Laporan Kasus Internsip 1

76
Laporan Kasus Suspek Septik Artritis Ankle dan TBC Disusun Oleh: dr. Billy Salvatore Soedirman Pembimbing: dr. Judi Dermawan, M. MKes dr. Ni Ketut Tini Utami RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALU SULAWESI TENGAH 2015

description

laporan kasus dokter internship Palu

Transcript of Laporan Kasus Internsip 1

Page 1: Laporan Kasus Internsip 1

Laporan Kasus

Suspek Septik Artritis Ankle dan

TBC

Disusun Oleh:

dr. Billy Salvatore Soedirman

Pembimbing:

dr. Judi Dermawan, M. MKes

dr. Ni Ketut Tini Utami

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALU

SULAWESI TENGAH

2015

Page 2: Laporan Kasus Internsip 1

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya saya

dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul “SUSPEK SEPTIK

ARTITIS ANKLE DAN TBC’ ini.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas sebagai dokter internship di

Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu Sulawesi Tengah.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing saya

di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu, khususnya dr. Judi Dermawan, M. MKes dan dr. Ni

Ketut Tini Utami , atas bimbingannya selama berlangsungnya program Internsip ini sehingga

saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal kemampuan saya.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga saya

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta untuk

melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

Palu, 5 Januari 2015

Penyusun

2

Page 3: Laporan Kasus Internsip 1

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Imat

Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 46 tahun

Agama : Islam

Alamat : -

Suku bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Petani

Status Menikah : Menikah

1.2 ANAMNESIS

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara Kota Palu pada tanggal

13 Desember 2014. Autoanamnesis pada tanggal 13 Desember 2014 di

IGD.

a.Keluhan Utama

Terdapat luka yang bernanah pada pergelangan kaki kanan sejak 2

minggu SMRS

b.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara dengan keluhan

utama terdapat luka bernanah pada mata kaki sebelah kanan sejak 2

minggu SMRS. Luka awalnya hanya berbentuk bisul pada mata kaki dan

hanya sebesar kelereng berwarna merah dan terasa nyeri, tetapi bisul

makin lama – makin membesar berwarna merah dan terdapat nanah di

tengahnya. Os juga mengeluh kakinya susah digerakkan sehingga

membuat dia sulit untuk berjalan. Os juga mengaku bahwa dia

mengalami demam ringan selama beberapa hari. Os juga merasa

pergelangan kakinya sangat nyeri.

3

Page 4: Laporan Kasus Internsip 1

Sejak 3 bulan SMRS os jatuh ke sebuah parit, lalu kaki os terkilir

namun tidak ada luka dan akhirnya os memutuskan untuk

membawanya pada seorang tukang urut. Os masih bisa berjalan

dengan baik dan kaki os masih bisa digerakkan. Os menyangkal sering

mengalami sakit – sakit sendi, sendi bengkak. Sejak 4 bulan SMRS os

juga mengalami batuk – batuk yang tidak sembuh – sembuh, sering

juga pada malam hari berkeringat saat tidur malam, serta badan os

cenderung semakin turun. Os menyangkal pernah minum obat 6 bulan.

Os tidak pernah mengalami kencing manis maupun darah tinggi.

BAK 3 – 4 kali/ hari, warna kuning, jernih, tidak ada darah.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat

alergi, tidak ada kencing manis, tidak ada darah tinggi.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak pernah ada memgalami hal yang sama. Tidak ada riwayat

hipertensi, DM, penyakit jantung, ataupun alergi.

e. Riwayat Kebiasaan

Pasien merokok, tidak minum alkohol.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di IGD Rumah Sakit Bhayangkara kota Palu pada

tanggal 13 Desember 2014

A. Keadaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual

Pernapasan : 16x/menit, reguler

Suhu : 37,50C

Berat badan : ... kg

Tinggi badan : ... cm

BMI : ... kg/m2

B. Pemeriksaan Fisik

4

Page 5: Laporan Kasus Internsip 1

Pembuluh Darah Perifer : Capillary refiil time < 2 detik

Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB submandibula, parotis

dan submental

Columna Vertebralis : Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)

Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)

Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata

Mata : Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, pupil bulat

isokor ɸ 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,

refleks cahaya tidak langsung +/+

Sinus : Hematom (-), nyeri tekan (-)

Telinga : Normotia +/+, serumen -/-, membran timpani intak

Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-

Mulut : Sianosis (-)

Lidah : Kotor (-)

Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba

KGB dan kelenjar tiroid.

Pemeriksaan jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra

Perkusi : Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri

ICS V 2 jari lateral linea midklavikula sinistra

Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Paru

Inspeksi : Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri

Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki basah kasar +/+, Wheezing

-/-

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Jejas (-), perut tidak buncit

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

5

Page 6: Laporan Kasus Internsip 1

Pemeriksaan Ekstremitas

Proksimal : akral hangat +/+, edema -/-

Distal : akral hangat +/+, edema +/-

C.Status Lokalis Ankle Dekstra

Look : terdapat luka pada malleolus medial ankle dekstra. Pada sekelilingnya terdapat

bengkak dan kemerahan dengan diameter 4 cm.

Feel : pada perabaan luka lebih hangat dibanding kulit sekelilingnya. Terasa nyeri bila

ditekan, bengkak (+)

Move :

a. Aktif : terbatas pada gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi

b. Pasif : terasa nyeri pada gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.4.1 Laboratorium 04/09/2014

A. Darah (04/09/2014)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

6

Page 7: Laporan Kasus Internsip 1

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Leukosit

Trombosit

Eritrosit

13,8

41,2

10,2

249

5,05

g/dL

%

ribu/ul

ribu/ul

juta/uL

12-14

37-43

5-10

150-500

4,0-5,0

MORFOLOGI HB

MCV

MCH

MCHC

81,6

27,3

33,5

Um3

pg

g/dL

80 - 97

26,5 – 33,5

31,5 – 35,0

DIABETES

Glukosa Garah Sewaktu 63 mg/dl <200

FAAL GINJAL

UREA22 mg/dL 10 – 50

1.4.2 Radiologi

1. Foto Ankle Dekstra proyeksi AP

Kesan :

Terlihat gambaran Radiologi os tibia dan fibula

Terlihat adanya soft tissue swelling pada sendi pergelangan

kaki pada bagian distal

Penebalan struktur rawan sendi

Pelebaran ruang sendi

7

Page 8: Laporan Kasus Internsip 1

Diagnosis : Suspek Arthritis Septic Ankle Dekstra

2. Foto Radiologi Thorax AP :Kesan :

Bronkopneumonia proses spesifik Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior

lobus atas paruDiagnosis : TB paru

1.5 RESUME

Anamnesis :

- Os mengaku terdapat terdapat luka bernanah pada pergelangan

kaki sebelah kanan sejak 2 minggu SMRS.

