Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

52
TINJAUAN PUSTAKA Hepatitis I. Pendahuluan Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemas, kencing berwarna seperti air teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi kuning. Penyakit ini telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu oleh Hippocrates, dan semula dianggap sebagai suatu kesatuan klinik tersendiri pada akhir abad ke 18 dan 19, yaitu sebelum Perang Dunia Kesatu. Pada waktu itu hanya dikenal dua macam hepatitis, yang dapat menimbulkan epidemic, yaitu Hepatitis Infeksiosa (HI) dan Hepatitis Serum (HS). Disebut HI karena virus yang masuk tubuh kita melalui tinja ke mulut (faecal oral route) dengan masa inkubasi 3-6 minggu. Sedangkan HS cara penularannya melalui darah (parenteral) dengan masa inkubasi 2-6 bulan. Tetapi perkembangan zaman dan kemajuan pemeriksaan imunologis, maka pembagian tersebut tidak berlaku lagi. Kini sebagai penyebab dari hepatitis dapat dibagi atas: 1. Hepatitis oleh virus Virus spesifik hati (A, B, C, D, dan E) terbanyak, sedangkan virus F, G, dan TT masih sedang diteliti Virus lain: EBV, CMV

description

hepatitis c merupakan suatu penyakit virus yang mengenai hepar, dimana diketahui terdapat banyak varian hepatitis virus, salah satunya hepatitis virus c

Transcript of Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

Page 1: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

TINJAUAN PUSTAKA

Hepatitis

I. Pendahuluan

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang

memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemas, kencing berwarna seperti air

teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi kuning.

Penyakit ini telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu oleh

Hippocrates, dan semula dianggap sebagai suatu kesatuan klinik tersendiri pada akhir

abad ke 18 dan 19, yaitu sebelum Perang Dunia Kesatu. Pada waktu itu hanya dikenal

dua macam hepatitis, yang dapat menimbulkan epidemic, yaitu Hepatitis Infeksiosa

(HI) dan Hepatitis Serum (HS). Disebut HI karena virus yang masuk tubuh kita

melalui tinja ke mulut (faecal oral route) dengan masa inkubasi 3-6 minggu.

Sedangkan HS cara penularannya melalui darah (parenteral) dengan masa inkubasi 2-

6 bulan. Tetapi perkembangan zaman dan kemajuan pemeriksaan imunologis, maka

pembagian tersebut tidak berlaku lagi. Kini sebagai penyebab dari hepatitis dapat

dibagi atas:

1. Hepatitis oleh virus

Virus spesifik hati (A, B, C, D, dan E) terbanyak, sedangkan virus F,

G, dan TT masih sedang diteliti

Virus lain: EBV, CMV

2. Hepatitis oleh bakteri (terbanyak oleh Salmonella typhi, maupun parasit oleh

malaria)

3. Hepatitis oleh obat-obatan

Hepatitis virus akut merupakan sindrom klinis akibat infeksi virus

hepatotropik. Manifestasi klinis dapat tampak jelas, tidak jelas/subklinis, atau secara

cepat mengalami progresi dan terjadi keggalan faal hati yang fatal. Kerusakan

terbesar terjadi pada hati. Tergantung pada penyebabnya, apakah terjadi infeksi

secara bersamaan dengan virus yang berbeda, dan apakah terdapat manifestasi

ekstrahepatik, virus hepatitis akut mempunyai derajat morbiditas dan dapat

Page 2: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

2

berkembang menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, bahkan karsinoma hepatoseluler,

kecuali Hepatitis virus A dan E (self limiting disease)

II. Etiologi

Telah diidentifikasikan adanya 5 penyebab utama virus hepatitis (virus

hepatitis A, B, C, D, E); meskipun virus-virus ini merupakan virus hepatotropik tetapi

mempunyai struktur, jalur transmisi, dan gambaran klinis yang berbeda.

Disamping virus hepatotropik, beberapa virus non-hepatotropik juga dapat

menyebabkan kerusakan hati akut. Yang termasuk dalam ini adalah virus Epstein

Barr, cytomegalovirus, herpes simplex, arboviruses, coxsackie, varicella zoster, dan

rubella. Hepatitis yang disebabkan oleh virus-virus ini umumnya ringan dan

berlangsung singkat dan biasanya tidak berkembang menjadi hepatitis kronis dan

sirosis, namun demikian kasus yang berat pernah dilaporkan pada penderita dengan

daya tahan tubuh yang lemah.

Apabila virus hepatotropik masuk ke dalam tubuh, ia secara cepat akan

tinggal dalam hati. Setelah masa inkubasi yang berbeda dari setiap virus, mereka

mulai melakukan replikasi dalam hepatosit, kemudia virus di lepaskan ke dalam

darah dan empedu. Puncak replikasi virus dalam liver pada umumnya sesuai dengan

mulainya terjadinya nekrosis hepatoseluler, baik karena sitopatogenisitasnya secara

langsung maupun respon imun antivirus. Pada stadium ini virus umumnya dapat

ditemukan dalam darah dan cairan tubuh lainnya bersamaan dengan antibody

terhadap viral nucleocapsid dan envelope protein. Necrosis hati pada saat ini adalah

maksimal dan ditandai dengan abnormalitas tes fungsi liver hati, dan pada sebagian

pasien akan tampak tanda-tanda klinis yang jelas. Munculnya neutralizing antibodies,

umumnya antara 4 dan 8 minggu dari mulainya kerusakan hepatoseluler,

menggambarkan resolusi infeksi. Suatu respons hyperimmune terhadap antigen virus,

terutama yang berasal dari sel B dan Th1, dapat menyebabkan bentuk yang berat,

yakni fulminan.

Page 3: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

3

III. Gejala dan Tanda

Perjalanan klinis hepatitis virus akut hamper sama semuanya tanpa melihat

etiologinya. Secara klasik, hepatitis virus akut simtomatis menunjukkan gambaran

klinis yang dapat dibagi dalam 4 tahap:

Masa Tunas (inkubasi): tergantung pada jenis virus

Masa Prodromal/Preikterik: 3-10 hari, rasa lesu/lemah badan, panas, mual,

sampai muntah, anoreksia, perut kanan terasa nyeri.

Masa Ikterik: didahului urine berwarna coklat, sclera kuning, kemudian

seluruh badan, puncak ikterus dalam 1-2 minggu, hepatomegali ringan yang

nyeri tekan.

Masa Penyembuhan: ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2-6 minggu,

demikian pula anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali. Penyembuhan

sempurna biasanya terjadi dalam 3-4 bulan.

Gejala yang paling awal dari fase prodromal pada akhir masa inkubasi ialah

nonspesifik, konstitusional, dan bervariasi; sebagian besar berupa gejala system

pencernaan, seperti tidak suka makan, mual, dan muntah. Sering didapatkan rasa

malas, cepat lelah, demam, dan pegal linu (flulike syndrome). Nyeri persendian

(artralgia), sangat mungkin disebabkan oleh pembentukan kompleks imun.

Pembesaran hati yang cepat akan menyebabkan rasa nyeri tumpul (kemeng) apda

hipokondrium kanan. Perlu ditekankan bahwa sebagaimana servei serologi pada

populasi umum, lebih dari 90% infeksi akut dengan virus hepatitis adalah

asimtomatik atau adanya gejala yang tidak spesifik yang tidak diikuti oleh diagnosis

klinis pada saat periode akut. Perjalanan asimtomatis sering didapatkan pada infeksi

hepatitis virus A pada anak dan hepatitis virus C pada dewasa. Hepatitis virus

simtomatis yang disebabkan oleh virus hepatitis G tidak pernah dilaporkan.

Bila terjadi nekrosis hepatoseluler massa liver fungsional menurun, kegagalan

ekskresi bilirubin akan menyebabkan jaundice (fase ikterus). Jaundice didahului oleh

warna air kencing yang gelap dan feses yang pucat selama beberapa hari. Pada fase

ini gejala prodromal pada umumnya menghilang. Bila kolestasis menonjol, akan

Page 4: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

4

terjadi rasa gatal, seperti obstruksi bilier. Penurunan berat badan yang terjadi selama

fase ini dapat disebabkan oleh adanya anoreksia dan kurangnya asupan makanan.

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya hepatomegalui ringan,

kadang-kadang nyeri, dan pada 10-20% pasien bisa didapatkan pembesaran limpa

(splenomegali). Walaupun jarang, bisa didapatkan adanya pembesaran kelenjar limfe

leher. Sedikit spider nevi dan eritema palmaris yang ringan bisa tampak bila fungsi

liver membaik. Perhatian khusus harus diperhatikan untuk menyingkirkan bukti-bukti

secara fisik adanya penyakit hati kronis (hepatomegali, splenomegali massive,

kolateral vena pada perut, tanda-tanda hiper-estrogenism pada pria), karena reaktivasi

dari dasar penyakit hati kronis dapat tampak dengan suatu pola laboratorium yang

menyerupai hepatitis virus akut.

Selama fase ini penting untuk mencari tanda-tanda awal adanya kegagalan

hati berat (yang secara klinis ditandai dengan koagulopati, somnolen, iritabilitas dan

perubahan tingkah laku karena ensefalopati hepatic). Bila hal tersebut terjadi

menunjukkan perkembangan kea rah hepatitis fulminan dan harus segera dirujuk ke

pusat-pusat dengan akses yang siap untuk transplantasi hati darurat (emergency liver

transplantation).

Setelah beberapa minggu, umumnya berkisar 1-4 minggu, gambaran klinis

dan laboratories hepatitis virus akut akan membaik secara nyata, dan pasien masuk

dalam fase pemulihan dalam beberapa minggu. Bila infeksi disebabkan oleh virus

hepatitis A dan virus hepatitis E maka penyembuhannya adalah sempurna, namun

bila penyebabnya adalah virus hepatitis B, D, atau C dapat terjadi evolusi ke arah

kronis.

Fase pemulihan umumnya berakhir dalam 3 sampai 6 minggu dan jarang

sampai 12 minggu, dengan penurunan dan hilangnya gejala umum secara progresif

dengan normalisasi hasil laboratorium. Abnormalitas kadar aminotransferase yang

persisten dan replikasi virus pada saat ini menunjukkan infeksi oleh virus hepatitis B,

virus hepatitis D, dan virus hepatitis C, yang menyertai evolusi kronis dan

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk biopsy hati perkutan.

Page 5: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

5

IV. Laboratorium

Urine

Kelainan pertama yang terlihat yaitu adanya bilirubin dalam urine, bahkan

dapat terlihat sebelum ikterus timbul. Juga bilirubinuria timbul sebelum kenaikan

bilirubin dalam serum dan kemudian ini menghilang dalam urine, walaupun bilirubin

serum masih positif. Urobilinogen dalam urine dapat timbul pada akhir fase

preikterus. Pada waktu ikterus sedang menaik, terdapat sangat sedikit bilirubin dalam

intestine, sehingga urobilinogen menghilang dalam urine.

Tinja

Pada waktu permulaan timbulnya ikterus warna tinja sangat pucat. Analisis

tinja menunjukkan steatore. Apabila warna tinja kembali normal, berarti ada proses

ke arah penyembuhan.

Darah

Yang penting ialah perlu diamati serum bilirubin, SGOT, SGPT, dan asam

empedu, seminggu sekali selama dirawat di RS. Pada masa preikterik, hanya

ditemukan kenaikan dari bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), walaupun bilirubin

totak masih dalam batas normal.

Pada minggu pertama dari fase ikterik, terdapat kenaikan kadar serum

bilirubin total (baik yang terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi). Kenaikan

kadar bilirubin bervariasi antara 6-12 mg%, tergantung dari berat ringannya penyakit.

Bila diikuti setiap hari terus menerus, maka kadar bilirubin total terus meningkat

selama 7-10 hari. Umumnya kadar bilirubin mulai menurun setelah minggu kedua

dari fase ikterik, dan mencapai batas normal pada masa penyembuhan.

Serum transaminase yang perlu diamati ialah SGOT (aspartate

aminotransferase (AST)), SGPT (alanine aminotransferase (ALT)). Pada fase akut

yaitu permulaan fase ikterik terdapat kenaikan yang menyolok dari SGOT dan SGPT,

kenaikannya dapat sampai sepuluh kali dari nilai normal, bahkan pada kenaikan yang

lebih berat kenaikannya dapat seratus kalinya. Kadar SGPT umumnya lebih tinggi

Page 6: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

6

daripada SGOT. Peningkatan aminotransferase adalah cepat dan diikuti oleh

hiperbilirubinemia pula. Pada minggu kedua dari fase ikterik mulai terdapat

penurunan 50% dari serum transaminase tetapi pada fase penyembuhan nilainya

belum mencapai normal. Nilai normal baru dicapai sekitar 2-3 bulan setelah

timbulnya penyakit. Oleh karena itu serum transaminase ini digunakan untuk

memantau perkembangan penyakit penderita, dan sebaiknya diperiksa 1-2 bulan

sekali selama berobat jalan. Bila hasilnya setelah 6 bulan tetap meninggi maka perlu

dipikirkan kemungkinan menjadi kronis. Pemeriksaan enzim dengan menggunakan

rasio dari De Ritis amat bermanfaat untuk membedakan jenis kerusakan hati. Pada

hepatitis akut rasio SGOT/SGPT ialah 0,4-0,8, sedangkan pada hepatitis kronis rasio

SGOT/SGPT ialah sekitar 1 atau lebih.

Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus subakut

yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit, ataupun dapat merupakan pertanda

menjadi kronis, bila diikuti dengan meningkatnya nilai globulin. Nilai alkali fosfatase

dapat pula terjadi sedikit kenaikan yang bersifat sementara, terutama pada fase akut,

untuk selanjutnya kembali dalam batas normal. Bila ditemukan tetap meninggi, maka

perlu dipikirkan adanya kholestasis. Nilai protrombin time ini dapat digunakan untuk

memantau perkembangan hepatitis virus akut serta dapat menilai derajat kegagalan

fungsional hati, dimana pada hepatitis virus akut biasanya mempunyai nilai normal

atau sedikit menaik. Bila hasil protrombin time tetap sangat memanjang, walaupun

telah diberikan suntikan vit K tdiak akan kembali normal berarti menjadi hepatitis

fulminan.

Kelainan darah perifer yang ditemukan pada fase preikterik yaitu terlihat

lekopeni, limfopeni dan netropenia merupakan gambaran yang umum dari infeksi

virus. Disamping itu terlihat LED menaik, kemudian pada fase ikterik kembali

normal, dan terdapat kenaikan lagi bilamana ikterusnya berkurang, yang kembali

normal lagi pada fase penyembuhan yang sempurna.

Lebih dari separuh pasien dengan hepatitis virus akut dapat mengalami

hipoglikemia selama fase simtomatis yang disebabkan oleh berkurangnya simpanan

Page 7: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

7

glikogen hati dan sering diperberat oleh asupan makanan yang kurang akibat mual

dan diet yang tidak cukup.

Pemeriksaan virology memainkan peranan yang penting dalam menegakkan

diagnosis etiologis hepatitis virus akut. Identifikasi yang benar dari penyebab tidak

saja penting untuk menetukan penatalaksanaan dan prognosis pasien, tetapi juga

untuk mengontrol penularan infeksi pada lingkungan.

V. Jenis virus hepatitis

Berikut adalah penjelasan jenis virus hepatitis yang dewasa ini cukup sering

dijumpai serta terkadang tidak nampak gejalanya secara langsung, yakni hepatitis

virus C.

V.1. Hepatitis Virus C

Dengan makin meningkatnya pengetahuan dan teknologi, sampai saat

sekarang telah dikenal 5 macam virus hepatitis, yaitu A, B, C, D, dan E. dari ke 5

macam virus tersebut, semula yang menjadi permasalahan tingkat nasional maupun

internasional ialah hepatitis B, karena dapat menimbulkan berbagai macam

manifestasi klinis. Tetapi sejak ditemukan hepatitis pascatranfusi (HPT) sekitar tahun

1970, yang kemudian disebut hepatitis Non-A Non-B, dan akhirnya disepakati untuk

diberi nama hepatitis C setelah diketahui macam virusnya, timbul permsalahan baru,

karena juga dapat menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis.

