LO 2 Skenario 2

5
Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segera sesudah terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena ikatan silang antara antigen dengan IgE. 3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik. 1 Alergen dipresentasikan ke sel T CD4+ naïve oleh sel dendritik (yang menangkap alergen dari tempat masuknya:selaput lendir

Transcript of LO 2 Skenario 2

Page 1: LO 2 Skenario 2

Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segera sesudah

terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun

berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan kejadian

reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor

spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast

maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena

ikatan silang antara antigen dengan IgE.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang

di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.1

Alergen dipresentasikan ke sel

T CD4+ naïve oleh sel dendritik

(yang menangkap alergen dari

tempat masuknya:selaput lendir

hidung,paru,konjungtiva). Sel T

kemudian berubah menjadi sel

Th2. Sel T CD4+ ini berperan

penting dalam patogenesis

hipersensitivitas tipe I karena

sitokin yang disekresikannya

(khususnya IL-4 dan IL-5)

menyebabkan diproduksinya IgE

oleh sel B, yang bertindak

sebagai faktor pertumbuhan

untuk sel mast, serta merekrut

dan mengaktivasi eosinofil.

Antibodi IgE berikatan pada

reseptor Fc berafinitas tinggi

(Fcε-R1) yang terdapat pada sel

mast dan basofil; begitu sel mast

dan basofil “dipersenjatai”,

individu yang bersangkutan

diperlengkapi untuk

menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan

pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel

sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan

mediator sekunder untuk fase lambat.2

Mediator Primer

Page 2: LO 2 Skenario 2

Setelah pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan

awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamine merupakan komponen utama granul sel mast . histamine yang

merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine (H1,H2,H3,H4)

dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine akan menunjukkan berbagai

efek, yaitu meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi

mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan

menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan

dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan

kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan

(misalnya, C3a).2

Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui

aktivitas fosfolipase A2, yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat.

Selanjutnya asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekusor asam arakhidonat dan sangat penting

pada patognesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik

yang dikenal paling poten, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan

permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat

kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast.

Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,

pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator

ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan

eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh

aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan

produk metabolisme asam arakhidonat.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-

1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan

penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I

melalui kemampuannya merekrut dan

mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF

merupakan mediator yang sangat poten dalam

adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga

merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan

diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE

oleh sel B. IL-5 mengaktifkan eosinofil.1,2

Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis,

vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi

Page 3: LO 2 Skenario 2

hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan

bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis

sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel

radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga

menyebabkan kerusakan epitel setempat.

Manifestasi Klinis

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini

ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin)

secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada

pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit,

diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan

hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran

pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,

kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan

penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur

pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan

diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk

tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik yang terlokalisasi. Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang

terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetic dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan

kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nosobronkial

sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti

secara jelas, namun suatu studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q

yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.2

Page 4: LO 2 Skenario 2

Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid

Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan

penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis reaksi ini menyerupai

reaksi tipe 1 yaitu syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, dlltetapi tidak berdasarkan atas reaksi

imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi

anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, penisilin, pelemas otot,

dll.1

Alergi Pseudoalergi (anafilaktoid)

Perlu sensitasi Tidak perlu sensitasi

Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama

Jarang (<5%) Sering (>5%)

Gejala Klinis khas Gejala tidak khas

Dosis pemicu kecil Tergantung dosis

Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga