Skenario a Blok as27
description
Transcript of Skenario a Blok as27
SKENARIO A BLOK 27
dr. Thamrin dokter RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar 100
meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah.
Sang sopir, satu-satunya apenumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan
membawa peralatan tatlaksana trauma seadanya. Di tempat kejadian, terlihat sang sopir, laki-
laki 28 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan
nyeri paha kiri.
Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:
- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitan bernafas
- Tanda vital: Laju respirasi: 40x/menit, Nadi: 110x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan
- Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
- GCS: 13 (E: 3, M: 6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Salim langsung membawa sang sopir ke UGD,
setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke RSMH.
Informasi Tambahan:
Kepala
Inspeksi: Luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter luka 2-4 cm. Pemeriksaan lain dalam
batas normal.
Leher
Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi.
Thoraks
Inspeksi: Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, ada memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping, RR: 40x/menit.
Palpasi: Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping sampai lokasi memar.
Krepitasi costae 9,10,11 kanan depan.
Perkusi: kanan hipersonor, kiri sonor.
Auskultasi: Bunyi nafas kanan melemah, bising nafas kiri terdengar jelas, bunyi jantung
terdengar jelas cepat frekuensi 100x/menit.
Abdomen
Inspeksi: dinding perut datar
Auskultasi: bising usus normal
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
Ekstremitas Bawah Kiri
Inspeksi: tampak deformitas tertutup , memar positif, hematom pada paha tengah kiri.
Palpasi: ada nyeri tekan, tidak dilakukan pemeriksaan krepitasi
ROM: Aktif dan pasif: ada limitasi gerakan.
Klarifikasi Istilah
Minibus : Kendaraan bus yang ukurannya lebih kecil dari bus pada
umumnya.
Trauma : Cidera fisik yang mengacu kepada cidera serius atau kritis,
luka, atau syok.
Merintih : Mengerang kesakitan.
Sesak : Kesulitan atau distress pernapasan yang bersifat subjektif.
Nyeri : Perasaan menderita atau distress akibat stimulasi pada ujung
saraf.
GCS : Glasgow Coma Scale yaitu skala yang dipakai untuk
menentukan atau menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari
kesadaran penuh hingga keadaan koma.
Deformitas : Perubahan bentuk tubuh atau bagian tubuh secara umum.
UGD : Salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan
oenanganan awal bagi pasien yang menderita sakit, cidera, dan
yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya.
Pelipis : Bagian kepala diujung kiri kanan dahi diantara mata dan
telinga.
Lecet : Luka superfisial tanpa melibatkan robekan ke kulit yang lebih
dalam.
Krepitasi : Suara berderap seperti bila kita menggesekan ujung – ujung
tulangyang patah.
Distensi : Melebar atau dilatasi.
Memar : Akumulasi darah karena pembuh darah yang pecah di bawah
kulit disertai perubahan warna kulit karena adanya ekstravasasi
darah ke jaringan yang mendasarinya.
Hematom : Terkumpulnya darah secara local biasanya membentuk
bekuan darah di organ, interstitial biasanya karena kerusakan
didnding pembuluh darah.
Hipersonor : Suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong.
Identifikasi Masalah
1. dr. Thamrin dokter RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar 100
meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan
pecah. Sang sopir, satu-satunya apenumpang mobil terlempar keluar melalui kaca
depan.
2. dr. Thamrin mendengar tabraengan membawa peralatankan lamgsung pergi ke
tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat
kejadian, terlihatvsang sopir, laki – laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan nyeri paha kiri.
3. Pemeriksaan sekilas.
4. Pemeriksaan kepala.
5. Pemeriksaan leher dan thorax.
6. Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas.
Analisis Masalah
1. dr. Thamrin dokter RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar 100
meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan
pecah. Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca
depan.
a Bagaimana karakteristik trauma terkait kasus?
Trauma yang terjadi dalam kasus ini dapat berupa trauma tajam dan tumpul.
Mekanisme trauma bertujuan mencari cedera lain yang saat ini belum tampak
dengan mencari tahu:
a. Dimana posisi penderita saat kecelakaan: pengemudi
b. Posisi setelah kecelakaan: terlempar keluar, tergeletak di jalan
c. Kerusakan bag luar kendaraan: bag depan hancur, kaca depan pecah,
d. Kerusakan bag dalam mobil: tidak di jelaskan
e. Sabuk pengaman, jarak jatuh, ledakan dll: tidak di jelaskan
Dari skenario diketahui.
Mobil minibus mengalami benturan frontal dengan pohon beringin
sehingga menyebabkan kaca depan pecah dan sopir ejeksi ke luar mobil hal
ini dapat meningkatkan kemungkinan trauma hingga 300% (American
College of Surgeons, 2004).
Luka lecet di dahi dan pelipis kanan menunjukkan luka ringan di
kepala akibat benturan atau dapat juga disebabkan oleh pecahan kaca mobil.
Kemungkinan trauma yang terjadi pada Sopir yaitu trauma kepala,
trauma thoraks dan trauma femur.
b Bagaimana edukasi yang dapat diberikan kepada pasien terkait kasus?
Selalu gunakan sabuk pengaman
Berpindah Jalur Jalan
Ketika Anda hendak berpindah jalur, sangat penting untuk memberi tanda
ke arah yang anda tuju bagi pengendara lain dengan menyalakan lampu
sein 3 detik sebelumnya. Pengendara harus memperhatikan kaca spion,
terutama memeriksa kendaraan di belakangnya sebelum pindah jalur.
Menyusul Kendaraan Lain
Dalam mengambil tikungan, usahakan mengambil jalur luar tikungan
(jalur kiri saat menikung ke kanan dan jalur kanan saat menikung ke kiri)
agar pandangan kondisi jalur berlawanan lebih luas. Dalam menyusul
kendaraan lain, jangan memaksakan diri menyusul kendaraan, terutama
kendaraan panjang (truk, bus, trailer) bila kondisi di depan kendaraan
yang disusul belum diketahui. Pastikan pandangan tidak terhalang dan
pastikan kondisi di depan kendaraan yang disusul aman dan tidak ada
kendaraan lain yang searah maupun berlawanan arah di lajur yang hendak
kita pakai.
Melewati Rintangan di Jalan
- Batu, kerikil, tanah atau lumpur dan pasir
Batu, kerikil, tanah atau lumpur dan pasir membuat permukaan jalan
sangat licin dan dapat menyebabkan sepeda motor tergelincir dan jatuh.
Untuk menghindarinya, kurangi kecepatan sebelumnya (pada permukaan
jalan yang baik), hindari belok terlalu patah dan pengereman terlalu keras
saat melalui kondisi jalan seperti ini.
- Lubang di Jalan dan Perbedaan Ketinggian Pada Bahu Jalan
Waspadalah selalu untuk melihat permukaan jalan di depan anda, karena
ada beragam bentuk lubang di permukaan jalan dan perbedaan ketinggian
pada bahu jalan.
- Pejalan Kaki yang Menyeberang Jalan
Ketika berkendara di jalan, pengendara motor harus selalu hati-hati tidak
hanya pada pengendara yang lain di sekitarnya, tetapi juga perilaku dari
pejalan kaki dan hewan
Menggunakan air bag dalam mobil
c Bagaimana prinsip mekanisme trauma dan apa kemungkinan cedera yang
ditimbulkan?
Trauma yang terjadi dalam kasus ini dapat berupa trauma tajam dan
tumpul. Trauma tumpul adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh oleh benda-benda tumpul. Hal ini disebabkan oleh
benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, dan
benda tumpul lainnya. Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka
yaitu memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus
laceratum). Trauma tajam adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal dalam
tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk
(vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).
