Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

100
cBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kelainan-kelainan pada Thoraks yang di bahas dalam blok ke-13 ini merupakan kelanjutan dari blok 2 mengenai sistem respirasi dan blok 3 mengenai sistem kardiovaskuler yang telah kita pelajari sebelumnya. Kelainan thoraks yang akan dibahas pada modul 1 ini adalah mengenai kelainan pada saluran pernafasan yang bersifat akut seperti pneumonia dan penyakit infeksi saluran nafas akut lainnya. Dengan judul skenario ”Batuk Biasa Jadi Sesak Nafas” ini akan membahas lebih mendalam tetang sistem pertahanan saluran pernafasan terhadap benda asing termasuk mikroba melalui batuk. Sebagian besar dari penyakit yang menyerang sistem pernafasan akan bermanifestasi sebagai batuk, bersin, nyeri tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain. Hal inilah yang mendasari pembahasan materi dalam modul 1 ini. I.2. Tujuan Dapat menjalaskan bentuk pertahanan sistem pernafasan terhadap benda asing, khususnya melalui refleks batuk 2

Transcript of Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Page 1: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

cBAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kelainan-kelainan pada Thoraks yang di bahas dalam blok ke-13 ini

merupakan kelanjutan dari blok 2 mengenai sistem respirasi dan blok 3

mengenai sistem kardiovaskuler yang telah kita pelajari sebelumnya. Kelainan

thoraks yang akan dibahas pada modul 1 ini adalah mengenai kelainan pada

saluran pernafasan yang bersifat akut seperti pneumonia dan penyakit infeksi

saluran nafas akut lainnya. Dengan judul skenario ”Batuk Biasa Jadi Sesak

Nafas” ini akan membahas lebih mendalam tetang sistem pertahanan saluran

pernafasan terhadap benda asing termasuk mikroba melalui batuk. Sebagian

besar dari penyakit yang menyerang sistem pernafasan akan bermanifestasi

sebagai batuk, bersin, nyeri tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain. Hal inilah

yang mendasari pembahasan materi dalam modul 1 ini.

I.2. Tujuan

Dapat menjalaskan bentuk pertahanan sistem pernafasan terhadap

benda asing, khususnya melalui refleks batuk

Dapat menjelaskan hal-hal yang menyebabkan pneumonia, gejala

klinis dari pneumonia, patofisiologi terjadinya pneumonia, cara

mendiagnosa pneumonia, terapi yang diberikan pada pasien

pneumonia, dan cara mencegah terinfeksi pneumonia

Dapat menjelaskan penyakit-penyakit yang menjadi diagnosis

banding dari pneumonia yang juga bermanifestasi batuk, demam,

sesak nafas, dan nyeri tenggorokan

2

Page 2: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

BAB II

PEMBAHASAN

STEP 1: Terminologi asing

1. Foto rontgen:

- Merupakan gambaran dari hasil rontgen (sinar x dan gamma)

- Pemeriksaan foto rontgen dibagi menjadi rontgen dasar dan rontgen

khusus. Rontgen dasar digunakan untuk mendiagnosa kelainan pada

thoraks, tulang-tulang, dan beberapa organ tubuh tertentu, sedangkan

rontgen khusus digunakan untuk pemeriksaan arteriografi, flebografi,

angiokardiografi, dan lain-lain

2. Interstitial:

- Suatu ruangan diantara sel atau jaringan

3. Infiltrat:

- Proses difusi atau akumulasi dari jaringan atau sel berupa substansi dalam

jumlah yang tidak normal (berlebihan) dan tidak pada tempatnya

4. Alveoli:

- Unit fungsional terkecil dari system respirasi yang berperan dalam

pertukaran oksigen dan karbondioksida dari paru ke pembuluh darah

STEP 2: Identifikasi masalah

1. Mengapa Adi mengeluh batuk berdahak, demam, dan sakit tenggorokan?

2. Mengapa keluhan Adi menjadi semakin berat disertai sesak nafas dan nyeri

dada?

3. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan

dokter?

4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan foto thoraks Adi?

5. Apakah indikasi rawat inap yang dilakukan pada Adi?

6. Apakah ada hubungan antara penyakit Adi dengan keluhan Ayahnya?

7. Apakah penyebab, diagnosis banding, dan diagnosis sementara yang dapat

diambil dari kasus Adi?

3

Page 3: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

STEP 3: Brainstorming

1. Batuk berdahak yang terjadi pada Adi merupakan bentuk pertahanan tubuh

terhadap benda asing seperti mikroba, virus, dan benda asing lainnya. Jika

suatu benda asing masuk ke saluran pernafasan manusia, tubuh akan

merespon dengan memproduksi mukus yang berfungsi melengketkan benda

asing tersebut dan setelah itu akan di buang keluar oleh silia. Selain itu,

releks batuk juga berperan, yaitu juka ada benda asing yang masuk melewati

saluran nafas, epiglotis akan terbuka dan membatukan benda asing tersebut.

Demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap peradangan yang

disebabkan oleh mikroba maupun benda asing lainnya. Demam yang terjadi

dapat bervariasi tergantung pada berat-ringannya peradangan dan banyaknya

mikroba yang menginfeksi. Terjadinya iritasi pada saluran pernafasan

menyebabkan reflex batuk dan nyeri tenggorokan.

2. Keluhan Adi semakin berat karena dahak atau mucus yang semakin banyak

menyebabkan tertutupnya lebih banyak alveoli sehingga pertukaran udara

antara alveoli dengan vaskuler terhambat sehingga dada menjadi sesak

ketikan berusaha mencukupi udara yang dibutuhkan tubuh. Karena

banyaknya infiltrate pada paru juga yang menyebabkan penekanan paru

terhadap pleura sehingga menyebabkan pleura pars viseralis bergesekan

dengan pleura pars parietalis yang mengakibatkan nyeri hebat pada dada

yang disebut nyeri pleuritik.

3. Interpretasi hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan dokter kepada Adi

adalah tekanan darah yang normal (110/80 mmHg), respiration rate yang

meningkat (32 kali/menit), dan suhu tubuh yang naik (39,5oC). dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa Adi mengalami demam dan sesak nafas.

4. Interpretasi hasil pemeriksaan radiologis yang dilakukan dokter kepada Adi

menunjukan adannya infiltrat yang lebih dominan daripada interstitial

merupakan tanda bahwa adanya benda asing di alveolus-alveolus paru

tersebut. Benda asing tersebut dapat berupa sekret atau mucus yang

memenuhi alveolus sehingga terlihat gambaran seperti infiltrat-infiltrat.

4

Page 4: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

5. Indikasi rawat inap yang dilakukan terhadap Adi dikarenakan sesak nafas

yang dialaminya (RR 32 kali/menit). Karena Adi mengalami sesak, maka

dibutuhkan bantuan oksigen, infuse nutrisi, dan elektrolit yang hanya dapat

dilakukan di Rumah Sakit. Selain itu, karena sekret yang bertambah banyak

menyebabkan perlu penanganan lebih lanjut seperti drainase agar sekretnya

dapat dikeluarkan.

6. Penyakit yang diderita Adi kemungkinan ditularkan oleh ayahnya karena

ayahnya juga memiliki keluhan-keluhan yang sama. Penularan dari orang

sekitar merupakan faktor predisposisi dari pneumonia. Penyakit saluran

pernafasan sangat mudah menular melalui inhalasi ataupun droplet.

7. Penyakit yang diderita oleh Adi kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus,

ataupun jamur karena terlihat dari manifestasi klinis yang berupa batuk

berdahak dan demam. Hal ini dapat dipastikan melalui pemeriksaan dahak

untuk mengetahui mikroorganisme apa yang menginfeksi. Diagnosis banding

dari gejala-gejala yang dialami Adi adalah pneumonia, faringitis, laryngitis,

tonsillitis, bronchitis, dan pleuritis. Diagnosis sementaranya adalah

pneumonia karena dari hasil foto rontgen menunjukan adanya infiltrate yang

mengarah kepada pneumonia.

5

Page 5: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

STEP 4: Skema

STEP 5: Learning Objektive

1. Megetahui patomekanisme dari manifestasi klinis Batuk, Sesak Nafas, dan

Demam

2. Mengetahui definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,

tatalaksana, dan komplikasi dari Pneumonia

3. Mengetahui klasifikasi dari Pneumonia

6

Batuk berdahak, demam, nyeri tenggorokan

Demam tinggi + menggigil, batuk, nyeri dada, sesak

nafas

Pemeriksaan vital sign: tekanan darah normal, pernafasan cepat, suhu

tubuh febris

Diagnosis Banding (Faringitis, tonsillitis, laryngitis,

bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis

Pemeriksaan Radiologis Thoraks: infiltrat yang lebih dominan daripada

interstisial

PNEUMONIA

Definisi, etiologi, pathogenesis,

manifestasi klinis, diagnosis, disgnasis banding, tatalaksana,

komplikasi, pencegahan

Page 6: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

4. Mengetahui diagnosis banding dari Pneumonia seperti faringitis,

laryngitis, tonsillitis, epiglotitis, bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis

STEP 6: Belajar Mandiri

STEP 7: Sintesa

Patofisiologi Manifestasi Klinis Infeksi Saluran Nafas

1. Batuk

Batuk adalah suatu ekspirasi paksa yang terkoordinasi yang diakibatkan

oleh rangsangan mekanik atau kimiawi pada reseptor batuk yang banyak terdapat

di laring dan percabangan trakeobronkial. Pola dasar terjadinya batuk dapat

dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Inspirasi dalam secara cepat, 2. Kontraksi Otot-

otot ekspirasi melawan glottis yang tertutup yang menghasilkan tekanan tinggi

dalam paru, 3. Pembukaan glottis secara tiba-tiba, sehingga arus udara eksplosif

keluar, dan 4. Relaksasi otot-otot ekspirasi. Batuk dapat volunter, namun biasanya

involunter, dapat produktif atau nonproduktif (kering). Batuk produktif adalah

batuk yang mengeluarkan lendir atau bahan lain. Batuk kering adalah batuk yang

tidak menghasilkan sekret apapun. biasanya berkurang pada saat tidur, tetapi saat

bangun pagi, batuk cenderung produktif untuk membersihkan saluran pernapasan.

