lapkas anemia
-
Upload
putri-rafika-zahrah -
Category
Documents
-
view
12 -
download
1
description
Transcript of lapkas anemia
LAPORAN KASUS
Dosen Pembimbing :
dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD, M.Kes
Disusun Oleh :
Nadia Resha Rahestha
2009730100
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RS UMUM KELAS B DAERAH CIANJUR
2015
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan menyelesaikan LAPORAN KASUS
dalam STASE ILMU PENYAKIT DALAM RS UMUM DAERAH CIANJUR sesuai pada
waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta
para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan kasus ini kami buat sebagai dasar kewajiban
dari suatu proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk
praktik kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan kasus ini. Terima kasih juga pada semua pihak yang
telah membantu kami dalam mencari informasi dan mengumpulkan data. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.
Cianjur, 10 Oktober 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....................... i
DAFTAR ISI………………………………………………………………............. ............... ii
BAB I STATUS PASIEN......................................................................................................... 1
BAB II ANALISIS MASALAH............................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..................... 19
3
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. RA
Usia : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Panumbangan 02/01 Cibulakan Cugenang
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 11 Oktober 2015, 21.42 WIB
B. KELUHAN UTAMA
Demam
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
10 hari sebelum masuk RS pasien datang dengan keluhan demam, badan tiba-tiba
demam mendadak, demam naik-turun, demam terutama pada malam hari. disertai
dengan mual, muntah 1x/hari berisi makanan yang dimakan oleh pasien dan tidak
disertai darah. Pasien mengeluh nyeri uluhati dan sulit BAB dengan frekuensi 3hari/x
berwarna kuning, konsistensi normal, tidak disertai darah. Pasien menyangkal bahwa
pasien mengalami batuk, sesak, penurunan berat badan dan gangguan BAK. Pasien
mengaku telah mengkonsumsi obat parasetamol dengan 3x500mg untuk penurun
panas selama gejala ini.
Saat datang ke ruang Apel pasien mengeluh lemas dan nyeri sendi. Pasien mengeluh
mual dan muntah masih dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan demam sudah tidak
dirasakan kembali. Riwayat HPHT pasien ±1tahun yang lalu, pasien tidak KB, Usia
anak terkecil ±1tahun dan masih menyusui
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.
Riwayat perdarahan disangkal
Riwayat Transfusi disangkal
Hipertensi disangkal
4
Diabetes mellitus disangkal
Asma disangkal
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Dikeluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama
R. Hipertensi dikeluarga disangkal
R. Diabetes Melitus dikeluarga disangkal
F. RIWAYAT PENGOBATAN
Keluhan yang dirasakan saat ini belum pernah diobati
Keluhan kuning yang dirasakan awal pada pasien pernah diobati ke RS
G. RIWAYAT ALERGI
Alergi makanan laut (-)
Alergi cuaca (-)
Alergi obat (-)
H. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien rutin mengkonsumsi makanan berserat dan buah-buahan.
Pasien merupakan ibu rumah tangga
Riwayat bepergian ke luar kota (-)
1.2 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat angkat
- RR : 19 x/menit
- Suhu : 37,0 ºC
Status Generalis
a. Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak rontok
Alis hitam, madarosis (-/-)
5
b. Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+)
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c. Hidung : deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-)
d. Mulut : Coated tongue (-), lidah tremor (-), hipertropi gusi (-)
Perdarahan gusi (-), tonsil hiperemis (-), subfrenulum ikterik
e. Telinga : bentuk normotia, simetris, serumen (-/-), darah (-/-)
f. Leher : terdapat pembesaran KGB leher post M. Sternocleidomastoid,
tidak ada pembesaran tiroid, JVP normal tidak meningkat.
g. Thorak : Bentuk normal, simetris
- Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V LMCS, ukuran sela iga
Ka=Ki
Perkusi : Batas jantung kanan linea parasternal dextra,
Batas jantung kiri di midclavicula sinistra
Batas jantung atas di ICS 2
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)
- Paru
Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru, batas paru hepar pada ICS
5-6
Auskultasi : vesikuler (+/+), rales (-/-), wheezing (-/-) cruckel (-/-)
h. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar
- Auskultasi : BU (+) normal (17 x/menit),
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (+), Hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costa dan 1 jari dibawah prosesus
xypoideus dengan tepi tumpul. Teraba pembesaran
spleen pada Schuffner II.
