HUKUMAN MATI DAN HAM

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Nilai- nilai kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari konsep “hak untuk hidup” sebagai bagian dari hak asasi manusia. Amandemen kedua konstitusi UUD ‘45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun“. Namun seperti kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Ditengah negara-negara lain mulai meninggalkan pidana mati, di Indonesia vonis dan eksekusi pidana mati masih lazim terjadi. Vonis mati terhadap Ryan dari jombang atas kejahatannya melakukan pembunuhan dan eksekusi mati atas Amrozy Cs, dalam

description

Hukuman Mati dan HAM

Transcript of HUKUMAN MATI DAN HAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Nilai- nilai kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari konsep “hak untuk hidup”

sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Amandemen kedua konstitusi UUD ‘45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun“.

Namun seperti kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia

yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Ditengah

negara-negara lain mulai meninggalkan pidana mati, di Indonesia vonis dan

eksekusi pidana mati masih lazim terjadi. Vonis mati terhadap Ryan dari

jombang atas kejahatannya melakukan pembunuhan dan eksekusi mati atas

Amrozy Cs, dalam keterkaitannya dengan kegiatan teroris masih belum lama

diberitakan. Negara dalam hal ini pemerintah tentu saja memiliki alasan

sehingga masih melakukan praktek pidana mati, namun bagaimana bila

ditinjau dari sisi hak asasi manusia hal tersebut tentu saja bertentangan

maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam makalah yang berjudul

“The Relation between The Right to Life and Death Penalty”.

2

1.2. Tujuan

Pada saat mempelajari tentang hak asasi manusia dalam mata pelajaran

PKN, timbul pertanyaan terhadap suatu hal yang dirasa bertentangan antara

materi yang dibahas, yaitu tentang hak asasi manusia dengan kenyataan

dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang ternyata masih melaksanakan

pidana mati dalam aturan pidananya, maka penulis tertarik untuk

mengetahui lebih dalam mengenai hubungan hak untuk hidup dengan pidana

mati di Indonesia. Di samping itu, Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas

mata pelajaran PKN.

1.3. Rumusan Masalah

Dalam pembuatan makalah ini penulis akan membatasi pembahasan hanya

sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

- Apa yang dimaksud dengan ‘hak hidup’ dan ‘pidana mati’ ?

- Bagaimana pelaksanaan pidana mati di Indonesia?

- Bagaimana hubungan hak untuk hidup dan pidana mati?

1.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikemukakan dalam Makalah ini diperoleh dengan membaca

buku-buku sumber, internet, dal

n berbagai informasi lain yang ada hubungannya dengan pidana mati dan

hak manusia untuk hidup.

1.5. Sistematika Penulisan

Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut

BAB I (PENDAHULUAN)

1.1 Latar Belakang Permasalahan

1.2 Tujuan

1.3 Rumusan Masalah

3

1.4 Metode Pengumpulan Data

1.5 Sistematika Penulisan

BAB II (HAK MANUSIA UNTUK HIDUP)

BAB III (PIDANA MATI)

3.1 Landasan Teori Pidana Mati

3.2 Definisi Pidana Mati

3.3 Ketentuan Pidana Mati

3.4 Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia

BAB IV (PEMBAHASAN)

4.1 Tinjauan Secara Normatif

4.2 Tinjauan Secara Politik Hukum

4.3 Tinjauan Perkembangan Hukum di Dunia

BAB V (KESIMPULAN)

4

BAB II

HAK MANUSIA UNTUK HIDUP

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki seseorang sejak ia

dalam kandungan. Hak asasi manusia berlaku secara universal. Hak asasi

dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai

manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai

manusia. Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi

manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam

International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur

hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap

manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan

hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2)

menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati,

putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang

serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan

kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of

Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada

putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten

Di Indonesia jaminan tentang hak untuk hidup warganegaranya

terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945.

UUD 1945 merupakan hukum konstitusi Indonesia yang tertinggi

dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Secara umum UUD 1945

memuat materi tentang susunan ketatanegaraan yang fundamental,

pembagian dan pembatasan kekuasaan, jaminan dan perlindungan terhadap

hak asasi manusia, serta mengatur prosedur perubahan undang-undang

dasar.

