Kumpulan Skenario Blok 12

205
Skenario 1 : Demam Dengue Syok Sindrom PEMBAHASAN A. Anamnesis Identitas : seorang laki-laki berumur 18 tahun Keluhan utama : penurunan kesadaran Riwayat penyakit sekarang : demam terus-menerus sejak 5 hari, selama demam mengeluh mual dan myalgia. 1 hari sebelum masuk rumah sakit mengalami mimisan sebanyak 1 sendok makan. Didapat kesadaran somnolen. Suhu = 35°C, Tekanan Darah = 60 per palpasi. Nadinya sangat lemah dan cepat. Fremitus taktil pada paru kanan melemah dan terdengar redup saat diperkusi. Suara napas vesikular paru kanan juga melemah. Akral lembab dan dingin. Hb menunjukan = 16 g/dL, Ht = 54 %, leukosit 4000/ul, trombosit = 40.000/ul Riwayat penyakit dahulu :- Riiwayat keluarga :- Riwayat sosial :-

Transcript of Kumpulan Skenario Blok 12

Page 1: Kumpulan Skenario Blok 12

Skenario 1 : Demam Dengue Syok Sindrom

PEMBAHASAN

A. Anamnesis

Identitas : seorang laki-laki berumur 18 tahun

Keluhan utama : penurunan kesadaran

Riwayat penyakit sekarang : demam terus-menerus sejak 5 hari, selama demam

mengeluh mual dan myalgia. 1 hari sebelum masuk

rumah sakit mengalami mimisan sebanyak 1 sendok

makan. Didapat kesadaran somnolen. Suhu = 35°C,

Tekanan Darah = 60 per palpasi. Nadinya sangat

lemah dan cepat. Fremitus taktil pada paru kanan

melemah dan terdengar redup saat diperkusi. Suara

napas vesikular paru kanan juga melemah. Akral

lembab dan dingin. Hb menunjukan = 16 g/dL, Ht =

54 %, leukosit 4000/ul, trombosit = 40.000/ul

Riwayat penyakit dahulu :-

Riiwayat keluarga :-

Riwayat sosial :-

B. Hipotesa

Pasien menderita demam berdarah derajat 4

C. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan atau ditemukan pada tersangka

demam berdarah adalah sebagai berikut :

- Pada pasien Demam Dengue hampir tidak ditemukan kelainan. Pada

pemeriksaan nadi, nadi pasien mula-mula cepat kemudian menjadi normal dan

melambat.1 Bradikardi (pelambatan denyut jantung, seperti ditunjukan dengan

melambatnya nadi <60) dapat menetap selama beberapa hari selama masa

penyembuhan. Lalu dapat ditemukan lidah kotor dan kesulitan buang air

besar.1 Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva,

Page 2: Kumpulan Skenario Blok 12

lakrimasi dan fotofobia. Eksantem dapat muncul di awal demam yang terlihat

jelas dimuka dan dada, berlangsung beberapa jam lalu akan mucul kembali

pada hari ke 3-6 berupa bercak ptekie di lengan dan kaki lalu seluruh tubuh.

- Pada Demam Berdarah Dengue dapat terjadi gejala perdarahan berupa ptekiae,

pupura, ekimosis, hematemesis, melena dan epitaksis.1 Hati umumnya

membesar dan terdapat nyeri tekan yang tak sesuai dengan berat penyakit.

Pada kasus ini terjadi epitaksis

- Pada Dengue Syok Sindrome, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa

lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung,

jari-jari tangan dan kaki, serta penurunan tekanan darah.1 Pada kasus ini akral

lembab dan dingin.1

D. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada demam berdarah :

1. Pada pemeriksaan darah :

- pada demam dengue dapat ditemukan jumlah leukosit yang kurang

(leucopenia) <5000/ul.2

-pada demam berdarah dengue dijumpai trombosit yang kurang dibawah <

100.000/µl, dan hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari normal, L = 37-43 %, P

= 40-48 %).2

- masa pembekuan masih normal, masa pendarahan biasanya memanjang,

penurunan faktor II, V,VII, IX dan XII

- ada hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia

- SGOT, SGPT, ureum dan pH darah mungkin meningkat, reverse alkali

menurun

2. Pada air seni dapat terjadi albuminuria

3.Pada sum-sum tulang. Pada awal biasanya hiposelular, kemudian hiperselular

dengan gangguan maturasi.

4. dapat dilakukan uji serologi dibagi menjadi 2 yaitu

-uji serologi yang memakai serum ganda yaitu serum yang diambil pada masa

akut dan komvalesnsi imun Hemaglutinasi (IH), yaitu pengikatan

komplemen(PK), uji netralisasi( NT) dan uji dengue blot pada IH, PK dan NT

dengan mencari kenaikan anti bodi sebanyak minimal 2 kali.

Page 3: Kumpulan Skenario Blok 12

-uji serologi memakai serum tunggal, yaitu uji dengue blot yang mengukur anti

body anti dengue tanpa memandang antibodinya, uji IgM dan IgG anti dengue

yang mengukur hanya antibody anti denge dari kelas IgG.2

Tabel 1. Uji IgM dan IgG

IgM IgG Interpretasi

+ - infeksi primer

+ + infeksi sekunder

- + tersangka infeksi sekunder

- -tidak ada infeksi atau infeksi belum terdeteksi

Hasil pasti diagnosis didapat dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen

RNA dengue, yang diambil dari darah pasien dan jaringan.1

Pada kasus ini hasil pemeriksaan penunjang pasien didapatkan hasil, Hb= 16 g/Dl,

Ht = 54 %, Leukosit= 4000/ul, Trombosit=40.000/ul. Hb normal, hematokrit

meningkat, leukosit menurun dan trombosit menurun. Dari hasil ini dapat dikatakan

bahwah pasien ini menderita atau terinfeksi virus dengue(penyebab demam berdarah).

E. Diagnosis

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melaluli pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,

jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif

disertai gambaran limfosit plasma biru.2

Diagnosis yang pasti didapat dari hasil isolasi virus dengue ( cell culture)

ataupun deteksi anigen virus RNA dengue dengan tehnik RT-PCR (Reverse

Transcriptase Poliymerase Chain Reaction), namun karena tehnik yang lebih

rumit, saat ini tes serologi yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap

dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.1

Page 4: Kumpulan Skenario Blok 12

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :

- leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari k3 3 dpat ditemui limfositosis

relatif (> 45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >

15 % dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.1

- Trombosit umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.1

- Hematrokit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan

hematrokit ≥ 20 % dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3

demam.1

- Hemoestasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau

FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan

darah.1

- Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

- SGOT/SGPT dapat meningkat

- Ureum,kreatinin : bila didapat fungsi ginjal

- Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

- Golongan darah dan cross match : bila akan transfusi darah atau komponen

darah.

- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG trhadap dengue

IgM, terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat samapai minggu ke 3,

menghilang setelah 60-90 hari.1

IgG, pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi

sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2

- uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari

perawatan, ujia ini digunakan untuk kepentingan surveilans.1

- NS 1 : Antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai

pada hari kedelapan . sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan

spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standar kultur virus.

Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.1

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapat kan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi

apabila terjasi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua

hemitoraks.1 Pemeriksaan foto rotgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus

kanan ( psien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula

Page 5: Kumpulan Skenario Blok 12

di deteksi dengan USG.1 Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan

pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam

keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan pleura

komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai

kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.1

Masa inkubasi dalam tubuh manusia 4-6 hari ( rentang 3-14 hari), timbul gejala

prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan

lelah.1

Gambar 1. Efusi Pleura

Gambaran Klinis

Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat

berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau

sindrom syok (DSS). Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari yang

diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam ,

akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan

adekuat.1

Gambar 2. Manifestasi klinik infeksi virus dengue

Page 6: Kumpulan Skenario Blok 12

Demam Dengue (DD). 1

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih

manifestasi klinis sebagai berikut :

- Nyeri kepala.

- Nyeri retro-orbital.

- Mialgia/artralgia.

- Ruam kulit.

- Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).

- Leucopenia.

Dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD

yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Gambar 3. Kurva Suhu Demam Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD).1

Berdasarkan criteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah

ini dipenuhi :

- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

a. Uji bendung positif.

b. Petekie, ekimosis atau purpura.

c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau

perdarahan dari tempat lain.

d. Hematemesis atau melena.

Page 7: Kumpulan Skenario Blok 12

Gambar 4. Kurva Suhu Demam Berdarah Dengue

- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).2

- Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)

sebagai berikut :

a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur

dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan

dengan nilai hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah

ditemukan kebocoran plasma pada DBD.

F. Diagnosis Banding

Pada fase awal demam, diagnosis banding yang dihubungkan dengan DBD

mencakup berbagai jenis spektrum infeksi virus, bakteri dan infeksi protozoa.

Penyakit seperti leptospirosis, malaria, hepatitis infeksius,

cikungunya,meningokokernia, campak dan influenza juga harus ikut

dipertimbangkan.1 Keberadaan trombositopenia yang jelas bersamaan dengan

hemokonsentrasi membedakan DBD dengan penyakit lain.3 Pada pasien dengan

perdarahan berat, bukti efusi pleura dan atau hipoproteinemia menunjukkan adanya

kebocoran plasma. Angka laju endap darah normal pada penyakit DBD membantu

untuk membedakan penyakit tersebut dari infeksi bakteri dan syok septik.3

Page 8: Kumpulan Skenario Blok 12

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium  

DDDemam disertai 2 atau lebih tanda: Leukopenia

Serologi Dengue

sakit kepala, nyeri retro-orbital,Trombositopenia, tidak ditemukan Positif

mialgia, artralgia bukti kebocoran plasma

DBD IGejala di atas ditambah uji bendung Trombositopenia (<100.000/ul),positif bukti ada kebocoran plasma

DBD IIGejala di atas ditambah perdarahan Trombositopenia (<100.000/ul),spontan bukti ada kebocoran plasma

DBD IIIGejala di atas ditambah kegagalan Trombositopenia (<100.000/ul),sirkulasi (kulit dingin dan lembab bukti ada kebocoran plasmaserta gelisah)

DBD IVSyok berat disertai dengan tekanan Trombositopenia (<100.000/ul),darah dan nadi tidak terukur bukti ada kebocoran plasma

         DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

Demam Dengue

Demam dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh keluarga virus-virus

yang ditularkan oleh nyamuk-nyamuk. Ia adalah penyakit akut yang timbul tiba-tiba

yang biasanya mengikuti perjalanan yang tidak berbahaya dengan sakit kepala,

demam, kelelahan, nyeri sendi dan otot yang parah, kelenjar-kelenjar yang

membengkak (lymphadenopathy), dan ruam. Kehadiran ("tiga serangkai dengue")

dari demam, ruam, dan sakit kepala (dan nyeri-nyeri lain) adalah terutama

karakteristik dari dengue. Dengue dikenal dengan nama-nama lain, termasuk

"breakbone" atau "dandy fever." Korban-korban dari dengue seringkali mempunyai

peliukan-peliukan tubuh yang disebabkan oleh nyeri sendi dan otot yang hebat,

makanya dinamakan breakbone fever. Budak-budak di West Indies yang

mendapatkan dengue dikatakan mempunyai dandy fever karena postur-postur dan

gaya berjalan mereka.

Demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagic fever adalah bentuk yang

lebih parah dari penyakit virus. Manifestasi-manifestasi termasuk sakit kepala,

demam, ruam, dan bukti dari perdarahan (hemorrhage) dalam tubuh. Petechiae

Page 9: Kumpulan Skenario Blok 12

(blister-blister merah atau ungu yang kecil dibawah kulit), perdarahan di hidung atau

gusi-gusi, feces-feces yang hitam, atau mudah memar adalah semuanya kemungkinan

tanda-tanda perdarahan (hemorrhage). Bentuk demam dengue ini dapat megancam

nyawa atau bahkan fatal.

Perjalanan Penyakit :

Gbr. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Gbr.Perubahan Ht, Trombosit & LPB dalam Perjalanan Penyakit DBD

Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi

kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Tifus abdominalis (demam tifoid,

enteric fever) biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,

gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Demam tifoid dan paratifoid

merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Dari demam tifoid dan paratifoid adalah

typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam

paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih

ringan. 3

Etiologi

Page 10: Kumpulan Skenario Blok 12

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid

disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu

S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S.

enteritidis bioserotipe paratyphi C. kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama

S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii. 3

Gbr.bakteri Salmonella typhi

Gejala klinik

Demam, kesadaran menurun, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah

(rhagaden), lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor,

perut kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada perabaan. Tanda

komplikasi di dalam saluran cerna perdarahan usus tinja berdarah (melena).Perforasi

usus pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda peritonitis, bising usus hilang.

Peritonitis :nyeri perut hebat, dinding perut tegang dan nyeri tekan, bising usus

melemah/hilang.

Tanda komplikasi di luar saluran cerna meningitis, kolesistitis, hepatitis, ensefalopati,

bronkhopneumonia, dehidrasi dan asidosis.

Influenza

Influenza (flu) adalah suatu infeksi virus yang menyebabkan demam, hidung

meler, sakit kepala, batuk, tidak enak badan (malaise) dan peradangan pada selaput

lendir hidung dan saluran pernafasan. 8

Etiologi

Page 11: Kumpulan Skenario Blok 12

Virus influenza tipe A atau B. Virus ditularkan melalui air liur terinfeksi yang

keluar pada saat penderita batuk atau bersin; atau melalui kontak langsung dengan

sekresi (ludah, air liur, ingus) penderita. 8

Gbr.virus Influenza

Gejala klinik

Influenza berbeda dengan common cold. Gejalanya timbul dalam waktu 24-48

jam setelah terinfeksi dan bisa timbul secara tiba-tiba. Kedinginan biasanya

merupakan petunjuk awal dari influenza. Pada beberapa hari pertama sering terjadi

demam, bisa sampai 38,9-39,4oCelsius. 8

Banyak penderita yang merasa sakit sehingga harus tinggal di tempat tidur;

mereka merasakan sakit dan nyeri di seluruh tubuhnya, terutama di punggung dan

tungkai. Sakit kepala seringkali bersifat berat, dengan sakit yang dirasakan di

sekeliling dan di belakang mata. Cahaya terang bisa memperburuk sakit kepala. Pada

awalnya gejala saluran pernafasan relatif ringan, berupa rasa gatal di tenggorokan,

rasa panas di dada, batuk kering dan hidung berair. Kemudian batuk akan menghebat

dan berdahak. Kulit teraba hangat dan kemerahan, terutama di daerah wajah. Mulut

dan tenggorokan berwarna kemerahan, mata berair dan bagian putihnya mengalami

peradangan ringan. Kadang-kadang bisa terjadi mual dan muntah, terutama pada

anak-anak.

Setelah 2-3 hari sebagian besar gejala akan menghilang dengan segera dan

demam biasanya mereda, meskipun kadang demam berlangsung sampai 5 hari.

Bronkitis dan batuk bisa menetap sampai 10 hari atau lebih, dan diperlukan waktu 6-8

minggu ntuk terjadinya pemulihan total dari perubahan yang terjadi pada saluran

pernafasan.

Chikungunya

Demam chikungunya adalah penyakit virus yang ditularkan melalui gigitan

nyamuk (aedes sp) yang terinfeksi. Penyakit ini digambarkan sebagai demam dengue

yang mempunyai karakteristik nyeri persendian yang hebat dan kadang terus menerus

Page 12: Kumpulan Skenario Blok 12

(artritis) dan diikuti demam dan kemerahan pada kulit. Penyakit ini jarang

mengancam jiwa, namun bisa menyerang siapa saja.  Penyakit ini merupakan penyakit

epidemik yang timbul dalam jangka waktu 7-8 tahun namun bisa sampai 20 tahun

baru timbul kembali. 3

Etiologi

Penyakit chikungunya disebabkan oleh sejenis virus yang disebut virus

Chikungunya. Virus ini termasuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus atau “group

A” antropho borne viruses. Virus ini telah berhasil diisolasi di berbagai daerah di

Indonesia. Vektor penular utamanya adalah Aedes aegypti, namun virus ini juga dapat

diisolasi dari dari nyamuk Aedes africanus, Culex fatigans dan Culex

tritaeniorrhynchus.3

Akan tetapi, nyamuk yang membawa darah bervirus didalam tubuhnya akan

kekal terjangkit sepanjang hayatnya. Tidak ada bukti yang menunjukkan virus

Chikungunya dipindahkan oleh nyamuk betina kepada telurnya sebagaimana virus

demam berdarah.3

Gbr.virus Chikungunya

Gejala klinik

Chikungunya yang timbul mirip dengan demam dengue yaitu demam, sakit

kepala, meriang, mual ,lemah, muntah, nyeri sendi dan bercak kemerahan  pada kulit.

Yang membedakan gejala penyakit ini dengan demam dengue adalah nyeri di

persendian yang hebat dan kadang  terus menerus sehingga tangan dan kaki sulit

digerakkan. Seringkali pada anak tidak timbul gejala apapun.3

Campak

Page 13: Kumpulan Skenario Blok 12

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa

Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa

Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris. Campak

adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-

gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan,

gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan

diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.2

Etiologi

Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat mudah

menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama

sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak).

Virus ini terdapat dalam darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara

tenggorokan dan hidung) pada masa gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah

timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir. Virus dalam jumlah sedikit saja

dapat menyebabkan infeksi pada individu yang rentan. Penyakit campak sangat

infeksius selama masa prodromal yang ditandai dengan demam, malaise, mata merah,

pilek dan trakeobronktis dengan manifestasi batuk. Infeksi campak pertama kali

terjadi pada epitalium saluran pernafasan dari nasofaring, kongjungtiva, dengan

penyebaran ke daerah limfa. Viremia primer tejadi 2-3 hari setelah individu terpapar

virus campak,diikuti viremia sekunder 3-4 hari kemudian. Viremia sekunder

menyebabkan infeksi dan relikasi virus lebih lanjut pada kulit kongjungtiva, saluran

pernafasan dan organ lainnya. Replikasi virus memerlukan watu 24 jam. Jumlah virus

dalam darah mencapai pncaknya pada hari 11-14 setelah trpapar dan emudian

menurun cepat 2-3 hari kemudian.2

Gbr.virus Campak

Gejala klinik

Page 14: Kumpulan Skenario Blok 12

Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa: –

Panas badan – nyeri tenggorokan – hidung meler ( Coryza ) – batuk ( Cough ) –

Bercak Koplik – nyeri otot – mata merah ( conjuctivitis ), 2-4 hari kemudian muncul

bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit)

yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa

berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan

yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah

telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke

batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.

Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu

tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita

mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang. Demam, kecapaian,

pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan

ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4

hari hingga 7 hari.

G. Epidemiologi

SELURUH DUNIA

Penyakit yang kini kita kenal sebagai DBD pertama dikenali di Filipna pada 1953.

Gejala klinis yang muncul diketahui akibat infeksi virus DEN-2 dan DEN-4, yang

berhasil diisolasi di Filipina pada 1956. Dua tahun kemudian, keempat tipe virus

berhasil diisolasi di Thailand. Selang tiga dekade berikutnya, penyakit DBD

ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar,

Singapura, Sri Lanka, Vietnam dan beberapa wilayah di kepulauan Pasifik (Laporan

WHO).4

Insidensi global dari penyakit DBD meningkat secara dramatis dalam beberapa

dekade terakhir. Penyakit DBD kini telah menjadi endemik di lebih dari 100 negara di

Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara serta Pasifik Barat.4

AMERIKA

Pada 1981, wabah DBD terjadi di Kuba, yang menandai dimulainya epidemi DBD

di Amerika. Ada sekitar 344.203 kasus DBD yang dilaporkan, termasuk 10.312 pasien

yang dilaporkan sakit berat yakni DBD derajat 3 dan 4.4

Page 15: Kumpulan Skenario Blok 12

Wabah penyakit DBD ini dilaporkan menimbulkan 158 kematian, 101 dari jumlah

tersebut adalah anak-anak. Dalam periode tiga bula, 116.143 orang dirawat di rumah

sakit. Epidemi DBD kedua terjadi di wilayah Venezuela dari Oktober 1989 hingga

April 1990. lebih dari itu, epidemi mucul kembali pada pertengahan kedua tahun 1990

dan pada setiap tahun selanjutnya termasuk tahun 1993. Total kasus DBD 11.260 dan

136 kematian dilaporkan di Venezuela selama periode 1989-1993. Keempat tipe virus

dengue berhasil diisolasi selama wabah ini.4

Kasus DBD telah dilaporkan di Amerika hampir setiap tahun sejak 1981. Negara

atau daerah yang terjangkit meliputi Aruba, Barbados, Brasil, Kolombia, Republik

Dominika, El Savador, Frens Guinia, Guadelopue, Guatemala, Honduras, Jamaika,

Meksiko, Nikaragua, Panama, Puerto Riko, Saint Lusia, Suriname, dan Venezuela.4

Pada 2001, dilaporkan ada sebanyak 609.000 kasus demam akibat infeksi virus

dengue dan 15.000 kasus di antaranya merupakan penyakit DBD. Jumlah ini dua kali

lebih besar dari kasus penyakit serupa pada 1995.

ASIA TENGGARA DAN PASIFIK BARAT

Asia Tenggara dan Pasipik Barat adalah daerah yang mengalami dampak paling

serius akibat penyebaran penyakit DBD. Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara

yang mengalami epidemi DBD. Namun pada 1995, jumlahnya meningkat empat kali

lipat.4

Pola siklus peningkatan laju penularan bersamaan dengan musim hujan telah teramati

di beberapa negara. Korelasi antara penurunan suhu dan turunnya hujan menjadi

faktor penting dalam peningkatan laju penularan penyakit DBD. Penurunan suhu

meningkatkan ketahanan hidup nyamuk Aedes dewasa, bahkan dapat mempengaruhi

pola makan dan reproduksi nyamuk serta kepadatan populasinya.

