BAB I
PENDAHULUAN
Penyediaan pakan untuk ternak merupakan faktor yang sangat penting
dalam usaha peternakan, karena dengan pemenuhan pakan yang baik maka ternak
akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Bahan pakan adalah segala sesuatu
yang dapat diberikan kepada ternak, digunakan, dicerna dan tidak menggangu
kesehatan ternak yang memakannya. Setiap jenis bahan pakan mempunyai
kandungan nutrisi yang berbeda-beda, selain itu setiap ternak mempunyai
kebutuhan akan pakan dan nutrisi yang berbeda-beda pula, sehingga diperlukan
suatu analisis untuk mengetahui kandungan bahan-bahan yang menyusun pakan
tersebut. Selain itu, dengan diketahuinya kandungan-kandungan nutrisi dalam
pakan maka dapat disusun suatu ransum dari beberapa bahan pakan ternak yang
sesuai dengan kebutuhan energinya.
Analisis untuk mengetahui zat-zat gizi atau nutrisi yang menyusun suatu
bahan pakan ternak dapat dilakukan dengan Analisis Proksimat Wendee dan
Analisis serat Van Soest yaitu analisis berdasarkan bahan isi sel dan dinding sel.
Praktikum Bahan Pakan dan formulasi Ransum ini melakukan Analisis Proksimat
untuk mengetahui persentase kandungan nutrisi dalam sampel (voer ayam).
Praktikum BPFR ini bertujuan untuk menentukan kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan BETN dari sampel bahan pakan.
Manfaat dari praktikum yaitu dapat mengetahui dan memahami proses analisis
dan alat-alat yang digunakan dalam praktikum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bahan Pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu berupa bahan organik dan anorganik
yang dapat diberikan kepada ternak, digunakan sebagian atau seluruhnya, dapat
dicerna dan tidak menggangu kesehatan ternak yang memakannya (Lubis, 1952).
Pemilihan bahan pakan sebaiknya memperhatikan beberapa persyaratan antara
lain bahan tersebut mudah didapat, harganya murah, tidak bersaing
penggunaannya dengan manusia, mengandung zat pakan yang sesuai dengan
tujuan beternak dan tidak mengandung racun (Soelistyono, 1976).
Pakan berisi zat-zat pakan yang digunakan untuk hidup pokok,
pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Bahan pakan menurut fungsinya dibagi
menjadi dua yaitu bahan pakan pokok dan bahan pakan produksi. Bahan pakan
pokok yaitu bahan pakan yang menampung kebutuhan primer selama 24 jam
tanpa produksi, sedangkan bahan pakan produksi yaitu bahan pakan yang
digunakan untuk menghasilkan produk tertentu misalnya daging, susu, telur, wool
dan tenaga (Anggorodi, 1991). Sedangkan menurut Tillman et al (1989) bahan
pakan digolongkan menjadi dua yaitu hijauan kasar dan pakan penguat atau
konsentrat.
2.2. Air
Air merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi makhluk hidup.
Walaupun air bukan merupakan sumber nutrien namun air sangat essensial dalam
menjaga kelangsungan proses biokimia pada organisme hidup. Air dalam bahan
pakan terdapat dalam bentuk air bebas, air yang terikat lemah dan air yang terikat
kuat. Air bebas terdapat ruang-ruang antar sel dan intergranuler serta pori-pori
yang terdapat pada bahan. Air yang terikat secara lemah terabsorbsi pada
permukaan koloid makromolekul seperti protein, peptin, pati dan selulosa
(Anggorodi, 1991).
Bahan-bahan pakan mengandung air yang berbeda jumlahnya antara satu
dengan yang lainnya. Pakan hijau terdiri atas + 75-90% air, sedangkan bahan
pakan yang nampaknya sudah kering masih mengandung kira-kira 10% air.
Banyaknya kadar air yang terkandung dalam bahan pakan tersebut dapat diketahui
jika bahan pakan tersebut dipanaskan (dikeringkan) pada temperatur 1000C
(Lubis, 1952). Kadar air bahan pakan akan berkaitan dengan kemampuan daya
simpan bahan, berpengaruh pada nilai nutrisinya, biaya pengangkutan dan
pengaruh jumlah pakan yang dapat diterima oleh ternak (Soelistyono, 1976).
