Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

24

Click here to load reader

Transcript of Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Page 1: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Tanggal praktikum : 19 September 2013

Dosen Pembimbing : Siti Sa’diah, Apt, M.Si

Kelompok Praktikum : 1 / Sore RP. Fifarm

SENYAWA KIMIA YANG BEKERJA LOKAL (SETEMPAT)

Anggota Kelompok :

1. Andra Adi Esnawan (B04090010)

2. Anizza Dyah K.M (B04100069)

3. Arlita Sariningrum (B04100070)

4. Fahmi Khairi (B04100071)

5. Fitri Aprian Harjo (B04100072)

6. Irene Soteriani Uren (B04100073)

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Pendahuluan

I. Latar Belakang

Perbedaan antara obat dan racun terletak pada dosisnya. Keduanya sama-

sama senyawa kimia yang jika diberikan pada tubuh akan memberikan efek

berbeda sesuai dosis yang diberikan. Berdampak menyembuhkan jika dosisnya

tepat tapi mengakibatkan keracunan jika dosisnya berlebih. Racun merupakan zat

kimia yang masuk dengan cara apapun dan dalam jumlah kecil yang dapat

menimbulkan gangguan atau abnormalitas fisiokimia.

Toksikan ada yang bekerja secara lokal dan general (umum). Senyawa

kimia yang bekerja secara lokal dibagi menjadi beberapa derajat kerusakan respon

lokal. Respon yang terjadi timbul di tempat yang direaksikan tanpa proses

absorbsi.

Tubuh manusia dan hewan hampir semuanya ditutupi oleh kulit, akibatnya

kulit dapat terpapar berbagai jenis zat kimia misalnya kosmetik, produk rumah

tangga, obat topikal dan pencemaran industri, terutama di tempat kerja tertentu.

Praktikum kali ini menggunakan senyawa kimia yang bekerja secara lokal

(setempat), yaitu  senyawa kimia yang bersifat irritansia dan protektiva.

Irritansia merupakan kelompok senyawa yang bekerja tidak selektif pada

sel dan jaringan tubuh dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk

sementara atau permanen. Reaksi yang bersifat ringan hanya akan merangsang

fungsi sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak fungsi sel dan

dapat menimbulkan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan kerja senyawa

kimia tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi (perangsangan

setempat yang lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel), pustulasi

(terbentuk pus), dan korosi (sel-sel jaringan rusak).

Senyawa protektiva adalah senyawa yang digunakan untuk melindungi

kulit atau mukosa terhadap daya kerja irritansia, baik yang kimiawi maupun yang

berupa sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja

sistemik dengan melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa

daya kerja protektiva adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan

koloid), emoliensia (senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia

(senyawa kimia yang digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan

Page 3: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

adsorbensia (senyawa kimia yang digunakan pada kulit dan membran mukosa,

ulcera, dan luka-luka).

II. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah praktikan mengetahui reaksi yang

ditimbulkan oleh zat irritansia dan protektiva dan mengetahui contoh dari

senyawa tersebut.

III. Metode Kerja

A. Iritansia

1. Rubefasiensia

a. Sepotong menthol digosokkan pada kulit. Kemudian dicatat hasilnya

dan diberi keterangan.

b. Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan diletakkan di atas kulit

lengan selama 2-3 menit atau sampai terasa nyeri. Sebagai

perbandingan diteteskan satu tetes kloroform di atas kulit lengan yang

lain. Kemudian hasil dicatat dan diberi keterangan

c.    Empat jari tangan dicelupkan masing-masing ke dalam larutan fenol

5 %, dicatat hasilnya dan diberi keterangan 1) air, 2) alkohol 3)

gliserin 4) minyak olivarium

2.  Kaustika

a.   Anaesthesi dilakukan pada kelinci/marmot/tikus, setelah rambut-

rambut bagian abdomen dicukur. Pada kiri dan kanan dari garis

tengah abdomen diteteteskan bahan-bahan di bawah ini :

-  1 tetes asam sulfat pekat

-  1 tetes asam khlorida pekat

-  1 tetes asam nitrat pekat

-  1 tetes fenol likuafatkum

-  1 tetes NaOH 75 %

-  1 tetes kloroform

b.   Setelah dibiarkan selama 30 menit, hasilnya kemudian dicatat dan

dilakukan percobaan yang sama pada mukosa usus setelah dilakukan

Page 4: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

pembedahan longitudinal pada abdomen kelinci, marmot atau tikus

tersebut.