Penyakit DBD kini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara

tropis Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat, yang menyita perhatian para ahli

kesehatan dunia. Penyakit ini termasuk ke dalam sepuluh penyebaba perawatan di

rumah sakit dan kematian pada anak-anak, sedikitnya di delapan negara tropis Asia.

INDONESIA

Di Indonesia, penyakit DBD pertama kalidicurigai di Surabaya pada tahun 1968.

Namun, konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat pada 1970.4

Page 16: Kumpulan Skenario Blok 12

Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada 1969. Kemudian, DBD berturut-turut

dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta pada 1972. Epidemi pertama di luar Jawa

dilaporkan pada 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh daerah Riau,

Sulawesi Utara dan Bali pada 1973. Pada 1974, wabah DBD dilaporkan di

Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1994, DBD telah menyebar ke

seluruh propinsi (pada waktu itu berjumlah 27 propinsi-penyesuaian) di Indonesia.

Saat ini DBD menjadi endemi di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975

penyakit ini telah sampai ke daerah pedesaan.4

Sejak 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah

tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga meningkat. Namun, angka

kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1984), dan sejak tahun 1991

angka kematian in istabil di bawah 3%.5

Sewaktu terjadi wabah, berbagai tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus dengue

tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian merupakan tipe dominan. Di Indonesia virus

dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus penyakit DBD derajat berat dan fatal

(Sumarno Poorwo Sodarmo).

Penyakit DBD mesti mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, mengingat

jumlah kasusnya yang cenderung meningkat setiap tahun. Menurut data Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, pada awal 2007 ini saja jumlah penderita DBD telah

mencapai 16.803 orang dan 267 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah orang

yang meninggal tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kasus kematian manusia

karena flu burung atau Avian Influenza (AI).

H. ETIOLOGI

Penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor, yaitu

sebagai berikut :

1. Faktor pejamu (Target penyakit, inang), dalam hal ini adalah

manusia yang rentan tertular penyakit DBD.5

2. Faktor penyebar (Vektor) dan penyebab penyakit (Agen), dalam

hal ini adalah virus DEN tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit,

sedangkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus berperan sebagai

vektor penyebar penyakit DBD.5

Page 17: Kumpulan Skenario Blok 12

3. Faktor lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya

kontak penularan penyakit DBD.5

Pebagai suapaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit DBD dapat ditempuh

dengan cara memodifikasi faktor-faktor yang terlibat di dalamnya. Perbaikan kualitas

kebersihan (sanitasi) lingkungan, menekan jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti

selaku vektor penyakit DBD, serta pencegahan penyakit dan pengobatan segera bagi

penderita penyakit DBD adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk

mencapai tujuan ini.

Namun, yang penting sekali diperhatikan adalah peningkatan pemahaman,

kesadaran, sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap penyakit ini, akan

sangat mendukung percepatan upaya memutus mata rantai penularan peyakit DBD.

Dan pada akhirnya, mampu menekan laju penularan penyakir mematikan ini di

masyarakat.

FAKTOR PEJAMU (Target Penyakit, Inang)

Meskipun penyakit DBD dapat menyerang segal usia, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan tertular penyakit yang berpotensi

mematikan ini. Di daerah endemi, mayoritas kasus penyakit DBD terjadi pada anak-

anak dengan usia kurang dari 15 tahun.5

Sebagai tambahan informasi, sebuah studi retrospektif di Bangkok yang dilaporkan

WHO pada bulan Mei-November 1962 menunjukkan bahwa pada populasi 870.000

anak-anak usia di bawah 15 tahun, diperkirakan 150.000-200.000 mengalami demam

ringan akibat infeksi virus dengue dan kadang-kadang oleh virus chikungunya; 4.187

pasien dirawat di rumah sakit atau klinik swasta karena penyakit DBD.5

Di Indonesia, penderita penyakit DBD terbanyak berusia 5-11 tahun. Secara

keseluruhan, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita, tetapi angka kematian

lebih banyak pada anak perempuan dibandingkan anak lakiplaki.4

Anak-anak cenderung lebih rentan dibandungkan kelompok usia lain, salah

satunya adalah karena faktor imunitas (kekebalan) yang relatif lebih rendah

dibandingkan orang dewasa. Selain itu, pada kasus-kasus berat yakni DBD derajat 3

dan 4, komplikasi terberat yang kerap muncul yaitu syok, relatif lebih banyak

dijumpai pada anak-anak dan seringkali tidak tertangani dan berakhir dengan

kematian penderita.

Page 18: Kumpulan Skenario Blok 12

FAKTOR AGEN

Karakteritik Virus Dengue

Virus dengue merupakan anggota famili Flaviviridae. Keempat tipe virus dengue

menunjukkan banyak persamaan karakteristik dengan flavivirus yang lain. Hal ini

memungkinkan terjadinya reaksi silang pada pemeriksaan serologi antara virus

dengue dan virus lain dari famili flaviviridae. Kondisi ini menjadi salha satu

pertimbangna bagi dokter dalam memilih jenis pemeriksaan uji laboratorium,

berdasarakan nilai sensitivitas maupun spesifikasitasnya.4

Virus dengue memiliki kode genetik (genom) RNA rantai tunggal, yang dikelilingi

oleh selubung inti (nukleokapsid) ikosahedral dan terbungkus oelh selaput lipid

(lemak). Genom flavivirus mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases) dan urutan

genom lengkap telah dikenal untuk mengisolasi keempat tipe virus yang masing-

masing mengode nukleokapsid dan protein inti (C), protein yang berkaitan dengan

membran (M), protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural (NS).

Gambar 5. Struktur Virus Dengue

Virus dengue bersifat labil ketika kita hendak melakukan isolasi ataupun mengultur

virus.

Klasifikasi Empat Tipe Virus Dengue

Ada empat tipe virus penyebab DBD yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.

Masing-masing dari virus ini dapat dibedakan melalui isolasi virus di laboratorium.

Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap

infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya memberikan

imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya.5

Misalnya, seseorang yang telah terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan

imunitas menetap terhadap infeksi virus DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun,

Page 19: Kumpulan Skenario Blok 12

ia tidak memiliki imunitas menetap jika terinfeksi oleh virus DEN-3 di kemudian hari.

Selain itu, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jika seseorang yang pernah

terinfeksi oelh salah satu tipe virus dengue, kemudian terinfeksi lagi oleh virus tipe

lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat dan sering kali fatal.5

Kondisi inilah, yang menyulitkan pembuatan vaksin untuk penyakit DBD.

Meskipun demikian, saat ini para ahli maish terus berupaya memformulasikan vaksin

yang diharapkan akan memberikan kekebalan terhadap seluruh tipe virus dengue.

FAKTOR VEKTOR DBD

Morfologi Nyamuk Aedes aegypty

Nyamuk Aedes aegypty betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan.

Ukuran tubuh nyamuk aedes aegypti betina antara 3-4cm, dengan mengabaikan

panjang kakinya.5

Gambar 6. Nyamuk Aedes aegypty

Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian

punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan

kanan yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini.5

Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas

sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna

nyamuk jenis ini kerap berbeda antarpopulasi, bergantung pada kondisi lingkungan

dan nutrisis yang diperoleh nyamuk selama perkembangan.

Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata dalam hal ukuran.

Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil daripada betina, dan terdapat

rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan

mata telanjang.

SIKLUS HIDUP NYAMUK Aedes aegypty

Page 20: Kumpulan Skenario Blok 12

Nyamuk Aedes aegypty, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada

permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk aedes betina dapat

bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu

dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva.5

Gambar 7. siklus hidup nyamuk Aedes aegypty

Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar.

Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari.

Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menajdi pupa di mana larva

memasuki masa dorman (inaktif, tidur).5

Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.

Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga

delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga

satu bulan dalam keadaan kering.

Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva

sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat

berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai

contoh, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan

nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah.

Nyamuk aedes ini memiliki daur hidup metamorfosis sempurna yang terdiri

dari: telur → larva → pupa → dewasa. Perilaku aedes bertelur di tempat perindukan

berair jernih yang berdekatan rumah penduduk. Tempat perindukan terdiri atas dua

tempat perindukan buatan manusia dan perindukan alamiah. Kebiasaan menghisap

darah pada siang hari baik di dalam ataupun di luar rumah. Jarak terbang biasanyya

pendek mencapai jarak rata – rata 40m. Umur nyamuk dewasa kira – kira 10 hari.4

Page 21: Kumpulan Skenario Blok 12

Gbr. Siklus Hidup Nyamuk

Nyamuk mengalami metamorfosis lengkap; nyamuk mengalami empat peringkat

perkembangan yang jelas. Empat peringkat itu ialah telur, pupa, larva dan nyamuk

dewasa. Kitar hidup lengkap nyamuk mengambil masa sebulan.

Telur ; Selepas menghisap darah, nyamuk betina bertelur sekelompok ('kelompok

telur berbentuk rakit’) telur yang mengandungi 40 hingga 400 telur halus yang

berwarna putih yang terapung pada permukaan air bertakung atau air yang mengalir

amat perlahan.4

Gbr. Telur Nyamuk

Larva : Dalam masa seminggu, telur itu akan menetas menghasilkan larva (atau

dipanggil jentik – jentik) yang mana ia bernafas melalui tiub yang terkeluar pada

permukaan air. Larva memakan bahagian kecil bahan organik yang terapung dan juga

makan sesama mereka. Larva membentuk sebanyak 4 kali sepanjang perkembangan

mereka; selepas pembentukan keempat, ia dipanggil sebagai pupa. 4

Page 22: Kumpulan Skenario Blok 12

Gbr. Larva

Pupa : Pupa juga tinggal berhampiran dengan permukaan air, bernafas melalui dua

tiub berbentuk seperti tanduk (dipanggil sifon) yang terletak pada bahagian

belakang pupa. 4

Gbr. Pupa

Nyamuk dewasa : Nyamuk dewasa keluar dari pupa apabila kulit terbuka selepas

beberapa hari. Nyamuk dewasa hanya boleh hidup beberapa minggu sahaja. 4

Gbr. Nyamuk Dewasa

POLA AKTIVITAS NYAMUK Aedes aegypty

Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi hingga siang hari.

Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang

mengisap darah. Hal ini dilakukannya untuk memperoleh asupan protein, antara lain

prostaglandin, yang diperlukannya untuk bertelur. Nyamuk jantan tidak memerlukan

darah, dan memperoleh sumber energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan.

Nyamuk Aedes aegypty menyukai area yang gelap dan benda-benda berwarna

hitam atau merah. Penyakit DBD kerap menyerang anak-anak. Hal ini disebabkan

karena anak-anak cenderung duduk di dalam ruang kelas selama pagi hingga siang

hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk

nyamuk jenis ini.

Page 23: Kumpulan Skenario Blok 12

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang

mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk

menyebarkan virus. Infeksi virus dengue dapat mengakibatkan nyamuk kurang andal

dalam mengisap darah, berkali-kali menusukkan alat penusuk dan pengisap darahnya

(proboscis), tetapi tidak berhasil mengisap darah, sehingga nyamuk berpindah dari

satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan penyakit DBD menjadi semain

besar.

Di Indonesia, nyamuk aedes aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan

perumahan, tempat terdapat banyak penampungan air bersih yang tidak berkontak

langsung dengan tanah dalam bak mandi ataupun tempayan yang menjadi sarang

berkembangbiaknya.4

Selain itu, di dalam rumah juga banyak terdapat baju yang tergantung atau lipatan

gorden, di tempat-tempat inilah biasanya nyamuk Aedes aegypty betina dewasa

bersembunyi.

DISTRIBUSI NYAMUK Aedes aegypty

Nyamuk aedes aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropis yang

banyak ditemukan antara garis lintang 350U dan 350S. Distribusi nyamuk ini dibatasi

oleh ketinggian, biasanya tidak dapat dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih

dari 1.000m, meskipun pernah ditemukan pada ketinggian 2.121m di India dan

2.200m di Kolombia.4

Nyamuk aedes aegypti betina merupakan vektor penyakit DBD yang paling efektif

dan utama. Hal ini karena sifatnya yang sangat senang tinggal berdekatan dengna

manusia dan lebih senang mengisap darah manusia, bukan darah hewan (antropofilik).

Selain aedes aegypti, ada pula nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan

aedes scutellaris yang dapat berperan sebagai vektor DBD tetapi kurang efektif.

I. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih

diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa

mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan

sindrom renjatan dengue.1

Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :

Page 24: Kumpulan Skenario Blok 12

a. Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang

dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam

mempercepat replikasi virus dalam monosit atau makrofag. Hipotesis ini

disebut antibody dependent enhancement (ADE).1

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam

respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1

akan memproduksi interferon gamma, IL-2 danlimfokin, sedangkan TH2

memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan IL-10.1

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi

antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.1

d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection

yang menyatakan bahaw DBB terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue

dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga

mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.1

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pandapat Halstead dan peneliti

lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang

memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di

makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-

helper oleh T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.

Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator

inflamasi seperti TNF-ά, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin

yang mengakitbatkan kebocoran terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran

plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus

antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :

1. Supresi sumsum tulang

2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran

sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan

hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi

Page 25: Kumpulan Skenario Blok 12

peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar

tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis

sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombosipenia. Destruksi

trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,

konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.

Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan

ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda

degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan

endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan

terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan

IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi

jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui

aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).

J. PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi

suportif. Dengan terapi suportif yang kuat, angka kematian dapat diturunkan hingga

kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang

paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap

dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah

dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.1

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan

DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :

1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas

indikasi.1

2. Praktis dalam pelaksanaannya.1

3. Mempertimbangkan cost effectiveness.1

Protokol ini terbagi menjadi 5 kategori :

Page 26: Kumpulan Skenario Blok 12

Bagan 1. Protokol 1 Penanganan Tersangka (probable) DBD dewasa tanpa

syok.

Keluhan DBB

(Kriteria WHO 1997)

Hb, Ht Hb, Ht Hb, Ht normal Hb, Ht meningkat

Trombo normal Trombo 100.000-15-.000 Trombo<100.000 Trombo

normal/turun

Observasi Observasi Rawat Rawat

Rawat jalan Rawat jalan

Periksa Hb, Ht Periksa Hb, Ht

Leuko,trom/24j Leuko, tromb/24jam

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan

pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat

Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan trombosit, bila :

a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,

pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke

Poliklinik dalam waktu 24jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,

Ht Lekosit dan trombosit tiap 24jam) atau bila keadaan penderita

memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

b. Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

c. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan

untuk dirawat.

Page 27: Kumpulan Skenario Blok 12

Bagan 2. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di

ruang rawat.

Suspek DBD

Pendarahan Spontan dan Masif ( - )

Syok ( - )

Hb, Ht normal Hb, Ht meningkat 10-20% Hb, Ht

meningkat>20%

Tromb<100.000 Tromb<100.000 Tromb<100.000

Infus Kristaloid* Infus Kristaloid*

Hb, Ht tromb tiap 24jam Hb, Ht tromb tiap 12jam** Protokol pemberian

cair

an DBD dgn Ht

meningkat ≥20%

* Volume cairan kristaloid/hari yang dieprlukan:

Sesuai rumus berikut : 1500+20x(berat badan dalam kg-20)

Contoh : volume rumatan untuk BB 55kg : 1500+20x(55-20)=2200 ml

** Pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa

syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah

seperti rumus berikut ini :

1500 + {20x(BB dalam kg-20)}

Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500+{20x(55-20)}=2200ml.

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24jam :

a. Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000, jumlah pemberian

cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo

dilakukan tiap 12jam.1

b. Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka pemberian

cairan sesuai dengna protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan

Ht>20%.1

Page 28: Kumpulan Skenario Blok 12

Bagan 3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%.

5% Defisit Cairan

Terapi awal cairan intravena

Kristaloid 6-7ml/kg/jam

Evaluasi 3-4jam

PERBAIKAN TIDAK MEMBAIK

Ht dan frekuensi nadi turun, Ht, nadi meningkat

tekanan darah membaik, tekanan darah

menurun<20mmHg

produksi urin meningkat produksi urin

menurun

kurangi infus TANDA VITAL DAN Infus kristaloid

kristaloid HEMATOKRIT 10ml/kg/jam

5ml/kg/jam MEMBURUK

PERBAIKAN PERBAIKAN Tidak Membaik

Kurangi infus Infus kristaloid

Kristaloid 15ml/kg/jam

3ml/kg/jam

PERBAIKAN Kondisi Memburuk

Tanda syok

Terapi cairan

Dihentikan 24-48jam tatalaksana sesuai

Protokol syok dan

PERBAIKAN perdarahan

Meningkatnya Ht>20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan

sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan

memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7ml/kgBB/jam. Pasien kemudian

dipantau setelah 3-4jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai

dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,

Page 29: Kumpulan Skenario Blok 12

produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam.1

Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam.

Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat

dihentikan 24-48jam kemudian.1

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7ml/kgBB/jam tadi keadaan

tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan

nadi menurun <20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah

cairan infus menjadi 10ml/kgBB/jam.1 Dua jam kemudian dilakukan pemantauan

kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi

menjadi 5ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka

jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam

perkembangannya kondisi menjadi memburk dan didapatkan tanda-tanda syok maka

pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada

dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi

pemberian cairan awal.

Bagan 4. Protokol 4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD

dewasa.

KASUS DBD

Perdarahan Spontan dan Masif : - Epistaksis tidak terkendalai

- Hematemesis melena

- Perdarahan otak

Syok (-)

Hb, Ht, Tromb, Leuko, Pemeriksaan Hemostasis (KID)

Golongan darah, uji cocok serasi

KID (+) KID (-)

Transfusi komponen darah : Transfusi komponen darah :

* PRC (Hb<10g/dl) * PRC (Hb<10g %)

* FFP * FFP

* TC (Tromb<100.000) * TC (Tromb<100.000)

** Heparinisasi 5000-10000/24jam * Pemantauan Hb,Ht,Tromb.Tiap4-

6jam

Page 30: Kumpulan Skenario Blok 12

* Ulang pemeriksaan hemostasis 24jam * Ulang pemeriksaan hemostasis

24jam kemudian kemudian

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan

jumlah perdarahan sebanyak 4-5ml/kgBB/jam.1 Pada keadaan seperti ini jumlah dan

kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostasis harus segera

dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6jam.1

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan

tanda-tanda koagulasi intravakular diseminata (KID). Tranfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor

pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari

10g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan

spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1

Bagan 6. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Penatalaksanaan Sindrom Renjatan Dengue

- Kristaloid, guyur 10-20ml/kg BB 20-30 menit

- O2 2-4 l/menit

- AGD, Hb, Ht elektrolit, Ur, Kr, Gol darah

Perbaikan tetap syok

Kristloid Kristaloid, guyur20-30ml/kgBB

7ml/kgBB/jam 20-30mnt

Tetap syok

Perbaikan Tanda vital/Ht menurun Ht Ht

Kristaloid Kembali Koloid 10-20ml/kgBB Transfunsi darah

seger 10

5ml/kgBB/jam Ke awal Tetes cepat 10-15menit ml/kgBB/jam dapat

Page 31: Kumpulan Skenario Blok 12

Diulang sesuai

kebutuhan

Perbaikan Perbaikan Tetap syok

Kristaloid Koloid (hingga maks

3ml/kgBB/jam 30ml/kgBB/jam)

Perbaikan Tetap syok

24-48jam setelah Pasang PVC

Syok teratasi, tanda

Vital/Ht stabil Hipovelemik Normovelemik

Diuresis cukup koreksi gangguan tetap syok

Asam basa,elektrolit kristaloid koreksi gangguan

Stop infus hipoglikemia,anemia dipantau asam basa,elektrolit

KID,infeksi sekunder 10-15mnt

hipoglikemia,anemia

KID,infeksi

sekunder

Perbaikan

Kombinasi Perbaikan - Inotropik

Koloid bertahap vasopresor - Vasopresor

- After load

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang

harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu

penggantian cairan intravakular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian

sindrom syok dengue 10x dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan

renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya

kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini dan penatalaksanaan renjatan yang

tidak kuat.1

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain,

resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4liter/menit. Pemeriksaan-

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

Page 32: Kumpulan Skenario Blok 12

hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida serta ureum dan

kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan dievaluasi

setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah

sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari

100x permenit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat

serta diuresis 0,5-1ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam.

Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi

5ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil

pemberian cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48jam setelah renjatan teratasi

tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian

cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang

mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hemotokrit, cairan

infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat

terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan

terutama dalam waktu 48jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah

setelah 1 jam saat pemberian).1 Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah

teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,

tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri

tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis

diusahakan 2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah

trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka

pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian

dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan

nilai hematokrit.1 Bila nilai hemotokrit meningkat berarti perembesan plasma masih

berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan tetapi bila nilai

hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada

penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai

kebutuhan.1

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-

sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan

Page 33: Kumpulan Skenario Blok 12

cepat 10-20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum

teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena

sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB

(maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila

keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap

gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila

tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum

teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

K. PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

a. Langkah Pencegahan

Tubuh seseorang yang pernah terinfeksi virus dengue akan timbul kekebalan untuk

virus tertentu yang terbagi lagi menjadi beberapa jenis atau tipe (serotype), sehingga

pada umumnya tidak akan terserang lagi untuk jenis serotype yang sama.5 Namun

masih ada kemungkinan untuk terserang birus dengan serotype yang berbeda. Oleh

karena itu pembuatan vaksin untuk virus tersebut masih sulit dilakukan karena adanya

perkembangan serotype virus dari waktu ke waktu.5

Belum ada vaksin yang dapat menyembuhkan DBD secara langsung meskipun saat

ini sedang dikembangkan pernelitian untuk menemukan vaksin tersebut. Oleh karena

itu, pencegahan terhadap virus dengue lebih diutamakan dengan membasmi vektor

pembawa virus yaitu Aedes aegypty.5 Pencegahan berkembangnya nyamuk aedes

aegypti bisa dilakukan dengna tidak menyediakan tempat yang lembab dan berair

yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan memberantas

sarang-sarangnya.