2.3. Abu
Zat mineral sebagai suatu golongan dalam bahan pakan atau jaringan
hewan yang ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan menimbang sisanya
sebagai abu (Anggorodi, 1991). Abu hasil pembakaran dapat digunakan untuk
titik tolak penentuan zat-zat tertentu yang terdapat dalam bahan pakan, akan tetapi
komponen abu dalam analisis proksimat tidak dapat memberi nilai pakan yang
penting. Darwis et al (1991) menyatakan bahwa jumlah abu dalam bahan pakan
hanya penting untuk perhitungan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN).
Kombinasi unsur mineral dalam bahan pakan yang berasal dari tanaman sangat
bervariasi sehingga nilai abu tak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan
jumlah unsur mineral atau kombinasi unsur penting (Tillman et al., 1989). Unsur
mineral terdiri atas makro mineral yang jumlahnya banyak dibutuhkan, misalnya
Na, Cl, Ca, P, K, S, Mg dan mineral mikro yang jumlahnya sedikit dibutuhkan,
misalnya Fe, Zn, Cu, Mn, I, Co, MO, Se, Cr. Mineral Ca dan P merupakan unsur
yang penting dalam pembentukan tulang. Kekurangan unsur P dampaknya lebih
buruk daripada unsur Ca (Murtidjo, 1987).
2.4. Protein Kasar
Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul
tinggi, protein mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen.
Melekul protein adalah sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabungkan
dengan ikatan-ikatan peptida, dalam molekul protein terdapat 25 macam asam
amino yang berbeda. Macam posisi molekul dan jarak kedudukan molekul asam
amino dalam protein menentukan sifat-sifat protein dan menentukan fungsi
protein dalam tubuh (Tillman et al., 1989).
Protein mengandung sekitar 16% nitrogen, maka jumlah protein dalam
ransum dapat diperkirakan dengan menentukan jumlah N dalam ransum dan
mengalikannya dengan 6,25 (100:16 = 6,25). Protein yang ditentukan dengan
cara ini disebut protein kasar (Anggorodi, 1991). Protein merupakan unsur pokok
alat tubuh dan jaringan lunak tubuh aneka ternak unggas, protein dibutuhkan
untuk hidup pokok, pertumbuhan, pertumbuhan bulu, pengelolaan dan produksi
telur serta merupakan bagian semua enzim dalam tubuh. Untuk proses tersebut
dibutuhkan protein yang tinggi khususnya untuk ayam broiler periode grower
yang butuh protein + 21%. Asam amino dalam protein dibutuhkan oleh unggas
dan diubah menjadi asam-asam amino non essensial karena asam amino non
essensial tidak terdapat dalam jumlah yang dibutuhkan (Anggorodi, 1991).
Menurut Lubis (1952) sifat-sifat dan nilai dari protein selaku zat pakan
tergantung pada macam (kualitas) dan banyaknya (kuantitas). Asam-asam amino
yang tidak diproduksi dalam tubuh dan terdapat dalam ransum disebut asam
amino essensial, yang termasuk dalam asam amino essensial antara lain : arginin,
histidin, isoleusin, lysin, leusin, methionin, phenylalanin, tryptofan, treonin dan
valin. Asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh disebut asam amino non
essensial, yang termasuk didalamnya antara lain : glycocol, alanin, serin, asam
glutamin, oxy-glutamin, prolin, oxy-prolin, cystin, tyrosin, citrulin dan cystein.
Sastroamidjojo (1971) menyatakan bahwa peningkatan kadar protein dalam
ransum dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan pakan yang
mengandung protein cukup tinggi baik yang berasal dari nabati maupun hewani,
misalnya tepung ikan yang mengandung protein + 53,3%.
2.5. Lemak Kasar
Lemak adalah segolongan zat-zat yang tidak larut dalam air tetapi larut
dalam eter, chloroform dan benzene. Tumbuh-tumbuhan dan jaringan hewan
sering disaring dengan menggunakan eter, maka zat-zat yang larut didalamnya
adalah lipida (Anggorodi, 1991).
