toksik TM 1

63
sejarah farmakologi 2.1 Definisi Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pharmacon adalah obat dan logos adalah ilmu. Obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekular. Farmakologi sendiri dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan konstituen (unsur pokok) tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic). Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan olah para ahli, antara lain: Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-molekul regulator yang mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh yang normal (Betran G. Katzung). Ilmu yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komponen, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI). Dengan demikian, farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas cakupannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup yang lebih sempit, tetapi tidak terlepas sama sekali dari farmakologi, misalnya farmakologi klinik, farmasi, toksikologi, dan lain-lain.

Transcript of toksik TM 1

Page 1: toksik TM 1

sejarah farmakologi

2.1 Definisi

Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pharmacon

adalah obat dan logos adalah ilmu. Obat adalah setiap zat kimia yang dapat

mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekular. Farmakologi sendiri dapat

didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan

konstituen (unsur pokok) tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic).

Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan olah para ahli, antara lain:

Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang berinteraksi

dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-

molekul regulator yang mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh yang normal

(Betran G. Katzung). Ilmu yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah, sumber,

sifat kimia dan fisik, komponen, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi,

distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI).

Dengan demikian, farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas

cakupannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari

farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup

yang lebih sempit, tetapi tidak terlepas sama sekali dari farmakologi, misalnya

farmakologi klinik, farmasi, toksikologi, dan lain-lain.

Umumnya, para ahli farmakologi menggabungkan antara farmakologi kedokteran

atau farmakologi medis (ilmu yang berkaitan dengan diagnosis, pencegahan, dan

pengobatan penyakit) dengan toksikologi (ilmu yang mempelajari efek-efek yang tidak

diinginkan dari suatu obat dan zat kimia lain).

Klasifikasi Farmakologi:

1. Farmakognosi

Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain

yang merupakan sumber obat.

2. Farmakokinetik

Cabang Ilmu farmakologi yang mempelajari perjalanan obat dalam tubuh

3. Farmakodinamik

Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari tentang efek obat terhadap fisiologi dan

biokimia dari sel jaringan/organ tubuh beserta mekanisme kerjanya

Page 2: toksik TM 1

4. Farmakologiklinik

Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia

5. Farmakoterapi

Cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam

pencegahan dan pengobatan penyakit

6. Toksikologi

Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia. Zat kimia yang dimaksud tersebut

termasuk obat atau zat yg digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun

lingkungan hidup lain (contoh: insektisida, pestisida, zat pengawet, dll)

7. Farmakoekonomi

Cabang ilmu yang khusus mempelajari hubungan antara obat dan nilai ekonomis yg

dapat dihasilkan oleh obat tersebut

Hubungan antara dosis suatu obat yang diberikan pada seorang pasien dan

penggunaan obat dalam pengobatan penyakit digambarkan dengan dua bidang khusus

farmakologi yaitu: farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakodinamik mempelajari

apa pengaruh obat pada tubuh. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek obat,

bagaimana mekanisme kerjanya dan organ-organ apa yang dipengaruhi. Farmakokinetik

mempelajari proses apa yang dialami obat dalam tubuh. Farmakokinetik berkaitan dengan

absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat-obat. Faktor-faktor ini

dirangkaikan dengan dosis, penentuan konsentrasi suatu obat pada tempat kerjanya, dan

penentuan intensitas efek obat sebagai fungsi dari waktu paruh. Banyak prinsip biokimia,

enzimologi, fisik, dan kimia yang menentukan transfer aktif dan pasif, serta distribusi zat

melewati membran-membran biologi yang dapat dipakai untuk dapat mengerti aspek

penting dalam farmakoogi. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek biokimia,

fisiologi, dan mekanisme kerja obat-obatan. Farmakodinamik dan farmakokinetik akan

dijelaskan sebagai berikut:

1. Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek

biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari

farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat

dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang

terjadi.

a. Mekanisme Kerja Obat

4

Page 3: toksik TM 1

kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel

organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan

biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut. Obat yang efeknya

menyerupai senyawa endogen disebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas

intrinsik sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut

antagonis. 

b. Reseptor Obat

Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga dapat

merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-

reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen.

Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer dapat

menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.

c. Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu substansi

ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik. Reseptor

yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor

tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur

atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh

agonisnya secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan

efek perangsangan.

d. Interaksi Obat-Reseptor

Ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan

ion, hydrogen, hidrofilik), mirip ikatan antara subtract dengan enzim dan jarang

terjadi ikatan kovalen.

2. Farmakokinetik

Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi distribusi metabolisme

dan ekskresi. Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk

aktif merupakan proses eliminasi obat

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.

Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna

(mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara

pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus

karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi

5

Page 4: toksik TM 1

(panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ). Obat yang

diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh.

Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut

dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif

sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat

yang diberikan harus banyak.

b. Distribusi

Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan

cairan tubuh, meliputi: aliran darah, permiabilitas kapiler, dan ikatan kovalen.

c. Metabolisme

Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat

sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat

dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu: metabolisme inaktif kemudian

diekskresikan dan metabolisme aktif yang memiliki kerja farmakologi tersendiri dan

dimetabolisme lanjutan

d. Ekskresi

Ekskresi obat artinya eliminasi obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari

tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru,

eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.

e. Hal-hal lain terkait Farmakokinetik, meliputi:  

Waktu Paruh

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang

dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism

dan ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat

harus diberikan.

Onset, puncak, and durasi

Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat

tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak adalah setelah tubuh

menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin

meningkat. Durasi adalah kerja lama obat menghasilkan suatu efek terapi.

2.2 Sejarah Farmakologi

Sejarah farmakologi dibagi menjadi 2 periode yaitu periode kuno dan periode

modern. Periode kuno (sebelum tahun 1700) ditandai dengan observasi empirik

6

Page 5: toksik TM 1

penggunaan obat dapat dilihat di Materia Medika. Catatan tertua dijumpai pada

pengobatan Cina dan Mesir. Claudius Galen (129–200 A.D.), orang pertama yg

mengenalkan bahwa teori dan pengalaman empirik berkontribusi seimbang dalam

penggunaan obat. Theophrastus von Hohenheim (1493–1541 A.D.), atau Paracelsus: All

things are poison, nothing is without poison; the dose alone causes a thing not to be

poison.” Johann Jakob Wepfer (1620–1695) the first to verify by animal experimentation

assertions about pharmacological or toxicological actions.

Periode modern dimulai Pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian

eksperimental tentang perkembangan obat, tempat dan cara kerja obat, pada tingkat organ

dan jaringan. Rudolf Buchheim (1820–1879) mendirikan the first institute of

Pharmacology di the University of Dorpat (Tartu, Estonia) in 1847 pharmacology as an

independent scientific discipline. Oswald Schmiedeberg (1838–1921), bersama seorang

internist, Bernhard Naunyn (1839–1925), menerbitkan jurnal farmakologi pertama. John

J. Abel (1857–1938) “The Father of American Pharmacology”, was among the first

Americans to train in Schmiedeberg‘s laboratory and was founder of the Journal of

Pharmacology and Experimental Therapeutics (published from 1909 until the present).

Regulasi obat bertujuan menjamin hanya obat yang efektif dan aman, yang

tersedia di pasaran. Tahun 1937 lebih dari 100 orang meninggal karena gagal ginjal

akibat eliksir sulfanilamid yang dilarutkan dalam etilenglikol. Kejadian ini memicu

diwajibkannya melakukan uji toksisitas praklinis untuk pertama kali. Selain itu industri

diwajibkan melaporkan data klinis tentang keamanan obat sebelum dipasarkan. Tahun

1950-an, ditemukan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastis. Tahun 1952

pertama kali diterbitkan buku tentang efek samping obat. Tahun 1960 dimulai program

MESO (Monitoring Efek Samping Obat). Tahun 1961, bencana thalidomid, hipnotik

lemah tanpa efek samping dibandingkan golongannya, namun ternyata menyebabkan

cacat janin. Studi epidemiologi di Utero memastikan penyebabnya adalah thalidomid,

sehingga dinyatakan thalidomid ditarik dari peredaran karena bersifat teratogen.

Tahun 1962, diperketat harus dilakukannya uji toksikologi sebelum diuji pada

manusia. Setelah itu (tahun 1970-an hingga 1990an) mulai banyak dilaporkan kasus efek

samping obat yang sudah lama beredar. Tahun 1970-an Klioquinol dilaporkan

menyebabkan neuropati subakut mielo-optik. Efek samping ini baru diketahui setelah 40

tahun digunakan. Dietilstilbestrol diketahui menyebabkan adenocarcinoma serviks

(setelah 20 tahun digunakan secara luas). Selain itu masih banyak lagi penemuan ESO

(Efek Samping Obat) yang menyebabkan pencabutan ijin edar atau pembatasan

7

Page 6: toksik TM 1

pemakaian. Berbagai kejadian ESO yang dilaporkan memicu pencarian metode baru

untuk studi ESO pada sejumlah besar pasien. Hal ini memicu pergeseran dari studi efek

samping ke studi kejadian ESO. Tahun 1990an dimulai penggunaan

Farmakoepidemiologi untuk mempelajari efek obat yang menguntungkan, aplikasi

ekonomi kesehatan untuk studi efek obat, studi kualitas hidup, dan lain-lain. Studi

Farmakoepidemiologi semakin bekembang, dan pada tahun 1996 dikeluarkanlah

Guidelines for Good Epidemiology Practices for Drug, Device, and Vaccine Research di

USA

2.1 Definisi Obat

Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan,

kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).

