lapkas anemia

61
LAPORAN KASUS Dosen Pembimbing : dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD, M.Kes Disusun Oleh : Nadia Resha Rahestha 2009730100 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA RS UMUM KELAS B DAERAH CIANJUR 2015 1

description

anemia anemia

Transcript of lapkas anemia

Page 1: lapkas anemia

LAPORAN KASUS

Dosen Pembimbing :

dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD, M.Kes

Disusun Oleh :

Nadia Resha Rahestha

2009730100

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RS UMUM KELAS B DAERAH CIANJUR

2015

1

Page 2: lapkas anemia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-

Nya pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan menyelesaikan LAPORAN KASUS

dalam STASE ILMU PENYAKIT DALAM RS UMUM DAERAH CIANJUR sesuai pada

waktu yang telah ditentukan.

Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta

para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan kasus ini kami buat sebagai dasar kewajiban

dari suatu proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk

praktik kehidupan sehari-hari.

Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami

dalam kelancaran pembuatan laporan kasus ini. Terima kasih juga pada semua pihak yang

telah membantu kami dalam mencari informasi dan mengumpulkan data. Semoga laporan

kasus ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan

laporan kami.

Cianjur, 10 Oktober 2015

Penyusun

2

Page 3: lapkas anemia

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………....................... i

DAFTAR ISI………………………………………………………………............. ............... ii

BAB I STATUS PASIEN......................................................................................................... 1

BAB II ANALISIS MASALAH............................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..................... 19

3

Page 4: lapkas anemia

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 ANAMNESIS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. RA

Usia : 23 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Panumbangan 02/01 Cibulakan Cugenang

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal Masuk RS : 11 Oktober 2015, 21.42 WIB

B. KELUHAN UTAMA

Demam

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

10 hari sebelum masuk RS pasien datang dengan keluhan demam, badan tiba-tiba

demam mendadak, demam naik-turun, demam terutama pada malam hari. disertai

dengan mual, muntah 1x/hari berisi makanan yang dimakan oleh pasien dan tidak

disertai darah. Pasien mengeluh nyeri uluhati dan sulit BAB dengan frekuensi 3hari/x

berwarna kuning, konsistensi normal, tidak disertai darah. Pasien menyangkal bahwa

pasien mengalami batuk, sesak, penurunan berat badan dan gangguan BAK. Pasien

mengaku telah mengkonsumsi obat parasetamol dengan 3x500mg untuk penurun

panas selama gejala ini.

Saat datang ke ruang Apel pasien mengeluh lemas dan nyeri sendi. Pasien mengeluh

mual dan muntah masih dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan demam sudah tidak

dirasakan kembali. Riwayat HPHT pasien ±1tahun yang lalu, pasien tidak KB, Usia

anak terkecil ±1tahun dan masih menyusui

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien sebelumnya belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.

Riwayat perdarahan disangkal

Riwayat Transfusi disangkal

Hipertensi disangkal

4

Page 5: lapkas anemia

Diabetes mellitus disangkal

Asma disangkal

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Dikeluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama

R. Hipertensi dikeluarga disangkal

R. Diabetes Melitus dikeluarga disangkal

F. RIWAYAT PENGOBATAN

Keluhan yang dirasakan saat ini belum pernah diobati

Keluhan kuning yang dirasakan awal pada pasien pernah diobati ke RS

G. RIWAYAT ALERGI

Alergi makanan laut (-)

Alergi cuaca (-)

Alergi obat (-)

H. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Pasien rutin mengkonsumsi makanan berserat dan buah-buahan.

Pasien merupakan ibu rumah tangga

Riwayat bepergian ke luar kota (-)

1.2 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda-tanda vital

- Tekanan Darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat angkat

- RR : 19 x/menit

- Suhu : 37,0 ºC

Status Generalis

a. Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak rontok

Alis hitam, madarosis (-/-)

5

Page 6: lapkas anemia

b. Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+)

konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

c. Hidung : deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-)

d. Mulut : Coated tongue (-), lidah tremor (-), hipertropi gusi (-)

Perdarahan gusi (-), tonsil hiperemis (-), subfrenulum ikterik

e. Telinga : bentuk normotia, simetris, serumen (-/-), darah (-/-)

f. Leher   : terdapat pembesaran KGB leher post M. Sternocleidomastoid,

tidak ada pembesaran tiroid, JVP normal tidak meningkat.

