Laporan Bpfr Kel i

33
BAB I PENDAHULUAN Penyediaan pakan untuk ternak merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha peternakan, karena dengan pemenuhan pakan yang baik maka ternak akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak, digunakan, dicerna dan tidak menggangu kesehatan ternak yang memakannya. Setiap jenis bahan pakan mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda-beda, selain itu setiap ternak mempunyai kebutuhan akan pakan dan nutrisi yang berbeda-beda pula, sehingga diperlukan suatu analisis untuk mengetahui kandungan bahan-bahan yang menyusun pakan tersebut. Selain itu, dengan diketahuinya kandungan-kandungan nutrisi dalam pakan maka dapat disusun suatu ransum dari beberapa bahan pakan ternak yang sesuai dengan kebutuhan energinya. Analisis untuk mengetahui zat-zat gizi atau nutrisi yang menyusun suatu bahan pakan ternak dapat

Transcript of Laporan Bpfr Kel i

Page 1: Laporan Bpfr Kel i

BAB I

PENDAHULUAN

Penyediaan pakan untuk ternak merupakan faktor yang sangat penting

dalam usaha peternakan, karena dengan pemenuhan pakan yang baik maka ternak

akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Bahan pakan adalah segala sesuatu

yang dapat diberikan kepada ternak, digunakan, dicerna dan tidak menggangu

kesehatan ternak yang memakannya. Setiap jenis bahan pakan mempunyai

kandungan nutrisi yang berbeda-beda, selain itu setiap ternak mempunyai

kebutuhan akan pakan dan nutrisi yang berbeda-beda pula, sehingga diperlukan

suatu analisis untuk mengetahui kandungan bahan-bahan yang menyusun pakan

tersebut. Selain itu, dengan diketahuinya kandungan-kandungan nutrisi dalam

pakan maka dapat disusun suatu ransum dari beberapa bahan pakan ternak yang

sesuai dengan kebutuhan energinya.

Analisis untuk mengetahui zat-zat gizi atau nutrisi yang menyusun suatu

bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan Analisis Proksimat Wendee dan

Analisis serat Van Soest yaitu analisis berdasarkan bahan isi sel dan dinding sel.

Praktikum Bahan Pakan dan formulasi Ransum ini melakukan Analisis Proksimat

untuk mengetahui persentase kandungan nutrisi dalam sampel (voer ayam).

Praktikum BPFR ini bertujuan untuk menentukan kadar air, kadar abu,

kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan BETN dari sampel bahan pakan.

Manfaat dari praktikum yaitu dapat mengetahui dan memahami proses analisis

dan alat-alat yang digunakan dalam praktikum.

Page 2: Laporan Bpfr Kel i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Pakan

Bahan pakan adalah segala sesuatu berupa bahan organik dan anorganik

yang dapat diberikan kepada ternak, digunakan sebagian atau seluruhnya, dapat

dicerna dan tidak menggangu kesehatan ternak yang memakannya (Lubis, 1952).

Pemilihan bahan pakan sebaiknya memperhatikan beberapa persyaratan antara

lain bahan tersebut mudah didapat, harganya murah, tidak bersaing

penggunaannya dengan manusia, mengandung zat pakan yang sesuai dengan

tujuan beternak dan tidak mengandung racun (Soelistyono, 1976).

Pakan berisi zat-zat pakan yang digunakan untuk hidup pokok,

pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Bahan pakan menurut fungsinya dibagi

menjadi dua yaitu bahan pakan pokok dan bahan pakan produksi. Bahan pakan

pokok yaitu bahan pakan yang menampung kebutuhan primer selama 24 jam

tanpa produksi, sedangkan bahan pakan produksi yaitu bahan pakan yang

digunakan untuk menghasilkan produk tertentu misalnya daging, susu, telur, wool

dan tenaga (Anggorodi, 1991). Sedangkan menurut Tillman et al (1989) bahan

pakan digolongkan menjadi dua yaitu hijauan kasar dan pakan penguat atau

konsentrat.