Obat adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka

penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan

kontrasepsi (PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993).

Bahan aktif obat agar digunakan nyaman, aman, efisien dan optimal dikemas

dalam bentuk sediaan obat (BSO) atau disebut sediaan farmasi. Bentuk sediaan obat

(BSO) dapat mengandung satu atau lebih komponen bahan aktif. Bentuk sediaan obat ini

beragam jenisnya, mulai dari yang padat, cair, aerosol, serbuk dan sebagainya. Bermacam

jenis obat tersebut memiliki fungsi tertentu atau digunakan untuk terapi obat tertentu.

2.2 Sediaan Obat Padat

Sediaan padat adalah sediaan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang padat dan

kompak. Macam-macam sediaan padat pada obat antara lain serbuk, granul, tablet, dan

kapsul.

2.2.1 Serbuk

a. Pengertian

Menurut FI ed. IV serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang

dihaluskan untuk pemakaian dalam secara oral atau untuk pemakaian luar.

Serbuk merupakan campuran homogen dua atau lebih obat yang diserbukkan.

b. Kegunaan

8

Page 7: toksik TM 1

1) Serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut daripada sediaan yang

dipadatkan.

2) Anak-anak atau orang tua yang sukar menelan kapsul atau tablet lebih mudah

menggunakan obat dalam bentuk serbuk.

3) Masalah stabilitas yang sering dihadapi dalam sediaan cair tidak ditemukan di

serbuk.

4) Obat yang tidak stabil dalam suspense atau larutan air dapat dibuat dalam

bentuk serbuk.

5) Obat yang volumenya terlalu besar untuk dibuat tablet atau kapsul dapat

dibuat dalam bentuk serbuk.

c. Jenis

1) Serbuk terbagi (pulveres)

Pulveres (divided powder) adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang

kurang lebih sama dengan yang dibungkus, dikemas dalam suatu

bungkus/sachet/perkamen atau bahan pengemas lain yang cocok untuk dosis

tungal

2) Serbuk tak terbagi (pulvis)

a. Bulk powder tersedia sebagai sirup oral antibiotik dan serbuk kering

lainnya yang tidak poten (antasida, makanan diet). Untuk multiple dosis.

b. Pulvis adspersorium (serbuk tabur/bedak) adalah serbuk ringan untuk

penggunaan obat tropical memudahkan penggunaan pada kulit.

c. Pulvis dentifriciius (serbuk gigi). Serbuk yang bisa mengobati sakit gigi,

penggunaannya dengan cara di taburkan para gigi yang sakit atau brlubang.

d. Pulvis sternutatorius (serbuk bersin). Pengunaannya dihisap melalui hidung

sehingg serbuk tersebut harus halus sekali

e. Pulvis effervescent. Serbuk biasa yang sebelum ditelan harus dilarutkan

dulu dalam air dingin atau air hangat , dan  menghasilkan gas CO2

kemudian membentuk larutan yang umumnya jernih.serbuk ini merupakan

campuran senyawa asam dan basa. Bentuk serbuk ini banyak ditemukan

pada minuman berenergi yang banyak beredar.

f. Powder for injection (serbuk injeksi)

2.2.2 Granul

a. Pengertian

9

Page 8: toksik TM 1

Granul merupakan sediaan multi unit berbentuk agglomerate dari partikel kecil

serbuk. Granul merupakan hasil dari proses granulasi yang bertujuan untuk

meningkatkan aliran serbuk dengan jalan membentuknya menjadi bulatan-bulatan

atau agregat-agregat dalam bentuk yang beraturan. Granul adalah sediaan padat

berbentuk bulat seperti kelereng yang mengandung satu atau lebih bahan

obat.Granul beratnya ± 30 mg dan yang beratnya lebih dari 500 mg disebut boli.

b. Keuntungan dan Kerugian

Keuntungan dan kerugian granul Sediaan granul (multunit) memiliki beberapa

keunmtungan dan kerugian di bandingkan dengan sediaan tunggal.

Keuntungannya antara lain, lebih mudah diperkirakan waktu pengosongannya

dilambung, variasi absorpsinya rendah, dan memiliki resiko yang lebih rendah

untuk terjadinya dose dumping. Beberapa keerugian sediaan granul (multiunit) di

bandingkan sediaan tunggal antara lain, proses pembuatannya lebih sulit dan

lebih mahal, dan proses pengisian kekapsul gelatin sulit terutama untuk partikel

yang berbeda ukuran.

2.2.3 Tablet

a. Pengertian

Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan

pengisi. Harus merupakan produk menarik yang mempunyai identitas sendiri

serta bebas dari serpihan, keretakan, pemucatan, kontaminasi. Harus mempunyai

permukaan yang halus, baik dalam penampilan dan harus kompak sehingga tidak

akan mengalami friabilitas, pengelupasan dalam wadah dan sanggup menahan

guncangan mekanik selama produksi dan pengepakan. Harus mempunyai

stabilitas kimia dan fisika untuk mempertahankan sediaan dari pengaruh

lingkungan dan penurunan mutu zat berkhasiat.

b. Macam-macam tablet antara lain:

1) Berdasarkan teknik pembuatannya dikenal 2 macam (Anonim, 1995)

a. Tablet cetak

b. Tablet kempa

2) Berdasarkan penggunaannya (Anonim, 1995)

a. Bolus

b. Tablet triturat

c. Tablet hipodermik

d. Tablet bukal

10

Page 9: toksik TM 1

e. Tablet sublingual

f. Tablet efervesen (tablet buih)

g. Tablet kunyah (chewable tablet)

h. Tablet Hisap (Lozenges)

3) Berdasarkan formulasinya maka tablet dibedakan menjadi:

a. Tablet Salut Gula (Tsg) (Dragee, Sugar Coated Tablet)

b. Tablet Salut Film (Tsf) (Film Coated Tablet, Fct)

c. Tablet Salut Enterik (Enteric Coated Tablet)

d. Sediaan Retard (Sustained Released, Form Prolonged Action, Form

Timesapan, Spanful)

4) Berdasarkan bentuknya maka tablet dibedakan menjadi:

a. Bulat pipih

b. Silindris seperti kapsul

2.2.4 Kapsul 

a. Pengertian

Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau

lunak yang dapat larut. Kapsul harus mudah ditelan dan tidak memiliki rasa

dan bau yang tidak enak. Sifat penting dari bahan aktif adalah ukuran partikel

dan kelarutan, formulasi kandungan kapsul lunak, baik cairan, larutan dan

suspensi yang diisikan ke dalam kapsul harus homogen. Bahan aktif berbentuk

padat/setengah padat dengan/tanpa bahan tambahan & terbungkus cangkang

yang terbuat dari gelatin dengan/tanpa bahan tambahan. Ukuran kapsul 000,

00, 0, 1, 2, 3, 4, 5. Ukuran 000 mempunyai volume terbesar (1,36 ml) dan

ukuran5 mempunyai volume terkecil (0,12 ml). Tujuan sediaan kapsul

menghilangkan bau obat dan menghilangkan rasa. Kapsul dapat dipecah

dalam lambung dan bisa juga dipecah dalam usus. Penyimpanan kapsul harus

dalam wadah tertutup rapat dan sebaiknya diberikan zat pengering serta

ditaruh ditempat yang sejuk.

b. Macam-macam kapsul antara lain:

1) Kapsul cangkang keras (Hard capsule)

11

Page 10: toksik TM 1

kapsul ini konsistensinya padat atau keras .

Contoh: kapsul tetrasiklin, kapsul ampisilin, kapsul kloramfenikol, dll.

2) Kapsul cangkang lunak (Soft capsule)

Kapsul ini dibuat dari gelatin.

contoh: hemaviton dan sangobion.

a. Sustained Release Capsule

Obat dalam bentuk ini di lepas secara pelan-pelan dan umumnya

dimasukan obat-obat dalam bentuk granul.

b. Enteric Capsul

Obat ini di pecah di dalam usus yang bertujuan agar tidak dirusak

dilambung atau tidak mengiritasi lambung. Agar kapsulnya keras

dimasukkan dalam larutan formal dehide

2.3 Sediaan Obat Cair

2.3.1 Pengertian

Pengertian bentuk sediaan obat cair Saturai dan Naturalisasi. Saturasi adalah

larutan yang mengandung CO2 jenuh biasanya diperoleh juga dari reaksi asam dan garam

karbonat, naturalisasi adalah larutan netral yang dibuat dengan mereaksikan asam dan

basa. Bila basanya adalah asam karbonat (NaCO3/NaHCO3) yang direaksikan dengan

suatu asam, menghasilkan CO2. Semua gas CO2 yang terbentuk tsb harus dihilangkan

semuanya.

2.3.2 Kegunaan

Kegunaan dari obat saturai dan naturalisasi untuk menutupi rasa garam yang tidak

enak, CO2 mempercepat absorbsi, merangsang keluarnya getah pencernaan yang banyak,

sebagai carminativum atau laxans, untuk antioxydant, memberi efek psiokologi bahwa

obat tersebut kuat.

2.3.3 Jenis

a. Solutiones (Larutan)

Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat

larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara

peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam golongan produk

lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau

lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut

yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Cara penggunaannya

12

Page 11: toksik TM 1

yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit). Sediaan cair yang

mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut. Terbagi atas :

1) Larutan Oral

Sediaan cair yang dimasukan untuk pemberian oral. mengandung satu atau

lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau pewarna yang

larut dalam air atau campuran kosolven air.

