Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam ...
Makalah Ham Hukuman Mati
-
Upload
floreanhartungilotisna -
Category
Documents
-
view
99 -
download
0
description
Transcript of Makalah Ham Hukuman Mati
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangPenelusuran historis dan pentakrifan (pemberitahuan) paham
HAM itu harus dimulai dengan memfokuskan penelahan terhadap suatu
periodesasi awal sejarah perkembangan HAM itu sendiri. Kajian ini
berguna untuk membantu kita agar memverifikasi, dan mentataurutkan
keseluruhan silsilahnya, guna mempermudah pentransmisiannya agar
tidak mengalami penceceran dalam proses pengejewantahnya, dari satu
konteks pemahaman periodik ke sistematika pemahaman komperhensif
yang utuh tentang pengakuan HAM sebagai ideology universal (total)
bukanya yang particular. Ide ini merupakan parameter untuk mengukur
derajat perkembangannya pemahaman dan pemenuhan HAM itu
bersesuaian dengan dimensi perubahan zaman. Ini salah stau fakta
mendasar dalam kehidupan manusia dan harus di kaji, dan dipertahankan
terus-menerus dalam pikiran kita.
Sebagai sejarah dunia, ia merupakan risalah kompleksitas dari
proses perjalanan akan kesadaran diri dan kebebasan manusia untuk
memperjuangkan jatri diri dan pemenuhan kemartabatannya. Pada
periode 1215 kekuatan bangsawan berhasil mendesak raja-raja di inggris
untuk segera memberikan Magma Charta Libertatum sebagai wujud
realisasi berbagai tuntutan-tuntutan rakyat. Kekuatatan kolektif kaum
bangsawan ini di pedomani oleh volume dan dinamika konflik yang
berkepanjangan yang terjadi pada level aristokrasi berhadapan dengan
kalangan feodalis (para raja) hampir selama empat puluh kemudian
bermuara pada penandatanganan dokumen ini di dekat istana Windsor.
Peristiwa ini memiliki nilai historis yang sangat menumental dalam
“sejarah dunia” umat manusia. Di balik ini termasuk pengakuan paham
hitoris HAM, karana ia memiliki postulat pokok dan merupakan dokumen
1
pertama Hak Asasi Manusia yang relative konstruktif, tertata dan pada
prinsip-prinsipnya menghargai sekaligus melindungi hak-hak individu.
Dalam paham HAM bahwa hak itu tidak dapat dihapus atau
dinyatakan hilang dan tidak belaku oleh negara. Negara dapat saja
mengakui hak asasi itu, sehingga hak asasi itu tidak dapat dituntut di
depan hakim. Dalam perkembangannya, paham ini menyatu dengan satu
tesis filosofis john locke dalam toleransi religius, yang berp0edoman
bahwa semua manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah
(natural right) yang tidak dapat dipisahkan, diantaranya adalah hakatas
hidup, hak kemerdekaan dan milik, dan juga untuk mengusahakan
kabahagiaan. Hahk-hak ini tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia
sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru itulah, yang
menentukan bahwa hak-hak tetapa dimiliki dan melekat dalam diri
manusia. Suatu negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki
manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa martabat manusia belum
diakui secara sepenuhnya dalam negara itu. Inilah prinsip dasar
pemahaman akan hak asasi manusia. Melalui hak asasi itu, tuntutan
moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukup positif. Melihat
silsilah dokumen politik HAM ini, dapatlah digambarkan bahwa teks-teks
ini bukanlah hanyadikodifikasikan pertama kali di inggris, bahkan juga
dikodifikasi juga pada deklarasi Amerika (1776-1789) dan deklarasi
Prancis (1789), dengan secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi
khusus tentang manusia dan masyarakat. Dan ini dijadikan pedoman bagi
setiap pernyataan tentang pengagungan hak alamiah manusia itu. Bagi
deklarasi-deklarasi ini, “manusia” dapat dikatakan manusia bila ia telah
memenuhi kriteria pokok terhadap pengakuan hak-hak yang dimilikinya.
Keutuhan hak-hak alamiah itu melekat dalam diri manusia sebagai sati
kesatuan yang utuh dalam eksistensi dan kemartabatannya, sehinjgga ia
tidak bisa diganggu oleh suapa pun juga. Adapun hak-hak itu meliputi,
hak asas kemerdekaan, kebebasan, menikmati hak miliknya tanpa
2
diganggu, itu ditindas oleh suatu pemerintahan yang tiran dan mampu
menyatakan oendapat dengan bebas.