Kadar lemak suatu bahan pakan dapat diketahui dengan menggunakan alat
soxhlet (Soelistyono, 1976). Menurut Darwis et al. (1991) eter digunakan untuk
melarutkan lemak, zat organik, klorofielt, lipid, kalosterin, fitosterin dan vitamin-
vitamin yang larut dalam lemak, maka hasil dari analisis kadar lemak disebut
lemak kasar. Penggunaan lemak dalam ransum digunakan untuk menaikkan
energi, namun lemak tidak efektif bila digunakan dalam pakan ternak, karena
lemak tersusun atas rantai C yang panjang sehingga pemutusan ikatan C
membutuhkan energi yang besar selain itu kelebihan lemak dapat menyebabkan
ternak diare (Anggorodi, 1991). Sastroamidjojo (1971) menyatakan bahwa
persentase lemak dalam ransum ditetapkan 7% dari total ransum untuk
menghindari kelebihan lemak dalam tubuh.
2.6. Serat Kasar
Karbohidrat dibagi dua yaitu serat kasar dan bahan ekstrak tanpa
nitrogen. Serat kasar diperoleh dengan cara memasukkan bahan pakan yang
mengandung hidrat arang yang terlebih dahulu ditambah dengan asam yang tidak
pekat dan basa (1,25%), sehingga bahan endapan yang tertinggal sesudah
perebusan adalah serat kasar (Tillman et al., 1989).
Serat kasar mengandung bahan-bahan yang dibentuk dinding sel tanaman,
termasuk dalam kelas selulose, pentosan lignin dan kutin (Anggorodi, 1991). Hal
senada dinyatakan oleh Sutardi (1980) yang menyebutkan bahwa serat kasar
mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat
diidentifikasi dengan pasti. Didalam analisa penentuan serat kasar diperhitungkan
banyaknya zat-zat yang tidak larut dalam asam encer maupun basa encer dengan
kondisi tertentu.
Lignin dan kutin sama sekali tak dapat dicerna sedangkan sellulose dan
pentosan dapat dicerna dengan bantuan bakteri, khususnya hewan yang memamah
biak dan pada kuda (Lubis, 1952). Parakkasi (1995) juga menyatakan bahwa serat
kasar tidak dapat dicerna tanpa bantuan mikroorganisme dalam saluran
pencernaan sehingga dibatasi kadarnya sebesar 8% dari total ransum. .
2.7. Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan bahan organik yang dapat diekstrak
dari bahan yang tidak mengandung nitrogen (Banerjee, 1982). Bahan ini banyak
mengandung bermacam-macam zat kimia seperti pektin, asam-asam organik dan
bahan lainnya. Kebanyakan pakan hewan mengandung bahan ekstrak tanpa
nitrogen mencapai 70-80% (Soelistyono, 1976).
Bahan ekstrak tanpa nitrogen tersusun atas macam-macam gula, asam-
asam organik, air, zat arang dan zat asam. Butiran tanaman seperti padi
mengandung banyak bahan ekstrak tanpa nitrogen rata-rata lebih 50% demikian
juga dengan umbi-umbian tetapi tidak pada pakan hijauan (Lubis, 1952). Bahan
ekstrak tanpa nitrogen yang meliputi gula, zat pati, dan hemisellulosa dapat
diketahui kadarnya dengan jalan mengurangi sampel bahan kering dengan kadar
air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak kasar dan kadar protein kasar
(Tillman et al., 1989).
2.8. Voer Ayam
Pakan ayam atau voer ayam yang merupakan campuran dari berbagai bahan
pakan membentuk suatu ransum disebut juga dengan voer. Pakan ayam atau voer
ayam terdiri atas dua macam yaitu : a). Pakan pembangun (pemeliharaan tubuh)
atau pakan penetap (onderhoudsvoer) mengandung bahan pakan pokok
sedemikian rupa dan banyak, sehingga jaringan tubuh dapat tersusun dan
terpelihara olehnya dan berfungsi baik. Misalnya bulu yang rontok diganti,
tulang-tulang, daging dan lain-lain harus tumbuh. Bahan-bahan untuk peristiwa
itu harus dapat diambil dari bahan-bahan pakan itu, b). Pakan tambah hasil
(productievoer) yaitu pakan untuk menyusun produk tubuh misalnya telur dan
daging (Sastroamidjojo, 1971).