Dengan ditemukan hepatitis C yang mempunyai ciri yang sama dengan

hepatitis B, tetapi memiliki kronisitas yang lebih tinggi, perlu dibahas secara umum

hepatitis C (riwayat, etiologi, insidensi, cara penularan), dan berbagai manifestasi

klinis yang secara khusus ditinjau kejadiannya di Indonesia berdasar hasil penelitian

yang telah dilakukan.

V.1.1. Riwayat Penyakit

Dengan ditemukannya hepatitis pascatranfusi (HPT) sekitar tahun 1970, maka

dianggap penyakit ini identik dengan hepatitis virus B (HVB). Karena waktu itu

Page 8: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

8

dianggap hanya HVB sajalah sebagai penyebabnya. Setelah WHO pada tahun 1974

menganjurkan uji saring darah donor terhadap HBsAg, kasus HPT memang

berkurang, tetapi tidak dapat hilang sama sekali, meskipun telah dilakukan uji saring

terhadap HBsAg dengan metode yang paling peka, ternyata kemudian sampai 90%

ditemukan kasus HPT. Setelah uji saring HBsAg dengan metode yang paling peka,

ternyata bukan disebabkan oleh hepatitis virus B maupun oleh virus A, meskipun

gejala kliniknya menyerupai kedua penyakit tersebut. Oleh karena waktu itu belum

diketahui jenis virus penyebabnya, maka disepakati untuk diberi nama Hepatitis Virus

Non-A Non-B.

Setelah ditemukan ada dua macam virus sebagai HNANB, maka kemudian

disepakati untuk mnama Hepatitis Virus C (HVC) pada HNANB yang transmisinya

melalui produk darah atau secara parenteral, dan Hepatitis Virus E (HVE) pada

HNANB yang transmisinya melalui air atau sumber air (water borne). Kesepakatan

ini diperkukuh lagi setelah ditemukan macam virus dari HVC oleh kelompok para

peneliti dari “Chiron Corporation di California”.

V.1.2. Etiologi

Sampai bertahun-tahun lamanya belum ditemukan macam virus dari HNANB,

dan belum ada pertanda serologis yang khas untuk mendeteksinya. Sehingga untuk

membuat diagnosis hanya dengan menyingkirkan (eksklusi) kemungkinan infeksi

HVA dan HVB, juga terhadap virus lainnya misalnya terhadap virus Coxsackie B,

Epstein Barr, dan Cytomegalovirus.

Sampai akhirnya pada tahun 1988 para peneliti dari Chiron Corporation di

California telah menemukan virus hepatitis baru, yang disebut hepatitis virus C

(HVC), ditemukan pada penderita HNANB yang transmisinya melalui darah atau

produk darah. Genom virus ini merupakan untaian RNA tunggal, yang panjangnya

10000 nukleotida. HVC mengandung selubung lipid dengan diameter 50-60 nm dan

sensitive terhadap pelarut organic misalnya kloroform. Antigen virus mengandung

363 asam amino. Anti HCV telah ditemukan pada serum penderita HNANB

pascatranfusi sebanyak 60-90%. Dengan demikian sejak saat ini HNANB yang

Page 9: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

9

transmisinya parenteral, disebut HVC. Karena itu terhadap setiap donor darah harus

dilakukan uji saring, tidak hanya terhadap HBsAg saja, tetapi harus juga dilakukan

terhadap HVC. Dan HNANB yang transmisinya secara endemis atau peroral

kemudian dikenal menjadi HVE, umumnya memiliki prognosis baik.

Virus hepatitis C adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus ini

memiliki partikel untuk menyelimuti untaian RNA yang panjangnya 9600 basa

nukleotida. Genom VHC terdiri dari protein structural (C, E1 dan E2) dan protein non

structural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A dan NS5B) yang terletak di dalam

poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus hepatitis C

telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi virus hepatitis C sehingga

membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus hepatitis C.

Saat ini VHC telah berhasil diidentifikasi memiliki 7 genotipe dengan 67

subtipe, akan tetapi masih belum ada kesepakatan secara internasional sehingga tetap

menggunakan pembagian 6 genotipe dengan 50 subtipe untuk memudahkan diagnosis

dan tatalaksana. Pemeriksaan genotype berguna untuk menentukan durasi terapi dan

memperkirakan respons terapi. Genotype 1a dan 1b paling sering dijumpai, meliputi

hampir 60% infeksi VHC, predominan di wilayah Eropa, Amerika Utara dan Jepang.

Genotype 2 lebih jarang dijumpai dan umumnya berhubungan dengan faktor risiko

infeksi VHC dari tranfusi darah. Genotype 3 banyak dijumpai di wilayah Asia

Tenggara sedangkan genotype 4 banyak dijumpai di Timur Tengah, Mesir, Afrika

Utara dan Afrika Tengah. Genotype 5 hanya dijumpai di wilayah Afrika Selatan

sedangkan genotype 6 tersebar merata di seluruh wilayah Asia. Genotype 7 dijumpai

di Kanada, Belgia dan kemungkinan di Afrika Tengah.

V.1.3. Insidensi

Sejak tahun 1982 HNANB mulai masuk ke dalam system pelaporan kesakitan

dan kematian di EDC (Centers of Disease Control). Sejak itu telah dilaporkan sekitar

4000 kasus per tahun, dan insidensinya sebesar 1,6 per 100000 penduduk. Insidensi

ini hanya menggambarkan sebanyak 7% dari seluruh hepatitis virus yang dilaporkan

Page 10: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

10

ke EDC. Angka yang kecil ini diduga disebabkan beberapa kasus yang tidak

dilaporkan, selain itu juga karena tidak dilakukan pemeriksaan serologic.

Kemungkinan angka yang sebenarnya diduga sekitar 20-40% dari seluruh kasus

hepatitis akut.

HVC telah banyak dilaporkan di seluruh dunia, dan pada saat ini diperkirakan

sekitar 100 juta pengidap kronik HNANB di dunia. Sekitar 175ribu kasus baru

dilaporkan dari Amerika dan Eropa, dan sekitar 350ribu pula dari Jepang. Kejadian

HVC akut sangat bervariasi dan tergantung kepada lokasi geografis.

Di Jakarta dilaporkan kejadian HVC akut merupakan urutan kedua setelah

HVA akut dan jauh diatas HVB akut. Berbeda dengan laporan di RS Hasan Sadikin

Bandung yang menemukan 28,3% kasus penyakit hati kronik karena HVC.

V.1.4. Kelompok Risiko Tinggi

Angka kejadian HVC akan lebih tinggi pada kelompok risiko tinggi. Berdasar

laporan hasil penelitian, diperoleh data mereka yang dapat digolongkan kelompok

risiko tinggi ialah

- Penerima tranfusi darah atau produk darah (resipien)

- Yang sering menggunakan obat-obat intravena (intravena drug users/abusers)

- Tenaga medis/paramedic yang sering kontak dengan darah atau komponen

darah

- Penderita yang mendapat hemodialisa dan anggota staf ruang hemodialisis

V.1.5. Cara Penularan

Pada umumnya cara penularan HVC adalah parenteral. Semula penularan

HVC dihubungkan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik.

Tetapi setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis C, makin banyak laporan

mengenai cara penularan lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HVB.

Page 11: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

11

Penularan horizontal

Di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang penularan HVC terjadi

terutama melalui cara parenteral, yaitu tranfusi darah atau komponen produk

darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.

1. Secara kontak

Banyak dilaporkan mengenai penularan secara kontak. Penularan

secara kontak erat hubungannya dengan penggunaan bersama alat cukur, sikat

gigi, handuk di dalam keluarga. Dilaporkan penularan intrafamilial, yaitu

terjadinya kontak antara orang demi orang di dalam keluarga. Penularan HVC

secara intrafamilial dapat terjadi melalui penularan horizontal atau vertical.

