Lapsus Dr Sukardi

28
KELAINAN KONGENITAL Definisi Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi. 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kurang lebih 30% dapat disebabkan oleh 3 golongan penyebab, yaitu penyebab genetik (20%) yang ditentukan oleh faktor prakonsepsi, penyebab kromosom (3-5%) dan pengaruh lingkungan (7-10%). 3 Pengaruh lingkungan menyebabkan kelainan pada berbagai organ akibat pengaruh toksin pada mudigah sewaktu organogenesis. Mudigah sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan mulai usia beberapa hari sampai hari ke 80 pascafertilisasi. Puncak kepekaan mudigah terhadap toksin terjadi pada sekitar hari ke 40. 3 Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kelainan teratogen antara lain: - Obat-obatan. Tolidamid merupakan obat pertama yang dikenal menimbulkan efek teratogenik. Berbagai obat yang dilaporkan bersifat teratogenik antara lain: analgesik, vitamin (terutama vitamin D), antasida, barbiturate, transquilizer, diuretik, antiemetik, antibiotik, sulfonamide, obat batuk, antihistamin, dan hormon. 3 - Rokok dan alkohol. Termasuk zat kimia berbahaya. Meskipun seorang ibu tidak merokok, asap rokok orang lain yang

description

dskx

Transcript of Lapsus Dr Sukardi

KELAINAN KONGENITALDefinisi Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi.3Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan kongenitalFaktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kurang lebih 30% dapat disebabkan oleh 3 golongan penyebab, yaitu penyebab genetik (20%) yang ditentukan oleh faktor prakonsepsi, penyebab kromosom (3-5%) dan pengaruh lingkungan (7-10%). 3Pengaruh lingkungan menyebabkan kelainan pada berbagai organ akibat pengaruh toksin pada mudigah sewaktu organogenesis. Mudigah sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan mulai usia beberapa hari sampai hari ke 80 pascafertilisasi. Puncak kepekaan mudigah terhadap toksin terjadi pada sekitar hari ke 40. 3Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kelainan teratogen antara lain: Obat-obatan. Tolidamid merupakan obat pertama yang dikenal menimbulkan efek teratogenik. Berbagai obat yang dilaporkan bersifat teratogenik antara lain: analgesik, vitamin (terutama vitamin D), antasida, barbiturate, transquilizer, diuretik, antiemetik, antibiotik, sulfonamide, obat batuk, antihistamin, dan hormon.3 Rokok dan alkohol. Termasuk zat kimia berbahaya. Meskipun seorang ibu tidak merokok, asap rokok orang lain yang mengandung bahan kimia yang teratogenik dapat meracuninya. Begitu pula dengan alcohol pemakaian berlebihan dapat menyebabkan cacat pada anak yang dikandungnya.3 Infeksi, yang diketahui dapat mengganggu pembentukan organ tubuh pada awal kehidupan janin antara lain infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes genetik. 3 Gangguan metabolik. Misalnya hipoglikemia akibat diabetes atau kekurangan yodium pada penyakit gondok.3 Penyinaran radioaktif. Radiasi ionisasi yang berlangsung pada masa organogenesis menghasilkan efek teratogenik maupun karsinogen. 3 Kekurangan gizi pada masa kehamilan. Hipovitaminosis dapat menimbulkan efek teratogenik. Risiko tinggi pada ibu hamil berusia lanjut atau muda sekali, apalagi jika berasal dari golongan sosial rendah.3

HATI DAN KANDUNG EMPEDUPerkembangan Embriologi Pada pertengahan minggu ke-3, primodium hati tampak sebagai pertumbuhan epitel endoderm pada ujung distal usus depan. Pertumbuhan ini dikenal sebagai divertikulum hepatis atau tunas hati, terbentuk dari sel-sel yang berproliferasi dengan cepat dan menembus septum transversum, yaitu lempeng mesoderm antara rongga perikardium dan tangkai kantung kuning telur. 2,3