Karena tempat berkembangbiaknya ada di rumah-rumah dan tempat-tempat umum,

setiap keluarga harus melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN-DBD)

secara teratur, sekurang-kurangnya seminggu sekali. Selain itu, fogging (pengasapan)

dan memutuskan mata rantai pembiakan aedes aegypti sewat abatisasi juga harus

dilakukan.

Abatisasi adalah menggunakan sejenis insektisida dengan merek dagang Abate

sebanyak 1 ppm (per sejuta bagian) atau sesuai dengna petunjuk setemat.

Kegunaannya untuk mencegah larva berkembang menjadi nyamuk dewasa.5

Page 34: Kumpulan Skenario Blok 12

Gambar 8. Bubuk Abate

Untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk, gunakan pakaian yang menutupi

seluruh tubuh. Bila perlu oleskan bahan-bahan yang berfungsi untuk mencegah

gigitan nyamuk dan minum ramuan yang secara empiris diketahui bisa mencegah dari

gigitan nyamuk. Bila perlu, tempat tidur ditutupi kelambu untuk melindungi diri dari

gigitan nyamuk.5

Langkah Pemberantasan

Untuk memberantas demam berdarah, langkah tepat yang harus dilakukan adalah

memberantas sarang nyamuk. Diperlukan langkah yang jelas dan sederhana untuk

menumbuhkan sikap dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan

lengkungan. Langkah sederhana pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan

cara 3 M yaitu menguras kamar mandi, membuang air yang tergenang serta mengubur

barang-barang bekas.5 Dengan melakukan langkah tersebut dan memutuskan mata

rantai penularan nyamuk aedes aegypti sehingga penyakit demam berdarah tidak

menyebar luas. Pengasapan (fogging) secara massal bukanlah penyelesaian tepat

karena nyamuk bertelur 200-400 butir per hari. Bila hari ini disemprot lalu nyamuk

mati, esoknya telah lahir nyamuk baru.

Gambar 9. Pemberantasan dan Penanganan Nyamuk Aedes aegypti

Page 35: Kumpulan Skenario Blok 12

Tata cara dan tata urut penanganan kasus DBD dan Petunjuk Upaya Perawatan Pasien

DBD di Indonesia meliputi beberapa hal sebagai berikut :

1. Penyediaan dan peningkatan sarana pelayanan kesehatan di semua

rumah sakit agar mampu memberikan pengobatan kasus-kasus DBD secara

cepat dan tepat sehingga angka kematian dapat ditekan serendah-rendahnya.5

2. Melakukan pengasapan (fogging) di lokasi-lokasi yang tinggi

jumlah kasus DBDnya agar penyebaran penyakit dapat segera dikendalikan

lewat pemberantasan vektor nyamuk aedes aegypti dewasa bersama-sama

masyarakat dan sektor swasta. Fogging dilakukan di daerah fokus-fokus

penularan.5

3. Menggerakan masyarakat untuk melaksanakan Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) lewat 3M (menguras bak mandi, menutup tempat air

dan mengubur barang bekas yang dapa tmenampung air hujan).5

L. KOMPLIKASI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

Penyakit DBD dapat menimbulkan komplikasi pada mata, otak dan buah zakar

juga. Pada mata dapat terjadi kelumpuhan syaraf bola mata, sehingga mungkin

nantinya akan terjadi kejulingan atau bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata

(iris) kalau bukan pada bening bolamata (cornea) sehingga berakhir dengna gangguan

penglihatan. Berpengaruh juga pada kardiovaskuler, pernapasan, darah dan organ

lain.4

Peradangan pada otak bisa menyisahkan kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya.

Namun, semua itu jika sampai terjadi, sifatnya hanya sementara waktu saja dan dalam

beberapa hari akan normal kembali.

M. Prognosis

Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DB dan DBD

tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat,

shock yang tidak teratasi, efusi pelura dan asites yang berat dan kejang.5 Kematian

dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan basal rumah sakit

yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul

komplikasi pada sistem syaraf,kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain

Page 36: Kumpulan Skenario Blok 12

Kematian disebabkan oleh banyak faktor, antara lain :

- keterlambatan diagnosis

- keterlambatan diagnosis shock

- keterlambatan penanganan shock

- shock yang tidak terastasi

- kelebihan cairan

- kebocoran yang hebat

- pendarahan masif

- ensefalopati

- sepsis

- kegawatan karena tindakan

Penutup

Penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus

dengue yang disebarkan nyamuk Aedes aegypty. Yang disertai gejala klinis seperti

sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah sel darah putih,

penurunan leukosit, hematokrit meningkat dan ruam-ruam bahkan syok, tejadi

pendarahan. Seperti ditemukan pada kasus ini. Jika terlambat ditangani dapat

menyebabkan kematian. Cara yang paling efektif menghindari penyakit ini adalah

melakukan pencegahan sedini mungkin dengan memberantas keberadaan nyamuk

Aedes aegpty.

Page 37: Kumpulan Skenario Blok 12

Skenario2 : Leptospirosis1.1. Latar Belakang

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme

Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Pada tahun

1886, Adolf Weil pertama kali melaporkan penelitiannya tentang penyakit ini. Ia

menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus,

pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal.1-6

Leptospirosis sering luput dari diagnosis karena gejala klinis yang tidak spesifik dan

sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji labolatorium. Leptospirosis telah

muncul dibeberapa negara sehingga menjadikan leptospirosis sebagai salah satu

penyakit yang perlu diperhatikan. 2,3

1.2. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas belajar mandiri blok 12 serta

menambah wawasan. Melalui makalah ini, diharapkan agar kami mampu menambah

pengetahuan dan mengerti serta memahami topik penyakit leptospirosis agar dapat

dimanfaatkan saat menjadi dokter kelak.

PEMBAHASAN

1.3. Anamnesis

Anamnesis mengambil peran besar dalam menentukan diagnosis. Oleh sebab itu,

anamnesis harus dilakukan sebaik mungkin sehingga dapat mengambil diagnosis

dengan baik pula dan mampu memberikan pertolongan bagi pasien.

Sesuai dengan skenario 2, maka dapat diperoleh data-data anamnesis sebagai berikut:

Tn.B, laki-laki, berumur 40 tahun

Panas tinggi menggigil sejak 4 hari yang lalu secara terus menerus

Demam disertai myalgia hebat terutama dibetis

Satu hari sebelum berobat, mata pasien terlihat kuning

Daerah tempat tinggal pasien mengalami banjir 1 minggu yang lalu

Secara umum, penderita leptospirosis, akan datang dengan keluhan demam menggigil,

sakit kepala terutama bagian frontal, malaise, mual/muntah, konjungtivitis (mata

Page 38: Kumpulan Skenario Blok 12

merah), myalgia (rasa nyeri pada otot betis, paha), dan biasanya gejala tampak antara

hari ke 4-9.

Apabila sampai tahap ini belum diberi penanganan, maka akan timbul keluha mata

kemerahan (konjungtivitis) tanpa disertai porulen. Rasa nyeri pada otot yang semakin

meningkat, bila diperiksa sudah timbul antibodi dalam tubuh penderita, kemungkinan

akan terjadi meningitis. Biasanya terjadi antara minggu kedua sampai keempat.4

1.4. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Melalui skenario 2 yang diberikan, dapat kita ketahui bahwa pada pasien dilakukan

pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah.

Beberapa data pemeriksaan fisik yang didapat:

Pasien lemah

Suhu 39,50C

Tekanan darah = 100/70 mmHg

Mata conjungtiva anemis, sclera ikterik, subconjungtival injection

Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae, bertepi tajam, lunak, nyeri tekan

Sedangkan pada pemeriksaan penunjang (labolatoriun) didapat hasil sesuai skenario 2

sebagai berikut:

Kadar yang diuji Skenario 2 Normal

Hb 10 g/dL 13-18g/dL

Leukosit 4100 /µL 4,5-11,0 x 109/L

Trombosit 220.000 /ml 150-400 x 109/L

Albumin 3,9 gr/dL 3,3-5,2 g/dL

Globulin 2,8 gr/dL (S.maclagan < 7)

Bilirubin total 4,5 mg/dL 0,3-1,1 mg/dL

Ureum 116 mg/dL 24-49mg/dL

Kreatinin 3 mg/dL 0,6-1,2 mg/dL

(nilai normal diambil dari kamus kedokteran Dorland)

Maka dapat kita ketahui bahwa pasien dalam skenario 2 mengalami penurunan Hb

dan penurunan leukosit. Trombosit, albumin, globulin masih dalam batas normal,

namun bilirubin, ureum, dan kreatinin sudah meningkat.

Page 39: Kumpulan Skenario Blok 12

1.5. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang

dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza syndrom syok toksin,

demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus

datang sebagai penkreatitis. Pada anamnesis penting diketahui tentang riwayat

pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok resiko termasuk kelompok resiko

tinggi.1

Gejala/keluhan didapat demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama

dibagian frontal, nyeri otot, mata merah, mual/muntah. Pada pemeriksaan fisik

dijumpai demam bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Pada

pemeriksaan labolatorium darah rutin dapat dijumpai lekositosis, normal atau seikit

turun, netrofilia, dan LED meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan

torak. Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan

transaminase.BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi

pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi

leptospira dari cairan tubuh dan serologi.1

Spesimen

Spesimen terdiri dari darah untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan inokulasi

pada marmot muda, serta serum untuk uji aglutinasi.1-6

Pemeriksaan Mikroskopik

Bakteri leptospira terlalu halus untuk dapat dilihat dengan mikroskop lapangan terang,

tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase

kontras. Pemeriksaan lapangan gelap atau sediaan darah tebal yang diwarnai dengan

giemsa sesekali menunjukkan leptospira didalam darah segar berasal dari infeksi dini.

Pemeriksaan lapangan gelap dari urin yang disentrifugasi dapat memberikan hasil

pemeriksaan positif. 3

Kul

Organisme dapat diisolasi dari darah atau css hanya pada 10 hari pertama. Bakteri

tersebut biasanya dijumpai di urin selama minggu ke-2 dan kadang-kadang dari

spesimen biopsi berbagai jaringan. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan

mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur

urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang terkontaminasi

inokulasi hewan dapat digunakan

Inokulasi Hewan

Page 40: Kumpulan Skenario Blok 12

Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi intraperitoneal pada

marmot muda dengan plasma atau urin segar. Dalam beberapa hari dapat ditemukan

leptospira didalam cairan peritoneal; setelah hewan itu mati (8-14hari) ditemukan lesi

hemoragik pada banyak organ. 3

Serologi

Diagnosis labolatorium leptospirosis biasanya ditegakkan dengan uji serologi.

Antibodi aglutinin dengan titer yang sangat tinggi timbul secara lambat pada infeksi

leptospira dan mencapai puncaknya pada minggu ke 5-8 setelah infeksi.

Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan

pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluroscent antibody

stain, dan mikroskop lapangan gelap.3

1.6. Etiologi

Genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dari famili

Trepanometaceae adalah bakteri yang berbentuk benang dengan panjang 6-12µm.

Saat ini terdapat minimal 180 serotipe dan 18 serogroup yang sudah teridentifikasi

dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Ciri khas organisme ini yakni berbelit,

tipis, fleksibel, dengan spiral amat halus dan lebarnya 0,1-0,2 µm.

Gambar 1. Leptospira

Karena ukurannya yang sangat kecil, leptospira hanya dapat dilihat dengan

mikroskop medan gelap atau mikroskop elektron. Bakteri leptospira berbentuk spiral

dengan ujung-ujung seperti pengait. Bentuk demikian membuat leptospira dapat

bergerak sangat aktif maju, mundur, atau berkelok. Bakteri ini peka terhadap asam.

Meskipun didalam air tawar dapat bertahan hidup sampai sekitar satu bulan, namun

dalam air yang pekat, seperti air selokan, air kencing, atau air laut, leptospira akan

Page 41: Kumpulan Skenario Blok 12

cepat mati. Lingkungan yang sesuai untuk leptospira adalah daerah tropis dengan

tanah lembab. Bakteri ini dapat hidup sampai 43 hari pada tanah yang sesuai dan

berminggu-minggu dalam air terutama air tawar.

Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans yang

patogen, dan L.biflexa yang non patogen. Melalui penelitian terbaru sudah ditemukan

lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogroup. Beberapa serovar

L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia diantaranya adalah:

L.icterohaemorrhagiae, L.canicola, L.pomona, L.grippothyphosa, L.javanica,

L.celledoni, L.ballum, L.pyrogenes, L.automnalis, L.hebdomadis, L.bataviae,

L.tarassovi, L.panama, L.andamana, L.shermani, L.ranarum, L.bufonis,

L.copenhageni, L.australis, L.cynopteri, dan lain-lain.

Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah

L.ichterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L.canicola dengan reservoir anjing,

dan L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.1-3,5,6

1.7. Epidemiologi

Leptospira tersebar diseluruh dunia, semua benua kecuali benua antartika, namun

banyak didaerah tropis. Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran

luas yang mempengaruhi sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir

yang paling penting, walaupun mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan

peliharaan dan domestic dapat juga membawa mikroorganisme ini. Leptospira

meningkatkan hubungan simbiosis dengan hostnya dan dapat menetap pada tubulus

renal selama beberapa tahun. Transmisi leptospira dapat terjadi melalui kontak

langsung dengan urin, darah, atau jaringan dari hewan yang terinfeksi atau paparan

pada lingkungan; transmisi antar manusia jarang terjadi. Karena leptospira

diekresikan melalui urin dan dapat bertahan dalam air selama beberapa bulan, air

adalah sarana penting dalam transmisinya. Epidemik leptospirosis dapat terjadi

melalui paparan air tergenang yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

Leptospirosis paling sering terjadi di daerah tropis karena iklimnya sesuai dengan

kondisi yang dibutuhkan pathogen untuk bertahan hidup. Pada beberapa negara

berkembang, leptospirosis tidak dianggap sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih

dari 500.000 kasus dilaporkan dari Cina, dengan nilai case fatality ratesdari 0,9

sampai 7,9%. Di Brazil, lebih dari 28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama.1-3

Page 42: Kumpulan Skenario Blok 12

Manusia tidak sering terinfeksi leptospirosis. Ada beberapa kelompok pekerjaan

tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pekerja-pekerja di sawah, pertanian,

perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-

orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan. Setiap individu dapat

terkena leptospirosis melalui paparan langsung atau kontak dengan air dan tanah yang

terinfeksi. Leptospirosis juga dapat dikenali dimana populasi tikus meningkat.

Aktivitas air seperti berselancar, berenang, dan ski air, membuat seseorang

beresiko leptospirosis. Pada tahun 1998, kejadian luar biasa terjadi diantara komunitas

atlet. Diantara atlet tersebut, tertelan atau terhisapnya air menjadi factor resiko.

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang, masa puncak insiden

dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang

mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah tropis insiden

tertinggi terjadi selama musim hujan.

Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam

melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai

mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urin. Diagnostik

pasti ditegakkan setelah ditemukan leptospira pada urin atau uji serologi positif.

Untuk dapat berkembang biak, leptospira memerlukan lingkungan optimal serta

bergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH air/tanah yang netral, dimana kondisi

ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.1-3

1.8. Patogenesis

Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki

aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian

terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini

dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa

organisme ini masih dapat bertahan pada beberapa daerah yang terisolasi secara

imunologi seperti didalam ginjal, hingga bakteri bisa hidup disana dan keluar melalui

urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekirat 8 hari sampai seminggu setelah

infeksidan sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat

dihilangkan dengan fagositosit dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat

akan lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia, 4-7

hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.

Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat dalam

Page 43: Kumpulan Skenario Blok 12

patogenesis leptospira adalah: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik,

dan reaksi imunologi.1

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksik yang

bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patalogis pada beberapa organ. Lesi yang

muncul akibat kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat

perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik.

Pada leptospirosis lesi histologik yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien

dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini

menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur. Lesi inflamasi menunjukkan

adanya edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma. Selain diginjal,

leptospira bisa bertahan di otak dan mata. Bakteri ini bisa masuk ke cairan

serebrospinal dan terjadi meningitis yang sering menjadi komplikasi. 1

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis

mempunyai dua fase penyakit yang khas, yaitu:

1. Fase Leptospiremia

Fase ini ditandai dengan adanya leptospira didalam darah dan cairan

serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala

biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis,

pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hipertensi kulit,

demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa

muntah disertai mencret, bahkan pada 25% kasus disertai penurunan kesadaran.

Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif. Dan ikterus 50%. Pada

hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffision dan fotofobia. Pada kulit

dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular, atau urtikaria.

Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase

ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu kembali

normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-

6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah 7hari

diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.

Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun. 1-3,5,6

2. Fase Imun (fase leptospirurik)

Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demamyang

mencapai suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat reasa

sakit yang menyeluruh pada leher, perut, otot-otot kaki, terutama betis. Terdapat

Page 44: Kumpulan Skenario Blok 12

pendarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia,

ikterik.pendarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae,

epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering.

Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda

patognomosis untuk leptospirosis.

Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini. Walaupun hanya 50%

gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CCS dijumpai pada 50-90%

pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap beberapa minggu tetapi biasanya

hilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat ditemukan pada urin. 1-3,5,6

Leptospirosis dilihat dari sisi berat tidaknya gejala, dapat dibedakan menjadi:

Leptospirosis anikterik

Bentuk leptospirosis yang ini lebih umum dan lebih ringan. Sebagian besar

berupa subklinis. Pada fase pertama, hampir tidak pernah terjadi kematian.

Dapat terjadi fase ke 2, namun dapat juga tidak. Terjadinya nyeri kepala pada

fase imun merupakan permulaan meningitis klinik. Dan meningitis ini pula

yang sering salah didioagnosa sebagai kelainan akibat virus. 3

Leptospirosis ikterik (Sindrom Weil)

Sering dikenal dengan sindrom weil, merupakan bentuk leptospirosis berat

yang pada mulanya dikatakan akibat Leptospira icterohaemorrhagiae. Tetapi

ternayat dapat terlihat pada setiap serotipe Leprospira. Penyakit ini ditandai

dengan gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, pendarahan, kolaps vaskular,

penurunan kesadaran berat, dan adanya mortalitas tinggi. 3

1.9. Pengobatan

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan

dehidrsi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.

Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik seiring membaiknya

keadaan pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa

temporer.

Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4

hari setelah onset cukup efektif. Adapun beberapa antibiotik yang dapat digunakan

dapat dilihat melalui tabel berikut: 1

Tabel.2. Pengobatan pada leptospirosis1

Page 45: Kumpulan Skenario Blok 12

Indikasi Regimen Dosis

Leptospirosis ringan doksisiklin 2 x 100 mg

Ampisilin 4 x 500-750 mg

Amoksisilin 4 x 500 mg

Leptospirosis sedang /berat Penisilin G 1,5juta unit / 6jam (i.v)

Ampisilin 1 gr / 6jam (i.v)

Amoksisilin 1gr / 6jam (i.v)

Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu

Pada kasus ringan masih diberikan melalui oral, sedangkan dalam kasus berat

diberikan melalui intravena. Sampai saat ini, penisilin masih merupakan antibiotik

pilihan utama. Perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika masih berada dalam

darah (fase leptospiremia). Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan

penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi

uremia berat, sebaiknya dilakukan dialisis. 1

1.10. Komplikasi

Komplikasi Leptospirosis antara lain: 4,6

Meningitis : gangguan neurologi terbanyak sebagai komlikasi

Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6 

Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian. 

Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang

dapat mengikabatkan kematian mendadak. 

Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas. 

Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran

pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva). 

Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

1.11. Pencegahan

Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit. Banyaknya

hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Pencegahan pada manusia

Page 46: Kumpulan Skenario Blok 12

juga sulit karena tidak memungkinkan menghilangkan reservoir infeksi yang besar

pada hewan.1,2

Pencegahan penyakit dilakukan dengan mencegah kontak dengan air yang secara

potensial terkontaminasi dan dengan mengurangi kontaminasi melalui pengendalian

rodensia. Perlu dilakukan sanitasi lingkungan terutama didaerah peternakan,

pemotongan hewan, atau di kolam renag. Kampanye rumah antitikus juga perlu

dilakukan. Bagi para pekerja yang rawan terkontaminasi bakteri, harus diperlengkapi

dengan sepatu bot, sarung tangan, masker, dan baju pelindung. Imunisasi bagi orang

yang sering berhubungan dengan hewan penular juga perlu dilakukan.1,3

Penyuluhan tentang higiene pribadi serta penularan penyakit akan membantu

dalam pencegahan. Kewaspadaan petugas kesehatan dapat ditingkatkan dalam situasi

pascabanjir, mengisolasi hewan sakit, daerah wisata (perlindungan dari urin hewan),

vaksinasi hewan piaraan, serta mengkontrol vektor. Kewaspadaan perlu ditingkatkan

sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit.3

Secara nyata, beberapa hal yang dapat kita lakukan dan anjurkan pada masyarakat,

antara lain:

1. Yang pekerjaannya menyangkut binatang:

Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air.

Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau perisai

mata, jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang mungkin terkena,

terutama jika ada kemungkinan menyentuh air seninya.

Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di

dalam maupun digugurkan atau dagingnya.

Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah

menangani apa pun yang mungkin terkena.

Jangan makan atau merokok sambil menangani binatang yang mungkin

terkena.

Cuci dan keringkan tangan sebelum makan atau merokok.

Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan.3,4

2. Untuk yang lain:

Hindarkanlah berenang di dalam air yang mungkin dicemari dengan air seni

binatang.

Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air terutama sebelum bersentuhan

dengan tanah, lumpur atau air yang mungkin dicemari air kencing binatang.

Page 47: Kumpulan Skenario Blok 12

Pakailah sepatu bila keluar terutama jika tanahnya basah atau berlumpur.

Pakailah sarung tangan bila berkebun3,4

Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 

Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus. 

Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan. 

Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah

bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang

tercemar lainnya. 

Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas

kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan

menggunakan sepatu bot dan sarung tangan. 

Menjaga kebersihan lingkungan 

Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang. 

Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung. 

Menghindari pencemaran oleh tikus. 

Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh

tikus 

Meningkatkan penangkapan tikus.

1.12. Prognosis

Secara umum, apabila kasus ditangani dengan baik dan dengan pemberian perawatan

sesuai yang dianjurkan memiliki prognosis baik. Jika tak ada ikterus, penyakit jarang

fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun

dan meningkat pada usia lanjut (30-40%). Kematian sering terjadi akibat jaudisme,

dengan komplikasi gagal ginjal akut dan kegagalan pernafasan akut.1,4,6

PENUTUP

1.13. Kesimpulan

Tuan B yang mengalami panas tinggi menggigil sejak 4 hari yang lalu secara terus

menerus disertai myalgia pada betis dan ikterus menderita leptospirosis, fase

leptospiremia. Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh saat banjir terjadi. Bila

ditangani dengan cepat dan tepat, prognosis baik.

Page 48: Kumpulan Skenario Blok 12

Skenario 3 : Demam Typoid

PEMBAHASAN

A. Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter

dengan cara melakukan serangkaian wawancara Anamnesis dapat langsung

dilakukan terhadap pasien (auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau

pengantarnya (alo-anamnesis).

a. Identitas: menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi

(misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.

b. Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang

sedang dihadapinya.

c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas,

kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan,

faktor-faktor apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap,

apakah keluhan konstan, intermitten. Informasi harus dalam susunan yang

kronologis, termasuk test diagnostik yang dilakukan sebelum kunjungan

pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan apakah ada demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan

tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.

d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Pernahkah pasien mengalami demam tifoid

sebelumnya.

e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah

kesehatan pada anggota keluarga.

f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat

tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan).1

B. Pemeriksaan Fisik

- Tanda vital: Suhu (oral, rektal, axila atau telinga), nadi, respirasi, tekanan

darah (mencakup lengan kanan, lengan kiri, berbaring, duduk, berdiri), tingkat

kesadaran.

- Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan pada epigastrium.

Tingkat kesadaran pasien ada 5:

Page 49: Kumpulan Skenario Blok 12

1. Compos Mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap

lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.

2. Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh

tak acuh terhadap sekelilingnya.

3. Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauanmotorik dan siklus tidur

bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan

meronta-ronta.

4. Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila

dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.

5. Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan

dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak

terbangun sempurna dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.

6. Semi koma: penurunan ranagsangan yang tidak memberikan respon terhadap

rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks

pupil dan kornea masih baik.

7. Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.1,2

C . Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering

ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal

atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa

disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan

anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung

jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia.

Laju endap darah pada tifoid dapat meningkat.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali

menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT

tidak memerlukan pennanganan khusus

UJi widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman

s.thypi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar

antigen kuman s.thypi dengan antibody yang disebut agglutinin.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi

Page 50: Kumpulan Skenario Blok 12

salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin

dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :

Agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella

kuman), dan c agglutinin Vi ( simpai kuman)

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi

titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi.

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu

pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan

mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi

selam beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul O,

kemudian diikuti aglutinin H. pada orang yang telah sembuh

agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang

agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh

karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan

penyakit.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1)

pengobatan dini dengan antibiotic, 2) gangguan pembentukan

antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3) waktu pengambilan

darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat

vaksinasi. 6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer

agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibaat infeksi

demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,7) factor teknik

pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain

salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer

agglutinin yang bermakna diagnostic.

Uji tubex

Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa

meni) dan mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi

antibody anti-Styphi O9 pada serum pasien, dengan cara

menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada

partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi

Page 51: Kumpulan Skenario Blok 12

yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji

tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D

walau tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh

S.paratyphi akan member hasil negative.

Uji Typidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang

terdapat pada protein membrane luar salmonella typhi. Hasil

positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan

dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG

terhadap antigen s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada

strip nitroselulosa.

Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik

terhadap s.typhi pada specimen serum atau whole blood. Uji ini

menggunakan strip yang mengandung anti gen lipopolisakarida

(LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi

yang mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks

berwarna, vairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan

reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen perlengkapan

ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di

tempat kering tanpa paparan sinar matahari.

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan

tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tfoid, karena

mungkin sisebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah

mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan

kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman

dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative, 2)

volume darah yang kuran(diperlukan kurang lebih 5cc darah).

Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah

yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke

dalam media cair empedu untuk pertumbuhan kuman, 3)

riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan

antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) dapat

Page 52: Kumpulan Skenario Blok 12

menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negative ,4)

saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat

agglutinin semakin meningkat.3,4

2.1 Epidemiologi

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi

peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey

berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986

memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% .

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait

dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per

100.000 penduduk, sedang di daerah urban ditemukan 760-810 per

100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat

dengan persediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi

lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat

kesehatan lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08%

dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil

Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995

demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.

2.2 Patogenesi

Masuknya kuman salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi

melalui makan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan

dalam lambung, sebagian lolos ,asuk dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)

dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oelh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat

hidup dan berkembang biak dalam makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke

plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan

Page 53: Kumpulan Skenario Blok 12

bakteremia pertama) yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikulo endothelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembakbiak di luar

sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah

lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan desertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian

masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama

terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif

maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa

mediator inflamasi sistemik seperti demam,malaise,mialgia, sakit kepala,

sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia jaringan (s.thypi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoid ini dapat berkembangbhingga ke lapisan otot, serosa usus, dan

dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel

endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan

neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya

2.3 Gambaran Klinis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias

terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran

klinis penyakit ini penting unutk membantu mendeteksi secara dini.

Walaupun pada kasus tertentu di butuhkan pemeriksaan tambahan untuk

membantu menegakkan diagnosis.

\masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis

yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik

hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Page 54: Kumpulan Skenario Blok 12

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan

gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam,

nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau

diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epiktasis. Pada pemeriksaan

fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman adalah

meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam

minggu kedua gejala-gejala semakin jelas berupa demam, bradikardia

relative (peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8

kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepid an ujung

merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan

mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae

jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)

Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa

langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah

sebagai berikut.

~Minggu Pertama (awal terinfeksi) 8

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada

awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam

tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala,

pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara

80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan

gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,

sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu

pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor

di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat

dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang.

Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam

dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit

lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan

terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak

ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.

Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa

Page 55: Kumpulan Skenario Blok 12

makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada

kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila

ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai.

Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.

~ Minggu Kedua8

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat

setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat

pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh

penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang

tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi

perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat

dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat

yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium,

somnelon, stupor, koma dan psikosis. Gangguan pendengaran umumnya

terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat

sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering

yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.

Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.

Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika

berkomunikasi dan lain-lain.

~ Minggu Ketiga8

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila

keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai

turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot

bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan

timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut

nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka

hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat

Page 56: Kumpulan Skenario Blok 12

dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam

tifoid pada minggu ketiga. 8

~ Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini

dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena

femoralis. 8

Relaps

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan

dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada

infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak

diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 4

Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

~ Perdarahan usus

~ Perforasi usus

~ Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra –Intestinal

~ Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer

(renjatan septik), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

~ Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau

Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik

~ Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis

~ Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan

kolesistitis

~ Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis

~ Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis

~ Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis

Page 57: Kumpulan Skenario Blok 12

perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia7

2.4 Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji darah yang mengandung

bakteri Salmonella dalam darah penderita, dengan membiakkan darah

pada hari 14 yang pertama dari penyakit.

Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh

dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit.

Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif

dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari

infeksi aktif demam tifoid.

Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin

pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan

ditemukannya Salmonella.

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika

terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada

hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas.

Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat

infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari

lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan

terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis

karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti

di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang

setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit

kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak

semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung

menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan

seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal.

Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja

langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun

demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng. 5

2.5 Penatalaksanaan

Samapai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

Page 58: Kumpulan Skenario Blok 12

Istirahat dan perawatan, dengan tirah baring dan perawatan profesinal

bertujuan untuk mencegah komplikasi. Dalam perawatan perlu dijaga

kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perklengkapan pakaian yang di

pakai.

Diet dan terapi penunjang. Makanan yang kurang akan menurukan

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses

penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan dengan

makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa

(menghindari sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman pada

pasien demam tifoid

Pemberian antimikroba. Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan

untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut

Kloramfenikol

Tiamfenikol

Kotrimoksazol

Ampisilin dan amoksilin

Golongan fluorokuinon

Azitromisin

Kombinasi obat anti mikroba atau lebih diindikasi hanya pada keadaan

tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok

septic, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organism ddalam kultur

darah selain kuman salmonella. Pada wanita hamil obat yang dianjurkan

adalah ampisilin, amoksilin, dan sefriakson selainnya dikawatirkan dapat

terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine dan grey sindrom pada

neonates.

Diagnosis Banding

3.1 Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.

etiologi

DBD diesebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus family dari

flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam

ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu

Page 59: Kumpulan Skenario Blok 12

DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam

berdarah dengue. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan

mamalia seperti tikus, kucing, anjing, danb primata. Penelitian pada arthropoda

menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk Aedes (Stegomyia) dan

Toxorhynchites.

manifestasi klinik

Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai

leukopenia ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada

DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan

hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. 4,5

3.2 Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang

menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam

darah.

Etiologi

Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga

menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus

plasmodium dari famili plasmodidale. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi

eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan

seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan ada

lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang.

Manifestasi klinis

Manifestasi malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi

malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium.

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan

splenomegali. Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa

kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri

sendi dan tulang, demam ringan , anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-

kadang dingin. 4,5,6

3.3 Prognosis

Page 60: Kumpulan Skenario Blok 12

Prognosis demam tifoid baik jika tergantung dari umur, keadaan umum, derajat

kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya

pengobatan4

Penutup

4.1 Kesimpulan

Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik

di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini

tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan

dan minuman yang terkontaminasi. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi.

Pemeriksaan penunjang yang mudah untuk dilakukan adalah dengan uji widal. Obat

utama yang dapat digunakan adalah golongan antibiotik.

Skenario 4 : SLELatar Belakang

Page 61: Kumpulan Skenario Blok 12

Pembentukan kompleks imun atau kompleks antigen-antibodi

merupakan proses alami dalam rangka mempertahankan tubuh terhadap

antigen yang larut, misalnya toksin bakteri. Dalam keadaan normal, kompleks

imun yang dibentuk oleh toksin dan antitoksin segera dimusnahkan dengan

cara fagositosis dan selanjtnya hilang dari sirkulasi. Namun, pada keadaan

tertentu adanya kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan berbagai

kelainan dalam organ tubuh yang disebut penyakit kompleks imun.

Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari

oleh adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu

atau beredar dalam pembuluh darah (Circullating Imune Complex). Kompleks

imun dapat berasal dari ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi ataupun

terbentuk pada jaringan setempat. Pada beberapa penyakit, antigen merupakan

komponen dari jaringan tubuh sendiri (autoantigen), sehingga dikenal sebagai

penyakit autoimun atau berasal dari agen infeksi (bakteri, virus, maupun

jamur).

Penyakit kompleks imun ini dibagi atas 2 kelompok yaitu : kelompok

penyakit kompleks imun alergi dan non alergi. Penyakit kompleks imun alergi

antara lain : reaksi artus, reaksi serum sickness, alergik bronko-alveolaris.

Termasuk penyakit kompleks imun non-alergi antara lain lupus eritematosus

sistemik (SLE), vaskulitis,glomerulonefritis,artritis rematoid (RA), dan

demam reumatik.1

PEMBAHASAN

Etiologi

Lupus eritematosis sistemik atau SLE merupakan penyakit inflamasi

multi sistem yang tidak diketahui penyebabnya penyakit akut atau kronik

dengan remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam

autoantibodi.2 Atas dasar yang belum jelas, pasien SLE membentuk

imunoglobulin terhadap beberapa komponen badan misalnya DNA. Hal ini

merupakan tanda utama dari SLE.1 SLE merupakan prototipe kelainan

autoimun sistemik yang ditandai oleh sejumlah autoantibodi, khususnya

antibodi antinukleus (ANA).3 Faktor genetik ada kaitannya sekitar 10%

Page 62: Kumpulan Skenario Blok 12

diantaranya HCA, B8, DR2,DR3,DRW52,DQ101,DQWL, dan DQW2, NULL

untuk C4- banyak ditemui pada pasien dan keluarganya. Faktor lingkungan

seperti obat kontrasepsi oral diduga penyebab timbulnya penyakit ini serta

paparan sinar matahari juga mempengaruhi serangan pendahuluan SLE, pada

sekitar 1/3 penderita.4

Epidemiologi

Prevalensi antara 50,8 per 100.000 orang umur diatas 17 tahun.

Prevalensi pada wanita kulit putih umur antara 18-65 tahun sekitar 1/1000 dan

pada wanita kulit hitam adalah 1/250. Pada antara umur tersebut diatas, wanita

10 kali lebih banyak dari pria. Di antara anak-anak dan orang tua, penyakit

tersebut pada laki-laki 2 kali daripada wanita.4

Patofisiologi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) dimasukan dalam golongan

penyakit autoimun.5 Penyakit autoimun ini terjadi karena gangguan pada

toleransi terhadap diri sendiri (self-tolerance)−yaitu suatu keadaan

nonresponsif yang normal terhadap antigen-diri sendiri. Karena set T-helper

mengendalikan imunitas seluler maupun humoral,toleransi sel T-helper

dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit autoimun.3

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2.

Sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2

menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada

pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel

Th2  yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated

immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya 

produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2

yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan

disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi

limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan

limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang

teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan

dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami

Page 63: Kumpulan Skenario Blok 12

peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock

protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi

pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.

Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+

(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama

berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu

menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+).

Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut

sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan

kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua

subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-,CD8-)

mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi ini

adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan

komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan

kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks

imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan

mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,

autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak

di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.

Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan

menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau

autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan

menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya

terhadap kerusakan jaringan.

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens

kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan

penurunan up-take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks

imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat

pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA.

Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2,

C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen

terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai

macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-

Page 64: Kumpulan Skenario Blok 12

mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah

yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang

bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan

sebagainya.

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat

menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti

klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan

jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami

apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.

Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel,

pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi

ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan

berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter

ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,

dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi. 

Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang

kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan

sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh

makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan

oleh gangguan Fas dan bcl-2.6

Hasil Pemeriksaan

Anamnesis

Hasil laporan berdasarkan anmnesis didapatkan :

Seorang wanita usia 25 tahun dengan status belum berkeluarga. Adanya

keluhan utama : nyeri dan bengkak pada sendi pergelangan tangan, jari-jari

tangan dan tumit serta adanya keluhan penyerta ruam merah pada pipinya

akan bertambah berat bila terpapar sinar matahari.

Pemeriksaan Fisik

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan :

Inspeksi : Adanya ruam merah pada kedua pipi

Suhu : 36,8oC

Page 65: Kumpulan Skenario Blok 12

Nadi : 72x/menit

RR : 20x/menit

Tekanan darah : 120/80 mm Hg

Pemeriksaan Laboratorium

LED : 40 mm

Hemoglobin : 8g/Dl

Hematokrit : 25%

Jumlah leukosit : 3.800mm3

Leukosit normal : 4000-11.000 mm3

Jumlah trombosit : 120.000

Pemeriksaan labotarium yang dapat dilakukan :

Pada pasien dengan kecurigaan klinis tinggi atau titer ANA yang

tinggi, pengujian tambahan ditunjukkan. Hal ini biasanya meliputi evaluasi

antibodi terhadap dsDNA, melengkapi, dan ANA subtipe seperti Sm, SSA,

SSB, dan ribonucleoprotein (RNP) (sering disebut panel ENA). Berikut ini

adalah autoantibody tes yang digunakan dalam diagnosis dari SLE:

1. ANA - Skrining uji; sensitivitas 95%, bukan diagnostik tanpa

fitur klinis

2. Anti-dsDNA - spesifisitas Tinggi; sensitivitas hanya 70%, kadar

variabel yang berdasarkan pada aktivitas penyakit

3. Anti-Sm - Kebanyakan antibodi spesifik SLE; hanya 30-40%

sensitivitas

4. Anti-SSA (Ro) atau Anti-SSB (La) - Hadir dalam 15% pasien dengan

SLE dan jaringan ikat-penyakit seperti sindrom Sjögren; terkait dengan

lupus neonatal

5. P Anti-ribosom - Jarang antibodi yang mungkin berkorelasi dengan

cerebritis lupus

6. Anti-RNP - Termasuk dengan anti-Sm, SSA, dan SSB dalam profil

ENA; mungkin menunjukkan campuran penyakit ikat-jaringan dengan

tumpang tindih SLE, skleroderma, dan myositis

Page 66: Kumpulan Skenario Blok 12

7. Anticardiolipin - IgG / IgM varian diukur dengan enzyme-linked

immunoassay (ELISA) di antara antibodi antifosfolipid yang

digunakan untuk menyaring sindrom antibodi antifosfolipid

8. Lupus antikoagulan - tes Multiple (misalnya, langsung Russell Viper

Venom test) untuk layar untuk inhibitor dalam kaskade pembekuan

dalam sindrom antibodi antifosfolipid

9. Uji Coombs - anemia Coombs tes positif untuk menunjukkan antibodi

di sel darah merah

10. Anti-histone - Obat-induced lupus sering antibodi ANA jenis ini

(misalnya, dengan procainamide atau hydralazine; perinuclear

antineutrophil antibodi sitoplasma [p-Anca]-positif di minocycline-

induced lupus obat-induced)

Tes laboratorium lain yang digunakan dalam diagnosis dari SLE adalah

sebagai berikut:

1. Inflamasi penanda: Tingkat penanda inflamasi, termasuk tingkat

sedimentasi eritrosit (ESR) atau protein C-reaktif (CRP), mungkin

meningkat dalam kondisi apapun inflamasi, termasuk SLE. tingkat

CRP berubah lebih akut, dan ESR tertinggal di belakang perubahan

penyakit.

2. Pelengkap tingkat: tingkat C3 dan C4 sering depresi pada pasien

dengan SLE aktif karena konsumsi oleh peradangan kekebalan yang

kompleks-induced. Selain itu, beberapa pasien memiliki kekurangan

bawaan melengkapi yang predisposes mereka untuk SLE.

3. Sebuah hitungan CBC dapat membantu untuk menyaring leukopenia,

limfopenia, anemia, dan trombositopenia, dan urine dan studi kreatinin

mungkin berguna untuk skrining penyakit ginjal.

4. Hati hasil tes mungkin sedikit meningkat pada SLE akut atau sebagai

respons terhadap terapi seperti azathioprine atau obat anti peradangan

non-steroid (OAINS).

5. Kreatinin kinase tingkat mungkin meningkat dalam myositis atau

tumpang tindih sindrom.7

Page 67: Kumpulan Skenario Blok 12

Work Diagnosis

Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American

Rheumatology Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi

yaitu ANA, anti ds-DNA, anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau

VDRL positif palsu. ANA sangat sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-

100% penderita sehingga merupakan pemeriksaan pertama pada penderita

yang diduga SLE.8

ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola

imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler)−

walaupun tidak spesifik− dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA

dapat pula ditemukan pada kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari

orang-orang normal) tetapi adanya antibodi-antiDNA benang rangkap dan

antibodi antigen anti-Smith merupakan petunjuk kuat ke arah SLE.3

Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro

(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus

ini sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi

trombosis vaskuler rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi

antifosfolipid sekunder). 3

Tabel 1 Kriteria American Rheumatism Association untuk

penggolongan Lupus Eritematosus Sistemik 2٭

No. Keterangan

1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulkus pada mulut

5. Artritis : nyeri membengkak, mengenai sendi perifer, tidak

erosif

6. Serositis : pleuritis, perikarditis

7. Gangguan ginjal : proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria

persisten atau silinder sel khas

8. Gangguan neurologi : kejang atau psikosis tanpa adanya

penyebab lain

Page 68: Kumpulan Skenario Blok 12

9. Gangguan hematologi : anemia hemolitik, leukopenia,

limfopenia, atau trombositopenia

10. Preparat sel lupus eritematosus positif, titer antibodi anti-

DNA, titer antibodi anti-Smith abnormal, atau hasil uji

serologi sifilis positif palsu

11. Titer antibodi antinukleus abnormal tanpa berkaitan dengan

obat yang menyebabkan lupus eritematosus akibat obat

Ditemukan empat kriteria atau lebih secara berurutan atau secara simultan ٭

konsisten dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik.

