Lapsus Praya New 2003

40
LAPORAN KASUS PEDIATRI NEONATAL SEIZURE OLEH : Fita Nirma Listya H1A 011 022 Harvey Alvin Hartono H1A 011 028 Meita Religia Putri H1A 011 044 PEMBIMBING : dr. I Wayan Gede Sugiharta, SpA DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU DAERAH PRAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

description

laporan kasus praya

Transcript of Lapsus Praya New 2003

Page 1: Lapsus Praya New 2003

LAPORAN KASUS PEDIATRI

NEONATAL SEIZURE

OLEH :

Fita Nirma Listya H1A 011 022

Harvey Alvin Hartono H1A 011 028

Meita Religia Putri H1A 011 044

PEMBIMBING :

dr. I Wayan Gede Sugiharta, SpA

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU DAERAH PRAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2015

Page 2: Lapsus Praya New 2003

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat

darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali

kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.

Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti

sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari

penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.1

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat

berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Kejang demam ialah

bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang

disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur

6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang

demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi yang

berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang

dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan

kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama

demam. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang

berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.2

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang

lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada

8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di

antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang

mengalami kejang demam. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah 3:

1. Riwayat kejang demam dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Temperatur yang rendah saat kejang

Page 3: Lapsus Praya New 2003

4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,

sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya

10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.Faktor

risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah 3:

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu2:

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan

berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan

fokal.Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana

merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

2. Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:

1. Kejang lama > 15 menit

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Manifestasi kejang pada anak-anak dapat bervariasi, antara lain2:

1. Kejang parsial

- Kejang fokal sederhana

- Kejang parsial kompleks

- Kejang parsial yang menjadi umum

2. Kejang umum

- Absens

- Mioklonik

- Klonik

Page 4: Lapsus Praya New 2003

- Tonik

- Tonik-klonik

- Atonik

Page 5: Lapsus Praya New 2003

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejang pada Neonatus

Pada umumnya kejang pada neonatus terjadi hanya beberapa hari, dan hanya beberapa

yang berulang atau mempengaruhi di masa mendatang. Kejang pada neonatus tidak bisa

disebut epilepsi karena hanya merupakan gejala akut. Kejang pada neonatus merupakan hal

yang umum dengan berbagai macam manifestasi klinis. Kebanyakan kejang pada neonates

fokal meskipun ada juga yang kejang umum, tetapi sangat jarang. Kejang subtle paling umum

terjadi pada bayi cukup bulan daripada bayi premature. Berdasarkan studi kejang subtle

termasuk mengunyah, mengayuh sepeda, dan pergerakan mata1.

Kejang pada neonatus merupakan manifestasi disfungsi neurologis. Pada umumnya

aktivitas kejang neonatus yang direkam menggunakan EEG paroksismal yang sering diikuti

dengan manifestasi motoric dan kadang-kadang autonomic atau manifestasi klinis behaviour

yang mempengaruhi respirasi, denyut jantung dan tekanan darah. Kejang yang terlalu lama

dapat menyebabkan kerusakan otak. Kejang neonatus dapat berupa elektroklinikal dengan

kedua tanda dan kejang EEG atau kejang EEG tanpa manifestasi klinis5.

2.2 Insidensi & Epidemiologi

Kejang terjadi lebih sering pada neonatus periode 28 hari pertama setelah lahir.

Insidensi pada bayi baru lahir adalah sebesar 1.5-3.5 per 1000 aterm kelahiran hidup, 10-130

per 1000 preterm kelahiran hidup. Kejang sangat sering terjadi hamper 70% bayi preterm

dengan intraventricular hemoragik atau periventricular leukomalasia. Insidensi kejang

neonatus di Amerika Serikat belum dapat dipastikan jumlahnya, meskipun frekuensinya

diperkirakan sekitar 80-120 kasus per 100.000 neonatus per tahun1, 5.