Gambar 18. Perkembangan hati pada minggu ke-5Sementara sel hati terus menembus septum trasnsversum, hubungan antara divertikulum hepatis dan usus depan (duodenum) menyempit, sehingga membentuk saluran empedu. Sebuah tonjolan kecil ke arah ventral terbentuk dari saluran empedu ini, dan pertumbuhan ini menghasilkan kantung empedu dan duktus sistikus. Pada perkembangan selanjutnya, epitel korda hati saling berbelit dengan vena vitellina dan vena umbilikalis, membentuk sinusoid-sinusoid hati. Korda hati berdiferensiasi menjadi parenkim dan membentuk jaringan yang melapisi duktus biliaris. Sel-sel hemopoetik, sel Kupffer, dan sel-sel jaringan penyambung berasal dari mesoderm septum transversum.2,3Pada minggu ke-12, empedu dibentuk oleh sel-sel hati. Sementara itu, oleh karena kandung empedu dan duktus sistikus telah berkembang dan duktus sistikus telah bersatu dengan duktus saluran pencernaan. Sebagai akibatnya, isinya menjadi berwarna hijau gelap. Karena perubahan kedudukan duodenum, muara duktus koledokus berangsur-angsur bergeser dari posisinya semula di depan menjadi di belakang, dan sebagai akibatnya, duktus koledokus didapati berjalan menyilang di belakang duodenum. 2,3

Gambar 19. Pergeseran duktus koledokus seiring perubahan kedudukan duodenum

Anatomi Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann. (Sjamsuhidayat, 2011).Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus. (Snell, 2006).DuktusDuktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus. (Sjamsuhidayat, 2011).Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah. (Sjamsuhidayat, 2011).PendarahanPembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Snell, 2006).Pembuluh limfe dan persarafanPembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus. (Snell, 2006).