Kesimpulan himpunan bibliografi dokumen-dokumen
terpentingakan eksistansi hak-hak manusia itu ; pertama, Magma Charta
Libertatum (1215) dan Bill Of Rights (1689), yang membatasi kekuasaan
raja di inggris, dan sekaligus merumuskan hak-hak warga negara.
Substansinya mengatur, bahwa tidak seorang pun dapat dimasukkan
dalam penjara, dirampas hakj miliknya atau di cabut kewarganegaraannya
tanpa keputusan pengadilan atau hukum negara ; kedua, The Virgina Bill
Of Rights (1776) tentang pemberontakan dan perlawanan rakyat Amerika
utara terhadap kolonialisme Inggris suatu dokumen mengenai kebebasan
pribadi manusia terhadap kekuasaan negara. Menusia berhak untuk
menikmati hidup, kebebasan dan kebahagiaan (life, liberty, the of
happiness). Deklarasi ini mengemukakan bahwa semua manusia harus
mampu untuk dengan bebas dan dapat menentukan kebahagiaan dan
juga keselamatan. Hal ini ditegaskan juga dalam deklarasi Massacussets
(1780) untuk menikmati hak-hak alami dan nikmat0nikmat hidup mereka
dalam ketentraman dan kedamaian. Deklarasi in lebih cenderung
mengkonstruksi model masyarakat, dan model masyarakat yang
diproyeksikan haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang bebas yang sama
dengan lainya. Dan ketiga, Declaration des droit de I’homme et du citoyen
(1789). Meskipun dokumen ini sangat dipengaruhi oleh deklarasiu
Amerika tadi, tetapiada perbedaan. Dokumen Amerika bertolak dari
pandangan bahwa para penguasa adalah manusia dan karenanya dapat
terbawa hawa nafsu kerananya harus hidup bebas : orang-orang lahir dan
tinggal bebas dan sama dihadapan hukum (les homes naissent et
demeurent libres et egaux en droits). Hak-hak adalah kebebasan, milik,
keamanan, dan perjuangan melawan penjajahan (ces droits sont la
liberte, la propriete, la surete et Ia resistence a l’oppression), deklarasi
Amerika dan derklarasi Prancis denghan tegas mengumumkan suatu
konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat. Keempat, deklarasi
3
tentang hak-hak rakyat yang berkarya dan diperas (1918). Deklarasi in
berbeda dengan deklarasi lainnya karena yang disebutkan dalam hak-
hak dasar hanya hak-hak dasar social, sedangkan jarak-jarak pribadi tidak
disebutkan. Intinya adalah bahwa manusia berhak untuk hidup menurut
martabatnya secara ekonomis. Suatu kehidupan ekonomis yang
menvukupi harus menjamin suat kehidupan yang bebas.
Pengakuan hak asasi manusia secara global, dikumandangkan
secara internasional setelah berakhirnya perang dunia kedua. Dampak
perang memang sangat dahsyat dengan melibatkan kerusakan hampir
sebagian masyarakat internasional, sebagai korbanya.
B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian diatas maka penulis
mencobamengkerucutkan permasalahan yang ada dalam suatu rangkaian
rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan hukuman mati sebagai upaya
penegakan supremasi hukum di indonesia
2. Bagaimanakah benturan antara pelaksanaan Hukuman Mati dan
HAM ?
4
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukum Di Indonesia.1. Sejarah Hukuman Mati Indonesia
Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis
hukuman (pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai
diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang
saat ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah
ada, bahkan menurut Codex Hammurabbi yang diperkirakan yang
diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi, pidana mati
ini telah digunakan’ pada orang yang telah melakukan kejahatan tertentu,
bahkan menurut Codex Hammurabbi tersebut dikatakan, “kalau ada
binatang pemeliharaan yang membunuh orang, maka binatang berikut
pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab taurat
Agama Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis
pidana mati in juga telah diatur, disahkan dan diperguanakan pada
orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan pada masa itu,
seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka
sehingga mati oleh orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan
21:21)
Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya dijaman Romawi
Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam
bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan,
ditenggelamkam, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke-4 disemua
daerah jajahan Roimawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukkan
dengan cara yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada,
sehingga ada yang sampai digantung hidup-hidup dipinggir jalan dan
kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh
5
seorang ahli sejarah ang menyatakan, “kita ketahui jalannya acara-acara
peradilan itu, hukuman itu adalah di pancung kepalanya, dibuang
kesalah satu pulau yang sangat jauh, depekerjakan selaku budak,
dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggan
arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah
menjadi sati “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat gereja
maupun raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk
terus menerus membuat rakyat tetap tunduk pada para menguasa yang
ada. Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abd
pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat adalah
terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan
jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa ap yang
dimaksud disitu. Sewaktu romawi kuno itu diterima (diresipeer) dieropa
brat pada abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra
ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya
criminal extra ordinaria ini selalau diadakan kemungkinan untuk
menggunakan hukum pidana itu secara sewenag-wenang, menurut
kehendaknya dan kebutuhannya reaja itu sendiri”. Perbuatan sewenang-
wenangan penguasa inilah yamng lalu menjadi titik otak munculnya
pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas
legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J.