Page 3: Laporan Bpfr Kel i

2.2. Air

Air merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi makhluk hidup.

Walaupun air bukan merupakan sumber nutrien namun air sangat essensial dalam

menjaga kelangsungan proses biokimia pada organisme hidup. Air dalam bahan

pakan terdapat dalam bentuk air bebas, air yang terikat lemah dan air yang terikat

kuat. Air bebas terdapat ruang-ruang antar sel dan intergranuler serta pori-pori

yang terdapat pada bahan. Air yang terikat secara lemah terabsorbsi pada

permukaan koloid makromolekul seperti protein, peptin, pati dan selulosa

(Anggorodi, 1991).

Bahan-bahan pakan mengandung air yang berbeda jumlahnya antara satu

dengan yang lainnya. Pakan hijau terdiri atas + 75-90% air, sedangkan bahan

pakan yang nampaknya sudah kering masih mengandung kira-kira 10% air.

Banyaknya kadar air yang terkandung dalam bahan pakan tersebut dapat diketahui

jika bahan pakan tersebut dipanaskan (dikeringkan) pada temperatur 1000C

(Lubis, 1952). Kadar air bahan pakan akan berkaitan dengan kemampuan daya

simpan bahan, berpengaruh pada nilai nutrisinya, biaya pengangkutan dan

pengaruh jumlah pakan yang dapat diterima oleh ternak (Soelistyono, 1976).

2.3. Abu

Zat mineral sebagai suatu golongan dalam bahan pakan atau jaringan

hewan yang ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan menimbang sisanya

sebagai abu (Anggorodi, 1991). Abu hasil pembakaran dapat digunakan untuk

titik tolak penentuan zat-zat tertentu yang terdapat dalam bahan pakan, akan tetapi

Page 4: Laporan Bpfr Kel i

komponen abu dalam analisis proksimat tidak dapat memberi nilai pakan yang

penting. Darwis et al (1991) menyatakan bahwa jumlah abu dalam bahan pakan

hanya penting untuk perhitungan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN).

Kombinasi unsur mineral dalam bahan pakan yang berasal dari tanaman sangat

bervariasi sehingga nilai abu tak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan

jumlah unsur mineral atau kombinasi unsur penting (Tillman et al., 1989). Unsur

mineral terdiri atas makro mineral yang jumlahnya banyak dibutuhkan, misalnya

Na, Cl, Ca, P, K, S, Mg dan mineral mikro yang jumlahnya sedikit dibutuhkan,

misalnya Fe, Zn, Cu, Mn, I, Co, MO, Se, Cr. Mineral Ca dan P merupakan unsur

yang penting dalam pembentukan tulang. Kekurangan unsur P dampaknya lebih

buruk daripada unsur Ca (Murtidjo, 1987).

2.4. Protein Kasar

Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul

tinggi, protein mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen.

Melekul protein adalah sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabungkan

dengan ikatan-ikatan peptida, dalam molekul protein terdapat 25 macam asam

amino yang berbeda. Macam posisi molekul dan jarak kedudukan molekul asam

amino dalam protein menentukan sifat-sifat protein dan menentukan fungsi

protein dalam tubuh (Tillman et al., 1989).

Protein mengandung sekitar 16% nitrogen, maka jumlah protein dalam

ransum dapat diperkirakan dengan menentukan jumlah N dalam ransum dan

mengalikannya dengan 6,25 (100:16 = 6,25). Protein yang ditentukan dengan

Page 5: Laporan Bpfr Kel i

cara ini disebut protein kasar (Anggorodi, 1991). Protein merupakan unsur pokok

alat tubuh dan jaringan lunak tubuh aneka ternak unggas, protein dibutuhkan

untuk hidup pokok, pertumbuhan, pertumbuhan bulu, pengelolaan dan produksi

telur serta merupakan bagian semua enzim dalam tubuh. Untuk proses tersebut

dibutuhkan protein yang tinggi khususnya untuk ayam broiler periode grower

yang butuh protein + 21%. Asam amino dalam protein dibutuhkan oleh unggas

dan diubah menjadi asam-asam amino non essensial karena asam amino non

essensial tidak terdapat dalam jumlah yang dibutuhkan (Anggorodi, 1991).