BAB III
METODOLOGI
Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum dilaksanakan pada hari
Senin tanggal 5 Mei 2003 pukul 07.00-21.30 WIB dan hari Selasa tanggal 6 Mei
2003 pukul 07.00-19.00 WIB. Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum
dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
3.1. Materi
Materi yang digunakan adalah voer ayam 1 gram sebagai sampel untuk
semua analisis, selen, H2SO4 0,3 N, H2SO4 pekat BJ 1,84, NaOH 1,5 N, NaOH 0,3
N, asam oksalat 0,3 N dan NaOH 33%, diethyl ether, air panas, aquades, Methyl
Red, Methyl Blue, indikator PP (fenolptalein) dan aceton. Alat yang digunakan
meliputi botol timbang, timbangan analitis, oven, eksikator, cawan porselin, tanur
listrik, labu destruksi / labu kjeldahl, labu erlenmenyer, beker gelas, buret, corong,
gelas ukur, kompor listrik, alat-alat destilasi, pompa penghisap, alat soxlet, lemari
asam, penjepit, labu penyari, pendingin tegak, water bath, selongsong penyari,
kertas saring lemak, corong buchner, kertas saring whatman dan kertas minyak.
3.2. Metode
3.2.1. Analisa kadar air
Mencuci botol timbang kemudian mengeringkan dalam oven pada suhu
105-110 °C selama 1 jam dan memasukkannya dalam eksikator selama 15 menit.
Menimbang botol timbang beratnya dimisalkan x gram. Memasukkan sampel
sebanyak y gram kedalam botol timbang dan mengeringkannya dalam oven
selama 4 jam pada suhu 105-110 0C, kemudian mendinginkannya dalam eksikator
selama 15 menit dan menimbangnya lagi dengan berat dimisalkan z gram.
Pengeringan dilakukan 3 x 1 jam sampai berat sampel konstan atau beratnya tidak
berubah lagi dengan standard perubahan berat 0,2 mg. Menghitung kadar air
sampel voer ayam dengan menggunakan rumus:
Dimana : x = berat botol timbang (gr)
y = berat sampel (gr)
z = berat botol timbang + sampel setelah dioven (gr)
3.2.2. Analisis kadar abu
Mencuci cawan porselin, mengeringkannya dalam oven selama 1 jam pada
suhu 105-110 0C, kemudian mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit
dan menimbang cawan porselin dengan berat dimisalkan x gram. Memasukkan
sampel sebanyak y gram ke dalam cawan porselin memasukannya dalam tanur
listrik selama 4-6 jam pada suhu 400-600 0C, hingga menjadi abu putih.
Mendinginkannya sampai suhu sekitar 120 0C dan mengangkat cawan porselin
dari tanur lalu mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit kemudian
menimbangnya dengan berat dimisalkan z gram. Menghitung kadar abu sampel
voer ayam dengan menggunakan rumus:
Dimana : z = berat cawan + sampel setelah ditanur (gr)
x = berat cawan (gr)
y = berat sampel (gr)
3.2.3. Analisis kadar protein
Mencuci labu destruksi dan memasukkan ke dalam oven selama 1 jam
pada suhu 105-110 0C. Memasukkan sampel voer ayam seberat 1 gram ke dalam
labu destruksi dengan menambahkan 0,7 gram selen dan 25 ml H2SO4 pekat lalu
mencampurkannya. Memasukkan labu destruksi dan isinya ke dalam lemari asam
mula-mula dengan nyala kecil sampai tidak berasap, baru kemudian nyala
diperbesar sampai larutan berubah warna menjadi hijau jernih. Mendinginkan
larutan selama 30 menit dan memasukkan hasil destruksi kedalam labu destilasi .
Menggojog labu destruksi dengan 100 ml aquades, kemudian menambahkannya
dengan 90 ml NaOH 33% dan melakukan destilasi sampai dengan volume
destilatnya sebesar 100 ml. Membuat larutan blanko larutan 25 ml H2SO4 0,3 N
menambah indikator indikator campuran MR dan MB sebanyak 2 tetes.
