HUKUMAN MATI DAN HAM
-
Upload
nabilahstsmyh -
Category
Documents
-
view
61 -
download
1
description
Transcript of HUKUMAN MATI DAN HAM
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Nilai- nilai kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari konsep “hak untuk hidup”
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Amandemen kedua konstitusi UUD ‘45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun“.
Namun seperti kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia
yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Ditengah
negara-negara lain mulai meninggalkan pidana mati, di Indonesia vonis dan
eksekusi pidana mati masih lazim terjadi. Vonis mati terhadap Ryan dari
jombang atas kejahatannya melakukan pembunuhan dan eksekusi mati atas
Amrozy Cs, dalam keterkaitannya dengan kegiatan teroris masih belum lama
diberitakan. Negara dalam hal ini pemerintah tentu saja memiliki alasan
sehingga masih melakukan praktek pidana mati, namun bagaimana bila
ditinjau dari sisi hak asasi manusia hal tersebut tentu saja bertentangan
maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam makalah yang berjudul
“The Relation between The Right to Life and Death Penalty”.
2
1.2. Tujuan
Pada saat mempelajari tentang hak asasi manusia dalam mata pelajaran
PKN, timbul pertanyaan terhadap suatu hal yang dirasa bertentangan antara
materi yang dibahas, yaitu tentang hak asasi manusia dengan kenyataan
dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang ternyata masih melaksanakan
pidana mati dalam aturan pidananya, maka penulis tertarik untuk
mengetahui lebih dalam mengenai hubungan hak untuk hidup dengan pidana
mati di Indonesia. Di samping itu, Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata pelajaran PKN.
1.3. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini penulis akan membatasi pembahasan hanya
sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan ‘hak hidup’ dan ‘pidana mati’ ?
- Bagaimana pelaksanaan pidana mati di Indonesia?
- Bagaimana hubungan hak untuk hidup dan pidana mati?
1.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikemukakan dalam Makalah ini diperoleh dengan membaca
buku-buku sumber, internet, dal
n berbagai informasi lain yang ada hubungannya dengan pidana mati dan
hak manusia untuk hidup.
1.5. Sistematika Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut
BAB I (PENDAHULUAN)
1.1 Latar Belakang Permasalahan
1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Masalah
3
1.4 Metode Pengumpulan Data
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II (HAK MANUSIA UNTUK HIDUP)
BAB III (PIDANA MATI)
3.1 Landasan Teori Pidana Mati
3.2 Definisi Pidana Mati
3.3 Ketentuan Pidana Mati
3.4 Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia
BAB IV (PEMBAHASAN)
4.1 Tinjauan Secara Normatif
4.2 Tinjauan Secara Politik Hukum
4.3 Tinjauan Perkembangan Hukum di Dunia
BAB V (KESIMPULAN)
4
BAB II
HAK MANUSIA UNTUK HIDUP
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki seseorang sejak ia
dalam kandungan. Hak asasi manusia berlaku secara universal. Hak asasi
dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai
manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai
manusia. Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi
manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur
hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan
hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2)
menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati,
putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang
serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan
kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of
Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada
putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten
Di Indonesia jaminan tentang hak untuk hidup warganegaranya
terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945.
UUD 1945 merupakan hukum konstitusi Indonesia yang tertinggi
dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Secara umum UUD 1945
memuat materi tentang susunan ketatanegaraan yang fundamental,
pembagian dan pembatasan kekuasaan, jaminan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia, serta mengatur prosedur perubahan undang-undang
dasar.
5
UUD 1945 sebagai produk politik sekaligus produk hukum pernah
diberlakukan dalam dua kurun waktu yang berbeda. Kurun waktu pertama,
yaitu antara 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949
sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik berlakunya UUD 1945
Indonesia Tahun II Nomor 7. Kurun waktu kedua, dimana UUD 1945
diberlakukan kembali sebagai akibat gagalnya konstituante Republik
Indonesia dalam menetapkan UUD yang baru untuk menggantikan UUDS
1950. Melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 Pemerintah menyatakan berlakunya
kembali UUD 1945 hingga sekarang.