B. Protektiva

1.  Demulensia

Hasilnya dicatat dan diberikan keterangan. Metode kerja :

a.  Rangsangan diberikan pada salah satu kaki kodok dengan :

- H2SO4 1/50 N

- H2SO4 1/10 N

b. Metode selanjutnya dikerjakan seperti metode a. Dengan larutan-

larutan sebagai berikut :

-   H2SO4 1/50 N ditambah gom Arab 10%

-   H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10%

2.  Astringensia

a. Satu tetes larutan tannin 5 % diteteskan pada permukaan ujung lidah.

Setelah dua menit berkumur dengan air, dan ujung lidah diamati

dengan meminta peserta lain untuk melakukan pengamatan pada

ujung lidah, selain itu dapat juga diamati dengan cermin.

3.  Adsorbensia

a.   Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada

katak secara subkutan.

b.   Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada

katak secara subkutan yang sebelumnya telah dikocok dengan karbo

adsorbensia

c.   Hasil dicatat dan diberikan keterangan.

 Tinjauan Pustaka

I. Iritansia

Iritansia merupakan kelompok zat kimia lokal yang menyebabkan terjadinya

kerusakan jaringan tubuh. Zat-zat ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam

bereaksi dengan jaringan tubuh. Secara umum, paparannya tidak langsung

mencapai pembuluh darah tetapi bereaksi secara lokal pada tempat terjadinya

paparan. Jaringan tubuh yang umumnya teriritasi akibat paparan zat-zat tersebut

Page 5: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

adalah kulit dan mukosa. Kedua jaringan ini mudah ditembus oleh zat iritan, baik

yang bersifat hidrofil maupun lipofil. Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi

atas rubefaksi, vesikasi, pustulasi dan korosi.

Rubefaksi

Rubefaksi merupakan kelompok senyawa kimia iritansia yang

mempunyai daya kerja lemah. Gejala utama yang ditimbulkan oleh

senyawa kimia ini adalah hiperemia arteriol yang dilanjutkan dengan

dermatitis eritrematosa. Contoh daya kerja dari rubafasiensia terlihat pada

paparan menthol, kloroform ataupun fenol pada kulit. Menthol merupakan

seyawa yang bisa menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Rasa nyeri

dan sakit akan timbul jika menthol digosokan secara terus-menerus pada

kulit. Kloroform akan menimbulkan iritasi ringan jika terpapar dalam

waktu yang lama di kulit. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dari

senyawa yang temasuk turunan asam formiat ini untuk melarutkan lemak.

Sedangkan daya kerja iritan dari fenol disebabkan oleh sifat keratolisis dan

vasokonstrifnya. Meskipun demikian, efek iritasinya dapat berbeda-beda

tergantung pada jenis larutannya. Fenol akan menjadi iritan jika

dicampurkan dengan air ataupun alkohol. Hal ini disebabkan oleh

kemampuan fenol sebagai pelarut, terutama pada senyawa-senyawa polar.

Selain itu, terdapat juga senyawa-senyawa lain yang bersifat

kausatika. Senyawa-senyawa ini adalah asam kuat dan basa kuat. Contoh

asam kuat adalah asam nitrat, asam sulfat, dan asam klorida. Sedangkan

basa kuat adalah natrium hidroksida. Reaksi asam akan menyebabkan

koagulasi protein dan reaksi basa menyebabkan terjadinya lisis.

Vesikasi

Daya kerja vesikasi menyebabkan terjadinya pembentukan

vesikel/gelembung. Hal ini merupakan akibat akumulasi cairan transudat

yang tinggi sehingga tidak dapat diangkut oleh bulu limfe. Cairan ini

terakumulasi di stratum korneum dan mengundang datangnya leukosit.