Menurut Lubis (1952) sifat-sifat dan nilai dari protein selaku zat pakan

tergantung pada macam (kualitas) dan banyaknya (kuantitas). Asam-asam amino

yang tidak diproduksi dalam tubuh dan terdapat dalam ransum disebut asam

amino essensial, yang termasuk dalam asam amino essensial antara lain : arginin,

histidin, isoleusin, lysin, leusin, methionin, phenylalanin, tryptofan, treonin dan

valin. Asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh disebut asam amino non

essensial, yang termasuk didalamnya antara lain : glycocol, alanin, serin, asam

glutamin, oxy-glutamin, prolin, oxy-prolin, cystin, tyrosin, citrulin dan cystein.

Sastroamidjojo (1971) menyatakan bahwa peningkatan kadar protein dalam

ransum dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan pakan yang

mengandung protein cukup tinggi baik yang berasal dari nabati maupun hewani,

misalnya tepung ikan yang mengandung protein + 53,3%.

Page 6: Laporan Bpfr Kel i

2.5. Lemak Kasar

Lemak adalah segolongan zat-zat yang tidak larut dalam air tetapi larut

dalam eter, chloroform dan benzene. Tumbuh-tumbuhan dan jaringan hewan

sering disaring dengan menggunakan eter, maka zat-zat yang larut didalamnya

adalah lipida (Anggorodi, 1991).

Kadar lemak suatu bahan pakan dapat diketahui dengan menggunakan alat

soxhlet (Soelistyono, 1976). Menurut Darwis et al. (1991) eter digunakan untuk

melarutkan lemak, zat organik, klorofielt, lipid, kalosterin, fitosterin dan vitamin-

vitamin yang larut dalam lemak, maka hasil dari analisis kadar lemak disebut

lemak kasar. Penggunaan lemak dalam ransum digunakan untuk menaikkan

energi, namun lemak tidak efektif bila digunakan dalam pakan ternak, karena

lemak tersusun atas rantai C yang panjang sehingga pemutusan ikatan C

membutuhkan energi yang besar selain itu kelebihan lemak dapat menyebabkan

ternak diare (Anggorodi, 1991). Sastroamidjojo (1971) menyatakan bahwa

persentase lemak dalam ransum ditetapkan 7% dari total ransum untuk

menghindari kelebihan lemak dalam tubuh.

2.6. Serat Kasar

Karbohidrat dibagi dua yaitu serat kasar dan bahan ekstrak tanpa

nitrogen. Serat kasar diperoleh dengan cara memasukkan bahan pakan yang

mengandung hidrat arang yang terlebih dahulu ditambah dengan asam yang tidak

pekat dan basa (1,25%), sehingga bahan endapan yang tertinggal sesudah

perebusan adalah serat kasar (Tillman et al., 1989).

Page 7: Laporan Bpfr Kel i

Serat kasar mengandung bahan-bahan yang dibentuk dinding sel tanaman,

termasuk dalam kelas selulose, pentosan lignin dan kutin (Anggorodi, 1991). Hal

senada dinyatakan oleh Sutardi (1980) yang menyebutkan bahwa serat kasar

mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat

diidentifikasi dengan pasti. Didalam analisa penentuan serat kasar diperhitungkan

banyaknya zat-zat yang tidak larut dalam asam encer maupun basa encer dengan

kondisi tertentu.