- Os juga mengeluh pergelangan kakinya susah digerakkan sehingga

membuat dia sulit untuk berjalan.

- Os juga mengaku bahwa dia mengalami demam ringan selama

beberapa hari.

- Os juga merasa pergelangan kakinya sangat nyeri.

- Sejak 4 bulan SMRS os juga mengalami batuk – batuk yang tidak

sembuh – sembuh, sering juga pada malam hari berkeringat saat

tidur malam, serta badan os cenderung semakin turun.

memperlihatkan adanya kecenderungan infeksi tuberculosis

- Pasien mempunyai kebiasaan merokok

Pemeriksaan Fisik :

- Pemeriksaan paru : Auskultasi : Ronki Basah Kasar kedua lapangan

paru adanya infeksi jaringan paru yag kemungkinan diakibatkan

oleh bakteri spesifik

- Status Lokalis pergelangan kaki kanan : Terdapat pembengkakan

pada pergelangan kaki kanan, adanya nyeri tekan, teraba panas,

dan keterbatasan gerakan pasif dan aktif pada pergelangan kaki

kanan adanya proses peradangan pada pergelangan kaki kanan

Laboratorium :

- Leukosit : 10.200 yang menandakan adanya infeksi

Radiologi :

8

Page 9: Laporan Kasus Internsip 1

- Terdapat soft tissue swelling dan penebalan pada struktur rawan

sendi adanya suatu proses infeksi pada sendi pergelangan kaki,

namun kurang terlihat jelas, dikarenakan hasil foto yang kurang

baik karena tidak memperlihatkan tulang kaki

- Terdapat bronkopneumonia dengan proses spesifik suspek infeksi

TB paru

1.6 PEMERIKSAAN ANJURAN

USG sendi pergelangan kaki

Aspirasi cairan sendi

Kultur bakteri cairan sendi dan uji resistensi antibiotik

Pemeriksaan BTA dan biakan sputum

1.7 DIAGNOSIS KERJA

Suspek Artritis Septik

Suspek TBC paru

DIAGNOSIS BANDING

Artitis reaktif Artritis traumatic Pneumonia bacterial

1.8 TATALAKSANA

Terapi Non – Farmakologi :

Tirah baring

Rehabilitasi untuk mengurangi kehilangan fungsi ketika sudah

sembuh dari fase akut

Asupan makanan yang bergizi konsul ahli gizi

Drainase cairan sendi

Debridemen luka

Terapi Farmakologi :

9

Page 10: Laporan Kasus Internsip 1

IVFD RL 11 tpm

Ceftriaxone 2 x 1 gram sampai dibuktikan melalui hasil kultur

cairan sendi

Paracetamol tablet 3 x 500 mg (bila demam)

Untuk TBC selama 6 bulan :

Dalam 2 bulan pertama :

Rifampicin 1x600 mg PO/ hari

INH 1x300mg PO/ hari

Pirazinamid 3x500mg PO/ hari

Etambutol 3x500 PO/ hari

Dalam 4 bulan kedua :

Rifampicin 1 x 450 mg/ 3x seminggu Isoniazid 1 x 600 mg/ 3x seminggu

1.9 PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

10

Page 11: Laporan Kasus Internsip 1

TINJAUAN PUSTAKA

ARTRITIS SEPTIK

2.1 Definisi

Artritis Septik adalah infeksi dari satu atau lebih sendi-sendi oleh mikroorganisme-

mikroorganisme. Secara normal, sendi dilumasi dengan jumlah kecil dari cairan yang dirujuk

sebagai cairan sinovial (synovial fluid) atau cairan sendi. Cairan sendi yang normal adalah

steril dan, jika dikeluarkan dan dipelihara (dikulturkan) dalam laboratorium, tidak ada

mikroba-mikroba yang akan ditemukan. Dengan septic arthritis, mikroba-mikroba dapat

diidentifikasi dalam suatu cairan sendi yang terpengaruh. Paling umum, septic arthritis

mempengaruhi suatu sendi tunggal, namun adakalanya lebih banyak sendi-sendi yang

dilibatkan. Sendi-sendi yang terpengaruh sedikit banyak bervariasi tergantung pada mikroba

yang menyebabkan infeksi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi orang yang

terpengaruh.1

2.2 Insidensi

Insiden septik artritis pada populasi umum sangat bervariasi. Ditemukan 2-10 kasus

per 100.000 orang per tahun. Namun demikian, insiden ini dapat meningkat pada penderita

11

Page 12: Laporan Kasus Internsip 1

yang diketahui memiliki risiko. Pada penderita artritis rheumatoid didapatkan insidensi

meningkat hingga 28-38 kasus per 100.000 orang per tahun. Sedangkan pada penderita

dengan prostesis sendi didapatkan 40-68 kasus per 100.000 orang per tahun.1

Puncak insiden pada kelompok umur adalah pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun,

yaitu 5 kasus per 100.000 orang per tahun. Pada dewasa usia lebih dari 64 tahun insiden

berkisar 8,4 kasus per 100.000 orang per tahun. 1

Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi. Keterlibatan poliartikular terjadi pada 10-

15% kasus. Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena (48-56%), diikuti oleh

sendi panggul (16-21%), dan pergelangan kaki (8%).1

2.3 Etiologi

Bakterial atau supuratif artritis dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu, gonokokal dan

non-gonokokal. Neisseria gonorrhoeae merupakan patogen tersering ( 75%) pada pasien

dengan aktifitas seksual yang aktif.1

Kuman penyebab yang paling banyak adalah Staphylococcus aureus disusul oleh

Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes yang merupakan kuman yang sering

ditemukan pada penderita penyakit autoimun, infeksi kulit sistemik, dan trauma. 1

Pasien dengan riwayat intra venous drug abuse (IVDA), usia ekstrim, dan

imunokompromis sering terinfeksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli yang

merupakan basil gram negatif. Selain itu, kuman anaerob dapat juga sebagai penyebab hanya

dalam jumlah kecil yang biasanya didapatkan pada pasien DM dan pasien yang memakai

prostesis sendi. 1

Pada pasien yang menggunakan sendi buatan / prosthetic joint dapat juga terjadi

septic arthritis, yang berdasarkan waktunya dibagi menjadi tiga jenis infeksi yaitu:

1. Early, infeksi terjadi pada awal, 3 bulan sejak implantasi, biasanya disebabkan

oleh S aureus.

2. Delayed, terjadi 3-24 bulan sejak implantasi, kuman tersering coagulase-

negative Staphylococcus aureus dan gram negatif. Kedua jenis ini didapat dari

kuman di kamar operasi.