Batuk dapat pula psikogenik. Batuk non produktif ini terjadi pada orang

dengan stress emosional. Bila perhatian ditujukan pada stress itu batuknya

meningkat Selama tidur atau sewaktu perhatian pasien dialihkan, batuknya

berhenti. Batuk psikogenik adalah diagnosis pereksklusionam.

Mekanisme Batuk.

Bronkus dan trakea sedemikian sensitifnya terhadap sentuhan halus,

sehingga benda asing dalam jumlah berapapun atau penyebab iritasi lainnya akan

menimbulkan batuk. Impuls aferen yang berasal dari saluran napas terutama

berjalan melalui nervus vagus ke medula. Di sana, suatu rangkaian peristiwa

otomatis digerakkan oleh lintasan neuronal medula, menyebabkan efek sebagai

berikut.

7

Page 7: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Epiglotis dan pita suara menutup erat-

erat untuk menjerat udara dalam paru. Lalu, otot-otot perut dan otot ekspirasi

lainnya berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma. Akibatnya, tekanan

dalam paru meningkat sampai 100 mmHg atau lebih. Selanjutnya, pita suara dan

epiglotis tiba-tiba terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru

meledak keluar. Udara yang mengalir dengan cepat tersebut biasanya membawa

pula benda asing yang terdapat dalam bronkus atau trakea.

Jalannya Impuls

Reseptor = bronkus dan trakea sensitif terhadap sentuhan halus, laring dan

karina paling sensitif, bronkiolus terminalis dan alveoli sensitif terhadap

rangsangan bahan kimia yang korosif, ex: SO2 dan Cl

Serabut saraf Aferen = nervus vagus, glosofaringeus, trigerminus, frenikus

Pusat Batuk = medula dekat pusat muntah dan pernapasan

Susunan saraf Eferen = membawa impuls ke efektor

Efektor = otot-otot larynx, m. Intercostalis, trakea, bronkus

Batuk berdahak (Produksi sputum)

Sputum atau dahak adalah bahan yang dikeluarkan bersamaan dengan

batuk. Sekitar 75-100cc . sputum disekresikan setiap hari oleh bronkus. Melalui

gerak silia, ia dibawa ke atas tenggorok (aktivitas muco-cilliary clearence) dan

ditelan secara tidak disadari bersama-sama saliva. Peningkatan jumlah produksi

merupakan manifestasi Bronkitis paling dini. Sputum dapat mengandung debris

sel, mukus, darah, pus dan mikroorganisme.

8

Page 8: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Sputum harus dilukiskan berdasarkan warnanya, konsistensi, jumlah,

waktu terjadi ,dan ada tidaknya darah. Sputum yang tidk terinfeksi tidak berbau,

transparan dan berwarna putih atau abu keputihan, menyerupai mukus, disebut

mukoid. Sputum yang putih seperti air, disebut serous Sputum terinfeksi warna

kekuningan, agak kental, disebut muko-purulen dan disebut purulen jika berupa

pus atau warna hijau tua. Pada Pneumonia, sputumnya berkarat (rusty). Pada

Bronkiektasis, penderita mengeluarkan dahak banyak, dan bisa dibedakan adanya

3 lapisan dengan konsistensi yang berbeda. Jika penderita mengeluarkan

dahaknya dengan berdehem, sangat mungkin itu berasal dari saluran napas atas

(=post nasal drip).

2. Sesak Napas (Dispnea)

Sesak nafas atau nafas pendek merupakan suatu keluhan yang menunjukan

ada gangguan atau penyakit kardiorespirasi. Faktor-faktor yang dapat

menyebabkan keluhan sesak nafas, secara umum dikelompokan di bawah ini:

1. Faktor psikis

keadaan emosi tertentu; saat menangis terisak-isak atau tertawa terbahak-

bahak. Sesak nafas karena factor emosi terjadi melalui mekanisme

hiperventilasi.

2. Faktor peningkatan kerja pernafasan

2.1. Peningkatan ventilasi

latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia hipoksik, asidosis metabolik

2.2. Sifat fisik yang berubah

tahanan elastis paru meningkat seperti pada pneumonia

tahanan elastis dinding toraks meningkat, seperti pada obesitas

peningkatan tahanan bronkial selain dari tahanan elastis. Seperti pada

asma bronkial dan bronkitis

Jika kemampuan mengembang dinding toraks maupun paru berkurang

sedangkan tahanan saluran nafas meningkat, maka tenaga yang diperlukan

otot pernafasan guna memberikan perubahan volume serta tenaga yang

9

Page 9: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

diperlukan akan bertambah. Jika paru tidak dapat memenuhi kebutuhan

oksigen maka akan terjadi sesak nafas.

3. Otot pernafasan yang abnormal

3.1 Penyakit otot

kelemahan otot, kelumpuhan otot, dan otot yang distrofi

3.2 Fungsi mekanis otot berkurang

saat inspirasi maupun saat ekspirasi

Kelelahan yang terjadi pada otot tergantung dari jumlah energi yang tersimpan

dalam otot serta kecepatan pemasokan energi.

Patofisiologi sesak nafas dapat dibagi sebagai berikut:

1) Oksigenasi jaringan menurun

Penyakit atau keadaan tertentu dapat menyebabkan kecepatan pengiriman

oksigen ke jaringan menurun, seperti perdarahan anemia, perubahan

hemoglobin dapat menyebabkan sesak nafas.

2) Kebutuhan oksigen meningkat

Penyakit atau keadaan tertentu seperti infeksi akut yang membutuhkan

oksigen lebih banyak karena peningkatan metabolisme akan menyebabkan

sensasi sesak nafas

3) Kerja pernafasan meningkat

Penyakit parenkim paru seperti pneumonia, sembab paru akan menyebabkan

elastisitas paru berkurang serta penyakit yang menyebabkan penyempitan

saluran nafas dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk

mengimbangi keadaan ini otot pernafasan bekerja lebih keras, keadaan ini

menimbulkan peningkatan metabolisme.

4) Rangsangan pada sitem saraf pusat

Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan

sesak nafas secara tiba-tiba. Belum diketahui mekanisme pasti bagaimana hal

ini dapat terjadi.

10

Page 10: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

5) Penyakit neuromuskuler

Banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernafasan jika

mengenai diafragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik lateral sklerosis.

Tetapi ekanismenya belum diketahui secara jelas.

Klasifikasi sesak nafas:

Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak nafas dapat dibagi menjadi 5

tingkat:

a) Sesak nafas tingkat I

Tidak ada hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tetapi sesak nafas

terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya.

b) Sesak nafas tingkat II

Sesak nafas terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya.

Tetapi tidak terjadi bila melakukan aktifitas yang biasa. Seperti naik tangga

dan berlari.

c) Sesak nafas tingkat III

Sesak nafas sudah timbul saat penderita melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi

penderita masih dapat melakukan tanpa bantuan orang lain.

d) Sesak nafas tingkat IV

Penderita sudah sesak napas pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari

seperti mandi, berpakaian, dll. Sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk

melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas belum tampak pada waktu

penderita istirahat.

e) Sesak nafas tingkat V

Penderita harus membatasi diri dalam melakukan kegiatan dan aktivitas

sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini menyebabkan

penderita lebih banyak berada di tempat tidur. Untuk memenuhi segala

kebutuhannya, penderita sangat bergantung pada orang lain.

Dispnea merupakan manifestasi penting penyakit-penyakit Kardio-

pulmoner, meskipun dapat ditemukan pada keadaan-keadaan lain seperti penyakit

Neurologik, Metabolik, maupun Psikologik. Adalah penting untuk membedakan

dispnea dengan takipnea atau bernafas cepat secara objektif. Pasien mungkin

11

Page 11: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

terlihat bernafas cepat, walaupun menyatakan bahwa ia tidak sesak nafas.

Sebaliknya juga terjadi: seorang pasien mungkin bernafas lambat tetapi ia

mengeluh sesak napas/dispnea. Jangan menganggap bahwa pasien dengan laju

pernafasan yang cepat adalah menderita dispnea

Dispnea nocturnal paroksismal (PND) adalah sesak nafas yang timbul

secara tiba-tiba ketika pasien enak-enaknya tidur. Pasien tiba-tiba mengalami

sensasi tercekik yang kuat. Dengan penuh ketakutan ia duduk dan, biasanya

berlari ke jendela untuk mendapatkan “udara” .Segera setelah pasien mengambil

posisi tegak lurus,dispneanya biasanya membaik. Ortopnea adalah kesulitan

bernafas ketika berbaring lurus, pasien memerlukan dua bantal atau lebih untuk

bernafas dengan nyaman

Platipnea adalah gejala kesulitan bernafas yang jarang terjadi ketika

pasiennya duduk dan hilang bila mengambil posisi berbaring. Trepopnea adalah

keadaan dimana pasien lebih nyaman bernafas bila berbaring pada sisi tubuhnya.

DOE (Dyspnea On Exercise) atau disebut juga sebagai dyspnoe d’effort, adalah

keluhan sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas fisik sehari-hari.

Dispnea akut apalagi yang disertai respiratory distresss merupakan keadaan

gawat darurat Paru, yang harus segera ditangani karena adanya ancaman

kematian. Dalam hitungan detik-menit, sesak akan bertambah berat, keadaan akan

bertambah buruk. Beberapa contoh keadaan atau penyakit yang bisa menyebabkan

sesak napas akut berat adalah : Pneumotorak Ventil, Emboli Paru masif, Edem

Paru Akut Kardiogenik, Asma akut berat, Eksaserbasi akut pada COPD, dll.

