Lapkas Print Ya Ki
-
Upload
stefanie-theresia-tarigan -
Category
Documents
-
view
28 -
download
18
Transcript of Lapkas Print Ya Ki
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Kecelakaan lalu lintas merupakan
masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang.
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan
korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.Di spanyol (1992), insiden
Trauma kapitis 91 per 100.000 penduduk dan cause specific death rate 19,7 per
100.000 penduduk. Taiwan (1992), insiden trauma kapitis terjadi pada 180 per
100.000 penduduk, dan cause specific death rate 23 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan Data Depkes RI (2000-2007), bahwa proporsi kematian
karena Trauma kapitis di Indonesia menunjukkan penurunan dan peningkatan
yaitu pada tahun (2000) dengan Proporsi Mortality Rasio (PMR) sebesar 2,3%,
tahun (2002) PMR sebesar 6,7%, tahun (2004) PMR sebesar 2,3% dan tahun
(2006-2007) PMR sebesar 4,3%. Berdasarkan Data Kepolisian RI selama kurun
waktu 2003-2005, frekuensi kasus kecelakaan meningkat dengan CFR dari
(34,32%) menjadi (39,91%).
Data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala selama kurun
waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10 penyakit terbesar
yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan dengan CFR
(4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat
kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota Medan
dengan CFR ( 2,18%).
Multipel trauma adalah penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
pada negara berkembang. Penyebab umum pada multi trauma adalah kecelakaan
lalu lintas, terjatuh dari ketinggian dan luka peluru. Pada praktisnya multitrauma
sangat berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan multi trauma
1
membutuhkan penanganan dan optimasisasi yang penting. “Time is essence”
merupakan hal yang sangat berarti khususnya pada penanganan satu jam pertama
setelah terjadinya kecelakaan. Melihat hubungan kecelakaan lalu lintas dengan
kejadian trauma kepala yang memiliki keterkaitan yang erat, penulis tertarik untuk
mengangkat bagaiman managemen kegawatdaruratan pada pasien dengan epidural
hematoma dan fraktur ekstermitas.
1.2. Rumusan Masalah
Laporan ini membahas bagaimana managemen kegawatdaruratan pada
pasien dengan epidural hematoma dengan multipel trauma.
1.3. Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, klasifikasi, penatalaksanaan, komplikasi dan
managemen kegawat daruratan pada pasien dengan cidera kepala
(khususnya epidural hematoma) dengan multipel trauma.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
2. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Anastesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cedera Otak
Cedera otak traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya
tekanan mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,
sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak, gangguan
fungsional, atau gangguan psikososial.1 Berdasarkan akibat yang ditimbulkan
pada kepala, cedera diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau tahapan, yaitu
cedera primer (primary insult) dan cedera sekunder (secondary insult).
Cedera primer merupakan akibat langsung trauma yang menimbulkan
kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cedera sekunder merupakan
proses patologis yang dimulai pada saat cedera dengan presentasi klinis tertunda.
Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis,
seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa
saat setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer).6 Cedera otak sekunder
sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah.
2.1.1. Patofisiologi Cedera Otak
Patofisiologi cedera otak ditinjau dari saat kejadiannya terdiri atas cedera
otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera otak
sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui proses
patologis yang berlanjut. Cedera otak sendiri terbagi atas dua yaitu, cidera otak
primer dan cidera otak sekunder.
2.1.2. Cedera Otak PrimerCedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi.
3
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah. Cedera
parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan
cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan
intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.
Konstusio Cerebri
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh
trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat
menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler
pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat
berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio
serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid.
Laserasi
Luka laserasi merupakan luka robek, dapat disebabkan oleh benda tumpul
maupun benda runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda
tajam, lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek dapat terjadi apabila
kerusakan setebal kulit dan jaringan bawah kulit. Pada proses penyembuhan
biasanya dapat menimbulkan jaringan parut.
Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural merupakan perdarahan yang terjadi diantara tulang
kranium dan duramater. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma
kapitis.
Perdarahan ini terjadi akibat:
a. robeknya salah satu cabang arteria meningea media
b. robeknya sinus venosus duramater
c. robeknya arteri diplokia
4
sebagian besar perdarahan epidural adalah perdarahan arterial, meskipun mungkin
pula terjadi perdarahan campuran. Perdarahan epidural tersering terjadi pada
orang dewasa muda berusia antara 10-30 tahun, terutama pada pria.
Gejala-gejala:
a. adanya suatu lucid interval yaitu diantara waktu terjadinya trauma kapitis
dan waktu terjadinya koma
b. tekanan darah yang meningkat
c. pols yang semakin menurun frekwensinya
d. sindroma weber yaitu midriasis di sisi ipsilateral dan hemiplegi di sisi
kontralateral dari garis fraktur.
e. Papil edema setelah enam jam dari kejadian.
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid,
yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a. Perdarahan subdural akut:
1. Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah.
2. Keadaan kritis terlihat dengan melambatnya reaksi ipsilateral pupil.
3. Sering sekali dihubungkan antara perdarahan subdural akut dengan cedera
batang otak dan cedera otak besar.
b. Perdarahan subdural subakut:
1. Perdarahan subdural subakut biasanya terjadi antara 7 sampai 10 hari
setelah mengalami cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang
agak berat.
2. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi oleh karena tekanan serebral
yang terus menerus.
c. Perdarahan subdural kronis:
1. Dapat terjadi dikarenakan luka ringan.
2. Awalnya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
5
3. Beberapa minggu kemudian terjadi penumpukan di sekitar membran
vaskuler dan secara pelan-pelan meluas.
4. Gejala dari perdarahan subdural kronis mungkin tidak terjadi dalam
beberapa minggu bahkan beberapa bulan.
5. Pada proses perdarahan yang lama akan terjadi penurunan dari reaksi pupil
dan reaksi motorik.
Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subaraknoid merupakan perdarahan yang terjadi antara rongga
otak dan lapisan otak yaitu rongga yang dikenal dengan nama ruang subaraknoid
(Ausiello, 2007).
Pendarahan Intraventikuler
Perdarahan intraventrikular adalah terjadinya penumpukan darah di
ventrikel otak. Apabila terjadi perdarahan intraserebral, Perdarahan
intraventrikular akan selalu timbul.
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah terjadinya penumpukan darah di jaringan
otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada bagian otak yang sejajar dengan
daerah hantaman.
2.1.3 Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Glasgow Coma Scale
(GCS)
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah nilai (skor) yang diberikan kepada
pasien yang mengalami trauma kapitis. Bagian-bagian yang dinilai adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu
tabel Glasgow Coma Scale (GCS)
6
Tabel 2.1Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
a) Trauma Kepala Ringan
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Dengan
Glasgow Coma Scale > 12, tidak dijumpai kelainan dalam CT-scan, tidak ada lesi
7
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Cedera kepala ringan
merupakan trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan merupakan cedara otak karena tekanan
atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan yaitu cedera
kepala tertutup yang ditandai berupa hilangnya kesadaran sementara (Corwin,
2000).