i. Ekstremitas
- Atas : Akral hangat, udema (-), sianosis (-), RCT < 2 detik,
6
ikterik(-)
- Bawah : Akral hangat, udema (-), sianosis (-), RCT < 2 detik
Ikterik (-)
1.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal 11 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi Lengkap
Haemoglobin 4,9 13.5-17.5 g/dL
Hematokrit 13,9 42-52 %
Eritrosit 1,75 4.7-6.1 10⁶/uL
Leukosit 21,7 4.8-10.8 10³/uL
Trombosit 407 150-450 10³/uL
MCH 28 27-31 Pg
MCV 80 80-94 fL
MCHC 35,2 33-37 %
RDW-SD 44 37-54 fL
PDW 13,5 9-14 fL
MPV 11 8-12 fL
Differential
LYM% 14.1 26-36 %
MXD% 9.9 0-11 %
NEU% 74.3 40-70 %
EOS% 1.4 1-3 %
BAS% 0.3 <1 %`
Absolut
LYM# 4,6 1.00-1.43 10³/uL
MXD# 2,17 0-1.2 10³/uL
NEU# 14,55 1.8-7.6 10³/uL
EOS# 0.12 0.02-0.50 10³/uL
BAS# 0.03 0.00-010 10³/uL
Widal Test
7
Salmonella typhi -O Negatif Negatif
Salmonella typhi -H 1/80 Negatif
1.4 ASSESMENT
Differensial Diagnosis
1. Febris dengan hepatosplenomegali ec Susp Bacterial Infection dd/ typhoid fever
- Inf RL 1000 ml/24jam
- Parasetamol 3 x 500 mg
- Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Cek Tubex T
2. Anemia normokromik normositik
- Transfusi PRC 600 ml dengan target hb > 10mg/dl
- Cek morfologi darah tepi
3. Limfadenopati dd/ Susp. TB kelenjar, susp. typhoid fever
- Cek BTA Sputum
- Rontgen Thorak PA
4. Gastrophaty
- Ondancentron 2 x 80 mg
- Omeprazole 2 x 40 mg
8
a. FOLLOW-UP PASIEN
Hari, Tanggal
S O A P
Rabu, 13/10/15
Lemas (+), Mual (+) dan Muntah (+)
TD : 120/80N : 81x/mRR : 17 x/mS : 36.50C
Pem. KGB (+), Hepatosplenomegali (+)
1. Febris dengan
hepatosplenomeg
ali ec Susp
Bacterial
Infection
- Inf RL 1000 ml/24jam
- Parasetamol 3 x 500 mg
- Ceftriaxone 2 x 1 gr
2. Anemia
normokromik
normositik
-
3. Gastropathy - Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansetron 2 x 8 mg
4. Limfadenopati
dd/ Susp. TB
kelenjar
-
Kamis, 14/10/15
Nyeri ulu hari, badan lemas, mual, dan kuning badan
TD : 110/80N : 80 x/mRR : 21 x/mS : 36.4 0CSklera Ikterik(+/+), Cembung(+), NT epigastrium (+), Hepatomegali (+)
1. Febris dengan
hepatosplenomegal
i ec Susp Bacterial
Infection
Th/ Lanjut
2. Anemia
normokromik
normositik
Th/ Lanjut- Cek USG Upper
abdomen
9
3. Gastropathy
4. Limfadenopati dd/
Susp. TB kelenjar
Pemeriksaan Morfologi darah tepi
Tanggal 11 Oktober 2015
Eritrosit : Polikromasi pada populasi normokrom, anisositosis, normoblast (+)
Leukosit : Jumlah meningkat, Granula toksik (+), Shift to the left sampai
mielosit.
Trombosit : Kelomppok trombosit cukup
Kesan : Infeksi Inflamasi
Usul : Pemeriksaan Kultur, Retikulosit
Rontgen Thorak PA
Tanggal 12 Oktober 2015
Tidak tampak kardiomegali
Tidak tampak gambaran TB paru/ Pneumonia/ Bronkitis
Penurunan densitas skeletal ec metabolic
Emfisema pulmo bilateral
10
Laboratorium
Tanggal 13 Oktober 2015
Hematologi Lengkap
Haemoglobin 7,9 post tranfusi 13.5-17.5 g/dL
Hematokrit 22,9 42-52 %
Eritrosit 2,73 4.7-6.1 10⁶/uL
Leukosit 9,1 4.8-10.8 10³/uL
Trombosit 250 150-450 10³/uL
MCH 28 27-31 Pg
MCV 83,5 80-94 fL
MCHC 35,2 33-37 %
RDW-SD 56,5 37-54 fL
PDW 15,7 9-14 fL
MPV 11 8-12 fL
Differential
LYM% 19,4 26-36 %
11
MXD% 14,7 0-11 %
NEU% 65,9 40-70 %
Absolut
LYM# 1,80 1.00-1.43 10³/uL
MXD# 1,30 0-1.2 10³/uL
NEU# 6,00 1.8-7.6 10³/uL
Imunoserologi
Tubex T 6 Reaktif > 4
Feritin 261 10-150 ng/mL
Mikrobiologis
BTA 3X Tidak ada bahan
12
BAB II
ANALISIS MASALAH
A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid
merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan
pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.
B. Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri.
Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti Uni
Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan
terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh
kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia. 6
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100 ribu
penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia demam
tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella
subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi
demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64%
ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat
inap. 6, 7
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata
antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam tifoid
dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%, dan usia > 40
tahun sekitar 5-10%. 7
C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari
genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam
13
suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o
C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas
seperti di air, es, sampah, dan debu serta hidup subur pada medium yang mengandung
garam empedu. Kuman ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. 8
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai
struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam
antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9
D. Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang
tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari penderita yang
terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain itu, transmisi juga dapat
terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi
untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas
humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh
makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke kelenjar
limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag
14
masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum
tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis.
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak kemudian
disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar
bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag
yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi
sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise,
instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di
plaque peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan
perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus
menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan
perforasi.
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada
1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.
15
E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum
klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare
sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini mempersulit
penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinisnya.
16
PATHWAYbakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran cerna
sebagian dimusnahkan asam lambung sebagian masuk usus halus
peningkatan asam lambung di ileum terminalis membentuk limfoid plaque peyeri
mual, muntah
sebagian hidup sebagian menembus intake kurang dan menetap lamina propria
gangguan nutrisi perdarahan masuk aliran limfe
perforasi masuk ke kelenjar limfe mesenterikus
PERITONITIS menembus aliran darah
nyeri tekan masuk hepar dan lien
hepatomegali, splenomegali
infeksi Salmonella typhi, paratypi, dan endotoksin
dilepasnya zat pirogen oleh leukosit
DEMAM TIFOID
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala
yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella
typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun,
demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat
dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat
perforasi usus. 4
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri
otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih
(lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan
gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis). 4, 10
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-
1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam
terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang
dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis.
Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor,
berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien
membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian
menjadi obstipasi. 4, 10
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi,
urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan
ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau
perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan
atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13
17
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7
3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang sampai
hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap
antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif
jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu
atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah
sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan
sudah mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin
tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan
aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti
aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 3, 13
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman
(karier). 13
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG
positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik. 7
5. Mikrobiologi (kultur)
18
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam
tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif, belum
tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah
darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall
(darah membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika
belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah
darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan
dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang
spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin,
cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6
G. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses
atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada 14
hari awal setelah terinfeksi. 7
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer
akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika
peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi
aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin
pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri
Salmonella. 3, 13
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia
polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah
demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi
sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN waspada
akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul
tidak khas. Ada penderita yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam
19
kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita
yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya
kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna,
dapat langsung dimatikan oleh sistem imun. 7
H. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi
diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan gastroenteritis.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti
tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga
perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat didiagnosis banding dengan sepsis,
leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin. 2, 7, 13
I. Tatalaksana
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek
penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana demam
tifoid meliputi:
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat
penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga
perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien. 5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu
tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan
retensi urin. 5
2. Managemen nutrisi
20
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti
petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak merangsang
saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi
perdarahan atau perforasi usus. 11
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare,
obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu
dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak
dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus. 11
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti
pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan.
Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai gangguan
kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam
batas normal) atau demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang
digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan
deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal
dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48 jam. 3, 11, 12
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai 7 hari
bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena dapat terjadi
hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. Tingginya angka kekambuhan
(10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi sumsum tulang
(anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang
perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11, 12
b. Tiamfenikol
21
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun
pada hari ke-6. 11, 12
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang
dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprin
80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena meningkatnya angka
mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi
MDR menjadikan ampisilin dan kotrimoksazol resisten. 11, 12
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta
mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin
mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan tidak
menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan untuk demam tifoid
meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit lambat
pada penggunaan norfloksasin. 11, 12
e. Sefalosporin generasi III
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan
memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari. Respon baik
juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari. 11, 12
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada kloramfenikol.
Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari.
22
Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri
Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12
Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid
23
Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid
J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi
perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun,
perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi
dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan
suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10
b. Perforasi usus
24
demam tifoid tanpa
komplikasi
sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari
MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari
resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari
demam tifoid
dengan komplikasi
sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah
yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada
50% penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun,
dan bahkan syok. 1, 3, 10
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga
peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi
usus pada demam tifoid. 1, 3, 10
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Ekstraintestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10
K. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status imunitas,
jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika
terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu, kesadaran
menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi
lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di
negara berkembang angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan keterlambatan
diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang
dewasa 7,4% dengan rata-rata 5,7%. 6, 7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi
25
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus biliaris lebih
tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin
kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
skistosomiasis. 7, 13
NORMOKROM NORMOSITER
1.1 Pengertian Normokrom Normositer
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan
volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia
bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang
diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan
laboratorium.
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran
sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi
besar, yaitu anemia hipokrom makrositer, anemia hipokrom mikrositer, dan anemia
normokrom normositer.
Anemia Normokrom Normositer merupakan jenis anemia dimana ukuran dan bentuk
sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal
tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia normokrom normositer (MCV
didalam batasan normal, 80-100), antara lain:
1. Pasca perdarahan akut
2. Anemia aplastik-hipoplastik
3. Anemia hemolitik – terutama yang didapat
4. Akibat penyakit kronis
5. Anemia mieloplastik
6. Gagal ginjal kronis
7. Mielofibrosis
8. Sindroma mielodisplastik
9. Leukemia akut
26
1.2 Penyakit
1.2.1 Anemia Aplastik
1. Pengertian
Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat berproduksi
maksimal sehingga sel darah baru tidak mencukupi untuk proses penggantian sel
darah lama. Pada kasus anemia biasa, umumnya hanya jumlah sel darah merah
yang rendah, tetapi pada anemia aplastik, jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan platelet menjadi sangat rendah. Dicurigai penyebab anemia aplastik ini adalah
gangguan sistem imun, atau disebut gangguan autoimun. Dimana sel darah putih
menyerang sumsum. Jika anemia aplastik ini tidak diobati, maka resiko kematian
akan muncul dalam waktu 6 bulan.
2. Klasifikasi dan Etiologi
Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab, yaitu faktor
primer dan sekunder. Secara sederhana anemia aplastik dapat diklasifikasi
sebagai berikut.
a. Penyebab Primer
1. Idiopatik (paling banyak)
2. Anemia Fanconi
3. c. Dyskeratosis congenita
b. Penyebab Sekunder
1. Zat kimia
2. Obat-obatan
3. Infeksi
4. Radiasi
Gangguan kongenital yang paling umum terjadi adalah anemia Fanconi. Penyakit
ini dapat menyerang anak-anak dan biasanya dikarenakan defek pada DNA
Repair dan aplasia yang sering disertai kelainan rangka, pigmentasi pada kulit
dan abnormalitas pada ginjal. Pemaparan pada bahan-bahan kimia, obat-obatan
dan radiasi juga dapat merusak sel induk. Obat-obatan dapat menekan
hematopoiesis secara idiosinkratik ataupun secara terduga.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pada sumsum tulang dapat dibagi
dua:
27
a. Sering atau selalu menyebabkan depresi sumsum tulang
1. Sitostatika
b. Kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang
1. Antikonvulsan, misalnya: metilhidantoin
2. Antibiotik, misalnya: kloramfenikol, sulfonamide, penicillin dan lain-
lain
3. Analgesik, misalnya: fenilbutazon
4. Relaksan otot, misalnya: meprobamat
Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya
pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur 2 – 3 bulan akan menyebabkan
anemia aplastik setelah berumur 6 tahun.
America Medical Association juga telah membuat daftar obat-obat yang dapat
menimbulkan anemia aplastik. Lihat tabel berikut.