Mekanisme trauma bertujuan mencari tahu cedera lain yang belum
tampak. Mekanisme bisa diketahui dengan cara:
- Dimana posisi penderita saat kecelakaan: pengemudi
- Posisi setelah kecelakaan: terlempar keluar melalui kaca depan,
tergeletak di jalan
- Kerusakan bagian luar kendaraan: bagian depan mobil hancur, kaca
depan pecah
- Kerusakan bagian dalam mobil: tidak di jelaskan
- Sabuk pengaman, jarak jatuh, ledakan dll: tidak di jelaskan
Pada skenario, diketahui bahwa:
Mobil minibus melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon
beringin bagian depan mobil hancur dan kaca depan pecah sopir
terlempar keluar melalui kaca depan multipel trauma (kemungkinan cedera
seluruh tubuh)
Luka lecet di dahi dan pelipis kanan menunjukkan luka ringan di
kepala akibat benturan atau dapat juga disebabkan oleh pecahan kaca mobil.
Kemungkinan trauma yang terjadi pada Tuan Sopir yaitu trauma
kepala, trauma thoraks dan trauma femur. Namun apabila dilihat dari
mekanisme terjadi kecelakaan, korban mengalami beberapa trauma:
- Kemungkinan lutut membentur dasbord: fraktur patela dan atau
luksasi sendi panggul, fraktur femur
- Kemungkinan benturan kaca mobil: trauma kepala, cedera otak,
fraktur servikal
- Dada terbentur kemudi: fraktur sternum, fraktur iga, cedera jantung,
cedera paru
- Kepala terbentur kaca: trauma muka, trauma mata
- Korban yang terlempar dari mobil ke aspal: fraktur servikal, fraktur
vertebra, fraktur lumbal dan semua jenis perlukaan dan meningkatkan
mortalitas
- Kemungkinan trauma benturan frontal lainya: fraktur sevikal, flail
chest anterior, kontusio mikard, pneumothorax, rupture aorta, rupture
lien dan hepar, fraktur/dislokasi coxae.
2. dr. Thamrin mendengar tabraengan membawa peralatankan lamgsung pergi ke
tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat
kejadian, terlihat sang sopir, laki – laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan nyeri paha kiri.
a Bagaimana anatomi thorax dan ekstremitas bawah?
ANATOMI TORAKS
Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior
oleh thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar
adalah dinding thorax yang disusun oleh vertebra torakal, costae, sternum,
muskulus, dan jaringan ikat. Rongga thorax dibatasi dengan rongga
abdomen oleh diafragma. Rongga thorax dapat dibagi ke dalam dua bagian
utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum. Mediastinum
dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum
terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-
organ penting thorax selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri
pulmonalis, vena cava, esofagus, trakhea, dll.).
ANATOMI FEMUR
Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter
major dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua
pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk
articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea
capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah
untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang
pada fovea.
b Apa saja peralatan tatalaksana trauma yang sesuai dengan prosedur tetap?
Ditambah dengan:
1. Pelvic wrap
2. Spuit
c Apa saja kemungkinan penyebab dari :
a) Sesak
Kecelakaan lalu lintas dada tertekan setir trauma tumpul pada
thoraks udara dari dalam paru-paru bocor ke rongga pleura udara
tidak dapat keluar lagi dari rongga pleura (one-way valve) tekanan
intrapleural meningkat paru-paru kolaps pertukaran udara tidak
adekuat hipoksia kesulitan bernafas.
b) Nyeri di dada kanan
Nyeri pada dada kanan terjadi karena dua hal yaitu adanya fraktur
pada costae dan adanya tension pneumothorax. Fraktur costae akan
menyebabkan kerusakan jaringan sekitar fraktur dan rangsangan pada
saraf yang ada di sulkus costae. Kerusakan jaringan akan
menghasilkan stimulus noksius yang dapat merangsang nociceptor
sehingga menimbulkan nyeri. Ditambah lagi pada fraktur costa, saat
bernapas dapat terjadi peningkatan nyeri yang dirasakan
penderita.Tension pneumothorax terjadi akibat adanya cedera pada
pleura viseralis. Pleura viseralis dipersarafi oleh nervus autonom yang
dapat menimbulkan nyeri jika terjadi gangguan pada pleura visceral.
c) Nyeri paha kiri
Fraktur femur mengenai saraf-saraf sekitar femur nyeri paha kanan
d) Merintih
Merintih disebabkan penutupan glottis yang menghalangi jalan napas,
sehingga tejadi ekspirasi yang melawan obstruksi jalan napas yang
dapat meningkatkan tekanan akhir ekspirasi. Pada saat glottis terbuka
dan terjadi penghembusan udara secara cepat dapat mennyebabkan
grunting.
d Bagaimana mekanisme terjadinya : Aqil, Maureen
a) Sesak
Sesak pada dada disebabkan udara yang masuk ke dalam rongga
pleura secara terus menerus dan membuat mediastinum bergeser ke
arah kontralateral. Mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral
akan menekan vena cava. Bersamaan dengan shunting ke paru
kontralateral dan obstruksi jalan napas, penekanan pada vena cava
akan menimbulkan gejala shock ataupun pre-shock.
b) Nyeri di dada kanan
Costae 9, 10 dan 11 dipersarafi oleh nervus intercostales yang terdapat
di intercotales, apabila terjadi fraktur nervus intercostales akan
menimbulkan rasa nyeri.
c) Nyeri paha kiri
Nyeri paha kiri yang terjadi bersamaan dengan ditemukannya
hematom di area femur kemungkinan terjadinya fraktur di regio femur
dan bahkan dapat sampai merobek pembuluh darah. Fraktur yang
terjadi merangsang rasa nyeri pada lokasi fraktur.
d) Merintih
Merintih yang terjadi akibat udara yang memaksa masuk melalui
glottis yang tertutup secara parsial, menutupnya glottis merupakan
kompensasi tubuh yang dilakukan untuk mempertahankan tekanan
akhir respirasi tetap positif dan menjaga alveoli tidak kolaps.
3. Pemeriksaan sekilas.
a Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan sekilas
yang didapat?
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Kesadaran Pasien sadar
terlihat bingung,
cemas dan
kesulitan bernafas
Compos mentis
dan nafas
normal
Abnormal
Tanda Vital RR : 40x/menit
Nadi : 110x/menit,
lemah
TD : 90/50
RR:
16-24x/menit
Nadi: 60-
100x/menit
TD: 120/80
RR: Takipneu
Nadi: Takikardi
TD: Hipotensi
Kepala Wajah dan bibir
terlihat kebiruan
Tidak biru Abnormal
(Sianosis)
Kulit Pucat, dingin, dan
berkeringat dingin
Tidak pucat,
tidak dingin, dan
tidak
berkeringat
dingin
Abnormal
Ekstremitas Deformitas paha
kiri
Tidak ada
deformatis
Abnormal
GCS 13 (E: 3, M: 6,
V:9)
13-15: trauma
kepala ringan
9-12: trauma
Trauma kepala
ringan
kepla sedang
3-8: trauma
kepala berat
Mekaninsme:
Costae merupakan tulang pipih dan bersifat lentur, Trauma tumpul
akibat kecelakaanfraktur pada costae 9,10,11Ujung-ujung fraktur masuk
ke rongga thorax Robekan pada pleura tekanan negative membuat udara
luar dapat masuk ke rongga thorax udara pada rongga pleuraTekanan
intrapleura meningkatpenekanan terhadap paru-paru ipsilateral (collapse)
pengisian udara ke paru-paru tidak maksimal & penekanan pembuluh darah
di cavum thorax (v. cava inferior-superior, aorta, esophagus) gangguan
ventilasihipoksiamenurunkan venous returnpenurunan preload dan
afterload
- Mekanisme kompensasi untuk menstabilkan CO HR meningkat
- Respon aktivitas simpatisvasokontriksi di daerah periferperfusi
jaringan perifer berkurangpucat, dingin, keringat dingin
- Kurangnya oksigen ke jaringan wajah dan bibir kebiruan
Pada intinya, ketika venous return menurun, tetapi arteri pulmonalis
meningkat terdapat sumbatan di arteri pulmonalis dan vena pulomonalis
sehingga menyebabkan tekanan darah dan tekanan MAP turun jadi dapat
dikatakan syok walaupun selisih antara sistol dan diastole belum rapat karena
syok masih dapat terkompensasi. (Hukum Starling).
b Bagaimana tatalaksana awal trauma di tempat kejadian dan mobilisasinya?