Dewasa ini, UUD 1945 telah mengalami sebuah perubahan atau
amandemen. Hal ini disebabkan karena perkembangan dan tuntutan zaman
yang menghendaki adanya perubahan UUD 1945 dalam rangka menciptakan
era baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud dengan amandemen UUD 1945 adalah perubahan
atas batang tubuh UUD 1945 (tanpa mengubah bagian pembukaan) oleh
lembaga yang berwenang Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan
ketentuan UUD 1945.
Salah satu bentuk amandemen yang dilakukan untuk mengakomodasi
jaminan perlindungan HAM adalah ditambahnya satu bab dengan sepuluh
pasal di dalam pasal 28. Pasal 28 UUD 1945 semula merupakan pasal yang
mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang. Kemudian pasal tersebut diubah pada tahun 2000 yang merupakan
amandemen kedua UUD 1945.
Amandemen kedua pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentan hak
asasi manusia telah menimbulkan suatu perdebatan dikalangna pakar hukum
maupun dari pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta
masyarakat luas, khususnya terhadap Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
6
Pasal 28 A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28 I ayat (1)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.
Bunyi pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menunjukan
bahwa hak hidup dan hak-hak lain yang diatur tidak dapat diganggi gugat
dalam keadaan apapun.
7
BAB III
PIDANA MATI
3.1 Teori Dasar Pidana Mati
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung pidana
mati, antara lain: teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan.
Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana
tercakup dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan,
maka ia pun harus menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat
Immanuel Kant:
“Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk
memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat
dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan.”
Teori kedua adalah teori Relatif. Menurut teori Relatif, penjatuhan pidana
tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri,
yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut tampak
dalam pendapat Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan
melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-
undangan.
Teori ketiga adalah teori Gabungan. Thomas Aquinas membedakan antara
pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara menjatuhkan
pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi
khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan
ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut
8
juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku
kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan,
penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari
penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai
sarana untuk menegakkan tertib hukum.
3.2 Definisi Pidana Mati
Definisi pidana mati menurut Andi Hamzah di dalam kamus hukumnya,
mengatakan bahwa pidana mati adalah hukuman yang terberat yang dapat
dijatuhkan pengadilan yaitu dengan mencabut nyawa seseorang sampai
mati.
Menurut Djoko Prakoso untuk memberikan pengertian tentang pidana
mati itu cukup dikaitkan dengan aspek pembalasan dan menakutkan, tidak
dengan memberikan definisi secara bulat dan tuntas. Akan tetapi menurut
Andi Hamzah dalam memberikan definisi tentang pidana mati tidak perlu
dikaitkan dengan aspek lainnya. Jika dalam memberikan definisi tentang
pidana mati dikaitkan dengan aspek-aspek lain maka akan membuat definisi
tersebut lebih luas dan panjang, serta lebih sulit untuk dipahami. Pidana jika
diartikan adalah “hukuman”, sedang mati pengertiannya adalah hilang nyawa
atau tidak bisa hidup lagi. Jadi jika diartikan pengertian pidana mati adalah
hukuman untuk menghilangkan nyawa. Maka pengertian pidana mati adalah
hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang telah diputus bersalah
dalam sidang pengadilan dengan jalan menghilangkan nyawanya.
Jika ditinjau dari segi hukum Islam pengertian pidana mati itu adalah
pidana yang ditetapkan oleh syariat Islam dengan Firman Allah S.W.T di
dalam Al Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga. Karena
syariat Islam adalah suatu syariat yang diperuntukkan demi kemaslahatan
umat manusia secara universil, sebagaimana diwahyukan oleh Allah S.W.T
9
kepada Rosul-Nya Muhammad S.A.W sebagai suatu rahmat dan keutamaan
dari-Nya.
Pidana mati adalah pelaksanaan pidana / tindakan / kebijaksanaan
secara kongkrit oleh aparat eksekusi yang ditentukan oleh hakim, dan
pelaksanaannya dilakukan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP, pidana mati dilakukan oleh
seorang algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat
di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri. Pelaksanaan pidana mati itu kemudian dirubah
dengan cara ditembak sampai mati. Hal ini ditetapkan dalam Penetapan
Presiden (PENPRES) No.2 Tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-
undang No. 5 Tahun 1969.
