Kumpulan Materi Hukum Humaniter

download Kumpulan Materi Hukum Humaniter

of 38

Transcript of Kumpulan Materi Hukum Humaniter

Apa arti Konflik Bersenjata Non-Internasional ?Oleh : Arlina Permanasari Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.

Dieter Fleck

Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.

Pietro Verri

Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

Hans-Peter Gasser

Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut. Adapun pengertian mengenai konflik non-internasional menurut Statuta Roma dan pembahasannya, silakan membaca makalah Anthony Cullen, The Definition of NonInternational Armed Conflict in the Rome Statute of the International Criminal Court : An Analysis of the Threshold of Application contained in Article 8(2)(f), yang dimuat dalam Jornal of Conflict & Security Law, Oxford University Press, 2008.

Konflik Bersenjata Internasional dan Konflik Bersenjata Non-internasional. Apa bedanya ?Oleh : Arlina Permanasari

Setelah dikemukakan jenis-jenis konflik internasional (international armed conflict) dalam beberapa postingan terdahulu, maka kali ini saya akan menulis tentang konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional (non-international armed conflict), atau yang dapat disebut juga sebagai konflik internal. Bagaimana membedakan ke dua jenis konflik tersebut ? Perbedaan utama antara noninternational armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Mengapa status hukum tersebut demikian penting ? Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai pelaku. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan pelaku dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan pelaku lain yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter). Oleh karena itu dalam non-international armed conflict, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini : Pertama, non-international armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah pemberontak (insurgent). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama perang pemberontakan. Bandingkan dengan pihak bukan negara yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana pihak bukan negara yang dimaksud adalah suatu bangsa (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan. Kedua, dalam non-international armed conflict, pihak bukan negara atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah

merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan pihak bukan negara atau peoples yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu bangsa yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain. Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka non-international armed conflict merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional. Kalau masih bingung, kita dapat melihat contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia. [1] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu bangsa yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (war of national liberation). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka / GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah non-international armed conflict atau konflik internal, atau juga disebut sebagai perang pemberontakan. Apakah konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal itu hanyalah perang pemberontakan saja ? Ternyata terdapat konflik lain yang dapat juga termasuk konflik internal, yakni konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal.[2] Mudah-mudahan penjelasan singkat ini dapat dipahami. Sumber : [1]. Dapat dilihat pada C. van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Pustaka Utama Grafiti, Cetakan IV, 1995; Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, 1990; Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Daru Islam Aceh, Pustaka Utama Grafiti, 1990. [2]. Lihat pada Yves Sandoz, Ch. Swinarski dan Bruno Zimmermann (eds), Commentaru to the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC, Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, 1987, seperti dikutip dalam GPH. Haryomataram, Uraian singkat tentang Armed Conflict (Konflik Bersenjata), Kumpulan Makalah, International Humanitarian Law and Human Rights Law, Penataran

Reguler Hukum Humaniter dan HAM, PSHH-FH USAKTI & ICRC, Cipayung Jawa Barat, 26-31 Oktober 1998, hal. 13-14.

Konflik Bersenjata Internasional. Apa saja jenisnya ? (2)Oleh : Arlina Permanasari Pada tulisan sebelumnya, telah diketahui bahwa berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari tiga jenis situasi, yakni : 1. Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war) maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut (declared/undeclared war); 2. Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak;

serta 3. Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri. Praktek negara menunjukkan situasi konflik bersenjata tidak melulu hanya terdiri dari tiga situasi sebagaimana telah disebutkan di atas, melainkan juga terdapat situasi-situasi baru yang tidak diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Apa saja jenis konflik bersenjata internasional yang baru ? Berakhirnya Perang Dunia II memunculkan paradigma baru yang menimbulkan adanya perlawanan dari bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka dan melepaskan dirinya dari cengkeraman penjajahan atau kolonialisme. Secara sederhana, hal ini dapat dilihat dari perbedaan jumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa pada masa awal pembentukannya dan jumlah keanggotaan PBB saat ini. Apa yang terjadi dalam kurun waktu itu, tercermin pula pada ketentuan Hukum Humaniter, yakni pada Protokol Tambahan I 1977 yang mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan ini merupakan penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949, karena Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur jenis-jenis konflik yang timbul setelah Perang Dunia II. Nah, apa saja jenis-jenis konflik bersenjata yang diatur dalam Protokol Tambahan I, yang merupakan jenis konflik yang baru tersebut ? Coba kita perhatikan apa yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Protokol Tambahan I : Pasal 1. Prinsip-prinsip umum dan ruang lingkup penerapan (3). Protokol ini, yang melengkapi Konvensi-konvensi Jenewa 1949, harus berlaku dalam situasi-situasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 common article Konvensi Jenewa; (4). Situasi-situasi yang tercantum dalam ayat di atas termasuk konflik bersenjata di mana bangsa-bangsa melawan dominasi kolonial, atau pendudukan asing atau rejim rasialis dalam rangka melaksanakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination), sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB. Berdasarkan ketentuan ayat (3) Pasal 1 Protokol Tambahan I, maka telah jelaslah bahwa Protokol Tambahan I ini juga berlaku untuk situasi-situasi konflik bersenjata internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 2 common article Konvensi Jenewa 1949; dengan kata lain, tiga jenis situasi peperangan yang disebutkan di awal tulisan ini merupakan situasi yang diatur oleh Protokol Tambahan I. Sedangkan ketentuan ayat (4) Pasal 1 Protokol Tambahan I merupakan ketentuan yang mencantumkan adanya jenis-jenis konflik bersenjata internasional yang baru, yang disebut dengan :

penjajahan (colonial domination)

pendudukan asing (alien occupation) rejim rasialis (racist regime)

Berdasarkan Komentar Protokol, maka ketiga jenis situasi perang di atas disebut dengan perang tentang kemerdekaan nasional (war of national liberation). Perhatikan bahwa frasa dalam ayat (4) mencantumkan bangsa-bangsa sebagai suatu pihak yang terlibat konflik yang berjuang melawan negara atau bangsa lain yang menjajah negara tersebut. Dalam tulisan selanjutnya, akan dibahas tentang pengertian dari perang tentang kemerdekaan nasional.

Konflik Bersenjata Internasional. Apa saja jenisnya ? (3)Oleh : Arlina Permanasari

Dalam postingan terdahulu, telah dikemukakan jenis-jenis konflik bersenjata internasional (lihat tulisan Konflik Bersenjata Internasional. Apa saja jenisnya ? Bagian 1 dan Bagian 2). Pada tulisan akhir mengenai jenis-jenis konflik bersenjata internasional ini, akan dikemukakan satu lagi jenis konflik bersenjata yang dapat digolongkan ke dalam konflik bersenjata internasional, yang disebut dengan internationalized internal armed conflict. Apa maksudnya ? Mari kita perhatikan pendapat Pietro Verri : Suatu konflik non-internasional (atau konflik internal), dapat dianggap (menjadi) konflik bersenjata yang bersifat internasional apabila telah terpenuhi syarat-syarat berikut : 1. Jika suatu negara yang berperang melawan pasukan pemberontak di dalam

wilayahnya telah mengakui pihak pemberontak tersebut sebagai pihak yang bersengketa (belligerent); 2. Jika terdapat satu atau lebih negara asing yang memberikan bantuan kepada salah satu pihak dalam konflik internal, dengan mengirimkan Angkatan Bersenjata resmi mereka dalam konflik yang bersangkutan; dan 3. Jika terdapat dua negara asing, dengan Angkatan Bersenjata masing-masing melakukan intervensi dalam suatu negara yang sedang terlibat konflik internal, di mana masing-masing angkatan bersenjata tersebut membantu pihak yang saling berlawanan. sumber : Pietro Verri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, hal. 35.

Pengertian Konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949Oleh : Arlina Permanasari

Dalam Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan hanya diatur di dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 (common article). Bagaimana pengertian dalam Pasal 3 mengenai konflik bersenjata non-internasional ? Ikuti penjelasan berikut. Pengertian konflik bersenjata non-internasional dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang BUKAN merupakan konflik bersenjata internasional. Sayang sekali Pasal 3 Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan armed conflict not of an international character tersebut, sehingga hal ini menimbulkan penafsiran yang sangat luas.