Urutan prioritas tindakan pada penderita cedera adalah resutasi, kemudian
penanganan cedera yang mengancam jiwa, cedera tulang besar, tulang
belakang dan sendi, dan akhirnya cedera kulit, jaringan lunak, tendon dan
saraf. Pertolongan di luar rumah sakit terdiri dari trias resusitasi (A, B, C),
menghentikan perdarahan, menjamin perlindungan cedera tulang belakang,
dan membidai patah tulang ekstremitas.
1. Pemeriksaan kesadaran :
- Tanya nama pasien untuk menilai kesadaran
- Nilai cara bicara untuk assessment airway
- Lakukan peraba nadi (arteri radialis) sambil mengajukan pertanyaan
2. Evaluasi airway.
Lakukan control serviks.Pasang neck collar. Posisikan kepala pasien
dengan cara jaw trust karena ada kecurigaan trauma serviks. Lakukan
pemasangan OPA agar lidah tidak jatuh kebelakang dan menutup jalan
napas.
3. Breathing
Auskulatsi paru dan perkusi dada (menilai tension pneumotorak).
Berikan tambahan oksigen, dapat langsung menggunakan selang ke
hidung atau menggunakan masker. Needle dekompresi tension
pneumotoraks dengan tahapan:
- Tentukan intercostales 2 dengan palpasi
- Lakukan desinfeksi dengan larutan antiseptic
- Gunakan spet yang ditusuk pada intercostals 2
4. Circulation :
Lakukan pemeriksaan perdarahan ekstrenal. Bila terdapat perdarahan
eksternal lakukan control dengan balut tekan dan elevasi.
Lakukan pembidaian femur (dengan spalek atau teknik neighbouring
splint) atau traksi dengan menggunakan traction splint (penting untuk
mencegah terjadinya overriding tulang femur). Sebelum dan sesudah
memasang traction splint, lakukan perabaan arteri dorsalis pedis untuk
menilai apakah ikatan terlalu kuat.
Lakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan jumlah darah yang
hilang akibat perdarahan. Cairan yang digunakan adalah kristaloid seperti
ringer laktat dengan proporsi 3 in 1 (setiap perdarahan 3 ml diberikan
cairan sebanyak 1 ml).
5. Lakukan immobilisasi pasien
Persiapkan long spine board
Lakukan “penggulingan” korban (90°) dengan teknik logroll (teknik agar
tulang belakang, pelvis, dll tidak bergerak, membutuhkan min 3 orang)
6. Teknik transport pasien.
Jika ada ambulance, transport pasien dengan ambulance. Jika tidak ada
sebaiknya menggunankan alat transport lain untuk mencegah guncangan
bila dibawa tanpa alat transpor.
c Bagaimana tatalaksana yang dilakukan di UGD?
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafasharus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik
Jaw Thrust dapat digunakan. Setelah itu pasang collar brace.Lakukan
intubasi, yang berfungsi untuk mempertahankan jalan nafas dan menguangi
beban otot pernafasan.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru
paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Pada kasus ini breathing dan
exposure dilakukan bersamaan yaitu membuka pakaian pakaian pasien dan
melakukan sesegera mungkin dekompresi jarum. Setelah itu lakukan
suplementasi oksigen dengan saturasi 100% karena pemberian terapi oksigen
100% dapat meningkatkan absropsi udara pada pleura, oksigen terapi 100%
diberikan untuk menurunkan tekanan alveolar terhadap nitrogen, sehingga
nitrogen dapat dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui sistem vaskular,
terjadi perbedaan tekanan antara pembuluh kapiler jaringan dengan udara
pada rongga pleura, sehingga terjadi peningkatan absorpsi dari udara pada
rongga pleura.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan
di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan
sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah
tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah
dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan
pendarahan yang terbaik adalah dengan imobilisasi fraktur. Fraktur femur
dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint
menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha.Imobilisasi fraktur yang baik dapat menurunkan
pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan
pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Penggantian cairan yang agresif
merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.Cairan
yang bisa diberikan berupa RL dan NaCl 0,9%.
D : Disability, menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi
singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera
spinal.
d Bagaimana penanganan ketika mobilisasi dari UGD RSUD ke RSMH?
Pasien harus distabilisasi lebih dulu sebelum diberangkatkan.
Prinsipnya pasien hanya ditransportasi untuk mendapat fasilitas yang lebih
baik dan lebih tinggi di tempat tujuan.
Perencanaan dan persiapan meliputi :
Menentukan jenis transportasi (mobil, perahu, pesawat terbang)
Menentukan tenaga kesehatan yang mendampingi pasien. Pasien yang
dirujuk harus didampingi oleh tenaga yang terlatih.
Menentukan peralatan dan persediaan obat yang diperlukan selama
perjalanan baik kebutuhan rutin maupun darurat
Menentukan kemungkinan penyulit.
Menentukan pemantauan pasien selama transportasi.
Apabila dimungkinkan dalam perjalanan merujuk, harus diberitahu
institusi yang dituju bahwa pasien sedang dalam perjalanan menuju
institusi yang bersangkutan. Ada komunikasi dengan RS dirujuk.
Persiapan administrasi: surat rujukan (termasuk tindakan apa yang telah
dilakukan) disampaikan kepada petugas penerima dan ditandatangani
oleh petugas yang merujuk.
Melibatkan keluarga
Persiapan biaya
PROTOKOL RUJUKAN
1. Sebelum melakukan rujukan harus melakukan komunikasi dengan
memberi informasi ke RS rujukan tentang:
Identitas pasien: nama, usia, jenis kelamin, dll
Hasil anamnesis penderita dan termasuk data pra RS
Penemuan awal pemeriksaan dengan respon terapi.
2. Informasi untuk petugas pendamping:
Pengelolaan jalan nafas
Cairan yang telah/akan diberikan
Prosedur khusus yang mungkin diperlukan
GCS, resusitasi, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam
perjalanan.
3. Dokumentasi : yang harus disertakan dengan penderita
Permasalahan penderita
Terapi yang telah diberikan
Keadaan penderita saat akan dirujuk
4. Sebelum rujukan: stabilkan dulu pasien.
5. Pengelolaan selama transport: petugas pendamping harus
Monitor: tanda-tanda vital dan bila tersedia pasang pulse oxymetry
Bantuan kardio respirasi bila diperlukan
Pemberian darah bila diperlukan
Pemberian obat-obatan sesuai instruksi dokter atau sesuai protap
Melakukan komunikasi dengan dokter selama transportasi
Dokumentasi
4. Bagaimana cara pemeriksaan GCS?
GCS meliputi:
1. Eye / Mata
Spontan membuka mata (poin 4)
Membuka mata dengan perintah(suara) (poin 3)
Membuka mata dengan rangsang nyeri (poin 2)
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun (poin 1)
2. Verbal
Berorientasi baik (poin 5)
Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau) (poin 4)
Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat (poin 3)
Bisa mengeluarkan suara yang tidak memiliki arti (poin 2)
Tidak bersuara (poin 1)
3. Motorik
Menurut perintah (poin 6)
Dapat melokalisir rangsang nyeri (poin 5)
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) (poin 4)
Menjauhi rangsang nyeri (poin 3)
Ekstensi spontan (poin 2)
Tak ada gerakan (poin 1)
5. Pemeriksaan kepala.
a Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksana kepala?
Luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
Interpretasi: Laserasi jaringan lunak, menunjukkan luka ringan di kepala
akibat benturan.
Mekanisme: Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing misalnya pada
kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau sebaliknya
benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit.
b Bagaimana cara pemeriksaan pada trauma kepala?