3.3 Ketentuan Pidana Mati
Adapun beberapa ketentuan mengenai pidana mati yang diatur dalam
Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :
a. dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat
pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang
akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana
berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan
atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa
tersebut.
b. apabila terpidana adalah seorang wanita yang sedang hamil, maka
pelaksanaan pidana mati harus ditunda hingga anak yang
dikandungnya itu telah lahir.
c. tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri
Kehakiman yang sekarang sudah berubah namanya menjadi
10
Menteri Hukum dan Ham, yakni di daerah hukum dari pengadilan
tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang
bersangkutan.
d. Kepala Polisi daerah yang bersangkutan bertanggung jawab
mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah
mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah
melakukan penuntutan pidana mati pada pengadilan tingkat
pertama.
e. pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak
polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi.
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang
ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu,
sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau
permintaan dari terpidana dapat menghadirinya.
g. pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan dimuka
umum.
h. penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau
sahabat-sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari
penguburan yang sifatnya demonstratip, kecuali demi kepentingan
umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat
menentukan lain.
i. setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka
jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita
acara mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut, dimana isi
dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam
surat Keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.
11
Baik berdasarkan pada pasal 69 KUHP maupun berdasarkan hak
yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat, karena
pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini
hanya berada di tangan tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang
menimbulkan pendapat pro dan kontra, tergantung dari kepentingan dan cara
memandang pidana mati itu sendiri.
Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila
telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan,
baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya
apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik
kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/tindaknya, maupun kekeliruan
atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan
dijalankan atau juga kekeliuran atas kesalahan terpidana.
Menyadari akan keberadaan pidana mati sebagai pidana yang
mempunyai sifat yang demikian, di negeri belanda sendiri (tempat asalnya
KUHP), sejak tahun 1870 tidak lagi mengenal pidana mati karena pidana mati
telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam
hukum pidana militernya. Di Hindia Belanda (negara jajahannya), pada saat
diberlakunya WvS Voor Nederlandsch indie (KUHP sekarang) tanggal 1
januari 1918, pidana mati dicantumkan didalamnya, dan setelah kita
memproklamasikan kemerdekaan, melalui pasal II aturan peralihan UUD
1945, pidana mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam rancangan
KUHP yang terbaru (1992, yang dalam 1999/2000 telah direvisi) juga masi
dikenal pidana mati walaupun tidak disebutkan sebagai salah satu jenis
pidana dalam kelompok pidana pokok, melainkan dikategorikan sebagai
pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat alternatif.
Adapun dasar pertimbangan pemerintah Hindia Belanda mengapa di
Hindia Belanda dulu pidana mati tetap dipertahankan, sedangkan di Negara
12
Belanda sendiri telah dihapuskan, berhubungan dengan keadaan-keadaan
khusus yang ada di Hindia Belanda, yang menurut pemerintahan Hindia
Belanda, yaitu :
1. kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan
hukum di sini jauh lebih besar daripada di negeri Belanda
mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk
yang terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan
tradisi yang berbeda, yang keadaan ini sangat potensial
menimbulkan perselisian, bentrokan yang tajam dan kekacauan
yang besar di kalangan masyarakat;
2. sementara itu, alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh
pemerintah Hindia Belanda sangat kurang atau tidak sesempurna
dan selengkap seperti di negeri Belanda
berdasarkan dua pertimbangan pokok itulah, bagi pemerintahan
Hindia Belanda dulu tidak bijaksana apabila menghapuskan jenis
pidana mati dari hukum pidana (WvS voor Nederlandsch Indie atau
KUHP sekarang).
Sebetulnya pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat
pidana mati sebaimana yang telah diutarakan tersebut. Oleh karena itulah,
walaupun pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang
sebagai tindakan darurat atau noodrecht (JE.Jonkers,1987: 294). Tiada lain
maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan
tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena
itu,dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati
hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang
jumlahnya juga sangat terbatas, seperti:
1) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara
(104,111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129);
13
2) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan
atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 140 (3),
340;
3) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang
sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2);
4) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444).