5

UUD 1945 sebagai produk politik sekaligus produk hukum pernah

diberlakukan dalam dua kurun waktu yang berbeda. Kurun waktu pertama,

yaitu antara 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949

sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik berlakunya UUD 1945

Indonesia Tahun II Nomor 7. Kurun waktu kedua, dimana UUD 1945

diberlakukan kembali sebagai akibat gagalnya konstituante Republik

Indonesia dalam menetapkan UUD yang baru untuk menggantikan UUDS

1950. Melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 Pemerintah menyatakan berlakunya

kembali UUD 1945 hingga sekarang.

Dewasa ini, UUD 1945 telah mengalami sebuah perubahan atau

amandemen. Hal ini disebabkan karena perkembangan dan tuntutan zaman

yang menghendaki adanya perubahan UUD 1945 dalam rangka menciptakan

era baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang dimaksud dengan amandemen UUD 1945 adalah perubahan

atas batang tubuh UUD 1945 (tanpa mengubah bagian pembukaan) oleh

lembaga yang berwenang Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan

ketentuan UUD 1945.

Salah satu bentuk amandemen yang dilakukan untuk mengakomodasi

jaminan perlindungan HAM adalah ditambahnya satu bab dengan sepuluh

pasal di dalam pasal 28. Pasal 28 UUD 1945 semula merupakan pasal yang

mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-

undang. Kemudian pasal tersebut diubah pada tahun 2000 yang merupakan

amandemen kedua UUD 1945.

Amandemen kedua pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentan hak

asasi manusia telah menimbulkan suatu perdebatan dikalangna pakar hukum

maupun dari pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta

masyarakat luas, khususnya terhadap Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1)

UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :

6

Pasal 28 A

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan

hidup dan kehidupannya”.

Pasal 28 I ayat (1)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun”.

Bunyi pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menunjukan

bahwa hak hidup dan hak-hak lain yang diatur tidak dapat diganggi gugat

dalam keadaan apapun.

7

BAB III

PIDANA MATI

3.1 Teori Dasar Pidana Mati

Ada beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung pidana

mati, antara lain: teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan.

Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana

tercakup dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan,

maka ia pun harus menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat

Immanuel Kant:

“Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk

memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat

dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan.”

Teori kedua adalah teori Relatif. Menurut teori Relatif, penjatuhan pidana

tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri,

yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut tampak

dalam pendapat Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan

melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-

undangan.

Teori ketiga adalah teori Gabungan. Thomas Aquinas membedakan antara

pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara menjatuhkan

pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi

khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan

ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut

8

juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku

kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan,

penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari

penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai

sarana untuk menegakkan tertib hukum.

3.2 Definisi Pidana Mati

Definisi pidana mati menurut Andi Hamzah di dalam kamus hukumnya,

mengatakan bahwa pidana mati adalah hukuman yang terberat yang dapat

dijatuhkan pengadilan yaitu dengan mencabut nyawa seseorang sampai

mati.

Menurut Djoko Prakoso untuk memberikan pengertian tentang pidana

mati itu cukup dikaitkan dengan aspek pembalasan dan menakutkan, tidak

dengan memberikan definisi secara bulat dan tuntas. Akan tetapi menurut

Andi Hamzah dalam memberikan definisi tentang pidana mati tidak perlu

dikaitkan dengan aspek lainnya. Jika dalam memberikan definisi tentang

pidana mati dikaitkan dengan aspek-aspek lain maka akan membuat definisi

tersebut lebih luas dan panjang, serta lebih sulit untuk dipahami. Pidana jika

diartikan adalah “hukuman”, sedang mati pengertiannya adalah hilang nyawa

atau tidak bisa hidup lagi. Jadi jika diartikan pengertian pidana mati adalah

hukuman untuk menghilangkan nyawa. Maka pengertian pidana mati adalah

hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang telah diputus bersalah

dalam sidang pengadilan dengan jalan menghilangkan nyawanya.

Jika ditinjau dari segi hukum Islam pengertian pidana mati itu adalah

pidana yang ditetapkan oleh syariat Islam dengan Firman Allah S.W.T di

dalam Al Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga. Karena

syariat Islam adalah suatu syariat yang diperuntukkan demi kemaslahatan

umat manusia secara universil, sebagaimana diwahyukan oleh Allah S.W.T

9

kepada Rosul-Nya Muhammad S.A.W sebagai suatu rahmat dan keutamaan

dari-Nya.