Sesuai prosedur ATLS untuk pemeriksaan pada trauma kepala meliputi tiga
tahapan penting. Yaitu survei primer, survei sekunder dan penatalaksanaan
dan evaluasi CT (American College of Surgeons, 2004).
a. Survei primer
Meliputi ABCDE, Imobilisasi dan stabilisasi servikal (pertahankan posisi
servikal) dan melakukan pemeriksaan neurologis singkat sseperti respon
pupil dan Nilai GCS.
b. Survei sekunder
Setelah dilakukan survei primer dilanjutkan dengan survei sekunder.
Langkah – langkah sbb:
i. Inspeksi keseluruhan kepala, termasuk wajah
Dilihat apakah terdapat laserasi pada kepala dan periksa lubang
hidung dan telinga apakah keluar cairan LCS.
ii. Palpasi keseluruhan kepala, termasuk wajah
Palpasi untuk meraba apakah terdapat fraktur pada tengkorak dan
laserasi dengan fraktur di bawahnya.
iii. Inspeksi seluruh laserasi kulit kepala
Pastikan telah melihat ke seluruh kulit kepala
iv. Nilai GCS dan respon pupil
Respon buka mata, motorik, respon verbal dan respon pupil.
v. Pemeriksaan vertebra servikal
Inspeksi untuk melihat apakah terdapat cedera spinal dan
palpasi untuk mencari adanya rasa nyeri bila perlu gunakan kolar
servikal. Bila perlu lakukan pemeriksaan foto ronsen vertebra
servikalis.
vi. Penilaian beratnya cedera
vii. Pemeriksaan ulang secara kontinyu-observasi tanda-tanda
perburukan
Frekuensi, parameter yang dinilai dan ulangi ABCDE.
6. Pemeriksaan leher dan thorax.
a Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan leher dan
thorax?
Trakea bergeser ke kiri
Interpretasi: Abnormal, tidak ada pergesaran trakea pada keadaan normal.
Mekanisme: Peningkatan tekanan udara intrepleura yang progresif
menekan paru bahkan bisa sampai menggeser trakea
Vena jugularis ditensi
Interpretasi: Abnormal, pada keadaan normal tidak ada ditensi pada vena
jugularis
Mekanisme: Peningkatan tekanan intrapleural yang progresif paru
ipsilateral kolaps mendorong mediastinum ke arah kontralateral sampai
menekan paru kontralateral menekuk vena kava mengganggu aliran
balik ke atrium kanan distensi vena jugularis
Dinding dada asimetris dan ada memar
Interpretasi: Abnormal
Mekanisme: Gerakan dinding dada yang asimetris disebabkan karena
perbedaan volume paru kanan dan kiri saat terjadi inspirasi dan ekspirasi. Dan
fraktur costae juga menyebabkan ekspansi dinding dada tidak maksimal.
Memar disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah disekitar daerah fraktur
akibat benturan keras.
Nyeri tekan dada kanan bawah dan krepitasi costae 9,10,11
Interpretasi: Abnormal
Mekanisme: Krepitasi merupakan tanda dari adanya fraktur, fraktur ini diduga
disebabkan oleh trauma keras pada saat kecelakaan. Rasa nyeri yang
dirasakan merupakan sensasi yang dirasakan karena adanya krerusakan
jaringan akibat fraktur
Perkusi dada kanan hipersonor
Interpretasi: Abnormal, pada keadaan normal akan terdengar sonor
Mekanisme: Pada pneumotoraks terjadi akumulasi udara bebas di ruang
intrapleura.
Auskultasi bunyi nafas kanan melemah dan bunyi jantung cepat >100x/menit
Interpretasi: Abnormal, pada keadaan normal bunyi nafas tidak melemah dan
denyut jantung 60-100x/menit
Mekanisme: Bunyi nafas kanan melemah karena terhambat oleh udara yang
berada di rongga pleura. Bunyi jantung terdengar jelas cepat frekuensi
100x/menit menandakan bahwa belum terjadi masalah dengan jantung, dan
takikardia yang terjadi merupakan salah satu penanda terjadinya syok.
7. Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas.
a Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksana abdomen dan
ekstremitas?
Pemeriksaan Kasus Interpretasi
Abdomen
Inspeksi Dinding perut datar
NormalAuskultasi Bising usus normal
Palpasi Tidak ada nyeri tekan
Ekstermitas paha kiri
inspeksi Tampak deformitas, memar,
hematom pada paha tengah
kananMenunjukkan
adanya fraktur
femurPalpasi Nyeri tekan, krepitasi (tidak
boleh diperiksa)
ROM Aktif dan pasif terbatas
b Apa saja macam – macam fraktur?
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a.Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka dibagi atas tiga derajat:
i. Derajat I
Luka <1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
Kontaminasi minimal
ii. Derajat II
Laserasi >1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
iii. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka
derajat III terbagi atas:
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.
Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak
Berdasarkan bentuk patahan tulang
a. Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya
mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b. Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
c. Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d. Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak
dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
e. Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f. Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis
ini sering terjadi pada anak – anak.
g. Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h. Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti,
fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan,
bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis
pada anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur
fisis juga kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas
olahraga. Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis
adalah klasifikasi fraktur menurut Salter – Harris :
Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan,
prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui
tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan
kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan.
Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan
terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan
mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
Hipotesis
Seorang sopi, laki – laki, 30 tahun, mengalami tension pneumothorax dan syok hemorragik
et causa fraktur femur dan costae 9, 10, dan 11.
Learning Isssue
ANATOMI THORAX DAN REGIO FEMUR
Anatomi Rongga Torax
Toraks adalah daerah pada tubuh manusia (atau hewan) yang berada di antara leher
dan perut (abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh
thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding toraks yang
disusun oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat.
Sedangkan rongga toraks dibatasi oleh diafragma dengan rongga abdomen. Rongga
Toraks dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan
mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior.
Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-
organ penting toraks selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae,
esofagus, trakhea, dll.).
Thoracic inlet merupakan "pintu masuk" rongga toraks yang disusun oleh:
permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan
(lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga
bagian anterior terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak
kira-kira setinggi vertebra torakal II.
Batas bawah rongga toraks atau thoracic outlet (pintu keluar toraks) adalah area yang
dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior oleh
processus xiphoideus.
Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk
seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen
sebenarnya terletak di dalam "area" toraks.
Anatomi Pleura
Pleura ( selaput paru ) adalah selaput tipis yang membungkus paru – paru :
Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;
a. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru –paru.
b. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.
Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk kantong
tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantong terisi sedikit
cairan pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut
Surface Anatomi
Pada garis tengah dibagian anterior terletak sternum yang terdiri dari 3 bagian,
manubrium, korpus, dan prosesus xiphoideus. Titik paling atas sternum dikenal sebagai
sternal notch atau insisura jugularis, yang tampak berupa lekukan antara kedua kaput
klavikula. Insisura ini setinggi batas bawah dari vertebra torakal ke-2.
Angulus ludovici adalah tonjolan yang terjadi oleh karena pertemuan bagian korpus
dan manubrium sterni yang membentuk sudut. Sudut ini tampak nyata pada orang yang
kurus. Angulus ludovici adalah penanda anatomi permukaan oleh karena terletak setinggi iga
ke-2 dan vertebra torakal 4-5. Setinggi angulus ini terdapat organ-organ penting: arkus aorta
dan karina.
Bagian terakhir sternum adalah processus xiphoideus yang dapat diraba sebagai
ujung bawah yang lunak dari sternum; kira-kira setinggi vertebra torakal 9.
Lateral terhadap sternal terdapat iga dan sela iga yang dapat dibedakan dan dihitung
melalui palpasi. Hampir seluruh iga tertutup oleh otot, tetapi hanya iga I yang tidak dapat
teraba oleh karena tertutup oleh klavikula.
Batas bawah rongga iga di sebelah anterior dibentuk oleh processus xiphoideus,
rawan kartilago dari iga VII-X, dan ujung kartilago dari iga XI-XII.