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empeduKelainan Kongenitala. Agenesis kandung empeduMerupakan kelainan bawaan yang sangat jarang ditemukanadanya dua atau tiga buah kandung empedu juga jarang sekali ditemukan. Pada keadaan demikian muara duktus sistikus dapat amat bervariasi. 3,6b. Kandung empedu ektopik Kelainan ini juga jarang ditemukan dan bila letaknya intrahepatik akan sulit sewaktu melakukan kolestektomi. Sementara itu kandung empedu yang bergerak bebas karena seluruhnya terletak intraperitoneal dapat menimbulkan torsio kandung empedu. 3,6c. Atresia Saluran empedu (Biliaris)Adalah kelainan kongenital akibat saluran empedu yang tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Kelainan ini tidak diketahui etiologinya. Agaknya kelainan ini berhubungan dengan kolangiohepatis intrauteri yang mungkin disebabkan oleh virus. Terjadi pada satu dari 15.000 kelahiran. Angka kejadian penyakit ini, di Asia Timur hampir sepuluh kali lipat dari kejadian di Negara barat. Kelainan ini mungkin bukan suatu malformasi karena organ lain yang berasal dari daerah embrionik yang sama,seperti hati,duodenum, dan pankreas tidak mengalami kelainan. 3,6Ada dua jenis atresia saluran empedu yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk ekstrahepatik lebih jarang dibandingkan dengan intrahepatik yaitu hanya sekitar seperlima dari jumlah atresia saluran empedu ekstrahepatik. Gejala klinis dan patologik atresia saluran empedu ekstrahepatik, bergantung pada proses berawalnya penyakit, apakah jenis embrional atau jenis perinata. Perbedaan patofisiologi utama antara jenis embrional dan perinatal adalah saat mulainya kerusakan saluran empedu yang progresif. 3,6 Jenis embrional atau fetal dijumapai pada sepertiga penderita. Proses perubahan saluran empedu berawal sejak masa intrauteri dan berlangsung hingga saat bayi lahir. Pada jenis ini tidak ditemukan masa bebas ikterus setelah periode ikterus neonatorum fisiologik (2 minggu pertama kelahiran). Pada pembedahan tidak ditemukan sisa saluran empedu di dalam ligamentum hepatoduodenale. Dapat dijumpai kelainan bawaan seperti malrotasi usus atau pancreas ektopik. 3,6 Jenis kedua adalah jenis perinatal yang dijumpai pada dua pertiga penderita. Ikterus muncul kembali secara progresif setelah ikterus fisiologik hilang beberapa waktu. Pada saat pembedahan, dapat ditemukan sisa saluran empedu di dalam ligamentum hepatoduodenale tanpa adanya malformasi organ lain yang berdekatan.3,6Gambaran klinis neonatus yang menderita ikterus obstruksi intrahepatik maupun ekstrahepatik, menunjukkan ikterus, urin berwarna kuning gelap, tinja berwarna dempul (akolik) dan hepatomegali. Apabila penyakit berlanjut akan timbul sirosis hepatis dengan hipertensi portal yang menyebabkan perdarahan varises esophagus dan kegagalan fungsi hati. Bayi dapat meninggal karena gagal hati, perdarahan varises, koagulopati atau infeksi sekunder. 3,6Ada tiga jenis atresia saluran empedu yaitu: Tipe I, atresia dari duktus biliaris komunis Tipe II, atresia dari duktus hepatikus Tipe III, obstruksi atau sumbatan dari saluran empedu makin ke hulu pada jaringan hati yaitu saluran pada porta hepatis dan diatas porta hepatis. Kebanyakan pasien atresia saluran empedu masuk dalam tipe III yaitu sebanyak 90%.Atresia saluran empedu harus di diagnosis secara cepat dan tepat agar terapi dekompresi berhasil dengan baik. Perbedaan gejala klinis kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik ialah warna tinja, berat badan, umur, saat awal tinja berwarna dempul, dan hepatomegali. Bayi yang menderita kolestasis ekstrahepatik umumnya menunjukkan tinja yang lebih muda, berat badan lebih besar, dan konsistensi hati yan teraba normal. 3,6Pemeriksaan penunjang antara lain: pemeriksaan dengan ultrasonografi dapat ditemukan kelainan kongenital penyebab kolestasis ekstrahepatik yaitu penyakit Caroli, berupa dilatasi kistik saluran empedu. Pemeriksaan lain ialah dilakukan dengan aspirasi cairan duodenum melalui pipa lambung yang dimasukkan sampe ke duodenum. Diagnosis atresia disokong apabila tidak ada empedu pada cairan duodenum. Pemeriksaan kemampuan hati untuk memproduksi empedu serta mengekskresikannya ke saluran empedu sampai tercurah ke dalam duodenum dapat dipantau dengan skintigrafi radioisotop hepatobilier. Apabila isotop terlihat diekskresi ke dalam duodenum, berarti yang terjadi adalah kolestasis intrahepatik, bukan kolestasis ekstrahepatik. Pemeriksaan pelengkap adalah biopsi hati perkutan.3,6,7 Apabila gejala klinis, skintigrafi hepatobilier, atau biopsi hati menyokon kearah diagnosis obstruksi empedu ekstrahepatik, atau atresia saluran empedu, maka langkah selanjutnya adalah laparatomi eksplorasi. 