Pidana mati adalah pelaksanaan pidana / tindakan / kebijaksanaan

secara kongkrit oleh aparat eksekusi yang ditentukan oleh hakim, dan

pelaksanaannya dilakukan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP, pidana mati dilakukan oleh

seorang algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat

di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan

tempat terpidana berdiri. Pelaksanaan pidana mati itu kemudian dirubah

dengan cara ditembak sampai mati. Hal ini ditetapkan dalam Penetapan

Presiden (PENPRES) No.2 Tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-

undang No. 5 Tahun 1969.

3.3 Ketentuan Pidana Mati

Adapun beberapa ketentuan mengenai pidana mati yang diatur dalam

Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :

a. dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat

pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang

bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang

akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana

berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan

atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa

tersebut.

b. apabila terpidana adalah seorang wanita yang sedang hamil, maka

pelaksanaan pidana mati harus ditunda hingga anak yang

dikandungnya itu telah lahir.

c. tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri

Kehakiman yang sekarang sudah berubah namanya menjadi

10

Menteri Hukum dan Ham, yakni di daerah hukum dari pengadilan

tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang

bersangkutan.

d. Kepala Polisi daerah yang bersangkutan bertanggung jawab

mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah

mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah

melakukan penuntutan pidana mati pada pengadilan tingkat

pertama.

e. pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak

polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi.

f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang

ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu,

sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau

permintaan dari terpidana dapat menghadirinya.

g. pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan dimuka

umum.

h. penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau

sahabat-sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari

penguburan yang sifatnya demonstratip, kecuali demi kepentingan

umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat

menentukan lain.

i. setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka

jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita

acara mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut, dimana isi

dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam

surat Keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.

11

Baik berdasarkan pada pasal 69 KUHP maupun berdasarkan hak

yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat, karena

pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa

penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini

hanya berada di tangan tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang

menimbulkan pendapat pro dan kontra, tergantung dari kepentingan dan cara

memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila

telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan,

baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya

apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik

kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/tindaknya, maupun kekeliruan

atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan

dijalankan atau juga kekeliuran atas kesalahan terpidana.

Menyadari akan keberadaan pidana mati sebagai pidana yang

mempunyai sifat yang demikian, di negeri belanda sendiri (tempat asalnya

KUHP), sejak tahun 1870 tidak lagi mengenal pidana mati karena pidana mati

telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam

hukum pidana militernya. Di Hindia Belanda (negara jajahannya), pada saat

diberlakunya WvS Voor Nederlandsch indie (KUHP sekarang) tanggal 1

januari 1918, pidana mati dicantumkan didalamnya, dan setelah kita

memproklamasikan kemerdekaan, melalui pasal II aturan peralihan UUD

1945, pidana mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam rancangan

KUHP yang terbaru (1992, yang dalam 1999/2000 telah direvisi) juga masi

dikenal pidana mati walaupun tidak disebutkan sebagai salah satu jenis

pidana dalam kelompok pidana pokok, melainkan dikategorikan sebagai

pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat alternatif.

Adapun dasar pertimbangan pemerintah Hindia Belanda mengapa di

Hindia Belanda dulu pidana mati tetap dipertahankan, sedangkan di Negara

12

Belanda sendiri telah dihapuskan, berhubungan dengan keadaan-keadaan

khusus yang ada di Hindia Belanda, yang menurut pemerintahan Hindia

Belanda, yaitu :

1. kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan

hukum di sini jauh lebih besar daripada di negeri Belanda

mengingat negeri ini wilayahnya sangat luas dengan penduduk

yang terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan

tradisi yang berbeda, yang keadaan ini sangat potensial

menimbulkan perselisian, bentrokan yang tajam dan kekacauan

yang besar di kalangan masyarakat;

2. sementara itu, alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh

pemerintah Hindia Belanda sangat kurang atau tidak sesempurna

dan selengkap seperti di negeri Belanda

berdasarkan dua pertimbangan pokok itulah, bagi pemerintahan

Hindia Belanda dulu tidak bijaksana apabila menghapuskan jenis

pidana mati dari hukum pidana (WvS voor Nederlandsch Indie atau

KUHP sekarang).