Disisi lain, sesak napas ada yang berjalan pelahan tetapi progresif dalam hitungan

tahun, disebut dispnea kronik progresif, misalnya yang terjadi pada COPD,

Penyakit-penyakit Paru Interstisiel, Penyakit Paru Kerja, dll.

3. Demam

Demam atau febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan

suhu tubuh yang melebihi dari suhu tubuh normal. Proses perubahan suhu yang

terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang

masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses

12

Page 12: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya

merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang

mengancam keadaan fisiologis tubuh.

Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme)

kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya

memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan

masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan

memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag,

dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit

ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang

dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti

infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel

endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat.

Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.

Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran

prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim

siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari

termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan

titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan

ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang

dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya

proses mengigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas

tubuh yang lebih banyak dan terjadilah suatu keadaan yang dinamakan demam.

4. Nyeri dada

Nyeri dada (Chest pain atau Chest discomfort) merupakan sensasi nyeri atau

rasa tidak nyaman di dada atau didalam dada, yang dapat disebabkan oleh

berbagai keadaan atau penyakit yang mengenai berbagai struktur dalam dada

seperti Jantung, Paru, Costa, Esofagus, dll. Anamnesis yang cermat meliputi Site,

Onset, Characteristic, Reffered, Associated, Time, Exacerbation, dan Severity dari

keluhan nyeri dada tersebut, akan membantu dalam penegakan diagnosis dan

13

Page 13: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

memperkirakan penyebabnya. Sesak napas yang berkaitan dengan penyakit Paru

biasanya disebabkan oleh terserangnya dinding dada atau pleura parietal. Serabut

saraf banyak terdapat didaerah ini. Nyeri pleura (Pleuritic pain) pada penderita

Pneumonia diakibatkan oleh peradangan pada pleura. Nyeri ini dilukiskan

sebagai nyeri tajam, seperti ditusuk-tusuk, yang biasanya terasa pada waktu

inspirasi serta diperparah oleh gerakan yang menyebabkan kedua pleura

bergesekan misalnya saat bernapas dalam, saat batuk atau bersin. Nyeri ini akan

terlokalisir disatu tempat pada salah satu sisi tubuh, dan pasiennya mungkin

melakukan splinting untuk menghindari nyeri. Nyeri serupa tetapi agak tumpul

(=kemeng) kadang ditemukan pada Pneumotoraks. Nyeri dipuncak bahu

menandakan iritasi pleura diafragmatika, sedangkan nyeri tumpul yang terus

menerus mungkin disebabkan oleh erosi iga akibat Karsinoma bronkus. Nyeri

yang terlokalisasi pada dada anterior dan mungkin disertai oleh nyeri tekan pada

palpasi daerah kostokondra adalah ciri nyeri akibat kostokondritis.

Dilatasi akut arteri pulmonalis utama dapat pula menimbulkan sensasi

tekanan tumpul, seringkali tidak dapat dibedakan dengan angina pectoris. Ini

disebabkan oleh ujung saraf yang berespons terhadap perubahan peregangan

arteri pulmonalis utama

Nyeri dada akibat penyakit atau kelainan Jantung, atau akibat penyakit lainnya,

akan dibicarakan tersendiri.

PNEUMONIA

Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

Pneumonia Komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeklsi di

luar RS, sedangkan Pneumonia Nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48

jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU

tetapi tidak sedang memakai ventilator. Pneumonia yang Berhubungan dengan

Ventilator adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah

14

Page 14: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

intubasi trakeal. Pada PPK (Pusat perawatan Kesehatan) termasuk pasien yang

dirawat oleh perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari

dari proses infeksi, tinggal di rumah perawatan (nursing home atau long-term

care facility), mendapat AB intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam

waktu 30 hari proses infeksi ataupun dating ke klinik RS atau klinik hemodialisa.

Insidens

Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang

jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati

adanya satu atau lebih penyakit dasar yang menggaggu daya tahan tubuh.

Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia dan sering

terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada

pasien dengan penyakit lain seperti DM, payah jantung, penyakit arteri koroner,

keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik.

Factor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,

DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada, dan

penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasive seperti infuse, intubasi,

trakeostomi, atau pemasangan ventilator.

Anamnesis epidemiologi harus mencakup keadaan lingkungan pasien,

tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang lain atau binatang yang

menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah

terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh

bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit.

PNEUMONIA KOMUNITI

Definisi

Pneumonia Komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat. Di

dunia, Pneumonia Komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka

kematiannya yang tinggi.

Etiologi

Penyebab Pneumonia Komuniti banyak disebabkan kuman gram positif

dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di indonesia, laporan akhir-akhir ini

15

Page 15: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

menunjukan bahwa kebanyakankuman yang ditemukan dari pemeriksaan

mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sebagai berikut :

K. pneumoniae 45,18%

S. Pneumoniae 14,04%

S. Viridans 9,21%

S.aureus 9%

Pseudomonas aeruginosa 8,56%

β hemolitik 7,89%

Enterobacter 5,26%

Pseudomonas spp 0,9%

Diagnosis

Didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan pisik, foto toraks

dan laboratorium. Diagnosis pasti Pneumonia Komuniti ditegakan jika pada foto

thoraks terdapat infiltrat progresif ditambahkan dengan 2 atau lebih gejala di

bawah ini:

Batuk bertambah berat

Perubahan karekteristik dahak / purulen

Suhu tubuh > 37,5 °C (Oral) / Riwayat demam

Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda – tanda konsolidasi dan ronki

Leukosit > 10.000 atau > 4500

Menurut American Thoracic Society (ATS) Kriteria Pneumonia berat bila

dijumpai salah satu atau lebih kriteria diawah ini.

Kriteria minor :

Frekuensi nafas > 30 / menit

PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg

Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral

Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg

Kriteria mayor:

16

Page 16: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Membutuhkan ventilasi mekanik

Infiltrat bertambah > 50%

Membutuhkan Vasopressor > 4 jam (syok septik)

Serum kreatin > 2mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita

riwayat penyakit ginjal yang membutuhkan dialisis.

Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

2003, Kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti

adalah:

1. Skor PORT lebih dari 70

2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap

bila dijumpai salah satu kriteria dibawah ini.

- Frekuensi nafas > 30 / menit

- PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg

- Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral

- Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus

- Tekanan sistolik < 90 mmHg

- Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Patogenesis

Proses patogenesis terkait 3 faktor yaitu:

1. Keadaan (imunitas) inang

2. Mikroorganisme yang menyerang pasien

3. Lingkungan yang berinteraksi satu sama lain

Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari

pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara

empiris serta prognosis dari pasien.

Gambaran interaksi dari ketiga fakor tersebut tercemin pada

kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah.

Pneumokokkus yang resisten penisilin dan obat lain

- Usia > 65 tahun

- Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir

17

Page 17: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

- Alkoholisme

- Penyakit imunosupresif

- Penyakit penyera yang multifel

- Kontak pada klinik lansia

Patogen gram negatif

- Tinggal dirumah jompo

- Penyakit kardiopulmunal penyerta

- Penyakit penyerta jamak

- Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika

Pseudomonas aeruginosa

- Penyakit paru struktural (bronchiektasis)

- Terapi kortikosteroid (>10mg prednisone/hari)

- Terapi antibiotik spektrum luas > 7 haari pada bulan sebelumnya

- Malnutrisi

Penatalaksanaan

1. Penderita rawat jalan

Pengobatan suportif / simptomatik

a. Istirahat ditempat tidur

b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam

2. Penderita Rawat Inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif / simptomatik

a. Pemberian terapi oksigen

b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam

3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif

Pengobatan suportif / simptomatik

a. Pemberian terapi oksigen

18

Page 18: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.

Prognosis

Kejadian PK di USA adalah 3,4 – 4 juta kasus pertahun, dan 20% di

antaranya perlu dirawat di R.S. Secara Umum angka kematian pneumonia oleh

pneumokokkus adalah sebesar 5%. Namun dapat menigkat pada orang tua dengan

kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenzadi USA merupakan penyebab

kematian no.6 dengan kejadian sebesar 59% sebagian besar pada lanjut usia yaitu

sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.

Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan “faktor perubah” yang ada pada

pasien.

PNEUMONIA NASOKOMIAL

Definisi

Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah

pasien 48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang

inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit.

Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi

lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.

Etiologi

Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia

komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug

resistance (MDR) misalnya S. Pneumoniae, H.influenzae, Methicillin sensitive

staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya pseudomonas

aeruginosa, escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter SPP dan gram

positive seperti Methicillin Resistence staphylococcus aureus (MRSA).

Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang

terjadi.

19

Page 19: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu tingkat berat sakit, adanya risiko

untuk jenis patogen tertentu dan masa menjelang timbul onset pneumonia.

Faktor risiko utama untuk patogen tertentu pada Pneumonia Nosokomial

Patogen Factor risiko

oStaphylococcus aureus

Methicillin resisten S.aureus

oPs. aeruginosa

oAnaerob

oAcinobachter spp

o Koma, cedera kepala, influenza,

pemakaian obat IV, DM,gagal

ginjal

oPernah dapat antibiotik, ventilator

>2 hari lama dirawat di ICU, terapi

steroid/antibiotik, kelainan struktur

paru (bronkiektasis, kistik fibrosis),

malnutrisi

oAspirasi, selesai operasi abdomen

oAntibiotik sebelum onset

pneumonia dan ventilasi mekanik.