Penularan vertical kemungkinannya lebih sedikit bila dibanding HVB.

Berdasar laporan penelitian terhadap 42 penderita HVC kronik aktif, dan dari

114 anggota keluarga yang diperiksa, ditemukan 34 (82%) yang mengandung

Anti-HCV positif.

2. Transmisi seksual

Kontak langsung antara pasangan suami-istri penderita HVC dapat

terjadi. Dilaporkan kejadian Anti HCV positif sebanyak 11% pada 140

individu yang mempunyai kontak seksual atau serumah dengan mereka yang

menderita HVC atau mempunyai riwayat partner heteroseksual yang multiple.

Laporan lain menyatakan, ditemukan 4,7% Anti HCV positif pada 191

penderita heteroseksual yang memiliki riwayat penyakit kelamin. penularan

HVC pada individu homoseksual lebih sedikit dibanding HVB.

3. Transmisi sporadic (Non parenteral)

Karena ditemukannya anti HCV pada donor darah menunjukkan

bahwa HVC dapat ditularkan non-parenteral. Penularan ini disebut juga

penularan secara sporadic (community acquired), dimana tidak terdapat

riwayat tranfusi darah atau penggunaan obat-obatan intravena. Hampir

Page 12: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

12

setengah kasus penularan sporadic ini ditemukan Anti HCV positif setelah 6

minggu serangan dan sisanya 40% positif setelah 6 bulan. Mungkin juga

transmisi parenteral yang tidak jelas melalui darah atau kontak seksual,

merupakan mekanisme penularan sporadic.

Penularan vertical

Penularan vertical adalah penularan dari seorang ibu pengidap atau

penderita HVC kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau

beberapa saat setelah persalinan. Dari pemeriksaan serologis Anti HCV

selama 24 bulan terhadap 232 wanita partus di Hongkong bersama 234 bayi

mereka dilakukan pemeriksaan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan 17

dari 232 wanita tersebut (7,3%) dan 7 dari bayinya (3,0%) yang Anti HCV

positif. Disini mungkin terjadi transmisi vertical dari seorang ibu kepada

bayinya.

V.1.6. Perjalanan Alamiah Infeksi Virus Hepatitis C

Masa inkubasi VHC berkisar antara 14-180 hari (± 45 hari). Manifestasi klinis

infeksi hepatitis C akut bervariasi mulai dari asimtomatik (80%) sampai bergejala

(20%) baik ringan maupun berat. Gejala klinik yang sering dijumpai adalah malaise,

letih, anoreksia, ikterik, hepatomegali, dan peningkatan kadar enzim alanine

aminotransferase. Apabila setelah 6 bulan pascapaparan, anti-HCV dan RNA VHC

(HVC RNA) masih terdeteksi di dalam darah maka didiagnosis sebagai hepatitis C

kronik.

Hampir 80% pasien hepatitis C akut akan menetap menjadi hepatitis C kronik.

Faktor yang meningkatkan risiko kronisitas meliputi jenis kelamin laki-laki, usia > 25

tahun saat mengalami infeksi, asimptomatik, etnis Afrika-Amerika, koinfeksi dengan

HIV, kondisi imunosupresi, konsumsi alcohol berat, obesitas, keberadaan resistensi

insulin dan diabetes mellitus tipe 2. Progresifitas hepatitis C kronik berjalan lambat,

10-20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam kurun waktu 15-20 tahun dan

Page 13: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

13

setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun berkembang menjadi karsinoma

hepatoseluler (KHS). Angka mortalitas akibat komplikasi penyakit sirosis hati terkait

infeksi hepatitis C kronik sekitar 4% per tahun. Manifestasi ekstrahepatik yang

berhubungan dengan keberadaan infeksi hepatitis C kronik adalah krioglobulinemia,

lichen planus, porphyria cutaneus tarda, limfositik sialodenitis dan glomerulonefritis

membranosa. Selain itu juga didapatkan adanya hubungan antara limfoma non-

hodgkin dan infeksi hepatitis C kronik.

VI. Diagnosis dan Pengkajian Awal Pra-terapi

VI.1. Diagnosis

Pada infeksi hepatitis C akut, HCV RNA dapat terdeteksi dalam 7-10 hari

setelah paparan, kemudian anti-HCV mulai dapat terdeteksi di dalam darah 2-8

minggu setelah paparan. Saat diagnosis awal hepatitis C akut, pemeriksaan anti-HCV

positif hanya ditemukan pada sekitar 50% pasien. Diagnosis hepatitis C akut dapat

ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV pada pasien yang sebelumnya telah

diketahui anti-HCV negative, oleh karena tidak adanya penanda serologi yang dapat

membuktikan infeksi akut VHC. Pada kasus pasien dengan gejala sesuai (alanine

aminotransferase (ALT) >10x nilai batas normal, ikterik) tanpa adanya riwayat

penyakit hati kronik atau penyebab lain hepatitis akut, dan/atau sumber penularan

dapat diidentifikasi maka dapat dicurigai hepatitis C akut, meskipun 80% infeksi

hepatitis C akut bersifat asimtomatik.

Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan HCV

RNA tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi disertai dengan gejala-gejala

penyakit hati kronik.

VI.2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan menggunakan

tekhnik enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent

immunoassay (CLIA). Apabila dari pemeriksaan ELISA atau CLIA didapatkan hasil

Page 14: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

14

anti-HCV positif makan seseorang dapat dinyatakan terinfeksi virus hepatitis C dan

dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA.

Mengingat masa serokonversi anti-HCV 5-10 minggu setelah paparan

sehingga pemeriksaan anti-HCV saja dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis

pada sekitar 30% kasus hepatitis C akut. Selain itu, pada pasien dengan

imunodefisiensi (pasien HIV, pasien hemodialisis dan penggunaan obat-obat

imunosupresan) pemeriksaan anti-HCV dapat memberikan hasil negative palsu. Pada

kondisi tersebut atau apabila kecurigaan infeksi hepatitis C cukup besar maka

diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan HCV RNA. Pemeriksaan HCV

RNA dengan real-time PCR dapat mendeteksi keberadaan jumlah virus VHC sampai

muatan virus minimal <50 IU/mL untuk dual therapy dan <15 IU/mL untuk triple

therapy. Pemeriksaan ini penting untuk menegakkan diagnosis maupun pemantauan

terapi antivirus.

Pada infeksi hepatitis C kronik didapatkan bukti anti-HCV dan HCV RNA

positif disertai tanda-tanda hepatitis kronik. Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV

RNA dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA

Anti-HCV HCV RNA Interpretasi

Positif Positif Akut atau kronis bergantung pada gejala klinis

Positif Negative Resolusi VHC; Status infeksi tidak dapat ditentukan

(mungkin dalam status intermittent viremia)

Negative Positif Infeksi VHC akut awal; VHC kronik pada pasien

dengan status imunosupresi; Pemeriksaan HCV RNA

positif palsu

Negative Negative Tidak terinfeksi VHC

Page 15: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

15

VI. 3. Pengkajian Sebelum Pemberian Terapi

a) Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronik

Sebelum memulai terapi antivirus perlu dilakukan pengkajian terlebih

dahulu. Penilaian terhadap kemungkinan adanya koinfeksi dengan virus

hepatitis B (VHB) dan HIV, mencari kemungkinan penyakit komorbid lain

seperti penyakit hati alcohol, penyakit hati autoimun dan non-alcohol fatty

liver disease (NAFLD). Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk

menilai fungsi hati antara lain pemeriksaan kadar alanine aminotransferase

(ALT), aspartate aminotransferase (AST), gamma-glutamyl transpeptidase

(GGT), alkali fosfatase, bilirubin, waktu protrombin, albumin, globulin dan

darah perifer lengkap.