Transudat yang awalnya jernih akan berubah menjadi keruh.

Page 6: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Pustulasi

Daya kerja dari pustulasi adalah terbentuknya pus/nanah. Hal ini

disebabkan karena iritasi terjadi hanya pada kelenjar-kelenjar kutaneus.

Korosi

Daya kerja ini melibatkan tiga fase, yaitu: radang dengan hiperemi,

nekrosis dan pencairan kimia. Iritasi yang terjadi disebabkan oleh kerja

iritan pada protoplasma.

II. Protektiva

Kelompok senyawa kimia protektiva mempunyai kempuan untuk melindungi

kulit dan mukosa dari kerusakan. Daya kerja protektiva bersifat demulsensia,

emoliensia, astringensia, dan adsorbensia.

Demulsensia

Daya kerja dari senyawa ini adalah membentuk lapisan untuk

melindungi kulit. Hal ini ditimbulkan oleh efek pencampuran cairan koloid

dengan air. Gom (resin), musilago, dan pati merupakan bahan utama dari

senyawa demulsensia.

Emoliensia

Minyak merupakan senyawa yang termasuk ke dalam kelompok

emoliensia. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk melindungi kulit

dari iritasi.

Astringensia

Daya kerja utama senyawa astringensia adalah kemampuan

presipitasinya. Permeabilitas membran dapat ditekan tanpa menyebabkan

terjadinya kematian sel. Perubahan permeabilitas menyebabkan

menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa astringensia adalah

tanin.

Adsorbensia

Senyawa kimia berdaya adsorbensia mempunyai kemampuan

untuk menyerap zat iritan. Contoh senyawa adsorbensia adalah karbon.

Senyawa ini tidak mengiritasi kulit, melainkan melindungi kulit dengan

Page 7: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

cara mengabsorbsi zat iritan. Senyawa ini tidak berbahaya karena tidak

diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui ekskresi.

Hasil dan Pembahasan

I. Hasil

Golongan Irritansia

Tabel I. Hasil Percobaan Rubefasiensia

Senyawa Kimia Warna Bentuk SensasiMenthol Merah Tidak ada

perubahanPanas

Kloroform (ditempel)

Merah Tidak ada perubahan

Nyeri terasa pada 7 – 10 detik setelah ditempelkan

Klorofrom (diteteskan)

Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Dingin kemudian panas di detik ke 20

Fenol + air Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Dingin ++

Fenol + alkohol Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Dingin +

Fenol + gliserin Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Panas

Fenol + minyak olivarum

Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Tidak terasa apapun

Tabel II. Hasil Percobaan Kaustika

H2SO4

pekatHCl pekat HNO3

pekatFenol 5%

NaOH 75% Kloroform

Pada kulit

Perubahan warna

Merah, berasap, melepuh

Merah, berasap, melepuh

Menguni-ng

- Memerah Menghitam

Pada usus

Perubahan warna

Melepuh, memerah, memutih

Melepuh, terkelupas, memutih

Melepuh, membesar, memutih

- Mengelupas, memerah, dan coklat

Melepuh

Page 8: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Golongan Protektiva

Tabel III. Hasil Percobaan Demulsensia

Bahan Warna Bentuk SensasiH2SO4 1/50 N - - Ada, 5 detikH2SO4 1/10 N Memerah - Ada, 1 detikH2SO4 1/50 N + gom arab

- - Tidak ada

H2SO4 1/10 N + gom arab

- - Ada, 8 detik

Astringensia

Tannin terasa pahit ketika diteteskan pada lidah.Mukosa lidah berubah

menjadi merah muda, dan bagian lidah dan sekitarnya yang terkena tanin

menjadi sepet.

