Lapkas Print Ya Ki

75
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.Di spanyol (1992), insiden Trauma kapitis 91 per 100.000 penduduk dan cause specific death rate 19,7 per 100.000 penduduk. Taiwan (1992), insiden trauma kapitis terjadi pada 180 per 100.000 penduduk, dan cause specific death rate 23 per 100.000 penduduk. Berdasarkan Data Depkes RI (2000-2007), bahwa proporsi kematian karena Trauma kapitis di Indonesia menunjukkan penurunan dan peningkatan yaitu pada tahun (2000) dengan Proporsi Mortality Rasio (PMR) sebesar 2,3%, tahun (2002) PMR sebesar 6,7%, tahun (2004) PMR sebesar 2,3% dan tahun (2006-2007) PMR sebesar 4,3%. Berdasarkan Data Kepolisian RI selama kurun waktu 2003- 1

Transcript of Lapkas Print Ya Ki

Page 1: Lapkas Print Ya Ki

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara

langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan

gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Kecelakaan lalu lintas merupakan

masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang.

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu

lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan

korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.Di spanyol (1992), insiden

Trauma kapitis 91 per 100.000 penduduk dan cause specific death rate 19,7 per

100.000 penduduk. Taiwan (1992), insiden trauma kapitis terjadi pada 180 per

100.000 penduduk, dan cause specific death rate 23 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan Data Depkes RI (2000-2007), bahwa proporsi kematian

karena Trauma kapitis di Indonesia menunjukkan penurunan dan peningkatan

yaitu pada tahun (2000) dengan Proporsi Mortality Rasio (PMR) sebesar 2,3%,

tahun (2002) PMR sebesar 6,7%, tahun (2004) PMR sebesar 2,3% dan tahun

(2006-2007) PMR sebesar 4,3%. Berdasarkan Data Kepolisian RI selama kurun

waktu 2003-2005, frekuensi kasus kecelakaan meningkat dengan CFR dari

(34,32%) menjadi (39,91%).

Data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala selama kurun

waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10 penyakit terbesar

yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan dengan CFR

(4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat

kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota Medan

dengan CFR ( 2,18%).

Multipel trauma adalah penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas

pada negara berkembang. Penyebab umum pada multi trauma adalah kecelakaan

lalu lintas, terjatuh dari ketinggian dan luka peluru. Pada praktisnya multitrauma

sangat berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan multi trauma

1

Page 2: Lapkas Print Ya Ki

membutuhkan penanganan dan optimasisasi yang penting. “Time is essence”

merupakan hal yang sangat berarti khususnya pada penanganan satu jam pertama

setelah terjadinya kecelakaan. Melihat hubungan kecelakaan lalu lintas dengan

kejadian trauma kepala yang memiliki keterkaitan yang erat, penulis tertarik untuk

mengangkat bagaiman managemen kegawatdaruratan pada pasien dengan epidural

hematoma dan fraktur ekstermitas.

1.2. Rumusan Masalah

Laporan ini membahas bagaimana managemen kegawatdaruratan pada

pasien dengan epidural hematoma dengan multipel trauma.

1.3. Tujuan Penulisan

1. Memahami definisi, etiologi, klasifikasi, penatalaksanaan, komplikasi dan

managemen kegawat daruratan pada pasien dengan cidera kepala

(khususnya epidural hematoma) dengan multipel trauma.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

2. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi

Dokter (P3D) di Departemen Anastesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

2

Page 3: Lapkas Print Ya Ki

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Otak

Cedera otak traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya

tekanan mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,

sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak, gangguan

fungsional, atau gangguan psikososial.1 Berdasarkan akibat yang ditimbulkan

pada kepala, cedera diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau tahapan, yaitu

cedera primer (primary insult) dan cedera sekunder (secondary insult).

Cedera primer merupakan akibat langsung trauma yang menimbulkan

kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cedera sekunder merupakan

proses patologis yang dimulai pada saat cedera dengan presentasi klinis tertunda.

Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis,

seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa

saat setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer).6 Cedera otak sekunder

sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah.

2.1.1. Patofisiologi Cedera Otak

Patofisiologi cedera otak ditinjau dari saat kejadiannya terdiri atas cedera

otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera otak

sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui proses

patologis yang berlanjut. Cedera otak sendiri terbagi atas dua yaitu, cidera otak

primer dan cidera otak sekunder.

2.1.2. Cedera Otak PrimerCedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik

yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan

perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan

seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi.

3

Page 4: Lapkas Print Ya Ki

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah. Cedera

parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan

cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan

intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.

Konstusio Cerebri

Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh

trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat

menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler

pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan

otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron

mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat

berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio

serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,

perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid.

Laserasi

Luka laserasi merupakan luka robek, dapat disebabkan oleh benda tumpul

maupun benda runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda

tajam, lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek dapat terjadi apabila

kerusakan setebal kulit dan jaringan bawah kulit. Pada proses penyembuhan

biasanya dapat menimbulkan jaringan parut.

Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural merupakan perdarahan yang terjadi diantara tulang

kranium dan duramater. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma

kapitis.

Perdarahan ini terjadi akibat:

a. robeknya salah satu cabang arteria meningea media

b. robeknya sinus venosus duramater

c. robeknya arteri diplokia

4

Page 5: Lapkas Print Ya Ki

sebagian besar perdarahan epidural adalah perdarahan arterial, meskipun mungkin

pula terjadi perdarahan campuran. Perdarahan epidural tersering terjadi pada

orang dewasa muda berusia antara 10-30 tahun, terutama pada pria.

Gejala-gejala:

a. adanya suatu lucid interval yaitu diantara waktu terjadinya trauma kapitis

dan waktu terjadinya koma

b. tekanan darah yang meningkat

c. pols yang semakin menurun frekwensinya

d. sindroma weber yaitu midriasis di sisi ipsilateral dan hemiplegi di sisi

kontralateral dari garis fraktur.

e. Papil edema setelah enam jam dari kejadian.

Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid,

yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:

a. Perdarahan subdural akut:

1. Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,

respon yang lambat, serta gelisah.

2. Keadaan kritis terlihat dengan melambatnya reaksi ipsilateral pupil.

3. Sering sekali dihubungkan antara perdarahan subdural akut dengan cedera

batang otak dan cedera otak besar.

b. Perdarahan subdural subakut:

1. Perdarahan subdural subakut biasanya terjadi antara 7 sampai 10 hari

setelah mengalami cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang

agak berat.

2. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi oleh karena tekanan serebral

yang terus menerus.

c. Perdarahan subdural kronis:

1. Dapat terjadi dikarenakan luka ringan.

2. Awalnya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

5

Page 6: Lapkas Print Ya Ki

3. Beberapa minggu kemudian terjadi penumpukan di sekitar membran

vaskuler dan secara pelan-pelan meluas.

4. Gejala dari perdarahan subdural kronis mungkin tidak terjadi dalam

beberapa minggu bahkan beberapa bulan.

5. Pada proses perdarahan yang lama akan terjadi penurunan dari reaksi pupil

dan reaksi motorik.

Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subaraknoid merupakan perdarahan yang terjadi antara rongga

otak dan lapisan otak yaitu rongga yang dikenal dengan nama ruang subaraknoid

(Ausiello, 2007).