Di samping itu, sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah
memberikan suatu isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah di
jatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus sangat hati-hati, tidak boleh
gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, selalu diancamkan juga pidana alternatifnya, yaitu
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu setingi-
tingginya 20 tahun. Misalnya 365 (4), 340, 104, 368 (2) JO 365 (4) dan lain-
lain.
Prinsip ini juga diikuti oleh kejahatan yang diancam dengan pidana
mati yang dirumuskan di luar KUHP. Misalnya pasal 13 UU No. 11/
PNPS/1963 tentang tindak pidana subversi (telah dicabut dengan UU No. 26
tahun 1999), pasal 23 (4b) UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika (telah
diganti dengan UU 22 Th. 1997, mengenai pidana mati: terdapat pada pasal
80,81,82), pasal 59 UU tentang Psikotropika (UU No.5 Th. 1997).
Dengan disediakannya pidana alternatifnya, maka bagi hakim tidak
selalu harus menjatuhkan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim, ia
bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan pidana penjara seumur
hidup ataukah penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringan
apabilah hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak
faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara
konkrit.
14
Pembentuk UU menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap
pidana mati yang diancamkan dalam rumusan kejahatan dengan
pertimbagan bahwa bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau
didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Oleh karena
itu, jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk menjatuhkan dipidana
mati, ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatifnya .
Tentang bagaimana pidana mati dilaksanakan, ketentuan dalam pasal 11
KUHP (dijalankan oleh algojo di tempat tiang gantungan /digantung) telah
ditiadakan, dan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai
mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam UU No.2
(PNPS) tahun 1964.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih
memiliki ancaman pidana mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti
Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa
bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
3.4 Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Pelaksanaan pidana mati di Indonesia sudah puluhan orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar
merupakan narapidana politik.
Fakta sejarah menunjukan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak
kita lihat, baik di Indonesia maupun diseluruh dunia, kasus hukum yang
terubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti yang baru. Salah satu
contohnya adalah kasus pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah
15
membunuh salah seorang artis Indonesia, yang kemudian dibebaskan
bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya
kesalahan proses peradilan pada masa itu, yang menunjukan bahwa pakde
tidak bersalah. Tapi bukti-bukti baru itu tidak bisa digunakan lagi, karena
sang terhukum sudah terlanjur dihukum mati.
Pada tahun 2004 terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi,
yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India, 65 tahun), dieksekusi di
Sumatra Utara pada tanggal 5 Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow
Prasad (India, 62 tahun) untuk kasus yang sama di Sumatra Utara pada
tanggal 1 Oktober 2004, dan Namsong Sirilak (Thailand, 32 tahun) di
Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober 2004 untuk kasus narkoba.
Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu
tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun)
terpidana pidana mati karena kasus pembunuhan, dieksekusi dalam posisi
duduk oleh 12 anggota regu tembak, 6 di antaranya diisi peluru tajam dari
jarak 5 meter. Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia
setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan pidana mati telah tertutup
ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli
2004. Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada
tahun 2005. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di
Jambi pada tanggal 13 Mei 2005. Turmudi dihukum mati karena melakukan
pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret
1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12
personel Brimob Polda Jambi.
Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya
jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu
16
dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama
kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat
kontroversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang
bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu
masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka,
reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga
hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan. Di tahun 2007
juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di
Kalimantan Tengah.
Sepanjang 2008, terdapat 8 pidana mati yang dijalankan , mereka
yang dihukum adalah dua warga Nigeria penyelundup narkoba,
dukun Ahmad Saroji yang membunuh 42 orang di Sumatera Utara, Tugabus
Yusuf Mulyana dukun pengganda uang yang membunuh delapan orang
di Banten, serta Sumiarsih dan Sugeng yang terlibat pembunuhan satu
keluarga di Surabaya.
Eksekusi yang paling terkenal pada tahun 2008 dan mendapat
perhatian luas dari publik adalah eksekusi Imam Samudra dan Ali Ghufron,
terpidana Bom Bali 2002.
Sebelum tahun 2008, terdapat puluhan orang yang dihukum mati.
Dan 118 orang terancam eksekusi terdiri dari 56 kasus pembunuhan, 7
kasus terorisme, 55 kasus narkoba.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pidana mati masih diakui
legalitasnya. Hal ini dapat dilihat dengan dicantumkan ancaman pidana mati
dalam KUHP, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Hukum Pidana
Militer (KUHP Militer), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme,
dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tetang Pokok Tenaga Atom
yang sampai kini masi berlaku dalam menghukum pelaku tindak kejahatan.