Sebetulnya pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat

pidana mati sebaimana yang telah diutarakan tersebut. Oleh karena itulah,

walaupun pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang

sebagai tindakan darurat atau noodrecht (JE.Jonkers,1987: 294). Tiada lain

maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan

tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena

itu,dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati

hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang

jumlahnya juga sangat terbatas, seperti:

1) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara

(104,111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129);

13

2) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan

atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 140 (3),

340;

3) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang

sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2);

4) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444).

Di samping itu, sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah

memberikan suatu isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah di

jatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus sangat hati-hati, tidak boleh

gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam

dengan pidana mati, selalu diancamkan juga pidana alternatifnya, yaitu

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu setingi-

tingginya 20 tahun. Misalnya 365 (4), 340, 104, 368 (2) JO 365 (4) dan lain-

lain.

Prinsip ini juga diikuti oleh kejahatan yang diancam dengan pidana

mati yang dirumuskan di luar KUHP. Misalnya pasal 13 UU No. 11/

PNPS/1963 tentang tindak pidana subversi (telah dicabut dengan UU No. 26

tahun 1999), pasal 23 (4b) UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika (telah

diganti dengan UU 22 Th. 1997, mengenai pidana mati: terdapat pada pasal

80,81,82), pasal 59 UU tentang Psikotropika (UU No.5 Th. 1997).

Dengan disediakannya pidana alternatifnya, maka bagi hakim tidak

selalu harus menjatuhkan pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang

diancam dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim, ia

bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan pidana penjara seumur

hidup ataukah penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringan

apabilah hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak

faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara

konkrit.

14

Pembentuk UU menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap

pidana mati yang diancamkan dalam rumusan kejahatan dengan

pertimbagan bahwa bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana

mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau

didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Oleh karena

itu, jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk menjatuhkan dipidana

mati, ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatifnya .

Tentang bagaimana pidana mati dilaksanakan, ketentuan dalam pasal 11

KUHP (dijalankan oleh algojo di tempat tiang gantungan /digantung) telah

ditiadakan, dan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai

mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam UU No.2

(PNPS) tahun 1964.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih

memiliki ancaman pidana mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti

Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa

bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

3.4 Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Pelaksanaan pidana mati di Indonesia sudah puluhan orang

dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda.

Bahkan selama  Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar

merupakan narapidana politik.

Fakta sejarah menunjukan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak

kita lihat, baik di Indonesia maupun diseluruh dunia, kasus hukum yang

terubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti yang baru. Salah satu

contohnya adalah kasus pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah

15

membunuh salah seorang artis Indonesia, yang kemudian dibebaskan

bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya

kesalahan proses peradilan pada masa itu, yang menunjukan bahwa pakde

tidak bersalah. Tapi bukti-bukti baru itu tidak bisa digunakan lagi, karena

sang terhukum sudah terlanjur dihukum mati.

Pada tahun 2004 terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi,

yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India, 65 tahun), dieksekusi di

Sumatra Utara pada tanggal 5 Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow

Prasad (India, 62 tahun) untuk kasus yang sama di Sumatra Utara pada

tanggal 1 Oktober 2004, dan Namsong Sirilak (Thailand, 32 tahun) di

Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober 2004 untuk kasus narkoba.

Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu

tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun)

terpidana pidana mati karena kasus pembunuhan, dieksekusi dalam posisi

duduk oleh 12 anggota regu tembak, 6 di antaranya diisi peluru tajam dari

jarak 5 meter. Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia

setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan pidana mati telah tertutup

ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli

2004. Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada

tahun 2005. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di

Jambi pada tanggal 13 Mei 2005. Turmudi dihukum mati karena melakukan

pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret

1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12

personel Brimob Polda Jambi.

Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya

jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu

16

dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama

kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat

kontroversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang

bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu

masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka,

reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga

hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan. Di tahun 2007

juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di

Kalimantan Tengah.

Sepanjang 2008, terdapat 8 pidana mati yang dijalankan , mereka

yang dihukum adalah dua warga Nigeria penyelundup narkoba,

dukun Ahmad Saroji yang membunuh 42 orang di Sumatera Utara, Tugabus

Yusuf Mulyana dukun pengganda uang yang membunuh delapan orang

di Banten, serta Sumiarsih dan Sugeng yang terlibat pembunuhan satu

keluarga di Surabaya.

Eksekusi yang paling terkenal pada tahun 2008 dan mendapat

perhatian luas dari publik adalah eksekusi Imam Samudra dan Ali Ghufron,

terpidana Bom Bali 2002.