Diagnosis Banding

1. Dermatomiosis, karena sering ditemukan sklerosis pada jaringan-

jaringan ikat dan subkutis

2. Purpura trombositpenia oleh karena sering ditemukan lesi-lesi petekie

dan ekimosis di daerah lengan bawah

3. Artritis reumatika, oleh karena sering terjadi artritis dan artralgia5

Atritis reumatoid pengertian penyakit inflamasi sistemik kronik

yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun

dengan etiologi yang tidak diketahui. Penyakit ini merupakan suatu

penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif

simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali

juga melibatkan organ tubuh lainnya

Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang

hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya

kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang

menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik,

hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam

menentukan pola morbiditas penyakit ini hingga etiologi AR yang

sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.

Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan

terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan

ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya

Page 69: Kumpulan Skenario Blok 12

bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diagnosis tidak begitu sulit

untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali

gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang

timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.

Kriteria Diagnosis

Susunan kriteria tersebut berdasarkan 1987 Revised A.R.A. Criteria for

Rheumatoid Arthritis sebagai berikut :

1. Kaku pagi hari

2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih

3. Artritis pada persendian tangan

4. Artritis simetris

5. Nodul reumatoid

6. Faktor reumatoid serum positif

7. Perubahan gambaran radiologis

Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya

kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.9

Penatalaksanaan

Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang

tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi

gejala dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada

perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi

maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-

masing individu.

Medical Mentosa10

Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LESAntimalaria     

Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)Kortiko-steroid           

PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu

Obat imuno-supresif   Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV

Page 70: Kumpulan Skenario Blok 12

dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine  1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari

Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

Suplemen Kalsium dan vitamin D        Kalsium karbonat      < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

Anti-hipertensiNifedipin        0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril        0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hariPropranolol    0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

Non-Medical Mentosa

1. Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk

meminimalkan gejala memburuk akibat photosensitivity.

2. Terapi Estrogen yang biasanya dihindari untuk mencegah flare

penyakit; kontrasepsi progesteron telah didorong. Namun, studi terbaru

menyarankan bahwa kontrasepsi oral tidak dapat dikaitkan dengan

flare penyakit atau risiko trombosis pada pasien dengan lupus ringan

tanpa antifosfolipid antibodies.

3. Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin

E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin

proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar

antibodi anti-DNA.

4. Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk

mencegah relaps dan meningkatkan mortality.

Page 71: Kumpulan Skenario Blok 12

5. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin

reseptor blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit

ginjal.

6. Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko

osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.11

Pencegahan

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah

sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari

kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari

merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor

lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang

spesifik untuk penderita SLE.Penggunaan sunblock (SPF 15) dan

menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan

untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari

ketika akan beraktivitas di luar rumah.6

Komplikasi

Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang

menerima terapi imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum

adalah osteonekrosis, terutama bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan

dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan. Lebih umum, penyakit

aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi indolen

peradangan kronis.12 Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan

jantung terjadi kelainan sistemik.5

Prognosis

LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.

Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal

ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.

Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival

rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival

ratessebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien

Page 72: Kumpulan Skenario Blok 12

LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami

sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan

menetap.10

Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan

penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan.

Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling

banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit

jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi

sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring

Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita

SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard

daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease

(CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator

inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia

yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE).

Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408

pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif

(34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%).6

PENUTUP

Kesimpulan

Dari skenario yang didapat bahwa wanita tersebut menderita lupus

eritematosus sistemik karena dari ciri-ciri fisik yang ditunjukan yaitu ada ruam

merah serta hasil pemeriksaan laboratorium.

Skenario 5 : MalariaTn. E,umur 30 tahun,datang ke rumah sakit dengan demam menggigil dan sakit

kepala hebat sejak 2 hari yang lalu. Dua minggu lalu Tn E berwisata ke Ujung

Kulon. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, suhu tubuh 39˚C,

nadi 90x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg.Laboratorium: Hemoglobin 13g/dl,

trombosit 250000/µl, lekosit 6000/µl.

Page 73: Kumpulan Skenario Blok 12

PEMBAHASAN :

Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebabkan

oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan

ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,dengan gejala

demam,menggigil,anemia dan pembesaran limfa.1

1. Anamnesis

Keluhan utama yaitu demam menggigil,berkeringat dan dapat disertai sakit

kepala,mual,muntah,diare,nyeri oto dan pegal-pegal.Keadaan umum yang

lemah,kejang,panas yang sangat tinggi,mata dan tubuh berubah

kekuningan,berlaku perdarahan pada hidung,gusi atau saluran cerna dan muntah

terus menerus dan tidak dapat makan dan minum.1

Pucat disertai lemah dan lesu. Hal ini merupakan gejala adanya anemi.3

2. Pemeriksaan Fisik Dan Laboratorium

Pemeriksaan Fisik

Demam

- Demam mempunyai  dua stadium yaitu : stadium frigoris (menggigil) yang

berlangsung selama 20-60 menit, kemudian stadium akme (puncak demam)

selama 1-4 jam, lalu memasuki stadium surodis selama 1-3 jam dimana penderita

banyak berkeringat. Serangan demam ini umumnya diselingi masa tidak demam.

Pada malaria tertiana demam timbul setiap 2 hari, pada malaria quartana timbul

setiap 3 hari; sedangkan pada malaria tropikal demam bersifat “hectic”, timbul

tidak teratur. Bila tidak diobati, karena kekebalan yang timbul, demam ini akan

hilang dalam 3 bulan. Dan jika keadaan tubuh lemah dapat terjadi relaps.3

Konjungtiva atau telapak tangan pucat

Pembesaran limpa (Splenomegali)

- Pada malaria tertiana, limpa membesar mulai minggu kedua, sedangkan  pada

malaria tropika pada hari ke-3 sampai 4, limpa membesar karena harus

menghilangkan eritrosit yang pecah. Pada infeksi kronik hepar juga akan

membesar.3

Page 74: Kumpulan Skenario Blok 12

Pembesaran hati (Hepatomegali)

Anemia

- Bervariasi dan ringan sampai berat. Paling berat pada infeksi “plasmodium

falciparum”. Eritrosit juga menjadi lebih mudah melekat satu dengan yang lain

dan dengan endotel, sehingga lebih mudah timbul trombus.3

Pada saat pemeriksaan fisik ditemukan keadaan penderita agak tampak pucat

dengan konjunktiva tidak anemis serta adanya hepatosplenomegali.3

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dengan mikroskopik

- Bertujuan untuk menemukan parasit di dalam darah tepi1,6

Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat(Rapid Diagnostic Test)

- Deteksi antigen parasit malaria,dengan menggunakan metoda

immunokromatografi dalam bentuk dipstik.1,6

Tes Serologi

- Mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana

parasit sangat minimal.1,6

3. Diagnosa

Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebabkan

oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan

ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,dengan gejala

demam,menggigil,anemia dan pembesaran limfa.1

Gejala: Keluhan utama yaitu demam menggigil,berkeringat dan dapat disertai

sakit kepala,mual,muntah,diare,nyeri oto dan pegal-pegal.Keadaan umum yang

lemah,kejang,panas yang sangat tinggi,mata dan tubuh berubah

kekuningan,berlaku perdarahan pada hidung,gusi atau saluran cerna dan muntah

terus menerus dan tidak dapat makan dan minum.

Page 75: Kumpulan Skenario Blok 12

Differential diagnose:

Penyakit lain yang mungkin terdeteksi berdasarkan simptom-simptom yang sama.

Contohnya demam dengue.

Dalam pelaksanaan pemberantasan malaria diagnostik yang ditegakkan ialah

setiap penderita demam atau dalam waktu sebulan yang demam agar diambil

preparat darahnya. Sedang positip malaria ditegakkan setelah preparat diperiksa di

laboratorium dan dapat ditemukan plasmodium.

Diagnosis lain yang dapat dibuat adalah:

a) PCR(polymerase chain reaction)

b) Serology

c) Quantitative Buffy Coat(QBC) test

d) Teknik Dip Stik

e) Rapid Diagnostic Test(RDT)

4. Epidemiologi dan Etiologi

Page 76: Kumpulan Skenario Blok 12

Gambar 5:Epidemiologi Malaria

Sejak tahun 1950, malaria telah berhasil dibasmi di hampir seluruh Benua

Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun penyakit

ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian Benua Afrika dan Asia Tenggara.

Sekitar 100 juta kasus penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dan sekitar 1 persen

diantaranya fatal. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan

penyebab utama kematian di negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang cepat,

migrasi, sanitasi yang buruk, serta daerah yang terlalu padat, membantu memudahkan

penyebaran penyakit tersebut. Pembukaan lahan-lahan baru serta perpindahan

penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) telah memungkinkan kontak antara nyamuk

dengan manusia yang bermukim didaerah tersebut.2

Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi seseorang terinfeksi adalah:

a) Ras atau suku bangsa1,7,8

Prevalensi Hemoglobin S ( HbS ) pada penduduk Afrika cukup tinggi sehingga lebih

tahan terhadap infeksi P.falciparum karena HbS menghambat perkembangbiakan

P.falciparum. HbS ) pada penduduk Afrika cukup tinggi sehingga lebih tahan

terhadap infeksi P.falciparum karena HbS menghambat perkembangbiakan

P.falciparum.4

b) Kekurangan enzim1,7,8

Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ( G6PD ) memberikan

perlindungan terhadap infeksi P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim G6PD ini

merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada wanita.4

c) Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan

Plasmodium yang masuk atau mampu menghalangi perkembangannya.1,7,8

Penyakit Malaria yang terjadi pada manusia. Penyakit malaria memiliki 4 jenis, dan

masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis

biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil dan keringat dingin. Dalam

beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul kembali

secara periodik. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan

Page 77: Kumpulan Skenario Blok 12

oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali

setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). 2

Gambar 1:Plasmodium Vivax

Demam rimba (jungle fever ), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria

tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar

kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke

otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian.2

Gambar 2:Trofozoit muda dari Plasmodium falciparum dengan pigmen malaria

Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium Malariae, memiliki masa

inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama

biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut

kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari.2

Gambar 3:Plasmodium Malariae

Jenis ke empat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan,

disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria tertiana.

Page 78: Kumpulan Skenario Blok 12

Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh didalam sel hati; beberapa hari sebelum

gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah

merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam.2

Gambar 4:Plasmodium Ovale

Tabel 1:Perbedaan Morfolgis Dari Keempat Jenis Malaria

  P. vivax P. Falciparum

P. Malariae

P. Ovale

1.   Siklus pra-eritrosit + 8 hari 6 hari 15-21 hari 15 hari

2.   Sikus Eritorit 48 jam 36-8 jam 72 jam 48 jam

3.     Dalam Eritrosit :

-        Titik schuffner

-        Titik Maurer

-        Bentuk oval eritrosit

 

+

-

-

 

-

+

-

 

-

-

-

 

+

-

-

4.     Parasit

-        Semua bentuk pada darah tepi

-        Bentuk akole

-        Bentuk, cincin dengan 2 inti

-        Bentuk pita

-        Gametosit berbentuk pisang

 

 

+

jarang

 

jarang

-

 

-

 

 

Jarang

+

 

+

-

 

+

 

 

+

+

 

+

-

 

+

 

 

+

-

 

-

+

 

 

5.    Jumlah Morozoit 14-24 20-32 6-12 8-12

Page 79: Kumpulan Skenario Blok 12

Plasmodium malaria dapat hidup dalam tubuh manusia dan dalam tubuh

nyamuk. Putaran kehidupan hama dalam tubuh manusia terjadi dalam darah

dengan siklus : merozoid --tropozoid -- schizont -- merozoid muda. Merozoid

muda masuk lagi ke dalam butir darah merah. Di dalam sel darah merah sebagian

terbesar merozoid muda tersebut mengulangi siklusnya dan sebagian kecil

membentuk makro- dan mikrogametosit yang siap untuk masuk tubuh nyamuk

pada waktu nyamuk tersebut menggigit orang sakit malaria. Sebagian lagi dapat

masuk dalam sel hati untuk kehidupan merozoid-merozoid muda. Siklus

kehidupan plasmodium dalam tubuh orang atau periode intrinsik memakan waktu

10 - 14 hari. Mikro dan makrogamet yang terhisap oleh nyamuk dalam lambung

nyamuk akan mengadakan pembuahan dan terbentuklah zygote. Dari zigot

kemudian terbentuk ookinet ookista dalam dinding lambung nyamuk dan

terbentuklah spora yang seterusnya menjadi sporozoit yang siap dalam kelenjar

ludah nyamuk untuk masuk dalam tubuh orang lewat gigitan nyamuk.Siklus

kehidupan plasmodium dalam tubuh nyamuk atau periode extrinsik memerlukan

waktu I0 - 12 hari.Dengan mengetahui siklus kehidupan parasit dan waktu

intrinsik dan extrinsiknya serta cara penularan penyakit malaria dapat ditetapkan

bahwa : pemeriksaan preparat oleh laboratorium memungkinkan pengaturan

waktu antara pemberian presumptive dan radical treatment yang harus kurang dari

10 hari dan pelaksanaan pemberantasan vektor dengan fogging agar diulang tiap

minggu selama 8 - I0 minggu.5

5. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Penatalaksanaan

A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :

Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas

pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :

i) Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila

diperlukan beri oksigen (O2)

ii) Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)

Page 80: Kumpulan Skenario Blok 12

iii) Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran,

pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu

dicatat untuk mengetahui perkembangannya)

iv) Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian

sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.

v) Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus

tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.

vi) Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk

vii) Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas

penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis

kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan,

rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu

(misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus

menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan

vital sign disatukan kedalam status penderita.2,6

B. Pengobatan simptomatik :

i) Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia :

parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga

kompres hangat.

ii) Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg

IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15

menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari

100 mg/24 jam.

iii) Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai

Phenobarbital 100 mg IM/x

Dewasa diberikan 2 x sehari.2,6

Page 81: Kumpulan Skenario Blok 12

C. Pemberian obat anti malaria spesifik :

i) Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of

choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1

ampul berisi 500 mg / 2 ml.

ii) Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak

memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I

Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).1,2

Cara pemberian :

i) Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi

2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau

dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan

konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8

jam sampai penderita dapat minum obat.

ii) Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan

Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis,

pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak

pemberian infus perdrip yang pertama).1,2,6

Catatan :

i) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena,

karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat

tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan

kematian.

ii) Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan

melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis

yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2

dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong).

Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina

Page 82: Kumpulan Skenario Blok 12

diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan

konsentrasi 60-100 mg/ml

iii) Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48

jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina

diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan

parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.

iv) Total dosis kina yang diperlukan :

Hari 0 : 30 mg/Kg BB

Hari I : 30 mg/Kg BB

Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.

Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.

v) Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama

terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.

vi) Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka

penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai

protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan

diatas), yaitu :

vii) Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.

viii) Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan

umum dan pengobatan simptomatik)2

*Fungsi masing-masing obat:

Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit

stadium aseksual

Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan

seksual

Primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam

darah,hipnozoit di sel hati dan parasit aseksual di eritrosit1

Pencegahan

Page 83: Kumpulan Skenario Blok 12

A. Kemoprofilaksis

Bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga bile terinfeksi

maka gejala klinisnya tidak berat.Ditujukan kepada orang yang berpergian ke

daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama.

i) Komprofilaksis untuk P. Falciparum, Doksisiklin:2mg,kgBB/hari(<4-6

minggu)

ii) Komprofilaksis untuk P. Vivax dapat diberikan klorokuin:5mg/kgBB

setiap minggu.

iii) Obat tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis

sampai 4 minggu setelah kembali.

B. Penyemprotan

C. Pengawasan deteksi aktif dan pasif

D. Survei demam dan pengawasan migran

E. Deteksi dan kontrol epidemik

F. Larvaciding

G. Peningkatan kemampuan

H. Diagnosis awal dan pengobatan yang tepat

I. Program kelambu dengan insektisida1

Penutup

Dari anamnesa didapatkan penderita mempunyai keluhan demam menggigil dan

sakit kepala hebat 2 minggu yang lalu saat penderita di Ujung Kulon yang

merupakan daerah endemik malaria. Jadi, penderita dikenal pasti menderita

penyakit malaria berdasarkan anamnesis dan diagnosis gejala-gejala klinisnya.

Page 84: Kumpulan Skenario Blok 12

Skenario 6 : Tetanus

PEMBAHASAN

2.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan tanya jawab antara dokter dan pasien atau bisa juga

terhadap keluarga atau relasi terdekat atau yang membawa pasien tersebut

ke rumah sakit atau tempat praktek. Anamnesis diperlukan untuk

mengetahui penyebab penyakit tetanus seperti tempat masuknya kuman.

Anamnesis terdapatnya riwayat luka-luka patogenesis, disertai keadaan

klinis berupa kekakuan otot terutama di daerah rahang, sangat membantu

diagnosis. Pembuktian kuman seringkali tidak perlu, karena amat sukar

Page 85: Kumpulan Skenario Blok 12

mengisolasi kuman dari luka pasien. Dari anamnesis juga bisa ditanyakan

apakah pasien pernah mendapatkan imunisasi sebelumnya.

Dari anamnesis, diketahui pasien tertusuk paku di telapak kaki kanan 12

hari yang lalu namun tidak diobati. Tekanan darah 130/80 dengan

frekuensi nafas 28x/menit.

2.2 Pemeriksaan

2.2.1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-

gejala yang khas pada penyakit tetanus seperti trismus, kejang

opistotonus, spasme otot, senyum sengit akibat kejang yang tidak

henti-hentinya di daerah muka, terutama rahang. Juga tampak luka

yang dalam dan bernanah serta suhu tubuh 38,3oC

2.2.2. Pemeriksaan Penunjang

▪ Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium) tidak

begitu perlu dilakukan. Hal ini disebabkan karena penyakit

tetanus dapat ditegakkan dengan gejala klinis dan anamnesis.

2.3 Diagnosis

2.3.1. Diagnosis Kerja

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai

dengan spasme otot yang periodik dan berat.

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada

tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian

dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob

yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat

tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. 1,2

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien

sewaktu istirahat, berupa gejala klinik : kejang tetanik, trismus,

dysphagia, Rhisus sardonicus ( otot wajah kaku ). Biasanya

tampak luka yang mendahuluinya. Pembuktian kuman seringkali

Page 86: Kumpulan Skenario Blok 12

tidak perlu karena amat sukar mengisolasi kuman dari luka

penderita.

2.3.2. Differensial Diagnosis

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan

sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test

(dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin

normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan

SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot

tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus

sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.

Spasme yang disebabkan oleh strikinin jarang menyebabkan

spasme otot rahang. Tetanus didiagnosis dengan pemeriksaan

darah (kalsium dan fosfat). Kejang pada meningitis dapat

dibedakan dengan kelainan cairan cerebrospinalis. 1,2

Trismus dapat pula terjadi pada abses retrofaring, abses gigi yang

berat, pembesaran kelenjar limfe leher. Kaku kuduk juga dijumpai

pada meningitis, tetapi pada hal yang terakhir ini biasanya tampak

jelas demam, kesadaran yang menurun dan kelainan cairan

serebrospinalis. Selain itu, pada tetanus kesadaran tidak

menurun.1,2,3

Rabies dapat menimbulkan spasme laring dan faring, tetapi tidak

disertai trismus. Tetani dibedakan dengan tetanus dengan

pemeriksaan kadar Ca dan P

dalam darah. Selain itu, pada rabies, terdapat anamnesis gigitan

anjing atau kucing dengan saliva yang mengandung virus, disertai

gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan

pleiositosis tetapi tanpa trismus. 1,2,3

Page 87: Kumpulan Skenario Blok 12

Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus : 4

2.4 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri

ini hidupnya anaerob dan berbentuk batang berspora, dijumpai pada tinja

binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang

terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan

beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang

atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki

tubuh penderita tersebut. Spora Clostridium tetani biasanya masuk

kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk

ataupun luka bakar , kecelakaan, serta pada infeksi tali pusat (Tetanus

Neonatorum ). Bakteri ini lalu mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin.

Gbr Clostridium tetani 5

Page 88: Kumpulan Skenario Blok 12

Toksin ini mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer

setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 650 C akan hancur

dalam lima menit. Di samping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat

hemolisis, yang peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.

2.5 Faktor Risiko

Faktor risiko penyakit ini biasa karena luka tusuk, luka bakar, atau

pascapartus. Biasa di daerah pertanian dan perkebunan juga beresiko

terkena tetanus karena penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang

terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan serta perawatan luka

yang buruk. Melahirkan juga menjadi salah satu faktor risiko penyakit

tetanus terutama pada tali pusat. Bagi yang tidak mempunyai kekebalan

juga beresiko terkena tetanus. Tetanus juga masih banyak dijumpai

dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan dan

perawatan luka yang kurang higienis.