Patogenesis

Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan

orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber

bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Apabila sejumlah

bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah

yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat

menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Sehingga PN

terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas bagian bawah

tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme

pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mucus), humoral

(antibody dan complement) dan selular (leukosit polinuklear,makrofag,limfosit,

dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai factor inang dan terapi

yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah,

pemberian antibiotik, obat-obatan lainnya dan tindakan invasive pada saluran

pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran

hematogen dan akibat tindakan intubasi.

20

Page 20: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Faktor predisposisi atau faktor risiko pneumonia nosokomial dibagi menjadi 2

bagian:

1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh

Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, DM, alkoholisme,

azotemia), perawatan rumah sakit yang lama,koma,pemakaian obat tidur,

perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,

pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik,

infeksi berat diluar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta

bronkiektasis.

2. Faktor eksogen

a Pembedahan

Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis

pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%), dan

operasi abdomen bawah (5%).

b Penggunaan antibiotik

Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama

antibiotik yang aktif terhadap streptococcus di orofaring dan bakteri

anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh pemberian antibiotik

golongan pemisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran

pencernaan. Sebagaimana diketahui streptococcus merupakan flora

normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat

pertumbuhan bakteri gram negatinve. Pemberian penisilin dosis tinggi

akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan

kolonisasi bakteri gram negative di orofaring.

c Peralatan terapi pernapasan

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri psedomonas

aeruginosa dan bakteri gram negative lainnya sering terjadi.

d Pemasangan pipa/selang nasogrstrik, pemberian antasid dan alimentasi

enteral

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di

lambung karena asam lambung dengan Ph <3 mampu dengan cepat

21

Page 21: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid/penyekat H2 yang

mempertahankan Ph >4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri

gram negative aerobik lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai

pH netral 6,4-7,0

e Lingkungan rumah sakit

o petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan

prosedur

o penatalaksanaan dan pemakaian alat-alat yang tidak sesuai prosedure

seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter

o pasien dengan kuman MDR tidak dirawat diruang isolasi

Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP

o pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

o dirawat dirumah sakit > 5 hari

o tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit

tersebut

o penyakit imunosupresi dan pemberian pemberian imunoterapi

o ada faktor risiko pneumonia nosokomial

o ada penyakit/ terapi yang bersifat imunosupresi

Klasifikasi pneumonia nasokomial

Berdasarkan American Thoracic Society (ATS), dengan melihat 3 faktor sebagai

mana dibawah ini:

1. Beratnya penyakit pneumoni:

- ringan – sedang

- berat

2. Faktor resiko

3. Onset dari penyakit pneumonia

-onset dini (<5 hari)

-onset lanjut (>5 hari)

22

Page 22: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Maka pnemonia nasokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

Kelompok 1 : pneumonia ringan- sedang onset setiap saat dan tidak ada faktor

resiko atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak ada faktor

resiko

Kelompok 2: pneumonia ringan- sedang, faktor resiko spesifik dan onset setiap

waktu

Kelompok 3: pneumonia berat onset setipa waktu dengan faktor resiko spesifik

dan atau pneumonia berat dengan onset lambat dan tidak ada faktor resiko

Kriteria pneumonia berat:

1. Dirawat diruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal nafas

2. Gagal nafas yang memerlukan alat bantu nafas mekanik atau

membutuhkan O2 lebih dari 35% untuk mempertahankan saturasi O2 lebih

dari 90%

3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti

dari infiltarat paru

4. Taerdapat sepsis dengan hipotensi denagn atau disfungsi organ termasuk:

- Syok (tekanan sistolik<90 mmhg atau diastolik < 60 mmhg0

- Memerlukan vasopresor >4 jam

- Jumlah urin < 20 ml/jam atau jumlah urin 80 ml/4jam

- Gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis

Diagnosis

Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial menurut Centers for Disease

Control and Prevention (CDC):

1. Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu:

a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya

b. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal, biopsi,

atau sapuan bronkus

2. Gambaran radiologis berupa infiltrat baru yang progresif, konsolidasi, kavitas,

atau efusi pleura dan salah satu dari a,b, atau c di atas

a. isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi

23

Page 23: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

b. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali titer

IgG dari kuman

3. pasien sama atau < 12 tahun dengan 2 dari gejala berikut: apnea, takipnea,

bradikardia, wheezing, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari: peningkatan

produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no.2 diatas

4. pasien sama atau < 12 tahun yang menunjukan infiltrat baru atau progresif,

kavitas, konsolidasi, atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu

dari kriteria no.3 di atas.

Pengobatan

Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurun ATS

yaitu:

Kelompok 1

- Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus spp,

S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus

- Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam

ditambah inhibitor beta laktamase.

- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin

ditambah aztreonam

Kelompok 2

- Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus

spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus

- Kuman penyebab tambahan: Anaerob, MRSA,ligeonela spp, P.aeruginosa

- Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam

ditambah inhibitor beta laktamase.

- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin

ditambah aztreonam

- Jika dicurigai anaerob diberikan klindaminin atau metronidazol atau beta

laktam ditambah inhibitor beta laktamase

- Jika dicurigai legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon

- Jika dicurigai MRSA diberikan vancomisin

24

Page 24: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

- Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok 2

Kelompok 3

- Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus

spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus

- Kuman penyebab tambahan : P.aeruginosa, Acenobacter spp, S.

Maltophilia, MRSA

- Obat pilihan : Aminoglikosid dikombinasi dengan salah satu dibawah ini ;

1. Penisilin anti psudomonas

2. Piperasilin + tasobaktam

3. Seftasidin atau sefoperason

4. Imipenem

5. Meropenem

6. Sefepin

Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau

Acinebacter atau MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan

antibiotik kombinasi. Jika terdapat S.maltopilia dapat diberikan kontrimoksasol

atau sefalosporin generasi 4.

Pencegahan

Pencegahan pneumonia nasokomial ditukan kepada upaya program

pengawasan dan pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana,

pelaksanaan teknik isolasi dan praktek pengontrolan infeksi. Pada pasien dengan

gagal organ ganda, skor APACHE yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat

berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor

terjadinya PN. Dari berbagai faktor tersebut beberapa faktor penting tidak bisa

dikoreksi. Beberap faktor dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, yaitu

antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal

atau pemakaian obat sitoproktektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.

Rekomendasi dalam pengolaan aktor resiko yang dapat diubah

25

Page 25: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Faktor inang

- Nutrisi adekuat, makanan enteral dengan selang nasogastrik

- Redukis atau penghentian terapi imunosupresif

- Cegah ekstubasi yang tidak derencanakan (tangan diikat,beri sedasi)

- Tempat tidur yang kinetik

- Spirometer incentife, nafas dalam, kontrol rasa nyeri

- Mengobati penyakit dasar

- Menghindari penghambat histamin tipe 2 dan antasida

Faktor alam

- Kurangnya obat sedative dan paralitik

- Hindari overdistensi lambung

- Hindari intubasi dan reintubasi

- Pencabutan selang endotrakeal dan nasogastrik yang tercerna

- Posisi setengah duduk (30-40 derajat)

- Jaga saluran ventilator bebas dari kondensasi

- Tekanan ujung slang endotrakeal lebih dari 20 cmH2O (menjaga

kebocoran patogen ke saluran napas bawah

- Aspirasi sekresi epiglotis yang kontinue

Faktor lingkungan

- Pendidikan

- Menjaga prosedure pengontrol infeksi oleh staf

- Program Pengontrolan infeksi

- Mencuci tangan, disinfektasi peralatan.

Prognosis

Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50 % yang bisa mencapai 70%

bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab

kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps.Aeruginosa atau

Acinobacter spp.

26

Page 26: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

PNEUMONIA ASPIRASI

Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring pada

saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan

parenkim paru. Kerusakan yang terjadi tergantung jumlah dan jenis bahan yang

teraspirasi serta daya tahan tubuh. Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai

bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cara terapi yang

juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas (PAK)

adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia

aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per

tahun. PA lebih sering dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak

atau usia lanjut.

Patofisiologis

Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis

kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan

makanan dan lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh bahan

padat.

Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulang kali adalah :

Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex

batuk (kejang, strok, pembiusan, cedera kepala, tumor otak)

Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring,

scleroderma)

Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga berperan jumlah

bahan aspirasi, hygiene gigi yang tidak baik dan gangguan mekanisme klirens

saluran napas.

Luas dan beratnya kondisi pasien sering tergantung kepada volume an keasaman

cairan lambung. Jumlah asam lambung yang banyak dapat meniombulkan

gangguan pernapasan akut dalam waktu 1 jam setelah obstruksi sebagai akibat

dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran napas. Namun biasanya aspirasi

sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. PA sering dijumpai pada keadaan

emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa

gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya PA pada pasien

27

Page 27: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

dengan infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolism, strok akut dengan atau

tanpa massa di otak atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat

menimbulkan pneumonitis kimia dan pneumonitis bakteril sering terjadi akibat

flora orofaring.

Etiologi

Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya

polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu

di komunitas atau di RS. Pada PAK, kuman pattogen terutama berupa kuman

anaerob obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan dikeluarkan melalui

ludah, misalnya peptococcus yang juga dapat disertai klebsiella pneumonia dan

stafilokokus atau fusobacterium nucleatum, bacteriodes melaninogenicus dan

peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi

kuman anaerob fakultatif, batang gram negative, pseudomonas, proteus, serratia,

dan S. aureus di samping bias juga disertai oleh kuman anaerob obligat di atas.

Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang menyokong adanya

kemungkinan aspirasi yaitu pada pasien yang berisiko untuk mengalami

pneumonia aspirasi yaitu pasien yang mendadak batuk dan sesak napas sesudah

makan dan minum. Awitan umumnya insidious, walaupun bias memberikan

gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus berupa sesak napas pada saat

istirahat, sianosis, demam meninggigil, nyeri pleuritik, batuk dan dahak purulen

berbau, nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dengan pewarnaan

gram terhadap bahan sputum saluran napas dapat dijumpai banyak neutrofil dan

kuman campuran. Terdapat leukositosis dan LED meningkat. Foto thorax terlihat

gambaran infiltrate pada segmen paru unilateral yang dependen yang mungkin

disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus kanan tengah dan

tau lonus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepada jumlah aspirat dan posisi

badan pada saat aspirasi. Perlu diperiksakan elektrolit, BUN dan kreatinin, analisis

gas darah dan kultur darah.

28

Page 28: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Terapi

Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien disfagi atau gangguan

regfleks menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empiric

harus mencakup pathogen anaerob, sedangkan PAN harus mencakup pathogen

gram negative dan s. aureus sampai hasil kultur memberikan hasil; penentuan

terapi antibiotic. PA tipe yang didapat dimasyarakat diberikan penisilin atau

sefalosporin generasi ke 3 atau klindamisin 600 mg iv/8 jam dan bila PA rumah

sakit diberikan antibiotic spectrum luas anaerob dan aerob seperti aminoglikosiida

kombinasi sefalosporin generasi 3 atau 4 atau klindamisin. Antibiotic diteruskan

hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2

minggu atau 3-6 minggu. Pada empiema dipasang water scaled drainase dan

abses paru dilakukan bronkoskopi. Kortikosteroid sebagai obat tambahan bila

terdapat bronkokonstriksi reaktif.

Komplikasi dan Mortalitas

Dapat terjadi gagal napas akut dengan / tanpa disertai reaktif saluran napas,

empiema, abses paru, dan superinfeksi paru. Angka mortalitas PAK adalah 5%

yang meningkat menjadi 20% pada PAN.

Prognosis

Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi sebesar 5%

sedangkan pada aspirasi massif dengan/tanpa disertai sindrom mendelson

mencapai 70%.

PNEUMONIA PADA USIA LANJUT

Pneumonia komunitas pada usia lanjujt (di atas 60 tahun) teruutama terjadi

pada 2 kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di

rumah perawatan. Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan

besarnya kontak dengan antibiotika dapat dianggap berada di antara pneumonia

komunitas dan pneumonia nosokomial. Gambaran klinik yang ditemukan

umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih muda, yaitu dengan onset

yang insidious, sedikit batuk dan demam yang ringan dan disertai dengan

gangguan status mental atau bingung dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya

29

Page 29: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

ringan. Pathogen penyebab tersering adalah Str. Pneumonia (30-60%), H.

Influenza (20%) dan M. catarhalis. Dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh

campuran kuman aerob dan anaerob dari faring akibat adanya gangguan reflex

menelan atau gangguan saraf motorik faring. Pada usia lanjut di rumah perawatan

yang baru selesai rawat inap di rumah sakit dengan pemberian antibiotic di jumpai

peningkatan kolonisasi gram negative. Bila terjadi aspirasi maka akan dijumpai

pneumonia oleh pathogen K.pneumonia, E.coli, enterobacteria dan P. aeriginosa.

Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia adalah kuman gram

negative 20-40%, s. aureus 10%, M. pneumonia menjadi penyebab pneumonia

pada 9% kasus yang berusia > 65 tahun.

PNEUMONIA KRONIK

Dapat berupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi antara

lain pada pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses degenerative

yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveolar yang

diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia

yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.

Disebabkan oleh bakteri (aktinomices, nokardia, p. pseudomallei, anaerob),

mikobakterium (M.tuberculosi, M.kansasii, M.Avium atau M.intracellulare),

jamur (blastpmyces, histoplasmosis), protozoa (E.histolitica) atau cacing.

Pneumonia kronik yang disebabkan campuran pathogen aerob dan anaerob dapat

menimbulkan pneumonia nekrotikans berupa lesi infiltrate multiple dan rongga di

paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkan persangkaan lokasi kediaman di daerah

endemic infeksi, adanya factor predisposisi/gangguan imunitas pasien, hasil

radiologis dan bakteriologi. Adanya gejala panas badan yang ringan, penurunan

berat badan, dan batuk yang lama dengan atau tanpa disertai hemoptisis. Foto

thorax sering menunjukkan gambaran rongga tunggal atau multiple dengan

peningkatan corakan yang menghubungkan lesi dengan hilus sepanjang saluran

limfatik.

30

Page 30: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

PNEUMONIA PADA GANGGUAN IMUN

Pada pasien dengan gangguan imun terdapat factor predisposisi berupa

kekurangan imunitas akibat proses penyakit dasarnya atau akibat terapi.

Gangguan ini terdapat dalam berbagai kategori abnormalitas yaitu mekanisme

pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari imunoglobin, defek sel granulosit,

defek fungsi sel T. Bentuk pneumonia yang terjadi tergantung pada defek

imunitas tersebut. Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa sehingga

memudahkan terjadinya invasi kuman. Infeksi merupakan penyebab kematian

yang tersering terutama pada pasien leukemia akut. Lokasi infeksi yang utama

adalah di saluran napas bawah. Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya factor

predisposisi, status epidemiologi, tingkat awitan, dan progresivitas penyakit.

Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh bakteri atau aspergillus,

subakut yaitu dalam beberapa hari oleh p.carinii atau nokardia dan dalam

beberapa minggu oleh mikobakteria atau jamur. Gambaran konsolidasi pada foto

thorax mungkin minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan

granulositopenia berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses

patologi. Pemeriksaan invasive diperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan.

Bila setelah terapi empiris febris timbul lagiperlu dipertimbangkan rekurensi oleh

kuman lain dan dilakukan pemeriksaan ulangan. Dari bahan sputum, darah atau

cairan terhadap kemungkinan penyebab tersebut.

PNEUMONIA BENTUK LAIN

Pneumonia Rekurens

Disebut pneumonia rekurens (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih

episode infeksi paru non TB dengan berjarak waktu lebih dari1 bulan, dan disertai

febris, gambaran infiltrate paru dan umumnya disertai sputum purulen,

leukositosis dan respons terhadap antibiotic yang baik. Pneumonia rekurens perlu

dibedakan dari Pneumonia Relaps yaitu dengan adanya 1 episode infeksi yang

sama dan terjadi pada 2 waktu atau lebih serta berurutan dengan interval waktu

yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru,

apakah terdapatnya local atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan

31

Page 31: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

ini bisa dalam bentuk kelainan congenital, herediter atau didapat yang

berhubungan dengan adanya kelainan paru, jantung, gastrointestinal, gangguan

imunitas, ataupun sebab lainnya.

Pneumonia rekurens sering berhubungan dengan keadaan patologi

intrathorax dan ekstrathorax. Penyakit intrathorax yang tersering dijumpai

berhubungan dengan PR adalah PPOK, gagal jantung kongestif, gangguan

imunitas local seperti bronkiektasis, benda asing pada bronchial, tumor

endobronkial, TB paru, asma, dan pasca-operasi paru. Seangkan penyakit

ekstrathorax adalah alkoholik, DM, sinusitis kronik, epilepsy, penyakit

hematologi (misalnya leukemia limfositik, kronik), penyakit keganasan dan terapi

steroid sistemik. Di samping itu juga sindrom lobus tengah kanan merupakan

suatu bentuk infeksi rekurens local pada paru oleh atelektasis lobus media kanan

yang diakibatkan adanya perbesaran kelenjar peribronkial, gangguan ventilasi dan

gangguan anatomi. Diagnosis dasar penyakit PR sering telah diketahui dari

pemeriksaan klinis, namun kadang-kadang memerlukan pemeriksaan khusus.

Penyakit Paru Eosinofilik

Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam

yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil pada bronkus, alveoli, dan

interstisium paru. Manifestasinya dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru

atau sebagai penyakit sistemik. Hiperosinofilia mungkin tidak terdapat pada

daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah eosinofilik paru yang simple,

pneumonia eosinofilik akut, pneumonia eosinofilik kronik, Sindrom Churg-

Strauss, Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilik,

granulomatosis bronkosentrik, akibat infeksi parasit atau akibat reaksi obat.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada gambaran klinik, hasil

laboratorium, gambaran radiologic, hasil cucian bronkus, dan bilamana diperlukan

dilakukan biopsy paru. Terapi diberikan terhadap penyebabnya

Pneumonia Resolusi Lambat

Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yaitu bila

pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50 % dalam 2

minggu dan berlangsung lebih dan 21 hari.

32

Page 32: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

DIAGNOSA BANDING DARI PNEUMONIA

FARINGITIS

Definisi

Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil

yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis

dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal di daerah

faring.

Jenis faringitis

Faringitis Virus Faringitis Bakteri

Biasanya tidak ditemukan nanah di

tenggorokan

Sering ditemukan nanah di

tenggorokan

Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau

agak meningkat

Jumlah sel darah putih meningkat

ringan sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau

sedikit membesar

Pembengkakan ringan sampai

sedang pada kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan

hasil negatif

Tes apus tenggorokan memberikan

hasil positif untuk strep throat

Pada biakan di laboratorium tidak

tumbuh bakteri

Bakteri tumbuh pada biakan di

laboratorium

Etiologi

Faringitis akut baik yang disertai demam atau tidak, pada umumnya

disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus,

Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan

Cytomegalovirus. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus

kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan, sedangkan

33

Page 33: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium

diphtheriae, Chlamydia pneumonia, streptokokus group C dan D. Penyebab

faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada

bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi. Hal-hal

seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat

zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis.

Patogenesis

Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium

awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat

mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering

dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding

faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu

terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan

bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi

meradang dan membengkak.

Gejala

Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri

tenggorokan dan nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami

peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan

atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah:

Demam

Pembesaran kelenjar getah bening di leher

Peningkatan jumlah sel dara hputih.

Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri,

tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.