Sebelum tahun 2008, terdapat puluhan orang yang dihukum mati.

Dan 118 orang terancam eksekusi terdiri dari 56 kasus pembunuhan, 7

kasus terorisme, 55 kasus narkoba.

17

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pidana mati masih diakui

legalitasnya. Hal ini dapat dilihat dengan dicantumkan ancaman pidana mati

dalam KUHP, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Hukum Pidana

Militer (KUHP Militer), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-

undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme,

dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tetang Pokok Tenaga Atom

yang sampai kini masi berlaku dalam menghukum pelaku tindak kejahatan.

Namun, dengan adanya Amandemen ke Dua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat

(1) UUD 1945 telah menimbulkan suatu kontroversi dan polemik yang

meragukan eksistensi pidana mati didalam hukum positif.

Atas keraguan ini maka dilakukan tinjauan secara normatif, politik hukum,

serta perkembangan hukum pidana mati di negara-negara di dunia sebagai

berikut:

4.1. TINJAUAN SECARA NORMATIF

1. Penafsiran Secara Gramatikal

Pasal 28 i Ayat (1) UUD 1945 secara jelas dan tegas menyatakan:"Hak

untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun."

Dengan menafsirkannya secara gramatikal, dengan kaidah bahasa

Indonesia yang dimengerti oleh rakyat Indonesia pada umumnya, kita

akan sampai pada kesimpulan bahwa frasa "hak untuk hidup...adalah hak

18

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun"

menegasi eksistensi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia. Ketika teks

konstitusi telah sangat jelas, maka bahasa Indonesia adalah ukuran yang paling

tepat dalam menafsirkannya, karena: "...undang-undang milik publik, bukan milik

yang membuatnya dan norma hukum yang terkandung dalam undang-undang

itu mengikat semua orang, semua warga negara."

Setiap upaya untuk mengubah makna yang terkandung dalam teks

konstitusi merupakan pengingkaran terhadap konstitusi itu sendiri. Frasa "hak

untuk hidup...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun" tidak bisa tidak akan berujung pada inkonstitutionalitas

pidana mati.

2. Makna "Non-derogable Rights"

Dengan mengacu pada istilah non-derogable rights, sebagai asal-

muasal dari frasa "hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun" yang terdapat dalam Pasal 28 i Ayat (1), maka kita juga

akan sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa, sebagai hukum,

pidana mati sudah seharusnya gugur sejak Perubahan Kedua UUD 1945

di tahun 2000.

Non-derogable rights merujuk pada sejumlah hak asasi manusia

yang menempati hierarki yang istimewa dalam hukum internasional.

Dalam UUD 1945 terdapat tujuh hak, dengan hak untuk hidup

menempati urutan pertama, yang digolongkan sebagai non-derogable

rights, yaitu:

1. Hak untuk hidup,

2. hak untuk tidak disiksa,

3. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani

4. hak beragama

5. hak untuk tidak diperbudak,

19

6. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.

7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Adalah dapat dimengerti mengapa hak untuk hidup ditempatkan di

urutan pertama, karena tanpa hak untuk hidup, niscaya semua hak asasi tidak

dapat dinikmati oleh yang bersangkutan.

Ketujuh hak asasi manusia tersebut bersifat sangat fundamental jika

dibandingkan dengan hak asasi manusia lainnya yang diatur dalam Bab

XA UUD 1945, seperti hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28C) atau

hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal

28 D). Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan mengapa ketujuh hak

tersebut digolongkan sebagai non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dalam keadaan darurat

sekalipun.

3. Legislative Intent" (Kehendak Pembuat Undang-undang)

Upaya mencari legislative intent tidaklah mudah karena tidak semua

perdebatan benar-benar dicatat dalaM risalah rapat secara lengkap. Dan

tidak semua hal dibahas secara terperinci oleh para pembuat undang-

undang. Dari risalah sidang yang resmi disediakan oleh MPR

www.mpr.go.id penulis tidak menjumpai kalimat yang secara khusus

bahwa Pasal 28 J Ayat (2) ditujukan antara lain untuk membatasi hak-hak

yang dijamin oleh Pasal 28 Ayat (1).

Berdasarkan uraian diatas, maka sangatlah bijak kalau kita kembali

pada penafsiran secara gramatikal terhadap Pasal 28 i Ayat (1) UUD 1945

sebagaimana diuraikan di atas.