Oleh karena tidak terdapat suatu definisi baku secara yuridis, maka sebagai pedoman agar penafsiran kita terhadap maksud frasa tersebut tidak terlalu jauh menyimpang, kita harus melihat apa yang dimaksudkan dengan konflik yang tidak bersifat internasional ini pada Commentary atau komentar Konvensi Jenewa. Komentar ini merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan dan pendapat para ahli yang terjadi pada saat pembentukan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan Konvensi Jenewa 1949. Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa : Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata (armed conflict), dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karenanya tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranya bermanfaat untuk diperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, di pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa. bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler (angkatan bersenjata) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional; Adapun Pemerintah de jure tempat di mana pemberontak tersebut berada : a). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; b). telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; c). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan d). bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi; Adapun pihak pemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki : a). suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai negara; b). penguasa sipil (civil authority) dari pemberontak tersebut dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu; c). Bahwa pasukan pemberontak tersebut melakukan operasi-operasi militernya di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut; Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi.

Atas adanya usul yang memuat syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka menurut Jean Pictet, usulan tersebut bermanfaat sebagai suatu sarana untuk membedakan suatu sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan kekerasan bersenjata lainnya seperti tindakan para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang

tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection). Sumber : Arlina Permanasari, et.all., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 140142.

Pengertian Konflik bersenjata non-internasional menurut Protokol Tambahan II, 1977Oleh : Arlina Permanasari Konflik bersenjata non-internasional, konflik internal, atau perang pemberontakan, selain diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, diatur pula dalam perjanjian lainnya yaitu Protokol Tambahan II, 1977. Hal ini dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 1 Protokol II 1977 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1). Protokol ini, yang mengatur dan melengkapi Pasal 3 Konvensikonvensi Jenewa 1949 tanpa memodifikasi syarat-syarat penerapannya, harus diterapkan pada semua konflik bersenjata yang tidak diatur dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I tahun 1977 dan pada semua konflik bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara peserta Protokol, antara angkatan bersenjata negara tersebut dan pasukan pembelot atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir lainnya, yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melaksanakan pengawasannya terhadap sebagian wilayah teritorial negara dan dapat melaksanakan operasi militer yang berlanjut dan serentak serta dapat melaksanakan Protokol ini. Pasal 1 ayat (2). Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi kekerasan dan

ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai maksudnya, maka hal tersebut perlu dilihat pada Komentar Protokol, yaitu hasil persidangan yang diadakan pada waktu Konferensi Diplomatik menjelang pembentukan Protokol ini. Dalam Komentar Pasal 1 Protokol II terdapat penjelasan sebagai berikut : Karena Protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan noninternational armed conflict dan mengingat bahwa konflik-konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus dari konflik tersebut. Mengingat bahwa sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-internasional dapat terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara. Namun, di samping itu, sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah. Selanjutnya, di dalam Komentar tersebut dapat kita ketahui, ternyata terdapat dua macam usulan untuk merumuskan apa pengertian konflik bersenjata non-internasional. Usulanusulan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, membentuk suatu prosedur untuk menentukan secara obyektif apakah telah terjadi suatu konflik bersenjata non-internasional; Ke dua, mengklarifikasi konsep tentang konflik bersenjata non-internasional, misalnya menentukan sejumlah elemen material yang konkrit, sehingga bila unsurunsur ini terpenuhi maka pemerintah yang bersangkutan tidak lagi mengingkari bahwa suatu konflik bersenjata non-internasional telah terjadi.

Menurut Komentar Protokol, tentu saja alternatif pertama, yaitu untuk membentuk suatu prosedur obyektif dalam hal menentukan apakah telah terjadi konflik bersenjata noninternasional, adalah selalu lebih sulit. Oleh karena itu alternatif kedua yang lebih dipilih oleh para peserta Konferensi Diplomatik, yaitu untuk menentukan suatu formulasi definisi. Ini mengingat bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 seringkali diingkari dan tidak diakui karena tidak adanya suatu definisi tentang konflik bersenjata non-internasional. Banyak usulan yang diajukan sehubungan dengan alternatif kedua, di mana akhirnya terdapat tiga perhatian yang harus dibahas oleh peserta Konferensi; yaitu :

menentukan ambang batas tertinggi dan terendah dari konflik bersenjata non-

internasional;

menentukan unsur-unsur konflik bersenjata non-internasional; menjamin bahwa penerapan pasal 3 tetap berlaku.

Apa yang dimaksud dengan hal tersebut ? Ikuti penjelasan Komentar Protokol berikut ini :

Ambang batas tertinggi dan terendah konflik bersenjata non-internasional

Ambang batas tertinggi ditentukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949. Usulan ini kemudian dilengkapi dengan mengacu pula kepada Pasal 1 Protokol I, 1977. Hal ini kiranya telah jelas, karena ke dua ketentuan tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Jadi, suatu konflik internal, intensitas konflik dan unsur-unsur lainnya, harus berada di bawah intensitas konflik bersenjata internasional. Ambang batas terendah adalah situasi-situasi sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (2) dari Protokol II, yaitu situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya.

Menentukan unsur-unsur konflik bersenjata non-internasional

Pada awalnya, ICRC mengajukan suatu definisi yang luas mengenai kriteria substansi yang dimaksud dengan konflik bersenjata non-internasional ; yaitu adanya suatu konfrontasi antara angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, yang mana kelompok tersebut harus memiliki dengan derajat minimum sebagai suatu organisasi. Namun usulan ini sulit diterima secara konsensus. Oleh karena itu terdapat sejumlah usulan-usulan lain, dan akhirnya ada tiga kriteria yang dapat diterima oleh para pihak yang berunding untuk menentukan unsur-unsur adanya suatu gerakan pemberontakan, yaitu : 1. Adanya komando yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya; 2. Kelompok bersenjata yang terorganisir tersebut dapat melakukan pengawasan terhadap sebagian wilayah naisonal sehingga memungkinkan mereka melakukan operasi militer secara berlanjut dan serentak; 3. Kelompok bersenjata tersebut mampu untuk melaksanakan Protokol. Adanya persyaratan tersebut membatasi berlakunya Protokol terhadap suatu konflik noninternasional pada suatu intensitas tertentu. Ini berarti tidak semua kasus konflik bersenjata non-internasional diatur oleh Protokol II. Protokol II ini hanya mengatur konflik bersenjata non-internasional dengan persyaratan tersebut di atas; dan tidak termasuk konflik bersenjata non-internasional seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Dengan perkataan lain, syarat yang diminta menurut Protokol II adalah lebih tinggi; tidak seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa yang bersifat umum.

Dengan demikian pada hakekatnya pada setiap konflik bersenjata non-internasional, maka Pasal 3 Konvensi Jenewa dapat diberlakukan; akan tetapi untuk memberlakukan Protokol II diperlukan sejumlah persyaratan pada kelompok-kelompok perlawanan bersenjata sebagaimana dijelaskan di atas. Atau kemungkinan lain, Protokol II tersebut telah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan.

Penjajahan (Kolonialisme) : Konflik Bersenjata Internasional yang sudah dihapuskan dari muka bumiOleh : Arlina Permanasari

Dalam postingan sebelumnya, telah dikemukakan adanya bentuk-bentuk konflik bersenjata internasional baru yang timbul di masa Perang Dunia I dan berlanjut selama Perang Dunia II. Salah satunya dikenal dengan sebutan colonial domination atau dominasi kolonial; dominasi penjajahan.

Apa maksud colonial domination ?

Istilah dominasi kolonial menggambarkan adanya perjuangan suatu bangsa untuk memerdekakan dirinya sendiri dan untuk itu mereka harus berjuang mengangkat senjata melawan dominasi penjajahan dari bangsa lainnya. Kiranya tidak diperlukan penjelasan panjang lebar lagi mengenai apa yang dimaksudkan dengan penjajahan. Cukuplah kita mengingat sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri, di mana bangsa Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun (!!!); dan juga pernah mencicipi pendudukan dari Saudara Tua, Jepang. Pada waktu itu, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam suku, kebudayaan dan agama, namun memiliki kemauan politik dan tekad sebagai suatu bangsa Indonesia, berusaha mati-matian melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Inilah hakekat dari dominasi kolonial. Ada suatu bangsa (dari negara lain, dalam hal ini Belanda) yang menjajah bangsa lain yang belum merdeka (bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia saat itu berjuang melawan Belanda, dalam rangka menentukan nasib sendiri yakni untuk merdeka, berdaulat dan sederajat dengan negara-negara lainnya.