Diagnosa dan pemerikasaan penunjang

Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan

penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-

kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya

34

Page 34: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering

ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat

diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang

disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi

pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau

lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada

diagnosis infeksi virus.

Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat

dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus. Menurut

Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur

tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung

dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat

diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan

media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot.

Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis.

Terapi

Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat

baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh

invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus.

Antibiotik dicadangkan untuk komplikasi ini. Faringitis streptokokus paling baik

diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G, 3-4

kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan

respon klinis yang cepat dengan penurunan suhu badan dalam waktu 24 jam.

Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika

penderita alergi terhadap penisilin.

Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien

yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan

antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti

ibuprofen atau asetaminofen. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang

sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher

dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam

35

Page 35: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri

tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk

dapat bekerjasama.

Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada

orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik.

Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama

beberapa hari.

TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Cincin ini terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di

rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (Adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),

tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band

dinding faring). Penyebaran infeksi melalui udara, tangan, dan ciuman dapat

terjadi pada semua usia terutama anak.

Gejala

Nyeri tenggorok, nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang

tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di

telinga (otalgia). Nyeri di telinga karena nyeri alih melalui saraf

N.glossofaringeus.

Terapi

Istirahat minum cukup, analgetika, antipiretika dan obat kumur yang

mengandung desinfektan. Untuk tonsillitis bacterial diberikan antibiotika

spectrum luas: penisilin dan eritromisin.

Komplikasi

Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,

abses peritonsil, bronchitis, myokarditis, dan abses parafaringeal.

LARINGITIS

Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring

terletak di puncak saluran udara yang menuju ke paru-paru (trakea) dan

36

Page 36: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

mengandung pita suara.

Etiologi

Penyebab yang paling sering adalah infeksi virus pada saluran pernafasan

bagian atas (misalnya common cold). Laringitis juga bisa menyertai bronkitis,

pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Laringitis bisa terjadi akibat:

Penggunaan suara yang berlebihan

Reaksi alergi

Menghirup iritan (misalnya asap rokok).

Gejala

Gejala biasanya berupa perubahan suara berupa serak sampai hilangnya

suara. Tenggorokan terasa gatal dan tidak nyaman. Gejala lainnya yang juga bisa

ditemukan:

demam

tidak enak badan

kesulitan menelan

sakit tenggorokan.

Pembengkakan laring menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Dengan cermin kecil bersudut seperti yang digunakan dokter gigi, dokter bisa

melihat kemerahan dan pembengkakan pada laring.

Pengobatan

Pengobatan pada infeksi oleh virus tergantung kepada gejalanya. Penderita

sebaiknya mengistirahatkan pita suaranya dengan tidak bicara atau bicara dengan

berbisik. Menghirup uap bisa meringankan gejala dan membantu penyembuhan

daerah yang meradang. Jika penyebabny abakteri, diberikan antibiotik.

TRAKEOBRONKITIS AKUT

Radang akut dari saluran nafas bagian atas akan menimbulkan rasa nyeri

yang sedang dan digambarkan sebagai perasaan perih di tenggorokan dan iritasi

saluran napas, juga dirasakan nyeri dan pans di retrosternal bagian atas. Keadaan

37

Page 37: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

akut terjadi umumnya hanya pada waktu ada epidemi influenza. Pasien jarang

sampai sakit berat, gejala-gejalanya dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan

dalam beberapa hari. Pada pemeriksaan bronkoskopi biasanya hanya ditemukan

selaput mukosa yang meradang yang berwarna merah dan mudah berdarah apabila

kena sentuhan. Bermacam-macam uap yang merangsang dapat menyebabkan

peradangan saluran

nafas bagian atas, biasanya hanya ringan dan sebentar (uap amonia). Pada keadaan

tertentu keadaan nyeri dapat berlangsung lama. Hal ini biasanya disebabkan oleh

karena polusi udara. Akibat perkembangan industrialisasi, sulfur dioksida,

nitrogen peroksida akan bertambah tinggi konsentrasinya dalam udara. Pada

perang dunia kedua banyak serdadu yang mengalami trakeobronkitis akibat

mengisap gas chlorine. Penderita bronkitis kronis dengan batuk yang produktif

dapat juga merasakan perasaan nyeri retrosternal.

BRONKITIS

Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi ( ektasis )

bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus

tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa

destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang

terkena umumnya bronkus kecil (medium size ), sedangkan bronkus besar jarang

terjadi.

Bronchitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada

seorang pasien, dalam keadaan lanjut penyakit ini sering menyebabkan obstruksi

saluran nafas yang menetap yang dinamakan cronik obstructive pulmonary

disease ( COPD ).

Di negara barat, kekerapan bronchitis diperkirakan sebanyak 1,3%

diantara populasi. Di Inggris dan Amerika penyakit paru kronik merupakan salah

satu penyebab kematian dan ketidak mampuan pasien untuk bekerja. Kekerapan

setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti dengan pengobatan

memakai antibiotik.

38

Page 38: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Di Indonesia belum ada laporan tentang anka-angka yang pasti mengenai

penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik-klinik dan

diderita oleh laki-laki dan wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai dari anak

bahkan dapat merupakan kelainan congenital.

Etiologi

Penyebab bronchitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.

Pada kenyataannya kasus-kasus bronchitis dapat timbul secara congenital maupun

didapat.

a. Kelainan congenital

Dalam hal ini bronchitis terjadi sejak dalam kandungan. Factor genetic

atau factor pertumbuhan dan factor perkembangan fetus memegang peran

penting. Bronchitis yang timbul congenital ini mempunyai ciri sebagai

berikut:

Bronchitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua

paru.

Bronchitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit konginetal

lainya, misalnya: mucoviscidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom

kartagener (bronkiektasis konginetal, sinusitis paranasal dan situs

inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis pada anak kembar

satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara

kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan

dengan kelainan congenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus,

penyakit jantung bawaan, kifoskoliasis konginetal.

b. Kelainan didapat

Kelaianan didapat merupakan akibat proses berikut:

Infeksi

Bronchitis sering terjadi sesudah seseorang menderita pneumonia yang

sering  kambuh dan berlangsung lama, pneumonia ini merupakan

komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak,

tuberculosis paru dan sebagainya.

39

Page 39: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Obstruksi bronkus

Obstruksi bronkus yang dimaksud disini dapat disebabkan oleh berbagai

macam sebab : korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari

luar terhadap bronkus.

Perubahan Patologi Anatomi

Terdapat berbagai macam variasi bronchitis, baik engenai jumlah atau

luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit:

a. Tempat predisposisi bronchitis

Bagian paru yang sering terkena dan merupakan predisposisi bronchitis adalah

lobus tengah paru kanan, bagian lingua paru kiri lobus atas, segmen basal pada

lobus bawah kedua paru.

b. Bronkus yang terkena

Bronkus yang terkena umumnya yang berukuran sedang, bronkus yang

terkena dapat hanya satu segmen paru saja maupun difus mengenai bronki

kedua paru.

c. Perubahan morfologis bronkus yang terkena

Dinding bronkus

Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses 

inflamasi yang sifatnya destruktif dan irreversibel. Jaringan bronkus yang

mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen

elastis.

Mukosa bronkus

Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel

menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa,. Apabila terjadi

eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi.

Jaringan paru peribronchiale

Pada keadaan yang hebat, jaringan paru distal akan diganti jaringan

fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.

40

Page 40: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

d. Variasi kelainan anatomis bronchialis

Telah dikenal 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronchitis, yaitu:

Bentuk tabung

Bentuk ini sering ditemukan pada bronchitis yang menyertai bronchitis

kronik.

Bentuk kantong

Ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat

irregular. Bentuk ini berbentuk kista.

Bentuk antara bentuk tabung dan kantong

e. Pseudobronchitis

Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan

bentuknya silindris. Bentuk ini merupakan komplikasi dari pneumonia.

Patogenesis

Apabila bronchitis kongenital patogenesisnya tidak diketahui diduga erat

hubungannya dengan genetic serta factor pertumbuhan dan perkembangan fetus

dalam kandungan. Pada bronchitis yang didapat patogenesisnya diduga melelui

beberapa mekanisme : factor obstruksi bronkus, factor infeksi pada bronkus atau

paru-paru, fibrosis paru, dan factor intrinsik dalam bronkus atau paru. Patogenesis

pada kebanyakan bronchitis yang didapat melalui dua mekanisme dasar:

Infeksi bacterial pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronchitis. Infeksi

pada bronkus atau paru akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah

infeksi dan kemudian timbul bronchitis.

Obstruksi bronkus akan diikuti terbentuknya bronchitis, pada bagian distal

obstruksi dan terjadi infeksi juga destruksi bronkus.

Bronchitis merupakan penyakit paru yang mengenai paru dan sifatnya kronik.

Keluhan-keluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-

keluhan yang timbul erat dengan: luas atau banyaknya bronkus yang terkena,

tingkatan beratnya penyakit, lokasi bronkus yang terkena, ada atau tidaknya

komplikasi lanjut.. keluhan-keluhan yang timbul umumnya sebagai akibat adanya

41

Page 41: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

beberapa hal: adanya kerusakan dinding bronkus, akibat komplikasi, adanya

kerusakan fungsi bronkus.

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronchitis, data

dijelaskan sebagai berikut;

a. Infeksi pertama ( primer ), kecuali pada bentuk bronchitis kongenital. Masih

menjadi pertanyaan apakah  infeksi yang mendahului terjadinya bronchitis

tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Infeksi yang mendahului

bronchitis adalah infeksi bacterial yaitu mikroorgansme penyebab pneumonia.

Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan

kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronchitis, sedangkan infeksi

virus tidak dapat ( misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak, dan

sebagainnya ).

b. Infeksi sekunder, tiap pasien bronchitis tidak selalu disertai infeksi sekunder

pada lesi, apabila    sputum pasien yang semula berwarna putih jernih

kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau

busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob misalnya :

fusifomis fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci. Kuman yang

erring ditemukan dan menginfeksi bronkus misalnya : streptococcus

pneumonie, haemophilus influenza, klebsiella ozaena.