3. Late, terjadi sekunder dari penyebaran hematogen dari berbagai jenis kuman1

12

Page 13: Laporan Kasus Internsip 1

2.4 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi seseorang terkena artritis septik adalah faktor sistemik seperti usia

ekstrim, artritis rheumatoid, diabetes melitus, pemakaian obat imunosupresi, penyakit hati,

alkoholisme, penyakit hati kronik, malignansi, penyakit ginjal kronik, pemakai obat suntik,

pasien hemodialisis, transplantasi organ dan faktor lokal seperti sendi prostetik, infeksi kulit,

operasi sendi, trauma sendi,osteoartritis.1

2.5 Sumber Infeksi

Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan vaskular yang kurang dibatasi oleh

membran basal sehingga memungkinkan masuknya bakteri secara hematogen dengan lebih

mudah. Lingkungan di dalam ruang sendi yang sangat avaskular (karena banyaknya fraksi

kartilago hyalin), aliran cairan sendi yang lambat, menciptakan suasana yang nyaman dan

baik bagi bakteri untuk berdiam dan berproliferasi.1

Sumber infeksi pada artritis septik dapat melalui beberapa cara yaitu sebagai berikut.1

a. Secara hematogen

Penyebaran secara hematogen ini terjadi pada 55% kasus dewasa dan 90% kasus anak-anak.

Sumber bakterimia dapat berasal dari infeksi atau tindakan invasif pada kulit, saluran nafas,

saluran kencing, rongga mulut. Selain itu, pemasangan kateter intravaskular termasuk

pemasangan vena sentral, kateterisasi arteri femoral perkutaneus serta injeksi obat intravenus

dapat menjadi sumber bakteremia.1

b. Inokulasi langsung bakteri ke ruang sendi

Inokulasi langsung bakteri ke dalam ruang sendi terjadi sebesar 22%-37% pada sendi tanpa

prostetik dan sebesar 62% terjadi pada sendi dengan prostetik. Pada sendi dengan prostetik,

inokulasi bakteri biasanya terjadi pada saat prosedur operasi dilakukan. Pada sendi yang

intak, inokulasi bakteri terjadi selama tindakan operasi sendi atau sekunder dari trauma

penetrasi, gigitan binatang, atau tusukan benda asing ke dalam ruang sendi.1

c. Infeksi pada jaringan muskuloskeletal sekitar sendi.

Kebanyakan kasus artritis bakterial terjadi akibatpenyebaran kuman secara hematogen ke

sinovium baik pada kondisi bakteremia transien maupun menetap. Penyebaran infeksi dari

jaringan sekitarnya terjadi pada kasus osteomyelitis yang sering terjadi pada anak-anak. Pada

anak yang berusia kurang dari 1 tahun, pembuluh darah memperforasi diskus pertumbuhan

epifisal yang menimbulkan lanjutan infeksi dari tulang ke ruang sendi. Pada anak yang lebih

13

Page 14: Laporan Kasus Internsip 1

lanjut, infeksi pada tulang dapat merusak bagian korteks dan menyebabkan artritis septik

sekunder jika tulang berada di dalam kapsul sendi, seperti pada sendi koksae dan bahu. Pada

orang dewasa penyakit dasar infeksi kulit dan penyakit kaki diabetik sering sebagai sumber

infeksi yang berlanjut ke ruang sendi. 1

Berikut ini dapat dilihat gambaran sumber infeksi dari Septik Arthritis

Gambar 1. Gambar Sumber infeksi artritis septik2

2.6 Patogenesis

Proses yang terjadi pada sepsis artrithis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

bergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes. Proses yang terjadi pada

sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap, yaitu : kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan

induksi respon inflamasi hospes.1

a. Kolonisasi bakteri

Sifat tropism jaringan dari bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya

infeksi sendi. S.aureus memiliki reseptor bervariasi (adhesin) yang memediasi perlengkatan

efektif pada jaringan sendi yang bervariasi. Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor

genetik, termasuk regulator gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus (sar), dan sortase

A.1,7 Faktor virulensi bakteri. Selain adhesin, bahan lain dari dinding sel bakteri adalah

peptidoglikan dan mikrokapsul polisakarida yang berperan mengatur virulensi S. aureus

melalui pengaruh terhadap opsonisasi dan fagositosis. Mikrokapsul (kapsul tipis) penting

pada awal kolonisasi bakteri pada ruang sendi yang memungkinkan faktor adhesin

14

Page 15: Laporan Kasus Internsip 1

staphylococcus berikatan dengan protein hospes dan selanjutnya produksi kapsul akan

ditingkatkan membentuk kapsul yang lebih tebal yang lebih resisten terhadap pembersihan

imun hospes. Jadi, peran mikrokapsul disini adalah resisten terhadap fagositosis dan

opsonisasi serta memungkinkan bakteri bertahan hidup intraseluler. 1

b. Respon imun hospes

Sekali kolonisasi dalam ruang sendi, bakteri secara cepat berproliferasi dan mengaktifkan

respon inflamasi akut. Awalnya sel sinovial melepaskan sitokin proinflamasi termasuk

interleukin-1b (IL-1b), dan IL-6. Sitokin ini mengaktifkan pelepasan protein fase akut dari

hepar dan juga mengaktifkan sistem komplemen. Selain itu, sel polymorphonuclear (PMN)

juga masuk ke dalam ruang sendi. Tumor necrosis factor-a (TNF-a) dan sitokin inflamasi

lainnya penting dalam mengaktifkan PMN agar terjadi fogistosis bakteri yang efektif.

Kelebihan sitokin seperti TNF-a, IL-1b, IL-6, dan IL-8 dan macrophage colony-stimulating

factor dalam ruang sendi menyebabkan kerusakan rawan sendi dan tulang yang cepat. Sel-sel

fagosit mononoklear seperti monosit dan makrofag migrasi ke ruang sendi segera setelah

PMN, tetapi perannya belum jelas. Komponen lain yang penting pada imun inat pada infeksi

staphylococcus adalah sel natural killer (NK), dan nitric oxide (NO). Sedangkan peran dari

limfosit T dan B dan respon imun didapat pada septik artrithis tidak jelas.1

2.7 Gambaran Klinis

Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal pada

sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak

sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 60-80%

kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus sampai lebih

dari 390C. Ciri khas nyeri pada sepsis artrithis adalah nyeri berat yang terjadi saat istirahat

maupun saat melakukan gerakan aktif maupun pasif.1

Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena pada dewasa maupun anak-

anak berkisar 45%-56%, diikuti oleh sendi panggul 16-38%. Artritis septik poliartikular, yang

khasnya melibatkan dua atau tiga sendi terjadi pada 10%-20% kasus dan sering dihubungkan

dengan artritis reumatoid. Bila terjadi demam dan flare pada artritis reumatoid maka perlu

dipikirkan kemungkinan artritis septik.1

15

Page 16: Laporan Kasus Internsip 1

Sendi paling sering terkena adalah sendi lutut (50%), hip (20%), shoulder (8%) ankle

(7%), and wrists (7%). Elbow, interphalangeal, sternoclavicular, dan sacroiliac masing-

masing kurang lebih 1- 4 %.1

Gejala-gejala dari infeksi bisa tidak muncul pada orang-orang yang mengalami

gangguan imunitas khususnya pada pasien rheumatoid arthritis dan pengguna obat suntikan

terlarang. Pada non-gonokokal arthritis, 85-90% monoartikuler, bila mengenai lebih dari 1

sendi biasanya ada keterlibatan S aureus. Bila mengenai poliartikuler biasanya disebabkan

oleh gonokokal , virus, lyme disease, reactif arthritis. Group B streptokokus biasanya

menyerang sacroiliac dan sternoclavicular joints.1

Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda tanda eritema, pembengkakan (90%

kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis infeksi.

Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup

gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi

mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.1

Pada infeksi non gonokokal gejala timbul mendadak dengan terjadinya

pembengkakan sendi, teraba hangat dan sangat nyeri, paling sering terjadi pada sendi lutut

( 50% kasus ), sedangkan pada anak-anak paling sering terjadi pada sendi pinggul, sendi

pinggul biasanya dalam posisi fleksi dan eksternal rotasi dan sangat nyeri bila digerakkan.

Kurang lebih 10-20 % terjadi infeksi poliartikular, biasanya 2 atau 3 sendi. Poliartikular

septik arthtritis biasanya terjadi pada pasien dengan reumatoid arthritis, pasien dengan infeksi

jaringan lunak atau pada pasien dengan sepsis berat.1

Pada infeksi oleh karena gonokokal Disseminated GonococcalI Infection (DGI)

gejala yang muncul berupa migratory polyarthralgia, tenosynovitis, dermatitis dan demam.

Kurang dari separuhnya mengalami efusi sendi purulenta.

Berikut ini adalah perbedaan antara arthritis gonococcal dan non-gonococcal:

Tabel 1. Perbedaan bakterial arthtritis pada Gonokokal dan Non Gonokokal3

16

Page 17: Laporan Kasus Internsip 1

2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah tepi

Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan neutrofil segmental, peningkatan laju endap

darah dan C-reactive Protein (CRP). Tes ini tidak spesifik tapi sering digunakan sebagai

petanda tambahan dalam diagnosis khususnya pada kecurigaan artritis septik pada sendi.

Kultur darah memberikan hasil yang positif pada 50-70% kasus.1

b. Pemeriksaan cairan sendi

Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan terhadap artritis septik. Bila sulit

dijangkau seperti pada sendi panggul dan bahu maka gunakan alat pemandu radiologi. Cairan

sendi tampak keruh, atau purulen, leukosit cairan sendi lebih dari 50.000 sel/mm3

predominan PMN, sering mencapai 75%-80%. Pada penderita dengan malignansi,

mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pemakai obat suntik sering dengan leukosit kurang

dari 30.000 sel/mm3. Leukosit cairan sendi yang lebih dari 50.000 sel/mm3 juga terjadi pada

inflamasi akibat penumpukan kristal atau inflamasi lainnya seperti artritis rheumatoid. Untuk

itu perlu dilakukan pemeriksaan cairan sendi dengan menggunakan mikroskop cahaya

terpolarisasi untuk mencari adanya kristal. Ditemukannya kristal pada cairan sendi juga tidak

menyingkirkan adanya artritis septik yang terjadi bersamaan. 1

Pengecatan gram cairan sinovial harus dilakukan,dan menunjukkan hasil positif pada

75% kasus artritis positif kultur stafilokokus dan 50% pada artritis positif ultur basil gram

17

Page 18: Laporan Kasus Internsip 1

negatif. Pengecatan gram ini dapat menuntun dalam terapi antibiotika awal sambil menunggu

hasil kultur dan tes sensitivitas. Kultur cairan sendi dilakukan terhadap kuman aerobik,

anaerobik, dan bila ada indikasi untuk jamur dan mikobakterium. Kultur cairan sinovial

positif pada 90% pada artritis septik nongonokokal.1

c. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)

Bakteri dapat mendeteksi adanya asam nukleat bakteri dalam jumlah kecil dengan sensitifitas

dan spesifisitas hampir 100%. Beberapa keuntungan menggunakan PCR dalam mendeteksi

adanya infeksi antara lain : 1

mendeteksi bakteri dengan cepat

mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat

mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur

mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi

mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.

Tapi PCR juga mengalami kelemahan yaitu hasil positif palsu bila bahan maupun reagen

yang mengalami kontaminasi selama proses pemeriksaan.1

d. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan gambaran normal atau

adanya kelainan sendi yang mendasari. Penemuan awal berupa pembengkakan kapsul sendi

dan jaringan lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan lemak, dan pelebaran ruang sendi.

Osteoporosis periartikular terjadi pada minggu pertama artritis septik. Dalam 7 sampai 14

hari, penyempitan ruang sendi difus dan erosi karena destruksi. kartilago. Pada stadium lanjut

yang tidak mendapatkan terapi adekuat, gambaran radiologi nampak destruksi sendi,

osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan periartikular, atau hilangnya tulang subkondral

diikuti dengan sklerosis reaktif.1

CT Scan dan MRI lebih sensitive untuk membedakan antara osteomielitis, periartikular abses

dan infeksi sendi. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk infeksi sendi di sacroiliac atau

sternoclavicular untuk menyingkirkan penyebaran infeksi ke mediastinum atau ke pelvis.

e. Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya

Kelainan baik intra maupun ekstra artikular yang tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi.

Sangat sensitif untuk mendeteksi adanya efusi sendi minimal (1-2 mL), termasuk sendi-sendi

18

Page 19: Laporan Kasus Internsip 1

yang dalam seperti pada sendi panggul. Cairan sinovial yang hiperekoik dan penebalan

kapsul sendi merupakan gambaran karakteristik artritis septik.1

Pemeriksaan lain yang digunakan pada artritis septik dimana sendi sulit dievaluasi secara

klinik atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu

mengunakan CT, MRI , atau radio nuklead. 1

Gambar 2. Algoritma untuk mengevaluasi pembengkakan sendi3

2.9 Diagnosis

Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor predisposisi, mencari

sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran

kemih, adanya tindakan tindakan invasif, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya

penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma sendi.1

Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda tanda eritema, pembengkakan (90%

kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis infeksi.

Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup

gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi

mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.1

Diagnosis klinis artritis septik bila ditemukan adanya sendi yang mengalami nyeri,

pembengkakan, hangat disertai demam yang terjadi secara akut disertai dengan pemeriksaan

19

Page 20: Laporan Kasus Internsip 1

cairan sendi dengan jumlah lekosit > 50.000 sel/mm3 dan dipastikan dengan ditemukannya

kuman patogen dalam cairan sendi.1

2.10 Diagnosis Banding

Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding arthitis

septik adalah : infeksi pada sendi yang sebelumnya mengalami kelainan, artritis terinduksi-

kristal, artrhitis reaktif, artritis traumatik, dan artritis viral.1

Artritis terinduksi-kristal, Gout dan pseudogout menyerupai gejala dan tanda artritis

septik. Sehingga cairan sendi harus diperiksa menggunakan mikroskop cahaya polarisasi

untuk melihat adanya kristal birefringen negatif (asam urat) atau birefringen positif (kalsium

pirofosfat dihidrat) untuk menyingkirkan adanya penyakit kristal pada sendi. Tapi harus

diingat bahwa adanya laporan tentang adanya kejadian yang bersamaan artritis septik dengan

penyakit sendi karena kristal.1

a. Artrithis Reaktif

Artritis reaktif. Adanya respon inflamasi sendi terhadap adanya proses infeksi bakteri di luar

sendi dikenal dengan artritis reaktif. Sering riwayat penderita adanya infeksi di bagian distal

seperti pada saluran gastrointestinal (contoh : Shigella spp.,Salmonella spp.,Campilobacter

spp., atau Yersinia spp.), saluran genitourinaria (contoh: chlamydia danmycoplasma), dan

saluran respirasi (contoh Streptococcus pyogenes). Sendi dalam keadaan inflamasi tetapi

steril. Pada pemeriksaan PCR terdeteksi antigen mikroba di dalam sendi. Adanya antigen

mikroba ini mencerminkan respon penyaringan alami dari sinovium dan dengan makin

banyaknya antigen bakteri ini akan menstimulasi inflamasi. Penderita juga sering mengalami

entesopati atau uveitis, lesi kulit atau membran mukosa.1

b. Preexisting joint infection

Penderita dengan penyakit sendi kronik yang mendasari seperti artritis rheumatoid,

osteoartritis, dan penyakit jaringan ikat lainnya mengalami flare dan memberikan gambaran

yang menyerupai artritis septik atau mengalami infeksi sehingga memberikan prognosis yang

buruk karena sering terjadi keterlambatan diagnosis artritis septik. Sering pasien tidak

mengalami demam dan gambaran klinis yang indolen. Sehingga diagnosis artritis septik harus

selalu dipikirkan bila terjadi inflamasi mendadak pada satu atau dua sendi pada pasien ini.1

c. Artritis traumatik

20

Page 21: Laporan Kasus Internsip 1

Artritis traumatik merupakan artritis yang disebabkan oleh adanya trauma baik trauma

tumpul, penetrasi, maupun trauma berulang atau trauma dari pergerakan yang tidak sesuai

dari sendi yang selanjutnya menimbulkan nekrosis avaskular. Nekrosis avaskular terjadi

karena terhentinya aliran darah ke bagian kaput femoral dan selanjutnya tulang menjadi

rapuh. Kartilago yang mengelilingi menjadi rusak dan menimbulkan keluhan dan gejala

berupa pembengkakan, nyeri, instabilitas sendi, dan perdarahan internal. Analisa cairan sendi

ditemukan banyak se-sel darah merah.1

d. Artritis viral

Penderita dengan artritis viral biasanya dengan manifestasi poliartritis umumnya mengenai

sendi-sendi kecil yang simetris, demam, limfadenopati dan adanya karakteristik rash. Pada

pemeriksaan cairan sendi tampak banyak sel-sel mononuklear dan kadar glukosa yang

normal.1

2.11 Tatalaksana

Tujuan utama penanganan artritis septik adalah dekompresi sendi, sterilisasi sendi, dan

mengembalikan fungsi sendi. Terapi atrhritis septik meliputi terapi nonfarmakologi,

farmakologi, dan drainase cairan sendi.1

a. Terapi non-farmakologi

Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang terkena. Rehabilitasi

merupakan hal yang penting untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi morbiditas artritis

septik. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat munculnya artritis untuk mengurangi

kehilangan fungsi. Pada fase akut, fase supuratif, pasien harus mempertahankan posisi fleksi

ringan sampai sedang yang biasanya cenderung membuat kontraktur. Pemasangan bidai

kadang perlu untuk mempertahankan posisi dengan fungsi optimal; sendi lutut dengan posisi

ekstensi, sendi panggul seimbang posisi ekstensi dan rotasi netral, siku fleksi 900, dan

pergelangan tangan posisi netral sampai sedikit ekstensi. Walaupun pada fase akut, latihan

isotonik harus segera dilakukan untuk mencegah otot atropi. Pergerakan sendi baik aktif

maupun pasif harus segera dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah keluhan membaik.1

b. Terapi farmakologi

Sekali artritis septik diduga maka segera dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan

serta pemberian terapi antibiotika yang sesuai dan segera dilakukan drainase cairan sendi.

21

Page 22: Laporan Kasus Internsip 1

Pemilihan antibiotika harus berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk kondisi klinis,

usia, pola dan resisitensi kuman setempat, dan hasil pengecatan gram cairan sendi.1

Pemilihan jenis antibiotika secara empiris seperti pada tabel 1 yang dikutip dari

panduan The British Society for Rheumatology tahun 2006.7,15,24 Modifikasi antibiotika

dilakukan bila sudah ada hasil kultur dan sensitivitas bakteri. Perlu diingat bahwa vankomisin

tidak dilanjutkan pada pasien dengan infeksi stafilokokus atau streptokokus yang sensitif

dengan Betalaktam. Perjalanan klinik pasien juga perlu sebagai bahan pertimbangan karena

korelasi pemeriksaan sensitivitas dan resistensi bakteri in vitro dengan in vivo tidak absolut

sesuai.1

Secara umum rekomendasi pemberian antibiotika intravenus paling sedikit selama 2

minggu, diikuti dengan pemberian antibiotika oral selama 1-4 minggu. Pemberian antibiotika

intravena yang lebih lama diindikasikan pada infeksi bakteri yang sulit dieradikasi seperti

P.aerogenosa atau Enterobacter spp. Pada kasus bakterimia S aureus dan arthtritis sekunder

S aureus diberikan antibiotika parenteral 4 minggu untuk mencegah infeksi rekuren.

