makalah toksik
Click here to load reader
-
Upload
tinny-sumardi -
Category
Documents
-
view
165 -
download
21
Transcript of makalah toksik
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses
kelangsungan hidup manusia. Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan
pangan sejak beberapa abad yang lalu. Sebagai bahan pangan, ikan mengandung
gizi utama berupa protein, lemak, vitamin dan mineral. Protein ikan menyediakan
2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. kandungan
protein ikan relatif besar yaitu 15-25 % / 100 g daging ikan. Selain itu, protein
ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir semuanya diperlukan oleh tubuh
manusia (Junianto,2003).
Komoditas perikanan dikenal sebagai bahan pangan yang tergolong mudah
dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi
yang mudah busuk karena kandungan protein dan air yang cukup tinggi pada
tubuhnya. Ikan hanya dapat bertahan 5-8 jam di udara terbuka sebelum mulai
mengeluarkan bau busuk dan makin cepat membusuk bila tidak segera mendapat
penanganan khusus sebagai tindakan pencegahan. Proses pembusukan ikan dapat
disebabkan oleh aktivitas enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan sendiri,
aktivitas mikroorganisme, atau proses oksidasi pada lemak tubuh ikan oleh
oksigen dari udara (Afrianto, 1989).
Dua dekade terakhir ini kualitas hidup manusia mengalami peningkatan
secara signifikan sejalan dengan perkembangan IPTEK dan pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan kualitas hidup berdampak terhadap kesadaran akan
pentingnya kesehatan, yang berhubungan dengan tuntutan jaminan kesehatan
terhadap bahan makanan yang dikonsumsi termasuk produk perikanan. Keamanan
pangan (food safety) merupakan salah satu isu penting dalam perdagangan produk
perikanan. Persaingan perdagangan akan didasarkan pada isu ini, kadang-kadang
dijadikan hambatan teknis (technical barrier) untuk memfilter masuknya
komoditas perikanan dari luar negeri oleh negara importir. Dijumpai
kecenderungan beberapa negara dalam memperketat persyaratan mutu bagi
komoditas perikanan yang diimpor negaranya (Soewarlan, 2009).
Laporan FDA (Food and Drug Administration) tahun 2001-2005
menunjukkan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus
histamin dan logam berat. Tahun 2004 dalam laporan Rapid Alert System for
Food and Feed (RASFF) UE, terdapat 39 kasus histamin pada ikan ekspor,
dengan 32 kasus terdapat pada tuna. RASFF merupakan salah satu kontrol sistem
terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa.
Tuna Indonesia disebutkan dalam laporan tersebut mengandung timbal, karbon
monoksida dan histamin (Fadly, 2009).
Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK)
merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin.
Keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia,
Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia. Pada periode tahun 1990 -
2000, jumlah yang menderita keracunan histamin dari ikan di Amerika Serikat
sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 – 1999 jumlah yang terserang
keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32 orang, sedangkan
periode tahun 1990 – 2000, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan
di Australia sebanyak 31 orang (Sumner et al. 2004).
I.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian histamin,
2. Mengetahui penyebab utama histamin,
3. Mengetahui racun penyebab histamin,
4. Mengetahui rumus empiris dan struktur histamin,
5. Mengetahui syntom dari histamin,
6. Mengetahui sifat racun dan usaha dan usaha untuk menghilangkan
histamin,
7. Mengetahui mekanisme keracunan histamin pada manusia serta
pengaruhnya,
8. Mengetahui kadar racun histamin yang diperbolehkan, dan
9. Mengetahui prosedur analisa racun histamin.
II. PEMBAHASAN
Histamin adalah senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino
histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et al., 2008).
Histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai berat molekul rendah
yang terdiri dari cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan
komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan salah satu amin biogenik
yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis manusia (Indriati et al. 2006).
Histamin memiliki struktur molekul C5H9N3 dengan nama IUPAC 2-(1H-
imidazol-4-yl) ethanamine berat molekul 111.15 g/mol (Paiva et.al. 1970). Satuan
kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100 g, mg% atau ppm
(mg/1000 g) (Kimata, 1961).
Pembentukan histamin terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas
bakteri. Histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil karya enzim yang
menyebabkan pemecahan histidin yaitu enzim histidine dekarboksilase. Melalui
proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil) dihasilkan histamin.
(Hadiwiyoto, 1993). Perubahan histidin menjadi histamin dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan histidin menjadi histamin (Huss et al., 2004)
Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan
sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba
yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang
mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA
telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g
menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap
penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna
tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan
tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah dibagian
ekor (Winarno, 1993).
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada
daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari
ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane
dan Olley, 2000).