Namun, dengan adanya Amandemen ke Dua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat
(1) UUD 1945 telah menimbulkan suatu kontroversi dan polemik yang
meragukan eksistensi pidana mati didalam hukum positif.
Atas keraguan ini maka dilakukan tinjauan secara normatif, politik hukum,
serta perkembangan hukum pidana mati di negara-negara di dunia sebagai
berikut:
4.1. TINJAUAN SECARA NORMATIF
1. Penafsiran Secara Gramatikal
Pasal 28 i Ayat (1) UUD 1945 secara jelas dan tegas menyatakan:"Hak
untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun."
Dengan menafsirkannya secara gramatikal, dengan kaidah bahasa
Indonesia yang dimengerti oleh rakyat Indonesia pada umumnya, kita
akan sampai pada kesimpulan bahwa frasa "hak untuk hidup...adalah hak
18
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun"
menegasi eksistensi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia. Ketika teks
konstitusi telah sangat jelas, maka bahasa Indonesia adalah ukuran yang paling
tepat dalam menafsirkannya, karena: "...undang-undang milik publik, bukan milik
yang membuatnya dan norma hukum yang terkandung dalam undang-undang
itu mengikat semua orang, semua warga negara."
Setiap upaya untuk mengubah makna yang terkandung dalam teks
konstitusi merupakan pengingkaran terhadap konstitusi itu sendiri. Frasa "hak
untuk hidup...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun" tidak bisa tidak akan berujung pada inkonstitutionalitas
pidana mati.
2. Makna "Non-derogable Rights"
Dengan mengacu pada istilah non-derogable rights, sebagai asal-
muasal dari frasa "hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun" yang terdapat dalam Pasal 28 i Ayat (1), maka kita juga
akan sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa, sebagai hukum,
pidana mati sudah seharusnya gugur sejak Perubahan Kedua UUD 1945
di tahun 2000.
Non-derogable rights merujuk pada sejumlah hak asasi manusia
yang menempati hierarki yang istimewa dalam hukum internasional.
Dalam UUD 1945 terdapat tujuh hak, dengan hak untuk hidup
menempati urutan pertama, yang digolongkan sebagai non-derogable
rights, yaitu:
1. Hak untuk hidup,
2. hak untuk tidak disiksa,
3. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
4. hak beragama
5. hak untuk tidak diperbudak,
19
6. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Adalah dapat dimengerti mengapa hak untuk hidup ditempatkan di
urutan pertama, karena tanpa hak untuk hidup, niscaya semua hak asasi tidak
dapat dinikmati oleh yang bersangkutan.
Ketujuh hak asasi manusia tersebut bersifat sangat fundamental jika
dibandingkan dengan hak asasi manusia lainnya yang diatur dalam Bab
XA UUD 1945, seperti hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28C) atau
hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal
28 D). Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan mengapa ketujuh hak
tersebut digolongkan sebagai non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dalam keadaan darurat
sekalipun.
3. Legislative Intent" (Kehendak Pembuat Undang-undang)
Upaya mencari legislative intent tidaklah mudah karena tidak semua
perdebatan benar-benar dicatat dalaM risalah rapat secara lengkap. Dan
tidak semua hal dibahas secara terperinci oleh para pembuat undang-
undang. Dari risalah sidang yang resmi disediakan oleh MPR
www.mpr.go.id penulis tidak menjumpai kalimat yang secara khusus
bahwa Pasal 28 J Ayat (2) ditujukan antara lain untuk membatasi hak-hak
yang dijamin oleh Pasal 28 Ayat (1).
Berdasarkan uraian diatas, maka sangatlah bijak kalau kita kembali
pada penafsiran secara gramatikal terhadap Pasal 28 i Ayat (1) UUD 1945
sebagaimana diuraikan di atas.
4. Penafsiran Secara Sistematis
Dengan menafsirkan Pasal 28 i Ayat (1) secara sistematis, kita akan
sampai pada kesimpulan bahwa Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, secara umum,
hanya membatasi pasal-pasal lain dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia.