g. Thorak : Bentuk normal, simetris

- Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V LMCS, ukuran sela iga

Ka=Ki

Perkusi : Batas jantung kanan linea parasternal dextra,

Batas jantung kiri di midclavicula sinistra

Batas jantung atas di ICS 2

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)

- Paru

Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-)

Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan

Perkusi : Sonor dikedua lapang paru, batas paru hepar pada ICS

5-6

Auskultasi : vesikuler (+/+), rales (-/-), wheezing (-/-) cruckel (-/-)

h. Abdomen

- Inspeksi : Bentuk datar

- Auskultasi : BU (+) normal (17 x/menit),

- Perkusi : Timpani

- Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (+), Hepar teraba 2 jari

dibawah arcus costa dan 1 jari dibawah prosesus

xypoideus dengan tepi tumpul. Teraba pembesaran

spleen pada Schuffner II.

i. Ekstremitas

- Atas : Akral hangat, udema (-), sianosis (-), RCT < 2 detik,

6

Page 7: lapkas anemia

ikterik(-)

- Bawah : Akral hangat, udema (-), sianosis (-), RCT < 2 detik

Ikterik (-)

1.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tanggal 11 Oktober 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hematologi Lengkap

Haemoglobin 4,9 13.5-17.5 g/dL

Hematokrit 13,9 42-52 %

Eritrosit 1,75 4.7-6.1 10⁶/uL

Leukosit 21,7 4.8-10.8 10³/uL

Trombosit 407 150-450 10³/uL

MCH 28 27-31 Pg

MCV 80 80-94 fL

MCHC 35,2 33-37 %

RDW-SD 44 37-54 fL

PDW 13,5 9-14 fL

MPV 11 8-12 fL

Differential

LYM% 14.1 26-36 %

MXD% 9.9 0-11 %

NEU% 74.3 40-70 %

EOS% 1.4 1-3 %

BAS% 0.3 <1 %`

Absolut

LYM# 4,6 1.00-1.43 10³/uL

MXD# 2,17 0-1.2 10³/uL

NEU# 14,55 1.8-7.6 10³/uL

EOS# 0.12 0.02-0.50 10³/uL

BAS# 0.03 0.00-010 10³/uL

Widal Test

7

Page 8: lapkas anemia

Salmonella typhi -O Negatif Negatif

Salmonella typhi -H 1/80 Negatif

1.4 ASSESMENT

Differensial Diagnosis

1. Febris dengan hepatosplenomegali ec Susp Bacterial Infection dd/ typhoid fever

- Inf RL 1000 ml/24jam

- Parasetamol 3 x 500 mg

- Ceftriaxone 2 x 1 gr

- Cek Tubex T

2. Anemia normokromik normositik

- Transfusi PRC 600 ml dengan target hb > 10mg/dl

- Cek morfologi darah tepi

3. Limfadenopati dd/ Susp. TB kelenjar, susp. typhoid fever

- Cek BTA Sputum

- Rontgen Thorak PA

4. Gastrophaty

- Ondancentron 2 x 80 mg

- Omeprazole 2 x 40 mg

8

Page 9: lapkas anemia

a. FOLLOW-UP PASIEN

Hari, Tanggal

S O A P

Rabu, 13/10/15

Lemas (+), Mual (+) dan Muntah (+)

TD : 120/80N : 81x/mRR : 17 x/mS : 36.50C

Pem. KGB (+), Hepatosplenomegali (+)

1. Febris dengan

hepatosplenomeg

ali ec Susp

Bacterial

Infection

- Inf RL 1000 ml/24jam

- Parasetamol 3 x 500 mg

- Ceftriaxone 2 x 1 gr

2. Anemia

normokromik

normositik

-

3. Gastropathy - Omeprazole 2 x 40 mg

- Ondansetron 2 x 8 mg

4. Limfadenopati

dd/ Susp. TB

kelenjar

-

Kamis, 14/10/15

Nyeri ulu hari, badan lemas, mual, dan kuning badan

TD : 110/80N : 80 x/mRR : 21 x/mS : 36.4 0CSklera Ikterik(+/+), Cembung(+), NT epigastrium (+), Hepatomegali (+)

1. Febris dengan

hepatosplenomegal

i ec Susp Bacterial

Infection

Th/ Lanjut

2. Anemia

normokromik

normositik

Th/ Lanjut- Cek USG Upper

abdomen

9

Page 10: lapkas anemia

3. Gastropathy

4. Limfadenopati dd/

Susp. TB kelenjar

Pemeriksaan Morfologi darah tepi

Tanggal 11 Oktober 2015

Eritrosit : Polikromasi pada populasi normokrom, anisositosis, normoblast (+)

Leukosit : Jumlah meningkat, Granula toksik (+), Shift to the left sampai

mielosit.