Jenis-jenis larutan Oral:

a. Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dalam

kadar tinggi (sirop simplex adalah sirop yang hampir jenuh dengan

sukrosa). Larutan oral yang tidak mengandung gula tetapi bahan pemanis

buatan seperti sorbitol atau aspartam, dan bahan pengental, seperti gom

selulosa, sering digunakan untuk penderita diabetes. Misalnys potio alba

contra tussim (obat batuk putih/OBP) dan potio nigra contra tussim (obat

batuk hitam/OBH).

b. Eliksir adalah larutan oral yang mengandung etanol 90% yang berfungsi

sebagai kosolven (pelarut) dan untuk mempertinggi kelarutan obat. Kadar

etanol berkisar antara 3% dan 4%, dan biasanya eliksir mengandung

etanol 5-10%. Untuk mengurangi kadar etanol yang dibutuhkan untuk

pelarut, dapat ditambahkan kosolven lain seperti gliserin, sorbitol dan

propilen glikol.

c. Sirop adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain yang

berkadar tinggi (sirop simpleks adalah sirop yang hampir jenuh dengan

sukrosa). Kadar sukrosa dalam sirop adalah 64-66%, kecuali dinyatakan

lain.Selain sukrosa dan gula lain, pada larutan oral ini dapat ditambahkan

senyawa poliol seperti sorbitol dan gliserin untuk menghambat

penghabluran dan mengubah kelarutan, rasaa dan sifaat lain zat

pembawa. Umumnya juga ditambahkan zat antimikroba untuk mencegah

pertumbuhan bakteri, jamur, dan ragi.

Jenis-jenis Sirup

1. Sirop simpleks: mengandung 65% gula dalam larutan nipagin 0,25%

b/v.

2. Sirop obat: mengandung satu jenis obaat atau lebih dengan atau tanpa

zat tambahan dan digunakan untuk pengobatan.

13

Page 12: toksik TM 1

3. Sirop pewangi: tidak mengandung obat tetapi mengandung zat

pewangi atau zat penyedap lain. Tujuan pengembangan sirop ini

adalah untuk menutupi rasa tidak enak dan bau obat yang tidak enak.

d. Netralisasi

Netralisasi adalah obat minum yang dibuat dengan mencampurkan

bagian asam dan bagian basa sampai reaksi selesai dan larutan bersifat

netral. Contoh : solution citratis magnesici, amygdalat ammonicus.

2) Larutan topikal

Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air, tetapi sering

kali mengandung pelarut lain seperti etanol dan poliol untuk penggunaan

pada kulit, atau dalam larutan lidokain oral topikal.

Jenis-jenis Larutan Topikal:

a. Lotio atau obat gosok adalah sediaan cair berupa suspense atau disperse,

digunakan sebagai obat luar. Dapat berbentuk suspense bahan padat

dalam bentuk halus dengan bahn pensuspensi yang cocok atau tipe

emulsi minyak dalam air (M/A) dengan surfaktan yang cocok. Pada

penyimpanan mungkin terjadi pemisahan. Dapat ditambahkan zat warna,

zat pengawet, dan zat pewangi yang cocok.

3) Larutan Otik

larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan

pendispersi. Penggunaan telinga luar, misalnya larutan otik benzokain dan

antipirin, larutan otik neomisin B sulfat, dan larutan otik hidrokortison.

(Syamsuni, A. 2006)Larutan yang dipakai ke dalam telinga ini biasanya

mengandung antibiotic, sulfonamida, anestetik local, peroksida (H2O2),

fungisida, asam borat, NaCl, gliserin dan propilen glikol. Gliserin dan

propilen glikol sering dipakai sebagai pelarut, karena dapat melekat dengan

baik pada bagian dalam telinga sehingga obat lebih lama kontak dengan

jaringan telinga, sedangkan alkohol dan minyak nabati hanya kadang –

kadang dipakai.

4) Larutan Optalmik

14

Page 13: toksik TM 1

Larutan Optalmik sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel yang

terdispersi dalam cairan pembawa untuk pemakaian pada mata. Obat dalam

suspensi harus dalam bentuk termikronisasi agar tidak menimbulkan iritasi

atau goresan pada kornea. Suspensi obat mata tidak boleh digunakan bila

terjadi massa yang mengeras atau penggumpalan.

b. Suspensi

Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang

terdispersi dalam fase cair. Suspensi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu

suspensi yang siap digunakan atau suspense yang direkonstitusikan dengan

sejumlah air atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan. Jenis produk ini

umumnya campuran serbuk yang mengandung obat dan bahan pensuspensi

yang dengan melarutkan dan pengocokan dalam sejumlah cairan pembawa

(biasanya air murni) menghasilkan bentuk suspensi yang cocok untuk

diberikan.Suspensi kering adalah suatu campuran padat yang ditambahkan air

pada saat akan digunakan. Agar campuran setelah ditambah air membentuk

dispersi yang homogen maka dalam formulanya digunakan bahan pensuspensi.

Komposisi suspensi kering biasanya terdiri dari bahan pensuspensi pembasah,

pemanis, pengawet, penambah rasa atau aroma, buffer, dan zat warna. Obat

yang biasa dibuat dalam sediaan suspense kering adalah obat yang tidak stabil

untuk disimpan dalam periode waktu tertentu dengan adanya pembawa air

(sebagai contoh obat-obat antibiotic) sehingga lebih sering diberikan sebagai

campuran kering untuk dibuat suspense pada waktu akan digunakan. Biasanya

suspensi kering hanya digunakan untuk pemakaian selama satu minggu dan

dengan demikian maka penyimpanan dalam bentuk cairan tidak terlalu lama.

1) Kegunaan

a. Baik digunakan bagi pasien yang sukar menerima tab / kap terutama anak-

anak.

b. Homogenitas tinggi

c. Lebih mudah diabsorpsi dari pada tablet atau kap (karena luas permukaan

kontak antara zat aktif dengan saluran cerna meningkat)

d. Dapat menutupi rasa tidak enak / pahit obat (dari larut atau tdk nya)

15

Page 14: toksik TM 1

e. Mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air kecil

(canister).

2) Jenis

Suspensi terdapat dalam berbagai macam bentuk, hal ini terkait dengan cara

dan tujuan penggunaan sediaan suspensi tersebut. Beberapa bentuk sediaan

suspensi antara lain:

a. Suspensi injeksi intramuskuler (misalnya: suspensi penisilin)

b. Suspensi sub kutan

c. Suspensi tetes mata (misalnya suspensi hidrokortison asetat)

d. Per oral (misalnya suspensi amoksillin)

e. Rektal (misalnya suspensi para nito sulfatiazol)

f. Sebagai reservoir obat

g. Patch transdermal

h. Formulasi topikal konvensional

c. Emulsi

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau cairan obat

terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau

surfaktan yang cocok. Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil

secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak

bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk

tetesan–tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan

emulgator/surfaktan yang cocok.

Komponen - komponen dari emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :

1) Komponen Dasar

Adalah bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat didalam emulsi,

biasanya terdiri dari :

a. Fase dispers / fase internal / fase diskontinyu

Yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain.

b. Fase kontinyu / fase eksternal / fase luar

Yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar

(pendukung) dari emulsi tersebut.

c. Emulgator

Adalah bagian Berupa zat yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi.

2) Komponen Tambahan

16

Page 15: toksik TM 1

Bahan tambahan yang sering ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh

hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen saporis,odoris, colouris, preservatif

(pengawet), antoksidant.

a. Tipe Emulsi

Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun

eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu:

1. Emulsi tipe O/W (oil in water) atau M/A (minyak dalam air).

Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar kedalam

air. Minyak sebagai fase internal dan air fase eksternal.

2. Emulsi tipe W/O (water in oil) atau A/M (air dalam minak).

Adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar kedalam

minyak. Air sebagai fase internal sedangkan fase minyak sebagai fase

eksternal.

b. Tujuan Pemakaian Emulsi

1. Dipergunakan sebagai obat dalam / peroal. Umumnya emulsi tipe O/W.

2. Dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O tergantung

banyak faktor misalnya sifat zat atau jenis efek terapi yang dikehendaki.

2.4 Sediaan Obat Aerosol

Berbagai jenis bahan obat dapat digunakan atau diberikan pada tubuh dalam bentuk

sediaan aerosol. Bentuk sediaan ini dapat digunakan baik secara oral maupun topikal.

Bukan hanya sediaan farmasi saja dapat ditemukan dalam bentuk aerosol, berbagai jenis

kosmetik juga saat ini dengan mudah ditemukan dalam bentuk aerosol. Bentuk sediaan

ini pada umumnya sering ditemukan untuk pengobatan saluran pernafasan misalnya

untuk penanganan simptomatis pada penyakit astma, aerosol topical untuk pengobatan

akne (jerawat), dan kosmetik seperti styling foam untuk penataan rambut.

Aerosol adalah bentuk sediaan yang mengandung satu atau lebih zat aktif dalam

wadah kemas tekan, berisi propelan yang dapat memancarkan isinya, berupa kabut hingga

habis, dapat digunakan untuk obat dalam atau obat luar dengan menggunakan propelan

yang cocok. Aerosol farmasi adalah “bentuk sediaan yang diberi tekanan, mengandung

satu atau lebih bahan aktif yang bila diaktifkan memancarkan butiran-butiran cairan

dan/atau bahan-bahan padat dalam media gas. Aerosol didefinisikan sebagai sistem

koloid yang mengandung partikel-partikel padat atau cairan yang sangat halus yang

terbagi-bagi didalam dandikelilingi oleh gas.