b) Menilai derajat keparahan penyakit hati kronik

Identifikasi derajat keparahan penyakit hati kronik atau sirosis hati

penting untuk menilai prognosis, respon terapi dan kesintasan karsinoma

hepatoseluler. Pemeriksaan awal menggunakan ultrasonografi (USG)

abdomen dilakukan untuk mengidentifikasinya. Biopsy hati merupakan baku

emas untuk menilai derajat nekroinflamasi (grading) dan fibrosis (staging)

hati. Menilai derajat fibrosis hati pada infeksi hepatitis C kronik penting

dalam membuat keputusan untuk memulai terapi antivirus dan juga

menentukan prognosis. Beberapa pemeriksaan penanda fibrosis seperti

Aspartate Aminotransferase-Platelet Ratio index/APRI, FIBROSpect II,

Hepascore, Fibrometer, FIB-4 dan Fibrotest juga dapat digunakan untuk

menilai derajat fibrosis. Pemeriksaan non-invasif yang lazim dilakukan di

Indonesia adalah USG, transient elastography (fibroscan) dan Aspartate

Aminotransferase-Platelet Ratio index/APRI.

c) Menilai muatan virus HCV RNA dan genotype virus

Penilaian muatan virus HCV RNA wajib bagi semua pasien yang akan

mendapatkan terapi antivirus. Pemeriksaan muatan virus HCV-RNA harus

Page 16: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

16

menggunakan tekhnik real-time PCR (nilai deteksi terendah <50 IU/Ml untuk

dual therapy dan <15 IU/mL) dan dinyatakan dalam satuan IU/mL

Pemeriksaan genotype mutlak diperlukan untuk menentukan regimen

terapi, durasi terapi dan memprediksi respons terapi. Pemeriksaan ini dapat

dilakukan menggunakan berbagai teknik seperti direct sequence analysis,

reverse hybridization, dan genotype specific real-time PCR. Saat ini

pemeriksaan genotype yang tersedia sudah mampu mengidentifikasi secara

akurat 6 genotipe pada infeksi hepatitis C kronik.

VII. Diagnosis banding

Hepatitis yang disebabkan oleh virus nonhepatotropik dapat menyerupai

bentuk ringan dari hepatitis virus akut. Sejumlah obat-obatan yang berkaitan dengan

kerusakan sel hati juga dapat menyerupai hepatitis akut. Obat-obatan yang dapat

menyebabkan kerusakan tersebut antara lain adalah antihipertensi, antiinflamasi

nonsteroid, dan obat antituberkulosis. Penghentian obat-obatan ini akan menurunkan

gejala. Asetaminofen dapat menyebabkan gagal hati fulminan bila diminum dalam

dosis yang berelbihan. Obat ini akan menimbulkan masalah khususnya pada

alkoholik, dimana akan terjadi kerusakan hati yang berat bila dengan mengkonsumsi

secara teratur sedikitnya 5 gram per hari.

Kerusakan hati akibat alcohol itu sendiri juga harus dipikirkan sebagai

diagnosis banding. Pada hepatitis alkoholik, tidak seperti hepatitis virus akut,

aminotransferase umumnya meningkat kurang dari 10 kali harga di atas normal,

dengan peningkatan AST yang tidak proporsional dengan ALT.

Gagal jantung, baik kanan maupun kiri, dapat menyebabkan kerusakan hati

akut sekunder terhadap stasis. Pemeriksaan fisik dapat menolong kita untuk

membedakan penyebab kardiak.

Kolestasis akut atau obstruksi bilier, kadang-kadang dapat dikacaukan dengan

hepatitis virus akut, tetapi adanya nyeri billier dengan temuan ultrasonografi dapat

untuk membedakan keduanya.

Page 17: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

17

VIII. Komplikasi

Hepatitis virus akut dapat memberikan komplikasi berupa: (1) kolestasis, (2)

gagal hati fulminan atau gagal hati subakut, dan (3) hepatitis aplastic anemia

syndrome.

VIII. Penatalaksanaan

VIII.1. Terminologi

Penatalaksanaan hepatitis C kronik lebih ditujukan karena seringkali pasien

hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik. Di bawah

ini adalah tabel mengenai terminology yang penting untuk diketahui sebelum

memulai tatalaksana hepatitis C.

Terminologi pada tatalaksana hepatitis C kronik

Terminologi Singkatan Definisi

Peg-IFN/RBV (Dual Therapy)

Low Viral Load LVL HCV RNA < 400.000 IU/mL

High Viral Load HVL HCV RNA > 400.000 IU/mL

Rapid Virological

Response

RVR Muatan virus HCV RNA < 50 IU/mL atau tidak

terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus

selama 4 minggu

Early Virological

Response

EVR Muatan virus RNA masih terdeteksi pada

minggu ke 4 terapi, akan tetapi tidak lagi

terdeteksi pada minggu ke 12 sampai akhir

Delayed Virological

Response

DVR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) lebih

dari 2 log10 nilai awal akan tetapi HCV RNA

masih terdeteksi setelah terapi antivirus selama

12 minggu, dan tidak lagi terdeteksi setelah

pemberian terapi antivirus selama 24 minggu

Null Response NR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) kurang

dari 2 log10 dari nilai awal setelah pemberian

Page 18: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

18

terapi antivirus selama 12 minggu

Partial Response PR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) lebih

dari 2 log10 dari nilai awal setelah pemberian

terapi antivirus selama 12 minggu, akan tetapi

HCV RNA masih tetap terdeteksi pada minggu

ke 24 pemberian terapi

Breakthrough BT Kemunculan kembali HCV RNA setelah tidak

terdeteksi atau terjadi peningkatan kembali HCV

RNA 1 log10 dari nadir selama terapi antivirus

diberikan

End Of Treatment

(virological)

EOTR Tidak terdeteksinya HCV RNA pada akhir

pemberian terapi antivirus

Sustained

virological response

SVR Muatan virus HCV RNA < 50 IU/mL atau tetap

tidak terdeteksi setelah 24 minggu setelah

pemberian terapi antivirus selesai

Relapse Pada akhir terapi antivirus HCV RNA tidak

terdeteksi, akan tetapi kembali terdeteksi setelah

terapi antivirus dihentikan

Peg-IFN α2b/RBV + BOC (Triple Therapy)

Early Response ER Muatan virus HCV RNA tidak lagi terdeteksi

pada minggu ke-8 pemberian terapi antivirus

(setelah 4 minggu boceprevir diberikan)

Late Response LR Muatan virus HCV RNA masih terdeteksi pada

minggu ke-8 pemberian terapi antivirus tetapi

sudah tidak lagi terdeteksi pada minggu ke-12

Lower Limit of

HCV RNA

quantification

LoQ Muatan virus HCV RNA ≤ 25 IU/mL selama

pengobatan

Page 19: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

19

Lower Limit of

Detection

LoD Muatan virus HCV RNA 10-15 IU/mL selama

pengobatan

VIII.2. Tujuan dan Indikasi Pemberian Terapi Antivirus

Tujuan pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit

hati fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoseluler dan kematian. Target terapi antivirus

adalah pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu SVR perlu

dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR tercapai

maka dapat diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai.

Pasien hepatitis C genotype 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-

IFNα2a dan 42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien

genotype 2 dan sebesar 82% pada pasien genotype 3 baik dengan menggunakan Peg-

IFNα2a maupun Peg-IFNα2b. pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada

pasien dengan genotype 1, 90% pada pasien dengan genotype 2/3, 65% pada pasien

dengan genotype 4 dan 80% pada pasien dengan genotype 6. Pencapaian SVR di

Indonesia adalah 81,5% pada pasien genotype 1, 90% pada pasien dengan genotype

2/3, dan 85,7% pada pasien dengan genotype 4.

Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien hepatitis C

kronik naïve dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak

memiliki kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin. Pemberian terapi

antivirus pada pasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan untuk mengurangi

risiko komplikasi terjadinya sirosis hati dekompensata dan risiko terjadinya

karsinoma hepatoseluler.

VIII.3. Kontraindikasi Terapi

Kontraindikasi absolute pemberian terapi interferon (IFN) pada pasien

hepatitis C adalah depresi berat, psikotik atau riwayat psikotik, kejang yang tidak

terkontrol dan sirosis hati dekompensata. Adapun kontraindikasi relative meliputi

riwayat depresi, diabetes mellitus yang tidak terkontrol, hipertensi yang tidak

Page 20: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

20

terkontrol, dan sebagainya. Berikut tabel yang menunjukkan kontraindikasi terapi

hepatitis virus C.

