Lapkas Eko

25
BAB I PENDAHULUAN Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala- gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen karena sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius atas, kemudian ke organ lain kecuaili susunan saraf pusat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau- pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih, 2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan

description

d

Transcript of Lapkas Eko

Page 1: Lapkas Eko

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang menahun

dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi,

kulit dan jaringan tubuh lainnya. Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni

kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut

juga Morbus Hansen karena sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu

Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut

Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang bersifat

intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan mukosa

traktus respiratorius atas, kemudian ke organ lain kecuaili susunan saraf pusat.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain sampai

tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang

telah terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia

termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih, 2003).

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,

cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan

kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia (Linuwih, 2003).

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(Ditjen PP & PL) telah menetapkan 33 provinsi di indonesia kedalam dua

kelompok beban kusta yaitu kelompok dengan beban kusta tinggi (high endemic)

dan beban kusta rendah (low endemic). Jika dilihat dari data di atas, terjadi

perbedaan distribusi penyebaran penyakit ini. Perbedan distribusi tersebut

diperkuat dengan data dari Ditjen PP&PL, Kemenkes RI tahun 2011 mengenai

jumlah penderita kusta (baik tipe Multi Basiler, maupun tipe Pausi Basiler)

dengan jumlah penderita terbanyak pada Provinsi Jawa Timur sebanyak 4653

jiwa.

Page 2: Lapkas Eko

BAB II

STATUS PASIEN DERMATOLOGI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Sutinah

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : ± 42 tahun

Agama : Islam

Suku : Madura

Pekerjaan : tukang cuci pakaian

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 12.00 WIB

Keluhan utama: ada bercak putih dan benjolan di seluruh badan disertai

rasa panas.

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien menyatakan bercak putih pada kulitnya sudah timbul sejak kurang

lebih 4 bulan yang lalu. Benjolan-benjolan yang ada muncul kira-kira 1

bulan yang lalu dan terasa panas. Selain itu pasien juga merasa nafsu makan

menurun, lemah, lesu, kesulitan dalam meluruskan jari kelingking, kesulitan

berjalan dan kaki terasa berat.

Riwayat penyakit dahulu :

Selain keluhan yang timbul sejak 4 bulan yang lalu, pasien tidak pernah

mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien menderita penyakit yang sama dengan

pasien.

Page 3: Lapkas Eko

Riwayat kebiasaan/lingkungan :

Pasien mandi menggunakan air kolam/sumur. Pasien biasanya membuang

sampah (bungkus makanan dan lain-lain) tidak pada tempatnya.

Riwayat sosial ekonomi :

Pasien tinggal bersama kedua adiknya. Sebelum sakit, pasien bekerja

sebagai tukang cuci pakaian di sekitar rumahnya, begitu juga adik

perempuannya, sementara adik laki-lakinya bekerja sebagai supir angkot.

Menu makanan sehari-hari adalah sayur dan ikan.

Resume anamnesis :

Pasien wanita, 42 tahun dengan keluhan ada bercak putih dan benjolan di

seluruh badan disertai rasa panas. Pasien menyatakan bercak putih pada

kulitnya sudah timbul sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Benjolan-

benjolan yang ada muncul kira-kira 1 bulan yang lalu dan terasa panas.

Selain itu pasien juga merasa nafsu makan menurun, lemah, lesu, kesulitan

dalam berjalan dan kaki terasa berat. Dahulu pasien tidak pernah mengalami

penyakit yang sama. Keluarga pasien juga tidak ada menderita penyakit

yang sama.

III. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI

Lokasi dan Ujud Kelainan Kulit :

1. Makula hipopigmentasi yang difus pada seluruh tubuh.

2. Nodul eritem ukuran lentikuler pada bagian wajah, punggung, tangan.

Page 4: Lapkas Eko

IV. DIAGNOSIS BANDING

1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)

2. Tinea versikolor

3. Anemia

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan anestesi dengan kapas/jarum dan air panas

2. Pemeriksaan bakteriologis

VI. DIAGNOSIS

1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)

2. Anemia

Page 5: Lapkas Eko

VII. TATALAKSANA

A. Non medikamentosa

1. Menjaga kebersihan tubuh dan kebersihan lingkungan.

2. Menjaga asupan makanan agar tetap mengandung gizi dan nutrisi yang

cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.