Page 6: Lapsus Praya New 2003

Tabel 1. Prevalensi etiologi berbeda kejang pada neonatus 5

2.3 Etiologi

Kejang terjadi ketika sekelompok besar neuron terus berdepolarisasi terus

bersinkronisasi. Depolarisasi dapat terjadi sebagai hasil pelepasan sejumlah besar asam

amino seperti glutamate atau defisiensi neurotransmitter penghinhibisi seperti GABA1. Selain

itu kejang dapat disebabkan oleh:

a. Hipoksia-iskemik ensefalopati

Penyebab lain adalah terganggunya membran potensial ATP-dependent yang

menyebabkan sodium mengalir kedalam neuoron dan potassium keluar dari neuron.

Hipoksia-iskemik ensefalopati mengganggu pompa sodium-potassium yang

menyebabkan depolarisasi berlebihan yang mengakibatkan kejang pada

neonatus.Kejang dapat berupa subtle, klonik, atau kejang umum.

b. Hemoragik

Page 7: Lapsus Praya New 2003

Pendarahan Intracranial terjadi lebih sering pada bayi prematur. Membedakan bayi

dengan hipoksia-iskemik ensefalopati murni dengan pendarahan hemoragik seringkali

sulit. Pendarahan subarachnoid sering terjadi pada bayi cukup bulan. Pendarahan

germinal matrix-intraventricular hemorrhage sering terjadi pada bayi prematur

premature, khususnya pada bayi dengan usia kehamilan 34 minggu. Kejang jenis Subtle

sering muncul dengan pendarahan tipe germinal. Subdural hemorrhage berhubungan

dengan kontusio serebral dan sering terjadi pada bayi cukup bulan.

c. Kelainan metabolik

Kelainan metabolic termasuk hypoglycemia, hypocalcemia, and hypomagnesemia.

d. Infeksi intrakranial

Infeksi Intracranial infections merupakan penyebab penting terjadinay kejang pada

neonatus yang terdiri dari meningitis, encephalitis, toxoplasmosis, and cytomegalovirus

(CMV).Bakteri penyebab utamanya adalah Escherichia coli and Streptococcus

pneumoniae.

e. Sindrom malformasi

Sementara kebanyakan malformasi cerebral muncul dengan kejang pada umur

selanjutnya, malformasi penting untuk dipertimbangkan.Lissencephaly, pachygyria,

polymicrogyria, dan sindrom linear sebaceous nevus dapat muncul bersamaan dengan

kejang pada periode neonatus.

f. Kejang neonatal benign

Sindrom kejang neonatal benign dapat dikarakteristikan oleh kejang yang familiar

ataupun idiopatik. Kejang neonatal benign yang familiar pada umumnya terjadi pada

48-72 jam pertama kehidupan dan akan menghilang pada usia 2-6 bulan. Riwayat

kejang keluarga pasti ada, dan biasanya perkembangan bayi tersebut akan normal1,4.

Page 8: Lapsus Praya New 2003

2.4 Patofisiologi

Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari

perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya kalium. Kejang

terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga terbentuk gelombang listrik

yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4 kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi

berlebihan1 :

Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi

energi.

Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan

inhibitorik

Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan

eksitatorik

Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan

natrium.

Page 9: Lapsus Praya New 2003

Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang

tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai

peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi

secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup

kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi

kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah

sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.

Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus

adalah :

1. Peningkatan eksitabillitas pada neonatus

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui homolog

dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter seperti glutamate, α-

amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-

aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2 minggu awal kelahiran untuk membantu

Page 10: Lapsus Praya New 2003

pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5. Selain itu, pada periode ini

merupakan saat sensitifitas terhadap magnesium di titik terendah. Magnesium

merupakan penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga berdampak pada

meningkatnya eksitabilitas otak bayi.

2. Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur

Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara

perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi pengikatan reseptor

GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa

awal kehidupan5. Sehingga dengan hubungannya terhadap aktifitas sel syaraf pada

neonatus yang lebih mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini mendukung

terjadinya kejang.

Page 11: Lapsus Praya New 2003

3. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan

Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor

neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan. Seperti yang

terjadi padamutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan dengan

terjadinya kejang neonatus familial jinak, menyebabkan proses hiperpolarisasi K+

yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang dengan cepat.

4. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur

Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal. Contoh

penting ada pada Corticotropin releasing hormone (CRH), yang memicu terjadinya

potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada fase kehidupan selanjutnya, CRH

dikeluarkan pada tingkat yang lebih tinggi pada 2 minggu awal kehidupan, seperti

yang terlihat pada tikus5. CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang menjelaskan

mengapa pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan memicu

terjadinya kejadian kejang yang berulang.

2.5 Diagnosis

Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan menyeluruh

terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti riwayat penyalahgunaan

narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat kehamilan, infeksi intrauterus, dan

kondisi metabolik harus dicatat dengan baik dan didapat langsung dari ibu sedetail mungkin.

Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :

Riwayat kejang dalam keluarga

Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak

sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal tanpa diketahui

penyebabnya.

Riwayat kehamilan /prenatal

o Infeksi – infeksi yang terjadi pada waktu hamil

o Preeklampsia, gawat janin

o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon

o Imunisasi anti tetanus, rubela

Page 12: Lapsus Praya New 2003

Riwayat persalinan

o Asfiksia, episode hipoksik

o Trauma persalinan

o Ketuban Pecah Dini

o Anestesi lokal/blok

Riwayat pascanatal

o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk

o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini

o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat

o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur

perawatan

o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan

etiologi

o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi

2.6 Manifestasi klinik

Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin terlihat bersamaan

selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan menurut manifestasi klinis yang timbul

Tipe kejangProporsi dari kejang

neonatusTanda klinis

Subtle o 10-35% tergantung

maturitas4

o Lebih sering pada

bayi cukup bulan

o Terjadi pada bayi

dengan gangguan

SSP berat

o Mata- melotot, mengedip,

deviasi horizontal

o Oral- Mencucu, mengunyah,

menghisap, menjulurkan lidah

o Ekstremitas- memukul, gerak

seperti berenang, mengayuh

pedal

o Otonomik- apneu, takikardia,

tekanan darah tidak stabil

Klonik o 50%4

o Lebih sering pada

o Biasanya dalam keadaan sadar

o Gerak ritmik (1-3/detik)

Page 13: Lapsus Praya New 2003

bayi cukup umur o Fokus organ lokal atau 1 sisi

wajah atau tubuh. Mungkin

merupakan fokal neuropathy

yang tersembunyi

o Multifokal – irregular,

terpotong-potong

Tonik 20%4

Lebih sering pada

bayi preterm

Mungkin meliatkan 1 bagian

ekstremitas atau seluruh tubuh

Ekstensi generalisata dari

bagian tubuh atas dan bawah

dengan postur opisthotonic

Mioklonik 5%4 Sentakan cepat terisolasi

(membedakan dari mioklonik

neonatus jinak)

Fokal (1 bagian ekstremitas)

atau multifokal (beberapa

bagian tubuh)

Ditemukan pada putus obat

(terutama gol. Opiate)

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis, dilakukan

secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat kejang dalam batas

normal, namun demikian bergantung penyakit yang mendasarinya sehingga neonatus yang

mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis legkap secara sistematis dan berurutan :

1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri

manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk kejang,

kemungkinan penyebab dapat ditemukan

2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit. Kesadaran yang

tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya

pernapasan, kejang tonik, posisi serebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya

Page 14: Lapsus Praya New 2003

negatif dan terdapat kuadriparesis flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan

intravetrikular.

3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti sianosis dan

kelainan pada jantung atau pernapasan sehingga dapat dicurigai

kemungkinian adanya iskemia otak.

4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur, depresi atau

moulding yang berlebihan karena hal-hal seperti trauma. Ubun-ubun besar

yang tegang dan menonjol menunjukkan adanya peningkatan tekanan

intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural

serta kemungkinan adanya meningitis

5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau

subhialoid yang merupakan manifestasi patognomonik untuk hematoma

subdural. Dapat ditemukan korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi

sitomegalovirus dan rubela.

6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi,

berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada kasus yang

dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.