Tabel Kontraindikasi penggunaan Peg-Interferon alfa dan ribavirin

Kondisi Interferon alfa Ribavirin

Kontraindikasi

absolut

Depresi berat

Psikotik atau riwayat psikotik

Kejang yang tidak terkontrol

Sirosis hati dekompensata

Kehamilan

Gagal ginjal

Gagal jantung berat

Kontraindikasi

relatif

Riwayat depresi

Diabetes mellitus tidak

terkontrol

Hipertensi tidak terkontrol

Retinopati

Psoriasis

Autoimmune tiroiditis

Autoimmune hepatitis

Penyakit autoimmune lainnya

Penakit vascular yang

berat

Anemia

Penyakit jantung

iskemik

Perhatian

khusus

Netropenia (hitung neutrofil ≤

1.500 sel/μl)

Trombositopenia (jumlah

trombosit < 85.000/μl)

Transplantasi organ

Riwayat penyakit autoimmune

Keberadaan autoantibody tiroid

Usia > 70 tahun

VIII.4. Tatalaksana hepatitis akut

Page 21: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

21

Tatalaksanan hepatitis c akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk

menunggunya terjadi resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut yang

simptomatik. Akan tetapi, pada pasien dengan genotype IL2B non-CC pemberian

terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan

terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN

dapat diberikan dalam tatalaksana hepatitis akut. Durasi terapi hepatitis C akut pada

genotype 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotype 2 atau 3 dilanjutkan

selama 12 minggu. Penambahan ribavirin tidak meningkatkan pencapaian SVR pada

pasien hepatitis C akut yang sedang diterapi dengan Peg-IFN.

VIII.5. Pilihan terapi pada Infeksi Hepatitis C Kronik

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk hepatitis C

kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated Intereron-α (Peg-IFNα) dan

ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada pasien

pada genotype 1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai sustained

virological response (SVR) sedangkan pada genotype 2 dan 3 sekitar 80% dapat

mencapai SVR. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik adalah

penemuan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu boceprevir (BOC), telaprevir

(TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Akan tetapi sampai saat ini yang tersedia di

Indonesia adalah boceprevir.

VIII.5.1. Mekanisme Kerja Antivirus

Untuk lebih memahami cara kerja dari obat antivirus yang digunakan pada

pengobatan hepatitis C kronik akan dibahas secara singkat mekanisme kerja masing-

masing obat.

VIII.5.1.1. Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)

Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat

sebagai imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat

berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh,

Page 22: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

22

uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam

formula obat untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh.

Manfaat lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat,

perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian

Peg-IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan

memberikan kenyamanan bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN,

namun yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-

IFNα2a dan Peg-IFNα2b.

Perbedaan antara Peg-IFNα2a dan Peg-IFNα2b selain strukturnya

adalah waktu paruh absorpsi, aktu paruh eliminasi, dan waktu konsentrasi

maksimal ditemukan lebih lama pada Peg-IFNα2b. beberapa studi

menunjukkan keunggulan Peg-IFNα2a dibandingkan Peg-IFNα2b meskipun

ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektivitas

keduanya dalam terapi hepatitis C kronik.

VIII.5.1.2. Mekanisme Kerja Ribavirin

Mekanisme kerja ribavirin masih belum sepenuhnya dimengerti. Saat

ini terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja ribavirin yaitu:

Menghambat langsung replikasi VHC

Menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase pada tubuh

pasien

Menginduksi mutagenesis RNA virus

Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T-helper-1 (Th1)

Ribavirin cepat diabsorpsi (waktu paruh sekitar 2 jam) dan didistribusikan

secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian oral, metabolism utama

terjadi di ginjal.

VIII.5.1.3. Mekanisme kerja DAA

Saat ini triple therapy dengan menambahkan suatu DAA yaitu

boceprevir (BOC) dalam kombinasi Peg-IFN dan ribavirin dapat menjadi

Page 23: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

23

pilihan terapi pada hepatitis C kronik dengan genotype 1. Adapun tujuan

pemberian triple therapy adalah untuk meningkatkan efikasi dalam mencapai

SVR.

Boceprevir (BOC) adalah suatu direct acting antivirus yang bersifat

NS3/4A protease inhibitor terhadap virus hepatitis C. NS3 serine protease

adalah suatu enzim yang mengkatalisasi proses post-transkripsi protein yang

penting untuk replikasi virus hepatitis C dan NS4A adalah kofaktor dari NS3

untuk mempercepat proses tersebut. Kedua obat ini secara langsung

menghambat kerja enzim dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan proses

replikasi virus hepatitis C. Selain itu dengan menekan NS3 akan menginisiasi

dan memperbaiki mekanisme antivirus endogen oleh jalur IFN.

Sofasbuvir adalah suatu direct acting antivirus generasi kedua yang

bersifat NS5B inhibitor terhadap virus hepatitis C. Sofasbuvir merupakan obat

antivirus oral pertama yang penggunaannya tidak berbasis regimen Peg-IFN

akan tetapi sampai saat ini sofasbuvir belum tersedia di Indonesia.

VIII.5.2. Pilihan Terapi pada genotype 1

Pada infeksi hepatitis C kronik genotype 1 dapat menggunakan

kombinasi dual therapy Peg-IFN dan ribavirin atau kombinasi triple therapy

dengan ditambahkan boceprevir (BOC). Untuk ras Asia termasuk populasi

Indonesia yang kebanyakan memiliki genotip 1 dengan IL28B alel CC

menunjukkan respon yang baik terhadap pemberian dual therapy. Maka

pilihan utama terapi hepatitis C kronik tetap menggunakan dual therapy.

Pemberian triple therapy pada pasien naïve genotype 1 dapat dipertimbangkan

pada pasien dengan IL28B alel non CC. sedangkan, untuk pasien naïve

genotype 4 dual therapy tetap menggunakan terapi standar dengan dosis

ribavirin 15 mg/kg/hari.

Dosis Peg-IFN-α2a yang diberikan 180 μg/minggu sedangkan dosis

Peg-IFN-α2b adalah 1,5 μg/kg/minggu. Baik pada dual therapy maupun triple

therapy dosis ribavirin untuk genotype 1 disesuaikan dengan jenis Peg-IFN

Page 24: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

24

yang digunakan dan berat badan. Dosis boceprevir 800 mg/8 jam dan

sebaiknya diberikan bersamaan dengan makanan.

Tabel pengaturan dosis ribavirin untuk genotype 1

Dosis ribavirin berdasarkan berat badan (Kg)

40-65 >65-<75 ≥75-85 >85-105 >105

Dosis ribavirin (mg) (jika

diberikan bersamaan dengan

Peg-IFN-α2b)

800 1000 1000 1200 1400

Dosis ribavirin (mg) (jika

diberikan bersamaan dengan

Peg-IFN-α2a)

1000 1000 1200 1200 1200

VIII.5.3. Pilihan Terapi pada genotype 2, 3, 5, dan 6

Pilihan terapi pada pasien hepatitis C kronik genotype 2, 3, 5, dan 6

adalah kombinasi Peg-IFN/RBV. Kedua jenis Peg-IFN dapat dijadikan pilihan

terapi. Pasien dengan genotype 2 dan 3 dapat mencapai angka SVR 76% dan

82% baik menggunakan Peg-IFNα2a maupun Peg-IFNα2b. Dosis Peg-IFNα2a

sebesar 180 μg/2 minggu dan dosis Peg-IFNα2b 1,5 μg/kg/minggu. Jenis

genotype menentukan dosis ribavirin yang diberikan. Dosis ribavirin yang

diberikan untuk genotype 5 dan 6 sebesar 15 mg/kg/hari. Pada genotype 2 dan

3, dosis ribavirin yang diberikan sebesar 800 mg/hari, akan tetapi pada kondisi

IMT > 25, usia tua, sindrom metabolic, fibrosis berat, resistensi insulin yang

dihubungkan dengan respon yang kurang baik makan dosis ribavirin yang

diberikan menjadi 15 mg/kg/hari. Sebelum pemberian Peg-IFN maupun

ribavirin harus memperhatikan ada atau tidaknya kontraindikasi mutlak

maupun relative. Pasien yang mendapatkan terapi Peg-IFNα maupun ribavirin

tidak diperbolehkan hamil selama terapi sampai 6 bulan pasca terapi.