20
Pembatasan yang dilakukan oleh Pasal 28J Ayat (2) tidak mencakup hak-
hak asasi manusia yang dijamin secara khusus oleh Pasal 28 i Ayat (1).
Jika Pasal 28 J Ayat (2) ditafsirkan sebagai memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk menetapkan undang-undang yang dapat
membatasi hak-hak asasi manusia sebagaimana dirinci dalam Pasal 28 i
Ayat (1), maka ia adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi itu
sendiri.
Selain itu, penafsiran seperti ini juga tidak sejalan dengan prinsip
bahwa norma yang bersifat khusus, dalam hal ini Pasa128I Ayat (1), mengatasi
norma yang bersifat umum, yaitu Pasal 28 J Ayat (2).
Semua uraian di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa hak
untuk hidup adalah hak yang menempati hierarki yang istimewa dalam UUD
1945. Hak untuk hidup digolongkan sebagai non-derogable right atau "hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun",
dalam keadaan darurat sekalipun. Sebagai konsekuensinya maka kami
mohon Majelis Hakim Konstitusi menyatakan pidana mati bertentangan
dengan UUD 1945.
5. Hubungan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan .
Sesuai kelaziman atau prinsip umum, sebuah undang-undang memiliki
kedudukan lebih rendah dari pada undang-undang dasar atau konstitusi; oleh
karenanya norma hukum peraturan perundang-undangan yang berlawanan
dengan norma hukum undang-undang dasar atau konstitusi dinyatakan tidak
berlaku. hierarki norma hukum ini telah diformalkan dalam Pasal 7 UU No. 10
Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berbunyi sebagai berikut :
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
21
a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-undang / Peraturan pemerintah pengganti undang-undang
c) Peraturan Pemerintah
d) Peraturan Presiden
e) Peraturan Daerah
Jadi sudah sangat jelas bahwa KUHP dan undang-undang lain yang
masih mencantumkan pidana mati sebagai sanksi hukum bertentangan
dengan UUD 1945, karena bisa dilihat dari substansi dan hierarkinya sangat
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi di atasnya yaitu UUD
1945.
Polemik berlakunya pidana mati dalam suatu negara selalu menjadi
isu rutinitas dari sistem hukum. Betapa tidak, berlakunya pidana mati
merupakan bagian sistem hukum pidana sekaligus merupakan pelaksanaan
kebijakan negara. Pidana mati sebagai bagian sistem hukum pidana hanya
merupakan pelaksanaan dari kebijakan negara, yang harus diakui bahwa
kebijakan negara yang temporer sifatnya ini sering mengalami pembaharuan
konsep. Belanda misalnya, sistem pidana mati berubah sejalan perubahan
kebijakan negara tentang pidana mati yang kini tidak dikenal lagi dalam
sistem hukum pidananya.
Dari pendekatan histortis, kebijakan pidana mati merupakan
pengembangan dari teori absolut yang mendekatkan diri dengan efek jera.
Namun sejalan dinamisasi hukum pidana, pemidanaan lebih di tujukan
kepada teori rehabilisasi, yaitu pemulihan terpidana agar dapat kembali
bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya setelah ia bebas dari hukuman.
Wajar bagi Indonesia yang masih mengakui legalitas pidana mati
melalui hukum pidana (KUHP), UU Tenaga atom. Narkotika dan Psikotropika,
Korupsi, Terorisme dan lain sebagainya yang semua perbuatannya dianggap
sebagai suatu kejahatan yang membahayakan bangsa dan negara. Tetapi
22
sebalinya harus dipahami bahwa konstitusi memberi perlindungan dan hak
hidup kepada warganya sebagai hak asasi. Perlindungan terhadap hak asasi
dan hak hidup tersebut dapat dilihat dalam pasal berikut:
Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas
menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
6. Pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia
Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem,
maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja
saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Perkembangan tujuan
pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan.
Pembinaan narapidana yang dilakukan saat ini berawal dari kenyataan
bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan
hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana
dan menjalankan pidana tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah
narapidana.
Pada awalnya, pidana penjara dan pidana mati merupakan balas
dendam atas masyarakat yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana. Karena
pemidanaan dianggap sebagai tindakan pembalasan, maka dalam praktek
kepenjaraan, terpidana benar-benar merasakan unsur peyiksaan, dengan
harapan akan menjadi jera melakukan tindak pidana.
Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak
sejak tahun 1964, setelah Dr. Saharjo, SH. Mengemukakan bahwa tujuan
pemidanaan adalah pemasyarakatan. Mereka yang dipidana bukan untuk
disiksa dan dibuat jera, tetapi dibina dan di masyarakatkan.
Selain bertentangan dengan UUD 1945, menurut Todung Mulya
Lubis pidana mati juga bertentangan dengan filosofi pembinaan narapidana
Indonesia dewasa ini yaitu rehabilitasi dan reintegrasi ke masyarakat bukan
23
retribusi atau pembalasan. Selanjutnya kata Todung Mulya Lubis, bila
seseorang telah dieksekusi pidana mati bagaimana ia dapat direhabilitasi
dan direintegrasi ke masyarakat lagi.
4.2. TINJAUAN SECARA POLITIK HUKUM
Dalam konteks politik hukum di Indonesia, pidana mati harus ditolak
karena:
1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan
sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang
bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang pidana
mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus pidana mati Sengkon
dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran
pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu
tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah pidana mati
akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya pidana mati telah
gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang
hubungan pidana mati (capital punishment) dan angka pembunuhan
antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan pidana mati tidak
membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari
hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya
kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata
disebabkan oleh ketiadaan pidana mati, namun oleh problem struktral
lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di
tahun 2005 ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala
internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai
pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100
24
kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar.
Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian;
Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Meningkatnya
angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka
kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba)
tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka
kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah
menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika
dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus.
Bahkan untuk kejahatan terorisme pidana mati umumnya justru
menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa
depan. Pidana mati justru menjadi amunisi ideologis untuk
meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini
bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama
sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali
pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di Bali.
Satu pernyataan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes
Australia, Jakarta (9 September 2004), Iwan Dharmawan alias Rois,
ketika divonis pidana mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 13 November 2005:“Saya tidak kaget dengan
vonis ini karena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi
terdakwa. Saya menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan
setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun
saya dihukum mati, berarti saya mati syahid”. Sikap ini juga
ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak
meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah
dilakukan. Penerapan pidana mati jelas tidak berefek positif untuk
kejahatan terorisme semacam ini.
25
3. Praktek pidana mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan
diskriminasi, di mana pidana mati tidak pernah menjangkau pelaku
dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa
dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku
korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh
lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah
divonis mati. Padahal janji Presiden SBY pidana mati diprioritaskan
buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran
berat HAM.
4. Penerapan pidana mati juga menunjukkan wajah politik hukum
Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung pidana
mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal
semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai
perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski pidana mati masih
melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi
hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat
(1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan: “hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”. Sayangnya masih banyak sekali
peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan
semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-
undangan yang masih mencantumkan pidana mati.
5. Sikap politik pemerintah terhadap pidana mati juga bersifat ambigu.
Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara
gigih kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk
tidak menjalankan pidana mati kepada warga negara Indonesia,
26
dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus
pidana mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus
lainnya baru-baru ini.
4.3. TINJAUAN PERKEMBANGAN HUKUM DI DUNIA
Kecenderungan global paling tidak hingga tahun 2007 menunjukan
trend yang semakin positif terhadap abolisi (penolakan) pidana mati.
Mayoritas negara di dunia sudah menerapkan kebijakan abolisi secara de
jure atau de facto, dan eksekusi terhadap terpidana mati hanya dijalankan di
sedikit negara. Kecenderungan ini dianggap merupakan sebuah
perkembangan yang mengejutkan dan merupakan salah satu tematik HAM
yang paling progresif pasca Perang Dunia II, bahkan bila dilihat dari
evolusinya di tataran hukum internasional. Beberapa negara juga semakin
memperketat praktek eksekusi dan pidana mati dalam sistem hukumnya.
Namun perkembangan positif ini masih harus menghadapi fenomena pidana
mati di beberapa negara yang masih dilakukan begitu cepat dan mudah.