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Glasgow Coma Scale 9 - 13, ditemukan lesi operatif dan
abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien
mungkin mengalami somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
yang sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang
mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).
c) Trauma Kepala Berat
Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan
cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer
seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder
yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada penderita
cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera
kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan
otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak
2.1.4 Etilogi Cedera Otak Sekunder
Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi
berturut-turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral.8 Klasifikasi
etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan
intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi,
hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi
perdarahan ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid.
8
Selain itu cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan
infeksi. Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema
vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial.
Gambar 2.1 Patofisiologi Cidera Kepala
9
2.2. Manajemen Kegawatdaruratan pada Pasien dengan Multipel Trauma
Dalam mencapai standar perbaikan yang baik pada pasien dengan trauma
diperlukan kontrol yang bekesinambungan dengan kualitas yang baik. Manajemen
kegawatdaruratan pada pasien dengan multipel trauma meliputi tiga bagian
diantaranya:
2.2.1 Manajemen pre-hospital
Pada penangananan kegawatdaruratan dibutuhkan sistematika yang
terstruktur dan cepat. Pasien dengan kegawatdaruratan membutuhkan waktu
jangkau ke rumah sakit dan memperoleh terapi definitif dalam 90 menit pertama,
sehingga diperlukan waktu tempuh dari awal panggilan emergency sampai ke
rumah sakit dalam waktu 60 menit.
Kegawatdaruratan anestesi, manajemen airway, dan ventilasi pada pasien
dengan multipel trauma.
Secara prioritas penanganan airway dan respirasi adalah hal utama yang
harus dilakukan untuk mendapatkan oksigenasi dan ventilasi yang baik pada
pasien. Pada pasien dengan trauma multipel dengan apnoe atau pernafasan
gasping (<6 x/i) harus dilakukan intubasi endotracheal dan ventilasi yang adekuat.
Berikut merupakan indikasi lain dilakukannya intubasi pada manajemen pre-
hospitalisasi:
- Hipoksia (SpO2 < 90%) setelah penanganan terhadap tension pneumothoraks
teratasi.
- Cedera kepala berat dengan Glasgow Comma Scale < 9.
- Trauma dengan hemodinamik tidak stabil (RRsys < 90 mmHg), dan
- Cedera dada berat dengan insufiensi pernafasan (RR > 29 x/i)
Sebelum memutuskan untuk melakukan intubasi perlu dilakukan
pertimbangan, apakah lokasi, waktu , dan keadaan mendukung untuk pelaksanaan
intubasi. Apabila tidak tampak kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai
dengan gangguan fungsi vital dan membahayakan keselamatan pasien dan
penolong, intubasi akan lebih membahayakan dari pada menolong pasien.
10
Resusitasi Volume
Pada pasien dengan trauma multipel berat, resusitasi volume dimulai
sebagai antisipasi apabila terdapat perdarahan yang tidak terkontrol yang dapat
mengganggu kestabilan hemodinamik, sehingga dapat segera teratasi.
Pada pasien dengan hipotensi dengan cidera kepala, resusitasi volume
harus dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tekanan darah normal. Pada pasien
normotensi tidak diperlukan resusitasi volume, tetapi jalur iv harus tetap
disediakan. Resusitasi volume pada trauma harus menggunakan kristaloid.
Pemberian isotonic saline tidak dianjurkan. Ringer malate, ringer asetat atau
ringer laktat lebih diutamakan.
Cidera Dada
Pemeriksaan klinis dengan inspeksi, palpasi, auskultasi paru dan jantung
harus dilakukan pada pasien dengan multipel trauma. Pasien yang dicurigai
dengan pneumotoraks dan/atau hemotoraks dapat tergambar dengan hilangnya
suara nafas pada salah satu sisi dinding dada.. Pneumothoraks didiagnosa dengan
auskultasi dimana terdapat ketinggalan nafas pada pasien dengan tekanan ventilasi
positif dan harus segera dikompresi.
Rekomendasi Umum
Setelah dilakukan manajemen pre-hospitalisasi maka harus dilakukan
pemilihan rumah sakit tujuan yang tepad dan cepat.
2.2.2. Manajemen kegawatdaruratan di IGD
Manajemen prehospitalisasi yang baik pada pasien dengan multiple trauma
akan memberikan hasil yang baik pada manajemen proses kegawatdaruratan di
IGD. Pasien dengan multipel trauma harus ditangani dengan tim emergency yang
tetap yang bekerja dengan rencana yang terstruktur dan memiliki kemampuan
khusus. Tim emergency harus aktif melihat kondisi pasien dengan keadaan
sebagai berikut:
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg setelah trauma
11
- Trauma pada leher dan tulang belakang
- Luka tembak pada leher dan tulang belakang
- GCS < 9 setelah trauma
- Gagal nafas maupun pasien yang mengalami gangguan nafas setelah
diintubasi setelah trauma
- Fraktur dengan lebih dari dua tulang proksimal
- Nyeri dada
- Fraktur Pelvis
- Cidera amputasi proksimal dari tangan/kaki
- Luka terbuka maupun luka terbakar 20% dan grade ≥ 2b
- Pasien dengan kecelakaan lalu lintas dengan frontal impact dengan
intrusi lebih dari 50 sampai 75 cm, perubahan kecepatan delta > 30
km/jam.
Penatlakansaan lanjutan pada multiple trauma dilakukan secara
pembedahan.
2.2.3. Manajemen pada fraktur ekstermitas
2.2.4. Definisi dan klasifikasi fraktur ekstermitas
Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya
gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang,
periosteum, dan jaringan yang ada disekitarnya. Fraktur ekstrimitas adalah fraktur
yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstrimitas atas (radius, ulna,
carpal) dan ekstrimitas bawah (pelvis, femur, tibia, fibula, metatarsal, dan lain-
lain). Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu:
a). Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen
tulang yang menembus kulit.
b) Tipe II: Ukuran luka antara 1 – 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa
cedera
jaringan lunak yang major
c) Tipe III: Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak
yang
12
signifikan. Tipe III juga dibagi menjadi beberapa sub tipe:
I. IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang
tanpa memerlukan flap coverage.
II. IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local
atau distant flap coverage.
III. IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang
membutuhkan perbaikan segera.
2.2.5. Diagnosis Pada Fraktur Ekstermitas
Untuk mendiagnosis fraktur, pertama-tama dapat dilakukan anamnesis
baik secara autoanamnesis maupun aloanamnesis. Informasi yang digali adalah
mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya.
Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan
ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula
pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih
mampu bergerak .
Setelah menggali secara dalam pada anamnesis dilakukan pemeriksaan
fisik lanjutan. Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu look, feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita
memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang
terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas
tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus
diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitas
dari proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari
cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan
ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga
yang harus dinilai adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM
(Range of Motion). Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa
sakit yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan.
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas
termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya
13
< 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus
mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris
Pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
mendukung diagnosa. Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur
diberlakukan rule of two yaitu:
a. Dua sudut pandang
b. Dua Sendi
c. Dua ekstrimitas
d. Dua waktu
2.2.6. Tatalakasana Kegawatdaruratan Pada Fraktur Ekstermitas
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik
anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah
a. Survey primer
b. Meminimalisir rasa nyeri
c. Mencegah cedera iskemia-reperfusi
d. Menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan
reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
A.Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure).
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
14
memerlukan pemasangan airway definitif.
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 –
4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.
4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti
fraktur adalah imobilisasi fraktur dan pemeriksaan radiologi.
1. Imobilisasi Fraktur
Tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah
fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan
15
ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang
benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan
mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup
sendi diatas dan di bawah fraktur.
Pada fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.
Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di
proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan
bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai
tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera lutut
pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas.
Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia
sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg
splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai
bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
Gambar 2.1. Alat immobilisasi ekstermitas bagian bawah (1). Traction Splint. (2).
Long Leg Splint.
2. Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian
dari survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan
ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta
16
mekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien
multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber
pendarahan yang belum dapat ditentukan.
B. Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate
dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki
oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang
pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas
yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
17
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan
adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arterial. Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan
mengingat cedera musculoskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf
dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien.
Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa
secara sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang
dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka
fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas.
Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah:
1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg
dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi
kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.
Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca
trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma. Reduksi, Reposisi dan
imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga pasien siap untuk
dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila
terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya
reposisi dilakukan di IGD dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur
ekstrimitas bawah di IGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle
18
fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk
manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah
tulang digunakansrategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri
akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis
pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit
secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana
pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia
pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai
respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari
ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan
menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah
dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan
benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena). Peripheral nerve
blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan
analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block.
1. Pendarahan Arteri Besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri
mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan
besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan
gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat,
menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila
kondisi hemodinamik pasien tidak stabil Jika dicurigai adanya trauma arteri besar
maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan
pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang
agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat pendarahan
yang masif. Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda
syok (nadi meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral dingin,
penurunan kesadaran) adalah :
19
1. Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu jalan nafas jika
perlu dan pemberian oksigen
2. Amankan Circulation dengan cara membebat lokasi pendarahan, pemasangan
akses vaskuler, dan terapi cairan awal. Untuk akses vaskuler, dipasang dua kateter
IV ukuran besar (minimum no 16). Tempat terbaik untuk memasang akses vena
adalah di vena lengan bawah dan di kubiti, tetapi pemasangan kateter vena sentral
juga diindikasikan apabila terdapat fasilitas. Untuk terapi cairan awal, bolus cairan
hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan
20 ml/kg untuk anak anak.
Untuk pemilihan cairan awal digunakan cairan kristaloid seperti RL atau NS.
Respon pasien kemudian diobservasi selama pemberian cairan awal.
Perhitungannya adalah pemberian 3 L kristaloid untuk mengganti 1 L darah.
Pemberian Koloid dapat dipertimbangkan apabila dengan pemberian kristaloid
masih belum cukup memperbaiki perfusi ke jaringan.
Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau beberapa kondisi
seperti : 1) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) 2) Produksi
urin dipantau dengan memasang kateter urin. Target dari produksi urin adalah 0,5
ml/kg/jam untuk dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak. 3) Keseimbangan asam
basa.
4.Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau rujukan untuk
menterapi secara definitif penyebab pendarahan tersebut.
3. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal
akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang
tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi
otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin.
Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain
yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha
20
dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada
crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti
gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk
tertimpa oleh benda yang berat.
Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat rendah (0 to
0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot skeletal telah rusak, kadar
myoglobin melebihi kemampuan pengikatan myoglobin dan akan mengganggu
filtrasi glomerulus, menimbulkan obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan
gagal ginjal.
Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan
pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan
fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas
karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering
terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal. Adapun komplikasinya
adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC
(Disseminated Intravaskular Coagulation). Diperlukan Manajemen
kegawatdaruratan yang tepat dan cepat dalam penanganan crush syndrome dan
pencegahan komplikasinya. Pada Instalasi Rawat Darurat yang dapat dilakukan
adalah :
1. Evaluasi ABC
2. Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan mengingat sering
terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5 liter per jam
dan targetnya adalah produksi urin 200 – 300 ml per jam. Pemberian cairan yang
mengandung potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena akan memperburuk
hiperkalemia dan acidosis. Investigasi mendalam terhadap trauma dan memonitor
keadaan pasien.
3. Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis
4. Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi definitif
untuk kausa seperti trauma.
21
4. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh
rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai
lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan
bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena
peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi
sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen
yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan.
Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah :
a. Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang
meregangkan otot bersangkutan
b. Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi atau
hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut
c. Asimetris pada daerah kompartemen
Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan
kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma
kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan
fisik. Tekanan intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan
penurunan aliran kapiler dan menimbulkan kerusakan otot dan saraf karena
anoksia. Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan
yang menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 – 60
menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi.
22
3.1. Definisi dan Klasifikasi Syok
Syok merupakan suatu sindroma klinis yang disebabkan berkurangnya
perfusi ke jaringan dan ini akan mengakibatkan ketidak seimbangan antara supplai
dan kebutuhan oksigen yang akhirnya terjadi disfungsi sel. Syok dapat
diklasifikasikan menjadi 4 bagian:
1 Syok distibutif ,dijumpai pada syok sepsis,syok anafilaksis.
2 Syok hipovolemik,dijumpai pada perdarahan,muntah,diare,keringat banyak
3 Syok kardiogenik,dijumpai pada infark miokard,aritmia jantung,kardiomiopati
4 Syok obstruktif,dijumpai pada emboli paru,tamponade jantung,pneumotoraks
3.2 Epidemiologi syok
Hampir 1/3 pasien yang masuk ke ruangan ICU adalah karena
syok.Menurut European Sepsis Occurence in Acutely Ill (SOAP) II trial penyebab
syok terbanyak adalah syok sepsis(62%) diikuti syok kardiogenik(17%) dan syok
hipovolemik(16%).Sedangkan case fatality rate syok sepsis 40-50%,syok
kardiogenik 59,4%.
3.3 Patofisiologi syok
Syok distributif terjadi akibat oleh distribusi abnormal sirkulasi perifer.