Tabel IV. Hasil Percobaan Adsorbensia

Perlakuan ReaksiStrikhnin nitrat (0.2 mg/ml) Terjadinya kejang pad 2 menit 38 detik

sampai 3 menit 17 detik setelah onsetDengan intensitas 23 kali

Strikhnin nitrat (0.2 mg/ml)+ karbo adsorbensi

Tidak terjadinya gejala kejang sampai 40 menit setelah onset

II. Pembahasan

Rubefasiensia

Rubefasiensia merupakan zat untuk aplikasi topikal yang menyebabkan

iritasi dan kemerahan kulit misalnya dengan menyebabkan pelebaran kapiler dan

peningkatan sirkulasi darah. Zat ini dipercaya meredakan nyeri dalam berbagai

kondisi muskuloskeletal. Pada tabel I dapat dilihat bahwa efek dari senyawa kimia

yang bersifat rubefasiensia akan menyebabkan warna merah pada kulit dan rasa

nyeri atau panas. Kloroform memberikan dua hasil yang berbeda saat ditempelkan

dan diteteskan pada kulit. Rasa nyeri yang dirasakan pada saat klorofrom

ditempelkan lebih hebat dan muncul warna kemerahan, hal ini disebabkan karena

luas permukaan yang lebih besar pada kulit yang ditempelkan dari pada diteteskan

sehingga proses rubefasiensia terjadi lebih cepat.

Page 9: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Pada percobaan yang menggunakan fenol dan berbagai zat yang

dicampurkan, didapatkan bahwa fenol ditambah dengan gliserin menghasilkan

rasa panas yang seharusnya tidak terasa apa-apa. Pada fenol dan alkohol hanya

terasa dingin yang seharusnya terjadi pucat, keriput, dan dapat pula terjadi

lepuhan di jari, namun hal itu tidak terjadi. Hal ini dapat disebabkan karena

kepekaan praktikan yang kurang dan kesalahan dalam mengamati.

Kaustika

Percobaan dimulai dengan mengukur berat badan tikus untuk menentukan

dosis urethan. Urethan yang digunakan merupakan urethan dengan konsentrasi

25% dan dosis yang digunakan adalah 1,25 g/kg berat badan. Berat tikus putih

yang digunakan dalam percobaan adalah 139 g atau 0,139 kg, sehingga diperlukan

0,695 mL urethan untuk membius tikus putih. Urethan merupakan anestetikum

yang bersifat irreversible sehingga tikus putih akan mengalami kematian secara

perlahan-lahan setelah proses masuknya obat tersebut. Tikus putih akan

mengalami penurunan kesadaran dan setelah kesadarannya telah hilang, dilakukan

pencukuran rambut pada abdomen tikus bagian ventral. Tujuan dari pencukuran

rambut adalah menyiapkan lokasi penetesan kaustika dan mempermudah

pengamatan terhadap kulit tikus.

Hasil praktikum pemberian senyawa kimia pekat terhadap organ kulit dan

usus tikus diperoleh hasil yang beragam. Adapun bahan-bahan kimia pekat yang

digunakan antara lain asam sulfat pekat (H2SO4), asam klorida pekat (HCl), asam

nitrat pekat (HNO3), fenol liquid, NaOH 75% dan kloroform. Bahan-bahan kimia

tersebut diuji pada kulit daerah abdomen dan mukosa usus tikus. Bahan yang

pertama diuji pada kulit bagian abdomen tikus adalah H2SO4 pekat. Asam sulfat

(H2SO4)memiliki daya ionisasi asam lebih kuat sehingga asam sulfat lebih mudah

dan lebih banyak beraksi dengan zat-zat di dalam kulit (Gumilar et al. 2010).

Pernyataan tersebut terbukti dengan bekas yang ditimbulkan pada kulit tikus

berupa kulit memerah serta melepuh. Begitu pula halnya yang terjadi pada

mukosa usus tikus yang melepuh, memerah kemudian memutih karena sel-sel

usus mengalami nekrosa.