Manifestasi klinis

Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronchitis tergantung

pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada tidaknya komplikasi

lanjut. Ciri khas pada penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi

sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis

dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa

gejala pada penyakit yang ringan. Bronchitis yang mengenai bronkus pada lobis

atas sering dan memberikan gejala:

1. Keluhan-keluhan

a. Batuk

Batuk pada bronchitis mempunyai ciri antara lain batuk produktif

berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronchitis kronis,

42

Page 42: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

jumlah seputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada

pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur.

Kalau tidak ada infeksi skunder sputumnya mukoid, sedang apabila

terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau yang

tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan

menimbulkan sputum sangat berbau, pada kasus yang sudah berat,

misalnya pada saccular type bronchitis, sputum jumlahnya banyak

sekali, puruen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah

menjadi 3 bagian: lapisan teratas agak keruh, lapisan tengah jernih,

terdiri atas saliva (ludah), dan lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah

dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (celluler debris).

b. Haemaptoe

Hemaptoe terjadi pada 50 % kasus bronchitis, kelainan ini terjadi akibat

nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah

(pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang timbul bervariasi mulai

dari yang paling ringan (streaks of blood) sampai perdarahan yang cukup

banyak (massif), yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat

hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri broncialis

(daerah berasal dari peredaran darah sistemik). Pada dry bronchitis

(bronchitis kering), haemaptoe justru gejala satu-satunya karena

bronchitis jenis ini letaknya dilobus atas paru, drainasenya baik, sputum

tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk., pasien

tanpa batuk atau batukya minimal. Pada tuberculosis paru, bronchitis

(sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi haemaptoe.

c. Sesak nafas (dispnue)

Pada sebagian besar pasien ( 50 % kasus ) ditemukan keluhan sesak

nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa

luasnya bronchitis kronik yang terjadi dan seberapa jauh timbulnya

kolap paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi

berulang ( ISPA ), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan

emfisema yang menimbulkan sesak nafas. Kadang ditemukan juga suara

43

Page 43: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

mengi ( wheezing ), akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat

local atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.

d. Demam berulang

Bronchitis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami

infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering

timbul demam ( demam berulang).

2. Kelainan fisis

Tanda-tanda umum yang ditemukan meliputi sianosis, jari tubuh,

manifestasi klinis komplikasi bronchitis. Pada kasus yang berat dan lebih

lanjut dapat ditemukan tanda-tanda korpulmonal kronik maupun payah

jantung kanan. Ditemukan ronchi basah yang jelas pada lobus bawah paru

yang terkena dan keadaannya menetap dari waku kewaktu atau ronci basah

ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural atau timbul lagi

diwaktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta

kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut : terjadi retraksi

dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta

dapat terjadi penggeseran medistenum kedaerah paru yang terkena. Bila

terjadi komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan

pneumonia. Wheezing sering ditemukan apa bila terjadi obstruksi bronkus.

Sindrom kartagenr. Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut:

Bronchitis congenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil

Situs inversus pembalikan letak organ-organ dalam dalam hal ini

terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left-sided liver, right-

sided spleen.

Sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis. Semua

elemen gejala sindrom kartagener ini adalah keleinan congenital.

Bagaimana asosiasi tentang keberadaanya yang demikian ini belum

diketahui dengan jelas.

Bronchitis. Kelainan ini merupakan klasifikasi kelenjar limfe yang

biasanya merupakan gejala sisa komleks primer tuberculosis paru primer.

Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronchitis, kelainan ini sering

44

Page 44: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

menimbulkan erosi bronkus didekatnya dan dapat masuk kedalam bronkus

menimbulkan sumbatan dan infeksi, selanjutnya terjadilah bronchitis. Erosi

dinding bronkus oleh bronkolit tadi dapat mengenai pembuluh darah dan

dapat merupakan penyebab timbulnya hemaptoe hebat.

3. Kelainan laboratorium

Pada keadaan lanjut dan mulai sudah ada insufisiensi paru dapat

ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran

darahnya normal. Seing ditemukan anemia, yang menunjukan adanya

infeksi kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukan adanya infeksi

supuratif.

Urine umumnya normal kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis

akan ditemukan proteiuria. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensivitas

terhadap antibiotic, perlu dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi

sekunder.

4. Kelainan radiologist

Gambaran foto dada ( plain film ) yang khas menunjukan adanya kista-

kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon pada

daerah yang terkena, ditemukan juga bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau

kolaps. Gambaran bronchitis akan jelas pada bronkogram.

5. Kelainan faal paru

Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan

kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1), terdapat

tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan.

Dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 ini menunjukan

abnormalitas regional (maupun difus) distribusi ventilasi, yang berpengaruh

pada perfusi paru.

6. Tingkatan beratnya penyakit

Bronchitis ringan, ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya

terjadi sesudah demam,  ada haemaptoe ringan, pasien tampak sehat dan

fungsi paru norma, foto dada normal.

45

Page 45: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Bronchitis sedang, ciri klinis: batuk produktif terjadi setiap saa, sputum

timbul setiap saat,  ( umumnya warna hijau dan jarang mukoid, dan bau

mulut meyengat ), adanya haemaptoe, umumnya pasien masih Nampak

sehat dan fungsi paru normal. Pada pemeriksaan paru sering

ditemukannya ronchi basah kasar pada daerah paru yag terkena, gmbaran

foto dada masih terlihat normal.

Bronchitis berat, ciri klinis: batuk produktif dengan sputum banyak,

berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukannya pneumonia dengan

haemaptoe dan nyeri pleura. Bila ada obstruksi nafas akan ditemukan

adany dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumny pasien

mempunyai keadaan umum kurang baik, sering ditemukan infeksi

piogenik pada kulit, infeksi mata , pasien mudah timbul pneumonia,

septikemi, abses metastasis, amiloidosis. Pada gambaran foto dada

ditemukan kelainan : bronkovascular marking, multiple cysts containing

fluid levels. Dan pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah kasar

pada daerah yang terkena.

Diagnosis

Diagnosis pasti bronchitis dapat ditegakan apabila telah ditemukan adanya

dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi

dan melihat bronkogram yang didapat.

Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronchitis, karena

terikat adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kaan elakukannya. Oleh

karena pasien bronchitis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat

dkenal, penegakan diagnosis bronchitis dapat ditempuh melewati proses

diagnostik yang lazim dikerjakan dibidang kedokteran, meliputi:

Anamnesis

Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan penunjang

Diagnosis banding

Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita

berhadapan dengan pasien bronchitis:

46

Page 46: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

1. Bronchitis kronis (ingatlah definisi klinis bronchitis kronis)

2. Tuberculosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa

bronchitis)

3. Abses paru  (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar)

4. Penyakit paru penyebab hemaptomisis (misalnya karsinoma paru, adenoma

paru)

5. Fistula bronkopleural dengan empisema

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi bronchitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain :

Bronchitis kronik

Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, bronchitis sering mengalami

infeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian

atas. Hal ini sering terjadi pada mereka drainase sputumnya kurang baik.

Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.

Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

Efusi pleura atau empisema

Abses metastasis diotak, akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi

supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian

Haemaptoe terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri

pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis pembuluh

darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan

beah gawat darurat.

Sinusitis merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas

Kor pulmonal kronik pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang

arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-venous

shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya

terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor

pulmoner kronik,. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kanan.

Kegagalan pernafasan merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis yang

berat da luas

47

Page 47: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Amiloidosis keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai

komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi

ini dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea.

Penatalaksanaan

Pengelolaan pasien bronchitis terdiri atas dua kelompok:

A. Pengobatan konservatif, terdiri atas:

1) Pengelolaan umum, pengelolaan umum ditujukan untuk semua pasien

bronchitis, meliputi:

a) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat untuk pasien, contoh :

Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering.

Mencegah / menghentikan rokok

Mencegah / menghindari debu,asap dan sebagainya.

b) Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik untuk

dikerjakan  adalah sebagai berikut:

Melakukan drainase postural; pasien dilelatakan dengan posisi

tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum

secara maksimum. Tiap kali melakukan drainase postural

dilakukan selama 10 – 20 menit, tiap hari dilakukan 2 sampai 4

kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan

sputum ( secret bronkus ) dengan bantuan gaya gravitasi. Posisi

tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan

letak kelainan bronchitisnya, dan dapat dibantu dengan tindakan

memberikan ketukan pada pada punggung pasien dengan

punggung jari.

Mencairkan sputum yang kental, dapat dilakukan dengan jalan,

misalnya inhalasi uap air panas, mengguanakan obat-obat

mukolitik dan sebagainya.

Mengatur posisi tepat tidur pasien sehingga diperoleh posisi

pasien yang sesuai  untuk memudahkan drainase sputum.

c) Mengontrol infeksi saluran nafas.

48

Page 48: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Adanya infeksi saluran nafas akut ( ISPA ) harus diperkecil dengan  

jalan mencegah penyebaran kuman, apabila telah ada infeksi perlu

adanya antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan.

2) Pengelolaan khusus

a) Kemotherapi pada bronchitis, kemotherapi dapat digunakan:

secara continue untuk mengontrol infeksi bronkus ( ISPA )

untuk pengobatan aksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru

atau kedua-duanya digunakan

Kemotherapi menggunakan obat-obat antibiotic terpilih,

pemkaian antibiotic antibiotic sebaikya harus berdasarkan hasil uji

sensivitas kuman terhadap antibiotic secara empiric.

Walaupun kemotherapi jelas kegunaannya pada pengelolaan

bronchitis, tidak pada setiap pasien harus iberikan antibiotic.