Papilla mammae pada pria yang kurus berada di sekitar sela iga V kiri sedikit lateras
garis mid-klavikula.
Triangulus auskultatorius adalah area segitiga yang dibentuk oleh skapula di lateral,
superior oleh batas inferior m.trapezius dan inferior oleh batas superior m. latissimus dorsi
yang terjadi saat skapula tertarik ke lateral-anterior pada posis lengan melipat ke depan dada
dan ke depan. Area ini merupakan petunjuk klinis penting karena sela-sela iga di tempat ini
hanya tertutup oleh jaringan sub-kutan dan merupakan tempat yang baik untuk pemeriksaan
auskultasi toraks.
Klavikula dapat dengan mudah diraba atau dilihat karena hanya ditutupi oleh subkutis
dan kulit.
Skapula dapat diraba dari permukaan dengan margo vertebralis, angulus inferior, dan
spina.
Untuk vertebra, sebagai patokan hanya dapat diraba prosesus spinosus vertebra; pada
bagian atas yang terbesar dan paling menonjol adalah vertebra servikalis ke-7 dan
dibawahnya adalah vertebra torakalis pertama.
Garis-garis (imajiner) yang penting adalah linea midsternalis (midline), linea
parasternalis, dan midklavikularis. Di toraks lateral ada garis aksilaris anterior (sesuai sisi
lateral M.pektoralis mayor), linea aksilaris medius (sesuai dengan puncak aksila) dan linea
aksilaris posterior (sesuai dengan M.latissimus dorsi).
Biasanya otot yang diinsisi pada waktu melakukan torakotomi posterolateral hanya
otot latissimus dorsi. Bila diinginkan lebih lebar: ke posterior dapat dipotong muskulus
trapezius dan rhomboideus mayor dan minor; ke anterior dapat dipotong muskulus seratus
anterior di origonya (bagian depan otot) untuk menghidari kerusakan nervus torakalis
longus.
Untuk torakotomi anterior dilakukan pemotongan dari M.pektoralis
Area Pre-cordial adalah area proyeksi dari jantung ke dinding dada anterior, yaitu
daerah dengan :
- batas superior: iga II kiri
- batas inferior : pinggir bawah toraks (iga) kiri
- batas kanan : garis parasternal kanan
- batas kiri : garis mid-klavikula kiri
Dinding Torax
1. Costae
Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis
osseokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter
penampang yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah
bawah. Di bagian posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih
memipih.
Terdapat 12 pasang iga : 7 iga pertama melekat pada vertebra yang
bersesuaian, dan di sebelah anterior ke sternum. Iga VIII-X merupakan iga palsu
(false rib) yang melekat di anterior ke rawan kartilago iga diatasnya, dan 2 iga
terakhir merupakan iga yang melayang karena tidak berartikulasi di sebelah anterior.
Setiap iga terdiri dari caput (head), collum (neck), dan corpus (shaft). Dan
memiliki 2 ujung : permukaan artikulasi vertebral dan sternal.
Bagian posterior iga kasar dan terdapat foramen-foramen kecil. Sedangkan
bagian anterior lebih rata dan halus. Tepi superior iga terdapat krista kasar tempat
melekatnya ligamentum costotransversus anterior, sedangkan tepi inferior lebih bulat
dan halus.
Pada daerah pertemuan collum dan corpus di bagian posterior iga terdapat
tuberculum. Tuberculum terbagi menjadi bagian artikulasi dan non artikulasi.
Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal
dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung
(convex) dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke
superior.
Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove, tempat
berjalannya arteri-vena-nervus interkostal.
Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat
melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat
di bagian anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan
pemisah antara plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah
medial dari otot tersebut.
Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis
externus dan internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia
transversalis, dan kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan
vena di bagian dorsal berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri
blok), kemudian ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan
berurutan dari atas ke bawah vena, arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris
anterior pembuluh darah dan syaraf bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas
iga. Di anterior garis ini kemungkinan cedera pembuluh interkostalis meningkat pada
tindakan pemasangan WSD.
2. Vertebra
Untuk bedah toraks sebetulnya tidak banyak yang harus diketahui mengenai
vertebra kecuali bahwa persendiannya dengan kosta. Vertebra torakalis pertama (T1)
mempunyai satu persendian yang lengkap dengan iga I dan setengah persendian
dengan iga II. Selanjutnya T2-T8 mempunyai dua persendian, di atas dan di bawah
korpus vertebra (untuk iga II sampai dengan VIII). Sedang dari T9-T12 hanya
mempunyai satu persendian dengan iga. Semua ini penting untuk melepaskan iga dari
korpus vertebra pada waktu melakukan torakotomi.
Yang perlu juga diketahui adalah ligamentum longitudinalis anterior; di depan
ligamentum ini terdapat suatu ruangan (space) dengan susunan jaringan ikat yang
longgar dan merupakan "jalan" untuk descending infection dari daerah leher menuju
mediastinum.
Anatomi Femur
Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major
dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan
berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada
pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan
ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan
sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan ke
bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada wanita
sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu
diingat karena dapat dirubah oleh penyakit.
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan
batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di
depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya
terdapat tuberculum quadratum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia
licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya terdapat
rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.Tepian
medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di
bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan
dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk
daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian
posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus
dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk
articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis.
Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.
Vaskularisasi femur
Vaskularisasi femur berasal dari arteria iliaka komunis kanan dan kiri. Saat arteri inimemasuki
daerah femur maka disebut sebagai arteri femoralis. Tiap-tiap
arterifemoralis kana dan kiri akan bercabang menjadi arteri profunda
femoris, ramiarteria sirkumfleksia femoris lateralis asenden, rami arteria
sirkumfleksia femorislateralis desenden, arteri sirkumfleksia femoris medialis dan
arteria perforantes.Perpanjangan dari arteri femoralis akan membentuk arteri
yang memperdarahidaerah genus dan ekstremitas inferior yang lebih distal. Aliran
balik darah menuju jantung dari bagian femur dibawa oleh vena femoralis kanan dan
kiri. (Yokochidkk, 2006)
TENSION PNEUMOTHORAX
Cara Penegakan Diagnosis
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
- Chin lift / jaw trust
- Suction / hisap
- Guedel airway
- Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit
dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/
ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup
jelasa dan cepat adalah
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi
in line harus dikerjakan
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari
kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
DD
KONDISI PENILAIANTension pneumothorax • Deviasi Tracheal
• Distensi vena leher• Hipersonor
• Bisingnafas (-)Massive hemothorax • ± Deviasi Tracheal
• Vena leherkolaps• Perkusi : dullness• Bisingnafas (-)
Cardiac tamponade • Distensi vena leher• Bunyi jantung jauh dan lemah• EKG abnormal
WD
Tension Pneumothoraks.
Definisi
Tension pneumotorakx adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura secara
progresif, biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan udara untuk masuk ke
dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar atau tertahan didalam rongga pleura.
b Etiologi Rafiqy
Epidemiologi
Insidensi Tension Pneumotoraks di luar rumah sakit sulit untuk ditentukan. Dari
2000 insidens yang dilaporkan ke Australian Incident Monitoring Study ( AIMS ) , 17
merupakan penderita atau suspect pneumotoraks, dan 4 diantaranya didiagnosis sebagai
tension pneumotaraks. Data militer menunjukkan bahwa lebih dari 5% korban akibat
pertumburan dengan trauma dada mempunyai tension pneumotoraks.
Faktor Resiko
a. Trauma benda tumpul /tajamb. Pemasangan kateter vena sentral
Patogenesis dan patofiologi
Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh darah kapiler, dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi
oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri dari pleura parietalis dan pleura viseralis.
Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)
PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara
patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraksspontan yang parunya direseksi tampak
adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan suatu
kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh jaringan
fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari
suatu alveoli yang pecah melalui jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura
viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bulla atau
bleb belum jelas, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru
berhubungang dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli daerah apeks paru
akibat tekanan pleura yang lebih negatif (Hisyam dan Budiono, 2009).
Manifestasi Klinis
Manifestasi Awal :
Nyeri dada, dipsneu, ansietas, takipneu, takikardi, hipersonor dinding dada dan tidak
ada suara nafas pada sisi yang sakit.
Manifestasi Lanjut :
Tingkat Kesadaran menurun, Trakea bergeser ke sisi kontralateral, hipotensi,
pembesaran pembuluh darah leher/vena jugularis, dan sianosis.
Tatalaksana
Bantuan hidup dasar yang diberikan, pertama, melihat lapang tidaknya jalan napas
(airway), dengan melakukan manuver head tilt, chin lift, dan jaw thrus jika korban dicurigai
mengalami cedera cervical. Disini dilihat apakah ada sumbatan jalan napas, yang diakibatkan
oleh trauma, dilihat pergerakan napas korban ada atau tidak, terdapat sumbatan atau tidak
dari jalan napas korban seperti benda asing atau cairan, sehingga sumbatan jalan napas dari
benda asing dapat dihilangkan. Setelah itu kita berlanjut pada breathing, disini kita evaluasi
dari pergerakan dada korban apakah simetris atau tidak, kita lihat juga distensi dari
pembuluh darah vena pada leher, luka yang terbuka, penderita biasanya akan terlihat gelisah
akibat kesulitan bernapas. Dari gejala-gejalanya kemungkinan mengarah ke pneumotoraks
terdesak (tension pneumothorax) yang merupakan suatu kegawat daruratan pada trauma
dada. Pemberian oksigen terapi sangat diperlukan pada keadaan ini, karena pemberian terapi
oksigen 100% dapat meningkatkan absropsi udara pada pleura, oksigen terapi 100%
diberikan untuk menurunkan tekanan alveolar terhadap nitrogen, sehingga nitrogen dapat
dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui sistem vaskular, terjadi perbedaan tekanan
antara pembuluh kapiler jaringan dengan udara pada rongga pleura, sehingga terjadi
peningkatan absorpsi dari udara pada rongga pleura.Kemudian penanganan dengan jarum
dekompresi yang dilakukan pada intercostal 2 pada garis midklavikula, ini 14 merupakan
metode konvensional. Pada literatur American College Of Chest Physician (ACCP) dan
British Thoracic Society (BTS) dekompersi dapat dilakukan pada intercosta 5 pada garis
anterior aksila.Pengunaan pipa torakostomi digunakan pada pneumotoraks dengan gejala
klinis sulit bernapsa yang sangat berat, nyeri dada, hipoksia dan gagalnya pemasangan jarum
aspirasi dekompresi. Pada penggunaannya pipa torakostomi disambungkan dengan alat yang
disebut WSD (water seal drainage). WSD mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water
seal yang berfungsi sebagai katup satu arah berisi pipa yang ditenggelamkan dibawah air,
untuk mencegah air masuk kedalam pipa pada tekanan negatif rongga pleura dan ruang
pengendali suction. WSD dilepaskan bila paru-paru sudah mengembang maksimal dan
kebocoran udara sudah tidak ada. Pada sirkulasi (circulation) kita menilainya dengan meraba
denyut nadi, untuk mengevaluasi kemungkinan tanda-tanda syok pada korban (denyut nadi
cepat dan lemah, akral dingin, laju pernafasan dll) jika denyut nadi tidak teraba, langsung
berikan kompresi sebanyak 30 kali dengan memberikan 2 kali napas bantuan. Pemberian
terapi cairan secara intravena dilakukan untuk resusitasi awal pada penderita pneumotoraks
dengan keadaan syok, dengan pemasangan kateter intravena ukuran besar (minimum 16
gauge) dengan pemberian larutan elektrolit isotonik, untuk menstabilkan volume vasukuler
dengan mengganti cairan pada ruang interstisial dan intraseluler. Pada pneumotorak terbuka,
yang terdapat luka yang menganga pada dinding dada dan udara masuk melalui perlukaan
tersebut. Penanganan awal yang dapat kita lakukan adalah tutup luka tersebut dengan
menggunakan gaas steril ataupun kain yang bersih yang ditutup pada tiga sisinya. Fungsi
dari penutup ini sebagai katup, udara dapat keluar melaluin luka, tetapi tidak dapat masuk
melalui luka tersebut. Karena jika kita tutup pada ke empat sisinya, pneumotoraks terbuka ini
akan berubah menjadi pneumotoraks terdesak, akibat udara yang masuk tidak dapat keluar,
dan terperangkap di rongga pleura.
Rehabilitasi
o Penderita yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakukan pengobatan
secara baik untuk penyakit dasar (jika ada)
o untuk sementara waktu (dalam beberapa minggu), penderita dilarang
mengejan, mengangkat barang berat, batuk / bersin terlalu keras.
o bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian anti tusif, berilah laksan
ringan.
o Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk
sesak nafas.
Komplikasi
- Gagal napas akut (3-5%)
- Komplikasi tube torakostomi à lesi pada nervus interkostales
- Henti jantung-paru
- Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
- Kematian
- Timbul cairan intra pleura
- Kehilangan darah (syok)
Prognosis
Mengingat kondisi pasien yang buruk dan jarak rumah sakit yang jauh, 60%
kemungkinan pasien tidak tertolong lagi, namun kemungkinan pasien bertahan hidup akan
meningkat apabila dilakukan tatalaksana awal penanganan trauma dengan cepat dan tepat.
Quo ad vitam : dubia et bonam
Quo ad funtionam : dubia et bonam
SKDI
Kompetensi Dokter Umum: 3B
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya.
SYOK HEMORRAGIK
Cara penegakan diagnosis
Memperoleh data yang lengkap mengenai tipe, jumlah, dan durasi perdarahan
sangatlah penting. Hallmark indicator klnis dari syok adalah adanya tanda vital yang
abnormal, seperti hipotensi, takikardi, berkurangnya jumlah urin, dan perubahan status
mental. Gejala ini merupakaa efek sekunder dari kegagalan sirkulasi.
Klinis seorang pasien dengan syok bisa bermacam-macam. Umumnya pasien terlihat
pucat atau diaphoresis. Keadaan ini bisa disertai dengan agitasi. Awalnya, nadi akan terasa
cepat. Pada keadaan syok terkompensasi tekanan darak sistolik masih berada dalam batas
normal.
Pemeriksaan Penunjang. Secara umum, pemeriksaan lab tidak membantu pada perdarahan
akut karena hasil pemeriksaan akan tetap normal. Redistribusi cairan intertisiel ke dalam
plasma darah terjadi setelah 8-12 jam. Hemoglobin dan hematocrit tetapi berada dalam batas
normal pada saat perdarahan terjadi. Setelah dilakukan resusistasi, nilai hematocrit akan
turun karena kristaloid yang diberikan akan menyebabkan reekuilibrasi cairan ekstraselular
ke intravascular. Analisa gas darah penting pada pasien dengan syok berat. Asidosis
merupakan indicator terbaik untuk menunjukkan adanya ketidak seimbangan oksigen pada
jaringan. Analisa gas darah dengan pH di bawah 7,25 dapat mengganggu aktivitas
katekolamin sehingga menyebabkan hipotensi yang tidak responsive pada inotropic.
Pemeriksaan golongan darah harus dilakukan secepatnya.
DD
Diagnosis syok dapat ditegakkan dengan gejala klinis sederhana, yang terpenting di
antaranya adalah kulit yang hangat, tekanan vena jugularis (JVP) (bila tidak terlihat diukur
dengan kateter vena sentral), dan tekanan darah postural. Selain tekanan darah yang rendah
(biasanya sistol <90 mmHg) dan takikardia, pasien syok juga memiliki tanda-tanda
malperfusi organ. Organ –organ yang bereaksi paling cepat pada penurunan suplai darah
adalah ginjal (UO <20ml/jam) dan otak (pusing). Aliran balik kapiler (CRT) bisa terganggu.
Untuk membedakan antara syok, Jika pasien tampak dingin, berkeringat, pucat
disertai aliran balik kapiler yang buruk, biasanya termasuk syok hipovolemik atau
kardiogenik. Pada syok kardiogenik, JVP meningkat sedangkan syok hipovolemik ditandai
oleh hipotensi postural dan JVP yang rendah. Jika pasien terasa hangat atau mukanya
memerah (flushed) dengan denyut nadi cepat, biasanya syok sepsis,terjadi karena
vasodilatasi, (disertai kenaikan suhu rendah) atau anafilaksis. Jika JVP rendah, pengisian
sirkulasi tidak adekuat bisa hipovolemia, sepsis, atau anafilaksis. Jika terdapat
hiperpigmentasi garis-garis telapak tangan (palmar crease) dan mukosa bukal merupakan
gejala penyakit Addison (krisis steroid) (jarang).
WD
Syok hemorragik.
Definisi
Syok adalah ketidaknormalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan
perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Syok hemoragik terjadi karena
hilangnya darah dalam jumlah yang banyak dan memicu kompensasi tubuh untuk
menyediakan oksigenasi dan perfusi organ yang cukup.
Etiologi
Syok hemoragik biasanya disebabkan oleh berkurangnya volume darah sirkulasi dan
kapasitas penghantar oksigen. Etiologi klinis yang paling sering terjadi adalah trauma benda
tajam dan benda tumpul, perdarahan gastrointestinal, serta perdarahan obstetri.
Epidemiologi
Syok hemoragik ditolerir secara berbeda tergantung pada keadaan fisiologi yang
mendasari, contohnya saja umur. Anak kecil dan orang tua lebih rentan terhadap
dekompensasi setelah kehilangan volume darah sirkulasi.
Anak kecil memiliki volume darah yang lebih sedikit daripada orang dewasa, oleh
karena itu mereka berisiko utuk kehilangan darah dengan presentasi yang lebih besar. Ginjal
anak dengan usia kurang dari 2 tahun belum matang dengan sempurna, sehingga mereka
belum bisa menghemat volume darah sirkulasi seefektif orang dewasa. Selain itu, anak kecil
juga lebih cepat mengalami hipotermia, yang pada akhirnya bisa menyebabkan koagulopati.
Orang tua cenderung mengalami perubahan fisiologi dan memiliki kondisi klinis
yang dapat memperburuk kemampuan kompensasi mereka terhadap kehilangan darah.
Aterosklerosis dan menurunnya elastin menyebabkan pembuluh darah arteri kurang elastis
sehingga menyebabkan kompensasi yang tidak adekuat, menurunnya vasodilatasi arterioral
jantung, dan angina atau infark ketika kebutuhan oksigen otot jantung meningkat. Orang tua
juga mempunyai respon takikardi yang kurang baik karena stroke volume yang rendah akibat
berkurangnya reseptor β-adrenergik pada jantung dan berkurangnya miosit pada nodus
sinoatrial.
Ginjal pada orang tua telah mengalami atropi yang bersifat age-related dan
mengalami penurunan kemampuan pada creatinine clearance. PErubahan pada jantung,
pembuluh darah, dan gnijal ini dapat menyebabkan dekompensasi yang lebih awal.
Faktor Resiko
- Profesi yang rentan mengalami kecelakaan seperti pekerja bangunan, pekerja yang
pulang di malam hari.
- Pengemudi yang lelah, mengantuk, mabuk, atau tidak mematuhi peraturan lalu lintas
sehingga meningkatkan risiko mengalami kecelakaan. Termasuk pembalap.
- Penderita gangguan pembekuan darah misalnya hemofilia, def. Vitamin K.
- Pasien operasi bedah mayor.
Patogenesis dan patofiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan
tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon
dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot,
dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin
I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin
II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok
hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya
akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan
terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak
langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam
memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan
darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung
akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
Manifestasi Klinis
1. Syok Hipovolemik
Manifestasi klinik dari syok adalah hipotensi, pucat, berkeringat dingin,
sianosis, kencing berkurang, oligouria, ganggua kesadaran, sesak nafas.
(Tambunan Karmel, dkk, 1990, hal 6).
2. Syok Septik/ Syok Bakteremik
1 Fase Hiperdinamik/ Syok panas (warm shock):
Gejala dini:
1) Hiperventilasi
2) Tekanan vena sentral meninggi
3) Indeks jantung naik
4) Alkalosis
5) Oligouria
6) Hipotensi
7) Daerah akral hangat
8) Tekanan perifer rendah
9) Laktikasidosis
2 Fase Hipodinamik:
1) Tekanan vena sentral menurun
2) Hipotensi
3) Curah jantung berkurang
4) Vasokonstriksi perifer
5) Daerah akral dingin
6) Asam laktat meninggi
7) Keluaran urin berkurang
3. Syok Neurogenik
Tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bradikardi, sesudah pasien menjadi
tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Pengumpulan darah di dalam arteriol,
kapiler, dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
4. Syok Kardiogenik
a. Pasien tidak sadar atau hilangnya kesadaran secara tiba- tiba.
b. Sianosis akibat dari aliran perifer berhenti
c. Dingin (Skeet Muriel.,1995, 70) Tatalaksana
Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander R
H, Proctor H J. Shock., (1993 ; 75 – 94)
1. Posisi Tubuh
a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk
memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan
jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya
asfiksia.
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala
agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh
lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan posisi telentang datar.
f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar
dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit
d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa
sungkup (Ambu bag) atau ETT.
3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
PENATALAKSANAAN SYOK BERDASARKAN JENISNYA
1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW (1989,
hal 993-1002) komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat
kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan,
adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis,
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar
yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. Thijs L G.
(1996 ; 1 – 4)
a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau
0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat
diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek
lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang
telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi.
2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
a. Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita
untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali
memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual,
muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan
yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi
kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau
muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan
yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada
luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik.
Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan
isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat
yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah
lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan
yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah
dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat
pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.
3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul
ditempat tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. (1981; c:1-42)
adalah
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang
berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika
terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga
dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan
oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per
infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap
tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap
terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti
ruptur lien) :
3 Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
4 Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya
terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa
pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenik
5 Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah
melalui vasodilatasi perifer.
SIMPULAN
Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala
syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa
dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan.
Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui
kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan
langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada
pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok
kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas
diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf
pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-
pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan
Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian
infeksi, melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debriden luka untuk
membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan
mencuci tangan dengan benar.
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal
gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas
dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.
Komplikasi
Komplikasi primer yang dapat terjadi adalah kematian. Organ failure dapat terjadi
sebagai sekuele setelah dilakukan resusitasi pada syok hemoragik. Kaskade SIRS menjadi organ
failure syndrome terjadi pada 30-70% kasus pada pasien dengan syok hemoragik yang selamat
dengan initial resusitasi.
Prognosis
Dubia ad malam
SKDI
Kompetensi Dokter Umum: 3B
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya.
FRAKTUR
Fraktur Costae
a. Definisi
Fraktur costae adalah adanya diskontinuitas pada satu atau lebih tulang iga
b. Etiologi
Fraktur iga merupakan cedera thoraks yang paling sering disebabkan oleh trauma tumpul
dinding dada, seperti pukulan, kontusio, atau penggilasan. Penyebab lain yang cukup sering
adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau metastasis kanker.
c. Patofisiologi
Fraktur iga dapat menyebabkan gangguan ventilasi melalui berbagai cara, antara lain:
1. Nyeri dapat menyebabkan gangguan saat bernapas etelektasis, sampai pneumonia.
2. Fragmen fraktur dapat melakukan penetrasi sehingga menyebabkan hemothoraks atau
pneumotoraks
d. Manifestasi klinis
Pasien biasanya mengeluhkan nyeri saat inspirasi serta kesulitan bernapas. Apabila terdapat
insufisiensi napas dapat terlihat sianosis, takipnea, adanya retraksi, serta penggunaan obat
bantu napas pada pasien.
