIKASIa. Kejang b. Edema pulmonal c. Kebocoran cairan serebrospinal d. Peningkatan tekanan intrakranial e. Herniasi otak f. Kegagalan pernafasan BAB VKESIMPULAN

Pada kasus ini, didapatkan pasien pasca stroke usia 65 tahun yang menolak tindakan kraniotomi untuk mengevakuasi perdarahan intrakranial pada pasien. Pada saat pasien datang ke UGD, pasien jatuh dalam keadaan penurunan kesadaran sehingga keputusan tindakan medis dialihkan pada keluarga terdekat. Setelah dilakukan penanganan sesuai prosedur, dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan kraniotomi. Keluarga terdekat setuju untuk melakukan tindakan kraniotomi dengan tujuan yang baik bagi kesehatan pasien. Setelah pasien sadar penuh, ternyata pasien menolak untuk dilakukan kraniotomi setelah dokter melakukan penjelasan lengkap tentang kraniotomi beserta komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi. Pasien bahkan menandatangani surat penolakan tindakan medis. Tetapi, keluarga menganggap bahwa pasien tidak kompeten dalam memberikan keputusan sehingga membuat surat persetujuan tindakan medis baru dan menganggap surat penolakan tersebut batal.Sebagai dokter, yang harus dilakukan pada kasus ini pertama-tama dan paling penting adalah memastikan kompetensi pasien, apakah pasien benar-benar dapat mengambil keputusan medis secara rasional dan memenuhi syarat di mata hukum. Dapat dilakukan evaluasi status mental maupun evaluasi status generalis, dan apabila pasien memang kompeten, maka keputusan yang akan dilakukan adalah keputusan pasien, karena pasien memiliki hak otonomi untuk menentukan tindakan medis yang akan dilakukan bagi dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Panduan Etika Medis. Available at: http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_manual_indonesian.pdf. Accessed on July 2, 2013. 2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005. p. 31, 79-84. 3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 tahun 2008, pasal 13, ayat 1-3.4. Prawirohamidjojo RS, Pohan M. Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht). Surabaya: Airlangga University Press; 1991. p. 237.5. Informed Consent. Available at: http://informedconsent_a1.webs.com/informedconsent.htm. Accessed on June 28, 2013.

2