Antibiotik diberikan jika terdapat aksaserbasi infeki akut, antibiotic

diberikan selama 7-10 hari  dengan therapy tunggal atau dengan

beberapa antibiotic, sampai terjadi konversi warna sputum yang

semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid ( putih jernih).

Kemotherapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat

mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama

pada saat terjadi aksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya

bersifat sementara.

b) Drainase secret dengan bronkoskop, cara ini penting dikerjakan

terutama pada saat permulaan perawatan  pasien. Keperluannya antara

lain :

Menentukan dari mana asal secret

Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus

Menghilangkan bstruksi bronkus dengan suction drainage daerah 

obstruksi.

3) Pengobatan simtomatik, pengobatan ini diberikan jika timbul simtom yang

mungkin mengganggu atau mebahayakan pasien.

49

Page 49: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

a) Pengobatan obstruksi bronkus, apabila ditemukan tanda obstruksi

bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru ( % FEV 1 < 70% )

dapat diberikan obat bronkodilator.

b) Pengobatan hipoksia, pada pasien yang mengalami hipoksia perlu

diberikan oksigen.

c) Pengobatan haemaptoe, tindakan yang perlu segera dilakukan adalah

upaya menghentikan perdarahan. Dari berbagai penelitian pemberian

obat-obatan hemostatik dilaporkan hasilnya memuaskan walau sulit

diketahui mekanisme kerja obat tersebut untuk menghentikan

perdarahan.

d) Pengobatan demam, pada pasien yang mengalami eksaserbasi inhalasi

akut sering terdapat demam, lebih-lebih kalau terjadi septikemi. Pada

kasus ini selain diberikan antibiotic perlu juga diberikan obat

antipiretik.

B. Pengobatan pembedahan

1) Tujuan pembedahan: mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang

terkena.

2) Indikasi pembedahan:

Pasien bronchitis yang yang terbatas dan resektabel, yang tidak

berespon yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan

konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan untuk

operasi

Pasien bronchitis yang terbatas tetapi sering mengaami infeksi

berulang atau haemaptoe dari daerakh tersebut. Pasien dengan

haemaptoe massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.

3) Kontra indikasi

Pasien bronchitis dengan COPD

Pasien bronchitis berat

Pasien bronchitis dengan koplikasi kor pulmonal kronik

dekompensasi

4) Syarat-ayarat operasi.

50

Page 50: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Kelainan (bronchitis) harus terbatas dan resektabel

Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel

Bagian paru yang lain harus masih baik misalnya tidak ada

bronchitis atau bronchitis kronik.

5) Cara operasi.

Operasi elektif: pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak

terdapat kontra indikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif

dipersiapkan secara baik utuk operasi. Umumnya operasi berhasil

baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.

Operasi paliatif: ditujukan pada pasien bronchitis yang mengalami

keadaan gawat darurat paru, misalnya terjadi haemaptoe masif

(perdarahan arterial) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat

kontra indikasi operasi.

6) Persiapan operasi.

Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri,analisis gas darah,

pemeriksaan broncospirometri (uji fungsi paru regional).

Scanning dan USG.

Meneliti ada atau tidaknya kontra indikasi operasi pada pasien.

Memperbaiki keadaan umum pasien.

Pencegahan

Timbulnya bronchitis sebenarnya dapat dicegah, kecuali dalam bentuk

congenital tidak dapat dicegah. Menurut beberapa literature untuk mencegah

terjadinya bronchitis ada beberapa cara:

Pengobatan dengan antibiotic atau cara-cara lain secara tepat terhadap

semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak akan dapat mencegah

(mengurangi) timbulnya bronchitis

Tindakan vaksinasi terhadap pertusis (influenza, pneumonia) pada anak

dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya

bronchitis.

Prognosis

51

Page 51: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Prognosis pasien bronchitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya

penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat

(konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.

Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,

survivalnya tidak akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia,

empiema, payah jantung kanan, haemaptoe dan lainnya.

BRONKIOLITIS

Definisi

Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus

yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala–gejala

obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing

pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto

dada

Epidemiologi

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),

60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2,

dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah

penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat

menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV

menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia

sebanyak 40%.

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden

tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden

bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi

menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang

menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal

(maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan

penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan

neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk

terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan

52

Page 52: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Di RSU Dr.

Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1. Faktor

resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi

rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat

penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi

maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV

menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya

aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV.

Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang

penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4

musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi,

di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.

Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak

didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei.

Patogenesis dan Patomekanisme

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm),

termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan

bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment

protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan

partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang

antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV

yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih

berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi

di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas

bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi

sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi

dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran

patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas

menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam

lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan

mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran

53

Page 53: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan,

sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang

menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.

Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi

Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan

menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena

kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris

dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah

dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance,

meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt.

Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan,

batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,

hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran

udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4,

maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup

besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih

sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi

maupun pada fase ekspirasi.

Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan

terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir

ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila

obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila

terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak

yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi

imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang

berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap

penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’

sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan

terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.

Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus

dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat

54

Page 54: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi

virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau

anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang

disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi

virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi

respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan

dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih

buruk.

Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi

hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh

puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE

dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV

ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi,

tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia

dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .

Manifestasi Klinis

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer

dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam

dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh

batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah

serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan

orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang

ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan

ada yang mengalami hipotermi.

Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,

kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas

cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya

tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan

ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat

55

Page 55: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi

hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.

Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan,

otitis media serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan

oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur

dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam

beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing

yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.

Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi

dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus

tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.

Diagnosis

Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan

adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1)

wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik

sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)

menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress

Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel

respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori

berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry

merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan

penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan

merupakan indikasi untuk rawat inap.

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada

pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk

batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis

dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia

akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran

radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat

paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang

56

Page 56: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy

infiltrates).

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma

tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila

kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma

lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang

retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.

Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya,

berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale

merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis

adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks

gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis .

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi

atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi

memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%

kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan

menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini

adalah 80-90%.

Tatalaksana

Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi,

pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat.

Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral

yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.

Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3

bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,

defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi

suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian

antivirus. Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara

rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid

sistemik diberikan pada kasus–kasus berat. Antibiotika diberikan bilamana

keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan

57

Page 57: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

bakteri. Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.

Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2.

Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry

dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan

bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol

0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali

per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV

5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi

sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen

harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat

ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap

oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2

liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box.

Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse

oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada

saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan

di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi

mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa

digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi

keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping

dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan

ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet

ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet

sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu

dan status hidrasi.

Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum,

panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan

pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema

paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic

Hormone).

58

Page 58: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan

elektrolit yang mungkin timbul. AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada

kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau

tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan

serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas.

Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap

perjalanan bronkiolitis.

Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain

sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan

predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan

antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue,

menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi

messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas

polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau

sepuluh hari setelah terkena virus.

Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase

replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi.

Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan

SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit

lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan

ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan

karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang

terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin

harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American

Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada

bronkiolitis dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator

untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi

farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah

bronkodilator dan kortikosteroid.

Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan

saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan

59

Page 59: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab

mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari

mukosilier akan lebih baik. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-

pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor

klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah

penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator

pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan

perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan

dan sedang. Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis

pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999.

Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60

dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek.

Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara

nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi

efek alfa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic epinephrine

untuk menurunkan efek epinefrin terhadap jantung. Kristjansson (1993),

menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epinefrin memberi

perbaikan skor klinik dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic

epinephrine aman dan cukup efektif untuk pengobatan bronkiolitis pada anak

kurang dari 18 bulan. Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis

sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan

1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada

bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat

meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis

dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang

minimal dibandingkan epinefrin.

Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas

kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita

bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah

menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup

perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya

60

Page 60: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian

deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan

perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke

3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis

saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata

mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak

mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan

penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa

dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap

penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid

sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala

klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak

merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah

sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia

8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4

jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.

Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid

inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek

sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya

Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate,

triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor

glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi

yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah

serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason,

budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam

sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor

glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan

berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan

transkripsi gen reseptor-β2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-

12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-

CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-β2

61

Page 61: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis β2 jangka panjang-

Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasi

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok

dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan

membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi

penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,

pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita

ISPA.

Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24

bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35

minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV,

jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di

rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah

humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah

masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal

hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai

imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan

Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan

penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama

dan bayi prematur (32-35 minggu).

AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau

immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok

ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated,

subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan

proteksi yang adekuat.

62

Page 62: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adi (20 tahun) mengalami keluhan-keluhan yang menunjukan adanya

infeksi pada saluran nafasnya. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologis dapat

ditegakan diagnosanya adalah Pneumonia. Karena Adi mengalami sesak nafas,

maka Adi memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit.

Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru.

Penyakit ini merupakan pembunuh terbesar kedua dalam penyakit sistem

pernafasan di Indonesia setelah tuberkulosis. Diagnosis pasti pneumonia

ditegakan melalui hasil pemeriksaan foro rontgen thoraks yang menunjukan

adanya infiltrat pada lapang parunya. Terapi yang diberikan kepada pasien

pneumonia adalah antibiotik golongan penisilin (jika tidak ada resistensi) ataupun

fluoroquinolone.

Beberapa kasus pneumonia dapat ditularkan melalui kontak dengan

penderita yang disebut dengan pneumonia komunitas. Hal inilah yang terjadi pada

Adi.

63

Page 63: Laporan Mod 1 Blok 13 Kel 3

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. & John Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

Alsagaff H. Dkk, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga

University Press

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia, Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta

64