Syok obstruktif terjadi akibat obstruktif vaskular. Syok hipovolemik terjadi
akibat berkurangnya cairan intra vaskular baik darah maupun plasma. Syok
kardiogenik diakibatkan oleh penyakit yang menyebabkan kerusakan langsung
miokard ataupun menghambat kontraktilitas jantung.
3.4 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah atau plasma dalam pembuluh darah yang berkurang.
Etiologi syok hipovolemik
1. Perdarahan.
Perdarahan luka terbuka merupakan penyebab yang tampak jelas menyebakan
syok hipovolemik.Perdarahan juga dapat terjadi pada rongga dada seperti
23
hemotoraks,rongga abdomen akibat laserasi limpa,hati dan ginjal,ruptur
aorta,kehamilan ektopik yang terganggu begitu juga perdarahan jaringan disekitar
fraktur tulang.
2. Kehilangan plasma
Kehilangan plasma dapat disertai kehilangan protein maupun tanpa kehilangan
protein. Kehilangan plasma disertai kehilangan protein dijumpai pada syok yang
diakibatkan pankreatitis,peritonitis,luka bakar,crush syndroma .
Kehilangan plasma tanpa kehilangan protein dijumpai pada syok yang disebabkan
muntah muntah,diare,kehilangan cairan dari nasogastrik,fistula maupun
enterostomy.
3.5 Respon Fisiologis pada syok hipovolemik
1.Respon Neural
Volume darah /plasma yang berkurang menyebabkan terjadnya respon
neural dalam beberapa menit.Volume darah/plasma yang menurun mengakibatkan
venous return berkurang.Venous return yang berkurang mengakibatkan cardiac
output berkurang begitu juga tekanan darah akan menurun.Tekanan darah yang
menurun akan mengaktivas stretch dan chemoreseptor di arkus aorta ,sinus karotis
mengakibatkan respon iskhemik pada sentral nervous system. Pons dan medulla
akan mengirimkan impuls efferent lewat simpatis dan vagus untuk meningkatkan
denyut jantung,kontraksi jantung dan tonus perifer.Stress hormon seperti
adrenalin dan noradrenalin juga meningkat.
2.Respon Intrinsik
Respon intrinsik terjadi dalam beberapa jam.Tekanan kapiler yang
menurun menyebabkan perpindahan cairan dari interstisial ke intravaskular dalam
rangka mempertahankan volume vaskuler.Selain cairan protein terutama albumin
berpindah dari interstisia ke intra vaskuler.Kadar gula darah juga meningkat pada
keadaan syok yang dapat menyebabkan effek osmotik sehingga cairan juga masuk
24
ke intravaskuler.Cairan yang masuk berkisar 17 ml/1 mmol kenaikan kadar
glukosa.
3.Respon humoral
Respon humoral terjadi dalam beberapa hari.Hormon
antidiuretik(ADH),aldosteron,renin sekresinya meningkat untuk meningkatkan
retensi cairan di ginjal sehingga out put urine berkurang .Hal ini merupakan
mekanisme untuk meningkatkan volume intra vaskuler.
3.6 Gejala Klinis
Gejala klinis syok hipovolemik dapat kita temukan pada kulit
pucat,dingin,biru,basah.Dijumpai sesak nafas,frekuensi jantung meningkat.Bila
diukur urine output menurun,begitu juga dijumpai gangguan kesadaran berupa
disorientasi,agitasi maupun bingung.
Hipovolemia ringan(< 20 % volume darah) menimbulkan takikardia ringan
dengan sedikit gejala yang tampak.Pada hipovolemia sedang( 20-40 % volume
darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas,meski tekanan darah
bisa ditemukan normal pada posisi berbaring namun dapat ditemukan dengan jelas
hipotensi ortostatik dan takikardia.Pada hipovolemia berat(> 40 % volume darah)
takikardia semakin berat disertai sesak nafas,gangguan kesadaran berupa
agitasi ,bingung dan juga oligouria.
Tekanan darah sistol menurun< 90 mm Hg,atau mean arterial pressure < 60
mmHg.
3.7 Diagnosis
Diagnosis syok hipovolemik berdasarkan dijumpainya tanda
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemulan sumber perdarahan ataupun sumber
kehilangan cairan..Diagnosis akan sulit bila perdarahan tidak ditemukan dengan
jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal.Setelah perdarahan biasanya
hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan
kompensasi atau penggantian cairan dari luar.Jadi kadar hematokrit diawal tidak
25
menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan.Kehilangan plasma ditandai dengan
hemokonsentrasi.
Harus dibedakan syok hipovolemik dan syok kardiogenik walaupun keduanya
memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis karena
penanganannya berbeda.Ditemukannya tanda syok kardiogenik seperti ditensi
vena jugularin,ronki dan irama gallop keduanya dapat dibedakan.
3.8 Penatalaksanaan syok
Pertama dilakukan adalah assesment ABC dan penanganannya. Diberikan
resusitasi cairan dengan cepat melalui akses intravena atau pemasangan kateter
CVP.Cairan yang diberikan cairan isotonis atau ringer laktat dengan
menggunakan jarum infus terbesar.Pemberian cairan 2-4 l dalam 20-30 menit
diharapkan dapat mengembalikan hemodinamik.Bila hemodinamik tetap tidak
stabil berarti kehilangan darah atau cairan masih belum teratasi.Kehilangan darah
yang berlanjut dengan kadar hemoglobin< 10 g/dl perlu penambahan darah
dengan transfusi.Jenis darah tranfusi tergantung kebutuhan,bila whole blood
mengandung faktor pembekuan dan juga kebutuhan volume,tetapi bila darurat
maka dapat diberikan pack red cell dengan tipe darah yg sesuai.
26
4.1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan konsntrasi serum
bikarbonat (HCO3-), penurunan tekanan parsial arteri karbon dioksida (PaCO2)
dari ~ 1 mmHg untuk setiap 1 mmol / l penurunan konsentrasi serum HCO3-, dan
penurunan pH darah. Asidosis metabolisme sering terjadi bersamaan dengan
gangguan asam-basa, terutama pada penyakit kritis.
Asidosis metabolism dapat bersifat akut (berlangsung menit untuk hari
beberapa) dan kronis (berlangsung minggu untuk tahun), dimana penyebab yang
mendasari dan efek yang ditimbulkan dapat dibedakan. Asidosis metabolisme
akut paling sering disebabkan oleh produksi asam organik yang berlebihan,
seperti keton atau asam laktat, sedangkan asidosis metabolisme kronis biasanya
menandakan kehilangan bikarbonat dan/atau gangguan oksidasi pada ginjal.