B. Medikamentosa

1. Prednison 40 mg/hari

2. Neurodex 2-3 kali 1 tablet per hari

3. Analgesik : Asam mefenamat, 500 mg tablet, pemakaian 3x1 per hari

per oral

Resep DokterRSUD Dr. Soedarso

Polilkinik Kulit dan KelaminDokter: dr. EkoSIP: 283019809

25 Agustus 2014R/ rifampisin 300 mg

S 1x perbulan 2 tab

R/ klofazimin 100 mg

S 1x perbulan 3 tab

Pro : Ny. Sutinah

Umur : 42 tahun

C. Usulan pemeriksaan lanjutan

1. Pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, SGOT/SGPT, ureum

kreatinin.

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam :

Ad functionam :

Resep DokterRSUD Dr. Soedarso

Polilkinik Kulit dan KelaminDokter: dr. EkoSIP: 283019809

25 Agustus 2014R/ klofazimin 50 mg

S 1 dd 1 tab

R/ dapson 100 mg

S 1 dd 1 tab

Pro : Ny. Sutinah

Umur : 42 tahun

Page 6: Lapkas Eko

Ad sanactionam :

BAB III

PEMBAHASAN

A. Penyakit Kusta

A.1. Definisi

Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan

penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,

melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi,

Page 7: Lapkas Eko

kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak

didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan.1

A.2. Epidemiologi

Tahun 2008, prevalensi penderita kusta global yang terdata dari 118 negara

sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami penurunan sebanyak 19,6% dari

tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari tahun 2006 ke 2007.

Catatan dari beberapa negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan

sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas kusta.2

Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010,

prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita

sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Peringkat kedua terdapat di Brazil,

dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri berada di

peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009

(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat

17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus

kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Berdasarkan

data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita

oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.2

A.3. Klasifikasi

Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate

pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

1. TT (Tuberkuloid Type)

Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah

dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan lesi dapat

bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyeruai gambaran psoriasis.

Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot.

2. BT (Borderlines Tuberculoid)

Page 8: Lapkas Eko

Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi,

kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid.

Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris.

Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. BB (Mid Borderline)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit

kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat

berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik

ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu

hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas.

4. BL (Borderline Lepramatous)

Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas

walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf

berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya

rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang

dapat teraba di tempat predileksi.

5. LL (Lepramatosa type)

Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah,

dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian

belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.

Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking

Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,

sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-

serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan

anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki.

6. LI (Lepromatosa Indefinite)

Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara

luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi

dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian

Page 9: Lapkas Eko

ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat ditemukan makula

hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada

20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan.

Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi :

1. Pausibasilar (PB)

Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I

dan T menurut klasifikasi Madrid dengan BTA negatif.

2. Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B

dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

A.4. Patogenesis

Saat ini dipercaya bahwa penularan M. Lepra terjadi karena kontak yang dekat

dan lama antara individu yang rentan dengan individu yang terinfeksi. Penularan

dapat melalui inhalasi basil yang terkandung dalam sekret hidung atau droplet.

Jalan penularan yang utama adalah mukosa hidung dan juga dapat terjadi melalui

kulit yang erosi.6

Sebenarnya, M. Lepra mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara

derejat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang

berbeda. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.

Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya dari pada

intensitas infeksinya.7

A.5. Gejala Klinis

Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung

pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran

klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan

gambaran lepromatosa. 3,4

Page 10: Lapkas Eko

Menurut Departemen Kesehatan RI (Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda

utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi)

atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi

(neuritis perifer).

3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA

positif).

A.6. Reaksi Kusta

Reaksi Kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta

yang merupakan suatu reaksi imunitas. Reaksi imun dapat menguntungkan dan

merugikan (reaksi imun patologik), dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.7

1. Reaksi Tipe 1

Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal. Reaksi ini disebabkan peningkatan

aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra, atau bahkan sisa

basil yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadinya peradangan

dimana pun terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan saraf. Ciri-ciri

klinis reaksi Tipe 1 yang paling sering ditemukan adalah peradangan pada

bercak kulit berupa pembengkakan, kemerahan dan teraba panas. Bercak

biasanya tidak terasa sakit, tapi mungkin terdapat rasa tidak nyaman. Dapat

timbul pembengkakan pada anggota gerak atau wajah.8

2. Reaksi Tipe 2

Reaksi ini disebut juga reaksi erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi ini

terjadi bila basil lepra dalam jumlah besar terbunuh dan secara bertahap

dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi alergi. Oleh karena

protein ini terdapat di aliran darah, reaksi Tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh

dan menyebabkan gejala sistemik. Ciri reaksi Tipe 2 berupa gejala-gejala

Page 11: Lapkas Eko

erythema nodosum, yaitu benjolan di bawah kulit. Selain itu juga terjadi

peradangan, sehingga benjolan bawah kulit terasa sakit dan tampak merah.