VIII.5.4. Terapi pada Sirosis Hati Kompensata

Page 25: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

25

Pemberian terapi antivirus direkomendasikan bagi pasien hepatitis C

kronik yang telah menderita sirosis hati selama tidak ada kontraindikasi

pemberian antivirus. Hal ini bertujuan untuk mencapai SVR dan menurunkan

insidensi terjadinya berbagai macam komplikasi akibat sirosis hati. Studi yang

ada menunjukkan tercapainya SVR pada pasien hati kompensata menurunkan

insidensi terjadinya sirosis hati dekompensata dan karsinoma hepatoseluler.

Meskipun peluang untuk mencapai SVR lebih rendah pada pasien dengan

sirosis hati dibandingkan pada pasien non-sirosis. Pemberian jenis dan dosis

terapi pada pasien hepatitis C dengan sirosis hati sama dengan pasien hepatitis

C non-sirosis.

Monitoring ketat (dua minggu sekali) salama pemberian terapi

antivirus harus dilakukan mengingat risiko terjadinya efek samping lebih

banyak timbul pada kondisi sirosis hati. Hal ini mungkin disebabkan karena

pada pasien sirosis hati telah terdapat hipertensi portal, hipersplenisme, kadar

trombosit dan leukosit yang rendah.

VIII.6. Monitoring Keberhasilan Terapi

Untuk menilai keberhasilan terapi pada hepatitis C kronik dengan melakukan

pemeriksaan muatan virus HCV RNA. Pada dual therapy, pemeriksaan HCV RNA

dilakukan pada awal terapi, minggu ke-4, 12, 24, akhir terapi antivirus dan 24 minggu

setelah terapi dihentikan.

Pada triple therapy menggunakan BOC, HCV RNA dinilai pada awal terapi,

minggu ke-4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24 minggu setelah terapi dihentikan.

VIII.7. Penilaian Efek Samping dan Antisipasi Efek Samping Obat

Penilaian efek samping terapi baik interferon maupun ribavirin harus

dilakukan setiap pasien datang control. Keluhan yang sering muncul seperti flu-like

symptoms, fatigue, sakit kepala dan demam dapat dijumpai pada 50% pasien

Page 26: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

26

sedangkan gejala seperti depresi, iritabilitas dan insomnia dijumpai pada 22-31%

pasien. Parameter laboratorium untuk menilai keberadaan anemia, trombositopenia,

neutropenia, dan peningkatan ALT dinilai pada minggu ke-1, 2, dan 4 sejak awal

terapi dan selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8 minggu. Thyroid

Stimulating Hormone (TSHs) dan kadar tiroksin dinilai pada awal terapi dan dapat

diulang apabila dijumpai tanda-tanda gangguan fungsi tiroid. Pasien harus diberikan

edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan pentingnya menggunakan

kontrasepsi selama terapi sampai 6 bulan terapi diberikan.

Apabila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah neutrofil absolute

<750/mm3 atau jumlah trombosit <50.000/ mm3 maka perlu dilakukan penyesuaian

dosis Peg-IFN dan dilakukan monitoring ketat. Apabila menggunakan Peg-IFNα2a

dosis dapat diturunkan menjadi 135 μg/minggu dan selanjutnya menjadi 90

μg/minggu. Untuk dosis Peg-IFNα2b dapat diturunkan menjadi 1 μg/kg/minggu dan

selanjutnya menjadi 0,5 μg/kg/minggu. Terapi Peg-IFN harus segera dihentikan

apabila didapatkan kondisi jumlah neutrofil absolute <500/mm3 dan jumlah trombosit

<25.000/mm3. Apabila terdapat perbaikan jumlah neutrofil dan trombosit, terapi Peg-

IFN dapat dimulai kembali dengan melakukan penyesuaian dosis.

Apabila didapatkan keadaan anemia (Hb <10 g/dL) makan dosis ribavirin

perlu diturunkan menjadi 200 mg dan dilakukan penyesuaian dosis pada pemeriksaan

berikutnya. Pada kondisis Hb < 8,5 g/dL maka pemberian ribavirin dihentikan. Pada

kondisi eksaserbasi akut hepatitis (hepatitis flare) yang ditandai dengan adanya

peningkatan nilai ALT >10x dari batas normal dan infeksi bakteri berat (sepsis),

semua terapi harus dihentikan tanpa melihat jumlah neutrofil.

Pada pasien yang menggunakan triple therapy (Peg-IFN/RBV/BOC), efek

samping lebih sering timbul dibandingkan bila hanya kombinasi Peg-IFN/RBV.

Anemia yang timbul pada triple therapy lebih berat dibandingkan hanya dengan

kombinasi Peg-IFN/RBV. Apabila didapatkan kondisi anemia, maka diperlukan

penyesuaian dosis ribavirin (baik dual therapy maupun triple therapy). Apabila

muncul efek samping yang membahayakan dalam penggunaan boceprevir maka obat

tersebut harus dihentikan dan terapi dapat dilanjutkan hanya dengan dual therapy.

Page 27: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

27

VIII.8. Penyesuaian dosis

Terdapat beberapa keadaan yang memerlukan penyesuaian dosis terapi,

seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut.

Tabel Penyesuaian dosis dual therapy

Kondisi Penyesuaian Dosis Terapi dihentikan

(Peg-IFNα2a & Ribavirin)

Absolute Neutrophil

Account (ANC)

<750/mm3 (Peg-IFNα2a

135 mcg)

<500/mm3

Platelet <50.000/mm3 (Peg-

IFNα2a 90 mcg)

<25.000//mm3

Hemoglobin <10 g/dL (ribavirin 600

mg)

<8,5 g/dL

Kreatinin N/A >2 mg/dL atau >176,8 μmol/L

ALT/AST N/A 2x baseline dan >10x batas atas

nilai normal

Billirubin Indirect 5 mg/dL atau >85,5

μmol/L (hanya ribavirin)

4 mg/dL atau >68,4 μmol/L

(selama > 4 minggu)

Bilirubin Direct N/A >2,5x batas atas nilai normal

ANC = (% Segmen + % Batang) x (White Blood Cell (K/μl))

VIII.9. Faktor yang Berperan Terhadap Keberhasilan Terapi

VIII.9.1. Kepatuhan Pasien

Kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi antivirus akan

meningkatkan angka keberhasilan mencapai SVR. Oleh karena itu sebelum

Page 28: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

28

memulai pemberian terapi antiviral harus diberikan edukasi terlebih dahulu

kepada pasien mengenai jadwal pengobatan dan berbagai efek samping yang

dapat muncul selama terapi antivirus diberikan. Pasien juga dihimbau untuk

rutin control ke dokter untuk memantau efek samping obat dan mencegah

terjadinya putus obat akibat timbulnya efek samping yang tidak diinginkan.

Akses konsultasi dokter dan kemudahan mendapatkan pelayanan medis juga

akan membantu meningkatkan keberhasilan terapi antivirus.

VIII.9.2. Koreksi Ko-faktor

VIII.9.2.1. Berat Badan

Studi yang dilakukan oleh Bressler dkk menunjukkan bahwa

pasien dengan berat badan lebih ataupun obesitas dapat mempengaruhi

respons terhadap Peg-IFN/RBV meskipun sudah dilakukan

penyesuaian dosis berdasarkan berat badan dengan mekanisme yang

belum sepenuhnya dapat dimengerti. Sehingga diperlukan control

berat badan sebelum pemberian terapi antivirus untuk meningkatkan

keberhasilan terapi

VIII.9.2.2. Metabolisme Lipid

Siklus hidup virus hepatitis hepatitis C sangat berhubungan

dengan metabolisme lipid. Selain itu, menurut studi yang dilakukan

oleh Curtis dkk menunjukkan beberapa obat penurun kolesterol

memiliki efek inhibisi terhadap replikasi virus hepatitis C dan

meningkatkan respons terapi antiviral. Akan tetapi, studi yang

dilakukan oleh Shavakhi dkk menujukkan bahwa tidak ada perbedaan

muatan virus HCV RNA yang signifikan antara kelompok pasien yang

diberikan statin maupun placebo.