Page 10: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Selanjutnya, bahan yang diuji adalah asam klorida (HCl) pekat. Tidak jauh

berbeda dengan asam sulfat, efek yang ditunjukkan adalah kulit yang memerah

dan melepuh serta lebih parah pada mukosa usus yaitu mukosa usus melepuh,

terkelupas dan memutih akibat nekrosa sel-sel usus. Lain halnya dengan HNO3

pekat yang justru meninggalkan noda menguning saat diteteskan pada permukaan

kulit. Namun saat diteteskan pada mukosa usus HNO3 menyebabkan mukosa usus

melepuh, membengkak pada bagian yang ditetesi dan terjadi nekrosa yang

ditandai dengan warna mukosa berubah putih.

Kulit yang diteteskan fenol likuafaktum menunjukkan keadaan yang tidak

berbeda jauh dengan kulit normal. Pengamatan yang dilakukan dari awal

penetesan hingga sesaat sebelum pembedahan menunjukkan bahwa jenis kaustika

ini menimbulkan respon yang lemah pada kulit tikus. Fenol merupakan turunan

dari alkohol yang memiliki toksisitas rendah pada jaringan, namun bila terhirup

akan menimbulkan efek yang fatal pada susunan saraf pusat (Mutschler 1991).

Mukosa usus yang diteteskan fenol juga tidak menunjukkan gejala toksisitas,

sehingga dapat dikatakan pada percobaan ini fenol memiliki tingkat toksisitas

terendah dari kaustika lainnya.

Keracunan basa lebih berbahaya dari keracunan asam karena

menyebabkan nekrosa akut dengan persembuhan yang sulit. melalui jaringan

nekrosa, basa dapat masuk ke dalam lapisan kulit lebih jauh (Mutschler 1991).

Hal ini sesuai dengan hasil percobaan yang menunjukkan perubahan warna

menjadi kemerahan dan adanya lepuhan pada kulit yang diteteskan dengan NaOH

75%. menururt Mutschler (1991), kulit yang diteteskan basa kuat akan dengan

mudah mengalami luka korosif lokal. Luka ini dapat ditangani dengan pembilasan

dengan air selama 15-20 menit. Jaringan mukosa usus yang ditetesi oleh NaOH

75% langsung mengalami pengelupasan, pembuluh darah berdilatasi

menyebabkan luka kemerahan dan pendarahan. Bila hal ini benar-benar terjadi

pada pasien yang mengalamai keracunan basa akibat tertelan, maka terapi yang

dianjurkan adalah mengatasi rasa nyeri serta profilaksis terhadap infeksi lokal

mukosa lambung atau usus.

Kloroform masuk kepada golongan hidrokarbon alifatik terhalogenasi

yang bersifat anestetik dan memiliki toksisitas yang tinggi pada hati dan ginjal.

Page 11: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Hal ini disebabkan oleh tingginya reaksi radikal akibat asam lemak tak jenuh

(Mutschler 1991). Kloroform yang diteteskan pada kulit menunjukkan reaksi kulit

yang memerah dan pada jaringan usus menyebabkan mukosa menjadi meleepuh

kemudian berubah warna menjadi nekrosa.

Gambar 1. Hasil penetesan kaustika pada kulit tikus putih

urutan atas ke bawah: kiri 1,2,3 dan kanan 6,5,4. penomoran berdasarkan susunan

larutan penetesan dari metode kerja.

Gambar 2. Hasil penetesan kaustika pada mukosa usus tikus putih

urutan atas ke bawah: kiri 1,2,3 dan kanan 4,5,6. penomoran berdasarkan susunan

larutan penetesan dari metode kerja.

Demulsensia

Pada pemberian asam sulfat pekat 1/10N, terlihat refleks katak dengan

cepat menarik kakinya untuk menghindari sumber sakit. Hal yang sama terjadi

dengan pemberian asam sulfat pekat sebesar 1/50N, walaupun refleks terjadi 4

detik lebih lambat. Namun, apabila ke dalam larutan asam sulfat pekat

Page 12: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

ditambahkan gom arab, waktu sampai terjadinya refleks bertambah menjadi

delapan kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/10N dan tidak ada efek

untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/50N. Hal ini disebabkan karena Gum Arab

merupakan demulsensia, sebuah senyawa koloid yang bercampur dengan air. Zat

ini dapat membentuk sebuah lapisan pelindung pada permukaan kulit yang akan

melindungi kulit atau mukosa dari iritasi, dalam hal ini asam sulfat pekat.

