LAPSUS JANTUNGKOE.doc

115
BAB I PENDAHULUAN Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia. 1 Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun pada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. 2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, gagal jantung menempati urutan ke-5 pada tahun 2005. 3 Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. 1 Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner. 1

Transcript of LAPSUS JANTUNGKOE.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia.1 Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun pada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, gagal jantung menempati urutan ke-5 pada tahun 2005.3Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.1 Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang tidak diketahui sebanyak 20 30% kasus.3Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum atau non farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan fasilitas yang tersedia. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas karena gagal jantung.

BAB 2 LAPORAN KASUSSeorang laki-laki datang ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan pada tanggal 30 bulan Oktober 2013 pukul 13.00 WIB, dari anamnesis didapatkan :I. Identitas pasien :

Nama

: Tn. Mustari Umur

: 50 tahun

Pendidian Terakhir: SD Pekerjaan

: Pedagang Alamat

: Padenganploso RT4 RW2 Pucuk Lamongan Agama

: Islam

II. Anamnesa:

Keluhan Utama : SesakRPS: Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 4 tahun yang lalu dirasakan hilang timbul. Namun sejak seminggu ini dan semakin lama semakin memberat. Sesak yang dirasakan terus menerus terutama pada malam hari. Jika berjalan pasien ngongsrong. Pada saat istirahat, pasien sudah mengeluh sesak sehingga pasien lebih sering berada di tempat tidur. Pasien sering tidur dengan menggunakan 2-3 bantal. Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki, batuk tidak berdahak sejak 3 hari SMRS dan batuk terutama timbul saat sesak. Beberapa hari ini, nafsu makan pasien juga menurun, pasien hanya mau minum air putih, kira-kira 1,5 liter lebih. Terasa mual tiap kali makan hingga badannya lemas dan sering keringat dingin sehingga di bawa ke RSML. BAK cukup, BAB dalam batas normal.RPD: Riwayat HT dan DM disangkal. Sebelumnya, pada tahun 2012 pasien pernah MRS kuramg lebih selama 1 minggu karena sakit jantung dan dikatakan ada pembesaran jantung. RPK: Riwayat penyakit jantung disangkal.RPSos : Semasa muda, pasien memiliki kebiasaan merokok, kira kira 1-2 pack per hari tetapi sudah berhenti merokok kurang lebih sejak 4 tahun yang lalu. Selain itu, pasien juga sering mengkonsumsi kopi. III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum: Tampak sesakKesadaran

: Komposmentis

GCS

: 456

Tanda Vital :

Tekanan darah

: 152/94 mmHg.

Nadi

: 105 kali/menit.Nafas

: 30 kali/menit.

Suhu

: 36 Celcius.Kepala (DBN)Bentuk normalBenjolan (-)Rambut (DBN)Mudah dicabut (-)

Alopesia (-)

Mata (DBN)PBI 3cm/3cm

Reflek cahaya +/+

Posisi sejajar

Eksoftalmus (-/-)

Visus ODS >2/60

Gangguan penglihatan (-/-)Kelopak mata (DBN)Bengkak (-/-), Aparatus lakrimal bengkak (-/-), Konjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik(-/-), mata merah(-/-)Telinga (DBN) Aurikula : nyeri (-/-) Liang telinga : bengkak (-/-), eritema (-/-), Gangguan pendengaran (-) Discharge (-)

Hidung dan Sinus (DBN)

Hidung externa : nodul (-), epistaksis (-)Sinus frontalis : nyeri tekan (-)

Mulut dan faring (DBN)

Bibir : sianosis (-)

Gusi : bleeding (-)Mukosa : luka (-)

Gigi : karies (-)

Faring : nyeri telan (-)Kulit (DBN)

Warna normal, sianosis (-), ikterus (-), turgor cukup, Lesi (-)

Kuku (DBN)