Pendarahan Intraventikuler

Perdarahan intraventrikular adalah terjadinya penumpukan darah di

ventrikel otak. Apabila terjadi perdarahan intraserebral, Perdarahan

intraventrikular akan selalu timbul.

Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral adalah terjadinya penumpukan darah di jaringan

otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada bagian otak yang sejajar dengan

daerah hantaman.

2.1.3 Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Glasgow Coma Scale

(GCS)

Glasgow Coma Scale atau GCS adalah nilai (skor) yang diberikan kepada

pasien yang mengalami trauma kapitis. Bagian-bagian yang dinilai adalah;

1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu

tabel Glasgow Coma Scale (GCS)

6

Page 7: Lapkas Print Ya Ki

Tabel 2.1Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan 4

Mata membuka setelah diperintah 3

Mata membuka setelah diberi rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata 1

Best Motor Response

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (dekortikasi) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

Tidak ada gerakan 1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar 5

Salah menjawab pertanyaan 4

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:

1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15

2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13

3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8

a) Trauma Kepala Ringan

Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya

kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Dengan

Glasgow Coma Scale > 12, tidak dijumpai kelainan dalam CT-scan, tidak ada lesi

7

Page 8: Lapkas Print Ya Ki

operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Cedera kepala ringan

merupakan trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan

kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi

(Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan merupakan cedara otak karena tekanan

atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan yaitu cedera

kepala tertutup yang ditandai berupa hilangnya kesadaran sementara (Corwin,

2000).

b) Trauma Kepala Sedang

Dengan Glasgow Coma Scale 9 - 13, ditemukan lesi operatif dan

abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien

mungkin mengalami somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah

yang sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang

mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).

c) Trauma Kepala Berat

Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan

cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer

seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder

yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada penderita

cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera

kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan

otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak

2.1.4 Etilogi Cedera Otak Sekunder

Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi

berturut-turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral.8 Klasifikasi

etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan

intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi,

hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi

perdarahan ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid.

8

Page 9: Lapkas Print Ya Ki

Selain itu cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan

infeksi. Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema

vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial.

Gambar 2.1 Patofisiologi Cidera Kepala

9

Page 10: Lapkas Print Ya Ki

2.2. Manajemen Kegawatdaruratan pada Pasien dengan Multipel Trauma

Dalam mencapai standar perbaikan yang baik pada pasien dengan trauma

diperlukan kontrol yang bekesinambungan dengan kualitas yang baik. Manajemen

kegawatdaruratan pada pasien dengan multipel trauma meliputi tiga bagian

diantaranya:

2.2.1 Manajemen pre-hospital

Pada penangananan kegawatdaruratan dibutuhkan sistematika yang

terstruktur dan cepat. Pasien dengan kegawatdaruratan membutuhkan waktu

jangkau ke rumah sakit dan memperoleh terapi definitif dalam 90 menit pertama,

sehingga diperlukan waktu tempuh dari awal panggilan emergency sampai ke

rumah sakit dalam waktu 60 menit.

Kegawatdaruratan anestesi, manajemen airway, dan ventilasi pada pasien

dengan multipel trauma.

Secara prioritas penanganan airway dan respirasi adalah hal utama yang

harus dilakukan untuk mendapatkan oksigenasi dan ventilasi yang baik pada

pasien. Pada pasien dengan trauma multipel dengan apnoe atau pernafasan

gasping (<6 x/i) harus dilakukan intubasi endotracheal dan ventilasi yang adekuat.

Berikut merupakan indikasi lain dilakukannya intubasi pada manajemen pre-

hospitalisasi:

- Hipoksia (SpO2 < 90%) setelah penanganan terhadap tension pneumothoraks

teratasi.

- Cedera kepala berat dengan Glasgow Comma Scale < 9.

- Trauma dengan hemodinamik tidak stabil (RRsys < 90 mmHg), dan

- Cedera dada berat dengan insufiensi pernafasan (RR > 29 x/i)

Sebelum memutuskan untuk melakukan intubasi perlu dilakukan

pertimbangan, apakah lokasi, waktu , dan keadaan mendukung untuk pelaksanaan

intubasi. Apabila tidak tampak kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai

dengan gangguan fungsi vital dan membahayakan keselamatan pasien dan

penolong, intubasi akan lebih membahayakan dari pada menolong pasien.

10

Page 11: Lapkas Print Ya Ki

Resusitasi Volume

Pada pasien dengan trauma multipel berat, resusitasi volume dimulai

sebagai antisipasi apabila terdapat perdarahan yang tidak terkontrol yang dapat

mengganggu kestabilan hemodinamik, sehingga dapat segera teratasi.

Pada pasien dengan hipotensi dengan cidera kepala, resusitasi volume

harus dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tekanan darah normal. Pada pasien

normotensi tidak diperlukan resusitasi volume, tetapi jalur iv harus tetap

disediakan. Resusitasi volume pada trauma harus menggunakan kristaloid.

Pemberian isotonic saline tidak dianjurkan. Ringer malate, ringer asetat atau

ringer laktat lebih diutamakan.

Cidera Dada

Pemeriksaan klinis dengan inspeksi, palpasi, auskultasi paru dan jantung

harus dilakukan pada pasien dengan multipel trauma. Pasien yang dicurigai

dengan pneumotoraks dan/atau hemotoraks dapat tergambar dengan hilangnya

suara nafas pada salah satu sisi dinding dada.. Pneumothoraks didiagnosa dengan

auskultasi dimana terdapat ketinggalan nafas pada pasien dengan tekanan ventilasi

positif dan harus segera dikompresi.

Rekomendasi Umum

Setelah dilakukan manajemen pre-hospitalisasi maka harus dilakukan

pemilihan rumah sakit tujuan yang tepad dan cepat.

2.2.2. Manajemen kegawatdaruratan di IGD

Manajemen prehospitalisasi yang baik pada pasien dengan multiple trauma

akan memberikan hasil yang baik pada manajemen proses kegawatdaruratan di

IGD. Pasien dengan multipel trauma harus ditangani dengan tim emergency yang

tetap yang bekerja dengan rencana yang terstruktur dan memiliki kemampuan

khusus. Tim emergency harus aktif melihat kondisi pasien dengan keadaan

sebagai berikut:

- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg setelah trauma

11

Page 12: Lapkas Print Ya Ki

- Trauma pada leher dan tulang belakang

- Luka tembak pada leher dan tulang belakang

- GCS < 9 setelah trauma

- Gagal nafas maupun pasien yang mengalami gangguan nafas setelah

diintubasi setelah trauma

- Fraktur dengan lebih dari dua tulang proksimal

- Nyeri dada

- Fraktur Pelvis

- Cidera amputasi proksimal dari tangan/kaki

- Luka terbuka maupun luka terbakar 20% dan grade ≥ 2b

- Pasien dengan kecelakaan lalu lintas dengan frontal impact dengan

intrusi lebih dari 50 sampai 75 cm, perubahan kecepatan delta > 30

km/jam.

Penatlakansaan lanjutan pada multiple trauma dilakukan secara

pembedahan.