Titik awal : Perjanjian Westphalia, 1648

Ungkapan kolonialisme membawa kita kembali ke alam lalu hingga bertemu dengan suatu instrumen hukum yang sangat populer yang disebut dengan Perjanjian Perdamaian Westphalia. Perjanjian Westphalia terkenal sebagai perjanjian yang mengakhiri Perang

Tiga Puluh Tahun antara suku-suku bangsa di Eropa. Sebelumnya, banyak sekali terjadi peperangan seperti Perancis vs Spanyol, Perancis vs Belanda, Swiss vs Jerman, Spanyol vs Belanda, dan sebagainya. Dengan adanya Perjanjian Westphalia yang disepakati tahun 1648, menurut Hikmahanto Juwana, setidaknya ada empat hal yang dihasilkan dari perjanjian ini, yaitu : 1. Meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik; 2. Mengakhiri upaya untuk menegakkan imperium Romawi (Holy Roman Empire); 3. Sekularisasi antara Negara dengan Gereja; 4. Kemerdekaan Nederland, Swiss dan Negara-negara kecil di Jerman diakui. Dalam situsnya, Jeremi Asjena mengatakan bahwa meskipun demikian apa yang disebut dengan negara-bangsa (nation-states) baru muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke19. Negara bangsa adalah suatu konsep yang menunjukkan adanya negara-negara yang lahir karena semangat nasionalisme untuk meraih kemerdekaan hakiki sebagai suatu negara. Semangat ini timbul pertama kali di Eropa dalam bentuk nasionalisme romantik, seiring dengan timbulnya Revolusi Perancis serta penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Selanjutnya dikatakan oleh Asjena bahwa gerakan nasionalisame pada waktu itu bersifat separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah jatuhnya Napoleon, Konggres Wina (1814-1815) memutuskan bahwa Belgia yang sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik Belanda dan baru lima belas tahun kemudian menjadi negara yang merdeka; atau Revolusi Yunani (1821-1829) yang berusaha melepaskan Yunani dari kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki. Sementara itu, di belahan Eropa lainnya, nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan kembali daerah yang terpecah-pecah. Italia misalnya, di bawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour dan Giuseppe Garibaldi, mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara kebangsaan pada tahun 1848. Di Jerman sendiri, kelompok negara-negara kecil akhirnya membentuk suatu negara kesatuan Jerman yang disebut Prusia (1871) dibawah pimpinan Otto von Bismarck. Demikian pula dengan negara-negara kecil lainnya di bawah kekuasaan kekaisaran Austria membentuk negara bangsa sejak awal abad 19; dan Revolusi di Rusia tahun 1917 telah melahirkan bangsa-bangsa Rusia. Semangat nasionalisme telah menyebar ke seluruh dunia dan mendorong negara-negara Asia-Afrika untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Hal itu terjadi setelah Perang Dunia I dan selama Perang Dunia II. Hanya dalam waktu dua puluh lima tahun pasca Perang Dunia II, lahirlah sekitar 66 negara-bangsa baru, dan Indonesia termasuk salah satu diantaranya.

Komite 24 : Special Committe on Decolonization

Penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan. Apapun alasannya. Untuk itulah dibentuk suatu Komite Khusus di PBB yang mandat utamanya adalah untuk menghapuskan kolonialisme di muka buni ini, dan itulah tugas Komite 24.

Peta dunia thn 1945 (warna merah : daerah koloni) Menurut PBB, pada waktu organisasi tersebut dibentuk tahun 1945, terdapat sekitar 750 juta penduduk (hampir sepertiga dari jumlah penduduk dunia) hidup dalam wilayah jajahan dan tidak-berpemerintahan sendiri (non-self governing territories). Jumlah tersebut menyusut drastis hingga kini tinggal 2 juta penduduk saja. Bab XI (Pasal 73 dan 74) Piagam PBB mencantumkan prinsip-prinsip dasar bagi kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, termasuk penghormatan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri. PBB membentuk International Trusteeship System (Sistem Perwalian Internasional) sebagaimana tercantum dalam Bab XII (Pasal 75-85 ) Piagam PBB serta Trusteeship Council (Dewan Perwalian) dalam Bab XIII (Pasal 86-91) untuk mengawasi wilayah yang disebut Trust Territories (Daerah Perwalian). Setiap daerah perwalian ini tunduk pada perjanjian dengan Negara yang mengelolanya, yang secara resmi berada dalam mandat Liga Bangsa-bangsa, atau yang terpisah dari negara dalam Perang Dunia II, atau yang secara sukarela berada dalam Sistem Perwalian Internasional. Terdapat sebelas wilayah yang berada dalam sistem ini. Peta dunia thn 2000 Sejak terbentuknya PBB, lebih dari 80 wilayah kolonial telah memperoleh kemerdekaannya, di antaranya sebelas Wilayah Perwalian yang meraih hak untuk menentukan nasib sendiri melalui kemerdekaan atau bergabung secara bebas dengan negara merdeka lainnya, sehingga hanya tinggal 16 non-self governing territories saja saat ini. Untuk mempercepat proses dekolonisasi tersebut, Majelis Umum PBB merumuskan Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples pada tahun 1960. Lebih dikenal sebagai Deklarasi tentang Dekolonisasi, deklarasi ini menyatakan bahwa semua bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan menyatakan bahwa kolonialisme harus segera dihentikan. Di tahun 1962, Majelis Umum PBB mendirikan Special Committee on Decolonization untuk mengawasi pelaksanaan Deklarasi tentang Dekolonisasi dan untuk membuat rekomendasi atas pelaksanaan deklarasi tersebut. Tiga tahun berikutnya, dihasilkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2105 (XX) tentang Implementation of the Declaration

on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, pada tanggal 20 Desember 1965. Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mencanangkan bahwa periode tahun 1990-2000 sebagai periode International Decade for the Eradication of Colonialism dan menghasilkan suatu rencana aksi untuk mewujudkannya. Pada tahun 2001, Second International Decade for the Eradication of Colonialism kembali dicanangkan dan praktis hingga akhir tahun 2008, tidak ada negara yang berada di bawah dominasi kolonial negara lain. Setiap bangsa, berhak untuk merdeka

Perang Pemberontakan : Hukum apa yang berlaku ?Oleh : Arlina Permanasari

Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan, maka pertanyaan yang sering dilontarkan adalah : hukum apa yang berlaku ? Dalam hal ini terdapat masalah hukum yang perlu diperhatikan dengan saksama. Masalah hukum tersebut adalah : 1. Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ? Siapakah yang menentukan hal ini ? 2. Apabila dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diberlakukan adalah Protokol II, apakah ada jaminan bahwa pemberontak akan mematuhi Protokol itu ? (Kekhawatiran ini pantas dikemukakan karena para pemberontak bukanlah pihak pada Konvensi Jenewa dan Protokol). Bagaimanakah bila mereka tidak mentaati ketentuan pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol ? a). Ketentuan mana yang berlaku ? Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, dari penjelasan pada tulisan sebelumnya, maka apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja. Hal ini dapat dilihat dalam Commentary Protokol yang menyatakan sebagai berikut :[1] Thus, in circumstances where the conditions of application of the Protocol are met, the Protocol and common Article 3 will apply simultaneously, as the Protocols field of application is included in the broader one of common article 3. On the other hand, in a conflict where the level of strive if low, and which does not contain the characteristic features required by Protocol, only common article 3 will apply. Jadi, sekali telah terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka pada saat itu pulalah berlaku Pasal 3 Konvensi Jenewa. Jadi pasal 3 ini bersifat otomatis, tanpa harus memenuhi suatu unsur atau syarat tertentu. Namun walaupun para ahli menyetujui memberlakukan Pasal 3 Konvensi Jenewa pada konflik-konflik yang intensitasnya rendah, namun praktek negara menunjukkan bahwa negara hanya berkehendak untuk menerapkan Pasal 3 ini dalam konflik-konflik yang memiliki intensitas tertentu saja.[2]

b). Siapakah yang menentukan ? Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka Protokol tidak menentukan ketentuan manakah yang berlaku. Tidak ada pula ketentuan dalam hukum humaniter lainnya yang mengatur hal ini.[3] Oleh karena itu, terdapat beberapa pendapat dari para ahli : 1. Menurut Alberto Muyot :[4]

melihat kepada pertimbangan umum negara-negara bahwa mereka menyatakan tidak ada suatu otoritas pun yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol dapat berlaku mengikat pada suatu situasi tertentu, maka konsekuensinya, Pemerintah dari negara di mana terjadi sengketa bersenjata non-internasional ini harus menggunakan haknya untuk menyatakan apakah kekerasan yang terjadi itu telah mencapai suatu intensitas yang diperlukan, untuk menerapkan Protokol ini