4. Penafsiran Secara Sistematis

Dengan menafsirkan Pasal 28 i Ayat (1) secara sistematis, kita akan

sampai pada kesimpulan bahwa Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, secara umum,

hanya membatasi pasal-pasal lain dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia.

20

Pembatasan yang dilakukan oleh Pasal 28J Ayat (2) tidak mencakup hak-

hak asasi manusia yang dijamin secara khusus oleh Pasal 28 i Ayat (1).

Jika Pasal 28 J Ayat (2) ditafsirkan sebagai memberikan kewenangan

kepada pemerintah untuk menetapkan undang-undang yang dapat

membatasi hak-hak asasi manusia sebagaimana dirinci dalam Pasal 28 i

Ayat (1), maka ia adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi itu

sendiri.

Selain itu, penafsiran seperti ini juga tidak sejalan dengan prinsip

bahwa norma yang bersifat khusus, dalam hal ini Pasa128I Ayat (1), mengatasi

norma yang bersifat umum, yaitu Pasal 28 J Ayat (2).

Semua uraian di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa hak

untuk hidup adalah hak yang menempati hierarki yang istimewa dalam UUD

1945. Hak untuk hidup digolongkan sebagai non-derogable right atau "hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun",

dalam keadaan darurat sekalipun. Sebagai konsekuensinya maka kami

mohon Majelis Hakim Konstitusi menyatakan pidana mati bertentangan

dengan UUD 1945.

5. Hubungan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan .

Sesuai kelaziman atau prinsip umum, sebuah undang-undang memiliki

kedudukan lebih rendah dari pada undang-undang dasar atau konstitusi; oleh

karenanya norma hukum peraturan perundang-undangan yang berlawanan

dengan norma hukum undang-undang dasar atau konstitusi dinyatakan tidak

berlaku. hierarki norma hukum ini telah diformalkan dalam Pasal 7 UU No. 10

Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang

berbunyi sebagai berikut :

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai

berikut :

21

a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-undang / Peraturan pemerintah pengganti undang-undang

c) Peraturan Pemerintah

d) Peraturan Presiden

e) Peraturan Daerah

Jadi sudah sangat jelas bahwa KUHP dan undang-undang lain yang

masih mencantumkan pidana mati sebagai sanksi hukum bertentangan

dengan UUD 1945, karena bisa dilihat dari substansi dan hierarkinya sangat

bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi di atasnya yaitu UUD

1945.

Polemik berlakunya pidana mati dalam suatu negara selalu menjadi

isu rutinitas dari sistem hukum. Betapa tidak, berlakunya pidana mati

merupakan bagian sistem hukum pidana sekaligus merupakan pelaksanaan

kebijakan negara. Pidana mati sebagai bagian sistem hukum pidana hanya

merupakan pelaksanaan dari kebijakan negara, yang harus diakui bahwa

kebijakan negara yang temporer sifatnya ini sering mengalami pembaharuan

konsep. Belanda misalnya, sistem pidana mati berubah sejalan perubahan

kebijakan negara tentang pidana mati yang kini tidak dikenal lagi dalam

sistem hukum pidananya.

Dari pendekatan histortis, kebijakan pidana mati merupakan

pengembangan dari teori absolut yang mendekatkan diri dengan efek jera.

Namun sejalan dinamisasi hukum pidana, pemidanaan lebih di tujukan

kepada teori rehabilisasi, yaitu pemulihan terpidana agar dapat kembali

bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya setelah ia bebas dari hukuman.

Wajar bagi Indonesia yang masih mengakui legalitas pidana mati

melalui hukum pidana (KUHP), UU Tenaga atom. Narkotika dan Psikotropika,

Korupsi, Terorisme dan lain sebagainya yang semua perbuatannya dianggap

sebagai suatu kejahatan yang membahayakan bangsa dan negara. Tetapi

22

sebalinya harus dipahami bahwa konstitusi memberi perlindungan dan hak

hidup kepada warganya sebagai hak asasi. Perlindungan terhadap hak asasi

dan hak hidup tersebut dapat dilihat dalam pasal berikut:

Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas

menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya.

6. Pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem,

maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja

saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Perkembangan tujuan

pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan.

Pembinaan narapidana yang dilakukan saat ini berawal dari kenyataan

bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan

hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana

dan menjalankan pidana tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah

narapidana.