2.8 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan

informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk

mencari penyebab yang lebih spesifik

Kimia darah

Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah

serta analisa gas darah harus dilakukan.

Pemeriksaan darah rutin

Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit , leukosit,

hitung jenis leukosit

Kelainan metabolik

Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada bayi baru

lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif

terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab metabolik yang

mungkin.

Page 15: Lapsus Praya New 2003

o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa

o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa untuk

mencari substansi reduksi

2. Pemeriksaan radiologis

a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk mencari adanya

perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Perdarahan subarakhnoid atau

lesi kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan ini.

b. CT-scan kranium

Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya penyakit

intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti adanya

infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi serebral.Melalui catatan

sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang penting pada kasus

kejang neonatus, terutama bila kejang terjadi asimetris.

c. MRI

Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle yang

kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium.

3. Pemeriksaan lain

EEG(electroencephalography)

EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda abnormal. EEG

interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih

bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah

kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk menentukan prognosis di masa

depan bayi. EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis pada bayi cukup

bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat penting untuk memeastikan

adanya kejang di saat manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan

penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk menginterpretasikan hasil EEG

dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status klinis bayi (termasuk

keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.

The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria sebagai

berikut :

o Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata

Page 16: Lapsus Praya New 2003

o Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG. Secara

klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG masih

mengalami kejang.

Kejang elektrografik

Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset, morfologi dan

perambatan yang bervariasi. Bayi preterm maupun aterm, keduanya

mempunyai kemampuan menciptakan peristiwa ictal yang sangat bervariasi,

lokasi asal kejang yang paling umum adalah lobus temporal. Beberapa

penelitian telah menghitung durasi kejang pada neonatus. Umumnya

digunakan batasan 5 detik, namun Clancy dan Ledigo menggunakan

pembatasan menurut mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi minimal dan

definisi ini juga diadopsi oleh Sher dkk.

Disosiasi elektroklinik

Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran EEG, hanya

sepertiga dari kasus yang dipelajari dengan rekaman video yang manifestasi

klinis dan gelombang listriknya sesuai. Pada 349 neonatus yang diteliti oleh

Mizrahi, ditemukan 415 kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11

neonatus lain ditemukan secra elektrografis walaupun secara klinis tidak

kejang. Manifestasi klinis timbul karena adanya gelombang dari batang otak

dan medula spinalis dilepaskan dan kurangnya inhibisi dari pusat yang lebih

tinggi.

2.9 Tatalaksana

Penatalaksanaan kejang pada BBL meliputi stabilisasi keadaan umum bayi,

menghentikan kejang dan identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta suportif untuk

mencegah kejang berulang. Penanganan kejang pada akut neonatal akut harus diterapi secara

agresif. Ketika terdapat kejang klinis yang harus dilakukan adalah pemeriksaan yang ketat

untuk menentukan penyebab etiologi harus dimulai dengan cepat. Pertahankan homeostasis

sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi).5

Prosedur terapi anti kejang pada neonatus meliputi pengobatan awal dengan

fenobarbital harus dipertimbangkan. Jika kejang terus berlanjut, fenitoin harus ditambahkan.

Kejang persisten mungkin memerlukan penggunaan benzodiazepin intravena, seperti

Page 17: Lapsus Praya New 2003

lorazepam atau midazolam. Fenobarbital dengan loading dose 10-20 mg/kg BB

intramuskuler  dalam 5 menit, jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB

sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit. Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin:

loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena dalam  30 menit5.

Kebanyakan bayi diterapi hanya berdasarkan diagnosis klinis saja, dan monitoring

terapinya juga dilakukan dengan mengamati perubahan klinisnya saja. Penelitian dengan

EEG yang kontinyu menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering

menetapnya kejang setelah dimulai terapi antikonvulsan. Pada beberapa neonatologist akan

menterapi bayi yang mengalami kejang lebih dari tiga kali dalam satu jam, atau kejang

tunggal yang berlangsung lebih dari 3 menit.

Manajemen awal kejang 4

Pengawasan jalan nafas, pemberian oksigen.