Pemberian antibiotika intra artikular tidak efektif dan justru dapat menimbulkan sinovitis

kemikal.1

c. Drainase cairan sendi

Drainase yang tepat dan adequat dapat dilakukan dengan berbagai metode. Teknik yang bisa

dilakukan antara lain aspirasi dengan jarum, irigasi tidal, arthroskopi dan arthrotomi. Aspirasi

jarum sebagai prosedur awal drainase sendi yang mudah diakses seperti sendi lutut,

pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-sendi kecil. Drainase dilakukan sesering

yang diperlukan pada kasus efusi berulang. Jika dalam waktu 7 hari terapi jumlah cairan,

jumlah sel dan persentase PMN menurun setiap aspirasi maka tindakan dengan aspirasi jarum

tertutup dapat diteruskan sesuai kebutuhan. Tapi bila efusinya persisten selama 7 hari yang

menunjukkan indeks perburukan efusi sendi atau cairan purulen tidak dapat dievakuasi maka

harus dilakukan arthroskopi atau drainase terbuka harus segera dilakukan. Beberapa indikator

prognostik buruk pada artritis septik sehingga memerlukan tindakan yang invasif. Indikator

ini termasuk lamanya penundaan terapi dari onset penyakit, usia ekstrim, adanya penyakit

sendi yang mendasari, pemakaian obat imunosupresan, serta adanya osteomyelitis ekstra

artikular.1

22

Page 23: Laporan Kasus Internsip 1

Tabel 2. Ringkasan rekomendasi pemberian antibiotika awal secara empirik pada

kasus dugaan artritis septik4

KELOMPOK PASIEN PILIHAN ANTIBIOTIKA

Tidak ada faktor risiko terhadap organisme

Atipikal

Risiko tinggi terhadap sepsis gram negatif

(usia tua, ISK berulang, baru selesai operasi

abdomen)

Risiko MRSA (sedang dalam perawatan di

rumah sakit, tingaal di panti jompo, ulkus

pada kaki atau pemakaian kateter, atau faktor

risiko lainnya yang ditentukan secara lokal)

Diduga gonokokus atau meningokokus

Flukloksasilin 4 x 2gram i.v. Kebijakan

lokal mungkin menambahkan

gentamisin i.v.

Jika alergi terhadap penisilin, maka

diberikan klindamisin 4 x 450-600 mg

i.v. atau generasi kedua atau ketiga

sefalosporin

Generasi kedua atau ketiga sefalosporin

seperti seforoksim 3 x 1,5 gram i.v.

Kebijakan lokal mungkin

menambahkan fluklosaksilin terhadap

generasi ketiga sefalosporin.

Bila alergi maka diskusikan dengan ahli

mikrobiologi.

Vankomisin i.v. ditambah generasi

kedua atau ketiga sefalosporin i.v

Seftriakson i.v. atau sesuai dengan

pilihan lokal atau pola resistensi

23

Page 24: Laporan Kasus Internsip 1

IVDA

Sedang perawatan di ruang intensif

Diskusikan dengan ahli mikrobiologi

Diskusikan dengan ahli mikrobiologi

Irigasi tidal merupakan metode irigasi tertutup non-operatif yang dapat dilakukan di tempat

perawatan pasien. Ini merupakan prosedur alternatif pada pasienpasien yang memiliki risiko

tinggi melaksanakan tindakan operasi atau mereka yang gagal dilakukan aspirasi jarum

tertutup. Irigasi tidal juga dapat dikerjakan pada efusi yang terlokulasi.1

Karena kemajuan arthroskopi, tindakan ini digunakan lebih sering pada terapi artritis

septik. Dengan arthroskopi memungkinkan ahli bedah untuk inspeksi secara adequat sendi

untuk diagnostik dan biopsi sendi yang terinfeksi melalui pengamatan langsung. Untuk

kepentingan terapeutik, arthroskopi dapat melakukan debridemen lebih komplit melalui

irigasi semua ruangan sendi termasuk ruang posterior sendi lutut. Arthroskopi juga

memperbaiki mobilitas karena menimbulkan sayatan yang lebih kecil. Arthroskopi juga

efektif digunakan pada sendi besar lainnya seperti sendi bahu, dan pergelangan kaki.1

Arthrotomi direkomendasikan untuk drainase cairan sendi panggul karena peka sekali

menimbulkan peningkatan tekanan intra artikular dan kesulitan melakukan dekompresi

komplit. Selain sendi panggul, drainase operasi terbuka sering dilakukan juga pada sendi

bahu dan pergelangan tangan dimana sering kesulitan melakukan drainase karena anatomi

yang kompleks. Arthrotomi juga diindikasi pada artritis septik yang disebabkan oleh P.

aeroginosa atau bakteri gram negatif lainnya yang memerlukan terapi

aminoglikosida,membantu mengatasi rendahnya tekanan oksigen dan pH pada sendi yang

terinfeksi.1

2.12 Profilaksis Antibiotika

Karena akibat lanjutan dari artritis septik yang berat (mortalitas, morbiditas, dan

kehilangan fungsi sendi), artritis septik yang menyebar via hematogen merupakan masalah

24

Page 25: Laporan Kasus Internsip 1

besar pada pasien-pasien dengan penyakit sendi. Penggunaan profilaksis antibiotika untuk

pencegahan artritis bakterial secara hematogen melalui penyebaran hematogen transien asih

kontroversial.1

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Krijnen dkk, profilaksis antibiotika pada kasus

infeksi kulit merupakan efektif-biaya pada pasien dengan penyakit sendi yang kepekaannya

tinggi. Pada pasien dengan risiko tinggi seperti artritis rheumatoid dan penggunaan prostesis

pada sendi besar, profilaksis tidak hanya efektif tetapi juga mengurangi biaya secara

keseluruhan. Sedangkan infeksi saluran kencing dan saluran nafas merupakan risiko rendah

terjadinya septik artritis.1

Profilaksis efektif pada kasus ini bila penderita sangat berisiko mangalami arhtritis

bakterial seperti pemakaian prostesis pada sendi panggul atau lutut, adanya penyakit

komorbid, artritis rheumatoid, dan usia 80 tahun atau lebih.1

Berdasarkan panduan dari Belanda, profilaksis yang digunakan adalah

Amoksisilin/asam klavulanat untuk mengatasi artritis bakterial untuk berbagai sumber

infeksi. Pilihan lain adalah golongan sefalosporin. Tidak diketahui antibiotika mana sebagai

profilaksis yang lebih baik. Dosis amoksisilin/asam klavulanat sebagai profilaksis adalah

2000/200 mg intravenus sebelum tindakan invasif, 3x500/125 mg sehari selama 10 hari pada

kasus infeksi, dan 3000/750 mg per oral sekali sebelum tindakan di bidang dental. Efikasi

profilaksis ini adalah 90%, dengan kejadian efek samping 0.01% mengalami reaksi non fatal

dan 0,002% mengalami reaksi fatal.1

2.13 Prognosis

Walaupun dengan terapi yang cepat dan tepat pada artritis septik tetapi prognosisnya masih

buruk. Pada studi yang dilakukan oleh Kaandorp dkk pada 154 pasien (dewasa dan anak-

anak), 33% kasus dengan keluaran sendi yang buruk yaitu dengan amputasi,

arthrodesis,bedah prostetik, atau perburukan fungsional yang berat, mortalitas berkisar 2-

14%.1

25

Page 26: Laporan Kasus Internsip 1

TUBERKULOSIS

3.1 DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.5

3.2 MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak

berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4

mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).

Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-

waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang

berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –

C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan

peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri

tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel

yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu

apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut

dengan larutan asam–alkohol.5

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,

polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan

menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat

26

Page 27: Laporan Kasus Internsip 1

molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan

spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen

M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).

Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,

protein MTP 40 dan lain lain.5

3.3 PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet yang terhirup, dapat mencapai alveolus.

Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.

Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan

sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu

menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.

Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.5,6

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe

regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah

atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika

fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks

primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar

(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).5,6

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian

masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman

hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8

minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. 5,6

27

Page 28: Laporan Kasus Internsip 1

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,

mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,

infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji

tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer

terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu

dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi

kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.

Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan.5,6

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami

resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis

perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan

enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.5,6

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang

mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan

dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut

sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.5,6

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

28

Page 29: Laporan Kasus Internsip 1

Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik.5,6

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1) sarang yang sudah

sembuh. Tidak perlu pengobatan; 2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu perlu

pengobatan yang lengkap dan sempurna; 3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh.

Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat masih ada kemungkinan untuk terjadinya

eksaebasi akut, sebaiknya diberikan pengobatan yang sempurna juga.6

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar

secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman

TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju

adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru

sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya.5,6

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh

imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak

langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus

potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya

tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit

TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.5,6

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya

sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu

penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%

penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya

terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang

timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9

bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi

primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak

mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada

remaja dan dewasa muda.5,6

29

Page 30: Laporan Kasus Internsip 1

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB

tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1

tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah

infeksi primer.5,6

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya5

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis5

3.4 KLASIFIKASI

30

Page 31: Laporan Kasus Internsip 1

Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil

pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak

menunjukkan BTA positif dan biakan positif.5,6

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan

kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.

2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis

positif.5,6

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe

pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan

hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /

perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik

selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.

2) Infeksi jamur

3) TB paru kambuh5,6

c. Kasus defaulted atau drop out

31

Page 32: Laporan Kasus Internsip 1

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai.5

d. Kasus gagal

1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada

akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).

2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.5

e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang

kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in):

Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian

pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /

pindah.

b. Kasus Bekas TB:

1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran

radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan

gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan

OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.5

3.5 DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan

fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala

sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik

(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratorik

a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu

b. batuk darah

c. sesak napas

32

Page 33: Laporan Kasus Internsip 1

d. nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup

berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila

bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.

Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk

membuang dahak ke luar.5,6

2. Gejala sistemik

a. Demam

b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.5,6

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar

getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada

pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga

pleuranya terdapat cairan.5,6

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang

terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.

Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior

(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara

napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.5,6

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya

cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang

melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.5,6

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di

daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.

Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”5,6

33

Page 34: Laporan Kasus Internsip 1

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini

dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan

lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)5,6

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

b. Pagi ( keesokan harinya )

c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-

turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam

pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah

pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus

pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.5

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau

untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum

dikirim ke laboratorium.5

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam

kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas

pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.5

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces

dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif

34

Page 35: Laporan Kasus Internsip 1

2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,

kemudian

o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif

o bila 3 kali negatif : BTA negatif5

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan.

2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).

3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).

4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).5

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode

konvensional ialah dengan cara :

1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.

2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi

Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).

Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya

pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan

cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.5

D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-

lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi

gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).5,6

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen

superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).5,6

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

35

Page 36: Laporan Kasus Internsip 1

1. Fibrotik

2. Kalsifikasi

3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya

secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,

ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau

penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.5,6

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb

(terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak

lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari

iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas

2. Lesi luas

Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 5,6

3.6 Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan

kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis

secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M

tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan

dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif

pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji

kepekaan.5

2. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA

M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan

36

Page 37: Laporan Kasus Internsip 1

kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan

ketelitian dalam pelaksanaannya.5

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang

pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah

diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.5

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal

dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.5

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa

proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah

kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.5

b. ICTUji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk

mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB

yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,

diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis

melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1

garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke

bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum

mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan

antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit

terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.5

c. MycodotUji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan

antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir

plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum

tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan

aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan

mudah.5,6

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

e. Uji serologi yang baru / IgG TB5

37

Page 38: Laporan Kasus Internsip 1

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura5

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien

efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang

mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta

pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan5

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.

Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh

melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans

thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).

d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam

larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang

kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah5

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk

tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai

indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap

darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan

prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit

kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi,

bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi

HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.5,6

38

Page 39: Laporan Kasus Internsip 1

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru5

3.7 PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase

lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan

tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)5,7

1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal

(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

39

Page 40: Laporan Kasus Internsip 1

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =

Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu

yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan :

1) 2 RHZE / 4 RH atau

2) 2 RHZE / 4R3H3 atau

3) 2 RHZE/ 6HE.

Paduan ini dianjurkan untuk

1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase

lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke

ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji

resistensi

b. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan

(bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan

40

Page 41: Laporan Kasus Internsip 1

fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE /

5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari

perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif

diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT

(minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama

pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan

obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2

RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)

2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria

sebagai berikut :

1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan

sesuai jadwal.

2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:

o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,

pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih

lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga

kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari

awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih

lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang

dari awal.

o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika

telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik

positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik

41

Page 42: Laporan Kasus Internsip 1

1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.

Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal

terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun

resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.

3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid

dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program

untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk

menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama

WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO

menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam

pengobatan TB primer pada tahun 1998.5

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan

yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan

monoterapi.

Resimen Pengobatan TB dengan menggunakan metode DOTS6

1. Kategori 1- Pasien TB paru dengan sputum BTA (+) dan kasus baru

- TBP lainnya dalam keadaan berat, misalnya meningitis, miliaris, spondylitis,

peritonitis

- Sputum BTA (-) tetapi kelainan paru luas

42

Page 43: Laporan Kasus Internsip 1

- Fase inisial 2 bulan dan dilanjutkan dengan Fase lanjutan 4 – 6 bulan

- Sputum BTA (+) bila pengobatan selama 2 bulan akan menjadi BTA (-), bila dalam 2

bulan masih negatef maka ditambahkan 4 minggu lagi

Resimen : 2 RHZE (s) + 6 HE atau 4 HR atau 4 H3R3

2. Kategori 2

- Pasien kasus kambuh atau gagal dengan BTA (+)

- Kasus default

- Fase inisial 2 bulan + 1 bulan dilanjutkan dengan Fase lanjutan 5 bulan

Resimen : 2 RHZES + 1 RHZE + 5 RHE atau 5 R3H3E3

Catatan : Apabila BTA masih positif pada minggu ke -12 maka fase inisial dengan 4

obat ditambahkan 1 bulan lagi. Bila BTA masih positif semua obat harus dihentikan

selama 2 – 3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan

3. Kategori 3

- Pasien TB paru dengan sputum BTA (-) tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB

ekstra pulmonal (tidak termasuk kaegori 1)