2.2.3. Manajemen pada fraktur ekstermitas

2.2.4. Definisi dan klasifikasi fraktur ekstermitas

Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya

gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang,

periosteum, dan jaringan yang ada disekitarnya. Fraktur ekstrimitas adalah fraktur

yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstrimitas atas (radius, ulna,

carpal) dan ekstrimitas bawah (pelvis, femur, tibia, fibula, metatarsal, dan lain-

lain). Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu:

a). Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen

tulang yang menembus kulit.

b) Tipe II: Ukuran luka antara 1 – 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa

cedera

jaringan lunak yang major

c) Tipe III: Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak

yang

12

Page 13: Lapkas Print Ya Ki

signifikan. Tipe III juga dibagi menjadi beberapa sub tipe:

I. IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang

tanpa memerlukan flap coverage.

II. IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local

atau distant flap coverage.

III. IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang

membutuhkan perbaikan segera.

2.2.5. Diagnosis Pada Fraktur Ekstermitas

Untuk mendiagnosis fraktur, pertama-tama dapat dilakukan anamnesis

baik secara autoanamnesis maupun aloanamnesis. Informasi yang digali adalah

mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya.

Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan

ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula

pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih

mampu bergerak .

Setelah menggali secara dalam pada anamnesis dilakukan pemeriksaan

fisik lanjutan. Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi

tiga yaitu look, feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita

memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang

terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas

tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus

diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitas

dari proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari

cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan

ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga

yang harus dinilai adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM

(Range of Motion). Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa

sakit yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan.

Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas

termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya

13

Page 14: Lapkas Print Ya Ki

< 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus

mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris

Pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologi diperlukan untuk

mendukung diagnosa. Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur

diberlakukan rule of two yaitu:

a. Dua sudut pandang

b. Dua Sendi

c. Dua ekstrimitas

d. Dua waktu

2.2.6. Tatalakasana Kegawatdaruratan Pada Fraktur Ekstermitas

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk

mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik

anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah

a. Survey primer

b. Meminimalisir rasa nyeri

c. Mencegah cedera iskemia-reperfusi

d. Menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.

Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan

reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses

persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.

A.Survey Primer

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah

mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,

Circulation, Disability Limitation, Exposure).

1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah

kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh

adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan

nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat

digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya

14

Page 15: Lapkas Print Ya Ki

memerlukan pemasangan airway definitif.

2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus

menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru

yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien

dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow

oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.

3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di

sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering

menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang

terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 –

4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik

adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau

ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai

yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi

gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah

tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan

pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping

usaha menghentikan pendarahan.

4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat

terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.

5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,

penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.

Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti

fraktur adalah imobilisasi fraktur dan pemeriksaan radiologi.

1. Imobilisasi Fraktur

Tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam

posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah

fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan

15

Page 16: Lapkas Print Ya Ki

ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang

benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan

mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup

sendi diatas dan di bawah fraktur.

Pada fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.

Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di

proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan

bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai

tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera lutut

pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas.

Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia

sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg

splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai

bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

Gambar 2.1. Alat immobilisasi ekstermitas bagian bawah (1). Traction Splint. (2).

Long Leg Splint.

2. Pemeriksaan Radiologi

Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian

dari survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan

ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta

16

Page 17: Lapkas Print Ya Ki

mekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien

multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber

pendarahan yang belum dapat ditentukan.

B. Survey Sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah

anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari

cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun

terlewatkan dan tidak terobati.

Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat

AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate

dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting

untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki

oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat

primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi

mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah

(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi

neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara

pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita

menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar.

Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan

eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang

pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas

yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan

ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan

palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada

periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari

fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian

membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi

17

Page 18: Lapkas Print Ya Ki

mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat

mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang

normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan

adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang

membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan

adanya trauma arterial. Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan

mengingat cedera musculoskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf

dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien.

Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa

secara sistematik.

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber

yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang

dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka

fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas.

Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.

Antibiotik yang dapat diberikan adalah:

1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali

sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo

2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg

dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.

3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi

kuman anaerob.

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.

Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca

trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma. Reduksi, Reposisi dan

imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga pasien siap untuk

dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila

terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya

reposisi dilakukan di IGD dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai.

Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur

ekstrimitas bawah di IGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle

18

Page 19: Lapkas Print Ya Ki

fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk

manipulasi, splintage dan transfer pasien.

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah

tulang digunakansrategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri

akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis

pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit

secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana

pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia

pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai

respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari

ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan

menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah

dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan

benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena). Peripheral nerve

blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan

analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block.

1. Pendarahan Arteri Besar

Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri

mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan

besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas

yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan

gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat,

menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila

kondisi hemodinamik pasien tidak stabil Jika dicurigai adanya trauma arteri besar

maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan

pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang

agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat pendarahan

yang masif. Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda

syok (nadi meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral dingin,

penurunan kesadaran) adalah :

19

Page 20: Lapkas Print Ya Ki

1. Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu jalan nafas jika

perlu dan pemberian oksigen

2. Amankan Circulation dengan cara membebat lokasi pendarahan, pemasangan

akses vaskuler, dan terapi cairan awal. Untuk akses vaskuler, dipasang dua kateter

IV ukuran besar (minimum no 16). Tempat terbaik untuk memasang akses vena

adalah di vena lengan bawah dan di kubiti, tetapi pemasangan kateter vena sentral

juga diindikasikan apabila terdapat fasilitas. Untuk terapi cairan awal, bolus cairan

hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan

20 ml/kg untuk anak anak.

Untuk pemilihan cairan awal digunakan cairan kristaloid seperti RL atau NS.

Respon pasien kemudian diobservasi selama pemberian cairan awal.

Perhitungannya adalah pemberian 3 L kristaloid untuk mengganti 1 L darah.

Pemberian Koloid dapat dipertimbangkan apabila dengan pemberian kristaloid

masih belum cukup memperbaiki perfusi ke jaringan.

Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau beberapa kondisi

seperti : 1) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) 2) Produksi

urin dipantau dengan memasang kateter urin. Target dari produksi urin adalah 0,5

ml/kg/jam untuk dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak. 3) Keseimbangan asam

basa.

4.Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau rujukan untuk

menterapi secara definitif penyebab pendarahan tersebut.

3. Crush Syndrome

Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan

oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal

akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang

tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi

otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin.

Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain

yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha

20

Page 21: Lapkas Print Ya Ki

dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada

crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti

gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk

tertimpa oleh benda yang berat.

Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat rendah (0 to

0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot skeletal telah rusak, kadar

myoglobin melebihi kemampuan pengikatan myoglobin dan akan mengganggu

filtrasi glomerulus, menimbulkan obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan

gagal ginjal.

Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan

pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan

fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas

karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering

terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal. Adapun komplikasinya

adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC

(Disseminated Intravaskular Coagulation). Diperlukan Manajemen

kegawatdaruratan yang tepat dan cepat dalam penanganan crush syndrome dan

pencegahan komplikasinya. Pada Instalasi Rawat Darurat yang dapat dilakukan

adalah :

1. Evaluasi ABC

2. Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan mengingat sering

terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5 liter per jam

dan targetnya adalah produksi urin 200 – 300 ml per jam. Pemberian cairan yang

mengandung potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena akan memperburuk

hiperkalemia dan acidosis. Investigasi mendalam terhadap trauma dan memonitor

keadaan pasien.

3. Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis

4. Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi definitif

untuk kausa seperti trauma.

21

Page 22: Lapkas Print Ya Ki

4. Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh

rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai

lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan

bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena

peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi

sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen

yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan.

Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah :

a. Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang

meregangkan otot bersangkutan

b. Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi atau

hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut

c. Asimetris pada daerah kompartemen

Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan

kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma

kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan

fisik. Tekanan intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan

penurunan aliran kapiler dan menimbulkan kerusakan otot dan saraf karena

anoksia. Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan

yang menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 – 60

menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi.

22

Page 23: Lapkas Print Ya Ki

3.1. Definisi dan Klasifikasi Syok

Syok merupakan suatu sindroma klinis yang disebabkan berkurangnya

perfusi ke jaringan dan ini akan mengakibatkan ketidak seimbangan antara supplai

dan kebutuhan oksigen yang akhirnya terjadi disfungsi sel. Syok dapat

diklasifikasikan menjadi 4 bagian:

1 Syok distibutif ,dijumpai pada syok sepsis,syok anafilaksis.

2 Syok hipovolemik,dijumpai pada perdarahan,muntah,diare,keringat banyak

3 Syok kardiogenik,dijumpai pada infark miokard,aritmia jantung,kardiomiopati

4 Syok obstruktif,dijumpai pada emboli paru,tamponade jantung,pneumotoraks

3.2 Epidemiologi syok

Hampir 1/3 pasien yang masuk ke ruangan ICU adalah karena

syok.Menurut European Sepsis Occurence in Acutely Ill (SOAP) II trial penyebab

syok terbanyak adalah syok sepsis(62%) diikuti syok kardiogenik(17%) dan syok

hipovolemik(16%).Sedangkan case fatality rate syok sepsis 40-50%,syok

kardiogenik 59,4%.

3.3 Patofisiologi syok

Syok distributif terjadi akibat oleh distribusi abnormal sirkulasi perifer.

Syok obstruktif terjadi akibat obstruktif vaskular. Syok hipovolemik terjadi

akibat berkurangnya cairan intra vaskular baik darah maupun plasma. Syok

kardiogenik diakibatkan oleh penyakit yang menyebabkan kerusakan langsung

miokard ataupun menghambat kontraktilitas jantung.

3.4 Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari

volume darah atau plasma dalam pembuluh darah yang berkurang.

Etiologi syok hipovolemik

1. Perdarahan.

Perdarahan luka terbuka merupakan penyebab yang tampak jelas menyebakan

syok hipovolemik.Perdarahan juga dapat terjadi pada rongga dada seperti

23

Page 24: Lapkas Print Ya Ki

hemotoraks,rongga abdomen akibat laserasi limpa,hati dan ginjal,ruptur

aorta,kehamilan ektopik yang terganggu begitu juga perdarahan jaringan disekitar

fraktur tulang.

2. Kehilangan plasma

Kehilangan plasma dapat disertai kehilangan protein maupun tanpa kehilangan

protein. Kehilangan plasma disertai kehilangan protein dijumpai pada syok yang

diakibatkan pankreatitis,peritonitis,luka bakar,crush syndroma .

Kehilangan plasma tanpa kehilangan protein dijumpai pada syok yang disebabkan

muntah muntah,diare,kehilangan cairan dari nasogastrik,fistula maupun

enterostomy.

3.5 Respon Fisiologis pada syok hipovolemik

1.Respon Neural

Volume darah /plasma yang berkurang menyebabkan terjadnya respon

neural dalam beberapa menit.Volume darah/plasma yang menurun mengakibatkan

venous return berkurang.Venous return yang berkurang mengakibatkan cardiac

output berkurang begitu juga tekanan darah akan menurun.Tekanan darah yang

menurun akan mengaktivas stretch dan chemoreseptor di arkus aorta ,sinus karotis

mengakibatkan respon iskhemik pada sentral nervous system. Pons dan medulla

akan mengirimkan impuls efferent lewat simpatis dan vagus untuk meningkatkan

denyut jantung,kontraksi jantung dan tonus perifer.Stress hormon seperti

adrenalin dan noradrenalin juga meningkat.

2.Respon Intrinsik

Respon intrinsik terjadi dalam beberapa jam.Tekanan kapiler yang

menurun menyebabkan perpindahan cairan dari interstisial ke intravaskular dalam

rangka mempertahankan volume vaskuler.Selain cairan protein terutama albumin

berpindah dari interstisia ke intra vaskuler.Kadar gula darah juga meningkat pada

keadaan syok yang dapat menyebabkan effek osmotik sehingga cairan juga masuk

24

Page 25: Lapkas Print Ya Ki

ke intravaskuler.Cairan yang masuk berkisar 17 ml/1 mmol kenaikan kadar

glukosa.

3.Respon humoral

Respon humoral terjadi dalam beberapa hari.Hormon

antidiuretik(ADH),aldosteron,renin sekresinya meningkat untuk meningkatkan

retensi cairan di ginjal sehingga out put urine berkurang .Hal ini merupakan

mekanisme untuk meningkatkan volume intra vaskuler.

3.6 Gejala Klinis

Gejala klinis syok hipovolemik dapat kita temukan pada kulit

pucat,dingin,biru,basah.Dijumpai sesak nafas,frekuensi jantung meningkat.Bila

diukur urine output menurun,begitu juga dijumpai gangguan kesadaran berupa

disorientasi,agitasi maupun bingung.

Hipovolemia ringan(< 20 % volume darah) menimbulkan takikardia ringan

dengan sedikit gejala yang tampak.Pada hipovolemia sedang( 20-40 % volume

darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas,meski tekanan darah

bisa ditemukan normal pada posisi berbaring namun dapat ditemukan dengan jelas

hipotensi ortostatik dan takikardia.Pada hipovolemia berat(> 40 % volume darah)

takikardia semakin berat disertai sesak nafas,gangguan kesadaran berupa

agitasi ,bingung dan juga oligouria.

Tekanan darah sistol menurun< 90 mm Hg,atau mean arterial pressure < 60

mmHg.

3.7 Diagnosis

Diagnosis syok hipovolemik berdasarkan dijumpainya tanda

ketidakstabilan hemodinamik dan ditemulan sumber perdarahan ataupun sumber

kehilangan cairan..Diagnosis akan sulit bila perdarahan tidak ditemukan dengan

jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal.Setelah perdarahan biasanya

hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan

kompensasi atau penggantian cairan dari luar.Jadi kadar hematokrit diawal tidak

25

Page 26: Lapkas Print Ya Ki

menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan.Kehilangan plasma ditandai dengan

hemokonsentrasi.

Harus dibedakan syok hipovolemik dan syok kardiogenik walaupun keduanya

memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis karena

penanganannya berbeda.Ditemukannya tanda syok kardiogenik seperti ditensi

vena jugularin,ronki dan irama gallop keduanya dapat dibedakan.

3.8 Penatalaksanaan syok

Pertama dilakukan adalah assesment ABC dan penanganannya. Diberikan

resusitasi cairan dengan cepat melalui akses intravena atau pemasangan kateter

CVP.Cairan yang diberikan cairan isotonis atau ringer laktat dengan

menggunakan jarum infus terbesar.Pemberian cairan 2-4 l dalam 20-30 menit

diharapkan dapat mengembalikan hemodinamik.Bila hemodinamik tetap tidak

stabil berarti kehilangan darah atau cairan masih belum teratasi.Kehilangan darah

yang berlanjut dengan kadar hemoglobin< 10 g/dl perlu penambahan darah

dengan transfusi.Jenis darah tranfusi tergantung kebutuhan,bila whole blood

mengandung faktor pembekuan dan juga kebutuhan volume,tetapi bila darurat

maka dapat diberikan pack red cell dengan tipe darah yg sesuai.