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Mekanisme trauma perlu ditanyakan jika dicurigai disebabkan oleh traum. Selain itu,
tanyakan juga mengenai penyebab nontrauma, seperti batuk yang hebat. Keluhn yang
disebutkan pada bagian manifestasi klinis juga perlu dicari, seperti nyeri pada saat
inspirasi atau kesulitas bernapas.
2. Pemeriksaan fisik paru
- Inspeksi: tampak jejas luka, gerak pernapasan terbatas
- Palpasi: krepitasi, nyeri tekan pada tulang iga yang fraktur, adanya deformitas
- Perkusi dan auskultasi: perubahan posisi trakea dan jantung (pergeseran
mediastinum) dapat ditemukan pada tension pneumothoraks yang menyertai fraktur
iga
Lokasi fraktur biasa terletak pada sudut posterior karena tempat ini merupakan lokasi
terlemah (locus minoris) dari tulang iga. Pada iga pertama, locus minoris terletak pada
sulkus arteri subklavia. Apabila dicurigai fraktur pada sudut posterior, periksa
kemungkinan cedera organ intra-abdomen (jejas pada abdomen dan sudut kostovertebrae).
Fraktur iga posterior 9-11 memiliki kemungkinan cedera intra-abdomen yang paling besar.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rontgen thoraks dapat dilakukan untuk menyingirkan cedera thoraks lain.
f. Tatalaksana
Tatalaksana bergantung pada jumlah dan lokasi fraktur iga. Fraktur iga 11 dan 12 berhubungan
dengan cedera organ abdomen di dalamnya seperti limpa, hati, dan diafragma. Prinsip
pengobatan fraktur iga adalah pemberian analgesik dan relaksan otot. Pada cedera yanng lebih
hebat dengan keterlibatan gangguan pernapasa, dibutuhkan perawatan di rumah sakit untuk
analgesia dan pemantauan status pernapasan. Pada cedera ringan hingga sedang, dapat
diberikan analgesik opioid peroral, intravena, atau intramuskular. Sementara pada cedera yang
lebih berat dapat dilakukan analgesik epidural atau blok interkostal.
1. Flail chest
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan ketidakstabilan dinding dada seingga terjadi
pergerakan paradoks segmen dinding dada selama proses inspirasi dan ekspirasi yang
disebut flail chest. Biasanya kelainan tersebut disebabkan oleh fraktur lebih dari dua
tulang iga dengan lebih dari satu garis fraktur pada iga yang sama.
Manifestasi klinis
Pada pasien dapat dijumpai pernapasan paradoks, yaitu pada saat inspirasi, segmen yang
bergerak bebas tersebut akan tertarik ke dalam rongga dada. Rongga pleura tidak dapat
mengembang sepnuhnya sehingga pertukaran gas di alveolus tidak efektif. Apabila hal ini
dibiarkan, maka akan terjadi anoksia berat, hiperkapnea, dan kolaps paru.
Tatalaksana
Tujuan terapi adalah ventilasi adekuat, salah satunya dengan pemberian analgesik pada
penanganan awal. Stabilisasi dinding dada dilakukan dengan allat fiksasi, seperti pin dan
plat, dengan dirujuk ke spesialis bedah thoraks. Intubasi endotrakeal dan ventilasi meianik
dengan tekanan positif terkadang dilakukan pada kelainan paru dengan takipnea, hipoksi,
dan hiperkarbia
Fraktur Femur
Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang itu bersendi dengan
asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari sini menjulur medial ke lutut dan
membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan
dua ujung yaitu ujung atas, batang femur dan ujung bawah (Pearce, 1990).
a. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Rusaknya kontinuitas
tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu
seperti degenerasi tulang / osteoporosis (Anonim, 2011).
Fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan
oleh traumalangsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang/osteoporosis. Batang Femur dapat mengalami fraktur akibat trauma langsung, puntiran,
atau pukulan pada bagian depan yang berada dalam posisi fleksi ketika kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2000).
b. Jenis jenis fraktur
1. Fraktur komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
2. Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
3. Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
4. Fraktur tertutup : bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan
udara luar atau permukaan kulit (Rahmad, 1996).
KLASIFIKASI FRAKTUR BATANG FEMUR
Terdapat dua sistem klasifikasi fraktur femur yang umum dipakai, yaitu sistem AO/OTA dan
Winquist-Hansen (Browner et al, 2009).
Sumber: Browner, Bruce D, et al. (2009). Skeletal Trauma: Basic Science, Management, and
Reconstruction 4th Edition, Sauders Elsevier, Canada.
Penjelasan (Salminen, 2005)
A = Simple fracture (subdivisi: spiral, oblik, dan transversal)
B = wedge fracture (spiral, bending, fragmented)
C = complex fracture (spiral, segmental, extensive comminution)
b. Etiologi
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.
Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma
bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan
pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cedera traumatik, dapat disebabkan oleh:
- Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
- Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
- Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
- Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
- Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
- Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
c. Patofisiologi
Tulang yang mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan disekitarnya, seperti di
ligamen, otot tendon, persyarafan dan pembuluh darah, oleh karena itu pada kasus fraktur
harus ditangani cepat, dan perlu dilakukan tindakan operasi.
Tanda dan Gejala:
1. Nyeri hebat ditempat fraktur
2. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
3. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti: fungsi berubah, bengkak, sepsis pada
fraktur terbuka dan deformitas
d. Diagnosis
1. Anamnesis
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan
terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi
pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk
meneliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada,
dan perut (Mansjoer, 2000).
2. Pemeriksaan Umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel, fraktur pelvis,
fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi
(Mansjoer, 2000).
3. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rusdijas (2007), pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk fraktur adalah:
- Look (inspeksi) : bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
- Feel/palpasi : nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
- Movement/gerakan : gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah “pencitraan” menggunakan
sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi yaitu antero posterior (AP) atau AP
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) atau indikasi
untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru
indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya perlu
tampak seluruh bagian tulang (kedua ujung persendian).
e. Penatalaksanaan Fraktur
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang
supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel
sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi
pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya
kuat dan kembali berfungsi (Corwin, 2010).
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi
(circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi ,
baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan
penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6
jam , bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer,
2000).
Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu sepuluh tahun
terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak kerugian karena
waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk
anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini banyak dilakukan pada orang dewasa (Mansjoer,
2000).
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat dimobilisasi dengan
salah satu cara dibawah ini:
1. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk menangani
fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan
mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk menahan anggota gerak
pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Traksi longitudinal yang
memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah
pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah pelengkungan.
Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang
gemuk memerlukan beban yang lebih besar.
2. Fiksasi interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang
logampada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan pengobatan terbaik untuk
patah tulang pinggul danpatah tulang disertai komplikasi (Djuwantoro, 1997).
3. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang mengalami
cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah
sekeliling tulang (Anonim, 2010).
4. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras
daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan
kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya
pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut (Anonim, 2010).
5. Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang, sehingga
dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan
ini tercakup dalam tiga keputusan yang sederhana: reduksi, mempertahankan dan lakukan
latihan.
Menurut (Carter, 2003) jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di sekitarnya juga
rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat dan
bekuan darah akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah akan membentuk
jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) dan
berdiferensiasi menjadi krodoblas dan osteoblas. Krodoblas akan mensekresi posfat, yang
merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur.
Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen tulang
dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula
oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.
Kesimpulan
Sopir, laki – laki, 30 tahun mengalami multiple trauma berupa fraktur tertutup costae 9, 10, 11
dekstra dan femur sinistra akibat kecelakaan lalu lintas dengan komplikasi tension pneumothorax
dan syok hemorragik.