Warna normal, sianosis (-/-), pucat (-/-), bentuk normal, Clubbing (-/-)Leher (DBN)Inspeksi : jaringan parut (-), massa (-)

Palpasi kelenjar limfe: pembesaran kelenjar limfe aksila dan supraclavicula (-), trakea tidak bergeser

JVP : R + 3 cm Thorak dan Pulmo Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan thorak simetris, frekuensi nafas 40 kali/menit, pola pernapasan cepat dan dalam, jaringan parut (-), massa (-)Palpasi : pergerakan dada simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-/-), Fremitus taktil simetris.Perkusi: Redup pada lapang pulmo

Auskultasi: Vesikuler menurun pada seluruh lapang pulmo. Ronchi basah halus (+)/(+) basal paru, Wheezing (-)/(-). Cor

Inspeksi: ictus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistraPerkusi: (batas jantung) Kanan jantung : ICS 4 parasternalis dextra. Kiri jantung : ICS 5 linea midaxillaris. Atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra. Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra. Apex jantung ICS 5 linea midclavicula sinistra. Palpasi: Ictus cordis teraba (+) 2 jari, kuat angkat (+)

Auskultasi jantung: Bunyi jantung I, II regular, Gallop (+), Murmur (-) terdengar paling keras di katup mitral. Abdomen

Inspeksi: bentuk flat,jaringan parut bekas operasi (-)peristaltik (-)

Auskultasi : BU + N

Palpasi: Soepel, Hepar tidak teraba, Ginjal tidak teraba, Lien tidak membesar

Perkusi : Tympani, shifting dullness (-).Ekstremitas

Pitting Edema (+), akral hangat, kering, merahIV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin

Tabel 2.1

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

NoPemeriksaanHasil

27 Agustus 2014Normal

1.Diffcount1/2/86/7/41-2/0-1/49-67/25-33/3-7

2.HCT46,640-54%

3.HB15,314,0-18,0 mg/dl

4.LED35/460-5/jam

5.Leukosit10.7004.000-11.000

6.Trombosit209.000150000-450000

7.SGOT12537 U/L

8.SGPT16841U/L

9.Serum Creatinin4,40,8-1,5 mg/dl

10.Urea12410-50 mg/dl

11.Natrium Serum140135-155 m mol/l

12.Urea Acid7,73,1-7,9

EKG

V. ASSESMENT Congestive Heart Failure + CardiomegaliTabel 2.2 SOAPTanggalSubjectObjectAssesmentPlanning TxMonitoring

27-8-2014 Sesak Batuk Kaki bengkakGCS : 456

TD : 152/94N : 105t : 36

RR : 30

-Congestive Heart Failure-O2 Nasal 3 lpm

-Inf. asering

-inj lasix 2 amp IV-inj ceftriaxon 2x1 IV -ISDN 2x1/2 mg po

- Lasix pump 3amp / 24 jam-RR-TD-Balance cairan

28-10-2014

- Sesak

- batuk

-Kaki Bengkak

GCS : 456

TD : 136/98N : 109

t : 36

RR : 29

-Congestive Heart Failure

-O2 NRM 10 lpm

-Inf. Asering 500 CC -inj ceftriaxon 2x1

-ISDN 2x5 mg po

-Lasix pump 2,5 amp / 24jam

-pasang DK

-RR-TD

-Balance cairan

29-8-2014 Badan lemes Kurang nafsu makan GCS : 456

TD : 128/99N : 80t : 36,6

RR : 28

-Congestive Heart Failure-O2 NRM 10 lpm

-Inf. Asering 500 CC

-inj ceftriaxon 2x1

-ISDN 2x5 mg po

-Lasix pump 2,5 amp / 24jam

-echo dopler-TD-DL

-RR

-Balance cairan

30-8-2014 Sudah tidak sesak Tidak ndrodok Bisa tidurGCS : 456

TD : 129/69N : 128

t : 36,3

RR : 28

-Congestive Heart Failure-Tx tetap-RR-TD

-Balance cairan

31-8-2014 Badan sudah enakGCS : 456

TD : 124/81N : 112

t : 36,8

RR : 24

-Congestive Heart Failure Tx tetap Infus D5%

- Asupan bergisi dan rendah garam

-RR-TD-Balance cairan

1-8-2014 Sesak berkurangGCS : 456

TD : 105/78

N : 45

t : 36

RR : 25

-Congestive Heart Failure-Tx tetap-RR-TD-Balance cairan

2-8-2014 Sesak berkurang

Badan sudah enakGCS : 456

TD : 123/80N : 93

t : 36,5

RR : 24

-Congestive Heart Failure

-persiapan KRS

-Kontrol poli

-RR-TD

-Balance cairan

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

A. GAGAL JANTUNG3.1. Definisi

Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada. Bagian kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang bagian atas (atrium) yang mengumpulkan darah dan ruang bagian bawah (ventrikel) yang mengeluarkan darah. Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.

Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.1 Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.23.2. Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di Negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik, meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut. Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor risiko gagal jantung.7Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodusa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit yang ditandai adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.7,8Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).9Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.93.3 Patofisiologi Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.

Gambar 2. Patofisiologi Gagal Jantung

Dikutip dari: Mann DL4Mekanisme Neurohormonal

Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. 1,4,8

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai berikut:a. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi maladaptasi.1

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan dengan exhaustion phenomenon yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.1

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium,NE=norepinephrine.Gambar 3. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung. Dikutip dari : Floras JS10b. Sistem Renin Angiotensin AldosteronCurah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 4. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Dikutip dari: Weber KT dkk.11Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron.1Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1c. Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.1,5d. Bradikinin

Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.1,5e. Remodeling Ventrikel Kiri

Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung. 1,5 Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3. Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1 Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan kontraksi dan pengisian jantung menurun.1,5Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.1,5 Tetapi, pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.1,5

Gambar 5. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ123.4 Klasifikasi Gagal Jantung

3.4.1 Gagal Jantung Akut Gagal Jantung akut (GJA) yaitu suatu keadaan kegagalan jantung untuk menjalankan fungsinya yang terjadi secara cepat atau timbul tiba-tiba yang memerlukan penanganan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan pertama gagal jantung. Pasien yang mengalami gagal jantung akut dapat memperlihatkan kedaruratan medic (medical emergency) seperti edema paru akut (acute pulmonary oedema).15Presentasi klinis pada GJA mencerminkan suatu keadaan yang sangat bervariasi, dan klasifikasi apapun akan memiliki keterbatasan. Pasien dengan GJA biasanya datang dengan satu dari enam kategori klinis. Keberadaan edema paru dapat mempersulit menentukan GJA masuk kategori klinis yang mana. Overlap antara berbagai kondisi ini dapat dilihat pada gambar 6.15

Gambar 6. Presentasi Klinis Gagal Jantung Akut

Dikutip dari: Dickstain dkk.15Presentasi klinis pasien dengan gagal jantung akut dapat dibagi kedalam 6 kategori :

1. Gagal Jantung Akut Dekompensasi / Acute Decompensated Heart Failure

Keadaan gagal jantung akut dekompensasi, dapat berupa keadaan dekompensasi yang baru pertama kali ( de novo ) dan dapat juga merupakan perburukan dari gagal jantung yang kronis (acute on chronic). Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok kardiogenik, edema paru, atau krisis hipertensi.2. Gagal Jantung Akut Hipertensif/ Hypertensive Acute Heart Failure Gagal jantung akut hipertensif yaitu tanda dan gejala gagal jantung disertai dengan tekanan darah yang tinggi dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang relatif baik. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan tonus simpatik yaitu didapatkan tachycardia dan vasokontriksi. Keadaan pasien dapat berupa euvolemik atau sedikit hipervolemik, dan seringkali disertai kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. 3. Edema paru

Pasien dengan presentasi klinis sesak nafas yang hebat/ severe respiratory distress, takipnu dan ortopnu dengan ronki basah di hampir semua lapangan paru. Saturasi oksigen di arteri < 90% pada udara ruangan, sebelum diberikan terapi oksigen.

4. Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik (SBP) 90 mmHgBolus 2 mcg/kg + infusan 0.015-0.03 mcg/kg/menitHipotensi

Dikutip dari: Dickstain dkk.15f. NitrogliserinTerapi nitrogliserin merupakan terapi kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afteroload. Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat dengan edema paru yang besar.

g. Inotropik Obat- obatan inotropik dipertimbangkan pada gagal jantung akut dengan lowoutput states, adanya gejala dan tanda hipoperfusi dan kongesti disamping pemberian vasodilator dan atau diuretik. Penggunaan obat inotropik dapat menyebabkan peningkatan aritmia atrial dan ventrikular. Oleh karena itu pemantauan irama jantung melalui EKG harus dilakukan. Dobutamin merupakan positif obat inotropik yang bekerja melalui perangsangan receptor 1 untuk menghasilkan efek inotropik dan kronotropik positif. Dopamin juga dapat merangsang reseptor adrenergic. Dopamin dosis rendah dapat merangsang stimulasi reseptor dopaminergik dan mempunyai efek diuresis yang terbatas. Dosis tinggi dopamin dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dengan menimbulkan efek takikardi, aritmia dan stimulasi reseptor adrenergic yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi. Dopamin dosis rendah sering dikombinasikan dengan dobutamin dosis tinggi. Penggunaan vasopresor (noradrenalin) tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada gagal jantung. Dan hanya diindikasikan pada syok kardiogenik ketika kombinasi dari inotropik dan fluid challenge test gagal dalam mengembalikan tekanan darah yang adekuat. Pasien dengan sepsis dengan komplikasi gagal jantung akut dapat menggunakan vasopressor. Dosis obat obat inotropik dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Dosis obat- obatan inotropik pada gagal jantung akut.Nama ObatBolusKecepatan Infusan

DobutamineTidak diberikan2-20 mcg/kg/menit (+)

DopamineTidak diberikan 5.0 mmol/L

Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)

Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.Tabel 11. Obat obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis yang diinginkan

Dikutip dari: Dickstain dkk.15Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :

Perburukan fungsi renal peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan. Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI secepatnya dan monitor kimia darah secara erat. Hiperkalemia periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L, turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor kimia darah secara erat. Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ -bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak memerlukan intervensi.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung. Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung. Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.14Pasien yang harus mendapatkan ARB :

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40% Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI. Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.Memulai pemberian ARB:

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.-bloker / Penghambat Sekat Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga memperbaiki perfusi miokard.

Meningkatkan LVEF

Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonalPasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.

Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika diindikasikan).

Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontra indikasi).

AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker), sinus bradikardi ( 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.Antikoagulan (Antagonis Vit-K)

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemik.Temuan yang perlu diingat :

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.

Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada mereka yang memiliki katup prostetik.

Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.Tindakan Operatif / Prosedur Pada Gagal Jantung Kronis

Pada gagal jantung kronis simtomatik, kondisi yang dapat dikoreksi melalui tindakan operatif harus dideteksi dan dikoreksi jika diindikasikan.a. Revaskularisasi koroner pada pasien gagal jantungPenyakit jantung koroner (PJK) adalah menyebab paling umum gagal jantung dan kondisi ini terdapat pada 60-70% pasien dengan gagal jantung dan penurunan LVEF. Pada disfungsi diastolik, penyakit jantung koroner lebih sedikit menjadi penyebab gagal jantung, namun masih tetap dapat terdeteksi pada setengah pasien dengan disfungsi diastolik. Etiologi iskemia dihubungkan dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.