2. Menurut Fritz Kalshoven :[5]

Terdapat pula pertimbangan umum yang menyatakan bahwa tidak satu pun otoritas yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol berlaku untuk suatu situasi tertentu. Oleh karena itu, hal ini lebih banyak tergantung kepada iktikad baik pemerintah negara yang bersangkutan, atau pula pada tekanan dunia luar.

Dengan melihat ke dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menentukan hukum manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional adalah : Pemerintah dari negara yang bersangkutan. Namun, sebagaimana diungkapkan di awal bagian ini, bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara enggan memberlakukan Protokol dengan mengajukan berbagai alasan. Keengganan ini dikarenakan kekhawatiran negara bahwa pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerent kepada pemberontak. Tidak itu saja, bahkan negara-negara juga enggan untuk memberlakukan Konvensi Jenewa, karena dengan penafsirannya yang meluas pada berbagai macam jenis konflik internal, membuat negara-negara menolak menerapkannya (Seperti yang terjadi dewasa ini, ada berbagai jenis konflik internal dengan berbagai sebutan, seperti : international armed conflict, internal conflict of an armed character, internationalized-internal conflict, internal strife accompanied by violence, internal tensions not accompanied by violence, dan lainlain).[6] c). Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ? Dalam Commentary, disebutkan pula mengenai persoalan ini; yaitu :[7] the commitment made by a State not only applies to the government but also to any established authorities and private individuals within the national territory of that State, and certain obligations are therefore imposed on them. The extent of rights and duties of private individuals is therefore the same as that of the rights and duties of the State.

If an insurgent party applies article 3 so much the better for the victims of the conflict. No one will complain. If it does not apply it, it will prove that those who regard its (the insurgents) action as mere acts of anarchy or brigandage are right. Dengan demikian, maka persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut. Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.*** Sumber : [1] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), Commentary to the Additional Protocols of 8 June1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC, Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, 1987, hal. 1350. [2] Jole Nguyn Duy-Tn, The Law Applicable to Non-International Armed Conflicts, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law : Achievements and Prospects, UNESCO, France, 1991, pp. 795-796. [3] Lihat GPH. Haryomataram, op.cit., p. 18. [4] Alberto Muyot, The Humanitarian Law on Non-International Armed Conflicts : Common Article 3 and Protocol II, 1994, p. 57 dalam ibid., p. 18 [5] Fritz Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, Second Edition, May 1991, hal. 138. [6] Theodor Meron, Human Right in Internal Strife : Their International Protection, dalam GPH. Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 20. [7] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), op.cit., hal. 21. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 157-160.

Rapor Merah dan Daftar Hitam Dosa-dosa Israel (1)Oleh : Arlina Permanasari Mengikuti serangan udara dan darat yang dilakukan Israel terhadap wilayah Gaza di Palestina, kecaman dan kutukan mengalir deras ke negara Zionis tersebut dari berbagai pelosok dunia! Tidak diragukan lagi, tidak ada satu negarapun yang sebenarnya setuju dengan pendudukan asing yang dilakukan oleh Israel. Akan tetapi negara-negara terlalu takut untuk berbuat, termasuk Amerika Serikat, negara yang paling digdaya diseantero

jagat saat ini, bungkam seribu bahasa! Barack Obama yang flamboyan itu, masih terlihat datar-datar saja hingga saat ini. Jangan tanya lagi mengenai pelanggaran apa saja yang telah dilakukan oleh Israel. Setelah blogwalking kemarin, ada sejumlah daftar pelanggaran yang dilakukan Israel yang mungkin bermanfaat untuk dibagikan di sini, yang saya peroleh dari Israel Law Resource Center. Mungkin Anda perlu beberapa jam untuk benar-benar mengerti semua dosa-dosa yang dilakukan Israel dengan berkunjung langsung ke sana. Berikut disampaikan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina : Selama kurun waktu pembentukan negara Israel (1947-1954), Israel telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti :

Pemilikan tanah secara illegal yang dilakuan dengan kekerasan bersenjata : Israel mengambil tanah Palestina yang didudukinya selama perang tahun 1948. Melarang penduduk sipil atas hak mereka untuk kembali ke tanah airnya setelah konflik bersenjata berakhir : Pemerintah Israel memberlakukan hukum dan memerintahkan pasukan militernya untuk menahan sekitar 750.000 orang Palestina agar mereka tidak pulang ke tanah air mereka. Israel juga melanggar resolusiresolusi PBB memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak penduduk Palestina untuk pulang kembali ke rumah mereka masing-masing. Memindahkan penduduk secara ilegal : Israel telah mendirikan pemukiman dan menempatkan ratusan warga negara Israel di wilayah pendudukan yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan PBB dalam UN Partition Plan. Penghancuran rumah-rumah ibadah, dan menekan menteri agama dalam urusan kepercayaan mereka : Israel telah menghancurkan masjid-masjid kaum muslimin dan ikut campur dalam urusan pemuka agama mereka. Israel mempraktekkan hukuman kolektif : Israel selalu mengulang praktek-praktek hukuman kolektif terhadap warga Palestina atas tindakan pemberontakan mereka, di mana seluruh komunitas Palestina dihukum karena tindakan dari beberapa orang saja.

Catatan : Selanjutnya dinyatakan bahwa sebenarnya UN Partition Plan yang dibentuk oleh PBB itu sendiri tidak adil sama sekali, karena rencana tersebut memberikan lebih dari separuh tanah Palestina (lebih dari 55%) kepada Israel yang saat itu merupakan minoritas di daerah tersebut (16% populasi), dan mereka saat itu hanya memiliki 6% dari wilayah Palestina! Akan tetapi UN Partition Plan tersebut, menurut situs ini, tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum internasional karena dihasilkan dari resolusi Majelis Umum PBB sesuai dengan prosedur. Dalam kurun waktu tersebut di atas, Israel juga melakukan pelanggaranpelanggaran yang berkaitan dengan masalah-masalah ketatanegaraan, seperti :

Praktek-praktek ilegal mengenai hukuman kolektif. Praktek-praktek rasisme : Salah satu tujuan utama dari organisasi kaum Zionis adalah untuk membentuk suatu negara Yahudi, di mana rakyat Yahudi mendapatkan tempat perlindungan, menguasainya dan hidup sejahtera. Israel kemudian membentuk aturan-aturan yang mengutamakan keuntungan-keuntungan hanya kepada rakyat Yahudi saja. Sebagaimana diketahui, mengutamakan keuntungan hanya kepada satu kelompok penduduk saja berdasarkan suatu kriteria seperti agama adalah merupakan praktek rasisme. Dan walaupun pemimpin kaum Zionis berpandangan kebijakan tersebut dibuat untuk melindungi rakyat Yahudi, hal tersebut tetap merupakan praktek rasisme yang merupakan praktek yang bertentangan dengan hukum dan harus dihentikan dengan alasan apapun. Praktek apartheid : Israel telah membentuk suatu sistem yang melegalkan praktek diskriminasi terhadap orang-orang Palestina, praktek mana sesuai dengan pengertian apartheid menurut PBB. Mencerai-beraikan kesatuan keluarga orang-orang Arab : Tahun 2003, Parlemen Israel (Knesset) mengeluarkan suatu aturan yang melarang pasangan (suami-istri) warga negara keturunan Arab yang berada di wilayah pendudukan untuk mengunjungi keluarga mereka di Israel (dengan perkecualian). Agenda tersembunyi dari hal ini adalah untuk secara perlahan-lahan membentuk wilayah mayoritas untuk orang-orang Yahudi.