Pasang jalur infuse IV dan beri cairan dengan dosis rumatan

Bila kadar glukosa darah kurang 45 mg/dl, tangani hipoglikemia nya sebelum

melanjutkan manajemen selanjutnya.

Bila bayi dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam terakhir, beri

injeksi fenobarbital 20 mg/kgBB secara IV, diberikan pelan-pelan dalam waktu 5

menit.

Bila jalur IV belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20mg/kgBB dosis tunggal

secara IM atau dosis dapat ditingkatkan 10-15 % disbanding dosis IV.

o Bila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, beri ulangan fenobarbital 10

mg/kgBB secara IV atau IM. Dapat diulangi sekali lagi 30 menit kemudian

bila perlu. Dosis maksimal 40 mg/kgBB/hari.

o Fenitoin hanya boleh diberikan secara IV. Campur dosis fenitoin ke dalam 15

ml garam fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 0,5 ml/menit selama 30

menit.

o Monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin IV.

Page 18: Lapsus Praya New 2003

Bagan Manajemen Terapi Kejang pada Neonatus

Terapi suportif

1. Pemantuan ketat : pasang monitor jantung dan pernafasan serta “pulse oxymeter”

2. Pasang jalur intravena, berikan infus dekstrose

3. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan

Page 19: Lapsus Praya New 2003

4. Koreksi gangguan metabolic dengan tepat.

Medikamentosa : pemberian antikonvulsan merupakan indikasi pada manajemen awal.

1. Fenobarbital

Dosis awal 20-40 mg/kgBB intravena diberikan mulai dengan 20mg/kgBB selama 5-

10 menit

Pantau depresi pernafasan dan tekanan darah

Dosis rumatan : 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis

Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian intravena atau 2-4 jam

setelah pemberian per-oral dengan kadar 15-45 ugm/ml

2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak member respon yang

adekuat terhadap pemberian fenobarbital.

Dosis awal untuk status epileptikus 15 – 20 mg/kgBB intravena pelan-pelan.

Karena efek alami obat yang iritatif maka beri pembilas larutan garam

fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat.

Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi selama

pemberian infuse.

Dosis rumat hanya dengan jalur intravena (karena pemberian oral tidak

efektif) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis.

Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12-20 mg/L atau 1-

2 mg/L

3. Lorazepam : biasanya diberikan pada BBL yang tidak memberi respon terhadap

pemberian fenobarbital dan fenitoin secara berurutan.

Dosis efektif : 0.05 – 0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai dengan 0.05

mg/kgBB pelan pelan dalam beberapa menit.

Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk efek

antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit

Pengawasan terhadapa depresi pernapasan dan hipotensi.

Page 20: Lapsus Praya New 2003

Obat Anti Kejang lainnya

Benzodiazepin

Benzodiazepin meningkatkan inhibisi GABA-mediated melalui aktifasi reseptor GABA-A.

Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif pada anak dan dewasa namun kurang

berperan pada bayi baru lahir karena GABA bersifat eksitatorik. Benzodiazepin mempunyai

profil keamanan yang baik.

Midazolam

Midazolam larut dalam air, benzodiazepine bekerja cepat dan terbukti efektif untuk terapi

status epileptikus pada populasi anak. Telah di evaluasi perbandingan antara midazolam

dengan lidokain sebagai terapi lini kedua pada bayi dengan kejang yang gagal merespon

fenobarbital. Kejang di monitor dengan menggunakan video EEG secara kontinyu. Enam

bayi menerima klonazepam atau midazolam namun tidak ada yang berespon. Didapatkan

adanya gerakan abnormal pada bayi preterm yang menerima infuse midazolam , meski EEG

tetap normal. Kelanjutan dari perkembangan sarafnya lebih baik pada bayi yang disedasi oleh

morfin daripada dengan menggunakan midazolam.

Diazepam

Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara ketidakstabilan

kardiorespiratorik dapat terjadi jika obat ini digunakan bersama dengan fenobarbital dan

metabolit utamanya yang memiliki waktu paruh panjang. Diazepam bukanlah pilihan terbaik

dari golongan benzodiazepine untuk digunakan pada bayi baru lahir.