Efek dari asidosis metabolisme akut menyebabkan menurunnya cardiac
output, dilatasi arteri disertai hipotensi, perubahan suplai oksigen, penurunan
produksi ATP, aritmia, dan gangguan respon imun. Efek dari asidosis
metabolisme kronis adalah meningkatnya degradasi otot dan gangguan
metabolisme tulang.
4.2. Patofisiologi Asidosis Metabolik
Pada keadaan normal, pH darah dipertahankan dalam rentang yang sempit
(7,35-7,45) agar sel tubuh dapat bekerja dengan baik. Ini dimungkinkan dengan
adanya sistem buffer yang dibantu mekanisme kompensasi dan koreksi fisiologis
oleh paru-paru dan ginjal. Bila pH darah meningkat dari normal disebut alkalemia
dan sebaliknya pH darah menurun disebut asidemia. Sedangkan asidosis atau
alkalosis merupakan proses yang menyebabkan perubahan kadar asam atau basa
dalam darah. Demikian juga, pada asidosis/alkalosis tidak selalu berarti ada
perubahan pH darah. Misalnya, pada asidosis metabolik tidak selalu ada asidemia.
Karena penumpukan asam dapat dinetralisir oleh sistem buffer yang dibantu
mekanisme kompensasi dan koreksi oleh paru - paru dan ginjal.
Dari persamaan Henderson-Hasselbalch: pH = pK + logHCO-3, terlihat pH
dipengaruhi oleh rasio kadar bikarbonat (HCO3-) dan asam karbonat darah
27
(H2CO3) sedangkan kadar asam karbonat darah dipengaruhi oleh tekanan parsial
CO2 darah (pCO2). Bila rasio ini berubah, pH akan naik atau turun. Penurunan pH
darah di bawah normal yang disebabkan penurunan kadar bikarbonat darah
disebut asidosis metabolik. Sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah, akan
dijumpai pernafasan cepat dan dalam (pernafasan Kussmaul) sehingga tekanan
parsial CO2 darah menurun (hipokarbia). Di samping itu ginjal akan membentuk
bikarbonat baru (asidifikasi urine) sehingga pH urine akan asam. Penurunan kadar
bikarbonat darah bisa disebabkan hilangnya bikarbonat dari dalam tubuh (keluar
melalui saluran cerna atau ginjal) ataupun disebabkan penumpukan asam-asam
organik, -baik endogen maupun eksogen-, yang menetralisir bikarbonat.
Berdasarkan hukum elektroneutral, jumlah kation harus sama dengan
jumlah anion dalam satu larutan. Pada asidosis metabolik, di mana terjadi
penurunan kadar bikarbonat plasma akibat penumpukan asam organik dalam
plasma, dijumpai kadar klorida darah normal. Keadaan ini disebut asidosis
metabolik dengan anion gap (kesenjangan anion) meningkat atau asidosis
metabolik normokloremia. Sebaliknya bila asidosis metabolik terjadi karena
penurunan kadar bikarbonat plasma akibat hilangnya bikarbonat dari tubuh, akan
dijumpai peningkatan kadar klorida darah. Ini disebut dengan asidosis metabolik
dengan anion gap (kesenjangan anion) normal ataupun asidosis metabolik
hiperkloremia.
Anion gap (kesenjangan anion) dihitung dengan cara mengurangi kadar
natrium darah dengan jumlah bikarbonat dan klorida darah atau anion gap = Na+-
(HCO3N + Cl N ). Normalnya antara 8–16 mEq/L. Karena itu pemeriksaan kadar
klorida darah, di samping kadar bikarbonat dan natrium darah diperlukan untuk
membedakan kedua jenis asidosis metabolik tersebut di atas.
4.3. KLASIFIKASI ASIDOSIS METABOLIK
4.3.1 Asidosis dengan Peningkatan Anion Gap
Asidosis dengan peningkatan anion gap menunjukkan akumulasi
dari asam organik dalam plasma yang menyebabkan terjadinya
28
penurunan bikarbonat dalam plasma, seperti pada asidosis laktat,
ketoasidosis, bahan-bahan toksik, dan asidosis uremia.
4.3.2 Asidosis dengan Anion Gap Normal
Asidosis dengan anion gap normal disebabkan karena penurunan
bikarbonat plasma akibat hilangnya bikarbonat dari tubuh, dan
dijumpai peningkatan kadar klorida darah. Hai ini dapat disebabkan
oleh terapi infus, kehilangan basa dari saluran pencernaan, asidosis
tubulus ginjal, ureteric diversion.
4.4. GAMBARAN KLINIS ASIDOSIS METABOLIK
Tanda klinis biasanya memperlihatkan tanda-tanda hipoperfusi jaringan.
Hipotensi berat, oligouria atau anuria, perubahan status mental, dan takipnu
selalu dijumpai pada asidosis metabolik yang disebabkan oleh hipokesmia
jaringan. Manifestasi lanjut yang terjadi adalah shock, dan hal ini menjadi
indikator keadaan hipoperfusi.
Manifestasi lain yang ditemukan adalah tipe pernafasaan kussmaul yang
menunjukkan suatu keadaan asidosis yang mengakibatkan terjadinya
kompensasi pernafasan. Oleh karena sepsis sering didapati pada sebagian besar
kasus asidosis laktat, demam (>38,5⁰C) atau hipotermia (35⁰C) menjadi gejala
tambahan yang memperlihatkan kemungkinan sudah terjadinya sepsis.
29
5.1 ASIDOSIS LAKTAT
Asidosis laktat merupakan jenis asidosis yang paling sering ditemukan pada
pasien-pasien dengan penyakit kritis. Asidosis laktat merupakan keadaan asidosis
metabolik dengan anion gap yang luas, dikarakteristikkan dengan pH < 7,35 dan
kadar laktat di plasma > 5mmol/L. Hal ini dapat terjadi bila oksigenasi jaringan
tidak adekuat memenuhi kebutuhan energi sebagai akibat dari hipoperfusi atau
hipoksia, menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob dan menghasilkan asam
laktat dalam jumlah berlebihan. Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan
adanya disregulasi metabolik, hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin tertentu,
ataupun abnormalitas kongenital pada metabolisme karbohidrat.
5.2. ETIOLOGI ASIDOSIS LAKTAT
Asidosis laktat disebabkan oleh produksi berlebihan atau kurangnya
penggunaan laktat atau keduanya terjadi secara bersamaan, yang dapat
diakibatkan oleh:
1. Olahraga berat
Derajat dari peningkatan konsentrasi asam laktat tergantung dari tipe dan
beratnya olahraga. Kadar laktat turun ke normal segera setelah
penghentian olahraga yang disebabkan oleh metabolisme yang cepat dari
asam laktat atau terdifusi ke cairan tubuh. Hal ini berkaitan dengan
penurunan konsentrasi bikarbonat. Karena asidosis yang terjadi tidak
begitu jelas dan hanya bersifat sementara, respon sekunder dari
hiperventilasi tidak berkembang dan apabila derajat asidosis menjadi
tinggi, terapi bikarbonat tidak diperlukan.