Lignin dan kutin sama sekali tak dapat dicerna sedangkan sellulose dan

pentosan dapat dicerna dengan bantuan bakteri, khususnya hewan yang memamah

biak dan pada kuda (Lubis, 1952). Parakkasi (1995) juga menyatakan bahwa serat

kasar tidak dapat dicerna tanpa bantuan mikroorganisme dalam saluran

pencernaan sehingga dibatasi kadarnya sebesar 8% dari total ransum. .

2.7. Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)

Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan bahan organik yang dapat diekstrak

dari bahan yang tidak mengandung nitrogen (Banerjee, 1982). Bahan ini banyak

mengandung bermacam-macam zat kimia seperti pektin, asam-asam organik dan

bahan lainnya. Kebanyakan pakan hewan mengandung bahan ekstrak tanpa

nitrogen mencapai 70-80% (Soelistyono, 1976).

Bahan ekstrak tanpa nitrogen tersusun atas macam-macam gula, asam-

asam organik, air, zat arang dan zat asam. Butiran tanaman seperti padi

mengandung banyak bahan ekstrak tanpa nitrogen rata-rata lebih 50% demikian

juga dengan umbi-umbian tetapi tidak pada pakan hijauan (Lubis, 1952). Bahan

Page 8: Laporan Bpfr Kel i

ekstrak tanpa nitrogen yang meliputi gula, zat pati, dan hemisellulosa dapat

diketahui kadarnya dengan jalan mengurangi sampel bahan kering dengan kadar

air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak kasar dan kadar protein kasar

(Tillman et al., 1989).

2.8. Voer Ayam

Pakan ayam atau voer ayam yang merupakan campuran dari berbagai bahan

pakan membentuk suatu ransum disebut juga dengan voer. Pakan ayam atau voer

ayam terdiri atas dua macam yaitu : a). Pakan pembangun (pemeliharaan tubuh)

atau pakan penetap (onderhoudsvoer) mengandung bahan pakan pokok

sedemikian rupa dan banyak, sehingga jaringan tubuh dapat tersusun dan

terpelihara olehnya dan berfungsi baik. Misalnya bulu yang rontok diganti,

tulang-tulang, daging dan lain-lain harus tumbuh. Bahan-bahan untuk peristiwa

itu harus dapat diambil dari bahan-bahan pakan itu, b). Pakan tambah hasil

(productievoer) yaitu pakan untuk menyusun produk tubuh misalnya telur dan

daging (Sastroamidjojo, 1971).

Page 9: Laporan Bpfr Kel i

BAB III

METODOLOGI

Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum dilaksanakan pada hari

Senin tanggal 5 Mei 2003 pukul 07.00-21.30 WIB dan hari Selasa tanggal 6 Mei

2003 pukul 07.00-19.00 WIB. Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum

dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan

Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan adalah voer ayam 1 gram sebagai sampel untuk

semua analisis, selen, H2SO4 0,3 N, H2SO4 pekat BJ 1,84, NaOH 1,5 N, NaOH 0,3

N, asam oksalat 0,3 N dan NaOH 33%, diethyl ether, air panas, aquades, Methyl

Red, Methyl Blue, indikator PP (fenolptalein) dan aceton. Alat yang digunakan

meliputi botol timbang, timbangan analitis, oven, eksikator, cawan porselin, tanur

listrik, labu destruksi / labu kjeldahl, labu erlenmenyer, beker gelas, buret, corong,

gelas ukur, kompor listrik, alat-alat destilasi, pompa penghisap, alat soxlet, lemari

asam, penjepit, labu penyari, pendingin tegak, water bath, selongsong penyari,

kertas saring lemak, corong buchner, kertas saring whatman dan kertas minyak.

3.2. Metode

Page 10: Laporan Bpfr Kel i

3.2.1. Analisa kadar air

Mencuci botol timbang kemudian mengeringkan dalam oven pada suhu

105-110 °C selama 1 jam dan memasukkannya dalam eksikator selama 15 menit.