2.6 Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non

imun, individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas

penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat

dengan vaksin ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,

tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia

terutama di Negara beriklim tropis dan Negara – Negara sedang

berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan

Negara lain di benua Asia. 1,2,6

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani suatu basil anaerob Gram

positif pembentuk spora, yang terdapat dalam usus berbagai hewan

herbivora dan terdistribusi luas dalam tanah. Bila tidak memiliki imunisasi

aktif, seorang pasien dengan usia berapapun dapat mengalami tetanus

melalui luka yang terkontaminasi oleh tanah. Orang dewasa yang berusia >

60 tahun merupakan kelompok berisiko tertinggi, terutama wanita yang

mungkin lahir sebelum dikenalkan imunisasi pada anak-anak . 1,2,6

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,

bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik,

Page 89: Kumpulan Skenario Blok 12

tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum. Tetanus neonatal

merupakan masalah khusus di beberapa negara berkembang akibat

kontaminasi sekitar umbilikus oleh tanah atau kotoran hewan untuk tujuan

terapi. 1,2,6

Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,

pembedahan, absorsi dan adanya porte d’entrée.

Port of entry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga

melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. Bisa juga melalui luka

operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik, caries gigi, serta

pemotongan tali pusat yang tidak steril.

2.7 Patofisiologi

Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka

tertusuk paku, pecahan kaca, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan

pada bayi dapat melalui tali pusat. Bentuk spora dari bakteri akan berubah

menjadi vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan

bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman

tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka, sehingga tidak ada

penyebaran kuman.

Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanospasmin yang

merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan

ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat.

Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang

mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang

memungkinkan multiplikasi bakteri. Eksotoksin yang dihasilkan akan

mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau

sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan

saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun

toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh

antitoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama

toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik

dibawah ke kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi

Page 90: Kumpulan Skenario Blok 12

oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian

masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural

junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali

terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. 1,2,6,7

Toksin mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah

toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan

memblokir pelepasan neurotransmitter yaitu glisin dan asam aminobutirik

(GABA). Tetanospasmin berpengaruh pula pada sistem saraf otonom,

sehingga muncul gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika,

hormonal,saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Neuron

motorik juga dipengaruhi dengan pelepasan asetikolin ke dalam celah

neuromuskuler dikurangi. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga

dipengaruhi. 1,2,6,7

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena

mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Aliran eferen yang tak terkendali

dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan

kekakuan dan spasme muskuler. Spasme otot sangat nyeri dan dapat

berakibat fraktur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat

pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota

tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang

terlibat. 1,2,6,7

Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversible. Pemulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan

mengapa tetanus berdurasi lama.

Untuk menentukan derajat penyakit ini, digunakan score menurut Phillips

yang berdasarkan 4 tolok ukur yaitu

masa inkubasi

lokal infeksi ( Port d'entree)

imunisasi

faktor yang memberatkan

Derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel empat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips) 7

Page 91: Kumpulan Skenario Blok 12

Tolah ukur Nilai

Masa inkubasi

Kurang 48 jam 5

2-5 hari 4

6-10 hari 3

11-14 hari 2

lebih 14 hari 1

Lokasi infeksi

Internal/umbilikal 5

Leher, kepala, dinding tubuh 4

Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1

Imunisasi Tidak ada 10

Mingkin ada/ibu mendapat 8

Lebih dari 10 tahun yang lalu 4

Kurang dari 10 tahun 2

Proteksi lengkap 0

Faktor yang memberatkan

Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10Keadaan yang tidak langsung membahayakan jiwa 8

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4Trauma atau penyakit ringan 2A.S.A.** derajat 1

** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit

Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit

dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka kurang dari 9), penyakit sedang

(angka 9-16), dan tetanus berat (angka lebih dari 16). Tetanus ringan dapat

sembuh dengan pengobatan baku sedangkan tetanus berat memerlukan

perawatan khusus yang intensif.

Ada beberapa bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 1,2,6,7

1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )

Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasinya

hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot bisa terjadi akibat

Page 92: Kumpulan Skenario Blok 12

peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejalanya bersifat

ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi menjadi

tetanus generalisata bisa terjadi. Namun secara umum, prognosisnya

baik.

2. Cephalic Tetanus ( Tetanus Sefalik )

Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dari bentuk tetanus lokal,

yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa

inkubasinya 1-2 hari. Biasanya terjadi disfungsi satu atau lebih saraf

kranial yang tersering saraf ke tujuh (nervus fascialis). Mortalitasnya

tinggi.

3. Generalized tetanus (Tctanus Generalisata atau umum)

Tetanus ini merupakan bentuk yang paling umum ditandai dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme. Masa inkubasinya bervariasi

tergantung lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat.

Terdapat trias klinis berupa rigiditas (kekakuan), spasme (ketegangan)

otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri

tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan

gejala awal tetanus. Spasme otot maseter menyebabkan trismus atau

rahang terkunci. Spasme secara progresif akan meluas ke otot-otot

wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas “risus sardonicus”

dan meluas ke otot-otot menelan yang menyebabkan disfagia (kesulitan

menelan). Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan

respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Pasien dapat

demam, walaupun banyak yang tidak. Sementara kesadaran tidak

berpengaruh.

Kontraksi otot dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa

sentuhan, stimulus visual, auditori, atau emosional. Spasme faringeal

sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya

aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.

4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus

Page 93: Kumpulan Skenario Blok 12

Tetanus ini biasanya fatal apabila tidak terapi. Bentuk ini menyebabkan

lebih dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia, tapi jarang di

negara maju. Tetanus neonatal biasa disebabkan oleh higiene umbilikal

yang buruk (tidak steril). Risiko infeksi tergantung panjang tali pusat,

kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong

umbilikus. Gambaran khas tetanus neonatum antara lain rigiditas, sulit

menelan ASI, iritabilitas dan spasme. Di antara neonatus yang

terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental dapat terjadi pada yang

bertahan hidup. Namun tetanus neonatus ini dapat dicegah dengan

vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan.

Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi

saluran pernapasan. Penderita tetap sadar dengan nyeri yang sangat

hebat serta ketakutan akibat kejang tetanus berikutnya karena toksin

tetanus tidak mengenai saraf sensorik atau fungsi korteks. Kejang-

kejang ini ditandai dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak,

dengan tangan mengepal seperti tangan yang sedang meninju, lengan

fleksi dan adduksi serta hiperekstensi kaki. Gangguan paling kecil pada

pandangan, suara atau sentuhan dapat memicu kejang tetani. Demam

dengan suhu 400C adalah lazim karena banyak energi metabolik yang

dihabiskan oleh otot-otot spastik. Pengaruh otonom yang utama adalah

takikardi, aritmia, hipertensi labil, diaforesis, dan vasokonstriksi kulit. 1,2,6,7,9

Tanpa pengobatan, kisaran kejang dari beberapa detik sampai beberapa

menit sampai spasme otot dapat bertahan. Secara bertahap, otot

voluntar lain terkena yang menyebabkan spasme tonik.

Setiap rangsangan eksterna dapat mencetuskan spasme otot tetanik

generalisata.7 Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan respirasi.

Angka mortalitas generalisata sangat tinggi.7 Penyebab kematian

merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot nafas

dan infeksi sekunder di paru-paru yang menyebabkan kegagalan

pernapasan serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Page 94: Kumpulan Skenario Blok 12

2.8 Komplikasi 1,2,6,9

Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan

otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia

serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu

bisa terjadi rhabdomyolysis dan renal failure. Rhabdomyolysis adalah

keadaan dimana otot rangka dengan cepat hancur, sehingga

mengakibatkan mioglobin (protein otot) bocor ke dalam urin. Hal ini dapat

menyebabkan gagal ginjal akut.

2.9 Pencegahan

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan

ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat

tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di

imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya

sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup

untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( karena tetanospamin sangat

poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi

yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat

untuk merangsang pembentukan kekebalan). 1,2,6,7,9

Pencegahan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan merawat luka dan

pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan

memberikan kekebalan pasif sehingga mencegah terjadinya tetanus atau

memperpanjang masa inkubasi.

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid

merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus.

Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak

berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT )

yang diberikan tiga kali dengan interval 4-6 minggu, dan diulang pada

umur 18 bulan dan 5 tahun . 1,2,6,7,8

Untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan

padawaktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat,

dan cara perawatan tali pusat.

2.10 Penatalaksanaan

Page 95: Kumpulan Skenario Blok 12

2.10.1. Perawatan 1,2,6,7,9

Imunisasi pasif dengan globulin imun tetanus manusia (TIG)

memperpendek program tetanus dan dapat mengurangi

keparahannya. Dosis 500 U muncul seefektif seperti dosis yang

lebih besar.

Terapi pendukung mungkin termasuk dukungan ventilasi dan

agen farmakologis yang mengobati kejang otot refleks,

kekakuan, dan kejang berhubung dengan tetanus.

Benzodiazepines telah muncul sebagai andalan terapi

simtomatik untuk tetanus. Untuk mencegah kejang yang

berlangsung lebih lama dari 5-10 detik, mengelola diazepam

intravena, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium

(infus kontinu) atau pankuronium (dengan injeksi intermiten)

adalah alternatif yang memadai.

Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama

bertahun-tahun, namun bukan obat pilihan. Metronidazol

(misalnya, 0,5 q6h g) merupakan aktivitas antimikroba yang

sebanding atau lebih baik, dan penisilin merupakan antagonis

GABA, seperti toksin tetanus.

Dokter juga menggunakan sedatif hipnotik, narkotika, obat

anestetik inhalasi, agen yang memblokir neuromuskuler, dan

relaksan otot (misalnya, baclofen intratekal).

Sampai saat ini, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 26

orang dewasa dengan tetanus parah telah diperlakukan

dengan baclofen intratekal. Dosis perwakilan dari infus

kontinu adalah 1750 mcg per hari.

2.10.2. Pengobatan 1,2,6,7,9

Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan,

pengendalian keseimbangan cairan dan elektrolit, serta perbaikan

nutrisi adalah tindakan yang harus dilakukan. Untuk mengatasi kaku

Page 96: Kumpulan Skenario Blok 12

otot diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi

digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam.

Diazepam bekerja di semua sinaps GABA tapi kerjanya dalam

mengurangi spastisitas sebagian yang dimediasi di medula spinalis.

Diazepam dapat digunakan untuk melemaskan otot yang berasal dari

mana saja termasuk trauma otot lokal. Dosis diazepam dimulai

dengan 4 mg/hari yang dapat ditingkatkan secara bertahap hingga

maksimum 60 mg/hari.7 Pada tetanus berat kadang diperlukan

paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan

memakai respirator. Pasien dengan kaku laring biasanya

memerlukan trakeostomi untuk mengatasi gangguan pernapasan.

Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan

napas, perubahan posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah

dekubitus, dan pengosongan buli-buli. Fisioterapi paru dan anggota

gerak serta perawatan mata juga merupakan bagian dari perawatan

baku. Pemberian nutrisi yang adekuat dapat dilakukan dengan

nutrisi perenteral dan enteral. Selama pasese usus yang baik, nutrisi

enteral merupakan pilihan tetapi bila perlu dilakukan pemberian

makan lewat pipa lambung atau gastronomi. 1,2,6,7,9

Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan yang

tenang yang dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran,

dan perabaan. Selain itu, diperlukan staf perawatan yang

berpengalaman dan mempunyai desikasi tinggi serta bertanggung

jawab. Ruangan yang gelap tidak diperlukan karena perubahan dari

gelap dan terang secara tiba-tiba dapat memicu timbulnya kejang.

Netralisasi toksin yang masih beredar dilakukan dengan

memberikan serum antitetanus (ATS) atau Imunoglobin tetanus

human. ATS diberikan 20.000 IU setiap hari selama lima hari. Pada

pemberian ATS harus diingat kemungkinan timbulnya reaksi alergi.

Pemberian imunoglobulin tetanus human cukup dengan dosis

tunggal 3000-6000 unit. Pemberian tidak perlu diulang karena waktu

paruh antibodi ini 31/2-41/2 minggu. 1,2,6,7,9

Page 97: Kumpulan Skenario Blok 12

Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat

luka yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci

luka dengan larutan antiseptik, eksisi luka, bahkan histerektomi bila

uterus diperkirakan sebagai sumber kuman tetanus dan pemakaian

antimikroba. Bila tidak ditemukan sumber infeksi yang jelas,

antimikroba merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan

kuman penyebab. Dasar pemikirannya ialah perkiraan bahwa kuman

penyebab terus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat

dihentikan dengan membasmi kuman tersebut. 1,2,6,7,9

Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif untuk membunuh

Clostridium tetani adalah penisilin. Dosis penisilin G adalah

100.000 U/kg/24 jam yang terbagi dan diberikan pada interval 4-6

jam selama 10-14 hari.2 Metronidazol nyata lebih efektif

dibandingkan dengan penisilin dalam menurunkan morbiditas dan

mortalitas karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas

antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin.

Dosis penisilin yang dianjurkan adalah 3 x 1,5 juta unit/hari dan

metronidazol 3 x 1 gr/hari.3 Pemberian eritromisisn, tetrasiklin dan

klindamisin pada usia lebih dari 9 tahun merupakan alternatif untuk

penderita alergi penisilin. 1,2,6,7,9

2.11 Prognosis 9

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, :

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih

pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung

pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya

prognosa makin jelek.

Prognosa tetanus neonatal jelek bila:

Page 98: Kumpulan Skenario Blok 12

1. Umur bayi kurang dari 7 hari

2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam

4. Dijumpai muscular spasm.

Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus

neonatorum

> 60%.

Prognosis dibagi menjadi 2 macam yaitu prognosis yang paling baik

dihubungkan dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam, dan dengan

penyakit yang terlokalisasi. Prognosis yang buruk dihubungkan antara

jejas dan mulainya trimus seminggu atau kurang, dan tiga hari atau kurang

antara trimus dengan spasme tetanus menyeluruh. 1,2,9

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, disimpulkan pasien

menderita tetanus. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh

bakteri anaerob Clostridium tetani. Penyakit ini berasal dari luka tusukan

ysng berasal dari benda kotor seperti paku, injeksi yang tidak steril,

pascapartus, serta keadaan yang tidak lazim yang dapat menimbulkan

tetanus seperti gigitan binatang, abses, luka bakar, fraktur, gangren, dan

sirkumsisi wanita. Secara etiologi, Clostrisium tetani memiliki spora yang

dapat bertahan dalam air mendidih tetapi tidak dalam autoklaf. Clostridium

tetani memiliki toksin tetanus yang merupakan bahan kedua yang paling

beracun setelah toksin botulinum.

Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas

yang sering disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher.

Pada keadaan yang lebih lanjut terdapat gejala seperti trismus, kejang

opistotonus, penderita berpostur lengkung, dan sampai menimbulkan

kematian. Tetanus tidak menyerang saraf sensorik atau fungsi korteks. Hal

ini menyebabkan penderita sadar dan harus menahan rasa yang sangat

nyeri.

Page 99: Kumpulan Skenario Blok 12

Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan

barulah dilakukan tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti

tetanus, debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah

mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan

otot dan untuk sedasi digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau

diazepam. Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot

(kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan memakai respirator.

Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang

adekuat dan imunisasi aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan

pemberian penisilin.

Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya

gejala klinis pertama sampai timbul kejang) merupakan faktor yang

menentukan prognosis. Kematian tertinggi yang diakibatkan oleh tetanus

yaitu anak-anak ( balita dan bayi) dan lansia.

Skenario 7 : Rabies

PENDAHULUAN

Rabies disebabkan oleh virus Rabies dari spesies Rabdovirus, genus

Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan order Mononegavirales . Penyakit rabies atau

yang sering disebut juga anjing gila merupakan penyakit zoonosis (penyakit hewan

yang dapat menular ke manusia). Menurut bahasa, Rabies berasal dari bahasa latin

“rabere” yang mempunyai arti marah atau dengan kata lain mempunyai sifat

pemarah. ”rabere” juga kemungkinan berasal dari bahasa terdahulu yaitu bahasa

Sanskrit “rabhas” yang bermakna kekerasan. Orang Yunani meng-adopsi kata

Page 100: Kumpulan Skenario Blok 12

“Lyssa” yang juga berarti “kegilaan”.   Jika dilihat dari sisi bahasa tidak akan susah

dimengerti bahwa semenjak beberapa ribuan tahun yang lalu Rabies merupakan

simbol bagi penyakit yang menyerang anjing dan membuat anjing seperti gila.

Penyakit ini merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang

mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva

hewan penular rabies terutama anjing, kucing, kelawar, raccoon dan kera serta

beberapa binatang menyusu lain yang dipelihara atau liar dan telah terinfeksi, cakaran

hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui

rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf,

dan menyebar hingga system saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis

(radang yang mengenai otak dan medulla spinalis). Virus rabies tergolong virus

ukuran besar yang dirusak dan mati oleh cahaya matahari dan cahaya ultraviolet,

larutan formalin, asam kuat, atau dipanaskan lebih dari 56 derajat C dalam satu jam.

Virus ini tidak dipengaruhi antibiotic atau bakterisida, dapat tahan hidup beberapa

minggu dalam suhu lemari es dan tahan hidup lebih dari satu tahun dalam suhu

mendekati titik beku.

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah

mencapai sistem saraf pusat. Hingga sekarang belum ada pasien rabies yang

dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak

hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti

jantung ataupun paralisis generalisata. Namun, bagi kasus gigitan anjing pengidap

rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan

SAR, mendapatkan angka survival 100%.

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.

Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak

menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila

mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan

kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan

yang efektif dan efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan

pasca pajanan sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan.

PERBAHASAN

Page 101: Kumpulan Skenario Blok 12

2.1) Pemeriksaan

2.1.1 Anamnesis

Pemeriksaan berupa sesi tanya jawab atau anamnesis terhadap pasien harus

dilakukan sebagai langkah pertama bagi mengetahui keluhan utama yang merupakan

penyebab kedatangan pasien kepada dokter. Bagi kasus ini, pasien yang datang adalah

seorang laki-laki berusia 22tahun. Pasien mengalami gigitan anjing liar di kaki

sebelah kanan sehingga meninggalkan luka terbuka. Kemudian, luka tersebut

bernanah selepas pasien mandi di kubangan air. Antara keluhan yang biasa pasien

ajukan adalah pasien berasa panas yang kemungkinan demam. Gejala lain adalah

nyeri kepala, berasa lemah, nyeri tenggorokan dan takut untuk meminum air

(hidroforbik) karena spasme otot menelan.

Selain itu, kejadian tersebut harus diketahui sama ada di kawasan yang

tertular penyakit rabies atau tidak. Di samping penting untuk mengetahui adakah

pasien melakukan tindakan provokatif terlebih dahulu atau tidak sebaik sahaja

mendapatkan gigitan anjing tersebut. Pasien juga harus ditanyakan jika beliau pernah

mendapatkan suntikan anti rabies (VAR) serta adakah anjing yang menggigit pasien

mempunyai gejala rabies yang sama seperti dialami oleh manusia.1

2.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan

pertama kali untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi

pernafasan serta bilangan denyut nadi. Setelah itu, lokasi luka gigitan anjing tersebut

diidentifikasi supaya dapat diketahui status penyakit jika pasien tertular virus rabies.

Hal ini penting karena pada daerah yang kaya elemen sisyem saraf masa inkubasi

adalah lebih pendek dan gejala dapat muncul dengan cepat. Antaranya seperti di

daerah tangan, jari atau yang dekat dengan system saraf pusat terutama leher, muka

dan kepala.

Pemeriksaan fisik lainnya adalah dengan melakukan palpasi untuk mengetahui

adakah berlaku pembesaran lien dan hepar. Kemudian adalah auskultasi dan perkusi.

Auskultasi penting untuk mengetahui keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya.

Adakah mempunyai bunyi tambahan, bradicardi atau tachycardia dan peristaltik usus.

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang2

Page 102: Kumpulan Skenario Blok 12

Diagnosis Rabies pada hewan dan manusia dapat dilakukan dengan 4 metode

yaitu histopathology, kultivasi virus, serologis dan deteksi antigen dari

virus. Meskipun 3 metode pertama memberikan berbagai kelebihan tetapi bukan

diagnosa yang bersifat cepat (rapid test).

1. Histopatologi, badan negeri (negri bodies) merupakan temuan yang bersifat

pathognomonis pada Rabies, meskipun adanya badan negeri hanya 71% dari

kasus. 

2. Kultivasi virus, pemeriksaan diagnosa untuk Rabies yang paling bersifat

definitif adalah Kultivasi virus. Kultivasi virus adalah proses penanaman virus

didalam suatu kultur jaringan (tissue culture) dengan maksud untuk

memperbanyak virus sehingga akan lebih mudah untuk diisolasi dan di

identifikasi. Kultur jaringan yang biasa digunakan untuk identifikasi penyakit

Rabies adalah WI-38, BHK-21 atau CER. Immuno Fluororecent (IF) adalah

test (melalui Flourorescence Antibody Test (FAT)) yang biasa dilakukan

melihat keberadaan antigen atau virus rabies dalam kultur jaringan. Proses

kultivasi yang paling umum dilakukan dengan cara melakukan inokulasi dari

saliva hewan terjangkit Rabies atau dari jaringan kelenjar saliva dan atau

jaringan intracerebral yang disuntikan kedalam mencit. Mencit kemudian

dilakukan observasi dan akan mengalami paralisis dan kematian dalam waktu

28 hari. Setlah mati otak mencit kemudian diperiksa untuk keberadaan virus

Rabies dengan Immuno fluororesence test. 

3. Pemeriksaan Serologis adalah pemriksaan untuk melihat suatu infeksi yang

terjadi di masa lampau. Pemeriksaan serologi, prinsipnya adalah memeriksa

keberadaan antibodi pada sirkulasi darah sebagai akibat dari infeksi. Jenis

pemeriksaan yang paling sering dilakukan untu pemeriksaan serologis dalam

Rabies adalah pemeriksaan dengan metode Mouse Infection Neutralization

Test (MNT) atau dengan Rapid fluororescent Focus Inhibition Test

(REFIT). Dari berbagai laporan pemeriksaan Rabies dengan serologis adalah

periksaan yang paling berguna dalam diagnosa.