Baik coronary artery bypass grafting (CABG) dan percutaneus coronary intervention (PCI) harus dipertimbangkan pada pasein gagal jantung tertentu dengan PJK. Pilihan mengenai metode revaskularisasi harus didasarkan pada evaluasi cermat komorbiditas, risiko tindakan, anatomi koroner, bukti mengenai seberapa besar miokardium yang masih viable pada area yang akan di revaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan keberadaan penyakit vulvular yang secara hemodinamik signifikan haruslah diperhatikan.

Saat ini tidak terdapat data dari uji klinis multisenter yang mempelajari nilai dari tindakan revaskularisasi untuk mengurangi gejala gagal jantung. Walau demikian, penelitian observasional dari suatu senter mengenai gagal jantung dengan penyebab iskemik menemukan bahwa revaskularisasi dapat mengarah pada perbaikan gejala dan berpotensi memperbaiki fungsi jantung. Saat ini terdapat beberapa uji klinis yang mencoba mencari tahu dampak intervensi secara klinis.

b. Angiografi koroner Direkomendasikan pada pasien dengan risiko tinggi PJK tanpa kontraindikasi untuk memastikan diagnosis dan merencanakan strategi terapi.

Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan bukti temuan kelainan vulvular yang signifikan. Harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung yang mengalami gejala angina walau sudah diberikan terapi farmakologis yang optimal.

c. Operasi KatupPenyakit katup jantung atau vulvular heart disesase (VHD) dapat menjadi penyebab yang mendasari gagal jantung, atau menjadi faktor yang memperburuk gagal jantung yang membutuhkan mangemen terapi spesifik.Guideline ESC mengenai VHD dapat diterapkan pada hampir semua pasien dengan gagal jantung. Walau penurunan LVEF merupkan faktor risiko yang penting untuk kematian peri- dan post- operatif yang penting, tindakan operatif tetap dapat dipertimbangkan .9Rekomendasi spesifik mengenai operasi untuk pasien VHD dengan gagal jantung sulit untuk disediakan, sehingga keputusan harus didasarkan pada penilaian klinis dan echocardiografi yang seksama dengan memperhatikan komorbidatas kardivaskular dan non-kardiovaskular yang ada.Keputusan untuk melakukan operasi untuk kelainan katup dengan hemodinamik yang signifikan seperti stenosis aorta, regurgitasi aorta, atau regurgitasi mitral membutuhkan pertimbangan dari segi motivasi pasien, usai pasien, dan profil risiko.Stenosis AortaTerapi medis pada stenosis katup aorta harus dioptimalkan, namun tidak boleh menunda keputusan mengenai operasi katup. Vasodilator seperti ACEI, ARB, dan nitrat dapat mengakibatkan hipotensi yang substansial pada pasien dengan stenosis aorta berat, dan karenanya harus digunakan secara berhati-hati. Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien yang memenuhi syarat dengan gagal jantung yang bergejala dan stenosis aorta berat. Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan stenosis aorta berat dan penurunan fungsi LVED (1 tahun.

Terapi ICD untuk prevensi primer direkomendasikan untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan cardiomiopati non-iskemik dengan LVEF < 35%, berada pada NYHA kelas fungsional II atau III, mendapat terapi farmakologis optimal, dan memiliki harapan hidup dengan status fungsional baik >1 tahun.

3.7 PROGNOSIS

Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal jantung terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan.

Prognosis gagal jantung akut pada sindroma koroner akut dapat menggunakan klasifikasi Killip. Persentase kematian pada kilip I sebanyak 6% , kilip II sebanyak 17%, Kilip III sebanyak 38%, dan kilip IV sebanyak 67%.BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki datang ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan pada tanggal 27 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB, dan didiagnosis sebagai Congestive Heart Failure. Kemudian pasien dikonsulkan oleh dokter jaga UGD kepada dokter Bashori Sp.JP karena penyakit jantungnya.