Menimbang botol timbang beratnya dimisalkan x gram. Memasukkan sampel

sebanyak y gram kedalam botol timbang dan mengeringkannya dalam oven

selama 4 jam pada suhu 105-110 0C, kemudian mendinginkannya dalam eksikator

selama 15 menit dan menimbangnya lagi dengan berat dimisalkan z gram.

Pengeringan dilakukan 3 x 1 jam sampai berat sampel konstan atau beratnya tidak

berubah lagi dengan standard perubahan berat 0,2 mg. Menghitung kadar air

sampel voer ayam dengan menggunakan rumus:

Dimana : x = berat botol timbang (gr)

y = berat sampel (gr)

z = berat botol timbang + sampel setelah dioven (gr)

3.2.2. Analisis kadar abu

Mencuci cawan porselin, mengeringkannya dalam oven selama 1 jam pada

suhu 105-110 0C, kemudian mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit

dan menimbang cawan porselin dengan berat dimisalkan x gram. Memasukkan

sampel sebanyak y gram ke dalam cawan porselin memasukannya dalam tanur

listrik selama 4-6 jam pada suhu 400-600 0C, hingga menjadi abu putih.

Mendinginkannya sampai suhu sekitar 120 0C dan mengangkat cawan porselin

Page 11: Laporan Bpfr Kel i

dari tanur lalu mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit kemudian

menimbangnya dengan berat dimisalkan z gram. Menghitung kadar abu sampel

voer ayam dengan menggunakan rumus:

Dimana : z = berat cawan + sampel setelah ditanur (gr)

x = berat cawan (gr)

y = berat sampel (gr)

3.2.3. Analisis kadar protein

Mencuci labu destruksi dan memasukkan ke dalam oven selama 1 jam

pada suhu 105-110 0C. Memasukkan sampel voer ayam seberat 1 gram ke dalam

labu destruksi dengan menambahkan 0,7 gram selen dan 25 ml H2SO4 pekat lalu

mencampurkannya. Memasukkan labu destruksi dan isinya ke dalam lemari asam

mula-mula dengan nyala kecil sampai tidak berasap, baru kemudian nyala

diperbesar sampai larutan berubah warna menjadi hijau jernih. Mendinginkan

larutan selama 30 menit dan memasukkan hasil destruksi kedalam labu destilasi .

Menggojog labu destruksi dengan 100 ml aquades, kemudian menambahkannya

dengan 90 ml NaOH 33% dan melakukan destilasi sampai dengan volume

destilatnya sebesar 100 ml. Membuat larutan blanko larutan 25 ml H2SO4 0,3 N

menambah indikator indikator campuran MR dan MB sebanyak 2 tetes.

Mengambil hasil sulingan dan mentitrasi dengan NaOH 0,3 N hingga terjadi

perubahan warna dari ungu menjadi hijau, didapatkan jumlah titar sebanyak y ml.

Menstandarisasi NaOH untuk titrasi terlebih dahulu dengan asam oksalat untuk

Page 12: Laporan Bpfr Kel i

mengetahui normalitasnya dengan cara 25 ml asam oksalat ditambah 2 tetes

indikator PP dititrasi dengan NaOH 0,3 N. Menghitung kadar protein sampel voer

ayam dengan menggunakan rumus:

Dimana : x = berat sampel (gr)

y = jumlah titar titrasi blanko (gr)

z = jumlah titar titrasi destilat (gr)

6,25 = faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16

0,014 = 1 ml alkali equivalen dengan 1 ml larutan N yang mengandung

0,014 gram N

N NaOH hasil standarisasi dengan asam oksalat sebesar 0,3 N

3.2.4. Analisis kadar lemak

Mencuci dan memasukkan semua alat yang akan digunakan ke dalam oven

dengan suhu 105-110 0C selama 1 jam, mendinginkeringkan dalam eksikator

kurang lebih 15 menit. Menimbang kertas saring yang sebelumnya telah

dimasukkan ke oven pada suhu 105-110 0C selama 1 jam dan memasukkannya ke

dalam eksikator kurang lebih 15 menit. Menimbang sampel dan kertas lemak

sebelum penyarian misal b gram, sehingga berat sampel (b-a) misal x gram.