Trombosit : Kelomppok trombosit cukup

Kesan : Infeksi Inflamasi

Usul : Pemeriksaan Kultur, Retikulosit

Rontgen Thorak PA

Tanggal 12 Oktober 2015

Tidak tampak kardiomegali

Tidak tampak gambaran TB paru/ Pneumonia/ Bronkitis

Penurunan densitas skeletal ec metabolic

Emfisema pulmo bilateral

10

Page 11: lapkas anemia

Laboratorium

Tanggal 13 Oktober 2015

Hematologi Lengkap

Haemoglobin 7,9 post tranfusi 13.5-17.5 g/dL

Hematokrit 22,9 42-52 %

Eritrosit 2,73 4.7-6.1 10⁶/uL

Leukosit 9,1 4.8-10.8 10³/uL

Trombosit 250 150-450 10³/uL

MCH 28 27-31 Pg

MCV 83,5 80-94 fL

MCHC 35,2 33-37 %

RDW-SD 56,5 37-54 fL

PDW 15,7 9-14 fL

MPV 11 8-12 fL

Differential

LYM% 19,4 26-36 %

11

Page 12: lapkas anemia

MXD% 14,7 0-11 %

NEU% 65,9 40-70 %

Absolut

LYM# 1,80 1.00-1.43 10³/uL

MXD# 1,30 0-1.2 10³/uL

NEU# 6,00 1.8-7.6 10³/uL

Imunoserologi

Tubex T 6 Reaktif > 4

Feritin 261 10-150 ng/mL

Mikrobiologis

BTA 3X Tidak ada bahan

12

Page 13: lapkas anemia

BAB II

ANALISIS MASALAH

A. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid

merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat

menimbulkan wabah.

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan

pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.

B. Epidemiologi

Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri.

Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti Uni

Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan

terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh

kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia. 6

Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100 ribu

penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia demam

tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella

subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi

demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64%

ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat

inap. 6, 7

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata

antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam tifoid

dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%, dan usia > 40

tahun sekitar 5-10%. 7

C. Etiologi

Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari

genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,

motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam

13

Page 14: lapkas anemia

suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o

C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas

seperti di air, es, sampah, dan debu serta hidup subur pada medium yang mengandung

garam empedu. Kuman ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit,

pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. 8

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:

1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai

struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan

alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman.

Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid

tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman

terhadap fagositosis.

Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam

antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9

D. Patogenesis

Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di

masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi dan

Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang

tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari penderita yang

terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain itu, transmisi juga dapat

terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh

asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi

untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas

humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh

makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler. 10

Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan

menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak

di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke kelenjar

limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag

14

Page 15: lapkas anemia

masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum

tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di

luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan

bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis.

Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak kemudian

disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar

bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag

yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi

sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise,

instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di

plaque peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan

perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus

menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan

perforasi.

Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel

endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada

1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.

15

Page 16: lapkas anemia

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum

klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare

sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul

komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini mempersulit

penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinisnya.

16

PATHWAYbakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung sebagian masuk usus halus

peningkatan asam lambung di ileum terminalis membentuk limfoid plaque peyeri

mual, muntah

sebagian hidup sebagian menembus intake kurang dan menetap lamina propria

gangguan nutrisi perdarahan masuk aliran limfe

perforasi masuk ke kelenjar limfe mesenterikus

PERITONITIS menembus aliran darah

nyeri tekan masuk hepar dan lien

hepatomegali, splenomegali

infeksi Salmonella typhi, paratypi, dan endotoksin

dilepasnya zat pirogen oleh leukosit

DEMAM TIFOID

Page 17: lapkas anemia

Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita

demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala

yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella

typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun,

demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang

menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat

dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat

perforasi usus. 4

Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri

kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri

otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih

(lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan

gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis). 4, 10

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-

1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam

terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang

dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis.

Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor,

berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien

membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian

menjadi obstipasi. 4, 10

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi,

urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan

ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau

perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi.

1. Hematologi

a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan

atau perforasi usus.

b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.

c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.

d. Laju endap darah (LED) meningkat.

e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13

17

Page 18: lapkas anemia

2. Urinalisis

a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).

b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7

3. Kimia klinis

Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang sampai

hepatitis akut. 7

4. Imunoserologi

a. Widal

Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap

antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif

jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin.

Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini

dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu

atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi

silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah

sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan

sudah mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1

minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13

Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin

tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan

aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat

secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti

aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan

sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 3, 13

Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,

diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan pasca

imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman

(karier). 13

b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM

Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk

mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG

positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik. 7

5. Mikrobiologi (kultur)

18

Page 19: lapkas anemia

Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam

tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif, belum

tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah

darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall

(darah membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat

pengambilan darah masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi

antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera

diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika

belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah

darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10

6. Biologi molekular

PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan

dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang

spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit

(sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin,

cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6

G. Diagnosis

Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses

atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada 14

hari awal setelah terinfeksi. 7

Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer

akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika

peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi

aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin

pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri

Salmonella. 3, 13

Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia

polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah

demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi

sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN waspada

akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul

tidak khas. Ada penderita yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam

19

Page 20: lapkas anemia

kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita

yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya

kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna,

dapat langsung dimatikan oleh sistem imun. 7

H. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi

diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan gastroenteritis.

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti

tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga

perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat didiagnosis banding dengan sepsis,

leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin. 2, 7, 13

I. Tatalaksana

Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek

penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana demam

tifoid meliputi:

1. Tirah baring

Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan,

minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat

penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga

perlu dijaga. 5

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan

pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam

atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi

perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan

pulihnya kekuatan pasien. 5

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu

tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan

retensi urin. 5

2. Managemen nutrisi

20

Page 21: lapkas anemia

Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti

petunjuk diet berikut:

a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.

b. Tidak mengandung banyak serat.

c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak merangsang

saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi

perdarahan atau perforasi usus. 11

3. Managemen medis

Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare,

obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu

dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak

dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus. 11

Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti

pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan.

Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai gangguan

kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam

batas normal) atau demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang

digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan

deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal

dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48 jam. 3, 11, 12

Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.

Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:

a. Kloramfenikol.

Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai 7 hari

bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena dapat terjadi

hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. Tingginya angka kekambuhan

(10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi sumsum tulang

(anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang

perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.

Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11, 12

b. Tiamfenikol

21

Page 22: lapkas anemia

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun

pada hari ke-6. 11, 12

c. Ampisilin dan kotrimoksazol

Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang

dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprin

80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena meningkatnya angka

mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi

MDR menjadikan ampisilin dan kotrimoksazol resisten. 11, 12

d. Kuinolon

Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta

mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin

mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan tidak

menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan untuk demam tifoid

meliputi:

1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.

2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.

3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.

4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.

5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.

Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit lambat

pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

e. Sefalosporin generasi III

Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan

memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari. Respon baik

juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4 gram dalam dekstrosa

100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari. 11, 12

f. Antibiotik lainnya

Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan

aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada kloramfenikol.

Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari.

22

Page 23: lapkas anemia

Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12

g. Kombinasi antibiotik

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana pernah

terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri

Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:

1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai

kepekaan 95,12%.

2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12

Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

23

Page 24: lapkas anemia

Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid

J. Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:

1. Intestinal

a. Perdarahan usus

Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk

tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi

perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga

dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita

mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun,

perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi

dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan

suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10

b. Perforasi usus

24

demam tifoid tanpa

komplikasi

sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari

MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari

resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

demam tifoid

dengan komplikasi

sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

Page 25: lapkas anemia

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam tifoid

dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah

yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada

50% penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara

bebas di abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun,

dan bahkan syok. 1, 3, 10

Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya

perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga

peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi

usus pada demam tifoid. 1, 3, 10

c. Ileus paralitik

d. Pankreatitis

2. Ekstraintestinal

a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan

tromboflebitis.

b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.

c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.

e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.

f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10

K. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status imunitas,

jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika

terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu, kesadaran

menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi

lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di

negara berkembang angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan keterlambatan

diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang

dewasa 7,4% dengan rata-rata 5,7%. 6, 7

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri

Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko

menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi

25

Page 26: lapkas anemia

pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus biliaris lebih

tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin

kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan

skistosomiasis. 7, 13

NORMOKROM NORMOSITER

1.1 Pengertian Normokrom Normositer

Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan

volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia

bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang

diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan

laboratorium.

Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran

sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi

besar, yaitu anemia hipokrom makrositer, anemia hipokrom mikrositer, dan anemia

normokrom normositer.

Anemia Normokrom Normositer merupakan jenis anemia dimana ukuran dan bentuk

sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal

tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia normokrom normositer (MCV

didalam batasan normal, 80-100), antara lain:

1. Pasca perdarahan akut

2. Anemia aplastik-hipoplastik

3. Anemia hemolitik – terutama yang didapat

4. Akibat penyakit kronis

5. Anemia mieloplastik

6. Gagal ginjal kronis

7. Mielofibrosis

8. Sindroma mielodisplastik

9. Leukemia akut

26

Page 27: lapkas anemia

1.2 Penyakit

1.2.1 Anemia Aplastik

1. Pengertian

Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat berproduksi

maksimal sehingga sel darah baru tidak mencukupi untuk proses penggantian sel

darah lama. Pada kasus anemia biasa, umumnya hanya jumlah sel darah merah

yang rendah, tetapi pada anemia aplastik, jumlah sel darah merah, sel darah putih,

dan platelet menjadi sangat rendah. Dicurigai penyebab anemia aplastik ini adalah

gangguan sistem imun, atau disebut gangguan autoimun. Dimana sel darah putih

menyerang sumsum. Jika anemia aplastik ini tidak diobati, maka resiko kematian

akan muncul dalam waktu 6 bulan.

2. Klasifikasi dan Etiologi

Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab, yaitu faktor

primer dan sekunder. Secara sederhana anemia aplastik dapat diklasifikasi

sebagai berikut.

a. Penyebab Primer

1. Idiopatik (paling banyak)

2. Anemia Fanconi

3. c. Dyskeratosis congenita

b. Penyebab Sekunder

1. Zat kimia

2. Obat-obatan

3. Infeksi

4. Radiasi

Gangguan kongenital yang paling umum terjadi adalah anemia Fanconi. Penyakit

ini dapat menyerang anak-anak dan biasanya dikarenakan defek pada DNA

Repair dan aplasia yang sering disertai kelainan rangka, pigmentasi pada kulit

dan abnormalitas pada ginjal. Pemaparan pada bahan-bahan kimia, obat-obatan

dan radiasi juga dapat merusak sel induk. Obat-obatan dapat menekan

hematopoiesis secara idiosinkratik ataupun secara terduga.

Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pada sumsum tulang dapat dibagi

dua:

27

Page 28: lapkas anemia

a. Sering atau selalu menyebabkan depresi sumsum tulang

1. Sitostatika

b. Kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang

1. Antikonvulsan, misalnya: metilhidantoin

2. Antibiotik, misalnya: kloramfenikol, sulfonamide, penicillin dan lain-

lain

3. Analgesik, misalnya: fenilbutazon

4. Relaksan otot, misalnya: meprobamat

Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya

pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur 2 – 3 bulan akan menyebabkan

anemia aplastik setelah berumur 6 tahun.

America Medical Association juga telah membuat daftar obat-obat yang dapat

menimbulkan anemia aplastik. Lihat tabel berikut.

28

Obat-obat yang sering

dihubungkan dengan

Anemia Aplastik

1. Azathioprine

2. Karbamazepine

3. Inhibitor carbonic

anhydrase

4. Kloramfenikol

5. Ethosuksimide

6. Indomethasin

7. Imunoglobulin

limfosit

8. Penisilamine

9. Probenesid

10. Quinacrine

11. Obat-obat

sulfonamide

12. Sulfonilurea

13. Obat-obat thiazide

14. Trimethadione

Page 29: lapkas anemia

Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik misalnya benzen,

arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut biasanya terhirup ataupun

terkena (secara kontak kulit) pada individu.

Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena dapat

mengakibatkan kerusakan pada stem cell atau sel induk ataupun menyebabkan

kerusakan pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi yang dimaksud antara lain

pajanan sinar X yang berlebihan ataupun jatuhan radioaktif (misalnya dari

ledakan bom nuklir).

Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang  yang berlangsung lama

dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut dan kronis maupun anemia

aplastik. Terutama sel-sel germinal dan sel hematopoietik. Sel-sel tersebut

merupakan sel yang paling mudah mengalami kerusakan tersebut.

Selain radiasi, infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya seperti

infeksi virus Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus, HIV, dengue dan lain-lain.

Dari semua faktor penyebab anemia aplastik diatas, faktor yang paling banyak

terjadi ialah faktor idiopatik. Dimana penyebabnya anemia aplastik ini masih

belum jelas.