3,7,8Saat laparatomi, dilakukan kolangiografi serta biopsy hati. Penampilan makroskopik hati dan saluran empedu saat pembedahan sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Hati biasanya berwarna cokelat kehijauan dan noduler. Kandung empedu biasanya mengecil karena kolaps, dan pada 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas. Temuan diatas umumnya cukup untuk dilakukan portoenterostomi. 3Tatalaksana atresia saluran empedu ekstrahepatik adalah pembedahan. Atresia saluran empedu intrahepatik umumnya tidak memerlukan pembedahan karena obstruksinya biasanya ringan. Pilihan utama jenis pembedahan atresia saluran empedu ekstrahepatik adalah . 3,7,8Bedah dekompresi portoenterostomi sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur dua bulan. Apabila usia bayi lebih dari tiga bulan, maka transplantasi hati lebih baik daripada operasi dekompresi. Indikasi tersering untuk melakukan transplantasi hati adalah usia bayi yang terlalu tua untuk bedah kasai dan atresia saluran empedu intrahepatik yang disertai gagal hati.3Bedah kasai. Langkah pertama dalam portoenterostomi adalah membuka ligamentum hepatoduodenale untuk mencari sisa saluran empedu ekstrahepatik yang berupa jaringan fibrotik. Jaringan fibrotic ini diikuti terus kearah hilus hati untuk menemukan ujung saluran empedu yang terbuka di permukaan hati. Rekonstruksi hubungan saluran empedu di dalam hati dengan saluran cerna dilakukan dengan menjahitkan yeyunum ke permukaan hilus hati. Protoyeyunostmi ini dibuat secara anastomosis Roux-en-Y. apabila atresia hanya terbatas pada duktus hepatikus komunis, sedangkan kandung empedu dan duktus sistikus serta duktus koledokus paten, cukup kandung empedu saja yang disambung dengan permukaan hati di daerah hilus. Bayi dengan atresia saluran empedu yang dapat dikoreksi langsung, harus dilakukan anastomosis mukosa dengan mukosa antara sisa saluran empedu dan duodenum atau yeyunum. 3Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada 30-60% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya mulai timbul pada 6-9 bulan setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis dengan pemberian antibiotik selama dua minggu. Kemungkinan untuk hidup 5 tahun setelah portoenterostomi rata-rata 40%. Keberhasilan transplantasi hati setelah satu tahun berkisar 65-80%. 3,6IKTERUSDefinisiIkterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan:1. Transport bilirubinBilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah diketahui ada 2 bentuk utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar dan lien; yang kedua terdapat di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi Fe2+) dan hidroksilasi karbon -methine, dimana karbon ini dioksidasi dari cincin tetrapirol sehingga menghasilkan karbon monoksida. Pemotongan ini membuka struktur cincin dan berhubungan dengan oksigenasi kedua atom karbon di kedua ujung rantai. tom karbon yang dipotong, diekskresi sebagai karbon monoksida yang juga merupakan neurotransmiter. Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan kembali oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol rantai lurus adalah biliverdin IX. Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan pemutusan hampir pasti terdapat pada -karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro, di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat atom karbon (, , , ) yang menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan jumlah isomer , , dan yang sama. In utero, bilirubin IX merupakan pigmen empedu yang pertama kali ditemukan, dan dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin IX juga ditemukan pada empedu orang dewasa. Kemudian, atom karbon sentral pada biliverdin IX direduksi dari methine menjadi kelompok methilene, membentuk bilirubin IX, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin reduktase sitosolik. Kedekatan enzim ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang dapat ditemukan di sirkulasi. Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi karbon monoksida. Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi matur sehat = 6-8 mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada mamalia, 80% bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan heme hepatik dan renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat turn over protein heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme sangatlah lambat sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari sekuestrasi eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada bayi, dan 50-60 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis, didegradasi dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang tidak efektif, biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat meningkat pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan logam berat. Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena jumlah eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun sudah lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas. Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan cis dan trans) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau berseberangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito). Bentuk alami bilirubin (4Z,15Z-bilirubin IX) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur yang ada. Pengetahuan stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi. Ikatan hidrogen pada bilirubin membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut dalam media air. Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini menyebabkan diperlukannya molekul karier untuk transport bilirubin dari tempatnya diproduksi di dalam sistem retikuloendotelial ke dalam hati untuk diekskresi. Molekul karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap molekul albumin mampu mengikat 1 molekul bilirubin (Ka = 7.10 7/M). Artinya, pada kadar bilirubin serum yang normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin, dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Selain itu, albumin juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan asam lemak. Perlu diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies. Rata-rata konsentrasi albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai 3,5 g/dl, albumin dapat mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 M/h (25-30 mg/dl). Dikatakan bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang terhadap bilirubin bila dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang bebas dapat masuk ke dalam otak dan merusak jaringan saraf.2. Pengambilan bilirubin oleh sel hatiStruktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran darah yang melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati kapiler, karena aliran darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan arterial. Bilirubin yang terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of Disse di antara endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid hati tidak mempunyai lamina basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya. Celah-celah pada endotelium memungkinkan kontak langsung dengan membran plasma hepatosit. Gambar di bawah (gambar 1) menunjukkan ilustrasi skematik hepatosit dengan metabolisme bilirubin. Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan memasuki hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki hepatosit. Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki hepatosit, termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG), walaupun baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran dengan difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan ICG memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi kompetititf jika diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme intrahepatik, karena anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin berikatan dengan asam glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation di dalam sitosol, dan ICG langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Data dari hepatosit tikus menunjukkan bahwa anion binding receptor carrier merupakan suatu protein dimer dengan berat molekul 55.000. Penelitian antibodi memperkuat dugaan lokasi di membran plasma dan menunjukkan penghentian uptake. Untuk mengangkut bilirubin ke dalam hepatosit diperlukan karier, karena ikatan protein di dalam hepatosit berbeda dari yang di luar. Di luar hepatosit, bilirubin terikat albumin (dengan afinitas 1.108, konsentrasi 0,6 mM). Di dalam hepatosit, bilirubin terikat glutation S-transferase (GST), yang dikenal sebagai ligandin atau protein Y (afinitas = 1.106, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan kelompok protein yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagai intracellular binding protein, misalnya untuk bilirubin. Carrier mediated uptake membantu meningkatkan gradien konsentrasi uptake bilirubin, untuk mengatasi perbedaan afinitas antara albumin dan GST. GST merupakan cadangan intraselular bilirubin yang penting dan mengurangi refluks dari hepatosit kembali ke plasma.