Senyawa demulsensia ini merupakan salah satu contoh senyawa yang bersifat

melindugi (protektiva).

Astringensia

Pada percobaan penggunaan astringensia yaitu Tannin 5% yang diteteskan

pada permukaan ujung lidah selama 2 menit kemudian dicuci dengan air

didapatkan hasil yaitu permukaan mukosa lidah menjadi kasat, pahit dan warna

permukaan mukosa lidah berubah menjadi lebih merah muda. Hal ini dapat terjadi

karena tannin merupakan zat hasil oksidasi senyawa polifenol juga dikenal

sebagai zat samak sehingga menjadi kasat. Selain itu Tannin berperan sebagai

astringensia yang dapat mempresipitasikan protein karena mempunyai afinitas

yang tinggi terhadap molekul protein untuk membentuk kompleks enzim-substrat.

Senyawa tannin juga dapat membentuk larutan garam yang tidak larut dengan

logam berat alkaloid dan glikosida sehingga dapat menurunkan efek toksisitasnya

(Booth dan McDonald 1982).

Beberapa tanaman yang mengandung tannin adalah tanaman mahkota

dewa, jati Belanda, teh , awar-awar, dan belimbing wuluh. Manfaat dari Tannin

bila dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan kuman,

sedangkan pada konsentrasi tinggi tannin bekerja sebagai antimikroba dengan

cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma kuman karena terbentuk

ikatan yang stabil dengan protein kuman (Arts et al 2002). Tanin dapat

bermanfaat sebagai antihelmintik dan antimikroba. Sebagai antihelmintik, tanin

terbukti mengurangi jumlah telur parasit yang tampak dari sekresi di faeces.

Efek antimikroba didapatkan karena tanin dapat menyebabkan terbentuknya

lapisan pelindung dari koagulasi protein pada mukosa intestinal, sehingga

melindungi vili dari kolonisasi mikroba (Lestari 2009).

Page 13: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Asupan tanin yang berlebihan dapat mengakibatkan insomnia, pening

atau mual, jantung berdebar dan satu cangkir teh setelah makan akan

mengakibatkan dispepsia (Rehman et al 2002). Tanin dalam dosis tinggi dapat

menimbulkan efek samping hingga toksik. Bila melewati membran mukosa

usus, tanin akan bereaksi dan berikatan dengan protein pada mukus dan sel

epitel mukosa. Membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi

kurang permeabel. Dosis tinggi dari tanin dapat menimbulkan efek tersebut

berlebih, sehingga mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus.

Komponen dari kondensasi tanin juga dapat merusak mukosa traktus

gastrointestinal, serta mengurangi absorpsi zat-zat makanan dan beberapa asam

amino esensial terutama methionin dan lysine. Tanaman herbal dengan

kandungan tanin yang tinggi sebaiknya tidak diberikan pada kondisi inflamasi

atau ulserasi traktus gastrointestinal (Lestari 2009).

Adsorbensia

Adsorbensia adalah senyawa kimia yang merupakan bubuk halus, tidak

larut, tidak mengiritasi dan digunakan lokal sebagai protektiva mekanis, guna

mengabsorbsi zat-zat yang merugikan (mengganggu atau meracuni).

Penggunaannya adalah pada kulit, membran mukosa, ulcera dan luka-luka.

Contohnya antara lain ; Talcum venetum, carbo medicinalis dan lain-lain.

Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica. Dalam nux

vomica juga terdapat alkaloid brusin yang mirip striknin baik kimia maupun

farmakologinya. Brusin lebih lemah dibanding striknin, sehingga efek ekstrak nux

vomica boleh dianggap hanya disebabkan oleh striknin.

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi

dan farmakologi susunan saraf, obat  ini  menduduki tempat utama diantara obat

yang bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan

antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah

penghambatan postsinaps. Glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat

postsinaps yang terletak pada pusat lebih tinggi di SSP.