Rousseau, von Feurbach, dsb. Akan tetapi sekalipun asa legalitas
tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang
ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu
sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalamn menerapkan pidana itu
sendiri. Penjajahan perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa
bukan saja pengaruh budaya, bahaya dan guncangan terhadap
perekonomian,tetapi juga sampai dengan pemahaman dan
perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederlannd). Seperti
dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nenderland karena
6
penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v.
Strafrecht Nederland 1881”. Yang kemudian sejarah mencatat oleh
kerena itu penjajahan belanda di indonesia, secara perlahan-lahan
hukum pidana mulai diperlihatkan dan mulai menggeser kekuatan hukum
adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni
ada saat Wetboek v. strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional
(menyeluruh) di indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan
Bumiputera, timur asing maupun golongan penduduk eropa, yang
kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Pidana (KUPH).
Dalam KUPH inilah pidana mati (death penalty) dicantumkan dan dan
mendapat pengaturanya yang sah (legal act) bagi pemerintah / negara
Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang
yang melakukan detik tertentu.
2. Pelaksanaan Hukuman Mati Di IndonesiaSekalipun telah memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11
KUHP yang menyatakan; hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat
penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum
dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Tetapi dalam prakteknya
setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang
menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu
peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di undangkan
olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan
dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2
maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari
pemerintah pendudukan Jepang). Kemudian setelah kesatuan RI
tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana
mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada
dalam pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali
dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui penetapan Presiden No.2
7
tahun 1964 ini juga melalui lembaran negara tahun 1964 nomor 38,
dirubah menjadi undang-undang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun
1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara
digantung oleh sorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh
suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut
mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka
umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI. Disini terlihat bahwa efek
penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu
detik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan
didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk
mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat kerana pidana mati
itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum untuk dilihat oleh
khayalan ramai.
Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di indonesia
juga diharapakan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar,
disini terlihat bagaimana dalam rancangan KUHP yang masih dalam
tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak
lagi dimasukan memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara
dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat
khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana sacara
alternatife. (pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat
disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis
pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapakan, akan tetapi
pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang
bersifat khusu dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang
masih dianut hingga sekarang berdasakan KUHP lam (Wetboek van
strafrecht).
Berikut adalah beberapa uraian yang dapat menjelaskan tentang
bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman kati di Indonesia :
1. Karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan
sistem peradian yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang
8
bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang
hukuman mati lahir dari sebuah proses yang slah. Kasus hukuman
mati sengkon dan karta pada tahun 1980 lalu di indonesia bisa
menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai institusi buatan
manusia tentu tidak selalu benar dan selalu bisa salah.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembukyian limiah hukuman mati
akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah
gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingkan dengan jenis hukuman lainya. Kajian PBB tentang
hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka
pembunuhan antara 1988-2000 berujung pada kesimpulan hukuman
mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana
pembunuhan dan hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya
tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun
oleh problem struktral lainya seperti kemiskinan atau aparat
hukum/negara yang korup. Ditahun 2005 misalnya ditemukan pebrik
pil ekstasi bersekala internasional di Cikande,Serang,Banten. Pabrik
ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga didunia dengan
total produksi 100 kelogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar
Rp. 100 milyar. Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat
kepolisian; komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang.
Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda
Metrojaya. Angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39.36 persen jika dengan
dibandingkan dengan kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004
polda metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau
meningkat 1,338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun2003
yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman
mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya
tindakan dimasa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi
9
ideologis untuk meningkatkan redikalisme an militansi para pelaku.
Sampai ssat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok
dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan
ini. Terakhit bkali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom
bunuh didri di Bali. Satu pernyatan pelaku kasus pemboman di depan
Kedubes Ausralia, Jakarta (9 september 2004). Iwan Dharmawan
alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005:
“saya tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka
sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di
jatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasrkan hukum setan, bukan
hukum Alla. Kalaupun saya du hukum mati, berarti saya mati syahid”.
Sikap ini juga ditunjukan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya
menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah
dilakukan. Penerapan hukum mati jelas tidak berefek positif untuk
kejahatan terorisme semacam ini.