Prinsip-prinsip hukum yang harusnya sangat ketat bagi kasus-kasus pidana
mati tidak juga dipertimbangkan. Selain itu di akhir tahun 2006 –persis di hari
Raya Islam Idul Adha- juga ditandai oleh eksekusi mati Saddam Hussein,
mantan penguasa Irak, lewat suatu pengadilan yang diragukan
independensinya. Meskipun kuat dugaan Saddam Hussein terlibat dalam
kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan semasa ia berkuasa, pidana
mati dan eksekusi Saddam tetaplah sesuatu yang negatif. Apalagi bila
memperhitungkan kerentanan situasi sosial politik di Irak pasca invasi
pimpinan Amerika Serikat.
27
BAB V
KESIMPULAN
Hak untuk hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Di Indonesia hak untuk hidup dijamin
dalam amandemen kedua konstitusi UUD 1945 Pasal 28A dan Pasal 28
Ayat 1
Meskipun telah dijamin secara konstitusional tetapi hak untuk hidup tetap
dapat dilanggar, karena dalam sistem hukum pidana di Indonesia pidana
mati masih diakui legalitasnya. Hal ini dapat dilihat dari peraturan
perundang-undangan yang masih memiliki ancaman pidana mati.
Sehingga terjadi pertentangan antara Amandemen kedua Pasal 28A dan
Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan yang
masih memiliki ancaman pidana mati tersebut. Penulis melakukan beberapa
peninjauan yaitu :
1. Tinjauan secara normatif
- Pidana mati menjadi inkonstitusional, karena Hak manusia untuk hidup
merupakan hak fundamental dari Hak Asasi Manusia.
- Kehendak pembuat amandemen kedua pasal 28A dan 28i ayat (1) tidak
jelas.
- Jika pasal 28J ayat 2 ditafsirkan sebagai kewenangan kepada
pemerintah untuk menetapkan UU yang dapat membatasi hak asasi
manusia sebagaimana dirinci dalam Pasal 28 A dan 28i ayat 1 maka itu
adalah sebagai suatu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi sendiri.
28
- Pidana mati tidak mematuhi hierarki perundang undangan.
- Pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia
-
2. Tinjauan secara politik hukum di Indonesia
- Karakter hukum positif Indonesia belum baik, dikhawatirkan terjadi kesalahan proses putusan pidana mati.
- Kenyataan sosiologis menurut kegiatan PBB, pidana mati tidak memberikan efek jera sehingga angka pembunuhan atau kejahatan narkoba tetap banyak.
- Praktek pidana mati di Indonesia masih disteriminatif, tidak menjangkau keluarga elite
- Pidana mati bersifat kontradiktif.- Sifat pemerintah bersifat ambigu
3. Tinjauan perkembangan hukum di dunia
Menunjukan trend positif pada abolisi (penolakan) pidana mati.
Sehingga, bila dilihat dari 3 tinjauan di atas, maka hukuman pidana mati
di Indonesia bertentangan dengan hak manusia untuk hidup sesuai
amandemen kedua Pasal 28A dan 28i (1) UUD 1945.
29
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal 475 Bambang Poernomo, Op.cit., hal 8
Salmi, Akhiar, Eksistensi Pidana mati,Aksara Persada, Jakarta, 1985.
Wikepedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, www.yahoo.com, 20 Maret 2006.
Van Pramadya Puspa, Kamus hukum, CV Aneka Ilmu Semarang, 1977, hal 672
Depdikbud, Kamus besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal 566
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.29.
http://www.kontras.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
30
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Cirebon pada
tanggal 19 Februari 1996 sebagai
anak sulung dari pasangan dr.
Hermawan, SpOG dan Lia Amalia. Ia
adalah anak pertama dari empat
bersaudara. Ia merupakan alumni SD
Negeri Banjarsari 2 Bandung dan
SMP Negeri 5 Bandung.
Penulis bercita cita menjadi seorang dokter kecantikan karena mempunyai
niat untuk menjadikan wanita wanita Indonesia menjadi lebih indah lagi. Ia
sangat gemar membaca dan menulis karangan.
Sekarang ia merupakan siswa yang duduk di kelas X-9 SMA Negeri 3
Bandung. Penulis berharap makalahnya ini dapat bermanfaat bagi dirinya
sendiri dan orang lain.