26

Page 27: Lapkas Print Ya Ki

4.1. Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan konsntrasi serum

bikarbonat (HCO3-), penurunan tekanan parsial arteri karbon dioksida (PaCO2)

dari ~ 1 mmHg untuk setiap 1 mmol / l penurunan konsentrasi serum HCO3-, dan

penurunan pH darah. Asidosis metabolisme sering terjadi bersamaan dengan

gangguan asam-basa, terutama pada penyakit kritis.

Asidosis metabolism dapat bersifat akut (berlangsung menit untuk hari

beberapa) dan kronis (berlangsung minggu untuk tahun), dimana penyebab yang

mendasari dan efek yang ditimbulkan dapat dibedakan. Asidosis metabolisme

akut paling sering disebabkan oleh produksi asam organik yang berlebihan,

seperti keton atau asam laktat, sedangkan asidosis metabolisme kronis biasanya

menandakan kehilangan bikarbonat dan/atau gangguan oksidasi pada ginjal.

Efek dari asidosis metabolisme akut menyebabkan menurunnya cardiac

output, dilatasi arteri disertai hipotensi, perubahan suplai oksigen, penurunan

produksi ATP, aritmia, dan gangguan respon imun. Efek dari asidosis

metabolisme kronis adalah meningkatnya degradasi otot dan gangguan

metabolisme tulang.

4.2. Patofisiologi Asidosis Metabolik

Pada keadaan normal, pH darah dipertahankan dalam rentang yang sempit

(7,35-7,45) agar sel tubuh dapat bekerja dengan baik. Ini dimungkinkan dengan

adanya sistem buffer yang dibantu mekanisme kompensasi dan koreksi fisiologis

oleh paru-paru dan ginjal. Bila pH darah meningkat dari normal disebut alkalemia

dan sebaliknya pH darah menurun disebut asidemia. Sedangkan asidosis atau

alkalosis merupakan proses yang menyebabkan perubahan kadar asam atau basa

dalam darah. Demikian juga, pada asidosis/alkalosis tidak selalu berarti ada

perubahan pH darah. Misalnya, pada asidosis metabolik tidak selalu ada asidemia.

Karena penumpukan asam dapat dinetralisir oleh sistem buffer yang dibantu

mekanisme kompensasi dan koreksi oleh paru - paru dan ginjal.

Dari persamaan Henderson-Hasselbalch: pH = pK + logHCO-3, terlihat pH

dipengaruhi oleh rasio kadar bikarbonat (HCO3-) dan asam karbonat darah

27

Page 28: Lapkas Print Ya Ki

(H2CO3) sedangkan kadar asam karbonat darah dipengaruhi oleh tekanan parsial

CO2 darah (pCO2). Bila rasio ini berubah, pH akan naik atau turun. Penurunan pH

darah di bawah normal yang disebabkan penurunan kadar bikarbonat darah

disebut asidosis metabolik. Sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah, akan

dijumpai pernafasan cepat dan dalam (pernafasan Kussmaul) sehingga tekanan

parsial CO2 darah menurun (hipokarbia). Di samping itu ginjal akan membentuk

bikarbonat baru (asidifikasi urine) sehingga pH urine akan asam. Penurunan kadar

bikarbonat darah bisa disebabkan hilangnya bikarbonat dari dalam tubuh (keluar

melalui saluran cerna atau ginjal) ataupun disebabkan penumpukan asam-asam

organik, -baik endogen maupun eksogen-, yang menetralisir bikarbonat.

Berdasarkan hukum elektroneutral, jumlah kation harus sama dengan

jumlah anion dalam satu larutan. Pada asidosis metabolik, di mana terjadi

penurunan kadar bikarbonat plasma akibat penumpukan asam organik dalam

plasma, dijumpai kadar klorida darah normal. Keadaan ini disebut asidosis

metabolik dengan anion gap (kesenjangan anion) meningkat atau asidosis

metabolik normokloremia. Sebaliknya bila asidosis metabolik terjadi karena

penurunan kadar bikarbonat plasma akibat hilangnya bikarbonat dari tubuh, akan

dijumpai peningkatan kadar klorida darah. Ini disebut dengan asidosis metabolik

dengan anion gap (kesenjangan anion) normal ataupun asidosis metabolik

hiperkloremia.

Anion gap (kesenjangan anion) dihitung dengan cara mengurangi kadar

natrium darah dengan jumlah bikarbonat dan klorida darah atau anion gap = Na+-

(HCO3N + Cl N ). Normalnya antara 8–16 mEq/L. Karena itu pemeriksaan kadar

klorida darah, di samping kadar bikarbonat dan natrium darah diperlukan untuk

membedakan kedua jenis asidosis metabolik tersebut di atas.

4.3. KLASIFIKASI ASIDOSIS METABOLIK

4.3.1 Asidosis dengan Peningkatan Anion Gap

Asidosis dengan peningkatan anion gap menunjukkan akumulasi

dari asam organik dalam plasma yang menyebabkan terjadinya

28

Page 29: Lapkas Print Ya Ki

penurunan bikarbonat dalam plasma, seperti pada asidosis laktat,

ketoasidosis, bahan-bahan toksik, dan asidosis uremia.

4.3.2 Asidosis dengan Anion Gap Normal

Asidosis dengan anion gap normal disebabkan karena penurunan

bikarbonat plasma akibat hilangnya bikarbonat dari tubuh, dan

dijumpai peningkatan kadar klorida darah. Hai ini dapat disebabkan

oleh terapi infus, kehilangan basa dari saluran pencernaan, asidosis

tubulus ginjal, ureteric diversion.

4.4. GAMBARAN KLINIS ASIDOSIS METABOLIK

Tanda klinis biasanya memperlihatkan tanda-tanda hipoperfusi jaringan.

Hipotensi berat, oligouria atau anuria, perubahan status mental, dan takipnu

selalu dijumpai pada asidosis metabolik yang disebabkan oleh hipokesmia

jaringan. Manifestasi lanjut yang terjadi adalah shock, dan hal ini menjadi

indikator keadaan hipoperfusi.

Manifestasi lain yang ditemukan adalah tipe pernafasaan kussmaul yang

menunjukkan suatu keadaan asidosis yang mengakibatkan terjadinya

kompensasi pernafasan. Oleh karena sepsis sering didapati pada sebagian besar

kasus asidosis laktat, demam (>38,5⁰C) atau hipotermia (35⁰C) menjadi gejala

tambahan yang memperlihatkan kemungkinan sudah terjadinya sepsis.

29

Page 30: Lapkas Print Ya Ki

5.1 ASIDOSIS LAKTAT

Asidosis laktat merupakan jenis asidosis yang paling sering ditemukan pada

pasien-pasien dengan penyakit kritis. Asidosis laktat merupakan keadaan asidosis

metabolik dengan anion gap yang luas, dikarakteristikkan dengan pH < 7,35 dan

kadar laktat di plasma > 5mmol/L. Hal ini dapat terjadi bila oksigenasi jaringan

tidak adekuat memenuhi kebutuhan energi sebagai akibat dari hipoperfusi atau

hipoksia, menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob dan menghasilkan asam

laktat dalam jumlah berlebihan. Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan

adanya disregulasi metabolik, hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin tertentu,

ataupun abnormalitas kongenital pada metabolisme karbohidrat.