Benjolan dapat sedikit atau banyak, dapat terjadi pada anggota gerak dan

kadang-kadang pada batang tubuh. Benjolan tidak disertai lesi kulit lepra.

Benjolan dengan nyeri tekan merupakan tanda utama ENL.8

A.7. Pengobatan Kusta

Menanggapi peningkatan insiden resistensi dapson, WHO memperkenalkan

rejimen multi drug treatment (MDT) pada tahun 1981 yang mencakup rifampisin,

dapson, dan klofazimin. Rekomendasi WHO untuk penderita dewasa adalah

rifampisin 600 mg/bulan, dapson 100 mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan dan

50 mg/hari) selama 1 tahun untuk kusta MB. Sedangkan untuk kusta PB WHO

merekomendasikan MDT rifampisin 600 mg/bulan dan dapson 100 mg/hari

selama 6 bulan.10

Beberapa studi klinis juga menunjukkan bahwa kuinolon tertentu,

minocycline, dan azitromisin memiliki aktivitas terhadap M. Leprae. Baru-baru

ini WHO merekomendasikan pengobatan dosis tunggal dengan rifampisin,

minocycline, atau ofloksasin pada pasien dengan kusta pausibasiler yang memiliki

lesi kulit tunggal. Namun, WHO masih merekomendasikan penggunaan rejimen

MDT jangka panjang bila memungkinkan, karena lebih efektif.9

Tabel 1. Rekomendasi rencana multi drug treatment dari WHO

Page 12: Lapkas Eko

Kortikosteroid juga telah digunakan untuk penanganan kerusakan saraf pada

penyakit kusta. Prednisolon digunakan untuk meminimalisir rasa nyeri dan

inflamasi akut. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 40 mg/hari.9

A.8. Prognosis

Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh

pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh

pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam

10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.

Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta

wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau

reaksi, terutama reaksi tipe 2. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih

baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta.12

A.9. Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain

prednisolon. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya

prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin

tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu

diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap

sampai diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian

kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila

berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid

dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut

dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus

mendapatkan kortikostreoid terus menerus.7

Klofazimin dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis

yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat

makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih

lambat dari pada kortikosteroid. Dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan

Page 13: Lapkas Eko

dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha

untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.7

Pada pusat rujukan, reaksi tipe 2 dapat diobati dengan kombinasi prednison

dan klofazimin.8

Tabel 2. Dosis prednison untuk pengobatan reaksi tipe 2

Pengobatan minggu ke- Dosis prednison per hari

1

2

3

4

5

6

40 mg

30 mg

20 mg

15 mg

10 mg

5 mg

Klofazimin diberikan dengan dosis bertahap diturunkan sebagai berikut: 300

mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan, dan 100 mg/hari selama

gejala masih ada. Klofazimin juga merupakan bagian MDT dengan dosis untuk

dewasa biasanya 50 mg perhari; akan tetapi untuk pengobatan ENL, dibutuhkan

dosis Klofazimin yang lebih tinggi. Klofazimin butuh waktu untuk memberikan

efek, namun pada saat dosis steroid diturunkan pada tingkat rendah, klofazimin

biasanya sudah bekerja dengan baik sehingga steroid dapat dihentikan.8

B. Anemia pada Penyakit Kusta11

B.1. Definisi Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi hemoglobin lebih rendah

dari nilai normal, yang sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Menurut WHO,

dikatakan anemia apabila konsentrasi hemoglobin dibawah 12 g/dl pada wanita

dan dibawah 13,5 g/dl pada pria. Berdasarkan tingkatan, anemia dapat dibagi

menjadi anemia ringan (Hb 10-12 g/dl), anemia sedang (Hb 8-10 g/dl), dan

anemia berat (Hb < 8 g/dl).

B.2. Anemia Penyakit Kronik

Page 14: Lapkas Eko

Anemia pada kusta lebih sering timbul pada tipe BL dan LL yang disebut

sebagai anemia penyakit kronik. Pada serum kedua tipe kusta tersebut, terdapat

sitokin yang sering berperan pada patogenesis timbulnya anemia penyakit kronik

yaitu interleukin-1 dan tumor necrosis factor-alpha yang bekerja dengan cara; 1)

menghambat secara langsung eritropoiesis; 2) menekan secara tidak langsung

eritropoiesis dengan menghambat eritropoietin.