4. Deteksi virus Rabies Cepat, dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus

dengan menggunakan tekhnik IF makin sering dilakukan. Jaringan yang

Page 103: Kumpulan Skenario Blok 12

potensial terinfeksi (dalam hal ini kelenjar saliva, otak (hipokampus) dan

kornea mata) di inkubasi dalam fluorescence antibodi yang dilabel. Kemudian

spesimen diperiksa dengan penggunaan mikroskop elektron fluororescence

dengan melihat adanya inklusi di intracytoplasmic. Pemeriksaan dengan

metode ini cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan metode lainnya

meskipun lebih banyak membutuhkan peralatan yang lebih modern seperti

mikroskop elektron fluorescence.

5. Elektroensefalogram (EEG): dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan

fokus dari kejang.

6. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya

untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

7. Magneti resonance imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan

menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk

memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila

menggunakan pemindaian CT.

8. Pemindaian positron emission tomography (PET): untuk mengevaluasi kejang

yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik

atau alirann darah dalam otak.

9. Darah rutin: dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan

penurunan hemoglobin serta hemtokrit.

10. Urinalisis: dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.

11. Cairan serebrospinal: dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan

glukosa dalam batas normal.

2.1.4 Uji laboratorium2

1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler.

2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit.

3. Panel elektrolit.

4. Skrining toksik dari serum dan urin.

5. GDA

6. Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200

mq/dl)

7. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan

indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.

Page 104: Kumpulan Skenario Blok 12

8. Elektrolit: K, NaKetidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi

kejang,

9. Kalium (N 3,80 – 5,00 meq/dl)

10. Natrium (N 135 – 144 meq/dl)

2.2) Diagnosis Kerja

Prosedur diagnosis Rabies dilakukan pada umumnya jika terdapat laporan

kasus gigitan terhadap manusia atau secara potensial terdapat kasus yang

menyebabkan Rabies. Untuk mendiagnosa Rabies, selain memperhatikan riwayat

penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara

laboratoris perlu dilakukan. Diagnosa secara laboratoris didasarkan atas penemuan

antigen rabies, penemuan badan negeri dan penemuan virus rabies pada spesimen

yang diperiksa. Oleh karena itu pemilihan bahan pemeriksaan serta cara pengepakan

dan pengirimannya ke laboratorium adalah satu faktor penting untuk menunjang

proses diagnosa.

Gejala pertama yang khas pada pasien yang tertular virus rabies adalah rasa

kejang pada daerah sekitar luka gigitan. Selain itu, temuan badan negri telah menjadi

hal yang paling sering menjadi acuan dalam proses diagnosa penyakit rabies selama

lebih dari 100 tahun semenjak ditemukan pertama kali oleh Adelchi Negri pada tahun

1903.  Dengan perkembangan teknologi saat ini berbagai prosedur diagnosis lain

berkembang dengan tingkat spesifitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dengan

melakukan deteksi pada virion dari virus, protein spesifik pada virus, dan genome

RNA pada virus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung partikel

virus, deteksi protein virus dengan visualisasi adanya reaksi antara antibodi yang telah

dilabel dan sebagainya.3

2.3) Diagnosis Banding

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies pada umumnya karena

infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat

penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-

zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus

manusia 68 hingga 71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur

pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat

membantu menolong penegakan diagnosa.4

Page 105: Kumpulan Skenario Blok 12

Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik,

psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di

daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis

rabies. Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse

myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis

post vaksinasi. Ensefalitis post vaksinasi rabies pada vaksinasi nerve tissue rabies

vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah

dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium

berupa isolasi virus akan membantu diagnosis. Antara penyakit lain yang mempunyai

kemiripan adalah;

Tetanus

Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia

di sekitar luka dan kejang.Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya

kontak dengan hewan liar dapat membedakan keduanya. Selain itu, tetanus dapat

dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus,

kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan

serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.

Intoksikasi obat-obatan

Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies

misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi

atropin atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas

(intoksikasi insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan

digitalis).Seluruh gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang

susunan saraf pusat. Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan

kedua kelainan ini.

Ensefalitis

Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala

yang muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan

kepribadian, kejang, sakit kepala, dan fotofobia. Alergi terhadap vaksin rabies juga

dapat menyebabkan ensefalitis. Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak

dengan saliva, serta bepergian ke daerah endemik rabies dapat menegakkan diagnosis.

Selain itu, ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak

dijumpai hidropobia

Histerikal pseudorabies

Page 106: Kumpulan Skenario Blok 12

Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi

psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.

Reaksi berlebihan karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak

dengan hewan sedangkan pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi.

Di samping itu, penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum

(pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada

awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring

Poliomielitis

Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat

demam dan kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala

LMN). Namun, pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada

demam, dan tidak ada gangguan sensorik.

2.4) Gejala Klinis5

Gejala klinis biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi,

tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Gejala

pertama yang khas adalah rasa kejang pada daerah sekitar luka gigitan/tempat

masuknya virus. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada

kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak

tempat. Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah

yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode

yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan

akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan

mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa

sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur

proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air

biasa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat

minum. Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia

(takut air).

Secara umumnya, penyakit rabies dapat dikenalpasti melalui 4 stadium yang utama:

1. Pertama, Stadium prodromal, biasanya 1 - 4 hari dengan demam

yang tidak begitu tinggi, nyeri pada daerah bekas gigitan yang

merupakan gejala penting pertama, rasa lesu. Gejala ini tidak spesifik,

sama seperti pada penyakit lainnya.

Page 107: Kumpulan Skenario Blok 12

2. Stadium kedua disebut Ensefalitis akut (peradangan otak) yg timbul

setelah beberapa hari setelah timbul gejala prodromal dengan kejang,

halusinasi, kejang pada otot pinggang, dan otot anggota gerak, keluar

air mata yang berlebihan, dan sekresi air liur juga berlebihan.

3. Stadium ketiga disebut Disfungsi batang otak, tejadi gangguan saraf

pusat berupa : pandangan double (diplopia), kelumpuhan saraf muka,

hidrofobia, yaitu bila penderita diberi air minum, pasien menerimanya

oleh karena haus, tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme/kejang

yang hebat dari otot tenggorokan, kontraksi otot faring dan otot

pernafasan sehingga pasien merasa takut terhadap air.

4. Stadium keempat, Stadium Koma dan terjadinya kematian atau

sembuh, tapi hampir seluruh pasien berakhir dengan kematian.

2.5) Patofisiologi

2.5.1 Perubahan-perubahan Sel6

2.5.1.1 Perubahan Makroskopik

Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada SPP

berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat

akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami

kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan

lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Ada

pendarahan atau haemorhage atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa

ditemukan dari Rabies enchepalitis. Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat

diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya

perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan

tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies. 

Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah adanya perdarahan

pada selaput lendir di daerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan

segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan

trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang

berupa temuan barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya. 

 2.5.1.2 Perubahan Mikroskopik

Page 108: Kumpulan Skenario Blok 12

Secara histologis tidak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada

jaringan selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit

lain. Secara umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang

paling signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu

badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang diinfeksi oleh Rabies. 

Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus

dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat dumb atau paralytic

Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan

sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan

denagn memeperlihatakan gejala inflamasi pada batang otak. 

Adanya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan lainnya

memungkinkan perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling penting

adalah adanya badan negri dan Nodul glial pada temuan pathologi penyakit yang

disebabkan Rabies.

Tidak adanya temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabies

terkadang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam

sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel

yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14 hari)

sangatlah penting adanya.  

Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar

seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia sehingga

kemungkinan untuk mendeteksi adanya badan negri lebih besar.

2.5.2 Perkembangan Virus6

Virus rabies terdapat dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini

menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan dan kadang

melalui jilatan.Virus akan berpindah dari tempatnya masuk melalui saraf-saraf

menuju ke medulla spinalis dan otak, dimana mereka berkembang biak.

Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke kelenjar liur dan

masuk ke dalam air liur. Semua hewan berdarah panas rentan dengan Rabies.

Sikus Hidup dan Replikasi

Page 109: Kumpulan Skenario Blok 12

Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen,

mempunyai RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus

terdiri dari 50 nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L.

 

Gambar 2. Genom virus Rabies

Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen,

mempunyai RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus

terdiri dari 50 nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L. Replikasi

dari Lyssavirus  diawali oleh menempelnya bagian struktur amplon dari virus kedalam

mebran sel dari inang. Proses ini dikenal dengan sebutan adsorpsi. Proses ini

merupakan hasil dari interaksi protein G dan permukaan sel inang yang

spesifik.  Setelah proses adsorpsi, kemudian melakukan proses penetrasi kedalam sel

inang dan masuk ke dalam sitoplasma sel dengan pinocytosis (via clathrin-coated

pits). Virion kemudian berkumpul atau masuk kedalam vesikel cytoplasmic. Viral

membran kemudian masuk kedalam membran endosome yang kemudian dikuti oleh

lepasnya RNP kedalam sitoplasma. Virus rabies kemudian akan membuat mRNA

untuk menjalankan proses replikasinya dengan menggunakan genom dengan

mepengaruhi atau menyisipkan dengan proses dalam sel inang dan menginfeksi sel

lain.

 

Page 110: Kumpulan Skenario Blok 12

Gambar 3. Siklus Hidup Virus Rabies di dalam Sel Inang

Berikut adalah siklus hidup dari virus Rabies : 1: Adsorpsi (receptors dan

virion berinterkasi). 2: Penetrasi (masuknya virus ke dlaam sel inang). 3: Uncoating

(pengilangan bagian amplop virus). 4. Transkripsi (sintesis mRNAs). 5. Translasi

(Sintesis dari struktur protein). 6. Prosesing (G-protein gycosylation). 7. Replikasi

(produksi genom RNA dari intermediate strand). 8. Assembly. 9: Budding (keluar

virus complete dari sel inang).

Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih

pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala. Virus rabies menghasilkan

inklusi sitoplasma eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam sel saraf yang terinfeksi.

Adanya inklusi seperti ini bersifat patognomonik rabies tetapi tidak terlihat pada

sedikitnya 20% kasus. Karena itu, tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan

diagnosis rabies.

2.6) Etiologi 7

Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani

Lyssa, yang berarti mengamuk atau kemarahan) family Rahbdoviridae (dar bahasa

Yunani,  Rhabdos,  yang berarti batang). Virus ini mendekati virus species Vesicular

stomatitis Virus (VSV) dari genus Vesiculovirus. Keduanya memiliki persamaan

morfologi, sturktur kimia dan siklus hidup yang mirip.    

Klasifikasi

Order     : Mononegavirales

Famili     : Rhabdoviridae

Genus     : Lyssavirus

Spesies  : Rhabdovirus (Virus Rabies)           

Struktur virus Rabies mirip dengan family Rhabdoviridae yang lain yaitu berbentuk

batang seperti peluru (seperti Rhabdoviridae yang lain) dengan ukuran rata-rata 180

nm panjang 75 nm lebar dengan ukuran ukuran spike  10 nm. Virus ini terdiri dari

Page 111: Kumpulan Skenario Blok 12

RNA(2-3%), protein(67-74%), lemak(20-26%) dan karbohidrat(3%) yang menyatu

menjadi strukutur utama virus ini. Struktur dasar dari Lyssavirus dapat dilihat pada

gambar dibawah ini;

 

Gambar . 1: Virus Rabies Penampang Memanjang

Virus ini masuk kedalam aliran darah manusia lewat luka gigitan hewan

terinfeksi melalui air liur (saliva). Virus bergerak dari luka gigitan melalui serabut

saraf menuju ke otak, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya peradangan otak

(ensefalitis), iritasi dan pembengkakan yang akan menyebabkan timbulnya gejala-

gejala penyakit.

2.7) Epidemiologi 8

Diseluruh dunia, anjing merupakan hewan yang paling berisiko untuk

menularkan rabies kepada manusia.Di Amerika dan Inggeris sudah meluas dan

ekstensif program vaksinasi terhadap hewan piaraan.

Inggeris telah berhasil mengeradikasi rabies, dan tidak diizinkan membawa hewan

piaraan ke Inggeris sebelum menjalani karantina 6 bulan.

Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis

pertama kali oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah

ada sejak tahun 1926 (Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh

Staatsblad 1928 Nomor 180, SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan

Dalam Negeri) tahun 1978, dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982).

Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat rabies hanya ditemukan di Sumatera

Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies ditemukan di Jawa Tengah dan

Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Lampung

(1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan

Page 112: Kumpulan Skenario Blok 12

Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Ambon, Flores,

Palangkaraya, dan Papua adalah sebagian daerah endemik rabies.

Tahun 1960, Prof AA Ressang, mantan guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner

UI (sekarang IPB), mengungkapkan bahwa rabies adalah "the Incurable Indonesian

Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh) dalam jurnal Com.Vet 4:1.

Ungkapan di atas ternyata masih berlaku sampai kini. Dari data pada penulis, tahun

1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan tersangka Rabies (rata-

rata 12.400 kasus pertahun) dan yang terbukti Rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus

pertahun). Di Medan, yang diketahui penulis sepanjang tahun 2007, ditemukan lebih

dari 60 kasus gigitan anjing yang tersangka rabies.

2.8) Penatalaksanaan

2.8.1 medikamentosa

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan

rabies.Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen untuk

membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati sehingga dapat memberikan

persediaan darah yang baik di seluruh bagian tersebut. Kemudian, diberikan

desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%.luka

akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila

keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan

dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.

2.8.1.1 Profilaksis pasca – paparan

Dasar vaksinasipost- exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody

terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus

kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun

sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.neutralizing antibody tersebut

dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi

oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.

Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu ;

1) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan

dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari

otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine

(SMBC);

Page 113: Kumpulan Skenario Blok 12

2) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck

Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan

seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell

Rabies Vaccine(PVRV).

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada

semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya

menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang

paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan

vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal

dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang

berasal dari hewan.

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan

berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha

dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO),

atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes

RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan

Thai Red Cross Intradermal (TRC- ID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2

dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah

mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka

rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan

dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan

leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat

badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah

luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan

SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

2.8.1.2 Profilaksis pra-pemajanan

Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan,

penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat

profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke

daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka

dianjurkan mendapatkan pencegahan pre- exposure. Vaksin anti rabies diberikan

Page 114: Kumpulan Skenario Blok 12

dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah

1 tahun dan tiap 5 tahun. Efek samping/komplikasi vaksinasi.

Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga

dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi

lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta

reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini

dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan

antipiretik.

Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan

gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku

kuduk, ataksia dan kejang.Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan

NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi

hipersensitivitas terhadap jaringan saraf.Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi

reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif.Pada keadaan ini

vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikankortikosteroid dosis tinggi lalu

diturunkan dosisnya secara bertahap.Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala

seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang.Pada vaksin generasi baru

(PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.

SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum

sickness.Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness

diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.

Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada

sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami

reaksi mirip- kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea,

vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan

tampaknya dihubungkan dengan adanya β-propriolakton-albumin serum manusia

yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu

yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara

periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang

rendah.Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak

menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi

yang mana saja.

2.8.2 Non-medikamentosa

Page 115: Kumpulan Skenario Blok 12

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan dan pemberantasan rabies

adalah:

1. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke

Kantor Kepala Desa atau Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.

2. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.

3. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih

dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).

4. Pemilik anjing wajib untuk menvaksinasi rabies.

5. Anjing liar atau anjing yang diliarkan harus segera dilaporkan kepada petugas

Dinas Peternakan atau Pos Kesehatan Hewan untuk diberantas / dimusnahkan.

6. Kurangi sumber makanan di tempat terbuka Untuk mengurangi anjing liar atau

anjing yang diliarkan.

7. Daerah yang terbebas dari penyakit rabies, harus mencegah masuknya anjing,

kucing, kera dan hewan sejenisnya dari daerah tertular rabies.

8. Masyarakat harus waspada terhadap anjing yang diliarkan dan segera

melaporkannya kepada Petugas Dinas Peternakan atau Posko Rabies.

Biasanya, binatang pembawa rabies akan mempunyai gejala, seperti hewan menjadi

garang atau ganas (furious rabies) atau hewan menjadi tenang (dum rabies).

Penangannya:

A. Hewan yang telah menggigit manusia harus diusahakan tertangkap dan jangan

dibunuh, laporkan kepada petugas Dinas Peternakan, Pos Kesehatan Hewan atau

diserahkan langsung kepada Dinas Peternakan setempat untuk dilakukan observasi

selama 14 hari.

B. Hewan yang telah menggigit manusia dan tertangkap tetapi terpaksa dibunuh atau

mati, kepalanya harus diserahkan kepada Dinas Peternakan setempat sebagai bahan

pemeriksaan laboratorium.

2.9) Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul

pada fase koma.Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan

intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom

abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan

hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung.Kejang dapat

Page 116: Kumpulan Skenario Blok 12

lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan

respirasi.Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan

alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada

fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan

gangguan otonomik.

2.10) Pencegahan

Untuk mencegah infeksi pada penderita yang terpapar dengan virus rabies

melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies, harus

dilakukan perawatan luka gigitan yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan

immunoglobulin.Vaksinasi perlu juga diberikan kepada individu yang berisiko tertular

rabies.

Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus

atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-

orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :

Dokter hewan.

Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.

Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah

yang rabies pada anjing banyak ditemukan.

Para penjelajah gua kelelawar.

Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar

antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap

penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi

setiap 2 tahun.

dapat dilakukan dengan cara:

a. Vaksinasi secara teratur anjing, kucing, kera dan binatang peliharaan lainnya

yang berpotensi menularkan rabies melalui gigitan, dan melakukan recording

vaksinasi

b. Mengendalikan tingkah laku hewan peliharaan terutama anjing penjaga dari

orang yang asing bagi hewan tersebut agar tidak terprovokasi untuk menggigit

dengan merantainya, kecuali bila memang orang asing tersebut bermaksud

tidak baik

c. Tidak membiarkan hewan peliharaan berkeliaran di luar rumah

d. Penertiban hewan-hewan liar dengan mengurangi jumlah populasi hewan liar

Page 117: Kumpulan Skenario Blok 12

e. Tidak memasukkan hewan berisiko penular rabies tanpa izin di daerah yang

bebas rabies

f. Bangkai hewan terinfeksi harus dikremasi/dibakar atau dikubur sedalam-

dalamnya setelah didiagnosa positif.

g. Vaksinasi kepada orang yang berisiko tinggi tertular rabies seperti dokter

hewan, paramedis hewan, petugas lab yang menangani hewan terinfeksi, orang

yang menetap selama 30 hari atau lebih di daerah tertular rabies serta para

penjelajah alam dan gua kelelawar

2.11) Prognosis

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah

mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan

dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga

sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal

karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari

sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.

Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800

kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat

perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.

2.11) Luka

2.11.1 Jenis-jenis luka

Perubahan morfologik kematian sel jaringan hidup jenis nekrosis terdiri dari:

1. Koagulatif nekrosis.

2. Liquefaktif nekrosis

3. Kaseous nekrosis.

4. Fat nekrosis.

Mekanisme terjadinya perubahan ini adalah:

• Enzym digestion sel – liquefaktif nekrosis.

• Denaturasi protein – koagulatif nekrosis

Enzym asal sel mati akan menyebabkan autolysis atau sel radang oleh lisosom

sehingga terjadi heterolysis. Perubahan morfologis nekrosis memerlukan waktu yang

Page 118: Kumpulan Skenario Blok 12

panjang. Apabila terjadi myocard infark akut, tidak nampak perubahan morfologis

pada bagian tersebut.

Pada koagulatif nekrosis, masih nampak struktur jaringan nekrotik. Ini sering

ditemukan pada kematian sel karena hypoksia. Pada nekrosis liquefaktif pula tidak

ternampak struktur jaringan nekrosis karena sisa sel hilang sama sekali. Keadaan ini

ditemukan pada fokal infeksi bakteri, dan kadang pada infeksi fungus. Gangraenous

nekrosis juga bisa terjadi pada kaogulatif nekrosis sebab iskemia disertai infeksi

bacteria yang akan menimbulkan nekrosis liquefaktif ( wet gangrene). Tuberculosis

secara makroskopik seperti keju manakala, dari segi mikroskopik pula seperti nekrosis

amorf tanpa struktur dikelilingi radang. Pada granulomatous pula, jaringan asal tak

nampak. Fat nekrosis terjadi apabila terdapat destruksi jaringan lemak oleh enzim-

enzim dan sering terjadi pada jejas jaringan pancreas dan meningkatkan penyerapan

kalsium sehingga menyebabkan distrofik calcification.

2.11.2 Penyembuhan luka

Tahap-tahap penyambuhan luka terdiri dari fase inflamasi atau eksudasi untuk

melepaskan jaringan yang rusak dan membersihkan luka, fase proliferasi untuk

perkembangan jaringan granulasi dan fase diferensiasi atau regenerasi untuk maturasi,

pembentukan parut dan epitelialisasi. Secara praktis fase tersebut diatas dikenal

sebagai fase pembersihan, fase granulasi dan epitelialisasi. Lebih lengkap Hall

menyebutkan tahapan proses penyembuhan luka adalah perdarahan, inflamasi

proliferasi dan remodeling.