17

Page 16: toksik TM 1

2.4.1 Kegunaan

Aerosol dapat digunakan sebagai berikut :

a. Topikal pada kulit

Meliputi preparat yang digunakan sebagai antiseptic, antimikotik,

antipruriginosis, antialergik luka bakar dan anastesi lokal.

Contoh sediaan yang beredar di masyarakat adalah Rogaine

Foammengandung 5% minoxidil yang telah terbukti secara klinis dapat

menumbuhkan kembali 85% rambut pria dalam 16 minggu dengan pemakaian

2 kali sehari.

b. Lokal hidung ( Aerosol intranasal)

Aerosol inhalasi memiliki kerja lokal pada selaput mukosa saluran pernafasan

Ukuran partikel berkisar antara 10 – 50 µm. Ukuran partikel Aaerosol inhalasi

lebih kecil dari 10 µm.

c. Lokal Mulut (Aerosol lingual)

d. Lokal Paru-paru (Aerosol inhalasi)

Tiga tipe bentuk sediaan untuk saluran pernafasan, yaitu : metered-dose Inhaler

(MDIs), dry-powder Inhaler dan nebulizers. MDIs adalah system yang paling umum

digunakan selama lebih dari 50 tahun. Volume produk biasanya 25-100 µm, yang

dikemas dalam wadah kaleng kecil (canister).

2.4.2 Jenis Sistem Aerosol

a. Sistem dua fase : sistem aerosol yang paling sederhana, terdiri dari fase cair

yang mengandung propelan cair dan cairan pekat produk,serta fase gas. Sistem

ini digunakan untuk formulasi aerosol penggunaan inhalasi atau penggunaan

intranasal. Space spray terdiri dari 2% hingga 20% bahan aktif dan 80%

hingga 98% propelan. Ukuran partikel yang dihasilkan kurang dari 1 hingga

50 µm. Surface Coating spray merupakan produk konsentrat yang terdiri dari

20% hingga 75% bahan aktif dan 25% hingga 80% propelan. Ukuran partikel

yang dihasilkan berkisar antara 50 hingga 200 µm.

b. Sistem tiga fase : sistem yang terdiri dari lapisan air-cairan propelan yang

tidak bercampur, lapisan pekat produk yang sangat berair, serta gas.

1) Sistem dua lapisan, pada system ini propelan cair, propelan gas dan

larutan bahan aktif akan membentuk tiga fase. Propelan cair dan air, tidak

bercampur, propelan cair akan terpisah sebagai lapisan yang tidak

bercampur.

18

Page 17: toksik TM 1

2) Sistem foam/busa, terdiri dari sistem tiga fase dimana propelan cair tidak

lebih dari 10% bobotnya, yang diemulsifikasikan dengan propelan. Jika

katup atau valve ditekan, emulsi akan dikeluarkan melalui nozel dan

dengan adanya udara hangat dan tekanan atmosfer, propelan yang

terperangkap berubah menjadi bentuk gas yang menguap dan mengubah

emulsi menjad foam/busa.

c. Sistem gas bertekanan. (psia, pound per inci persegi)

Digunakan untuk produk padat, spray kering atau foam. Produk ini

menggunakan gas inert seperti nitrogen, karbon dioksida, atau nitrogen oksida

sebagai propelan.

2.1 Pengertian Farmakodinamik

Secara umum, farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari

efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya di dalam tubuh. Secara

khusus, farmakodinamik mempelajari interaksi molekular antara obat dan unsur-unsur

tubuh yang setelah melalui serentanan kejadian akan menghasilkan respons farmakologik.

Sering juga mekanisme molekular kerja obat tidak diketahui maka untuk obat tersebut

respon farmakologiknya dijelaskan dengan adanya perubahan proses-proses biokimia dan

fisiologi.

Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,

mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta sprektum

efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar

terapi yang rasional dan berguna dalam sintesis obat baru yang lebih baik dan lebih

unggulo sebagai obat.

2.2 Mekanisme Kerja Obat

Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada

sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi

dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Respons obat dapat

menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah

efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Reseptor

obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup dua konsep

penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak

menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun

19

Page 18: toksik TM 1

tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang.

Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi

sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen

(hormaon, neurotransmiter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut

agonis. Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga menimbulkan

efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Disamping itu, ada obat

yang jika berikatan denagn reseptor fisiologik akan menimbulkan efek intrinsik yang

berlawanan dengan efek agonis, yang disebut agonis negatif.

2.3 Reseptor Obat

Reseptor obat adalah suatu makromolekul target khusus yang mengikat suatu

obat dan memediasi kerja farmakologis obat. Reseptor obat dapat berupa enzim, asam

nulkeat, atau protein terikat membran khusus. Protein merupakan reseptor obat yang

penting (misalnya reseptor fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dan

sebagainya). Asam nulkeat merupakan reseproe obat yang penting terutama untuk

sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der

walls, atau kovalen, namun pada umumnya adalah campuran dari ikatan tersebut.

Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor

dan aktivitas instrinsiknya sehingga perubahan kecil dalam molekul obat dapat terjadi.

Afinitas adalah kemampuan untuk mengikat reseptor. Aktifitas intrinsik adalah

kemampuan suatu obat untuk menimbulkan suatu efek.

Reseptor fisiologik adalah protein selular yang secara normal berfungsi sebagai

reseptor ligand endogen terutama hormon, neurotransmiter, growth factor, dan autakoid.

Fungsi dari resepror fisiologik adalah pengikatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding

domain) dan penghantaran sinyal (oleh effector domain) yang secara langsung

menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis atau pengelepasan

molekul intrasel yang disebut sebagai second messenger.

2.4 Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi

ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler

fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan penempatan hormon atau

neurotransmiter pada reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma.

Saat ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat dari reseptor ini terdapat di permukaan

sel, sedangkan satu terdapat dalam sitoplasma. Dari 4 reseptor di permukaan sel, satu

20

Page 19: toksik TM 1

reseptor meneruskan sinyal yang disampaikan ligandnya dari permukaan sel ke dalam

sitoplasma dan inti sel.

Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim

, kanal ion dan G-protein coupled receptor (G-PCR). Reseptor bentuk enzim terdiri atas 2

jenis, pertama yang menimbulkan fosforilasi protein efektor yang merupakan bagian

reseptor tersebut pada membran sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfatase,

serin kinase atau guanilil kinase. Ligand endogen untuk reseptor ini antara lain insulin,

epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor, atrial natriuretic factor

(ANF), transforming growth factor-beta (TGFβ), dan lain-lain.

Reseptor bentuk enzim jenis kedua adalah reseptor sitokin yang mempunyai

ligand growth hormone, eritropoeitin, interferon dan ligand lain yang mengatur

pertumbuhan dan diferensiasi. Pada jenis reseptor ini, aktivitas fosforilasi dilangsungkan

lewat protein kinase lain (Janus-kinase, JAK) yang terikat secara nonkovalen pada

reseptor tersebut. Protein JAK ini akan menimbulkan fosforilasi protein STAT akan

masuk ke nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu. Sejumlah reseptor untuk

neurotransmiter tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan

menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau

komposisi ion. Contoh kelompok ini adalah reseptor nikotinik, reseptor untuk gama-

aminobutirat tipe A, glutamat, aspartat, dan glisin. Reseptor ini merupakan protein multi-

subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion.

Bagaimana ikatan suatu transmitor dengan ujung kanal yang terdapat di bagian ekstrasel

menyebabkan kanal terbuka, belum diketahui.

Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja mengatur protein efektor

tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP binding protein yang dikenal sebagai

protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk amin biogenik, eikosanoid,

dan hormon peptida lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada

protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik misalnya

adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+, K+ atau Na+, dan beberapa protein yang

berfungsi dalam transportasi. Protein G merupakan kompleks heterotrimerik yang terdiri

atas 3 subunit (α, β, dan γ). Jika agonis menempati reseptor ini, maka terjadi disosiasi

antara subunit α dengan subunit β dan γ. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein

G yang masing-masing dapat memberikan respons terhadap beberapa reseptor yang

berbeda dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula. Reseptor yang terdapat dalam

sitoplasma merupakan protein terlarut pengikat DNA (soluble DNA-binding protein)

21

Page 20: toksik TM 1

yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang

sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu.

Second messenger sitoplasma merupakan penghantaran sinyal biologis dalam

sitoplasma dilangsungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa siklik-AMP

(cAMP), ion Ca2+, 1,4,5-inositol trifosfat (IP3), diasilgliserol (DAG), dan NO. Substansi

ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat,

bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal eksternalnya tidak ada,

mengalami penyingkiran secara spesifik serta mengalami daur ulang.

Siklik-AMP (cAMP) ialah second messenger yang pertama kali ditemukan.

Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap

aktivasi bermacam-macam reseptor (mialnya reseptor adrenergik). Stimulasi adenilat

siklase dilangsungkan lewat protein GS dan inhibisinya lewat protein Gi. Adenilat siklase

juga dapat distimulasi oleh Ca2+ (terutama pada neuron), toksin kolera, atau ion fluorida

(F). Siklik AMP berfungsi mengaktifkan cAMP-dependent protein kinase (protein kinase

A) yang mengatur faal protein intrasel dengan cara fosforilasi. Siklik-AMP didegradasi

dengan cara hidrolisis yang dikatalisis oleh fosfodiesterase menjadi 5-AMP yang bukan

suatu second mssenger. Fosfodiesterase diaktifkan oleh Ca2+ dan kalmodulin, atau oleh

cAMP sendiri. Siklik-AMP juga dikeluarkan dari dalam sel melalui transport aktif.

Ion Ca2+ sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam

aktivasi beberapa jenis enzim (misalnya fosfolipase), menggiatkan aparat kontraktil sel

otot, mencetuskan penglepasan histamin, dan sebagainya. Kadar Ca2+ sitoplasma diatur

oleh kanal Ca2+, ATP-ase yang terdapat di membran plasma, dan depot Ca2+ intrasel

(misalnya retikulum sarkoplasmik). Kanal Ca2+ di membran sel dapat diatur oleh

depolarisasi, interaksi dengan Gs, fosforilasi oleh c-AMP dependent protein kinase, atau

oleh K+ dan Ca2+.

Inositol triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG), merupakan second

messenger pada transmisi sinyal di α1 adrenoseptor, reseptor vasopresin, asetilkolin,

histamin, plateled-derived growth factor, dan sebagainya. Stimulasi adrenoseptor α1 (dan

beberapa reseptor lain) meningkatkan kadar Ca2+ intrasel dengan beberapa cara. Salah

satu mekanisme yang paling diterima saat ini ialah bahwa akibat pengikatan agonis pada

reseptor terjadi hidrolisis fosfatidil inositol 4,5-bifosfat (PIP2) yang terdapat di membran

sel oleh fosfolipase C (PLC), sehingga terbentuk IP3 dan DAG. Kelompok reseptor yang

melangsungkan sinyal biologis dengan perantaraan IP3 dan DAG sebagai second

messenger disebut juga sebagai Ca-mobilizing receptors. Sistem ini dapat berhubungan

22

Page 21: toksik TM 1

dengan sintesis prostaglandin; di sini DAG mengalami hidrolisis lebih lanjut oleh

fosfolipase A2 yang diaktifkan oleh meningkatnya kadar Ca2+ seperti juga second

messenger yang lain, setelah respons biologis terjadi maka IP3 dan DAG mengalami

metabolisme di bawah pengaruh kinase tertentu.

NO (nitric oxide) berperan dalam pengaturan dalam sistem kardiovaskuler,

imunologi dan susunan saraf. Di samping sebagai perantara dalam fungsi sel normal, NO

juga berperan dalam sejumlah proses patologis seperti syok septik, hipertensi, stroke, dan

penyakit neurodegeneratif. Pada sistem vaskuler NO berperan dalam menstimulasi

guanili siklase untuk memproduksi Cgmp yang merupakan vasodilator. Reseptor tidak

hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan biokimia, tetapi juga diatur atau

dipengaruhi oleh mekanisme homeostatik lain. Bila suatu sel dirangsang oleh agonisnya

secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi (refrakterisasi atau down regulation)

yang menyebabkan efek perangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama berkurang

atau menghilang. Sebaliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang secara kronik,

misalnya pada pemberian β-bloker jangka panjang, seringkali terjadi hipereaktivitas

karena supersensitivitas terhadap agonis.

2.5 Interaksi Obat pada ReseptorInteraksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem

reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,

sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma. Interaksi

farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik.

Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat

diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena

penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Hal ini

terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi

yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang

mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih

mudah diperkirakan dari efek farmakologi. Oleh karena itu, kebanyakan interaksi

farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, sehingga dapat dihindarkan jika dokter

mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan dan menggunakan logikanya.

Interaksi pada sistem reseptor yang sama biasanya merupakan antagonisme antara agonis

dan antagonis/blocker dari reseptor yang bersangkutan. Interaksi farmakodinamik yang

paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ,

23

Page 22: toksik TM 1

sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai

fungsi depresi pada susunan saraf pusat. Contohnya adalah etanol, antihistamin,

benzodiazepin, dan fenotiazin yang dapat meningkatkan efek sedasi. Semua obat

antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat meningkatkan

efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat

berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium.

Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang

berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau

lebih obat. Sebagai contohnya adalah contoh penggunaan secara bersamaan obat yang

bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok beta. Beberapa antibiotika

tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Situasi ini tidak akan terjadi dengan

adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat

sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.

2.6 Antagonisme FarmakodinamikSecara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik,

yakni :

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama, tetapi

pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya

yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan

pemberian adrenalin.

2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama

(antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang

dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin, yang

menduduki reseptor yang sama.

Pembahasan selanjutnya dibatasi pada antagonisme pada reseptor, yang dapat

dikuantifikasi berdasarkan interaksi obat-reseptor. Telah disebutkan bahwa agonis adalah

obat yang jika menduduki reseptornya mampu secara intrinsik menimbulkan efek

farmakologik, sedangkan antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama

tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakologik. Dengan demikian

antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan agonisnya sehingga terjadi hambatan kerja

agonis. Oleh karena itu antagonis seringkali juga disebut receptor blocker atau bloker

saja. Jadi, bloker tidak menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat

hambatan kerja agonisnya.

24

Page 23: toksik TM 1

Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.

Kompetitif, dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor

site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi.

Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis

sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang

lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis terhadap

reseptornya menurun. Contoh antagonis kompetitif adalah β-bloker dan antihistamin.

Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di tempat lain dari receptor

site agonis dan menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian sehingga

afinitas terhadap agonisnya menurun. Jika penurunan afinitas agonis ini dapat diatasi

dengan meningkatkan dosis agonis, maka keadaan ini tidak disebut antagonisme

kompetitif (meskipun gambat kurvanya sama) tetapi disebut kooperativitas negatif.

Antagonisme nonkompetitif, hambatan efek agonis olehh antagonis

nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek

maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak

berubah.

Antagonisme nonkompetitif terjadi jika :

1. Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun di tempat

lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian

antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan

agonisnya, sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis

terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh : fenoksibenzamin mengikat

reseptor adrenergik α di receptor site secara ireversibel.

2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tetapi pada komponen lain

dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor

dalam sel target, misalnya molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein

yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut,

secara reversibel maupun ireversibel, akan mengurangi efek yang dapat

ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax) tanpa menggangu

ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya

tidak berubah).

Agonis parsialadalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai

aktivitas intrinsik atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal

25

Page 24: toksik TM 1

yang lemah. Akan tetapi, obat ini akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh

agonis penuh. Oleh karena itu agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh :

nalorfin adalah agonis parsial atau antagonis parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh

dan nalokson sebagai antagonis kompetitif yang murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai

antagonis pada keracunan morfin, tetapi jika diberikan sendiri nalorfin juga menimbulkan

berbagai efek opiat dengan derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak mempunyai

efek agonis, akan mengantagonisasi dengan sempurna semua efek opiat dari morfin.

2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor

Reseptor adalah molekul khusus pada permukaan sel yang merespon sinyal

eksternal. Ketika reseptor menerima utusan kimia atau obat pengikat reseptor, berbagai

fungsi sel diaktifkan atau dihambat. Virus harus mengikat reseptor dalam rangka untuk

memasuki sel. Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat

tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui

penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia

dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor. Pada umunya

reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek

farmakologi.

Ternyata tidak semua obat dapat dikatakan bekerja tanpa berkombinasi dengan

reseptor. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi membran, interaksi obat dengan

molekul kecilatau ion dan masuk ke dalam komponen sel. Contoh obat yang bekerja

secara nonspesifik antara lain:

a. anastetik umum yang volatil (misalnya eter, kloroform, halotan) yang berinteraksi

dengan membran sel untuk menekan eksitabilitas sampaitercapai keadaan

anastesi;

b. metralisasi asam lambung oleh suatu basa (antasid);

c. obat-obat yang bekerja dengan cara yang disebut “counterfeit incorporation

meschanism”, dengan obat tersebut merupakan analog dari konstituen

biologisyang digabungkan ke dalam komponen sel sehinggga mengubah

fungsinya. Contoh obat analog purin (mMerkaptopurin) dan analog pirimidin

(fluorourasil) yang dipakai dalam terapi kanker;

d. manitol, bila diberikan dalam jumlah tertentu akan meningkatkan osmolaritas

cairan tubuh dan dapat dipakai untuk meningkatkan osmolaritas cairan tubuh dan

26

Page 25: toksik TM 1

dapat dipakai untuk meningkatkan diuresis ataupun untuk mengurangi edema

otak.

2.1 Pengertian Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses

yang termasuk di dalamnya absorpsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi, dan

ekskresi atau eliminasi (Kee & Hayes, 1996: 6).

Untuk menghasilkan efek, suatu obat harus terdapat dalam kadar yang tepat pada tempat

obat itu bekerja. Untuk mencapai tempat kerja, suatu obat harus melewati berbagai

membran sel tubuh. Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan

kadar obat pada tempat kerjanya sehingga tujuan terapi adalah mempertahankan kadar

obat yang cukup pada tempat kerja obat tersebut. Dalam praktiknya, sangat sulit untuk

mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat dalam plasma

dengan respon yang diperoleh. Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan

pemberian obat adalah untuk mempertahnkan kadar obat yang cukup dalam darah yang

akan memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan.