Adapun selama pendudukan sejak tahun 1967 hingga saat ini, Israel telah melakukan pelanggaran-pelanggaran :

Pendudukan militer secara ilegal : Pendudukan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina merupakan tindakan yang ilegal. Operasi dan pendudukan militer dianggap sah hanya jika dilakukan berdasarkan self-defense atau ditujukan untuk kemanfaatan penduduk asli yang mendiami wilayah tersebut. Akan tetapi jelas bahwa pendudukan Israel merupakan tindakan yang ilegal karena Israel telah melakukan praktek-praktek :

a). pengambilan dan pemilikan tanah Palestina dengan kekerasan; b). eksploitasi ekonomi di wilayah pendudukan yang menguntungkan mereka sendiri yang diikuti dengan pembentukan hukum lokal secara ekstensif, pembentukan pemukiman warga Israel dan pendirian dinding pemisah yang dibangun ditengah-tengah pemukiman warga Palestina sehingga memotong akses warga Palestina terhadap keluarga mereka dan fasilitas-fasilitas publik lainnya, yang merupakan pelanggaran terhadap hak menentukan sendiri yang dimiliki bangsa Palestina; serta c). tindakan tidak berperikemanusiaan terhadap pemberontak yang dilakukan dengan cara memberikan hukuman kolektif dan pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap warga Palestina secara ekstensif.

Israel kembali melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan dalam kurun-kurun waktu sebelumnya.

Israel melakukan tindak pidana genosida terhadap rakyat Palestina : Bukti-bukti menunjukkan bahwa maksud utama Israel adalah untuk mengenyahkan penduduk Palestina ke luar wilayah tanah air mereka sendiri. Memang hal ini luput dari definisi genosida. Akan tetapi, terdapat pula bukti-bukti lainnya bahwa Israel bermaksud untuk menghancurkan masyarakat, kebudayaan dan perekonomian orang-orang Palestina yang menolak untuk meninggalkan wilayah mereka. Hal ini sudah dapat digolongkan sebagai tindak pidana genosida.

Di samping pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan di atas, Israel sekaligus telah pula melakukan pelanggaran hukum internasional secara umum, yakni :

Pelanggaran HAM : Israel secara signifikan telah melanggar HAM warga Palestina dengan memberlakukan sistem Apartheid, dan di wilayah pendudukan memberlakukan sistem politik kekerasan, eksploitasi ekonomi dan praktek-praktek pemberlakuan hukum yang tidak berperikemanusiaan yang ditujukan kepada pemberontak Palestina. Israel melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap resolusi-resolusi PBB : Israel telah melanggar 28 resolusi Dewan Keamanan PBB (yang sebenarnya memiliki sifat mengikat secara hukum / legally binding terhadap negara-negara anggota PBB termasuk Israel!), dan telah pula melanggar hampir 100 resolusi Majelis Umum PBB (yang walaupun tidak bersifat legally-binding akan tetapi menggambarkan kemauan masyarakat internasional). Israel juga melakukan pelanggaran terhadap advisory opinion dari Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2004 yang mengutuk pendirian dinding pemisah yang dibangun melalui Tepi Barat. Israel melakukan praktek pembersihan etnis : Organisasi Zionis, sebelum berdirinya negara Israel, dan kemudian Pemerintah Israel, telah mempraktekkan berbagai macam bentuk pembersihan etnis sejak Zionis datang ke bumi Palestina pada awal tahun 1900-an. Alasan awal mereka mengatakan hal tersebut adalah untuk melindungi kaum Yahudi yang saat itu minoritas, adalah palsu belaka karena ternyata alasan jangka panjang mereka adalah untuk menjadikan kaum Yahudi sebagai mayoritas, sehingga mereka dapat melaksanakan suatu pemerintahan demokratis di mana mereka sebagai dominasinya. Pembersihan etnis dianggap sebagai pelanggaran berat hukum internasional.

Rapor Merah dan Daftar Hitam Dosa-dosa Israel (2)Oleh : Arlina Permanasari Instrumen-instrumen hukum apa saja yang telah dilanggar oleh Israel ? Melanjutkan postingan sebelumnya, maka berikut ini disampaikan ketentuan-ketentuan hukum yang telah dilanggar oleh Israel berdasarkan Israel Law Resource Center. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap : I. Terhadap pemilikan tanah secara paksa (illegal acquisition of land by force), Israel

telah melanggar ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok : 1. Pemilikan wilayah yang dilakukan dengan kekerasan bersenjata / militer adalah ilegal; 2. Pendudukan militer (baik yang sah maupun yang tidak sah) tidak boleh mengakibatkan beralihnya kedaulatan wilayah yang diduduki kepada Penguasa Pendudukan. B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB; 2. Prinsip I Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970; 3. Pasal 43 dan 55 Regulasi Den Haag, 1907; 4. Pasal 47 dan 54 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949. II. Terhadap larangan atas hak warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka setelah perang usai (right to return to home), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Para pihak pendudukan militer, disyaratkan harus membolehkan penduduk sipil untuk kembali ke rumah mereka masing-masing, apapun alasan kepulangan mereka itu.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 45, 46, dan 49 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 2. Pasal 85 ayat (4d) Protokol Tambahan I tahun 1977. C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa : 1. Pasal 11 Resolusi Majelis Umum PBB No. 194 (III) tahun 1948; 2. Pasal 1 Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 237 tahun 1967. D. Dokumen lainnya, yakni Undang-undang nasional Israel : 1. Absentees Property Law (1950); 2. Prevention of Infiltration Law (1954). III. Terhadap pemindahan penduduk secara ilegal (illegal population transfer), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Adalah merupakan tindakan yang ilegal bagi penguasa pendudukan untuk memindahkan penduduk dari negaranya dalam jumlah yang signifikan ke dalam wilayah yang diduduki.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 49 ayat (6) Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 2. Pasal 85 ayat (4a) Protokol Tambahan I, 1977. C. Reaksi masyarakat internasiona yang berupa : 1. Resolusi-resolusi PBB; 2. Advisory Opinion dari ICJ mengenai pemukiman ilegal warga Israel di tanah Palestina yang bertentangan dengan hukum internasional. IV. Terhadap penghancuran rumah ibadah dan turut campur pada mandat menteri agama dari wilayah yang diduduki, Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Tentara dan penguasa pendudukan diharuskan untuk menghormati rumah-rumah ibadah, sekolah dan gedung-gedung kesenian/kebudayaan dan harus membiarkan menteri agama untuk bertugas dan memberikan ceramah keagamaan kepada penduduk sipil, para tawanan perang, dan sebagainya.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 18, 55 dan 56 Regulasi Den Haag, 1907; 2. Pasal 30, 38, 58, 76, 78, 86, 93 dan 142 Konvensi Jenewa IV, 1949; 3. Pasal 85 ayat (4d) Protokol Tambahan I, 1977 C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa Resolusi Dewan Keamanan PBB No : 1. Resolusi No. 46, 17 April 1948 2. Resolusi No. 271, 15 September 1969 3. Resolusi No. 452, 20 Juli 1979 4. Resolusi No. 459, 19 Desember 1979 5. Resolusi No. 672, 12 Oktober 1990 6. Resolusi No. 1073, 28 September 1996 7. Resolusi No. 1322, 17 Oktober 2000. V. Terhadap pelaksanaan hukuman kolektif (illegal practice of collective

punishment), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Tidak seorangpun yang dapat dihukum karena suatu kesalahan yang tidak dia perbuat. Oleh karena itu hukuman kolektif adalah ilegal.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 33 Konvensi Jenewa IV, 1949; 2. Pasal 75 ayat (2d) Protokol Tambahan I, 1977. VI. Terhadap praktek rasisme (practice of racism), Isrel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Ajaran dan praktek rasisme dikutuk oleh masyarakat internasional, termasuk penerapan hukumnya sebagai suatu sistem hukum mengenai diskriminasi yang disebut dengan apartheid.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 1 ayat (1) Kovensi Internasional tentang Penghapusan semua Bentuk Diskriminasi Rasial, 21 Desember 1965; 2. Pasal 1 dan 2 Kovenan Internasional tentang penindasan dan penghukuman tindak pidana Apartheid, 18 Juli 1976; 3. Pasal 2 Deklarasi tentang Konferensi Dunia mengenai Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan ketidaktoleranan yang berkaitan, 8 September 2001. VII. Praktek Apartheid (practice of apartheid), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Apartheid meliputi pelanggaran HAM secara masif yang melanggar hukum internasional. Karena merupakan pelanggaran secara besar-besaran, apartheid dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

B. Hukum Internasional pada umumnya :

Kovenan Internasional tentang penindasan dan penghukuman tindak pidana Apartheid, 18 Juli 1976.