Gambar 1

Keterangan :R, membran carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose; UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG, uridin diphosphat N-asetyl glukosamin; P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase; PPi, inorganik pyrophosphat, BDG/BMG, bilirubin di atau monoglukoronidase; cMOAT, tansporter anion organik kanalikuler multispesifik; BG, bilirubin glukoronidase.3. KonjugasiDi dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi di dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah uridine diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester dengan atau tanpa rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang bertanggung jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate glucuronasyltransferase (BUGT). BUGT berbeda dari isoform glucuronosyltransferaselainnya, yang mengkatalisis konjugasi tiroksin, steroid, asam empedu dan xenobiotik. BUGT terdapat di bagian lipid membran mikrosomal dan gangguan pada lemak ini, secara in vitro mempengaruhi pengukuran aktivitas BUGT. Karena BUGT terdapat di bagian dalam retikulum endoplasma, keberadaan enzim permease diduga untuk mempercepat transport UDP-GA dari sitosol menyeberangi lapisan lemak retikulum endoplasma. Karena kadar uridine diphosphate glucose lebih tinggi di dalam sitosol, diduga UDP-GA merupakan donor konjugasi bilirubin. Uridine diphosphate N-asetil glukosamin dianggap sebagai regulator alami BUGT karena secara in vitro, ia dapat meningkatkan aktivitas BUGT 3x dengan mempengaruhi kecepatan transporter UDP-GA permease. Setelah terjadi konjugasi dengan asam glukoronat, uridin difosfat dapat dikonversi menjadi uridin dan pirofosfat anorganik oleh nukleosida difosfatase, yang juga terdapat di dalam retikulum endoplasma dan mencegah terjadinya reaksi simpang. Isoform spesifik yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin adalah UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17), yang merupakan bagian dari enzim uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti kompleks gen UGT pada kromosom 2. Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan memiliki struktur kompleks yang terdiri dari 4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel yang mengkode isoform yang berbeda-beda. Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, allele mutan yang berbeda-beda telah dianggap sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1 mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan bilirubin diglukoronidase. Sejumlah kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester). Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah, empedu mengandung lebih sedikit bilirubin diglukoronida dan lebih banyak bilirubin monoglukoronida daripada orang dewasa.4. Sekresi bilirubin terkonjugasiSetelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada hati tikus menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran kanalikuli dengan menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3. Data serupa juga menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati membran kanalikuli baik oleh ATP dan membran potensial, sistem tergantung transport. Transporter tergantung ATP yang bertanggungjawab terhadap pasase bilirubin glukoronida dari hepatosit melalui membran kanalikuli adalah transporter anion organik kanalikuli multispesifik (CMOAT), yang merupakan transporter yang terikat ATP dan homolog dengan proterin 2 multidrug resistance.Sebelumnya, CMOAT dianggap sebagai transporter anion organik non-asam empedu, pompa glutathione S-conjugate dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah ATP binding cassette transporter ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia, adrenoleukodistrofi, multidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme ini dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi. Banyak anion organik lainnya (misalnya: BSP, ICG), juga menggunakan mekanisme ekskresi membran kanalikuli yang sama. Infus BSP dan ICG secara simultan mengurangi ekskresi maksimal bilirubin, demikian juga sebaliknya, mekanisme ekskresi kanalikuli untuk bilirubin dan BSP berbeda dengan yang untuk garam empedu. Ekskresi bilier untuk bilirubin terkonjugasi dan BSP, berkurang pada pasien-pasien dengan sindroma DubinJohnson walaupun ekskresi garam empedu tidak terpengaruh. Ekskresi garam empedu dan bilirubin terkonjugasi oleh membran kanalikuli bukannya tidak terpengaruh sama sekali, karena pemberian garam empedu meningkatkan ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi. Efek serupa tampak pada pemberian fenobarbital. Sebaliknya, ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi dapat berkurang pada pemberian zat-zat kolestatik, misalnya estrogen dan steroid anabolik.Dalam keadaan normal, ada bukti yang menunjukkan bahwa bilirubin terkonjugasi yang seimbang menyeberangi membran sinusoid hepatosit, sehingga dalam sirkulasi dapat ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan glukuronidase hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi di dalam serum berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup bulan terdapat peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 0,25% pada umur 2-4 hari, sampai 1,62 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu, kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan maturasi proses glukoronidasi.Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi cukup cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin. Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi langsung yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus. Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:a. Pembentukan bilirubin yang berlebihanb. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hatic. Defek konjugasi bilirubind. Penurunan ekskresi bilirubine. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi yang berlebihan dan sekresi yang menurun Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis, sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk maupun indirek.5. Sirkulasi enterohepatikJika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gambar 1), ada beberapa kemungkinan terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen. Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya memproduksi urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dengan Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorpsi bilirubin dari intestinum. Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat, baik untuk bakterial maupun untuk -glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum. Pada fetus, -glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan diyakini mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum, yang memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan kadar -glukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Kemampuan -glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung banyak -glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.Penilaian JaundiceJaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada jaringan (kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice berasal dari bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa Yunani: ikteros. Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar total bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 M). Derajat kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning, tetapi sklera akan tetap berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Beberapa dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis. Sebaliknya jaundice dapat merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati. Pengukuran kadar total bilirubin serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran semacam ini sangat sering dilakukan pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengukuran ini dilakukan minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua komponen bilirubin total serum dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu bilirubin terkonjugasi (disebut juga sebagai bilirubin direk, karena pada test van den Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak terkonjugasi (yang disebut juga sebagai bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata direk dan indirek sama dengan bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang telah diketahui bahwa hal itu tidaklah benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin yang manapun dapat menimbulkan jaundice.Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin serum telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih untuk mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika kadar total bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat tampak seolaholah meningkat.Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat menentukan macam-macam fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang terikat albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: yaitu dengan high performance liquid chromatography (HPLC), multilayered slides dan bilirubin oksidase. Analisis HPLC memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal dan memerlukan waktu yang terlalu banyak untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC untuk serum bayi normal pada 4 hari pertama kehidupan menunjukkan bahwa kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi meningkat secara paralel dengan fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6% pada orang dewasa). Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada neonatus, hanya 20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis dengan multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium klinis. Hal ini memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi spesifik tanpa pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi merupakan indikator dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena lamanya waktu paruh bilirubin delta. Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin oksidase dengan metode sebelumnya untuk menentukan bilirubin total serum menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin total serum pada neonatus tidak dapat menggunakan metode ini.Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena dibandingkan kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan exchange transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler.Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus, misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance spectrophotometry untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan perlahan-lahan, dan memberikan hasil berupa indeks jaundice. Sejumlah penelitian sudah menunjukkan korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin serum. Di pasaran, jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen untuk pengukuran berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa baik indeks jaundice pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24 jam pertama perkilogram berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya hiperbilirubinemia. Jaundicemeter telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna. Sebagai tambahan, beberapa orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan indikator risiko yang lebih baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan kadar bilirubin serum. Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan menggunakan plexiglas color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan lebih murah daripada jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah dikembangkan metode noninvasif yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum dalam satuan miligram perdesiliter dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia kehamilan.