Mengambil hasil sulingan dan mentitrasi dengan NaOH 0,3 N hingga terjadi
perubahan warna dari ungu menjadi hijau, didapatkan jumlah titar sebanyak y ml.
Menstandarisasi NaOH untuk titrasi terlebih dahulu dengan asam oksalat untuk
mengetahui normalitasnya dengan cara 25 ml asam oksalat ditambah 2 tetes
indikator PP dititrasi dengan NaOH 0,3 N. Menghitung kadar protein sampel voer
ayam dengan menggunakan rumus:
Dimana : x = berat sampel (gr)
y = jumlah titar titrasi blanko (gr)
z = jumlah titar titrasi destilat (gr)
6,25 = faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16
0,014 = 1 ml alkali equivalen dengan 1 ml larutan N yang mengandung
0,014 gram N
N NaOH hasil standarisasi dengan asam oksalat sebesar 0,3 N
3.2.4. Analisis kadar lemak
Mencuci dan memasukkan semua alat yang akan digunakan ke dalam oven
dengan suhu 105-110 0C selama 1 jam, mendinginkeringkan dalam eksikator
kurang lebih 15 menit. Menimbang kertas saring yang sebelumnya telah
dimasukkan ke oven pada suhu 105-110 0C selama 1 jam dan memasukkannya ke
dalam eksikator kurang lebih 15 menit. Menimbang sampel dan kertas lemak
sebelum penyarian misal b gram, sehingga berat sampel (b-a) misal x gram.
Membungkus sampel dengan kuat dan memasukkannya ke dalam alat soxlet yang
sudah terpasang pada water bath, setelah itu menuangkan dieytl ether dan
melakukan penyarian lemak selama 3-4 jam sampai sepuluh sirkulasi sampai
berwarna jernih. Mengeluarkan sampel dari soxlet dan mengangin-anginkan
sampai kering. Memasukkannya ke dalam oven suhu 105-110 0C selama 3-4 jam
dan mendinginkeringkan dalam eksikator selama 15 menit, kemudian menimbang
misal dengan berat c gram. Menghitung kadar lemak sampel voer ayam dengan
rumus :
- % Kadar air
Dimana : x = berat sampel (gr)
b = berat kertas lemak + berat sampel sebelum dioven (gr)
c = berat kertas lemak + berat sampel setelah dioven (gr)
3.2.5. Analisis kadar serat kasar
Memasukkan beaker glass yang telah dicuci dan kertas saring whatman ke
dalam oven selama 1 jam pada suhu 105-110 0C. Memasukkan sampel x gram
kedalam beaker glass kemudian menambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan
memasaknya hingga mendidih selama 30 menit. Menambahkan larutan 25 ml
NaOH 1,5 N kedalam beaker glass kemudian memasaknya hingga mendidih
selama 30 menit. Menyaring cairan tersebut dengan kertas saring whatman yang
telah dipasang pada corong buchner (misal berat kertas saring a gram). Kemudian
mencuci hasil saringan berturut- turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N,
50 ml air panas dan 25 ml aseton. Memasukkan kertas saring beserta isinya
dalam cawan poselin dan mengeringkannya dalam oven pada suhu 105-110 0C
selama 1 jam, kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan
menimbangnya dengan berat dimisalkan y gram. Memasukkan kertas saring
beserta isinya dalam cawan porselin kedalam tanur pada suhu 400-600 0C selama
4-6 jam. Mengangkat cawan porselin dari tanur setelah mencapai suhu 120 0C
dan memasukkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya dengan
berat z gram. Menghitung kadar serat kasar sampel voer ayam dengan rumus:
Dimana : x = berat sampel (gr)
y = berat sampel + kertas saring + cawan setelah dioven (gr)
z = berat sampel + kertas saring + cawan setelah ditanur (gr)
a = berat kertas saring whatman (gr)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kadar Air
Hasil pengukuran kadar air voer ayam didapat kadar air sebesar 8,984%.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar air ini dapat diketahui kadar bahan
keringnya, yaitu sebesar 91,016%. Kadar air diketahui dengan tujuan untuk
menentukan kemampuan bahan untuk disimpan, karena dengan kadar air yang
tinggi maka bahan tersebut akan mudah rusak dan kadar air digunakan untuk
konversi pakan dengan memperhitungkan ransum yang dibuat. Bahan kering
dipergunakan untuk pedoman dalam mengetahui kandungan gizi dari pakan
tersebut karena bahan kering kandungan gizinya relatif stabil dibanding dengan
bahan segar. Kadar air hasil percobaan sesuai dengan referensi yang
menyebutkan bahwa kadar air bahan makanan kering (tepung) adalah kurang dari
10% (Lubis, 1952). Kelemahan analisis kadar air ini yaitu pada pemanasan
dengan suhu 105-1100C asam-asam organik yang mudah menguap hilang dan
terhitung sebagai air.