OBAT DARAH (PLASMA) TEMPAT KERJA EFEK

Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis

yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang dapat menunjukkan

gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas respons yang berlainan

pula. Kenyataan hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respons yang dihasilkan

tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respons.

Dengan menganggap bahwa respons terhadap obat bergantung pada kadar obat dalam

darah, kita mengenal 3 macam kadar obat, yaitu kadar efektif minimum, pada kadar

dibawahnya tidak jelas adanya efek obat; kadar toksik, pada kadar ini adalah efek

samping yang tidak diinginkan mulai timbul; dan kadar obat yang terletak di antara kadar

efektif minimum dan kadar toksik yang dikenal sebagai jendela terapeutik. Tujuan dari

terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window

sehingga efek yang diinginkan didapat dan efek samping minimal.

2.2 Proses-Proses Farmakokinetik

a. Absorpsi

27

Page 26: toksik TM 1

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.

Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran obat di

bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan

absorpsinya kecil sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat,

contohnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung menuju ke vena kava superior

dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual ini tidak

mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.

Pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang tidak sadar atau muntah,

hanya 50% darah dari rektum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama

oleh hati juga hanya 50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui mukosa rektum seringkali

tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat yang menyebabkan iritasi mukosa

rektum.

Absorpsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi adalah sel

epitel saluran cerna. Dengan demikian, agar dapat melintasi membrane tersebut, molekul

obat harus mempunyai kelarutan lemak(setelah terlebih dulu larut dalam air).

Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (selain

dengan perbedaan kadarobat lintas membrane, yang merupakan driving force proses

difusi, dan dengan luasnya area permukaan membran tempat difusi).

b. Distribusi

Distribusi obat dapat didefinisikan sebagai proses meninggalkan aliran sirkulasi darah

dan masuk ke dalam cairan ekstraseluler dan jaringan-jaringan. Suatu obat harus berdifusi

menembus membran sel apabila tempat kerjanya adalah intraseluler. Dalam hal ini,

kelarutan obat dalam lipid sangat penting untuk terjadinya distribusi yang efektif.

Dengan kata lain, distribusi obat adalah transfer obat yang reversibel dari darah ke

berbagai jaringan tubuh. Setelah obat masuk sirkulasi darah (sesudah absorpsi). Obat

akan dibawa ke seluruh oleh aliran darah dan kontak dengan jaringan-jaringan tubuh saat

distribusi terjadi. Sesaat sebelum terjadi distribusi, mula-mula tidak ada obat di dalam

jaringan, tetapi dengan berlangsungnya distribusi, kadar obat dalam jaringan akan

meningkat. Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan

distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat

dalam jaringan dengan kadar dalam darah dan menjadi konstan dan keadaan ini disebut

keseimbangan distribusi.

c. Metabolisme

28

3

Page 27: toksik TM 1

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yaitu membran endoplasmic reticulum

(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolism yang lain (ekstra-hepatik) adalah :

dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit juga di lumen kolon (oleh flora usus).

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi

polar (larut air) agar dapat dieksresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini

obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tetapi sebagian berubah menjadi lebih aktif,

kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolism terdiri atas reaksi fase I dan reaksi

fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat

menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif.

Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengn substrat endogen: asam

glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan hasilnya akan menjadi sangat

polar, dengan demikian hamper selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I

atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan fase II. Pada reaksi fase I,

obat dibubuhi gugus polar seperti gugus amino, karboksil, sulfhidril untuk dapat bereaksi

dengan substrat endogen pada reaksi fase II.

Oleh karena itu obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat langsung

bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah

cukup polar untuk langsung diekskresi melewati ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II

lebih dulu.

Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP),

yang disebut juga enzim mono-oksigenasi atau MFO (mixed-function oxidase) dalam

endoplasmic reticulum (mikrosom) hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif

pada manusia, tetapi hanya beberapa yang penting untuk metabolisme obat.

d. Ekskresi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu,

feses, paru-paru, saliva, keringat dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang

larut dalam air, dan obat-obat yang tidak di ubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang

berikatan dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan

melalui urin.

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam

bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif

merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses,

yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus dan difusi pasif melalui epitel tubuh.

29

4

Page 28: toksik TM 1

Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun

1% per tahun.

Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein, jadi semua obat

bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam

darah. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui

transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein)

yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion

organik dan anion konyugat(mis. Penisilin, probenesid, glukonorat, sulfat, dan konyugat

glutation), dan P-gp untuk kation organic dan zat netral(mis.kuinidin, dogoxin). Dengan

demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organic maupun antra basa-basa organic

untuk disekresi. Hal ini dimanfaatkan untuk pengobatan gonorea dengan derivate

penisilin. Untuk memperpanjang kerjanya, ampisilin dosis tunggal diberikan bersama

probenesid(probenesid akan menghambat sekresi sktif amplisilin di tubulus ginjal karena

berkompetisi transporter membrane yang sama, MRP).

Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak.

Oleh Karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan

untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa. Obat

asam yang relative kuat (pKa ≤ 2) dan obat basa yang relative kuat (pKa ≥ 12, misalnya

guanetidin) terionisasi sempurna pada PH ekstrim urin akibat asdifikasi dan alakaliniasasi

paksa (4,5 – 7,5). Obat asam yang sangat lemah (pKa > 8, misalnya fenitoin) dan obat

basa yang sangat lemah (Pka ≤ 6, misalnya propoksifen) tidak terionisasi sama sekali

pada semua PH urin. Hanya obat asam dengan pKa antara 6 dan 12, yang dapat

dipengaruhi oleh PH urin. Misalnya pada keracunan fenobarbital (asam, pka = 7,2) atau

salisilat (asam, pKa = 3,0) diberikan NaHCO3 untuk membasakan urin agar ionisasi

meningkat sehingga bentuk nonion yang akan direabsorbsi akan berkurang dan bentuk

ion yang akan diekskressi meningkat. Demikian juga pada keracunan amfetamin (basa,

pKa = 9,8) diberikan NH4Cl untuk meningkatkan ekskresinya. Di tubulus distal juga

terdapat protein transporter yang berfungsi untuk reabsorpsi aktif dari lumen tubulus

kembali ke dalam darah (untuk obat-obaat dan zat endogen tertentu).

Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Berbeda

dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal

dapat dihitung berdasarkan pengurangan klirens kreatinin. Dengan demikian pengurangan

dosis obat pada gangguan fungsi ginjal dapat dihitung.

30

5

6

Page 29: toksik TM 1

Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar

bersama feses.

Transporter membrane P-gp dan MRP terdapat di membrane kanalikulus sel hati dan

mensekresi aktif obat-obat dan metabolit kedalam empedu drngan selektivitas berbeda,

yakni MRP untuk anion organic dan konyugat (glukuronat dan konyugat lain), dan P-gp

untuk kation organic, steroid, kolesterol dan garap empedu. P-gp dan MRP juga terdapat

di membrane sel usus, maka sekresi langsung obat dan metabolit dari darah ke lumen

usus juga terjadi.

Obat dan metabilit yang larut lemak dapat direabsorbsi kembali ke dalam tubuh dari

lumen usus. Metabolit dalam bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enim

glukuronidase yang dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat awalnya (parent

compound) yang mudah diabsorpsi kembali.

Akan tetapi, bentuk konyugat juga dapat langsung diabsorpsi melalui transporter

membrane OATP di dinding usus, dan baru dipecahdalam darah oleh enzim esterase.

Siklus enterohepatik ini dapat memperpanjang efek obat, misalnya esterogen dalam

kontraseptif oral.

Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum. Akskresi dalam ASI,

saliva, keringat, dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung

terutama pada difusi pasif dari bentuk nonion yang larut lemak melalui sel epitel kelenjar,

dan pada PH. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit, penting artinya karena dapat

menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu pada ibunya. ASI lebih asam dari

plasma, maka lebih banyak obat-obaat basa dan lebih sedikit obat-obat asam terdapat

dalam ASI dari pada dalam plasma. Ekskresi dalam saliva:kadar obat dalam saliva sama

dengan kadar obat bebas dalam plasma, maka saliva dapat digunakan untuk mengukur

kadar obat jika sukar untu memperoleh darah. Ekskresike rambut dan kulit: mempunyai

kepentingan forensik.

2.3 Peran Perawat dalam Pemberian Obat

Pemberian obat kepada pasien bukan hanya menjadi peran dokter dan farmasis

melainkan juga menjadi peran perawat. Peran perawat dapat dibedakan ,menjadi peran

secara umum dan peran yang didasarkan atas 12 prinsip benar pengobatan. Peran perawat

secara umum terhadap pemberian obat kepada pasien antara lain:

1. Melakukan pemantauan (follow up) terhadap program pengobatan yang sedang

dijalani pasien mengenai respon pasien terhadap pengobatan.

31

7

Page 30: toksik TM 1

Perawat memiliki peran untuk mengamati dan memantau bagaimana respon klien

terhadap pengobatan yang telah diberikan. Jika pasien menunjukkan respon yang baik

pengobatan akan dilanjutkan. Sebaliknya jika pasien menunjukkan penolakan terhadap

suatu obat akan dilakukan evaluasi dan dicari obat alternatif sebagai penggantinya.

Oleh karena itu, seorang perawat harus memiliki dasar yang kuat mengenai

farmakologi dan toksikologi khususnya tentang manfaat dan efek samping suatu obat.