Keluhan yang didapat dari hasil anamnesis tanggal 27 Agustus 2014 adalah Pasien sesak sejak 1 minggu yang lalu dan semakin lama semakin memberat. Pada saat istirahat, pasien sudah mengeluh sesak sehingga pasien lebih sering berada di tempat tidur. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar adalah kongesti paru, dimana diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dyspnea. Sesak yang dirasakan pasien terus menerus terutama pada malam hari, dan sering disertai batuk sehingga pasien tidak bisa tidur. Hal ini dikenal dengan istilah Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) yang penyebabnya tidak jelas, tetapi mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor faktor menurunnya tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan aktifitas pada pusat pernafasan di malam hari dan edema paru, dimana keadaan ini merupakan suatu kesatuan atau keadaan tersendiri dan merupakan tingkat terberat dari gagal jantung. Selain itu, pasien juga mengalami orthopneu yaitu sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring dan dapat dikurangi dengan sikap duduk atau berdiri. Hal ini diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ronki pada kedua paru pasien (Pulmonary Crackles), hal ini dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Jika ronki ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru sebelumnya, ronkhi spesifik untuk gagal jantung.Pemeriksaan fisik pada jantung pasien ditemukan adanya ictus cordis di ICS 5 linea midclavicula sinistra, ictus teraba 2 jari dan kuat angkat. Keadaan ini menunjukkan adanya kardiomegali dengan hipertrofi ventrikel kiri. Pada auskultasi, terdengar bunyi jantung ketiga (gallop), yang umum ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Selain itu, juga terdengar murmur regurgitasi mitral yang umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.Pengobatan pada gagal jantung terdiri dari pengobatan non farmakologi dan farmakologi. Contoh pengobatan non farmakologi yaitu diet (diet rendah garam) dan pola hidup sehat (cegah malnutrisi dan olahraga). Sedangkan pengobatan farmakologi secara garis besar bertujuan mengatasi permasalahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini tergantung pada penyebabnya.Beban awal (preload) dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat atau vasodilator lainnya. Beban akhir (afterload) dikurangi dengan obat-obat vasodilator seperti penghambat ACE (captopril, dll), prasozin, dan hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat-obat inotropik seperti digitalis, dopamine dan dobutamin.Diuretika merupakan pengobatan lini pertama untuk gagal jantung, karena dapat mengurangi beban jantung dan kelebihan cairan. Bila gagal jantung dan beban cairan ringan, biasanya cukup dengan membatasi cairan dan menggunakan diuretika oral. Diuretika yang biasanya digunakan adalah dari golongan tiazid dan loop diuretic. Diuretika potassium sparring seperti spironolakton kurang efektif dibandingkan diuretika lain, namun bisa memperkuat kerja diuretika lain. Obat-obat lain yang mengurangi beban awal adalah vasodilator sepeti nitrat. Pada pasien ini menggunakan ISDN untuk dilatasi pembuluh darah kapasitan, sehingga menyebabkan preload berkurang dan tekan pembuluh baji paru serta tekanan pengisian ventrikel kiri turun. Untuk memperkuat kontraktilitas miokard, digunakan obat digitalis seperti dopamin dan dobutamin pada pasien ini. Dopamin bermanfaat pada gagal jantung dengan hipotensi dimana efek vasokontriksi perifer diharapkan akan banyak membantu sirkulasi. Dobutamin bisa bermanfaat pada gagal jantung berat dengan tekanan pembuluh baji paru yang tinggi namun tekanan sistemik dalam batas normal.

BAB VKESIMPULAN

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Seiring dengan menurunnya kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistem sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal.

DAFTAR PUSTAKA1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwalds Heart Disease. Philadelphia:Saunders;2007. p. 561-80.

2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264

3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.

4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000; 320:104-7.8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007. P.85-93.10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:168912. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:127613. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure in coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133138.14. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002; 347:161-167.15. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.16. Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta; FKUI

77