5.2. ETIOLOGI ASIDOSIS LAKTAT

Asidosis laktat disebabkan oleh produksi berlebihan atau kurangnya

penggunaan laktat atau keduanya terjadi secara bersamaan, yang dapat

diakibatkan oleh:

1. Olahraga berat

Derajat dari peningkatan konsentrasi asam laktat tergantung dari tipe dan

beratnya olahraga. Kadar laktat turun ke normal segera setelah

penghentian olahraga yang disebabkan oleh metabolisme yang cepat dari

asam laktat atau terdifusi ke cairan tubuh. Hal ini berkaitan dengan

penurunan konsentrasi bikarbonat. Karena asidosis yang terjadi tidak

begitu jelas dan hanya bersifat sementara, respon sekunder dari

hiperventilasi tidak berkembang dan apabila derajat asidosis menjadi

tinggi, terapi bikarbonat tidak diperlukan.

2. Hipoksia jaringan

Hipoksia jaringan merupakan penyebab utama dari asidosis laktat pada

pasien dengan penyakit kritis. Hipoksia yang berkepanjangan akan

mengarah kepada produksi yang berlebihan dan kurangnya penggunaan

asam laktat yang berujung kepada asidosis laktat. Pasien dengan hipotensi

yang dikarenakan sepsis, hipovolemik atau shock kardiogenik, dapat

30

Page 31: Lapkas Print Ya Ki

mengalami asidosis laktat dikarenakan kurangnya perfusi otot skeletal dan

produksi berlebihan dari asam laktat.

3. Cardio-respiratory arrest

Cardio-respiratory arrest merupakan penyebab lain yang dapat

menyebabkan academia berat yang dikarenakan kombinasi dari asidosis

laktat dan asidosis respiratory. Pada cardiac arrest, terjadi asidosis

dikarenakan penurunan perfusi jaringan dan asidosis respiratory

dikarenakan kegagalan pernapasan.

4. Keracunan karbon monoksida

Keracunan karbon dioksida akan memproduksi laktat yang menyebabkan

asidosis yang dikarenakan kegagalan mekanisme kompensasi dari

peningkatan perfusi jaringan. Karbon monoksida terikat dengan

hemoglobin dengan afinitas 40 kali lebih kuat dari oksigen, yang

mengarah ke hipoksia jaringan dan asidosis laktat.

5. Obat-obatan dan toksik

Beberapa obat-obatan dan toksisk juga menyebabkan peningkatan

produksi laktat. Alkohol merupakan penyebab tersering dari asidosis laktat

dimana oksidasi etanol akan meningkatkan konfersi piruvat menjadi laktat.

Penggunaan metformin yang berkepanjangan menyebabkan peningkatan

glikolisis pada jaringan peripheral, menurunkan oksidasi piruvat dan

menurunkan kemampuan hepar untuk menggunakan laktat.

Fruktosa, yang sering digunakan pada cairan intravena dan total nutrisi

parenteral, yang menyebabkan defisiensi dari thiamin dan akumulasi

laktat.

6. Sirosis terminal atau kegagalan hepato-sellular

Terjadinya asidosis metabolisme pada sirosis terminal dikarenakan

ketidakmampuan penggunaan laktat dan gangguan metabolisme

7. Keganasan

Leukemia dapat menyebabkan asidosis dikarenakan pembentukan laktat

dalam jumlah yang besar oleh sel tumor dan dapat diatasi secara gradual

setelah terjadinya keberhasilan pengobatan.

31

Page 32: Lapkas Print Ya Ki

8. Defisiensi enzim kongenital

Defisiensi dari enzim yang berperan dalam gluconeogenesis (glucose-6-

fosfat dehydrogenase, fruktosa 1, 6 piruvat karboksilase), oksidasi piruvat

(piruvat dehydrogenase) dan enzim fosforilasi oksidatif dapat

menyebabkan terjadinya asidosis laktat kongenital.

5.3. KLASIFIKASI ASIDOSIS LAKTAT

Pada tahun 1976, Cohen dan Woods mengklasifikasikan asidosis laktat

menjadi 2 tipe, asidosis laktat tipe A, dan asidosis laktat tipe B.

5.3.1. Asidosis laktat tipe A

Terjadi pada kondisi hipoperfusi dan hipoksia. Hipoksia jaringan dapat

terlihat pada keracunan karbon monoksida, astma berat, anemia berat, sedangkan

hipoperfusi dapat terlihat pada kondisi shock (kardiogenik, hemoragik, septik,

iskemia regional).

5.3.2. Asidosis Laktat Tipe B

Terjadi pada saat tidak ada bukti klinis dari hipoperfusi, dan terbagi dalam tiga

subtype:

i. B1 berhubungan dengan penyakit yang mendasari, seperti diabetes

mellitus, sirosis hepatis, septicemia, keganasan, post

cardiopulmonary bypass, gagal ginjal, defsiensi thiamie, thyroid

strom, dsb.

ii. B2 berhubungan dengan metabolisme obat-obatan dan racun,

seperti acetaminofen, biguanide, kokain, dietil ether, epinephrine,

norepinephrine, ethanol, ethylene glycol, isoniazid, lactulose,

methanol, nalidixic, dsb.

iii. B3 berhubungan dengan kelainan metabolisme sejak lahir

(kongenital asidosis laktat), seperti defisiensi G6PD, devisiensi

piruvat karboksilase, asiduria organic, dsb.

32

Page 33: Lapkas Print Ya Ki

5.4 GEJALA KLINIS ASIDOSIS LAKTAT

Gejala klinis dari asidosis laktat tidak spesifik dan tergantung dari

penyakit/gangguan yang mendasari. Asidosis laktat harus dicurigai pada

setiap pasien penyakit kirtis yang mengalami hipovoum, hipoksia, dan

pada pasien dengan shock sepsis atau kardiogenik.

Tanda klinis asidosis laktat berupa hipoperfusi jaringan (vasokonstriksi

perifer), hipotensi, oligouria/anuria, dan perubahan tingkat kesadaran.

5.5 DIAGNOSIS ASIDOSIS LAKTAT

Tanda utama dalam mendiagnosis asidosis laktat berupa:

- Peningkatan anion gap asidosis metabolic

- Peningkatan level serum asam laktat (> 5 mmol/L)

- Asidemia yang signifikan (pH arteri < 7.35)

- Penurunan kadar bikarbonat dalam plasma

5.6.1 PENATALAKSANAAN ASIDOSIS LAKTAT

Pengobatan yang terpenting dalam mengatasi asidosis laktat adalah

memperbaiki penyebab yang mendasari.

Pada shock hipovolemik atau kardiogenik, pengembalian perfusi dan

oksigenasi jaringan yang adekuat dapat memperbaiki asidosis laktat. Pada

shok sepsis, pengobatan antibiotik, drainase/debridement akan membantu

dalam perbaikan asidosis laktat. Pada status astmatikus, pemberian dosis

tinggi beta 2 agonis dapat menurunkan level laktat. Pada shock,

vasokonstriktor diberikan hanya setelah volume telah terganti dan

tercukupi.

Pada beberapa kasus, terapi alkali dipergunakan dalam memperbaiki

asidosis laktat dengan mempergunakan bikarbonat.