VIII.9.2.3. Konsumsi Alkohol

Page 29: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

29

Konsumsi alcohol dapat mempengaruhi kepatuhan pasien

dalam menjalankan terapi antivirus. Sehingga disarankan kepada

pasien untuk menghentikan konsumsi alcohol sebelum memulai terapi

antivirus. Bagi pasien yang tidak bisa menghentikan kebiasaan minum

alcohol selama terapi antivirus diperlukan adanya dukungan dari

keluarga atau kelompok sosial.

VIII.9.2.4. Sindrom Metabolik

Keberadaan resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2 dapat

mempercepat progresifitas penyakit hati kronik dan perkembangan

menjadi hepatoseluler karsinoma. Resistensi insulin juga menurunkan

respons tubuh terhadap pengobatan Peg-IFN/RBV. Meskipun infeksi

hepatitis C tidak secara langsung menimbulkan sindrom metabolic

akan tetapi mampu mengganggu homeostasis glukosa melalui

beberapa mekanisme yang menyebabkan timbulnya resistensi insulin

hepatic maupun ekstrahepatik. Sehingga pada pasien hepatitis C

dengan sindrom metabolic diperlukan tatalaksana khusus baik dengan

perubahan pola hidup maupun pemberian obat-obatan. Studi yang

dilakukan oleh Aziz dkk dengan membagi kelompok pasien hepatitis

C dengan sindrom metabolic dan kelompok pasien hepatitis C tanpa

sindrom metabolic menunjukkan kelompok pasien hepatitis C tanpa

sindrom metabolic lebih banyak yang dapat mencapai SVR (72,2% vs

43,7%; p <0,05)

VIII.9.3. Terapi Suportif

VIII.9.3.1. Pemberian Hematopoietic Growth Factors

Efek samping hematologi (anemia, neutropenia, dan

trombositopenia) seringkali terjadi akibat pemberian antivirus pada

Page 30: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

30

pasien dengan penyakit hati tahap lanjut. Ribavirin seringkali

menginduksi anemia hemolitik sedangkan interferon menginduksi

neutropenia. Saat ini, penggunaan hematopoietic growth factors

dianjurkan oleh karena dapat membantu dalam membatasi terjadinya

pengurangan (reduksi) dosis terapi. Terdapat beberapa hematopoietic

growth factors yang tersedia, yaitu eritropoietin rekombinan (EPO),

granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan trombopoietin

receptor agonist.

Eritropoietin Rekombinan (EPO)

Pemberian EPO dapat digunakan untuk mempertahankan kadar

hemoglobin selama pemberian terapi antivirus ditujukan untuk

menghindari reduksi dosis ribavirin. EPO dapat mulai diberikan

apabila kadar Hb < 10 g/dL dengan tujuan mempertahankan kadar Hb

10-12 g/dL. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan

mengenai penggunaan EPO, dosis optimal, keuntungan pemberian,

risiko potensial dan efisiensi biaya pada terapi hepatitis C.

Trombopoietin Receptor Agonist

Pemberian terapi antivirus tidak harus dihentikan meskipun

ditemukan kadar trombositopenia dan pasien dengan kadar trombosit

yang rendah dapat memulai terapi antivirus tanpa adanya risiko

terjadinya perdarahan mayor. Saat ini ada 2 macam trombopoietin

receptor agonist yang tersedia yaitu romiplostim dan eltrombopag.

Eltrombopag lebih sering digunakan untuk meningkatkan kadar

trombosit pada pasien hepatitis C yang telah mengalami sirosis hati.

Eltrombopag juga sudah direkomendasikan oleh FDA digunakan untuk

mempertahankan kadar trombosit pada pasien hepatitis C yang

mengalami trombositopenia selama pemberian terapi yang berdasarkan

IFN.

Page 31: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

31

Granulocyte Colony-Stimulating Factor (G-CSF)

Pemberian G-CSF dapat menginduksi produksi, diferensiasi,

pelepasan neutrofil dari sumsum tulang. Peningkatan hitung neutrofil

secara signifikan terjadi dalam 24 jam pemberian G-CSF. Pemberian

G-CSF dapat dipertimbangkan bila hitung neutrofil < 750/Μl, dosis

yang dianjurkan pada awal pemberian adalah 300 mcg yang diberikan

satu kali dalam seminggu secara subkutan dan selanjutnya dosis

disesuaikan dengan kebutuhan. Adapun tujuan pemberian G-CSF

adalah untuk mempertahankan hitung neutrofil ≥1000/μL. Efek

samping yang sering terjadi adalah nyeri otot, nyeri tulang, mual dan

muntah. Frekuensi terjadinya nyeri otot, nyeri tulang, dapat berkurang

dengan memberikan G-CSF dua hari sebelum atau sesudah pemberian

IFN. Apabila pasien neutropenia yang diterapi dengan G-CSF

mengalami demam, dyspnea dan infiltrasi paru maka harus dilakukan

evaluasi kemungkinan adult respiratory distress syndrome (ARDS).

Bila terbukti ARDS, maka pemberian G-CSF dihentikan sampai

gejala-gejala ARDS tidak ada.

VIII.9.3.2. Penatalaksanaan Depresi

Depresi merupakan salah satu efek samping yang sering

muncul pada pemberian terapi Peg-IFN/RBV dan juga menajdi salah

satu alasan terapi harus dihentiakan. Hal ini tentu sangat

mempengaruhi keberhasilan terapi antivirus. Oleh karena itu penting

dilakukan konsultasi kejiwaan terlebih dahulu sebelum dimulai

pemberian terapi antivirus. Pasien yang menunjukkan gejala depresi

sebaiknya mendapatkan terapi terlebih dahulu dan selama pemberian

terapi Peg-IFN/RBV harus mendapatkan pengawasan dari seorang

dokter spesialis kedokteran jiwa atau konsultan psikosomatis. Bila

Page 32: Tinjauan Pustaka Internsip (Hepatitis C)

32

diperlukan dapat diberikan terapi antidepresan selama pemberian Peg-

IFN/RBV untuk mencegah putus obat antivirus.

VIII.10. Monitoring Post Terapi pada Pasien yang Telah Berhasil Mencapai

SVR

Pasien hepatitis C kronik non-sirosis yang berhasil mencapai SVR

maka perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke-48 post terapi.

Jika didapatkan nilai HCV RNA negative maka dinyatakan bebas infeksi

VHC dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA lagi. Mengingat

kejadian hipotiroidisme dapat muncul pasca terapi dihentikan maka 1-2 tahun

pasca terapi perlu dilakukan pemeriksaan TSH.

Pasien hepatitis C kronik dengan sirosis yang berhasil mencapai SVR

tetap dalam monitor dan evaluasi surveilans karsinoma hepatoseluler dengan

AFP dan ultrasonografi abdominal setiap 6 bulan. Pemeriksaan endoskopi

berkala untuk menilai keberadaan varises esophagus perlu dilakukan apabila

terdeteksi adanya varises esophagus pra-terapi.

Evaluasi kemungkinan terajdinya infeksi ulang dapat dilakukan

apabila pasien berisiko tinggi untuk terinfeksi hepatitis C kembali. Angka re-

infeksi hepatitis C pada pasien yang telah selesai menjalankan terapi adalah 1-

5%/tahun.

IX. Prognosis

Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinik/perjalanan penyakit

bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit lain yang menyertai. Hepatitis B:

90% sembuh sempurna, 5-10% menjadi kronis, jangka panjang menjadi sirosis atau

kenker hati primer. Hepatitis C: 80-90% menjadi kronis, 60-90% kasus Hepatitis

pascatranfusi adalah C.