2. Mendorong klien untuk lebih proaktif jika membutuhkan pengobatan.

Peran berperan menstimulasi pasien agar lebih kooperatif dan proaktif terhadap

program pengobatan yang sedang dijalankannya. Adapun cara yang dapat dilakukan

adalah membantu klien dalam membangun pengertian yang benar dan jelas tentang

pengobatan. Pengertian-pengertian tersebut dapat meliputi: nama obat, manfaat obat,

efek samping obat hingga kontraindikasi obat. Memberikan pendidikan pada psien

mengenai program pengobatan yang akan dijalankan merupakan manifestasi perawat

dalam menjalankan perannya sebagai perawat pendidik (educator).

3. Mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan dan turut serta bertanggungjawab

dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan

lain. Pemberian obat kepada pasien bukan hanya wewenang satu pihak, melainkan

beberapa pihak yang tergabung dalam sebuah tim. Oleh karenanya, dalam

memberikan obat kepada pasien seorang perawat juga harus berelaborasi dengan

tenaga kesehatan lain seperti dokter dan farmasis dalam menentukan pengobatan yang

tepat untuk pasien.

4. Memberikan obat dengan tepat sesuai prinsip 12 benar, antara lain:   

1) Benar Pasien (right client)

Perawat harus selalu memeriksa identitas pasien dengan memeriksa gelang

identifikasi dan meminta menyebutkan namanya sendiri. Hal ini dilakukan untuk

menghindari kesalahan pemberian obat pada dua pasien dengan nama sama yang

membutuhkan pengobatan dengan jadwal yang sama pula.

2) Benar Obat (right drug)

Dalam rangka menghindari kesalahan pemberian jenis obat yang akan diberikan

pada pasien perawat harus melakukan triple checking yang dilakukan pada

waktu:

a. melihat botol atau kemasan obat;

b. sebelum menuang atau menghisap obat;

c. setelah menuang atau mengisap obat.

32

Page 31: toksik TM 1

Selain itu, perawat juga berperan dalam memeriksa apakah perintah pengobatan

lengkap dan sah

dan memberikan obat-obatan tanda: nama obat, tanggal kadaluarsa.

3) Benar Dosis Obat (right dose)

Perawat harus memastikan bahwa obat diberikan dengan dosis yang telah

disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu perawat juga harus harus teliti

dalam melihat batas yang direkomendasikan bagi dosis obat tertentu menghitung

secara akurat jumlah dosis yang akan diberikan. Penghitungan jumlah dosis dapat

dilakukan mempertimbangkan beberapa hal antara lain: tersedianya obat dan

dosis obat yang diresepkan atau diminta, pertimbangan berat badan klien

(mg/KgBB/hari), jika ragu-ragu dosisi obat harus dihitung kembali dan diperiksa

oleh perawat lain.

4) Benar Waktu Pemberian (right time)

Perawat hendaknya memberikan obat sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari. Misalnya seperti 2

kali sehari, 3 kali sehari, 4 kali kali sehari dan sebagainya sehingga kadar obat

dalam plasma tubuh dapat dipertimbangkan. Pemberian obat harus sesuai dengan

waktu paruh obat (t=½ ). Obat yang mempunyai waktu paruh panjang diberikan

sekali sehari, dan untuk obat yang memiliki waktu paruh pendek diberikan

beberapa kali sehari pada selang waktu tertentu. Perawat juga harus

memperhatikan apakah obat tersebut diberikan sebelum, sesudah, atau bersama

makanan. Obat-obatan seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa

lambung dapat diberikan bersama-sama dengan makanan.

5) Benar Cara Pemberian (right route)

Dalam menerapkan prinsip ini seorang perawat harus memperhatikan proses

absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan memadai. Kemampuan pasien dalam

menelan sebelum memberikan obat peroral juga perlu dikaji. Selain itu, perawat

juga harus mempertahankan tehnik aseptic sewaktu memberikan obat khususnya

pemberian secara parenteral.

6) Benar Dokumentasi (right documentation)

Perawat harus memberikan obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di

rumah sakit dan  selalu mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah

diberikan serta respon klien terhadap pengobatan.

33

Page 32: toksik TM 1

7) Benar pendidikan kesehatan perihal pengobatan pasien (client’s right to

education)

Peran perawat sebenarnya juga merupakan aplikasi dari peran perawat sebagai

educator dimana perawat melakukan pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga

dan masyarakat luas. Pendidikan kesehatan tersebut akan meliputi manfaat obat

secara umum, penggunaan obat yang baik dan benar, alasan terapi obat dan

kesehatan yang menyeluruh, hasil yang diharapkan setelah pemberian obat, efek

samping dan reaksi yang merugikan dari obat, interaksi obat dengan obat dan

obat dengan makanan, perubahan-perubahan yang diperlukan dalam menjalankan

aktivitas sehari-hari selama sakit.

8) Hak klien untuk menolak (client’s right to refuse)

Sebelum memberikan obat, perawat harus memberikan Informed consent sebagai

bukti legal bahwa pasien menerima atau menolak program pengobatan yang

disarankan.

9) Benar evaluasi (right evaluation)

Perawat harus mampu menilai setiap hasil kerja obat terhadap pasien. Apakah

hasil tersebut positif dan memberikan progress bagi pasien atau malah

sebaliknya. Kejelian perawat dalam mengevaluasi hasil program pengobatan

terhadap pasien akan menentukan keberhasilan program pengobatan tersebut.

10) Benar Pengkajian (right assessment)

Perawat selalu memeriksa TTV (Tanda-tanda vital) sebelum pemberian obat.

11) Benar Reaksi Terhadap Makanan (drug-food interactions)

Obat memiliki efektivitas jika diberikan pada waktu yang tepat. Jika obat itu

harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang diperlukan harus

diberi satu jam sebelum makan misalnya tetrasiklin, dan sebaiknya ada obat yang

harus diminum setelah makan misalnya indometasin.

12) Benar Reaksi Dengan Obat Lain (Be aware of potential drug-drug)

Pada penggunaan obat seperti chloramphenicol diberikan dengan omeprazol

penggunaan pada penyakit kronis.

2.4 Kesalahan dalam Pemberian Obat

Obat adalah substansi yang berhubungan dengan fungsi fisiologi tubuh dan

berpotensi mempengaruhi status kesehatan. Kesalahan pemberian obat adalah suatu

34

Page 33: toksik TM 1

kesalahan atau tindakan dalam memberikan obat yang tidak sesuai dengan prinsip enam

benar yang dapat merugikan klien. Faktor Penyebab Kesalahan pemberian obat

1. Kurang menginterpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan. Perawat

juga sering tidak bertanggung jawab untuk melakukan interpretasi yang tepat

terhadap orde obat yang diberikan. Saat orde obat yang, dituliskan tidak dapat

dibaca, maka dapat terjadi misinterpretasi terhadap order obat yang akan

diberikan.

2. Kurang tepat dalam menghitung dosis obat yang akan diberikan dosis merupakan

faktor penting, baik kekurangan atau kelebihan obat dapat menyebabkan dan bisa

membehayakan, sehingga perhitungan dosis yang kurang tepat  dapat

membahayakan klien.

3. Kurang tepat mengetahui dan memahami prinsip enam benar dalam memberikan

pengobatan, kita sebagai perawat sering melakukan kesalahan yang fatal, hal

tersebut bisa terjadi apabila kita kurang mengetahui dan memahami prinsip enem

benar dalam pemberian obat.

Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah,mencakup factor lain

yang sekaligus sebagai konpensasi,memberi obat yang benar pada waktu yang salah atau

memberi obat yang benar pada rute yang salah. jika terjadi kesalahan pemberian

obat,perawat yang bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau kepala

perawat atau perawat senior setelah kesalahan itu diketahuinya.

2.5 Pedoman KIE Pemberian Obat

Kepatuhan seorang pasien terjadi jika aturan menggunakan obat yang diresepkan

serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi pengobatan akan

dilanjutkan setelah pasien pulang maka penting untuk pasien mengerti dan dapat

meneruskan terapi itu dengan benar tanpa pengawasan. Hal ini sangat penting terutama

untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma, artritis rematoid, hipertensi, TBC,

diabetes melitus, dan penyakit lainnya. Terapi pengobatan yang efektif dan aman hanya

dapat dicapai bila pasien mengetahui dasar pengobatan dan kegunaanya. Untuk itu

sebelum pasien pulang ke rumah, perawat perlu memberikan KEI (konfirmasi, informasi,

edukasi) kepada pasien maupun keluarga tentang :

1. Nama obatnya.

2. Kegunaan obat.

3. Jumlah obat untuk dosis tunggal.

4. Jumlah seluruh obat yang diminum.

35

Page 34: toksik TM 1

5. Waktu ketika obat iu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak

diminum bersama susu)

6. Untuk berapa hari obat itu harus diminum.

7. Apakah harus sampai habis atau berhenti setelah keluhan menghilang.

8. Rute pemberian obat.

9. Efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya

10. Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor

pada terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.