3. Praktek hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan
disikriminasi, dimana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku
dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa
diketegorikan sabagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku
korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh
lebih masih dan merugiakan ekonomi orang banyak tidak pernah
divonis mati. Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan
buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran
berat HAM.
4. Penerapan hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia
yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati
karena sesuai dengan hukum positif indonesia. Pada hal semnjak era
roformasi/transisi politik berlajan telah terjadi berbagai perubahan
hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat
pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga
10
menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45
(Amandemen Kedua)menyatakan :
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”
Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan
yang bartentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat
masih terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan
hukuman mati.
5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu.
Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara
gigih kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk
tidak menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia,
dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus
hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus
lainnya baru-baru ini.
B. Benturan Antara Pelaksanaan Hukuman Mati Dan Hak Azasi Manusia.
Hak atas penghidupan instrumen tidak dijamin sebagai hak
mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak
bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini
diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam
beberapa instrumen, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah
Protokol tersendiri. Konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik
dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada
“kejahatan yang paling berat”, dikenakan pada suatu “keputusan final
suatu pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undang-undang yang
11
tidak retroaktif. Kedua perjanjian ini memberikan hak untuk mencari
“pengampunan atau keringanan hukuman” dan melarang pengenaan
hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat
melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil.
Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu
pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan
yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang.
Ada beberapa uraian yang menjelaskan benturan antara
pelaksanaan hukuman mati dan hak asasi manusia, antara lain :
1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan
Martabat Manusia/Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, diadopsi oleh
Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tertanggal 10 Desember 1984.
Interpretasi ini didasari pada argumen bahwa seorang terpidana mati
yang sedang menghadapi eksekusi akan mengalami tekanan
mental/psikis yang luar biasa yang menjadi cakupan Konvensi Anti
Penyiksaan ini.
2. Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
Anak/Convension on the Rights of the Child, Pasal 37 (a) yang
menyatakan “Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusia atau
hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan
seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan
untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di
bawah umur delapan belas tahun.”
3. Komite HAM juga melarang penggunaa hukuman mati sebagai suatu
hukuman wajib/mandatory punishment.
4. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European
Convention of Human Rights/Convention for The Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms pada pasal 2-nya menegaskan
12
larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty
HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari
Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan di
berbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun
juridiksinya mengcakup kejahatan paling berat dan serius di bawah
hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk
Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of Internasional Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statute of
Internasional Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)
5. Pada 11 desember tahun 1977 Deklarasi Stokholm, Amnesti
Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati diseluruh
dunia. Terhukum mengetahui bahwa “his death will be in a ritualized
killing by other people, symbolyzing his ultimate rejection by the
members of his community” (Jonathan Glover). Dan hal itu merupakan
suatu ”additional horror” bagi terhukum. Karena itu, bagi banyak orang
pada saat sekarang, hukuman mati itu dirasakan sebagai “a horrible
business of a long premeditated killing”.
Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga
golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai
pelaksanakannya pidana mati tersebut. Seorang bernama Greg. L.
Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan
pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti
kententuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang
bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan dimata
Allah.”
Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang
berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidana
mati pernah menulis bahwa “in order to rightly value the death penalty it
is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and
their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menujukan rasa
simpati teradap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus
13
mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang
hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai
kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku
kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara
medis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya
saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu dirivisi, sehingga
mengurangi mengurangi rasa sakit pidana, misalnya dengan
menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.
Alasannya lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn
di Swedia yang menjelaskan bahwa pidana mati perlu dipertahankan
dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata
efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya
sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan
dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil
dan jujur.
Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan
“Saya masih berkeyakinan, banhwa ancaman dan pelaksanaan pidana
mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik
ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat
ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana, seperti
juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat
diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga
digunakan.”
Didalam hukum Islam hampir tidak diketemukan pro-kontra
pidana mati, oleh karena di dalam Islam dikenal Talio, yang berarti
membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga
disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi dalam kitab
Pentatuech mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti
gigi. Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al
Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman :
sesungguhynya diwajibkan kamu qishash untuk soal pembunuhan, orang
14
merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan
wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya
hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat
dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ; Keadaan yang membunuh
sudah baliq dan berakal. Yang membunuh bukan bapak dari yang
dibunuh. Keadaan yang dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang
membunuh. Yang dimaksud dengan derajat disini ialah agama dan
merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapak. Maka oleh
karenanya orang Islam yang membunuh orang orang kafir tidak berlaku
terhadapnya. Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya
dengan Islam atau dengan perjanjian.
Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam
juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana
mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana
mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan
yang tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-
Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut
dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati
hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan
membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan
kejahatan itu cukup umur dan waras.”
Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang
dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak
bertentangan dengan falsafah Negara, tidak berlawanan pula dengan
unsur-unsur Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at
yang berdasarkan Ketuhana YME.”
Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana
mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana
mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi
15
pendegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan
dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik
tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran,
perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan
bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam
pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu
efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.
16
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh
pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana
terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya. Dalam perkembangannya
pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai
suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya
dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk
mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat
luas.
Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis
pidana yang paling banyak memiliki variasi dalam pelaksanaannya, mulai
dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati
dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji, ditarik
oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4
sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian
dibakar sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut
dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan
hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang. Berbagai bentuk tidak
manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan
kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro-kontra terhadap
pidana mati ini terus berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera
dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana
mati ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat
ini.
Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam
mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati
tersebut dalam kehidupan bernegara. Dan jika pelaksanaan pidana mati
17
tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan
dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan sehingga
dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si
terdakwa dan tidak berdampak negatif/buruk terhadap pandangan
masyarakat luas.
B. Saran Menurut penulis, bukanlah antara pro kotra tentang hukuman mati
yang harus diperdebatkan, tetapi yang harus dilakukan adalah penegakan
Pasa 7 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin
atas hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi di depan
hukum.
18
DAFTAR PUSTAKA
Afandi Emilianus, MENGGUGAT NEGARA: Rasionalitas Demokrasi, Ham
dan Kebebasan, PBHI, Jakarta 2005.
Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Fakih Mansour, Bebas Dari Neoliberalisme, Insist Yogyakarta, 2003.
Gaffar Afan, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta,
1992.
Harahap Krisna, pasang Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 2001.
Mahfud, Moh, MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
Moerdiono, M Soemantri Sri, dkk, Politik Pengembangan Hukum Nasional,
UII Press, Yogyakarta, 1992.
Naning Mardiniah, dkk, Memperkuat Posisi Politik Rakyat, Cesda-LP3ES,
Jakarta, 2004.
Tanuredjo, Budiman, Pasung Kebebasan, Menelisik kelahiran UU Unjuk Ras,
Elsam, Jakarta, 1999.
Wingjosoebroto, Soetandyo, HUKUM, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam, Huma, Jakarta, 2002.
19
KATA PENGANTAR
Sejak era perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia telah
mengikatkan diri kepada demokrasi sebagai alternatif bagi bentuk dan
pemerintahan otoritarianisme. Di awal revolusi kemerdekaan, tekad itu
dituangkan ke dalam konstitusi sebagai blue print negara Indonesia merdeka.
Di dalam konstitusi alternatif yang ditetapkan di pertengahan dan akhir
revolusi pun komitmen demokrasi itupun dipertahankan. Begitu pula didalam
konstitusi yang gagal ditetapkan oleh Dewan Konstituante hasil pemilu 1955.
Dan bahkan di dalam konstitusi yang diamandemen di era reformasi inipun
demokrasi dirumuskan secara lebih rinci.
Runtuhnya rezim militer Soeharto tidaklah dengan sendirinya
membuka jalan bagi demokratisasi dan dinikmatinya kebebasan setiap orang
tanpa diganggu atau dipatahkan. Kendati beberapa tahun lalu tersedia ruang
yang lebih besar bagi kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat
yang disusul dengan terbukanya kebebasan pers, pembebasan tahanan
politik serta pemilihan umum yang demokratis, tetapi beberapa kebebasan
inilah barulah syarat perlu belum menjadi syarat yang cukup bagi kemajuan
dan perlindungan hak-hak manusia yang menyeluruh. Tidak ada jaminan
bahwa kebebasan itu dilindungi dengan penuh dan otoriterisme negara tak
akan kembali.
20i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 5
A. Pelaksanaan Hukuman Mati sebagai Upaya
Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia ............................ 5
1. Sejarah Hukuman Mati di Indonesia ................................... 5
2. Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia .......................... 7
B. Benturan antara Pelaksanaan Hukuman Mati
dan Hak Asasi Manusia ........................................................... 11
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 17
A. Kesimpulan .............................................................................. 17
B. Saran ....................................................................................... 18
Daftar Pustaka ........................................................................................... 19
21ii
HUKUMAN MATI : Sebuah Dilema AntaraPenegak HAM dan Supremasi Hukum
di Indonesia
NAMA : ASRIANINIM : B 08171PROGRAM : D3 KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)BINA BANGSA MAJENE
TAHUN 2009
22