28
Obat-obat yang sering
dihubungkan dengan
Anemia Aplastik
1. Azathioprine
2. Karbamazepine
3. Inhibitor carbonic
anhydrase
4. Kloramfenikol
5. Ethosuksimide
6. Indomethasin
7. Imunoglobulin
limfosit
8. Penisilamine
9. Probenesid
10. Quinacrine
11. Obat-obat
sulfonamide
12. Sulfonilurea
13. Obat-obat thiazide
14. Trimethadione
Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik misalnya benzen,
arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut biasanya terhirup ataupun
terkena (secara kontak kulit) pada individu.
Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena dapat
mengakibatkan kerusakan pada stem cell atau sel induk ataupun menyebabkan
kerusakan pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi yang dimaksud antara lain
pajanan sinar X yang berlebihan ataupun jatuhan radioaktif (misalnya dari
ledakan bom nuklir).
Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut dan kronis maupun anemia
aplastik. Terutama sel-sel germinal dan sel hematopoietik. Sel-sel tersebut
merupakan sel yang paling mudah mengalami kerusakan tersebut.
Selain radiasi, infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya seperti
infeksi virus Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus, HIV, dengue dan lain-lain.
Dari semua faktor penyebab anemia aplastik diatas, faktor yang paling banyak
terjadi ialah faktor idiopatik. Dimana penyebabnya anemia aplastik ini masih
belum jelas.
3. Patofisiologi
Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik.
a. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya
anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal
membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun
karena fungsinya yang menurun.
Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh
gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum tulang.
b. Kerusakan pada microenvironment
Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal eritropoietin)
maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya
jaringan sumsum tulang untuk berkembang.
29
Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan sekitar sel
induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut
untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah.
Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan cell inhibitors atau
penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya limfosit T
yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.
Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia aplastik adalah
gangguan pada sel induk pluri poten.
4. Gejala Klinis
Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama yaitu, anemia,
trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini disertai dengan gejala-gejala
lain yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah, hilang selera
makan, dan palpitasi.
- Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa
dan lain-lain.
- Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.
Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat ditemukan pada
penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang terjadi.
5. Pemeriksaan dan diagnosis
Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia
aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:
a. Pucat
b. Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.
c. Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.
d. Pembesaran hati (hepatomegali)
e. Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Café au lait dan postur tubuh yang
pendek.
f. Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh dan leukoplakia.
30
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Tepi
Granulosit < 500 /mm3
Trombosit < 20.000 /mm3
Retikulosit < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)
Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang sedikit atau
bahkan tidak ditemukan. Sedangkan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit
menurun.
Dari ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya suatu
anemia aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga kriteria di atas
terpenuhi, maka si individu sudah dapat digolongkan sebagai penderita anemia
aplastik berat.
Sumsum Tulang
Hiposeluler < 25%
Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi dan aspirasi.
6. Prognosis
Kondisi semakin buruk jika ditemukan:
- Neutrofil < 0.5 x 109
- Platelet < 20 x 109
- Retikulosit < 40 x 109
Sebelum era transplantasi sumsum tulang tulang, angka mortalitas sangatlah
tinggi. Kira-kira 65% sampai 80%. Dengan adanya transplantasi sumsum tulang,
angka mortalitas ini dapat dipastikan turun.
Transplantasi sumsum tulang ini sangatlah baik dilakukan bagi mereka yang
berumur dibawah 25 tahun dan lebih baik lagi bila dilakukan pada anak-anak.
7. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Transfusi darah dan platelet sangat bermanfaat, namun harus digunakan dengan
bijaksana dan baik karena dapat terjadi sensitisasi pada sel dan imunitas humoral
pasien anemia aplastik. Bila terjadi hal yang demikian, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
31
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
Terapi dengan Growth factor sebenarnya tidak dapat memperbaiki kerusakan sel
induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan terutama untuk pasien
dengan infeksi berat.
Penggunaan G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor) terbukti bermanfaat
memulihkan neutrofil pada kasus neutropenia berat. Namun hal ini tidak
berlangsung lama. G-CSF harus dikombinasikan dengan regimen lain misalnya
ATG/CsA untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik.
Transplantasi Sumsum Tulang (SCT, Stem Cell Transplantation)
Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia aplastik jika
memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara kembar ataupun saudara
kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien yang masih anak-anak.
Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan lebih dari
80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun angka ini dapat menurun
bila pasien yang mendapat terapi semakin tua. Artinya, semakin meningkat umur,
makin meningkat pula reaksi penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa
disebut GVHD atau graft-versus-host disease.
Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita anemia
aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat yang
termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin (ATG)
atauantilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.
Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin. Namun kedua obat
ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat memproduksi pyrexia, ruam dan
hipotensi sedangkan siklosporin dapat menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan
kerusakan hati.
Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi sumsum
tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.
1.2.2 Anemia Pasca Perdarahan
1. Definisi
32
Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau
jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh
perdarahan.
2. Etiologi
Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.
Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar
pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap
terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah
berkurang.
Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki
anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul
dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi
pada:
a. Kecelakaan
b. Pembedahan
c. Persalinan
d. Pecahnya pembuluh darah.
Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau
berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan
hidung dan wasir : jelas terlihat.
Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus
besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit
dan tidak tampak sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan
ini disebut perdarahan tersembunyi.
Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan
ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat
banyak.
3. Gejala Klinis
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2
masalah:
a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh
darah berkurang
33
b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang
mengangkut oksigen berkurang.
Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau
kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan
sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala
atau bisa menyebabkan:
a. pingsan
b. pusing
c. haus
d. berkeringat
e. denyut nadi yang lemah dan cepat
f. pernafasan yang cepat.
Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi
ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak
nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa menyebabkan kematian. Berat
ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika
darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang),
kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.
Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama
lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya
menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.
4. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):
a. Pengaruh yang timbul segera
Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang
fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau
komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (otak dan jantung). Gejala
yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan
apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200
ml pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya
daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama.
b. Pengaruh lambat
34
Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan
intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat
dipertahankan tetapi akibatnya terjadi hemodilati. Gejala yang ditemukan
adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan
hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan
metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif,
kadang-kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan
hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark miokard karena
hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan ditemukan oliguria atau
anuria sebagai akibat berkurangnya aliran ke ginjal.
5. Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya
anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam
waktu yang singkat atau anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah.
Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus
dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak
terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup
untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama
perdarahan.
Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat
besi, biasanya dalam bentuk tablet.
1.2.3 Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebakan adanya peningkatan
destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum
tulang. Sel darah merah usianya sekitar 120 hari tetapi pada anemia hemolitik
usianya berkurang. Lisis dari sel darah merah normal terjadi di makrofag sumsum
tulang, hati dan lien.
A. Etiologi dan Klasifikasi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek molekular
hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan fungsi membran-
membran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
35
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :
1. Anemia hemolisis herediter,
yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Defek enzim / enzimopati
1. Defek jalur Embden Meyerhof
1. Defisiensi piruvat kinase
2. Defisiensi glukosa fosfat isomerase
3. Defisiensi fosfogliserat kinase
2. defek jalur heksosa monofosfat
4. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
5. Defisiensi glutation reduktase
b) Hemoglobinopati
- Thalasemia
- Anemia Sickle cell
- Hemoglobinopati lain
c) Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter
2. Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Anemia hemolisis imun, misalnya ; idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan
autoimun, transfusi.
b) Mikroangiopati, misalnya ; Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindroma
Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular (KID), preeklampsia, eklampsia,
hipertensi maligna, katup prostetik.
c) Infeksi, misalnya ; infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium
B. Patofisiologi
Defisiensi isozim piruvat kinase yang ditemukan dalam sel darah merah menimbulkan
anemia hemolitik. Piruvat kinase adalah enzim kunci dalam glikolisis. Enzim ini
mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari dua enzim yang menghasilkan
ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah merah menyebabkan penimbunan zat antara
glikolisis, termasuk 2,3-BPG. Peningkatan kadar 2,3-BPG menurunkan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen, dan secara parsial mengkompensasi penurunan
kemampuan darah mengangkut oksigen akibat penurunan jumlah sel darah merah.
Jumlah sel darah merah menurun karena penurunan pembentukan ATP mempengaruhi
pompa kation di membran sel. Ca2+ masuk ke dalam sel, sementara K+ dan H2O keluar
36
dari sel. Sel eritrosit mengalami dehidrasi dan difagositosis oleh sel-sel di limpa. Umur
eritrosit jadi lebih memendek. Seiring dengan penurunan jumlah eritrosit, jumlah
retikulosit meningkat. Retikulosit berkembang menjadi sel darah merah baru.5
Defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase dapat mengakibatkan anemia hemolitik,
hemolisis disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Selengkapnya dapat dijelaskan pada
gambar berikut :
Gambar 9 : Glikolisis
1. Pemeliharaan integritas integritas membran eritrosit bergantung pada kemapuan
eritrosit menghasilkan ATP dan NADPH dari glikolisis.