Pada awalnya, pidana penjara dan pidana mati merupakan balas

dendam atas masyarakat yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana. Karena

pemidanaan dianggap sebagai tindakan pembalasan, maka dalam praktek

kepenjaraan, terpidana benar-benar merasakan unsur peyiksaan, dengan

harapan akan menjadi jera melakukan tindak pidana.

Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak

sejak tahun 1964, setelah Dr. Saharjo, SH. Mengemukakan bahwa tujuan

pemidanaan adalah pemasyarakatan. Mereka yang dipidana bukan untuk

disiksa dan dibuat jera, tetapi dibina dan di masyarakatkan.

Selain bertentangan dengan UUD 1945, menurut Todung Mulya

Lubis pidana mati juga bertentangan dengan filosofi pembinaan narapidana

Indonesia dewasa ini yaitu rehabilitasi dan reintegrasi ke masyarakat bukan

23

retribusi atau pembalasan. Selanjutnya kata Todung Mulya Lubis, bila

seseorang telah dieksekusi pidana mati bagaimana ia dapat direhabilitasi

dan direintegrasi ke masyarakat lagi.

4.2. TINJAUAN SECARA POLITIK HUKUM

Dalam konteks politik hukum di Indonesia, pidana mati harus ditolak

karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan

sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang

bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang pidana

mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus pidana mati Sengkon

dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran

pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu

tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah pidana mati

akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya pidana mati telah

gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,

dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang

hubungan pidana mati (capital punishment) dan angka pembunuhan

antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan pidana mati tidak

membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari

hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya

kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata

disebabkan oleh ketiadaan pidana mati, namun oleh problem struktral

lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di

tahun 2005 ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala

internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai

pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100

24

kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar.

Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian;

Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Meningkatnya

angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka

kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba)

tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka

kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah

menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika

dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus.

Bahkan untuk kejahatan terorisme pidana mati umumnya justru

menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa

depan. Pidana mati justru menjadi amunisi ideologis untuk

meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini

bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama

sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali

pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di Bali.

Satu pernyataan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes

Australia, Jakarta (9 September 2004), Iwan Dharmawan alias Rois,

ketika divonis pidana mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan pada 13 November 2005:“Saya tidak kaget dengan

vonis ini karena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi

terdakwa. Saya menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan

setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun

saya dihukum mati, berarti saya mati syahid”. Sikap ini juga

ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak

meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah

dilakukan. Penerapan pidana mati jelas tidak berefek positif untuk

kejahatan terorisme semacam ini.

25

3. Praktek pidana mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan

diskriminasi, di mana pidana mati tidak pernah menjangkau pelaku

dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa

dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku

korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh

lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah

divonis mati. Padahal janji Presiden SBY pidana mati diprioritaskan

buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran

berat HAM.

4. Penerapan pidana mati juga menunjukkan wajah politik hukum

Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung pidana

mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal

semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai

perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski pidana mati masih

melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi

hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat

(1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan: “hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun”. Sayangnya masih banyak sekali

peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan

semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-

undangan yang masih mencantumkan pidana mati.

5. Sikap politik pemerintah terhadap pidana mati juga bersifat ambigu.

Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara

gigih kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk

tidak menjalankan pidana mati kepada warga negara Indonesia,

26

dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus

pidana mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus

lainnya baru-baru ini.

4.3. TINJAUAN PERKEMBANGAN HUKUM DI DUNIA

Kecenderungan global paling tidak hingga tahun 2007 menunjukan

trend yang semakin positif terhadap abolisi (penolakan) pidana mati.

Mayoritas negara di dunia sudah menerapkan kebijakan abolisi secara de

jure atau de facto, dan eksekusi terhadap terpidana mati hanya dijalankan di

sedikit negara. Kecenderungan ini dianggap merupakan sebuah

perkembangan yang mengejutkan dan merupakan salah satu tematik HAM

yang paling progresif pasca Perang Dunia II, bahkan bila dilihat dari

evolusinya di tataran hukum internasional. Beberapa negara juga semakin

memperketat praktek eksekusi dan pidana mati dalam sistem hukumnya.

Namun perkembangan positif ini masih harus menghadapi fenomena pidana

mati di beberapa negara yang masih dilakukan begitu cepat dan mudah.