4.2. Kadar Abu
Kadar abu voer ayam sebesar 3,9906%, apabila dikonversikan dalam
100% bahan kering hasilnya adalah 4,3845%. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
pemanasan yang tinggi sehingga menyebabkan bahan-bahan mineral anorganik
ikut terbakar dan menguap (Anggorodi, 1991). Abu mempunyai peranan yang
cukup penting dalam tubuh, yaitu untuk membentuk bagian kerangka, gigi dan
hemoglobin, mempertahankan keseimbangan asam dan basa, mempertahankan
tekanan osmotik, mempertahankan keasaman getah pencernaan dan bekerjasama
dengan vitamin tertentu dalam pembentukan tulang.
Kadar abu dalam voer ayam dapat dicampurkan dalam bahan pakan untuk
meningkatkan produksi ternak agar tidak terjadi defisiensi, sehingga ternak akan
kehilangan bobot badan dan produksi turun (Anggorodi, 1991). Abu atau mineral
yang terkandung dalam voer ayam sebagian besar Ca dan P yang memang harus
dipenuhi dalam ransum ayam, sebab kekurangan unsur P dampaknya lebih buruk
jika dibandingkan dengan kekurangan unsur Ca (Murtidjo, 1987).
4.3. Kadar Protein
Hasil analisis sampel voer ayam didapatkan kadar protein sebesar
21,072%, apabila dikonversikan dalam 100% bahan kering hasilnya 23,152%,
kadar protein ini cocok untuk ayam broiler periode grower. Persentase protein
sebesar ini dapat memenuhi kebutuhan ayam Broiler periode grower untuk hidup
pokok, produksi dan pertumbuhan, karena kadar proteinnya cukup tinggi
(Anggorodi, 1991).
Kualitas protein suatu bahan pakan dinyatakan tinggi atau rendah
tergantung dari kandungan asam-asam amino essensial dalam keseimbangan yang
baik. Protein yang berasal dari hewan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari
pada protein yang berasal dari tumbuhan sebab kandungan asam-asam amino
essensial hewan lebih lengkap, jika dibandingkan dengan sampel yang berasal dari
tumbuhan atau nabati (Anggorodi, 1991). Tingginya kadar protein voer ayam ini
disebakan oleh penambahan bahan pakan sumber protein asal hewani misalnya
tepung ikan yang mempunyai kadar protein kurang lebih 53,3% ditambah bahan
pakan sumber protein asal nabati misalnya bungkil kedelai dan sebagainya
(Sastroamidjojo, 1971).
4.4. Kadar Lemak
Hasil analisis kadar lemak sampel berupa voer ayam diperoleh kadar
lemak sebesar 5,7664%. Kadar lemak sebesar ini masih memenuhi standard kadar
atau prosentase lemak dalam ransum yang ditetapkan yaitu 7% dari total ransum.
Jadi kadar lemak sebesar 5,7664% cocok untuk ayam periode grower, karena
dapat dipakai sebagai sumber energi dan memenuhi kebutuhan hidup pokok
ayam dan juga untuk pertumbuhan (Sastroamidjojo, 1971).
Kelebihan lemak dalam tubuh ternak khususnya ayam dapat mengganggu
organ–organ dalam tubuh misalnya saluran reproduksi dan dapat mengganggu
proses termoregulator dalam mengatasi cekaman panas. Kekurangan lemak
dalam tubuh dapat menyebabkan kurangnya cadangan makanan apabila terjadi
defisit energi, pertumbuhan terganggu dan kurangnya isolator tubuh terhadap suhu
lingkungan yang dingin (Sastroamidjojo, 1971).