33

Page 34: Lapkas Print Ya Ki

LAPORAN KASUS

1. Anamnesis

KU: Penurunan Kesadaran

Telaah: Hal ini dialami pasien sejak ± 7 jam SMRS setelah os mengalami

kecelakaan lalu lintas. Pasien ditabrak oleh mobil dari arah depan, posisi

awal terjatuh tidak jelas dan kedua paha terlinggas mobil. Riwayat

terbangun kembali setelah tidak sadarkan diri (-). Muntah (+) Kejang (-).

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

RPT : Tidak Jelas

RPO : -

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

08 Februari 2015Pukul : 17.00 WIBPasien mengalami

kecelakaan lalu lintas

08 Februari 2015Pukul : 19.00 WIBPasien dibawa ke

RS.Dr. Pirngadi Medan

Pasien diberikan:IVFD RSOL 20gtt/iInj. Ranitidin 1 ampInj. Ketorolac 1 ampPemasangan NGT

Pemasangan Kateter

Pasien kemudian di rujuk ke RSUP HAM

09 Februari 2015Pukul : 01.00 WIB

Pasien masuk Blue lineIGD RSUP HAM

09 Februari 2015Pukul : 04.00 WIB

Dilakukan kraniotomi dan evakuasi EDH

09 Februari 2015Pukul : 07.00 WIB

Pasien masuk di rawat di Pasca Bedah

34

Page 35: Lapkas Print Ya Ki

2. Pemeriksaan Fisik dan Penanganan di Blue Line IGD pukul 01.14

WIB

Gejala

Tanda

Kesimpulan Penanganan Hasil

A (airway)

Airway clear

Orofaringeal tube terpasang

Jalan nafas bebas -Pertahankan jalan nafas bebas

Jalan nafas bebas

B (breathing)

RR = 22 X/I, suara pernapasan : vesikuler

Jejas

Normal Oksigen dengan NRM 10 l/I k/p

RR = 22 x/Idijumpai perbaikan

C (circulation )

- CRT >2’

- t/v cukup

- TD = 140/60

- HR = 110 X/I

Respon Nyeri Pasang 2 IV line bore besar dan diberi cairan RSOL 1000 CC

TD = 140/80

HR = 110 X/I

D (Dissability)sens : Sopor

GCS: 9 (E2V2M5)

Pupil: anisokor

Penurunan Kesadaran Perbaiki delivery oxygen

keep A-B-C clear

Pasien masih dalam keadaan sopor

35

Page 36: Lapkas Print Ya Ki

Ki/ka: 4mm/2mm

RC : +/+

E (Exposure)Periksa seluruh tubuh pasien

Fraktur Femur dextra sinistra, Tibia dan Fibula sinistra

3. Secondary Survey

B1 (Breath): Airway : clear, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 22

x/mnt , SP: vesikuler, ST: -, Mallampati : tidak dilakukan pemeriksaan,

JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL (Gerakan Leher) bebas , Riwayat

asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-).

B2 (Blood) : Akral : H/M/K, TD : 140/80 mmHg, HR : 98 x/mnt, reguler,

t/v cukup/cukup. Temp : 36,8°C.

B3 (Brain) : Sens : Sopor, Pupil: unisokor Ø 4mm / 2mm, RC +/+, pusing

(-), kejang (-), mata kabur: sdn.

B4(Bladder) :UOP : BAK (+), volume 450 cc, kateter terpasang, warna :

kuning pekat.

B5 (Bowel) : Abdomen: Inspeksi: simetris, Palpasi: dinding abdomen

soepel, Perkusi: timpani, Auskultasi: suara usus (+)

B6 (Bone) : Fraktur (+) femur dextra dan sinistra, Tibia dan Fibula sinistra

Edema (+)

4. Laboratorium tanggal 09 Februari 2015

Darah Lengkap

Hb : 9,30 gr/dl

Leukosit : 21,84 103/mm3

36

Page 37: Lapkas Print Ya Ki

Ht : 28,0%

Trombosit : 317 103/mm3

Analisa Gas Darah

pH : 7,255

pCO2 : 13,3 mmHg

pO2 : 189,4 mmHg

HCO3 : 5,8 mmol/L

Total CO2 : 6,2 mmol/L

Kelebihan Basa: -19,4 mmol/L

Saturasi 02 : 99%

Faal Hemostasis

PT : 18,7 (13,50)

APTT : 36,0 (34,5)

TT : 19,9 (16,9)

Elektrolit

Natrium: 134 mEq/L

Kalium : 4,3 mEq/L

Klorida : 100 mEq/L

4. EKG

37

Page 38: Lapkas Print Ya Ki

Kesimpulan: Sinus Takikardi HR: 109x/i

5. CT-SCAN

38

Page 39: Lapkas Print Ya Ki

Kesimpulan: EDH o/t Temporoparietal sinistra 220cc

6. FOTO THORAKS

39

Page 40: Lapkas Print Ya Ki

Kesan: Cor dan Pulmo dbn

7. FOTO SCHAEDEL

7. FOTO CERVICAL

40

Page 41: Lapkas Print Ya Ki

9. FOTO FEMUR

10. FOTO GENU INFERIOR

41

Page 42: Lapkas Print Ya Ki

11. FOTO LUMBO SACRAL

12. FOTO PELVIC

42

Page 43: Lapkas Print Ya Ki

\

Monitoring IGD, 09 Februari 2015

Pukul RR HR BP T

01.30 24x/i 108x/i 140/80mmHg 36,5oC

02.00 24x/i 114x/i 140/80mmHg 36,5oC

Monitoring Pasien Pre s/d Durante Operasi

43

Page 44: Lapkas Print Ya Ki

Keadaan Pra Bedah : BB: 70 kg

TD: 140/70 mmHg

HR: 96 x/i

Hb : 9,3 mg/dL

Ht : 28,1 %

Jenis Pembedahan : Craniotomy evakuasi EDH

Status Fisik : ASA 2

Teknik Anestesi : GA-ETT

Infus perifer : Tangan Kanan & Kiri 18 G

Posisi : Terlentang

ETT : no 7,5

Posisi : Terlentang

Pre Medikasi : IV Fentanyl

Induksi : Fentanyl 100 mc

Propofol 80 mg

Roculax 50 mg

EBV : 70x70 = 4900cc

Monitoring Pasien Durante Operasi

44

Page 45: Lapkas Print Ya Ki

Pukul TD HR RR SpO2 Cairan

Infus

04.00 140/70 90 16 99% RSOL

500cc

04.15 130/70 90 16 99%

04.30 120/70 100 16 99%

04.45 130/70 100 16 99%

05.00 130/70 100 16 99% RSOL

500cc

05.15 120/70 100 16 99%

05.30 120/70 110 16 99% HES

500cc

WB

250cc

05.45 120/70 110 16 99%

06.00 140/80 110 16 99%

06.10 110/50 90 16 99% HES

500cc

WB

250cc

06.15 90/40 70 16 Diberikan

Epinephrine

1mg

06.30 Pasien Arrest dilakukan RJPO

Pasien kembali ROSCI

Lama pembiusan : 2 jam 30 menit

Lama pembedahan : 2 jam 15 menit

FOLLOW UP

45

Page 46: Lapkas Print Ya Ki

Tanggal 09-02-2015 10-02-2015 11-02-2015S : Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran Penurunan kesadaranO: Sens: Koma