Prinsip-prinsip hukum yang harusnya sangat ketat bagi kasus-kasus pidana

mati tidak juga dipertimbangkan. Selain itu di akhir tahun 2006 –persis di hari

Raya Islam Idul Adha- juga ditandai oleh eksekusi mati Saddam Hussein,

mantan penguasa Irak, lewat suatu pengadilan yang diragukan

independensinya. Meskipun kuat dugaan Saddam Hussein terlibat dalam

kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan semasa ia berkuasa, pidana

mati dan eksekusi Saddam tetaplah sesuatu yang negatif. Apalagi bila

memperhitungkan kerentanan situasi sosial politik di Irak pasca invasi

pimpinan Amerika Serikat.

27

BAB V

KESIMPULAN

Hak untuk hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun. Di Indonesia hak untuk hidup dijamin

dalam amandemen kedua konstitusi UUD 1945 Pasal 28A dan Pasal 28

Ayat 1

Meskipun telah dijamin secara konstitusional tetapi hak untuk hidup tetap

dapat dilanggar, karena dalam sistem hukum pidana di Indonesia pidana

mati masih diakui legalitasnya. Hal ini dapat dilihat dari peraturan

perundang-undangan yang masih memiliki ancaman pidana mati.

Sehingga terjadi pertentangan antara Amandemen kedua Pasal 28A dan

Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan yang

masih memiliki ancaman pidana mati tersebut. Penulis melakukan beberapa

peninjauan yaitu :

1. Tinjauan secara normatif

- Pidana mati menjadi inkonstitusional, karena Hak manusia untuk hidup

merupakan hak fundamental dari Hak Asasi Manusia.

- Kehendak pembuat amandemen kedua pasal 28A dan 28i ayat (1) tidak

jelas.

- Jika pasal 28J ayat 2 ditafsirkan sebagai kewenangan kepada

pemerintah untuk menetapkan UU yang dapat membatasi hak asasi

manusia sebagaimana dirinci dalam Pasal 28 A dan 28i ayat 1 maka itu

adalah sebagai suatu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi sendiri.

28

- Pidana mati tidak mematuhi hierarki perundang undangan.

- Pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia

-

2. Tinjauan secara politik hukum di Indonesia

- Karakter hukum positif Indonesia belum baik, dikhawatirkan terjadi kesalahan proses putusan pidana mati.

- Kenyataan sosiologis menurut kegiatan PBB, pidana mati tidak memberikan efek jera sehingga angka pembunuhan atau kejahatan narkoba tetap banyak.

- Praktek pidana mati di Indonesia masih disteriminatif, tidak menjangkau keluarga elite

- Pidana mati bersifat kontradiktif.- Sifat pemerintah bersifat ambigu

3. Tinjauan perkembangan hukum di dunia

Menunjukan trend positif pada abolisi (penolakan) pidana mati.

Sehingga, bila dilihat dari 3 tinjauan di atas, maka hukuman pidana mati

di Indonesia bertentangan dengan hak manusia untuk hidup sesuai

amandemen kedua Pasal 28A dan 28i (1) UUD 1945.

29

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal 475 Bambang Poernomo, Op.cit., hal 8

Salmi, Akhiar, Eksistensi Pidana mati,Aksara Persada, Jakarta, 1985.

Wikepedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, www.yahoo.com, 20 Maret 2006.

Van Pramadya Puspa, Kamus hukum, CV Aneka Ilmu Semarang, 1977, hal 672

Depdikbud, Kamus besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal 566

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.29.

http://www.kontras.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati

30

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Cirebon pada

tanggal 19 Februari 1996 sebagai

anak sulung dari pasangan dr.

Hermawan, SpOG dan Lia Amalia. Ia

adalah anak pertama dari empat

bersaudara. Ia merupakan alumni SD

Negeri Banjarsari 2 Bandung dan

SMP Negeri 5 Bandung.

Penulis bercita cita menjadi seorang dokter kecantikan karena mempunyai

niat untuk menjadikan wanita wanita Indonesia menjadi lebih indah lagi. Ia

sangat gemar membaca dan menulis karangan.

Sekarang ia merupakan siswa yang duduk di kelas X-9 SMA Negeri 3

Bandung. Penulis berharap makalahnya ini dapat bermanfaat bagi dirinya

sendiri dan orang lain.