Kelemahan analisis lemak ini adalah terdapat bahan-bahan lain yang ikut
terlarut dalam ekstraksi dengan diethyl ether dan pada waktu penyaringan.
Bahan-bahan yang ikut terlarut tersebut terhitung sebagai lemak. Jadi, lemak hasil
analisis sebenarnya mengandung beberapa bahan lain (Soelistyono, 1976).
4.5. Kadar Serat Kasar
Hasil analisis kadar serat kasar sampel berupa voer ayam diperoleh hasil
sebesar 0,3142%, apabila dikonversikan dalam bahan kering sebesar 0,3452%.
Hasil sebesar ini masih memenuhi standard ketetapan dalam penyusunan ransum
khususnya untuk unggas, sebab prosentase kadar serat kasar dalam tubuh dibatasi
sebesar 8% (Parakkasi, 1995). Pemberian serat kasar tidak boleh melebihi 8%
dikarenakan unggas tidak dapat mencena serat kasar secara sempurna seperti
halnya pada ruminansia, sebab unggas tidak mempunyai mikrobia selulolitik.
Jadi, penambahan serat kasar yang terlalu banyak akan mengganggu pencernaan
unggas. Kekurangan serat kasar dalam ransum unggas dapat menyebabkan
kurangnya kelancaran proses pencernaan pada unggas oleh karena itu serat kasar
tetap diperlukan dalam ransum unggas sebab serat kasar dapat membantu
kelancaran saluran pencernaan unggas sebab unggas adalah hewan monogastrik
(Parakkasi, 1995). Serat kasar hasil analisis ini cocok digunakan untuk pakan
ayam segala periode tetapi kurang memenuhi standard kebutuhan serat kasar
ayam (Anggorodi, 1991).
4.6. Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
Kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen yang diperoleh dari analisis yang telah
dilakukan sebesar 57,3679%. Hal ini membuktikan bahwa voer ayam yang
dijadikan sampel merupakan bahan pakan yang dapat digunakan untuk bahan
campuran pada pakan ternak untuk mendukung pertumbuhan ternak tersebut agar
dapat berkembang dan memperoleh produk peternakan yang diharapkan
(Anggorodi, 1991). BETN adalah karbohidrat yang mengandung gula atau pati
dan mudah dicerna sehingga kecernaan pakan tinggi (Tillman et al, 1989). Jadi
sampel yang dianalisis ini mempunyai kecernaan yang tinggi, sehingga cocok
digunakan untuk ayam periode grower maupun layer.
BAB V
KESIMPULAN
Hasil praktikum analisis proksimat dengan sampel voer ayam didapat hasil
kadar air sebesar 8,984% dan kadar bahan keringnya sebesar 91,016%. Kadar
abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar dikonversikan ke 100%
bahan kering hasilnya adalah 4,3845%; 23,152%; 5,7664%; 0,3452%. Kadar
BETN dapat diketahui yaitu dengan mengurangi 100% dengan jumlah kadar-
kadar tersebut diatas, sehingga dihasilkan kadar BETN sebesar 57,3679%. Voer
ayam yang dipakai sebagai sampel analisis proksimat ini cocok digunakan untuk
ayam broiler periode grower tetapi kandungan serat kasarnya kurang memenuhi
standard yaitu 8%.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1991. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan IV. PT Gramedia, Jakarta.
Banerjee, G. C. 1982. A Text Book of Animal Husbandry. Fifth Ed. Oxfordand IBH. Publishing Company, New Delhi, India.
Darwis, S. N, A. B. D. Madjo Indo dan S. Hasiyah. 1991. Tanaman Obat famili Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Lubis,D.A. 1952. Ilmu Makanan Ternak. Yayasan Pembangunan, Jakarta.
Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI press, Jakarta.
Satroamidjojo. 1971. Ilmu Beternak Ayam. Penerbit N. V. Masa Baru. Jakarta.
Soelistyono, H.S. 1976. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Diponegoro University, Semarang.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Dept. Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Tillman, A. D, H, Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.