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP, obat ini

merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba,

Page 14: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.

Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang

merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah

kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu

pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada

hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga

merangsang medula spinalis secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap

berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi

spinal.

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka

dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.

Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,akhirnya

terjadi konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan

hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot

ini menimbulkan nyeri hebat, dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya

(Sunaryo,1995).

Striknin dapat menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik.

Kejang ini terjadi pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis

suprakonvulsi,striknin menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada

neuromusculary junction.

Kematian akibat striknin biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak

karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas

dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun

asidosis metabolik hebat yang mungkin terjadi akibat adanya peningkatan kadar

laktat dalam plasma.

Adapun praktikum selanjutnya melihat kerja obat adsorbensia. Obat yang

digunakan adalah larutan striknin nitrat (0.2 mg/mL) dan larutan striknin nitrat

yang dicampur dengan karbo adsorbensia. Pada perlakuan pertama, katak

disuntik larutan striknin nitrat sebanyak 1 mL melalui rute subkutan. Menit ke-

2.38 katak mulai menunjukkan gejala konvulsi. Konvulsi terjadi sebanyak 23 kali

sampai menit ke- 3.17. Perlakuan kedua, katak disuntik dengan 1 mL larutan

striknin nitrat yang telah dicampur dengan karbo adsorbensia. Pada katak ini

Page 15: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

tidak terjadi apa sampai menit ke-40. Hal ini terjadi karena karbo adsorbensia

mengabsorbsi striknin sehingga konvulsi sebagai efek obat tersebut tidak terlihat

sama sekali.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan pada praktikum kali ini dapat disimpulkan

bahwa senyawa iritansia dapat menimbulkan kerusakan, baik iritasi ringan

maupun iritasi berat. Pada percobaan rubefasiansia, menthol, fenol, dan kloroform

dapat menimbulkan iritasi.dengan derajat iritasi yang berbeda-beda. Bahan

iritansia dari kelompok kaustika yang apabila terkena kulit paling berat efek nya

adalah H2SO4.  Bahan-bahan iritansia tidak hanya merusak jaringan kulit saja,

tetapi juga mampu merusak mukosa usus. Salah satu senyawa kaustika yang

mampu merusak usus dengan tingkat iritasi yang tinggi adalah NO3 pekat dan HCl

pekat. Efek iritasi yang berlebihan dapat menimbulkan kematian, striknin yang

disuntikkan pada katak tanpa karbo adsorbensia akan menyebabkan konvulsi pada

katak.

Daftar Pustaka

Ansel, Howaed C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Jakarta:

UIPress

Ariens EJ, Mutschler E, Simonis A. M. 1978. Pengantar Toksikologi Umum.

Arts MTJT, Haenen GRMM, Wilms LC, Beetsra SAJN, Heijnen CGM, Voos H,

Bast A. 2002. Interactions between flovonoid and proteins : Effects on the

total antioxidant capacity. J Agric Food Chem 50

Booth NH, McDonald LE. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed

ke-5. Ames: Iowa State University Press.

editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:

Allgemeine Toxikologie, Eine Einfuhrung.

Gumilar J, Putranto SW, Wulandari E. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam Sulfat

(H2SO4) dan Asam Formiat (HCOOH) pada Proses Pikel terhadap

Kualitas Kulit Jadi (Leather) Domba Garut. Jurnal Ilmu Ternak 10(1):1-

6.

Page 16: Lap Toksik 1 - Senyawa Kimia Lokal.docx

Lestari N. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis)

terhadap gastrointestinal mencit BalB/C. [Skripsi]. Semarang: Fakultas

Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Mutschler, Ernst. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Edisi ke-5.

Bandung: ITB Press

Rehman S, Almas K, Shahzadi N, Bhatti N, Saleem A . 2002. Effect of time

and temperature on infution of tannin from comercial brands of tea.

Int J AgrBiol, 4(2): 285-287.

Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi

Ed.IV. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Hal.223-224.

Wattimena YR, Widianto MB, Sukandar EY, penerjemah; Padmawinata K,