2. NADPH dihasilkan dari jalur pentosa fosfat
3. NADPH digunakan untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi glutation tereduksi,
glutation penting untuk menyingkirkan H2O2 dan peroksida lemak yang terbentuk
oleh spesies oksigen reaktif (ROS)
4. pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang terjadi terus
menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan sumber spesies oksigen
reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase, infeksi, obat-obatan tertentu, dan glikosida purin pada buncis fava.
5. Akibatnya terbentuk badan Heinz (kumpulan hemoglobin yang mengalami pengikatan
silang) pada membran sel dan menyebabkan sel mengalami stres mekanis sewaktu sel
mencoba untuk mengalir melalui kapiler yang sempit. Kerja ROS pada membran sel
serta sters mekanis akibat berkurangnya daya lentur (deformabilitas) menimbulkan
hemolisis.
37
Pendeknya usia sel darah merah tidak selalu menyebabkan anemia karena
adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh sumsum tulang. Jika
destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum tulang untuk meningkatkan output,
maka akan terjadi suatu keadaan hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai
compensated haemolytic disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya
sebanyak 6 hingga 8 kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis
(erythroid hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum tulang.
Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit). Sel
tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda pada apus
darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia. Retikulosit dapat dihitung
secara akurat sebagai persentase dari semua sel darah merah pada apus darah dengan
menggunakan pewarnaan supravital untuk RNA residual. (cth; methylene biru)
C. Lokasi Hemolisis
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah adalah di
ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag di RES,
khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin terlepas dan
akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas yang
banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, walaupun sebagian
kecil direabsorbsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan terdeposit
di sel sebagai haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem. Hemopexin plasma
mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya melebihi maka ferrihaem
bersatu dengan albumin membentuk methaemalbumin. Hati berperan penting dalam
mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
1. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
2. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
3. penurunan haptoglobin plasma
4. kenaikan LDH serum
38
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
3. fragmen sel darah merah
D. Tanda dan Gejala Klinis
Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan akut, pada
umumnya berupa :
1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang dan
ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat
2. Gangguan kardiovaskuler
3. BAK warna merah/gelap
Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode beberapa
minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala. Bentuk sedang berat
: pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura (Sindrom Evan’s), hemolisis
kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca
transfusi, hemokromatosis.
F. Diagnosis Banding
- Anemia pernisiosa
- Anemia defisiensi Fe stadium awal
- Anemia pasca perdarahan masif
- Eritroleukemi
- Anemia aplastik
- Myelofibrosis
G. Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
- Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub (LPT)/hari. Respon
biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit meningkat, Hb meningkat 2-3 gr
39
%/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis steroid dapat diturunkan dalam
4-6 minggu sampi 20 mg/m2 LPT/bari; kemudian diturunkan salam 3-4 bulan.
Beberapa kasus memerlukan prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg selang sehari
- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid
- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan splenoktomi
- Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau
- Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari
- Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off, biasanya
dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis prednison diturunkan
bertahap dalam waktu 3 bulan
- Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1 gr/kgBB/hari selama 5 hari
- Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.
- Diberikan bersama dengan Prednison.
- Plasmaferes’s
b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan
c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
d) Kelainan congenital, misalnya: Talasemia
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %
Desferal untuk mencegah penumpukan besi :
Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 μg/dL biasanya setelah transfusi labu ke
12
Dosis inisial 20 mg/kgBB, diberikan 8-12 jam infus SC di dinding anterior abdomen,
selama 5 hari/minggu.
Diberikan bersama dengan 100-200 mg vitamin C per oral untuk meningkatkan
ekskresi Fe
Pada keadaan pemunpukan Fe bcrat, terutama disertai komplikasi jantung dan
endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/kgBB secara infus kontinue IV.
Sferositosis herediter.
Splenektomi, umur optimal 6-7 thn, Kl limfopeni, hipogamaglobulinemi
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau packed red
cell
3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah
krisis megaloblastik
40
4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :
Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA
Terapi suportif, perhatikan kesimbangan cairan, transfusi (pertahankan Hb 9 gr%),
jangan beri suspensi trombosit
Dialisis
5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia. gangguan
fungsi ginjal, demam.
Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75 mg/kg IV tiap
12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan FFP 3-4 L/hari
DAFTAR PUSTAKA
41
1. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www. emedicine.medscape.com .
2. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
3. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.
4. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease. www.medline.com.
5. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika.
6. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.
8. Who 2011
42