Anti Kejang Rumatan

Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang rumatan,

fenobarbital 5mg/kg/hari adalah pilihan pertama. Kasus yang resisten harus di terapi dengan

kombinasi fenobarbital dan karbamazepin, meski sodium valproat dapat berhasil pada

beberapa kasus.

Page 21: Lapsus Praya New 2003

Lamanya pemberian dosis rumatan pada kejang BBL masih belum terdapat kata sepakat.

Beberapa penulis segera menghentikan dosis rumatan setelah ternyata tidak ada kelainan

neurologis. Sedangkan yang lain menggunakan patokan gambaran klinis dan gambaran EEG.

2.11 Prognosis

Kejang pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan kematian, atau jika hidup dapat menderita

gejala sisa atau sekuel4.

Keluaran bayi yang pernah mengalami kejang

Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)HIE sedang dan berat 50 25 25

Bayi Kurang Bulan 58 23 18

Meningitis 20 40 40

Malformasi otak 60 40

Hipokalsemi 100

Hipoglikemi 50 50

Prognosis ditentukan dari penyebab kejang pada neonatus itu sendiri. Jika hasil pemeriksaan

EEG normal, prognosis sempurna untuk kejang dapat sembuh kembali dan berkembang

normal. Pemeriksaan EEG yang tampak tidak abnormal (berat) mengindikasikan prognosis

yang buruk. Adanya gelombang memuncak pada EEG berkaitan dengan resiko terjadinya

epilepsy sekitar 30%.4

Adanya kejang pada neonatus adalah prediktor jangka panjang untuk terjadinya deficit fisik

dan kognitif. Komplikasi kejang pada neonatus adalah beberapa hal dibawah ini :

Cerebral palsy

Cerebral atrophy

Hydrocephalus ex-vacuo

Epilepsy

Spasticity

Feeding difficulties

Prevalensi untuk terjadinya retardasi mental dan ketidakmampuan belajar dilaporkan terjadi

sekitar 2.5 %.5

Page 22: Lapsus Praya New 2003

BAB III

LAPORAN KASUS

I DENTITAS

Nama : By Elna Susanti

Usia : 5 hari

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Janapria

Suku : Sasak

Agama : Islam

No. RM :

MRS : 11 Mei 2015

Tanggal pemeriksaan : 12 Mei 2015

SUBJECTIVE (HETEROANAMNESIS)

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Pengobatan

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Riwayat Imunisasi:

Riwayat Nutrisi

Page 23: Lapsus Praya New 2003

Riwayat Pribadi dan Sosial-Ekonomi

OBJECTIVE

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum: Lemah

Kesadaran: somnolen

Kesan Sakit: berat

Status gizi:

BB: 3000 gram, TB: 49 cm

BB/U =

PB/U =

BB/PB =

Vital Signs:

Denyut Jantung : 129 x/menit,

Frekuensi nafas : 42 x/menit, retraksi subcostal

Suhu : 37,3 ºC, aksiler.

Status Lokalis

Kepala

Bentuk dan ukuran : normocephali

Rambut : normal.

Edema (-).

Hiperpigmentasi (-).

UUB terbuka cekung

Mata

Simetris.

Alis : normal.

Edema palpebra (-/-).

Konjungtiva: anemis (-/-), hiperemia (-/-).

Sclera: icterus (+/+), hiperemia (-/-), bintik bitot (-)

Pupil : isokor, bulat, miosis (+/+), midriasis (-/-).

Page 24: Lapsus Praya New 2003

Sekret berlebih dan lengket (-)

Telinga

Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.

Lubang telinga : normal, sekret/otore (-/-).

Peradangan pada telinga (-)

Hidung

Simetris, deviasi septum (-/-).

Napas cuping hidung (-/-).

Perdarahan/rinore (-/-), sekret (-/-).

Mulut

Simetris.

Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (+), pursed lips breathing (-), deskuamasi (+)

Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).

Lidah: glositis (-), kemerahan di pinggir (-), lidah kotor (-).

Gigi : -

Mukosa : basah, tampak bercak-bercak putih di seluruh mukosa bukal, perdarahan (-),

stomatitis (+).