3. Patofisiologi

Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik.

a. Kerusakan pada sel induk pluripoten

Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya

anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal

membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.

Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun

karena fungsinya yang menurun.

Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh

gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum tulang.

b. Kerusakan pada microenvironment

Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal eritropoietin)

maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya

jaringan sumsum tulang untuk berkembang.

29

Page 30: lapkas anemia

Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan sekitar sel

induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut

untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah.

Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan cell inhibitors atau

penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya limfosit T

yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.

Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia aplastik adalah

gangguan pada sel induk pluri poten.

4. Gejala Klinis

Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama yaitu, anemia,

trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini disertai dengan gejala-gejala

lain yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

-       Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah, hilang selera

makan, dan palpitasi.

-       Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa

dan lain-lain.

-       Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.

Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat ditemukan pada

penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang terjadi.

5. Pemeriksaan dan diagnosis

Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia

aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:

a. Pucat

b. Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.

c. Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.

d. Pembesaran hati (hepatomegali)

e. Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Café au lait dan postur tubuh yang

pendek.

f. Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh dan leukoplakia.

30

Page 31: lapkas anemia

Pemeriksaan Laboratorium

Darah Tepi

Granulosit           < 500 /mm3

Trombosit           < 20.000 /mm3

Retikulosit          < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)

Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang sedikit atau

bahkan tidak ditemukan. Sedangkan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit

menurun.

Dari ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya suatu

anemia aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga kriteria di atas

terpenuhi, maka si individu sudah dapat digolongkan sebagai penderita anemia

aplastik berat.

Sumsum Tulang

Hiposeluler        < 25%

Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi dan aspirasi.

6. Prognosis

Kondisi semakin buruk jika ditemukan:

-          Neutrofil     < 0.5 x 109

-          Platelet        < 20 x 109

-          Retikulosit  < 40 x 109

Sebelum era transplantasi sumsum tulang tulang, angka mortalitas sangatlah

tinggi. Kira-kira 65% sampai 80%. Dengan adanya transplantasi sumsum tulang,

angka mortalitas ini dapat dipastikan turun.

Transplantasi sumsum tulang ini sangatlah baik dilakukan bagi mereka yang

berumur dibawah 25 tahun dan lebih baik lagi bila dilakukan pada anak-anak.

7. Penatalaksanaan

Terapi Suportif

Transfusi darah dan platelet sangat bermanfaat, namun harus digunakan dengan

bijaksana dan baik karena dapat terjadi sensitisasi pada sel dan imunitas humoral

pasien anemia aplastik. Bila terjadi hal yang demikian, donor diganti dengan yang

cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).

31

Page 32: lapkas anemia

Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik

Terapi dengan Growth factor sebenarnya tidak dapat memperbaiki kerusakan sel

induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan terutama untuk pasien

dengan infeksi berat.

Penggunaan G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor) terbukti bermanfaat

memulihkan neutrofil pada kasus neutropenia berat. Namun hal ini tidak

berlangsung lama. G-CSF harus dikombinasikan dengan regimen lain misalnya

ATG/CsA untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik.

Transplantasi Sumsum Tulang (SCT, Stem Cell Transplantation)

Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia aplastik jika

memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara kembar ataupun saudara

kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien yang masih anak-anak.

Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan lebih dari

80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun angka ini dapat menurun

bila pasien yang mendapat terapi semakin tua. Artinya, semakin meningkat umur,

makin meningkat pula reaksi penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa

disebut GVHD atau graft-versus-host disease.

Terapi imunosupresif

Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita anemia

aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat yang

termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin (ATG)

atauantilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.

Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin. Namun kedua obat

ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat memproduksi pyrexia, ruam dan

hipotensi sedangkan  siklosporin dapat menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi.

Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan

kerusakan hati.

Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi sumsum

tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.

1.2.2 Anemia Pasca Perdarahan

1. Definisi

32

Page 33: lapkas anemia

Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau

jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh

perdarahan.

2. Etiologi

Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.

Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar

pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap

terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah

berkurang.

Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki

anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul

dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi

pada:

a. Kecelakaan

b. Pembedahan

c. Persalinan

d. Pecahnya pembuluh darah.

Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau

berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan

hidung dan wasir : jelas terlihat.

Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus

besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit

dan tidak tampak sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan

ini disebut perdarahan tersembunyi.

Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan

ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat

banyak.

3. Gejala Klinis

Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2

masalah:

a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh

darah berkurang

33

Page 34: lapkas anemia

b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang

mengangkut oksigen berkurang.

Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau

kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan

sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala

atau bisa menyebabkan:

a. pingsan

b. pusing

c. haus

d. berkeringat

e. denyut nadi yang lemah dan cepat

f. pernafasan yang cepat.

Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi

ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak

nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa menyebabkan kematian. Berat

ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika

darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang),

kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.

Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama

lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya

menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.

4. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):

a. Pengaruh yang timbul segera

Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang

fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau

komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (otak dan jantung). Gejala

yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan

apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200

ml pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya

daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama.

b. Pengaruh lambat

34

Page 35: lapkas anemia

Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan

intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat

dipertahankan tetapi akibatnya terjadi hemodilati. Gejala yang ditemukan

adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan

hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan

metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif,

kadang-kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan

hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark miokard karena

hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan ditemukan oliguria atau

anuria sebagai akibat berkurangnya aliran ke ginjal.

5. Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya

anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam

waktu yang singkat atau anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah.

Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus

dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak

terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup

untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang

diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama

perdarahan.

Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat

besi, biasanya dalam bentuk tablet.

1.2.3 Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebakan adanya peningkatan

destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum

tulang. Sel darah merah usianya sekitar 120 hari tetapi pada anemia hemolitik

usianya berkurang. Lisis dari sel darah merah normal terjadi di makrofag sumsum

tulang, hati dan lien.

A. Etiologi dan Klasifikasi

Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek molekular

hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan fungsi membran-

membran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.

35

Page 36: lapkas anemia

Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :

1. Anemia hemolisis herediter,

yang termasuk kelompok ini adalah:

a) Defek enzim / enzimopati

1. Defek jalur Embden Meyerhof

1. Defisiensi piruvat kinase

2. Defisiensi glukosa fosfat isomerase

3. Defisiensi fosfogliserat kinase

2. defek jalur heksosa monofosfat

4. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

5. Defisiensi glutation reduktase

b) Hemoglobinopati

- Thalasemia

- Anemia Sickle cell

- Hemoglobinopati lain

c) Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter

2. Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:

a) Anemia hemolisis imun, misalnya ; idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan

autoimun, transfusi.

b) Mikroangiopati, misalnya ; Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindroma

Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular (KID), preeklampsia, eklampsia,

hipertensi maligna, katup prostetik.

c) Infeksi, misalnya ; infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium

B. Patofisiologi

Defisiensi isozim piruvat kinase yang ditemukan dalam sel darah merah menimbulkan

anemia hemolitik. Piruvat kinase adalah enzim kunci dalam glikolisis. Enzim ini

mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari dua enzim yang menghasilkan

ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah merah menyebabkan penimbunan zat antara

glikolisis, termasuk 2,3-BPG. Peningkatan kadar 2,3-BPG menurunkan afinitas

hemoglobin terhadap oksigen, dan secara parsial mengkompensasi penurunan

kemampuan darah mengangkut oksigen akibat penurunan jumlah sel darah merah.

Jumlah sel darah merah menurun karena penurunan pembentukan ATP mempengaruhi

pompa kation di membran sel. Ca2+ masuk ke dalam sel, sementara K+ dan H2O keluar

36

Page 37: lapkas anemia

dari sel. Sel eritrosit mengalami dehidrasi dan difagositosis oleh sel-sel di limpa. Umur

eritrosit jadi lebih memendek. Seiring dengan penurunan jumlah eritrosit, jumlah

retikulosit meningkat. Retikulosit berkembang menjadi sel darah merah baru.5

Defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase dapat mengakibatkan anemia hemolitik,

hemolisis disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Selengkapnya dapat dijelaskan pada

gambar berikut :

Gambar 9 : Glikolisis

1. Pemeliharaan integritas integritas membran eritrosit bergantung pada kemapuan

eritrosit menghasilkan ATP dan NADPH dari glikolisis.

2. NADPH dihasilkan dari jalur pentosa fosfat

3. NADPH digunakan untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi glutation tereduksi,

glutation penting untuk menyingkirkan H2O2 dan peroksida lemak yang terbentuk

oleh spesies oksigen reaktif (ROS)

4. pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang terjadi terus

menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan sumber spesies oksigen

reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat defisiensi glukosa 6-fosfat

dehidrogenase, infeksi, obat-obatan tertentu, dan glikosida purin pada buncis fava.