Ketika enzim histidin dekarboksilase sudah terbentuk maka enzim tersebut
akan terus membentuk histamin walaupun bakterinya sudah tidak aktif (Kimata,
1961). Bakteria jenis Clostridium perfringens, Enterobacter aerogenes, Klebsiella
pneumoniae, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan
Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang menyebabkan
histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 30 C (Kanki et
al., 2002). Bakteri Morganella psychrotolerant dan Photobacterium phosphoreum
dapat memproduksi histamin pada suhu dingin, dimana sebanyak 31% ikan yang
disimpan pada suhu -10°C sampai 50°C terdapat histamin sampai kadar 500 ppm
(Emborg dan Dalgaard, 2008).
Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya
tergantung pada kandungan histidin, jenis dan jumlah bakteri yang
mengkontaminasi, suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi
mikroba, pada cara penanganan dan penyimpanan ikan (Pan, 1984). Suhu
optimum pembentukan histamin adalah 25°C (Sumner et al., 2004).
Histamin yang terkandung dalam daging ikan ikut tertelan dan masuk ke
dalam saluran pencernaaan, kemudian diserap oleh pembuluh darah dinding usus
dan masuk ke dalam peredaran darah yang akan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah dan akan meningkatkan premiebilitas kapiler darah serta
mengakibatkan pembengkakan dan warna merah pada kulit. (Rahmawati et al,
2002). Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung
histamin dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Kadar histamin yang
tinggi pada produk ikan tuna dapat berubah menjadi toksin, yang disebut dengan
toksin scombroid penyebab scombroid poisoning (Fadly, 2009).
Gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan
leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa
terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller et al.
1982). Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit
setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi (Bremer et al.
2003). Histamin dapat dihilangkan dengan pemberian antihistamin atau mengolah
daging ikan terduga mengandung histamin dengan di masak menggunakan santan
(Rahmawati et. al,.2002).
Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna,
mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level
yang harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50
mg histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat
menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan
5 mg histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit
yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002).
Menurut SNI 01-4104.1-2006 tentang standar mutu tuna loin beku persyaratan
maksimum untuk cemaran kimia histamin sebesar 100 mg/kg (BSN, 2006).
Prosedur analisa histamin menurut SNI 01-2360-1991 terdapat 2 jenis yaitu
penentuan kadar histamin dan penentuan total bakteri penghasil histamin.
A. Kadar histamin
Kadar histamin dapat dianalisis dengan metode :
• Tahap ekstraksi
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan
methanol sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer
(blender) kurang lebih selama 1-2 menit. Setelah homogen maka sampel
tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 60°C selama 15 menit,
kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel
dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai
tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel kemudian disaring
dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
Tahap clean up
Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut
dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu
dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang
lebih 8 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering dengan cara
dibilas menggunakan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja ion
tersebut). Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom
sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah
diberi 5 ml HCL 1 N.
Tahap pembentukan
Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCL
0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk
larutan sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Selanjutnya
ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama
5 menit, kemudian ditambahkan sebanyak 1 ml orto-
ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu dihomogenkan dan didiamkan selama
4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H3PO43 5,7 N dan
dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan
spektrofotoflourometer dengan eksitasi pada 350 nm dan pengukuran
flourescence pada 444 nm.
Perhitungan kadar histamin (ppm):
Histamin (mg/Kg) =
Keterangan :
IU = Absorban sampel
A dan B = Koefisien regresi linier
Fp = Faktor pengenceran
B. Uji total bakteri penghasil histamin
Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin
menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan
mengakibatkan perubahan warna pada media. Larutan niven agar disiapkan
dengan cara mencampurkan semua bahan, yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast
ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO, 2 % NaCl, 2,5 % agar, 0,01 %
phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan diencerkan
dengan aquades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6-6,1
lalu disterilisasi pada suhu 121°C selama 2 jam. Sampel diencerkan sampai
105. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap pengenceran dimasukkan ke
dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu ruang, + 30.5°C)
dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian diinkubasi pada
suhu 35°C selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda dengan latar
belakang kuning dan orange.
III. PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah histamin adalah sebagai berikut :
1. Histamin adalah senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino
histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase.
2. Penyebab histamin adalah aktivitas pemecahan histidin yaitu enzim
histidine dekarboksilase dan aktivitas mikroorganisme Clostridium
perfringens, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Morganella
morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus.
3. Racun dari histamin adalah toksin scombroid penyebab scombroid
poisoning.
4. Rumus empiris histamin C5H9N3.
5. Syntom terhadap histamin sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher
kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa
terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah.
6. Histamin memiliki sifat yang tidak larut air. Suhu optimum pertumbuhan
25°C.
7. Histamin yang terkandung dalam daging ikan ikut tertelan dan masuk ke
dalam saluran pencernaaan, kemudian diserap oleh pembuluh darah
dinding usus dan masuk ke dalam peredaran darah yang akan
menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan meningkatkan
premiebilitas kapiler darah serta mengakibatkan pembengkakan dan warna
merah pada kulit.