11. Cara penyimpanan obat

12. Setelah obat habis apakah perlu kontrol kembali atau tidak

2.1 Undang-undang yang Mengatur Pembuatan, Pemasokan, dan Penggunaan obat

di Inggris

2.1.1 The Medicies Act (1968)

Undang-undang ini mengartikan ‘medicinal products’ sebagai substansi yang

dijual atau dipasok untuk pemakaian pada manusia atau binatang dengan tujuan

pengobatan. Untuk tujuan ini dibuat klasifikasi obat secara luas menjadi tiga kelas,

yaitu:

a. Obat hanya didapat lewat resep dokter (POM; Prescription Only Medicines)

b. Obat farmasi (P; Pharmacy Medicines)

c. Obat daftar bebas (GSL; General Sales List medicines)

Berbagai persyaratan berlaku bagi penjualan, pemasokan, dan perlabelan

masing-masing kelas. Pada rumah sakit serta institusi lainnya, semua obat harus

disimpan dengan tepat dan tertib untuk menjamin agar obat-obatan tersebut tetap

aman serta efektif pemakaiannya, dan untuk mencegah pengambilan obat oleh orang

yang tidak berwenang serta penyalahgunaan obat (Departemen Kesehatan, 1988)

2.1.2 The Misuse of drugs Act 1971

Undang-undang penyalahgunaan obat ini menetapkan dan mengartikan obat

terkendali sebgai substansi yang berbahaya atau yang membahayakan

kesehatan.Substansi tersebut merupakan preparat yang dapat diperoleh hanya dengan

resep dokter di bawah Medicie Act.Tujuan utama Undang-undang penyalahgunaan

obat ini adalah mencegah penyalahgunaan obat terkendali dengan menghalangi

pembuatan atau pemasokannya, kecuali jika dilakukan menurut peraturan yang ada

dalam undang-undang tersebut.Peraturan lainnya mengatur persyaratan bagi

penjagaan keamanan, pemusnahan, dan pemasokan pada orang-orang yang adiktif.

36

Page 35: toksik TM 1

Untuk memenuhi tujuan ini, maka dalam peraturan mutakhir, obat terkendali

diklasifikasikan ke dalam limaSchedule yang masing-masing menyatakan tingkat

pengendalian yang berbeda.

a. Ditulis dengan tangan, diparaf dan diberi tanggal oleh dokter yang menulis resep

b. Ditulis dengan tinta atau bahan lain yang tidak bisa dihapus

c. Mencangkup nama dan alamat pasien

d. Menyatakan (dengan kata-kata dan bilangan ) jumlah total obat yang diberikan

e. Menyatakan dosis yang diberikan

Di rumah sakit, permintaan, pemasokan, dan penyimpanan obat terkendali

berada di bawah control yang ketat.

a. Obat-obat tersebut harus disimpan terpisah dalam lemari terkunci, sehingga

pengambilannya sangat dibatasi

b. Pemasokan dari apotek ke bangsal atau bagian rumah sakit hanya dilakukan

berdasarkan perintah tertulis yang ditandatangani oleh perawat yang bertanggung

jawab

c. Catat stok disimpan dan rincian dosisnya dicantumkan. Harus dibuat buku

register khusus untuk keperluan ini dan bukan untuk tujuan lainnya; biasanya

setiap pemasukan obat ke dalam lemari ditandatangani lagi oleh dua orang

perawat. Catatan harus diperiksa secara teratur oleh perawat kepala dan apoteker

menurut kebijakan Depkes setempat.

Singkatan yang biasa digunakan dalam peresepan yaitu sebagai berikut:

Singkatan Latin Inggris (Indonesia)

a.c. Ante cibum Before food (sebelum

makan)

ad lib. Ad libitum To the desired amount

(jumlahnya sekehendak

pasien)

b.d atau b.i.d Bis in die Twice a day (dua kali

sehari)

c. cum With (dengan)

o.m. Omni mane Every morning (setiap

pagi)

o.n. Omni nocte Every night (setiap malam)

p.c. Post cibum After food (sesudah

37

Page 36: toksik TM 1

makan)

p.r.n. Pro re nata Whenever necasary (jika

perlu)

q.d. Quaque die Every day (setiap hari)

q.d.s. Quaque die sumendum Four times daily (empat

kali sehari)

q.i.d. Quarter in die Four times daily (empat

kali sehari)

q.q.h. Quarter quque hora Every four hours (setiap

empat jam sekali)

R recipe Take (ambillah)

s.o.s Si opus sil If necessary (jika perlu)

Stat. sttim At once (sekaligus)

t.d.s Ter die sumendum Three times a day (tiga kali

sehari)

t.i.d Ter in die Three times a day (tiga kali

sehari)

2.2 Standar Pemberian obat

UKCC (United Kingdom Central Council) dalam jurnalnya tentang pemberian obat

menyatakan dengan jelas peranan dan tanggung jawab perawat, bidan, dan pengunjung

rumah dalam memberikan obat-obat yang diresepkan oleh dokter.

2.2.1 Standar ini menggantikan the Council’s advisory paper: Administration of

Medicines (UKCC, 1985). Standar ini dibuat untuk membantu para praktisi

dalam memenuhi harapan agar mereka dapat bekerja lebih efektif untuk

melayani kepentingan pasien serta klien untuk mempetahankan serta

meningkatkan standar pelayanan

2.2.2 Pemberian obat merupakan aspek penting praktik profesional profesi. Tugas

ini bukan bersifat otomatis untuk dilaksanakan dengan kepatuhan yang mutlak

menurut resep yang ditulis oleh seorang dokter. Tugas ini memerlukan

pemikiran dan penilaian professional yang diarahkan kepada hal-hal berikut:

a. Memastikan kebenaran resep

b. Menilai kesesuian pemberian dengan waktu pemberian yang dijadwalkan

38

Page 37: toksik TM 1

c. Menguatkan kembali efek pengobatan yang positif

d. Meningkatkan pemahaman pasien terhadap obat yang direepkan dan

menghindari penyalahgunaan obat ini serta obat lainnya

2.2.3 Mengetahui dengan baik proses permintaan obat institusional dan sistem

pemberiannya (floor stock disbanding dosis unit).

2.2.4 Mengetahui kemana mencari informasi mengenai obat. Sumber informasi

termasuk dokter, apoteker, perpustakaan, dan referensi obat.

2.2.5 Verifikasi setiap instruksi pemberian obat sesering mungkin. Proses

penyalinan harus lengkap sesuai potensi kesalahan.

2.2.6 Menggunakan waktu pemberian obat standar. Hal ini membantu menghindari

kebingungan, khususnya bila pemantauan tes laboratorium harus dilakukan

pada waktu tertentu setelah pemberian obat.

2.2.7 Pada saat memberikan obat, periksa produk obat untuk kemungkinan adanya

kerusakan (retak pada kapsul, obat suntik yang keruh, endapan dalam larutan).

Laporkan hal ini sesegera mungkin. Pastikan identitas pasien sebelum

pemberian obat. Jaga agar obat berlabel jelas selama mungkin (tempatkan

dalam kemasan dosis unit tepat di sisi tempat tidur). Dokumentasikan

pemberian obat dalam catatan yang tepat. Bila suatu obat ternyata tidak

tersedia pada saat pemberian, jangan meminjamnya dari pasien yang lain.

Selidiki mengapa obat tidak ada. Pasti ada alasan memaksa sehingga obat

tidak diberikan sampai diperoleh informasi yang pasti (interaksi potensial,

riwayat reaksi sebelumnya).

2.2.8 Observasi adanya efek obat, termasuk reaksi merugikan. Mendokumentasikan

hasil terapeutik yang diinginkan merupakan hal yang sangat pemtimg seperti

halnya melaporkaan adanya ruam.

2.2.9 Bila kalkulasi obat diperlukan, sangat bijaksana untuk memeriksanya kembali

dengan orang lain (Apoteker atau perawat). Penggunaan kosentrasi standar

atau label kecepatan infus sangat bermanfaat.

2.2.10Biasakan diri dengan alat pemberian obat sebelum menggunakannya dan

pahami keuntunga dan kerugiannya. Berbagai sistem pemberian obat

berteknologi tinggi (pompa infus, inhaler, patch) membutuhkan perhatian

khusus mengenai penggunaannya yang tepat.

2.2.11Ajarkan pada pasien mengenai obat mereka sebanyak mungkin. Berikan

informasi ini dalam format yang dapat dipahami pasien. Berikan informasi

39

Page 38: toksik TM 1

dengan huruf berukuran besar, terjemahan, gambar, atau cara apapun agar

konsumen benar-benar mengerti. Lakukan penyuluhan pada pemberian dosis

pertama dan perkuat informasi pada pemberian dosis berikutnya.

2.2.12Bila obat tidak diberikan sesuai instruksi, untuk alasan apapun, hal ini harus

didokumentasikan.

2.3.1 Benar Rute

Pada pemberiannya, proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan

memadai.Perawat harus memperhatikan kemampuan klien dalam menelan sebelum

memberikan obat-obat peroral dan mampu menggunakan teknik aseptik sewaktu

memberikan obat melalui rute parenteral.Oleh karena itu, perawat dituntut untuk

memberikan obat pada tempat yang sesuai dan tetap bersama dengan klien sampai

obat dalam sediaan oral telah ditelan oleh klien.

Rute yang lebih sering digunakan dalam pemberian obat adalah:

a. oral ( melalui mulut ): cairan, suspensi, pil, kaplet, atau kapsul .

b. sublingual ( di bawah lidah untuk absorpsi vena ).

c. bukal (diantara gusi dan pipi).

d. topikal ( dipakai pada kulit ).

e. inhalasi ( semprot aerosol ).

f. instilasi ( pada mata, hidung, telinga, rektum atau vagina ).

g. parenteral: intradermal, subkutan, intramuskular, dan intravena.

40