Secara garis besar, dikenal dua fase penyembuhan luka yaitu penyembuhan luka

secar apremier dan sekunder. Suatu jaringan dikatakan mengalami penyembuhan luka

secara intensi primer apabila proses penyembuhan berlangsung cepat dan hasilnya

baik. Penyembuhan secara primer ini terjadi pada luka yang bersih, luka insisi dengan

ujung aposisi yang baik dan umumnya terjadi pada insisi bedah.

Proses penyembuhan luka secara intensi primer lebih lanjut dapat dijelaskan

sebagai berikut:( Sesaat setelah terjadi luka gumpalan darah dan debris mengisi celah

jaringan yang cedera. Inflasi awal terjadi setelah dua sampai tiga jam yang ditandai

dengan hyperemia ringan dan adanya sedikit polymorps. Pada hari kedua sampai

ketiga aktivitas makrofag menghilangkan clot dan terjadi aktivitas fibroblast. Pada

hari kesepuluh sampai keempat belas scab hilang dan epitel telah terbentuk sempurna

Page 119: Kumpulan Skenario Blok 12

dan terjadi penyatuan jaringan fibrous pada tepi luka namun pada saat ini luka masih

lemah.

Beberapa minggu kemudian jaringan bekas luka masih sedikit hiperemis,

penyatuan jaringan fibrous baik tapi belum mencapai kekuatan yang penuh.

Devaskularisasi,remodeling kolagen oleh aktivitas enzim terjadi sesudah beberapa

bulan hingga beberapa tahun. Pada periode tersebut bekas luka mengecil dan sudah

menyatu dengan jaringan sekitarnya. Jika penyembuhan luka berjalan lambat dan

disertai pembentukan jaringan parut, proses ini dikatakan mengalami penyembuhan

secara sekunder. Penyembuhan jenis ini terjadi pada luka yang terbuka, umumnya jika

terdapat jaringan yang hilang, nekrosis atau infeksi.

Kekuatan luka akan mencapai dua puluh persen kekuatan jaringan normal dalam

tiga minggu dan kemudian mencapai kekuatan lebih lagi tetapi tidak pernah mencapai

lebih dari tujuh puluh persen kekuatan normal.

Oksigen memiliki dua fungsi besar dalam metabolisme seluler, hal yang paling

penting yaitu sebagai transfer elektron pada sistem oksidasi yang mana bertanggung

jawab sekitar sembilan puluh persen dalam konsumsi oksigen secara keseluruhan.

Oksigen diperlukan oleh mitokondria untuk fosforilasi oksidatif dan pembentukan

ATP dimana lebih dari sembilan puluh persen dari ATP yang dihasilkan ini

dipergunakan untuk metabolisme seluler.

Pada awal penyembuhan luka, fibroblas mulai bermigrasi dan menghasilkan

kolagen yang merupakan matrik penting dalam prose penyembuhan luka sebagai

sumber energi pada proses perbaikan, juga diperlukan dalam metabolisme dan proses

pemeliharaan jaringan

Page 120: Kumpulan Skenario Blok 12

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai

semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.

2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang

terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi

jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.

3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang

bebas rabies.

4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7

provinsi. dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya

dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang

bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB,

Maluku dan Irian Jaya.

5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,

kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang

atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui

membran mukosa.

6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non

spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)

disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran

klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.

7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;

penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung

dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,

hasilnya tidak menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk

memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan

mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi.

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai

sistem saraf pusat.

Page 121: Kumpulan Skenario Blok 12

Skenario 8 : Varisela

PEMBAHASAN

II.1. Epidemiologi

Insidensi varisela di Amerika diperkirakan 3,1-3,5 juta tiap tahun.

Meskipun belum ada penelitian di Indonesia, namun kasus varisela yang dirawat

di beberapa rumah sakit besar ada lima provinsi menunjukkan angka yang cukup

tinggi. Sekitar 607 kasus dilaporkan oleh rumah sakit tersebut selama kurun

waktu tahun 1994-1995.1

Penyakit ini sangat mudah menular, yaitu melalui percikan ludah dan

kontak. Infeksi ini menyerang semua usia termasuk neonatus (varisela

kongenital) dengan puncak insidensi pada usia 5-9 tahun. Sembilan puluh persen

pasien varisela berusia kurang dari 10 tahun. Sementara itu, herpes zoster

menyerang kelompok usia yang lebih dewasa. Di Indonesia, dari data rumah

sakit yang terbatas itu, sebagian besar penderita berusia 5-44 tahun. Belum ada

penjelasan yang memadai mengapa di Indonesia terdapat perbedaan. Di

Amerika Serikat sekitar 90% penduduk dewasa mempunyai kekebalan terhadap

varisela. Penderita dapat menularkan penyakit selama 24 jam sebelum kelainan

kulit (erupsi) timbul sampai 6 atau 7 hari kemudian. Kekebalan varisela

berlangsung seumur hidup setelah seseorang terkena serangan penyakit ini satu

kali.1

Angka kematian penyakit ini relatif rendah. Di Amerika Serikat rata-

rata kematian adalah 2 per 100.000 penduduk, tetapi bisa meningkat sampai 30

per 100.000 pada orang dewasa. Kematian biasanya terjadi karena adanya

komplikasi. Komplikasi cacar air jarang timbul pada anak yang sehat. Ensefalitis

jarang terjadi, tetapi bila muncul sering melibatkan serebelum. Anak tampak

ataksia 3 sampai 8 hari setelah awitan ruam. Tidak kurang dari 80% anak

dengan cacar air akan sembuh sempurna. Pneumonia merupakan komplikasi

yang jarang pada anak, tetapi itu dapat merupakan bagian dari bentuk penyakit

yang sangat berat yaitu ketika ruam berbentuk haemoragik. Keadaan ini lebih

mungkin terjadi pada anak dengan defisiensi imun, terutama pada anak

penderita leukemia yang sedang dalam pengobatan. Antara tahun 1967 dan

1985, di UK terdapat rata-rata 19 kematian dalam setahun akibat cacar air,

sering pada orang dewasa dan orang yang immunocompromised. Vaksin sudah

Page 122: Kumpulan Skenario Blok 12

tersedia tetapi belum ada ijin untuk digunakan di UK dan pada saat ini belum

digunakan secara rutin. Mortalitas kasus dengan komplikasi cukup tinggi yaitu

5-25%. Pada 15% penderita yang selamat akan mempunyai sekuele yang

menetap berupa kejang, retardasi mental, dan kelainan atau perubahan

perilaku.1,2

II.2. Etiologi

Varisela disebabkan oleh Herpesvirus varicellae atau Human (alpha)

herpes virus-3 (HHV3). Varicella-zoster-virus (VZV) yang merupakan anggota

dari kelompok virus herpes. Struktur virus, antibodi yang ditimbulkan dan

gambaran lesi kulit varisela sulit dibedakan dengan Herpesvirus hominis

(Herpes simplex). Agen tersebut dapat tumbuh di dalam bermacam biakan

primer terdiri atas jaringan tubuh manusia dan monyet. Antibodi serum

penderita yang pulih dari cacar air memberikan reaksi yang sama dengan agen

yang berasal dari vesikel penyakit cacar dan herpes zoster. Namun, kedua

penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Diperkirakan bahwa

setelah ada kontak dengan VZV akan terjadi varisela; kemudian setelah

penderita varisela tersebut sembuh mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk

laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian VZV diaktivasi oleh trauma

sehingga menyebabkan herpes zozter. VZV dapat ditemukan dalam cairan

vesikel dan dalam darah penderita varisela; dapat dilihat dengan mikroskop

elektron dan dapat disolasi dengan menggunakan biakan yang terdiri dari

fibroblas paru embrio manusia.1,3,4

II.3. Patogenesis

Virus masuk ke dalam tubuh melalui mukosa traktus respiratorius bagian

atas orofaring kemudian mengalami multiplikasi awal setempat; dan virus yang

menyebar ke pembuluh darah dan saluran limfe (viremia primer). Kemudian

virus akan dimakan oleh sel-sel sistem retikulo-endotelial. Disini terjadi

replikasi virus lebih banyak lagi (pada periode inkubasi). Pada masa kini, infeksi

dihambat oleh imunitas nonspesifik. Pada kebanyakan individu, replikasi virus

lebih menonjol atau lebih dominan dibandingkan imunisasi tubuhnya sehingga

dalam waktu 2 minggu setelah infeksi, terjadi viremia yang lebih hebat (viremia

sekunder).5

Page 123: Kumpulan Skenario Blok 12

II.4. Gejala Klinis

Perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 :5,6

1. Stadium Prodromal:

24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala, panas,

perasaan lemah (malaise), anoreksia. Kadang-kadang terdapat

kelainan scarlatinaform atau morbiliform.

2. Stadium Erupsi

Dimulai dengan terjadinya papula merah, kecil, yang berubah

menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai dasar

erimatous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan

di tengah (unumbilicated). Isi vesikel berubah menjadi keruh

(pustula) dalam waktu 24 jam. Biasanya vesikel menjadi kering

(krusta) sebelum isinya menjadi keruh. Vesikel mulai muncul

di muka atau mukosa yang cepat menyebar ke tubuh dan

anggota gerak dengan menimbulkan gejala gatal.

Pada suatu saat terdapat bermacam-macam stadium erupsi; ini

merupakan tanda khas penyakit varisela. Vesikel tidak hanya

terdapat di kulit, melainkan juga di selaput lendir mulut. Bila

terdapat infeksi sekunder, maka akan terjadi limpadenopati

umum.

II.5. Pemeriksaan

Untuk mendapatkan diagnosis yang benar terhadap penyakit varisela ini,

sebagai seorang dokter dilakukan pemeriksaan terhadap pasien terlebih dahulu.

Pemeriksaan pasien dilakukan meliputi 3 tahap, yaitu :4

II.5.1 Anamnesa

Pada identitas pasien, umur penting karena berpengaruh terhadap

berat ringannya varisela dan kemungkinan timbulnya komplikasi.

Keluhan biasanya berupa demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum

timbul ruam kulit.

Gatal dapat menyertai lesi kulit dan sangat bervariasi, kadang-

kadang dapat berat.

Page 124: Kumpulan Skenario Blok 12

Perlu diketahui sudah berapa lama ruam kulit timbul sebelum

datang berobat agar dapat menentukan apakah obat antivirus masih

efektif bila ada indikasi pemberiannya.

Penyebaran/perluasan ruam kulit penting karena varisela

mempunyai pola penyebaran yang khas; dari sentral ke perifer

(sentrifugal).

Selain jumlah anggota keluarga riwayat penderita varisela dalam

keluarga penting untuk diketahui karena biasanya orang kedua dan

seterusnya yang terkena varisela dalam satu keluarga akan

menderita varisela lebih berat.

Status imun pasien perlu diketahui untuk menentukan apakah obat

antivirus perlu diberikan. Untuk itu perlu dinyatakan beberapa hal

yang dapat membantu menetukan status imun pasien, antara lain :

- Penyakit yang sedang diderita, misalnya keganasan, infeksi

HIV/AIDS

- Pengobatan dengan immunosupresan, misalnya

kortikosteroid jangka panjang atau sitostatik

- Kehamilan

- Berat badan rendah pada bayi

II.5.2 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi

nadi, suhu, dsb) dapat memberikan petunjuk tentang berat

ringannya penyakit.

Pada infeksi varisela pada anak-anak, erupsi kulit terutama

berbentuk vesikular. Seringkali beberapa kelompok lesi vesikular

timbul 1-2 hari sebelum erupsi meluas.

Lesi biasanya mulai dari kepala atau badan berupa makula

eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel.

Dalam beberapa jam sampai 1-2 hari lesi membentuk krusta dan

mulai menyembuh.

Lesi menyebar secara sentrifugal (dari sentral ke perifer) sehingga

dapat ditemukan lesi baru di ekstremitas, sedangkan di badan lesi

sudah berkrusta.

Page 125: Kumpulan Skenario Blok 12

Jumlah lesi bervariasi, mulai dari beberapa sampai ratusan.

Umumnya pada anak-anak lesi lebih sedikit, biasanya lebih banyak

pada bayi (usia < 1 tahun), pubertas dan dewasa.

Kadang-kadang lesi dapat berbentuk bula atau hemoragik.

Selaput lendir sering terkena, terutama mulut, dapat juga

konjungtiva palpebra, dan vulva.

II.5.3 Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan darah tepi; jumlah leukosit dapat sedikit

meningkat normal, atau sedikit menurun pada beberapa hari

pertama.

Pemeriksaan apusan darah secara Tzanck biasanya positif, yang

dapat menunjukkan sel raksasa multinuklear dan merupakan

metode diagnosis yang sederhana dan cepat namun mempunyai

sensitivitas rendah dan tidak dapat membedakan dengan infeksi

HSV.

Penemuan antigen virus pada kerokan vesikel dengan

imunofluoresensi atau PCR.

Enzim hepatik : kadang-kadang meningkat.

Kultur virus dari cairan vesikel : seringkali positif pada 3 hari

pertama, tetapi jarang dilakukan karena sulit dan mahal

II.6. Diagnosis

II.6.1 Working Diangnosa (WD)/ Diagnosis Kerja. 1,4

Erupsi papulovesikuler setelah fase prodromal ringan, atau bahkan

tanpa fase prodromal, dengan disertai panas dan gejala konsitusi

ringan.

Gambaran lesi bergelombang, polimorfi dengan penyebaran

sentrifugal.

Sering ditemukan lesi pada membrana mukosa.

Penularannya berlangsung cepat.

II.6.2 Different Diagnosis (DD)/ Diagnosis Banding. 1.4

Page 126: Kumpulan Skenario Blok 12

Variola : penyakit lebih berat, gambaran lesi monomorf dan

penyebarannya sentripetal (dari bagian akral tubuh baru ke badan).

Infeksi herpes simpleks generalisata : vesikel biasanya

berkelompok, lokasi sekitar mukosa, bila perlu dapat dilakukan

pemeriksaan imunofluoresensi atau kultur.

Hand,foot and mouth disease : pola penyebaran lebih akral, mukosa

lebih banyak terkena, sel Tzank tidak ditemukan.

Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga : seringkali

berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria papular

dengan titik di tengahnya.

Erupsi obat variseliformis . Sel Tzank tidak ditemukan.

Lain-lain : dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et

varioliformis akuta, skabies impegtiginisata, moluskum

kontagiosum.

II.7. Pengobatan

Pengobatan varisela antara lain : 1,2

Anak kecil hanya membutuhkan obat simtomatik dan perawatan

yang higienis untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.

Asiklovir oral mempersingkat penyakit pada orang dewasa dan

remaja bila diberikan dalam 24 jam sejak timbulnya ruam dan

direkomendasikan.

Semua pasien immunocompromised dan pasien dengan pneumonia

harus mendapatkan asiklovir intravena (IV).

II.8. Pencegahan

Pencegahan pada penderita varisela, diantaranya : 5

Anak-anak tidak boleh bersekolah selama 5 hari sejak onset timbulnya

ruam. Di rumah sakit, staf dan pasien yang beresiko tinggi harus

dilindungi dari kontak dengan cacar air atau zooster.

Imunoglobulin zoster sering mempengaruhi penyakit bila diberikan

dalam 10 hari setelah terpajan cacar air atau zoster, dan

direkomendasikan untuk:

Pasien imunosupresi dan wanita hamil dengan antibodi negatif

Page 127: Kumpulan Skenario Blok 12

Neonatus yang ibunya mengalami cacar air pada 7 hari sebelum

hingga 28 hari sesudah persalinan.

Bayi dengan antibodi negatif yang terpajan cacar air atau zoster

pada 28 hari pertama harinya.

Vaksin varisela : vaksin hidup yang dilemahkan memberi perlindungan

85% dan aman (terutama menyebabkan nyeri lokal ringan dan <5%

ruam cacar air jarang yang berlangsung singkat dalam 28 hari dan

sangat jarang menyebabkan cacar air ringan pada orang yang

berkontak) dan dapat digunakan :

Secara selektif (seperti di Inggris) untuk melindungi individu yang

rentan terhadap cacar air berat, seperti :

- Individu yang rentan terhadap VZV akibat terapi imunosupresif

antikanker atau transplantasi organ.

- Orang yang tinggal serumah, terutama anak-anak, yang

mengalami imunodefisiensi dan rentan.

- Anak-anak yang terinfeksi HIV yang tidak mengalami

imunosupresi.

Secara universal untuk mencakup semua anak sebagai bagian

program imunisasi nasional (AS, Kanada, Jepang, dan beberapa

negara industri lainnya).

Imunitas berlangsung dalam jangka panjang. Observasi terbatas

menunjukkan bahwa insidensi zoster menurun

Data yang ada kurang untuk menentukan efektivitas asiklovir dalam

mencegah cacar air.

II.9. Prognosis

Cacar air pada anak-anak bersifat ringan ; kejadian fatal yang kadang-

kadang terjadi disebabkan oleh komplikasi septik atau ensefalitis.

Sebagian besar orang dewasa meninggal akibat pneumonia.

Angka fatalitas kasus dapat menjadi 15% pada pasien

immunocompromised dan hingga 30% pada cacar air neonatal berat

bila tidak diobati dengan tepat. 6

II.10. Komplikasi

Page 128: Kumpulan Skenario Blok 12

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah infeksi sekunder oleh

bakteri pada lesi-lesi kulit tersebut. Trombositopenia yang disertai dengan

pendarahan ke dalam kulit dan mukosa dapat terjadi; pendarahan internal dari

ulserasi atau ke dalam suatu adrenal dapat berakibat fatal. 3

Pneumonia oleh cacar air jarang terjadi pada anak-anak, tetapi sebanyak

20-30% dari orang dewasa dengan cacar air mempunyai tanda keterlibatan paru-

paru secara klinis atau rongennografis. Penyembuhan segera terjadi, tetapi

perubahan rontgenografis. Dapat bertahan selama 6-12 minggu pada penderita

sakit berat. Dilaporkan adanya sejumlah fatalitas. Purpura fulminans paling

sering terjadi setelah cacar air. Lesi pada laring dapat meyebabkan edema berat

yang mengakibatkan kesulitan bernapas. Digambarkan pula adanya miokarditis,

perikarditis, endokarditis, hepatitis, glomerulonefritis, artritis dan miositis akut

pada otot anggota gerak. Keratitis dan konjungtivitis vesikel jarang terjadi dan

bersifat jinak. Sebanyaknya 10% dari semua sindroma Reye berhubungan

dengan cacar air. Malformasi kongenital terjadi pada bayi dengan ibu yang

menderita cacar air selama trimester pertama kehamilannya disertai adanya

pembentukan jaringan parut pada kulit, atrofi otot, koriorerinitis atau kelainan

okuler lain, serangan kejang, retardasi mental dan kerentanan hebat terhadap

infeksi. 3

Penyuilit-penyulit pada susunan saraf pusat yang tersering adalah

ensefalitis pasca infeksi. Tanda-tanda serebeler seperti ataksia, nistagmus dan

tremor sering ditemukan. Ensefalitis yang terutama menunjukkan tanda-tanda

serebeler mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan gejala-gejala

serebral dalam bentuk kejang-kejang dan koma. Mortalitas rata-rata berkisar

antara 5-25%. Sebanyak 15% dari penderita yang selamat akan mengalami

sekuele menetap berupa serangan kejang, retardasi mental atau gangguan

tingkah laku. Penyulit-penyulit susunan saraf pusat lainnya mencakup sindroma

Guillain- Barre, mielitis transversa, kelumpuhan saraf fasialis, neuritis optik

disertai gangguan pengihatan sementara dan sindroma hipotalamus seperti

kegemukan dan demam berulang. Berbeda dengan herpes zoster, dimana virus

berhasil diisolasi dari cairan serebrospinal, maka pada penyakit ini tidak terdapat

virus yang diisolasi dari susunan saraf pusat penderita yang meninggal. 3

Anak-anak yang menerima obat kortikosteroid atau antimetabolit

menghadapi resiko mendapatkan cacar air berat dan sering berakibat fatal.

Page 129: Kumpulan Skenario Blok 12

Resiko terbesar yang ditimbulkan penyakit ini adalah pada anak-anak penderita

leukemia, tetapi kematian terjadi juga pada anak-anak yang menerima

pengobatan steroid untuk demam rematik akut atau nefrosis. 3

PENUTUP

Varisela merupakan penyakit akut, yang menular yang ditandai oleh vesikel di

kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh virus-varicella-zoster. Varisela sangat

mudah menyebar yaitu melalui percikan ludah dan kontak. Dapat mengenai semua

golongan umur, termasuk neonatus namun yang tersering pada anak. Biasanya seumur

hidup, varisela hanya diderita satu kali. Gejala klinis dibagi menjadi dua stadium yaitu

stadium prodromal dan stadium erupsi. Pada staduium prodromal timbul, terdapat

gejala, panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia. Pada stadium erupsi timbul papula

merah, kecil, yang berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai

dasar erimatous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan di tengah

(unumbilicated). Isi vesikel berubah menjadi keruh (pustula) dalam waktu 24 jam.

Biasanya vesikel menjadi kering (krusta) sebelum isinya menjadi keruh. Pengobatan

diantaranya Anak kecil hanya membutuhkan obat simtomatik dan perawatan yang

higienis untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Asiklovir oral mempersingkat

penyakit pada orang dewasa dan remaja bila diberikan dalam 24 jam sejak timbulnya

ruam dan direkomendasikan. Pencegahan yag dapat dilakukan agar tidak tertular oleh

varisela antara lain pemberian vaksinasi dan VZIG (varisela zoster immune globulin)

pada ibu hamil setelah terpajan varisela. 1-6

Page 130: Kumpulan Skenario Blok 12
Page 131: Kumpulan Skenario Blok 12