VIII. Terhadap tindakan mencerai-beraikan kesatuan keluarga-keluarga orang Arab (violation of Arab familiy unity), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Prinsip penghormatan terhadap keluarga

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 26 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 2. Pasal 74 Protokol Tambahan I, 1977 3. Pasal 4 ayat (3b) Protokol Tambahan II, 1977. IX. Terhadap perubahan ilegal hukum setempat / hukum lokal (illegal modification of local law), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Penguasa pendudukan diharuskan untuk tidak merubah hukum setempat secara signifikan kecuali untuk keamanannya sendiri atau dalam rangka memberikan keuntungan kepada penduduk di wilayah yang diduduki.

B. Hukum Internasional pada umumnya :

Pasal 43 Regulasi Den Haag, 1907.

X. Terhadap aneksasi de fakto wilayah Palestina secara ilegal (illegal de facto annexation), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Pendudukan militer tidak boleh mengakibatkan didirikannya kedaulatan dari Penguasa Pendudukan di wilayah yang diduduki serta terhadap penduduk di wilayah yang diduduki tersebut; Pengambilalihan wilayah yang diduduki adalah merupakan pelanggaran terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri dari penduduk asli di wilayah tersebut.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, 1945; 2. Pasal 1 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970 mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB; 3. Pasal 43 dan 45 Regulasi Den Haag, 1907; 4. Pasal 54 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 5. Pasal 4 Protokol Tambahan I, 1977. C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa:

Advisory opinion dari ICJ mengenai status hukum dinding pemisah Israel yang dibangun di wilayah Palestina, 2004; terutama alinea 121, 134 dan 137.

XI. Terhadap pelanggaran atas hak untuk menentukan nasib sendiri (selfdetermination), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Penguasa pendudukan harus menghormati kebutuhan rakyat setempat untuk menentukan nasib mereka sendiri kecuali hal tersebut secara signifikan dapat menggerogoti keselamatan penguasa pendudukan.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (4), Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, 1945. 2. Prinsip 1 dan 5 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970; 3. Pasal 1 ayat (1) Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, 16 Desember 1966; 4. Pasal 1 Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 16 Desember 1966; 5. Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I, 8 Juni 1977. C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa:

Ayat ke 88 Advisory opinion dari ICJ mengenai konsekuensi hukum dari pebangunan dinding pemisah di wilayah pendudukan Palestina, 9 Juli 2004.

XII. Terhadap tindak pidana genosida (genocide), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Setelah Perang Dunia II, masyarakat internasional menyetujui bahwa genosida adalah suatu kejahatan yang merupakan pelanggaran terhadap semangat Piagam PBB dan pelanggaran terhadap pembangunan masyarakat yang beradab. Genosida merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat HAM. Oleh karena itu, pada tahun 1948 dibentuk Konvensi Internasional untuk Pencegahan dan Penghukuman kejahatan Genosida.

B. Hukum Internasional pada umumnya : 1. Pasal 2 dan 3 Kovenan Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman kejahatan Genosida, 9 Desember 1948; 2. Pasal 147 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 3. Pasal 85 Protokol Tambahan I, 1977. XIII. Terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM (human rights violations), Isrel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan :

A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Penguasa pendudukan harus menghormati HAM dari penduduk setempat kecuali hal tersebut secara signifikan dapat mempengaruhi keselamatannya.

B. Hukum Internasional pada umumnya :

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 55 Piagam PBB, 10 Desember 1945; Pasal 1 dan 2 Deklarasi Universal HAM; Pasal 1 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 16 Desember 1966; Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 16 Desember 1966; Pasal I dan II Kovenan Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman tindak pidana Apartheid, 18 Juli 1976; Prinsip 5 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970; Pasal 72 79 Protokol Tambahan I, 1977.

C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa:

Resousi PBB serta Advisory opinion ICJ mengenai dinding pemisah yang menegaskan bahwa hukum HAM internasional berlaku pada saat perang dan berlaku pula pada kasus pendudukan Israel atas wilayah-wilayah Palestina (ayat 105, 106, 110, 112 dan 113).

XIV. Terhadap pelanggaran-pelanggaran resolusi-resolusi PBB, Israel melanggar ketentuan : A. Prinsip-prinsip hukum pokok :

Anggota PBB telah menandatangani kontrak dengan PBB bahwa mereka akan mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB (lihat Pasal 25 Piagam PBB). Israel telah melanggar sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dan telah mengabaikan banyak resolusi dari Majelis Umum PBB, serta advisory opinion ICJ tahun 2004 yang menyatakan bahwa pendirian dinding pemisah Israel bertentangan dengan hukum internasional, dan oleh karena itu harus segera dibongkar, serta memerintahkan agar penduduk Palestina yang menderita akibat pembangunan dinding tersebut harus diberikan ganti rugi.

B. Hukum Internasional pada umumnya :

Pasal 25 Piagam PBB, 26 Juni 1945

C. Reaksi masyarakat internasional yang berupa:

Serangkaian resolusi-resolusi PBB; Ayat 137, 149-159 dari advisory opinion ICJ tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembangunan dinding pemisah adalah ilegal dan harus segera dihentikan dengan segera, dan semua orang yang menderita kerugian akibat pendirian dinding pemisah terebut harus diberikan ganti rugi.

XV. Terhadap tindak pidana pembersihan etnis (practice of ethinic cleansing), Israel telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan : 1. Pasal 49 Konvensi Jenewa ke-IV, 1949; 2. Pasal 85 ayat (4a) Protokol Tambahan I, 1977.

Rejim Rasis. Masih adakah ? (1)Oleh : Arlina Permanasari Salah satu konflik bersenjata internasional yang diatur dalam Protokol Tambahan I 1977 selain colonial domination dan alien occupation, adalah racist regime atau rejim rasis, yakni tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara dengan semata-mata mendasarkan tindakannya tersebut kepada suatu diskriminasi atas ras yang ada pada diri manusia. Manusia yang memiliki ras yang tidak disukai akan mendapatkan perlakuan terburuk, layaknya perlakuan yang diberikan kepada spesies selain manusia. Menurut Ali Bulac, dunia telah menyaksikan tiga rejim pemerintahan yang terkejam yang pernah digelar dalam sejarah manusia di abad ke-20, yakni : rejim Fasisme di Italia dan