Membungkus sampel dengan kuat dan memasukkannya ke dalam alat soxlet yang

sudah terpasang pada water bath, setelah itu menuangkan dieytl ether dan

melakukan penyarian lemak selama 3-4 jam sampai sepuluh sirkulasi sampai

berwarna jernih. Mengeluarkan sampel dari soxlet dan mengangin-anginkan

Page 13: Laporan Bpfr Kel i

sampai kering. Memasukkannya ke dalam oven suhu 105-110 0C selama 3-4 jam

dan mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit, kemudian menimbang

misal dengan berat c gram. Menghitung kadar lemak sampel voer ayam dengan

rumus :

- % Kadar air

Dimana : x = berat sampel (gr)

b = berat kertas lemak + berat sampel sebelum dioven (gr)

c = berat kertas lemak + berat sampel setelah dioven (gr)

3.2.5. Analisis kadar serat kasar

Memasukkan beaker glass yang telah dicuci dan kertas saring whatman ke

dalam oven selama 1 jam pada suhu 105-110 0C. Memasukkan sampel x gram

kedalam beaker glass kemudian menambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan

memasaknya hingga mendidih selama 30 menit. Menambahkan larutan 25 ml

NaOH 1,5 N kedalam beaker glass kemudian memasaknya hingga mendidih

selama 30 menit. Menyaring cairan tersebut dengan kertas saring whatman yang

telah dipasang pada corong buchner (misal berat kertas saring a gram). Kemudian

mencuci hasil saringan berturut- turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N,

50 ml air panas dan 25 ml aseton. Memasukkan kertas saring beserta isinya

dalam cawan poselin dan mengeringkannya dalam oven pada suhu 105-110 0C

selama 1 jam, kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan

menimbangnya dengan berat dimisalkan y gram. Memasukkan kertas saring

Page 14: Laporan Bpfr Kel i

beserta isinya dalam cawan porselin kedalam tanur pada suhu 400-600 0C selama

4-6 jam. Mengangkat cawan porselin dari tanur setelah mencapai suhu 120 0C

dan memasukkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya dengan

berat z gram. Menghitung kadar serat kasar sampel voer ayam dengan rumus:

Dimana : x = berat sampel (gr)

y = berat sampel + kertas saring + cawan setelah dioven (gr)

z = berat sampel + kertas saring + cawan setelah ditanur (gr)

a = berat kertas saring whatman (gr)

BAB IV

Page 15: Laporan Bpfr Kel i

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar Air

Hasil pengukuran kadar air voer ayam didapat kadar air sebesar 8,984%.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar air ini dapat diketahui kadar bahan

keringnya, yaitu sebesar 91,016%. Kadar air diketahui dengan tujuan untuk

menentukan kemampuan bahan untuk disimpan, karena dengan kadar air yang

tinggi maka bahan tersebut akan mudah rusak dan kadar air digunakan untuk

konversi pakan dengan memperhitungkan ransum yang dibuat. Bahan kering

dipergunakan untuk pedoman dalam mengetahui kandungan gizi dari pakan

tersebut karena bahan kering kandungan gizinya relatif stabil dibanding dengan

bahan segar. Kadar air hasil percobaan sesuai dengan referensi yang

menyebutkan bahwa kadar air bahan makanan kering (tepung) adalah kurang dari

10% (Lubis, 1952). Kelemahan analisis kadar air ini yaitu pada pemanasan

dengan suhu 105-1100C asam-asam organik yang mudah menguap hilang dan

terhitung sebagai air.