Resimen : 2 RHZ atau 2 R3H3Z3 + 6 HE atau 2 HR/4H atau 2 H3R3/4H

4. Kategori 4

- Tuberkulosis kronik

Resimen : tidak terdapat diaplikasikan (pertimbangan menggunakan obat – obatan lini

ke-2)

Tabel 3. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia6

Nama ObatDosis Harian Dosis Berkala 3 x

SemingguBB < 50 kg BB > 50 kg

Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg

Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg

Pirazinamid 1000 mg 2000 mg 2 – 3 g

Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg

Etambutol 750 mg 1000 mg 1 – 1,5 g

Etionamid 500 mg 750 mg

PAS 99 mg 10 mg

43

Page 44: Laporan Kasus Internsip 1

Tabel 4. Jenis dan Dosis OAT5,7

Obat Dosis (mg/kgBB/Hari)

Dosis yang dianjurkan Dosis Maksimum

Dosis (mg) / BB (kg)

Harian (mg/kgBB/Hari)

Intermitten (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60

R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 30 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 15,7

Berat Badan Tahap Intensiftiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 6. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 15,7

Tahap Pengobata

n

Lama Pengobatan

Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali menelan

obat

Tablet Isoniasid

@ 300 mg

Kaplet Rifampisin@ 450 mg

Tablet Pirazinamid@ 500 mg

Tablet Etambutol@ 250 mg

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel 7. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 25,7

Berat Badan

Tahap IntensifTiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan3 kali seminggu

RH (150/150) + E (400)Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tablet 4KDT+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol

38-54 kg 3 tablet 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT+ 3 tablet Etambutol

55-70 kg 4 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+ 4 tablet Etambutol

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+ 5 tablet Etambutol

44

Page 45: Laporan Kasus Internsip 1

Tabel 8. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 25

Tahap Pengobata

n

Lama Pengobatan

Tablet Isoniasid

@ 300 mg

Kaplet Rifampisin@ 450 mg

Tablet Pirazinamid@ 500 mg

Etambutol Streptomisin Injeksi

Jumlah/kali menelan

obatTablet

@ 250 mgTablet

@ 400 mgTahap Intenif (dosis harian

2 bulan1 bulan

11

11

33

33

--

0,75 gr-

5628

Tahap Lanjutan (dosis 3x

seminggu)

4 bulan 2 1 - 1 2 - 60

Catatan:

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah

500mg tanpa memperhatikan berat badan.

b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).5

Tabel 9. Dosis KDT untuk Sisipan5

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 10. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan5

Tahap Pengobatan

Lamanya Pengobata

n

Tablet Isoniasid

@ 300 mg

Kaplet Rifampisin@ 450 mg

Tablet Pirazinamid@ 500 mg

Tablet Etambutol@ 250 mg

Jumlah hari/kali

menelan obatTahap

Intensif (dosis harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah

ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis

terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila

mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti

yang mampu menanganinya.5

45

Page 46: Laporan Kasus Internsip 1

B. Efek Samping OATSebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek

samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat

dilanjutkan.5,7

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa

terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan

dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan

dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin

(syndrom pellagra).

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih

0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan

sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus5,7

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah:

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini

terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya

telah menghilang

g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna

merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus

diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.5,7

3. Pirazinamid

46

Page 47: Laporan Kasus Internsip 1

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada

keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat

menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya

ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan

dan reaksi kulit yang lain.5,7

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta

warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut

tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB

perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan

kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak

diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.5,7

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan saraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan

dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan

dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan

gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging

(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera

dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai

sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang

terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera

setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr Streptomisin

dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab

dapat merusak syaraf pendengaran janin.5,7

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya5,7

Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMinor OAT diteruskan

Tidak nafsumakan, mual, sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinolKesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari

47

Page 48: Laporan Kasus Internsip 1

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya5,7

Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMayor Hentikan pengobatan

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol

Ikterik/Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor

Muntah dan bingung (suspect drug-induced pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan EtambutolKelainan sistemik, termasuk syok dan purpura

Rifampisin Hentikan Rifampisin

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:

1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara

simptomatik

2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan

oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan

desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan

pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya

3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal

ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll

karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon

4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu

pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.5,7

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik

dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu

48

Page 49: Laporan Kasus Internsip 1

pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau

mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan

(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk

penyakit komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau

keluhan lain.5,7

2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

a. Batuk darah (profus)

b. Keadaan umum buruk

c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleura masif / bilateral

f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :

a. TB paru milier

b. Meningitis TB

Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi

rawat5,7

E. Terapi Pembedahan

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara

konservatif

2. lndikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

49

Page 50: Laporan Kasus Internsip 1

b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

c. Sisa kavitas yang menetap.5,7

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

1. Bronkoskopi

2. Punksi pleura

3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Kriteria Sembuh

1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan

telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan

3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif5,7

F. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,

serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1

bulan

2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya

komplikasi penyakit

3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.5,7

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

a. Sebelum pengobatan dimulai

b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

c. Pada akhir pengobatan

3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi Evaluasi

radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)5,7

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

1. Sebelum pengobatan

50

Page 51: Laporan Kasus Internsip 1

2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan

keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

3. Pada akhir pengobatan5,7

Evaluasi efek samping secara klinik

1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap

2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta

asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila

ada keluhan)

6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang

paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada

evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium

untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman5,7

Evalusi keteraturan berobat

1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya

obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai

penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada

pasien, keluarga dan lingkungannya.

2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.5,7

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama

setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi

adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah

dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.5,7

DAFTAR PUSTAKA

51

Page 52: Laporan Kasus Internsip 1

1. Darya I W; Putra R. Diagnosis Penatalaksanaan Artritis Septik. Bagian/ SMF Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar. Majalah Interna. 2009.

Available from: URL: www.ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewfile/3880/2875.

2. Kherani R, Shojania K. Case-based review: Septic Arthritis in Patients With Pre-

existing Inflammatory Arthritis. Canadian Medical Association of its licensors. 2007.

p. 1605-8.

3. Goldenberg D. Septic Arhtitis. The LANCET. 1998;351. p.197-202

4. Coalkley G, Mathews C, Field M, Jones A, Kingsley G,Walker D, Phillips M, etc.

BSR & BHPR, BOA, RCGP and BSAC guidelines for management of the hot swollen

joint in adults. The British Society for Rheumatology. 2006. p. 1039-41

5. Konsensus TB. Pedoman Penatalaksanaan TB. Available from: URL:

www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html

6. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In Sudoyo A,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Edition. Jakarta Pusat:

InternaPublishing, 2009. p. 2230-9

7. Amin Z, Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In Sudoyo A,Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Edition.

Jakarta Pusat: InternaPublishing, 2009. p. 2240-8

52