Jerman; rejim Komunisme di Uni Soviet, Eropa Timur, Cina dan beberapa negara Asia; serta rejim Apartheid di Afrika Selatan. Di saat rejim Apartheid di Afrika Selatan akhirnya musnah, seiring dengan dukungan internasional kepada Nelson Mandela yang akhirnya menjadi Presiden setelah mendekam beberapa tahun di penjara, maka dunia kembali diguncang dengan pemberlakuan rejim rasisme yang kali ini dilakukan oleh Israel. Dalam beberapa tulisan yang lalu, disebutkan bahwa Pemerintah yang berkuasa di Israel telah melakukan praktek rasisme. Benarkah demikian ? Harian The Independent menuding bahwa Pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon telah melakukan praktekpraktek rasisme terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan. Bahkan lebih jauh lagi harian tersebut membandingkan rejim rasisme yang terjadi di Afrika Selatan dan di Palestina. Diungkapkan bahwa tidak ada perbedaan antara taktik yang dilakukan rejim rasisme di Afrika Selatan dan Israel saat ini. Rasis rejim di Afrika Selatan menggunakan Pasukan Pembunuh (Death Squad) dan demikian pula taktik yang dilakukan oleh Israel untuk membunuh anak-anak Palestina setiap harinya. Bahkan praktek di Israel jauh lebih buruk karena rejim rasisme di Afrika Selatan tidak menggunakan senapan mesin helikopter dan misil, sementara Israel melakukan hal tersebut. Berita ini saya dapatkan dari situs arabicnews.com yang hanya sekedar melansir berita yang diturunkan oleh harian Independence, dan berita tersebut dilansir pada tahun 2001! Saat ini, setelah kurang lebih delapan tahun berselang, Israel masih saja melakukan hal tersebut, bahkan lebih jauh lagi dengan menggunakan fosfor putih dan cluster bom. Keadaan yang sungguh memilukan Manusia memang diciptakan dari berbagai macam suku bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk saling memusnahkan dan merasa sebagai ras yang paling unggul di muka bumi. Manusia hanyalah makhluk Allah, tiada kuasa untuk mengklaim sebagai yang lebih unggul di banding yang lain karena posisi manusia hanyalah sebagai insan yang memang diciptakan; bukan pencipta. Sebagaimana klaim bangsa Yahudi bahwa mereka merupakan korban dari masa Holocaust, seharusnya mereka berkaca dari pengalaman sendiri dan menyadari, bahwa tidak ada satu ras pun yang dapat dihapuskan dari muka bumi ini sebagaimana dengan yang mereka alami sendiri.

Rejim Rasis. Masih adakah ? (2)Oleh : Arlina Permanasari Dalam tulisan yang lalu dinyatakan bahwa Israel melakukan praktek rasisme. Untuk lebih meyakinkan akan pernyataan tersebut, berikut akan dikutipkan sebuah Resolusi dari Majelis Umum PBB yang dihasilkan pada tanggal 10 November 1975, yang menegaskan pernyataan sebelumnya bahwa Israel telah melakukan praktek rasisme terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan. Secara yuridis, Resolusi Majelis Umum PBB memang tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat (non-legally binding), akan tetapi bagaimanapun juga, sebuah resolusi yang

dihasilkan di forum Majelis Umum PBB merupakan cerminan dan pendapat dari hampir semua negara yang menjadi anggotanya, sehingga menduduki urgensi yang tidak kalah penting dari resolusi Dewan Keamanan. Berikut silakan menyimak isi dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 3379 tahun 1975 : THE GENERAL ASSEMBLY, RECALLING its resolution 1904 (XVIII) of 20 November 1963, proclaiming the United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, and in particular its affirmation that any doctrine of racial differentiation or superiority is scientifically false, morally condemnable, socially unjust and dangerous and its expression of alarm at the manifestations of racial discrimination still in evidence in some areas in the world, some of which are imposed by certain Governments by means of legislative, administrative or other measures, RECALLING ALSO that, in its resolution 3151 G (XXVIII) of 14 December 1953, the General Assembly condemned, inter alia, the unholy alliance between South African racism and Zionism, TAKING NOTE of the Declaration of Mexico on the Equality of Women and Their Contribution to Development and Peace 1975, proclaimed by the World Conference of the International Womens Year, held at Mexico City from 19 June to 2 July 1975, which promulgated the principle that international co-operation and peace require the achievement of national liberation and independence, the elimination of colonialism and neo-colonialism, foreign occupation, Zionism, apartheid and racial discrimination in all its forms, as well as the recognition of the dignity of peoples and their right to selfdetermination, TAKING NOTE ALSO of resolution 77 (XII) adopted by the Assembly of Heads of State and Government of the Organization of African Unity at its twelfth ordinary session, held at Kampala from 28 July to 1 August1975, which considered that the racist regime in occupied Palestine and the racist regime in Zimbabwe and South Africa have a common imperialist origin, forming a whole and having the same racist structure and being organically linked in their policy aimed at repression of the dignity and integrity of the human being, TAKING NOTE ALSO of the Political Declaration and Strategy to Strengthen International Peace and Security and to Intensify Solidarity and Mutual Assistance among Non-Aligned Countries, adopted at the Conference of Ministers for Foreign Affairs of NonAligned Countries held at Lima from 25 to 30 August 1975, which most severely condemned Zionism as a threat to world peace and security and called upon all countries to oppose this racist and imperialist ideology, DETERMINES that Zionism is a form of racism and racial discrimination.

War of National Liberation. Apa maksudnya ?Oleh : Arlina Permanasari Apa maksud istilah war of national liberation atau perang pembebasan nasional ? Mari kita lihat kembali ayat (4) Pasal 1 Protokol Tambahan I : termasuk konflik bersenjata di mana bangsa-bangsa (peoples) berjuang melawan dominasi kolonial (colonial domination), atau pendudukan asing (alien occupation) atau rejim rasialis (racist regime) dalam rangka melaksanakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination), sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB.

Perdebatan tentang ayat (4)

Perlu diketahui bahwa ayat di atas merupakan ketentuan yang sangat kontroversial dalam pembentukan naskah Protokol. Perdebatan tersebut timbul karena adanya dikotomi antara negara-negara yang berpegang teguh bahwa hanya negara sajalah yang dapat memegang peran sebagai subyek hukum internasional; dan di pihak lain, terdapat pula pendapatpendapat yang menyatakan bahwa suatu bangsa yang berjuang dalam rangka

menentukan nasib sendiri lepas dari penjajahan, juga berhak untuk mendapatkan perannya sebagai aktor di dalam hukum internasional. Dengan perkataan lain, bagi bangsa-bangsa yang berjuang untuk mencapai kemerdekaannya agar diberlakukan pula hukum yang mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Pendapat terakhir tersebut banyak ditentang oleh negara-negara barat, dengan berbagai alasan, seperti :[1] 1. Hukum internasional yang tradisional mengadakan perbedaan antara konflik bersenjata yang bersifat internasional dan non-internasional berdasarkan aspek militer dan geografis. Suatu konflik dapat bersifat internasional jika konflik tersebut melampaui suatu ambang batas kekerasan (threshold of violence) tertentu; atau apabila konflik tersebut telah melampaui batas geografis tertentu. Hanya negara sajalah yang dapat memenuhi persyaratan ini, bukan suatu bangsa. 2. Apabila hukum internasional yang mengatur konflik bersenjata harus mengatur suatu pihak bukan negara (dalam hal ini : bangsa), maka hal ini akan menghapuskan asas resiprositas antara negara-negara yang secara yuridis statusnya sama dan sederajat. Adapun suatu bangsa lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan suatu negara. 3. Pandangan baru tersebut secara tidak langsung akan memberikan hak internasional untuk memberontak terhadap pemerintahan tertentu. 4. Jika pandangan baru ini diterima, maka menjadi tidak jelas apakah Protokol Tambahan I dan Konvensi Jenewa 1949 dapat diterapkan untuk situasi baru seperti itu. 5. Banyaknya istilah baru dalam ayat (4) juga menimbulkan pertanyaan lain, karena istilah itu sendiri masih bersifat samar-samar. Misalnya saja istilah peoples. Siapakah yang dimaksud dengan peoples itu? dan siapa yang menetapkannya ? Belum lagi istilah lainnya yang membutuhkan penjelasan. 6. Jika ketentuan ayat (4) ini diterima, maka pengertian justum bellum dimasukkan lagi ke dalam Hukum Humaniter. Adapun, negara-negara yang mengusulkan ketentuan dalam ayat (4) yang notabene adalah negara-negara berkembang, mengajukan bantahan terhadap keberatan dari negara-negara maju dengan mengemukakan bahwa dunia ketiga mencari kriteria baru untuk mengatur konflik bersenjata lainnya di samping norma-norma yang telah ada. Mereka berjuang dalam rangka menentukan nasib sendiri untuk mendapatkan status dan perlindungan bagi mereka yang terlibat dalam perjuangan itu. Konflik antara negara kolonial dengan mereka (yang berdiam di wilayah tersebut) yang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, juga merupakan konflik bersenjata internasiona, walaupun penduduk di wilayah koloni tersebut belum memiliki suatu pemerintahan atau belum berbentuk negara baru. Sebagai kompromi dari perdebatan tersebut, maka akhirnya dalam pemungutan suara diperoleh hasil : 70 suara setuju, 21 menolak, dan 13 abstain, sehingga kita dapat melihat hasil akhirnya sebagaimana tercantum dalam ayat (4) di atas.