Tonsil : sulit dievaluasi

Leher

Simetris (-).

Kaku kuduk (-).

Pembesaran KGB (-).

Otot bantu nafas sternocleidomastoideus tidak aktif.

Pembesaran kelenjar tiroid (-).

Thorax

1. Inspeksi:

Bentuk & ukuran: simetris

Permukaan dada: petechiae (-), massa (-).

Penggunaan otot bantu nafas: otot sternocleidomastoideus tidak aktif

Page 25: Lapsus Praya New 2003

Tipe pernapasan: abdominal

Ictus cordis: tampak.

2. Palpasi:

Trakea: deviasi (-)

Benjolan (-), edema (-), krepitasi (-),

Gerakan dinding dada: simetris

Ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra.

3. Perkusi : sde

4. Auskultasi :

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:

Bronkovesikuler (+/+)

Suara napas tambahan: rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen

1. Inspeksi:

Distensi (-)

Umbilicus: perdarahan (-)

Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-),ikterik (-), massa (-), tampak

deskuamasi pada daerah perut.

2. Auskultasi:

Bising usus (+) normal

Metallic sound (-)

Bising aorta (-)

3. Perkusi:

Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)

4. Palpasi:

Massa (-)

Nyeri tekan (-)

Hepar, lien dan ginjal tidak teraba

Ekstremitas

- Akral hangat : + +

+ +

Page 26: Lapsus Praya New 2003

- Edema : - -

- -

- Sianosis : - -

- -

Baggy pants (-)

CRT < 3 detik

Genitourinaria, Anus dan Rectum

Sekitar anus tampak eritema (+)

Kulit

Sianosis (-), Iktrerus (-)

Turgor kulit kembali lambat

Vertebrae

- Kelainan (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pemeriksaan darah

ParameterTanggal Pemeriksaan Satuan

11/05/15

HGB 16.3 g/dl

RBC 4.61 10^6/uL

HCT 49.1 %

MCV 106 fL

MCH 35.4 pg

MCHC 33.3 g/dl

WBC 26.4 10^3

PLT 290 10^3

PT 17.8 detik

APTT 25.0 detik

Page 27: Lapsus Praya New 2003

RESUME

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : lemah

Kesadaran : somnolen

Kesan Sakit : berat

Status gizi:

Vital Signs:

ASSESSMENT

- Neonatal Seizure

PLANNING

Diagnostik

Terapi

Non medikamentosa

- Jaga kehangatan rawat inkubator

Medikamentosa

- D10 % 15 tpm

- Benutrion 30 cc

- Pct Infus 3x75 mg IV

- Fenitoin 2x7,5 mg

Page 28: Lapsus Praya New 2003

DAFTAR PUSTAKA

1. Sheth RD. 2011. Neonatal Seizures. University of Florida Collge of Medicine:

Pediatric Neurology. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1177069-overview#showall (Akses: 10 Mei

2015).

2. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, et al. 2006.Konsensus Penatalaksanaan

Kejang Demam. Jakarta: IDAI

3. Kania N. 2007. Penanganan kejang pada anak. Bandung: AMC Hospital. Available

from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf

(Akses: 10 Mei 2015).

4. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. 2006. Buku Ajar Neonatologi.

Jakarta: IDAI.

5. World Health Organization. 2011. Queensland Maternity and Neonatal Clinical

Guideline: Neonatal seizures. Available from:

http://www.ilae.org/visitors/centre/documents/Guide-Neonate-WHO.pdf (Akses 10

Mei 2015).

6. Ghomela, Tricia.Lange Neonatology : Management, Procedures, On-Call Problems,

Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The Mcgraw-Hills

7. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K. Seshia, Martha D. Mullett,

M.D.Avery’s neonatology : Pathophysiology And Management Of The

Newborn.2005. edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

8. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.2001-

2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment. 2011

9. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on Mechanisms and

management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881

10. Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213

11. Ramantani G, et al. Levetiracetam: Safety and Efficacy in neonatal seizures, European

Journal of Paediatric Neurology 2010, doi:10.1016/j.ejpn.10.003