B.3. Anemia Hemolitik

Suatu keadaan dimana masa hidup eritrosit memendek, disebabkan

peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang mengakibatkan membran sel

pecah. Penyebab anemia hemolotik dapat dibagi atas:

a. Kelainan intrinsik

Defek membran : sperositosis herediter

Defek enzim : defisiensi enzim glucose-6-phosphate

dehydrogenase

Defek hemoglobin : Hb S (hemoglobin sel sabit)

b. Kelainan ekstrinsik

Reaksi non-imunitas : hemolisis akibat bahan kimia atau obat-

obatan seperti obat anti malaria, sulfon (dapson), arsen, logam.

Reaksi imunitas : transfusi darah.

Diskusi

Diagnosis penyakit kusta pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis.

Lesi pada kulit yang ada berupa makula hipopigmentasi yang hipoestesi, difus

pada seluruh tubuh. Selain lesi kulit tersebut, juga ditemukan nodul eritem ukuran

lentikuler pada bagian wajah, punggung dan tangan disertai rasa nyeri pada nodul

tersebut. Kelainan itu merupakan reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum

yang biasa terjadi pada kusta tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa

(BL). Reaksi tersebut timbul sebagai respon imun terhadap basil M. Leprae yang

telah mati. Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda anemia seperti lemah dan lesu.

Keadaan anemia harus diperhatikan dalam pengobatan kusta. Pengobatan kusta

Page 15: Lapkas Eko

tergantung pada tipe penyakit. Untuk memastikan tipe penyakit kusta pada pasien

ini diperlukan pemeriksaan bakteriologis. Penatalaksanaan awal yang dapat

dilakukan adalah memberikan obat kortikosteroid (prednison 40 mg/hari) untuk

mengatasi reaksi kusta dan dapat ditambahkan analgetik. Memberikan tablet

neurodex 2-3 kali 1 tablet per hari untuk mengatasi anemia. Menyarankan pasien

untuk dirawat inap agar mendapatkan perawatan, terutama memperbaiki nutrisi

pasien dengan diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Dapat diberikan Usulan

pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan hemoglobin, SGOT/SGPT dan ureum

kreatinin untuk mengetahui derajat anemia, fungsi hati dan ginjal, karena rejimen

MDT mempunyai efek samping anemia hemolitik, hepatotoksik dan nefrotoksik.

Pemeriksaan tersebut juga berguna untuk memantau kondisi pasien selama

menjalani pengobatan kusta.

Setelah tipe penyakit kusta dapat dipastikan (MB atau PB), pengobatan

kusta disesuaikan dengan pedoman WHO sebagai berikut:10

1. Rifampisin 600 mg/bulan, dapson 100 mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan

dan 50 mg/hari) selama 1 tahun untuk kusta MB.

2. Sedangkan untuk kusta PB WHO merekomendasikan MDT rifampisin 600

mg/bulan dan dapson 100 mg/hari selama 6 bulan.

Page 16: Lapkas Eko

DAFTAR PUSTAKA

1. Subdirektorat Kusta dan Frambusia. 2007. Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK.

2. World Health Organization. 2010. Weekly epidemiological record. Diakses dari www.who.int tanggal 22 Agustus 2014.

3. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. 2008. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S., editor. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: FK UI

4. Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: EGC.

5. Departemen Kesehatan RI. 2007. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Penyakit Kusta.

6. Lastória, JC dan Abreu. 2014. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, and etiopathogenic aspects – Part 1. An Bras Dermatol ;89(2):205-18

7. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. 2010. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit danKelamin, Ed. VI, p. 73-88, Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Page 17: Lapkas Eko

8. The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP). 2002. Bagaimana Mengenali dan Menatalaksana Reaksi Lepra. Penerjemah: Tim Penterjemah RS Kusta Dokter Rivai Abdullah. ILEP Action Group: London.

9. [Best Evidence] Van Veen NH, Nicholls PG, Smith WC, Richardus JH. 2007. Corticosteroids for treating nerve damage in leprosy. Cochrane Database Syst Rev.;CD005491. [Medline].

10. World Health Organization. 2010. WHO Recommended MDT Regimens. http://www.who.int/lep/mdt/regimens/en/index.html. (24 Agustus 2014).

11. Lubis, RD. 2009. Anemia Pada Penyakit Kusta. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. USU e-Repository: Medan.

12. Lewis, F.S., 2010. Dermatologic Manifestations of Leprosy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650. (24 Agustus 2014).