GCS:3 (E1V1M1)Pupil: 5mm/3mmRC: (-/-)

KomaGCS:3 (E1V1M1)Pupil: 5mm/4mmRC: (-/-)

KomaGCS:3 (E1V1M1)Pupil: Dilatasi MaksimalRC: (-/-)

Airway Clear (terintubasi) Clear (terintubasi) Clear (terintubasi)RR 15 X/i 15 X/i 20 X/iSP/ST Vesikuler/- Vesikuler/- Vesikuler/-Akral H/M/K D/P/K D/P/KHR 120 X/I 118 X/I 110 X/iTD 110/70 71/44 110/60SaO2 99% 99% 99%UOP 130 cc/jam (Kateter

terpasang)200 cc/jam (Kateter terpasang)

50 cc/jam (Kateter terpasang)

Warna Kuning Kuning KuningA: Post Craniotomy Evakuasi

EDHPost Craniotomy Evakuasi EDH

Post Craniotomy Evakuasi EDH

P : -Head Up 30º-IVFD RSOL-Diet S4 1800 kkal + 50 gr Prot 20 gtt/i-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 3cc/jam-Rocuronium 4cc/jam-Norepinephrine 8 ml/50 cc NaCl 0,9%-Ceftriakson 1 gr/ 12 jam-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam- Inj. Vit K 1 gr/ 24 jam- Inj Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam

-Head Up 30º-IVFD RSOL 30 gtt/iDiet S4 1800 kkal + 50 gr Prot-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 4cc/jam-Rocuronium 4cc/jam- Norepinephrine 8 ml/50 cc NaCl 0,9%- Ceftriakson 1 gr/ 12 jam-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam- Inj. Vit K 1 gr/ 24 jam- Inj Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam-Inj PCT 1gr/8jam

-Head Up 30º-IVFD RSOL 20 gtt/i-Diet S4 1800 kkal + 50 gr Prot-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 3cc/jam- Norepinephrine 8 ml/ 50cc NaCl 0,9%-Inj. Dobutamin 250 gr 50cc NaCl 0,9%-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam

Lab : Hb : 4,90 gr/dl pH / pCO2 / pO2 /HCO3/

46

Page 47: Lapkas Print Ya Ki

Leukosit : 11,48 /mm3

Ht : 15,4%

PLT : 6.800/mm3

Ureum/Kreatinin :

20/1,53 mg/dL

Na/K/Cl :

139/5,6/109 mEq/L

KGD : 325 mg/dL

Asam laktat arteri: 11,1

mmoL/L

pH / pCO2 / pO2 /

HCO3/BE :

7,013/37,2/232,8/9.2/-19.7

Tot.CO2 : 10,4 mmol/L

SaO2 : 99,1 %

INR 4.05

09 Februari 2015(Pukul 18:12 WIB)

Hb : 10,30 gr/dl

Leukosit : 15,12 /mm3

Ht : 30,40%

PLT : 109000/mm3

PT : 17,2 (13,60)

BE :

7,32/32,3/82,0/15,4/ - 10,1

Tot.CO2 : 16,4 mmol/L

SaO2 : 90,0 %

KGD: 106,33 mg/dL

47

Page 48: Lapkas Print Ya Ki

APTT : 28,5 (34,5)

TT : 15,1 (17,0)

INR : 1,28

Fibrinogen: 311 mg/dL

D-dimer : 1900ng/ml

KGD : 128 mg/dL

Asam laktat arteri: 11,1

mmoL/L

48

Page 49: Lapkas Print Ya Ki

Pembahasan

Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan dura

mater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran

yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi ipsilateral dan

mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Pada pasien ini terjadi perdarahan

epidural pada regio temporo parietal sinistra. Dapat dilihat dari pemeriksaan fisik

tampak pupil anisokor dengan diameter kiri (4mm) > kanan (2mm) dengan refleks

cahaya positif menurun.

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa

terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),.

Patah pada daerah femur dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak

(1500-2000cc) yang mengakibatkan penderta jatuh dalam syok. Kerusakan

pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun.

COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Syok merupakan tampilan

klinis dari kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh supply oksigen ke jaringan

yang tidak adekuat. Syok dapat didiagnosis secara klinis dilihat dari hemodinamik

dan marker biokimiawi, diantaranya: (1). Hipotensi yang disertai dengan

takikardi. (2). Hipoperfusi jaringan yang ditandai dengan kulit dingin, basah dan

sianosis serta urin output < 0,5ml/kgBB/jam dan adanya perubahan status mental.

(3) Hiperlaktasemia.

Pada pasien ini terdapat perdarahan epidural dengan volume 220cc dan

fraktur pada kedua femur, dan tibia fibula sinistra yang menyebabkan perdarahan

1500-2000cc pada pasien. Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling

sering terjadi pada pasien trauma. Pasien digolongkan dalam perdarahan kelas 4

yang didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% dengan volume darah (>2000

ml) yang merupakan perdarahan yang mengancam jiwa. Pada status presens

pasien datang dengan tekanan darah 140/60mmHg, HR 110x/i, dilihat dari

monitoring pasien durante operasi pasien mengalami penurunan tekanan darah

secara gradual, takikardi, yang menunjukan pasien jatuh dalam keadaan syok

hipovolemi yang dimungkinkan karna adanya on going bleeding dari trauma

49

Page 50: Lapkas Print Ya Ki

pembuluh dari femur. Karna berkurangnya komponen sel darah merah yang

ditandai dengan Hb 9,31 mg/dl, mengakibatkan hipoperfusi jaringan sehingga

ATP tidak dapat dihasilkan secara metabolisme aerob, dan terbentuknya

metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat.

Asidosis laktat merupakan jenis asidosis yang paling sering ditemukan

pada pasien-pasien dengan penyakit kritis. Asidosis laktat merupakan keadaan

asidosis metabolik dengan anion gap yang luas, dikarakteristikkan dengan pH <

7,35,penurunan dari bikarbonat plasma,dan kadar laktat di plasma > 5mmol/L.

Hal ini dapat terjadi bila oksigenasi jaringan tidak adekuat memenuhi kebutuhan

energy sebagai akibat dari hipoperfusi atau hypoxia, menyebabkan terjadinya

metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat dalam jumlah berlebihan.

Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan adanya disregulasi metabolic,

hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin tertentu, ataupun abnormalitas

kongenital pada metabolisme karbohidrat.

Pada pasien ini terjadi asidosis metabolisme yang ditunjukkan dengan nilai

AGDA dengan pH 7,25, BE -19,4, pCO2 13,3 mmHg. Hal ini menunjukkan

oksigenasi jaringan tidak adekuat menghasilkan energi sebagai akibat dari

hipoperfusi sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang

menghasilkan asam laktat dalam jumlah banyak yang ditandai dengah nilai laktat

arteri 11,1 mmol/L.

Cardio-respiratory arrest merupakan penyebab lain yang mengakibatkan

asidemia berat yang dikarenakan oleh kombinasi asisdosis laktat dan juga asidosis

respiratori yang disebabkan oleh cardiac arrest dan respiratory arrest. Cardiac

arrest dapat menyebabkan asidosis dikarenakan penurunan perfusi ke jaringan,

dan mengakibatkan asidosis respiratori dikarenakan kegagalan respiratori. Pasien

ini mengalami cardiac arrest pada durante operasi yang menyebabkan pasien

mengalami asidosismetabolisme.

50