4.2. Kadar Abu

Kadar abu voer ayam sebesar 3,9906%, apabila dikonversikan dalam

100% bahan kering hasilnya adalah 4,3845%. Hal ini dipengaruhi oleh adanya

pemanasan yang tinggi sehingga menyebabkan bahan-bahan mineral anorganik

ikut terbakar dan menguap (Anggorodi, 1991). Abu mempunyai peranan yang

cukup penting dalam tubuh, yaitu untuk membentuk bagian kerangka, gigi dan

Page 16: Laporan Bpfr Kel i

hemoglobin, mempertahankan keseimbangan asam dan basa, mempertahankan

tekanan osmotik, mempertahankan keasaman getah pencernaan dan bekerjasama

dengan vitamin tertentu dalam pembentukan tulang.

Kadar abu dalam voer ayam dapat dicampurkan dalam bahan pakan untuk

meningkatkan produksi ternak agar tidak terjadi defisiensi, sehingga ternak akan

kehilangan bobot badan dan produksi turun (Anggorodi, 1991). Abu atau mineral

yang terkandung dalam voer ayam sebagian besar Ca dan P yang memang harus

dipenuhi dalam ransum ayam, sebab kekurangan unsur P dampaknya lebih buruk

jika dibandingkan dengan kekurangan unsur Ca (Murtidjo, 1987).

4.3. Kadar Protein

Hasil analisis sampel voer ayam didapatkan kadar protein sebesar

21,072%, apabila dikonversikan dalam 100% bahan kering hasilnya 23,152%,

kadar protein ini cocok untuk ayam broiler periode grower. Persentase protein

sebesar ini dapat memenuhi kebutuhan ayam Broiler periode grower untuk hidup

pokok, produksi dan pertumbuhan, karena kadar proteinnya cukup tinggi

(Anggorodi, 1991).

Kualitas protein suatu bahan pakan dinyatakan tinggi atau rendah

tergantung dari kandungan asam-asam amino essensial dalam keseimbangan yang

baik. Protein yang berasal dari hewan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari

pada protein yang berasal dari tumbuhan sebab kandungan asam-asam amino

essensial hewan lebih lengkap, jika dibandingkan dengan sampel yang berasal dari

tumbuhan atau nabati (Anggorodi, 1991). Tingginya kadar protein voer ayam ini

Page 17: Laporan Bpfr Kel i

disebakan oleh penambahan bahan pakan sumber protein asal hewani misalnya

tepung ikan yang mempunyai kadar protein kurang lebih 53,3% ditambah bahan

pakan sumber protein asal nabati misalnya bungkil kedelai dan sebagainya

(Sastroamidjojo, 1971).

4.4. Kadar Lemak

Hasil analisis kadar lemak sampel berupa voer ayam diperoleh kadar

lemak sebesar 5,7664%. Kadar lemak sebesar ini masih memenuhi standard kadar

atau prosentase lemak dalam ransum yang ditetapkan yaitu 7% dari total ransum.

Jadi kadar lemak sebesar 5,7664% cocok untuk ayam periode grower, karena

dapat dipakai sebagai sumber energi dan memenuhi kebutuhan hidup pokok

ayam dan juga untuk pertumbuhan (Sastroamidjojo, 1971).

Kelebihan lemak dalam tubuh ternak khususnya ayam dapat mengganggu

organ–organ dalam tubuh misalnya saluran reproduksi dan dapat mengganggu

proses termoregulator dalam mengatasi cekaman panas. Kekurangan lemak

dalam tubuh dapat menyebabkan kurangnya cadangan makanan apabila terjadi

defisit energi, pertumbuhan terganggu dan kurangnya isolator tubuh terhadap suhu

lingkungan yang dingin (Sastroamidjojo, 1971).

Kelemahan analisis lemak ini adalah terdapat bahan-bahan lain yang ikut

terlarut dalam ekstraksi dengan diethyl ether dan pada waktu penyaringan.

Bahan-bahan yang ikut terlarut tersebut terhitung sebagai lemak. Jadi, lemak hasil

analisis sebenarnya mengandung beberapa bahan lain (Soelistyono, 1976).