5. Akibatnya terbentuk badan Heinz (kumpulan hemoglobin yang mengalami pengikatan

silang) pada membran sel dan menyebabkan sel mengalami stres mekanis sewaktu sel

mencoba untuk mengalir melalui kapiler yang sempit. Kerja ROS pada membran sel

serta sters mekanis akibat berkurangnya daya lentur (deformabilitas) menimbulkan

hemolisis.

37

Page 38: lapkas anemia

Pendeknya usia sel darah merah tidak selalu menyebabkan anemia karena

adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh sumsum tulang. Jika

destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum tulang untuk meningkatkan output,

maka akan terjadi suatu keadaan hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai

compensated haemolytic disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya

sebanyak 6 hingga 8 kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis

(erythroid hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum tulang.

Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit). Sel

tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda pada apus

darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia. Retikulosit dapat dihitung

secara akurat sebagai persentase dari semua sel darah merah pada apus darah dengan

menggunakan pewarnaan supravital untuk RNA residual. (cth; methylene biru)

C. Lokasi Hemolisis

1. Hemolisis Ekstravaskular

Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah adalah di

ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag di RES,

khususnya lien.

2. Hemolisis Intravaskular

Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin terlepas dan

akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas yang

banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, walaupun sebagian

kecil direabsorbsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan terdeposit

di sel sebagai haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi

methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem. Hemopexin plasma

mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya melebihi maka ferrihaem

bersatu dengan albumin membentuk methaemalbumin. Hati berperan penting dalam

mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.

C. Bukti hemolisis

Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;

1. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)

2. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)

3. penurunan haptoglobin plasma

4. kenaikan LDH serum

38

Page 39: lapkas anemia

Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;

1. retikulositosis

2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang

Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;

1. sferosit

2. sickle sel

3. fragmen sel darah merah

D. Tanda dan Gejala Klinis

Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan akut, pada

umumnya berupa :

1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang dan

ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat

2. Gangguan kardiovaskuler

3. BAK warna merah/gelap

Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode beberapa

minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala. Bentuk sedang berat

: pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura (Sindrom Evan’s), hemolisis

kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca

transfusi, hemokromatosis.

F. Diagnosis Banding

- Anemia pernisiosa

- Anemia defisiensi Fe stadium awal

- Anemia pasca perdarahan masif

- Eritroleukemi

- Anemia aplastik

- Myelofibrosis

G. Terapi

1. Tergantung etiologi

a) Anemia Hemolitik autoimun :

- Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub (LPT)/hari. Respon

biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit meningkat, Hb meningkat 2-3 gr

39

Page 40: lapkas anemia

%/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis steroid dapat diturunkan dalam

4-6 minggu sampi 20 mg/m2 LPT/bari; kemudian diturunkan salam 3-4 bulan.

Beberapa kasus memerlukan prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg selang sehari

- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian

glukokortikoid

- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan splenoktomi

- Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau

- Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari

- Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off, biasanya

dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis prednison diturunkan

bertahap dalam waktu 3 bulan

- Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1 gr/kgBB/hari selama 5 hari

- Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.

- Diberikan bersama dengan Prednison.

- Plasmaferes’s

b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan

c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab

d) Kelainan congenital, misalnya: Talasemia

Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %

Desferal untuk mencegah penumpukan besi :

Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 μg/dL biasanya setelah transfusi labu ke

12

Dosis inisial 20 mg/kgBB, diberikan 8-12 jam infus SC di dinding anterior abdomen,

selama 5 hari/minggu.

Diberikan bersama dengan 100-200 mg vitamin C per oral untuk meningkatkan

ekskresi Fe

Pada keadaan pemunpukan Fe bcrat, terutama disertai komplikasi jantung dan

endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/kgBB secara infus kontinue IV.

Sferositosis herediter.

Splenektomi, umur optimal 6-7 thn, Kl limfopeni, hipogamaglobulinemi

2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau packed red

cell

3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah

krisis megaloblastik

40

Page 41: lapkas anemia

4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :

Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA

Terapi suportif, perhatikan kesimbangan cairan, transfusi (pertahankan Hb 9 gr%),

jangan beri suspensi trombosit

Dialisis

5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)

Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia. gangguan

fungsi ginjal, demam.

Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75 mg/kg IV tiap

12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan FFP 3-4 L/hari

DAFTAR PUSTAKA

41

Page 42: lapkas anemia

1. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www. emedicine.medscape.com .

2. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

3. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.

4. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease. www.medline.com.

5. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika.

6. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

8. Who 2011

42