2. Hipoksia jaringan
Hipoksia jaringan merupakan penyebab utama dari asidosis laktat pada
pasien dengan penyakit kritis. Hipoksia yang berkepanjangan akan
mengarah kepada produksi yang berlebihan dan kurangnya penggunaan
asam laktat yang berujung kepada asidosis laktat. Pasien dengan hipotensi
yang dikarenakan sepsis, hipovolemik atau shock kardiogenik, dapat
30
mengalami asidosis laktat dikarenakan kurangnya perfusi otot skeletal dan
produksi berlebihan dari asam laktat.
3. Cardio-respiratory arrest
Cardio-respiratory arrest merupakan penyebab lain yang dapat
menyebabkan academia berat yang dikarenakan kombinasi dari asidosis
laktat dan asidosis respiratory. Pada cardiac arrest, terjadi asidosis
dikarenakan penurunan perfusi jaringan dan asidosis respiratory
dikarenakan kegagalan pernapasan.
4. Keracunan karbon monoksida
Keracunan karbon dioksida akan memproduksi laktat yang menyebabkan
asidosis yang dikarenakan kegagalan mekanisme kompensasi dari
peningkatan perfusi jaringan. Karbon monoksida terikat dengan
hemoglobin dengan afinitas 40 kali lebih kuat dari oksigen, yang
mengarah ke hipoksia jaringan dan asidosis laktat.
5. Obat-obatan dan toksik
Beberapa obat-obatan dan toksisk juga menyebabkan peningkatan
produksi laktat. Alkohol merupakan penyebab tersering dari asidosis laktat
dimana oksidasi etanol akan meningkatkan konfersi piruvat menjadi laktat.
Penggunaan metformin yang berkepanjangan menyebabkan peningkatan
glikolisis pada jaringan peripheral, menurunkan oksidasi piruvat dan
menurunkan kemampuan hepar untuk menggunakan laktat.
Fruktosa, yang sering digunakan pada cairan intravena dan total nutrisi
parenteral, yang menyebabkan defisiensi dari thiamin dan akumulasi
laktat.
6. Sirosis terminal atau kegagalan hepato-sellular
Terjadinya asidosis metabolisme pada sirosis terminal dikarenakan
ketidakmampuan penggunaan laktat dan gangguan metabolisme
7. Keganasan
Leukemia dapat menyebabkan asidosis dikarenakan pembentukan laktat
dalam jumlah yang besar oleh sel tumor dan dapat diatasi secara gradual
setelah terjadinya keberhasilan pengobatan.
31
8. Defisiensi enzim kongenital
Defisiensi dari enzim yang berperan dalam gluconeogenesis (glucose-6-
fosfat dehydrogenase, fruktosa 1, 6 piruvat karboksilase), oksidasi piruvat
(piruvat dehydrogenase) dan enzim fosforilasi oksidatif dapat
menyebabkan terjadinya asidosis laktat kongenital.
5.3. KLASIFIKASI ASIDOSIS LAKTAT
Pada tahun 1976, Cohen dan Woods mengklasifikasikan asidosis laktat
menjadi 2 tipe, asidosis laktat tipe A, dan asidosis laktat tipe B.
5.3.1. Asidosis laktat tipe A
Terjadi pada kondisi hipoperfusi dan hipoksia. Hipoksia jaringan dapat
terlihat pada keracunan karbon monoksida, astma berat, anemia berat, sedangkan
hipoperfusi dapat terlihat pada kondisi shock (kardiogenik, hemoragik, septik,
iskemia regional).
5.3.2. Asidosis Laktat Tipe B
Terjadi pada saat tidak ada bukti klinis dari hipoperfusi, dan terbagi dalam tiga
subtype:
i. B1 berhubungan dengan penyakit yang mendasari, seperti diabetes
mellitus, sirosis hepatis, septicemia, keganasan, post
cardiopulmonary bypass, gagal ginjal, defsiensi thiamie, thyroid
strom, dsb.
ii. B2 berhubungan dengan metabolisme obat-obatan dan racun,
seperti acetaminofen, biguanide, kokain, dietil ether, epinephrine,
norepinephrine, ethanol, ethylene glycol, isoniazid, lactulose,
methanol, nalidixic, dsb.
iii. B3 berhubungan dengan kelainan metabolisme sejak lahir
(kongenital asidosis laktat), seperti defisiensi G6PD, devisiensi
piruvat karboksilase, asiduria organic, dsb.
32
5.4 GEJALA KLINIS ASIDOSIS LAKTAT
Gejala klinis dari asidosis laktat tidak spesifik dan tergantung dari
penyakit/gangguan yang mendasari. Asidosis laktat harus dicurigai pada
setiap pasien penyakit kirtis yang mengalami hipovoum, hipoksia, dan
pada pasien dengan shock sepsis atau kardiogenik.
Tanda klinis asidosis laktat berupa hipoperfusi jaringan (vasokonstriksi
perifer), hipotensi, oligouria/anuria, dan perubahan tingkat kesadaran.
5.5 DIAGNOSIS ASIDOSIS LAKTAT
Tanda utama dalam mendiagnosis asidosis laktat berupa:
- Peningkatan anion gap asidosis metabolic
- Peningkatan level serum asam laktat (> 5 mmol/L)
- Asidemia yang signifikan (pH arteri < 7.35)
- Penurunan kadar bikarbonat dalam plasma
5.6.1 PENATALAKSANAAN ASIDOSIS LAKTAT
Pengobatan yang terpenting dalam mengatasi asidosis laktat adalah
memperbaiki penyebab yang mendasari.
Pada shock hipovolemik atau kardiogenik, pengembalian perfusi dan
oksigenasi jaringan yang adekuat dapat memperbaiki asidosis laktat. Pada
shok sepsis, pengobatan antibiotik, drainase/debridement akan membantu
dalam perbaikan asidosis laktat. Pada status astmatikus, pemberian dosis
tinggi beta 2 agonis dapat menurunkan level laktat. Pada shock,
vasokonstriktor diberikan hanya setelah volume telah terganti dan
tercukupi.
Pada beberapa kasus, terapi alkali dipergunakan dalam memperbaiki
asidosis laktat dengan mempergunakan bikarbonat.
33
LAPORAN KASUS
1. Anamnesis
KU: Penurunan Kesadaran
Telaah: Hal ini dialami pasien sejak ± 7 jam SMRS setelah os mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien ditabrak oleh mobil dari arah depan, posisi
awal terjatuh tidak jelas dan kedua paha terlinggas mobil. Riwayat
terbangun kembali setelah tidak sadarkan diri (-). Muntah (+) Kejang (-).
Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.
RPT : Tidak Jelas
RPO : -
Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)
08 Februari 2015Pukul : 17.00 WIBPasien mengalami
kecelakaan lalu lintas
08 Februari 2015Pukul : 19.00 WIBPasien dibawa ke
RS.Dr. Pirngadi Medan
Pasien diberikan:IVFD RSOL 20gtt/iInj. Ranitidin 1 ampInj. Ketorolac 1 ampPemasangan NGT
Pemasangan Kateter
Pasien kemudian di rujuk ke RSUP HAM
09 Februari 2015Pukul : 01.00 WIB
Pasien masuk Blue lineIGD RSUP HAM
09 Februari 2015Pukul : 04.00 WIB
Dilakukan kraniotomi dan evakuasi EDH
09 Februari 2015Pukul : 07.00 WIB
Pasien masuk di rawat di Pasca Bedah
34
2. Pemeriksaan Fisik dan Penanganan di Blue Line IGD pukul 01.14
WIB
Gejala
Tanda
Kesimpulan Penanganan Hasil
A (airway)
Airway clear
Orofaringeal tube terpasang
Jalan nafas bebas -Pertahankan jalan nafas bebas
Jalan nafas bebas
B (breathing)
RR = 22 X/I, suara pernapasan : vesikuler
Jejas
Normal Oksigen dengan NRM 10 l/I k/p
RR = 22 x/Idijumpai perbaikan
C (circulation )
- CRT >2’
- t/v cukup
- TD = 140/60
- HR = 110 X/I
Respon Nyeri Pasang 2 IV line bore besar dan diberi cairan RSOL 1000 CC
TD = 140/80
HR = 110 X/I
D (Dissability)sens : Sopor
GCS: 9 (E2V2M5)
Pupil: anisokor
Penurunan Kesadaran Perbaiki delivery oxygen
keep A-B-C clear
Pasien masih dalam keadaan sopor
35
Ki/ka: 4mm/2mm
RC : +/+
E (Exposure)Periksa seluruh tubuh pasien
Fraktur Femur dextra sinistra, Tibia dan Fibula sinistra
3. Secondary Survey
B1 (Breath): Airway : clear, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 22
x/mnt , SP: vesikuler, ST: -, Mallampati : tidak dilakukan pemeriksaan,
JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL (Gerakan Leher) bebas , Riwayat
asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-).
B2 (Blood) : Akral : H/M/K, TD : 140/80 mmHg, HR : 98 x/mnt, reguler,
t/v cukup/cukup. Temp : 36,8°C.
B3 (Brain) : Sens : Sopor, Pupil: unisokor Ø 4mm / 2mm, RC +/+, pusing
(-), kejang (-), mata kabur: sdn.
B4(Bladder) :UOP : BAK (+), volume 450 cc, kateter terpasang, warna :
kuning pekat.
B5 (Bowel) : Abdomen: Inspeksi: simetris, Palpasi: dinding abdomen
soepel, Perkusi: timpani, Auskultasi: suara usus (+)
B6 (Bone) : Fraktur (+) femur dextra dan sinistra, Tibia dan Fibula sinistra
Edema (+)
4. Laboratorium tanggal 09 Februari 2015
Darah Lengkap
Hb : 9,30 gr/dl
Leukosit : 21,84 103/mm3
36
Ht : 28,0%
Trombosit : 317 103/mm3
Analisa Gas Darah
pH : 7,255
pCO2 : 13,3 mmHg
pO2 : 189,4 mmHg
HCO3 : 5,8 mmol/L
Total CO2 : 6,2 mmol/L
Kelebihan Basa: -19,4 mmol/L
Saturasi 02 : 99%
Faal Hemostasis
PT : 18,7 (13,50)
APTT : 36,0 (34,5)
TT : 19,9 (16,9)
Elektrolit
Natrium: 134 mEq/L
Kalium : 4,3 mEq/L
Klorida : 100 mEq/L
4. EKG
37
Kesimpulan: Sinus Takikardi HR: 109x/i
5. CT-SCAN
38
Kesimpulan: EDH o/t Temporoparietal sinistra 220cc
6. FOTO THORAKS
39
Kesan: Cor dan Pulmo dbn
7. FOTO SCHAEDEL
7. FOTO CERVICAL
40
9. FOTO FEMUR
10. FOTO GENU INFERIOR
41
11. FOTO LUMBO SACRAL
12. FOTO PELVIC
42
\
Monitoring IGD, 09 Februari 2015
Pukul RR HR BP T
01.30 24x/i 108x/i 140/80mmHg 36,5oC
02.00 24x/i 114x/i 140/80mmHg 36,5oC
Monitoring Pasien Pre s/d Durante Operasi
43
Keadaan Pra Bedah : BB: 70 kg
TD: 140/70 mmHg
HR: 96 x/i
Hb : 9,3 mg/dL
Ht : 28,1 %
Jenis Pembedahan : Craniotomy evakuasi EDH
Status Fisik : ASA 2
Teknik Anestesi : GA-ETT
Infus perifer : Tangan Kanan & Kiri 18 G
Posisi : Terlentang
ETT : no 7,5
Posisi : Terlentang
Pre Medikasi : IV Fentanyl
Induksi : Fentanyl 100 mc
Propofol 80 mg
Roculax 50 mg
EBV : 70x70 = 4900cc
Monitoring Pasien Durante Operasi
44
Pukul TD HR RR SpO2 Cairan
Infus
04.00 140/70 90 16 99% RSOL
500cc
04.15 130/70 90 16 99%
04.30 120/70 100 16 99%
04.45 130/70 100 16 99%
05.00 130/70 100 16 99% RSOL
500cc
05.15 120/70 100 16 99%
05.30 120/70 110 16 99% HES
500cc
WB
250cc
05.45 120/70 110 16 99%
06.00 140/80 110 16 99%
06.10 110/50 90 16 99% HES
500cc
WB
250cc
06.15 90/40 70 16 Diberikan
Epinephrine
1mg
06.30 Pasien Arrest dilakukan RJPO
Pasien kembali ROSCI
Lama pembiusan : 2 jam 30 menit
Lama pembedahan : 2 jam 15 menit
FOLLOW UP
45
Tanggal 09-02-2015 10-02-2015 11-02-2015S : Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran Penurunan kesadaranO: Sens: Koma
GCS:3 (E1V1M1)Pupil: 5mm/3mmRC: (-/-)
KomaGCS:3 (E1V1M1)Pupil: 5mm/4mmRC: (-/-)
KomaGCS:3 (E1V1M1)Pupil: Dilatasi MaksimalRC: (-/-)
Airway Clear (terintubasi) Clear (terintubasi) Clear (terintubasi)RR 15 X/i 15 X/i 20 X/iSP/ST Vesikuler/- Vesikuler/- Vesikuler/-Akral H/M/K D/P/K D/P/KHR 120 X/I 118 X/I 110 X/iTD 110/70 71/44 110/60SaO2 99% 99% 99%UOP 130 cc/jam (Kateter
terpasang)200 cc/jam (Kateter terpasang)
50 cc/jam (Kateter terpasang)
Warna Kuning Kuning KuningA: Post Craniotomy Evakuasi
EDHPost Craniotomy Evakuasi EDH
Post Craniotomy Evakuasi EDH
P : -Head Up 30º-IVFD RSOL-Diet S4 1800 kkal + 50 gr Prot 20 gtt/i-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 3cc/jam-Rocuronium 4cc/jam-Norepinephrine 8 ml/50 cc NaCl 0,9%-Ceftriakson 1 gr/ 12 jam-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam- Inj. Vit K 1 gr/ 24 jam- Inj Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam
-Head Up 30º-IVFD RSOL 30 gtt/iDiet S4 1800 kkal + 50 gr Prot-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 4cc/jam-Rocuronium 4cc/jam- Norepinephrine 8 ml/50 cc NaCl 0,9%- Ceftriakson 1 gr/ 12 jam-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam- Inj. Vit K 1 gr/ 24 jam- Inj Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam-Inj PCT 1gr/8jam
-Head Up 30º-IVFD RSOL 20 gtt/i-Diet S4 1800 kkal + 50 gr Prot-MO 10 mg + Midazolam 15 mg/10 cc NaCl 0,9% : 3cc/jam- Norepinephrine 8 ml/ 50cc NaCl 0,9%-Inj. Dobutamin 250 gr 50cc NaCl 0,9%-Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Lab : Hb : 4,90 gr/dl pH / pCO2 / pO2 /HCO3/
46
Leukosit : 11,48 /mm3
Ht : 15,4%
PLT : 6.800/mm3
Ureum/Kreatinin :
20/1,53 mg/dL
Na/K/Cl :
139/5,6/109 mEq/L
KGD : 325 mg/dL
Asam laktat arteri: 11,1
mmoL/L
pH / pCO2 / pO2 /
HCO3/BE :
7,013/37,2/232,8/9.2/-19.7
Tot.CO2 : 10,4 mmol/L
SaO2 : 99,1 %
INR 4.05
09 Februari 2015(Pukul 18:12 WIB)
Hb : 10,30 gr/dl
Leukosit : 15,12 /mm3
Ht : 30,40%
PLT : 109000/mm3
PT : 17,2 (13,60)
BE :
7,32/32,3/82,0/15,4/ - 10,1
Tot.CO2 : 16,4 mmol/L
SaO2 : 90,0 %
KGD: 106,33 mg/dL
47
APTT : 28,5 (34,5)
TT : 15,1 (17,0)
INR : 1,28
Fibrinogen: 311 mg/dL
D-dimer : 1900ng/ml
KGD : 128 mg/dL
Asam laktat arteri: 11,1
mmoL/L
48
Pembahasan
Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan dura
mater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran
yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi ipsilateral dan
mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Pada pasien ini terjadi perdarahan
epidural pada regio temporo parietal sinistra. Dapat dilihat dari pemeriksaan fisik
tampak pupil anisokor dengan diameter kiri (4mm) > kanan (2mm) dengan refleks
cahaya positif menurun.
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),.
Patah pada daerah femur dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(1500-2000cc) yang mengakibatkan penderta jatuh dalam syok. Kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun.
COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Syok merupakan tampilan
klinis dari kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh supply oksigen ke jaringan
yang tidak adekuat. Syok dapat didiagnosis secara klinis dilihat dari hemodinamik
dan marker biokimiawi, diantaranya: (1). Hipotensi yang disertai dengan
takikardi. (2). Hipoperfusi jaringan yang ditandai dengan kulit dingin, basah dan
sianosis serta urin output < 0,5ml/kgBB/jam dan adanya perubahan status mental.
(3) Hiperlaktasemia.
Pada pasien ini terdapat perdarahan epidural dengan volume 220cc dan
fraktur pada kedua femur, dan tibia fibula sinistra yang menyebabkan perdarahan
1500-2000cc pada pasien. Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling
sering terjadi pada pasien trauma. Pasien digolongkan dalam perdarahan kelas 4
yang didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% dengan volume darah (>2000
ml) yang merupakan perdarahan yang mengancam jiwa. Pada status presens
pasien datang dengan tekanan darah 140/60mmHg, HR 110x/i, dilihat dari
monitoring pasien durante operasi pasien mengalami penurunan tekanan darah
secara gradual, takikardi, yang menunjukan pasien jatuh dalam keadaan syok
hipovolemi yang dimungkinkan karna adanya on going bleeding dari trauma
49
pembuluh dari femur. Karna berkurangnya komponen sel darah merah yang
ditandai dengan Hb 9,31 mg/dl, mengakibatkan hipoperfusi jaringan sehingga
ATP tidak dapat dihasilkan secara metabolisme aerob, dan terbentuknya
metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat.
Asidosis laktat merupakan jenis asidosis yang paling sering ditemukan
pada pasien-pasien dengan penyakit kritis. Asidosis laktat merupakan keadaan
asidosis metabolik dengan anion gap yang luas, dikarakteristikkan dengan pH <
7,35,penurunan dari bikarbonat plasma,dan kadar laktat di plasma > 5mmol/L.
Hal ini dapat terjadi bila oksigenasi jaringan tidak adekuat memenuhi kebutuhan
energy sebagai akibat dari hipoperfusi atau hypoxia, menyebabkan terjadinya
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat dalam jumlah berlebihan.
Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan adanya disregulasi metabolic,
hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin tertentu, ataupun abnormalitas
kongenital pada metabolisme karbohidrat.
Pada pasien ini terjadi asidosis metabolisme yang ditunjukkan dengan nilai
AGDA dengan pH 7,25, BE -19,4, pCO2 13,3 mmHg. Hal ini menunjukkan
oksigenasi jaringan tidak adekuat menghasilkan energi sebagai akibat dari
hipoperfusi sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang
menghasilkan asam laktat dalam jumlah banyak yang ditandai dengah nilai laktat
arteri 11,1 mmol/L.
Cardio-respiratory arrest merupakan penyebab lain yang mengakibatkan
asidemia berat yang dikarenakan oleh kombinasi asisdosis laktat dan juga asidosis
respiratori yang disebabkan oleh cardiac arrest dan respiratory arrest. Cardiac
arrest dapat menyebabkan asidosis dikarenakan penurunan perfusi ke jaringan,
dan mengakibatkan asidosis respiratori dikarenakan kegagalan respiratori. Pasien
ini mengalami cardiac arrest pada durante operasi yang menyebabkan pasien
mengalami asidosismetabolisme.
50