4.5. Kadar Serat Kasar

Page 18: Laporan Bpfr Kel i

Hasil analisis kadar serat kasar sampel berupa voer ayam diperoleh hasil

sebesar 0,3142%, apabila dikonversikan dalam bahan kering sebesar 0,3452%.

Hasil sebesar ini masih memenuhi standard ketetapan dalam penyusunan ransum

khususnya untuk unggas, sebab prosentase kadar serat kasar dalam tubuh dibatasi

sebesar 8% (Parakkasi, 1995). Pemberian serat kasar tidak boleh melebihi 8%

dikarenakan unggas tidak dapat mencena serat kasar secara sempurna seperti

halnya pada ruminansia, sebab unggas tidak mempunyai mikrobia selulolitik.

Jadi, penambahan serat kasar yang terlalu banyak akan mengganggu pencernaan

unggas. Kekurangan serat kasar dalam ransum unggas dapat menyebabkan

kurangnya kelancaran proses pencernaan pada unggas oleh karena itu serat kasar

tetap diperlukan dalam ransum unggas sebab serat kasar dapat membantu

kelancaran saluran pencernaan unggas sebab unggas adalah hewan monogastrik

(Parakkasi, 1995). Serat kasar hasil analisis ini cocok digunakan untuk pakan

ayam segala periode tetapi kurang memenuhi standard kebutuhan serat kasar

ayam (Anggorodi, 1991).

4.6. Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)

Kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen yang diperoleh dari analisis yang telah

dilakukan sebesar 57,3679%. Hal ini membuktikan bahwa voer ayam yang

dijadikan sampel merupakan bahan pakan yang dapat digunakan untuk bahan

campuran pada pakan ternak untuk mendukung pertumbuhan ternak tersebut agar

dapat berkembang dan memperoleh produk peternakan yang diharapkan

(Anggorodi, 1991). BETN adalah karbohidrat yang mengandung gula atau pati

Page 19: Laporan Bpfr Kel i

dan mudah dicerna sehingga kecernaan pakan tinggi (Tillman et al, 1989). Jadi

sampel yang dianalisis ini mempunyai kecernaan yang tinggi, sehingga cocok

digunakan untuk ayam periode grower maupun layer.

BAB V

Page 20: Laporan Bpfr Kel i

KESIMPULAN

Hasil praktikum analisis proksimat dengan sampel voer ayam didapat hasil

kadar air sebesar 8,984% dan kadar bahan keringnya sebesar 91,016%. Kadar

abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar dikonversikan ke 100%

bahan kering hasilnya adalah 4,3845%; 23,152%; 5,7664%; 0,3452%. Kadar

BETN dapat diketahui yaitu dengan mengurangi 100% dengan jumlah kadar-

kadar tersebut diatas, sehingga dihasilkan kadar BETN sebesar 57,3679%. Voer

ayam yang dipakai sebagai sampel analisis proksimat ini cocok digunakan untuk

ayam broiler periode grower tetapi kandungan serat kasarnya kurang memenuhi

standard yaitu 8%.

DAFTAR PUSTAKA

Page 21: Laporan Bpfr Kel i

Anggorodi. 1991. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan IV. PT Gramedia, Jakarta.

Banerjee, G. C. 1982. A Text Book of Animal Husbandry. Fifth Ed. Oxfordand IBH. Publishing Company, New Delhi, India.

Darwis, S. N, A. B. D. Madjo Indo dan S. Hasiyah. 1991. Tanaman Obat famili Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Lubis,D.A. 1952. Ilmu Makanan Ternak. Yayasan Pembangunan, Jakarta.

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI press, Jakarta.

Satroamidjojo. 1971. Ilmu Beternak Ayam. Penerbit N. V. Masa Baru. Jakarta.

Soelistyono, H.S. 1976. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Diponegoro University, Semarang.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Dept. Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Tillman, A. D, H, Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.