8. Batas kadar histamin yang aman menurut FDA sebesar 50 mg/100 g dan
menurut SNI sebesar 100 mg/kg.
9. Kadar histamin dapat dilakukan dengan analisis tahap ekstraksi, tahap
clean up dan pembentukan sedangkan penentuan total bakteri penghasil
histamin dengan prinsip enterobactericeae akan merubah histidin menjadi
histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan
mengakibatkan perubahan warna pada media.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. 1989. Pengaruh Jenis Bahan Baku, Lama Penyimpanan Beku dan Metode
Pengasapan terhadap Karakteristik Sosis Ikan. [Tesis]. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Standarisasi Nasional SNI . Standar Mutu Tuna Loin Beku. Jakarta : Dewan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional SNI 01-2360-1991. Metode Pengujian Kimia Produk
Perikanan, Penentuan Kadar Histamin. Jakarta : Dewan Standarisasi
Nasional.
Bremer PJ, Fletcher GC, Osborne C. 2003. Scombrotoxin In Seafood.
Christshurch: New Zealand Institute for Crop and Food Research Limid
Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen, NZ Ballin. 2008. Histamine and biogenic
amines : formation and importance. in seafood dalam T Borresen (edited),
Improving Seafood Products for the Customer. North America : Woodhead
Publishing Limited and CRC Press LLC.
Eitenmiller RR, Orr JH, Wallis WW. 1982. Histamine formation in fish:
microbiological and biochemical condition. Martin RE, Flack GJ, Hebard
CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Product.
Connecticut: AVI Publishing Company
Emborg J, Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water
activity and pH on growth and histamine formation by Morganella
psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226-233.
Fadly. N. 2009. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar
berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit). [skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Food and Drug Administration. 2002. Chapter 27: Scombrotoxin (histamine)
formation. http://www.fda.gov [10 November 2012
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Liberty.
Huss H.H., Ababouch L, Gram L. 2004. Assesment and management of seafood safety
and quality. Italy: FAO.
Indriati N, Rispayeni, Heruwati ES. 2006. Studi bakteri pembentuk histamin pada
ikan kembung peda selama proses pengolahan. Jurnal Pascpanen dan
bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 2(1) : 88-99
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya
Kanki M, Yoda T, Tsukamoto T. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No Histamine:
Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica Strains Are Histamine
Producers. Enviromental Microbiology 68:. 3462–3466.
Kimata M. 1961. The histamine problem. Borgstorm G., editor. Fish as Food. Vol
1. New York Academic Press.
Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. J of Food Microbiol.
58(2):1-37.
Paiva T, Tominaga M, Paiva AC. 1970. Ionization of histamine, N-acetylhistamine, and
their iodinated derivatives. J. Med. Chem (13), 689–692.
Pan G.S. 1984. Monograph of Histamine Poisoning and Mackerel. Dept of
Marine Food Science and Technology. National Taiwan College of Marine
Food Science and Technology Keelung Taiwan. ROC. published
Rahmawati, M., Supraptini, Aminah, N. S. dan Djarismawaty. 2002. Peningkatan
Kadar Histamin Pada Ikan laut yang Sudah Diolah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 1 Nomor 2 : hal
44-48
Soewarlan, L.C. 2009. Kajian Penerapan prosedur Standar Operasi Sanitasi dan
Penanganan Produk Perikanan Segar di Tempat Pelelangan Ikan (Studi
Kasus di TPI Oeba, Kota Kupang). Jurnal Mitra Bahari. 3(3).
Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in The
Fish Industry. Rome: FAO.
Winarno, F.G. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Grammedia Pustaka Utama. Jakarta.
TUGAS MATA KULIAHTOKSIKOLOGI HASIL PERIKANAN
“KERACUNAN HISTAMIN”
Oleh:
PUTRI WENING RATRINIA 260301101100DANIA MARDALETA 260301101100GINA UTAMI DEWI 260301101100FAIDHA SANTIKA 260301101100AHMAD JAUHARUL FARID 260301101100WAHYU NUR WIDIYANTO 260301101100RUKMANA RAHAYU LESTARI 260301101100AMANDA RAHMAWATY 26030110110049MARCHELLA DHARMA ARUMSARI 26030110120050NASYIAH 26030110120053MUHAMMAD IBNU S. 26030110130055TRIKINASIH WAHYU M. 26030110130056JERI SRINUR EKA S. 260301101300DEWINRA MAEZURA P. 260301101300IKHTIAR DIAN S. B. 260301101300RIZKI UTAMI 260301101300MUHAMMAD HANIEF I. 260301101300TIARA SILVA K. 260301101300EVI MAYA SARI 260301101300
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012