Apa maksud war of national liberation ?

Untuk memahami istilah war of national liberation, maka ada satu istilah kunci yang dapat menunjukkan perbedaan perang ini dengan perang lainnya sebagaimana yang telah diuraikan menurut Konvensi Jenewa 1949. Istilah itu adalah right of people to selfdetermination. Jadi maksud utama dari ayat ini adalah untuk menunjukkan adanya perjuangan dari bangsa-bangsa terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri, alias untuk merdeka dari tangan penjajah. Berbeda dengan jenis konflik bersenjata internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 yang menggambarkan adanya perang antar dua negara yang merdeka, maka jenis konflik bersenjata dalam hal ini menunjuk pada suatu pemerintahan negara asing melawan suatu bangsa yang mendiami wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu harus dipahami bahwa jenis konflik ini melibatkan pasukan militer dari negara penjajah; bukan angkatan bersenjata dari negara sendiri.

Apa arti right to self-determination ?

Agar pemahaman mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri tidak salah, maka mari kita lihat penjelasannya dalam Komentar Protokol sebagai berikut : Berdasarkan pada Kovenan Internasional mengenai Hak Asasi Manusia, maka hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari semua bangsa untuk secara bebas menentukan status politik dan bebas untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan mereka sendiri. Perjuangan dari bangsa-bangsa untuk berjuang melawan suatu tindakan kekerasan yang dilaksanakan dalam rangka menentukan nasib sendiri merupakan suatu tindakan yang sah menurut hukum; dalam hal ini bangsa-bangsa tersebut berhak untuk mencari dan menerima dukungan sesuai dengan prinsip dan tujuan yang tercantum dalam Piagam PBB. Hak untuk menentukan nasib sendiri tercantum pula di dalam beberapa instrumen hukum internasional, seperti : 1. Resolusi Majelis Umum PBB No. 2105 (XX) tentang Implementation of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, 20 Desember 1965. 2. Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 (XXIV) tentang Declaration on the Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations, 24 Oktober 1970; dan 3. Resolusi Majelis Umum PBB No. 3103 (XXVIII) tentang Basic Principles of the Legal Status of the Combatant Struggling against Colonial Domination and Alien Occupation and Racist Regimes, 12 Desember 1973.

Siapa yang berhak mendapatkan right to self-determination ?

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I, maka jelas bahwa yang berhak untuk mendapatkan right to self determination adalah suatu bangsa (peoples).

Akan tetapi, Protokol Tambahan I sendiri tidak mencantumkan apa batasan istilah bangsa tersebut. Oleh karena itu, dalam Komentar Protokol, dijelaskan bahwa pengertian istilah bangsa ini didapatkan pada sumber hukum internasional lainnya, yaitu dalam Piagam PBB dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Berdasarkan Piagam PBB dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, maka hanya bangsa dalam pengertian sebagaimana yang tercantum di dalam ke dua instrumen tersebutlah yang berhak mendapatkan right to self-determination. Oleh karena itu, right to self-determination tidak berlaku untuk kasus-kasus yang berkenaan dengan pemenuhan hak-hak individu seperti hak atas kebudayaan, agama atau bahasa minoritas dan sebagainya. Dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB dinyatakan bahwa tujuan didirikannya PBB adalah untuk :

to develop friendly relation among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace.

Sedangkan dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dinyatakan bahwa : 1. All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. 2. All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence. 3. The States Parties to the present Covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations. Oleh karena itu, suatu bangsa harus memenuhi persyaratan paling tidak sebagai berikut : 1. Harus terdapat suatu konflik bersenjata di mana suatu bangsa berjuang melawan dominasi penjajah, pendudukan asing atau rejim rasialis; 2. Perjuangan bangsa tersebut dilakukan dalam rangka menentukan nasib mereka sendiri sebagai suatu bangsa yang merdeka, berdaulat dan sederajat dengan negaranegara lainnya. Sebagai simpulan, maka yang dimaksud dengan war of national liberation adalah :

Adanya suatu bangsa yang berjuang melawan dominasi kolonial, pendudukan asing, atau rejim rasialis; Bangsa yang dimaksud di sini adalah bangsa yang sesuai dengan pengertian berdasarkan Piagam PBB dan Kovenan Internasional tentang HAM;

Bangsa tersebut berjuang dalam rangka menentukan nasib mereka sendiri sebagai suatu bangsa yang merdeka, berdaulat dan sederajat dengan negara-negara lainnya; bukan perjuangan untuk meraih hak-hak individu; Perang pembebasan nasional adalah perjuangan suatu bangsa melawan pasukan atau angkatan bersenjata dari suatu negara penjajah; bukan perjuangan dari sekumpulan warga negara melawan angkatan bersenjata dari negara mereka sendiri.

Sumber : GPH. Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 119-122.

War of National Liberation. Mengapa termasuk konflik bersenjata internasional ?Oleh : Arlina Permanasari Dalam tulisan terdahulu yang membahas tentang salah satu jenis konflik bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional, terdapat suatu jenis konflik baru yang dikenal dengan sebutan war of national liberation, di mana salah satu pihak dari war of national liberation tersebut adalah suatu bangsa (peoples) yang berjuang melawan colonial domination, alien occupation atau racist regime. Dalam tulisan kali ini, akan dikemukakan mengapa suatu bangsa (peoples) mendapatkan penerimaan di dalam suatu perjanjian internasional sebagai suatu pihak dalam pertikaian ? Bukankah aturan sebelumnya yakni Konvensi Jenewa 1949 hanya mengenal negara saja sebagai pihak-pihak dalam konflik bersenjata internasional ? Hal tersebut tidak terlepas dari adanya perkembangan baru yang terjadi di dalam hukum internasional, khususnya hukum humaniter, di mana penerimaan terhadap suatu bangsa dalam pengertian di atas diakui oleh masyarakat internasional. Apakah penerimaan demikian berlaku begitu saja dan tanpa syarat ? Untuk itu, dalam memahami ketentuan mengenai siapa dan bagaimanakah yang disebut sebagai bangsa dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4), maka kita harus selalu mengkaitkan pasal tersebut dengan ketentuan Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Agar lebih jelas, ke dua pasal tersebut secara lengkap dicantumkan di bawah ini : Pasal 1 ayat (4)

The situation referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which peoples are fighting against colonial domination and alien occupation and racist regimes in the exercise of their right of self-determination, as enshrined in the Charter of the United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly relations and co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations.

Pasal 96 ayat (3)

The authority representing a people engaged against a High Contracting Party in armed conflict of the type referred to in Article 1, paragraph 4, may undertake to apply the Conventions and this Protocol in relation to that conflict by means of a unilateral declaration addressed to the depository. Such declaration shall, upon its receipt by the depository, have in relation to that conflict the following effects : 1. the Conventions and this Protocol are brought into force for the said authority as a Party to the conflict with immediate effect; 2. the said authority assumes the same rights and obligations as those which have been assumed by a High Contracting Party to the Conventions and this Protocol; and 3. the Conventions and this Protocol are equally binding upon all parties to the conflict. Sebagaimana dicantumkan dalam pasal-pasal di atas, maka peoples yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat(4), yakni yang sedang berjuang dalam rangka menentukan nasib mereka sendiri sebagai suatu negara yang merdeka, melalui pemimpin mereka (the authority representing a people), dapat dianggap sebagai suatu pihak yang bersengketa (dapat dianggap sebagai seperti negara; yakni dalam hal diberikannya hak dan kewajiban internasional terhadap perjanjian, sama sebagaimana hak dan kewajiban suatu negara yang telah terikat pada perjanjian internasional), jika pemimpin yang mewakili suatu bangsa tersebut mengirimkan suatu pernyataan sepihak (unilateral declaration) kepada Negara Penyimpan (depository) dari Protokol Tambahan I 1977. Konstruksi hukum yang tergambar dari mekanisme dalam Pasal 96 ayat(3) tersebut, nyaris serupa dengan mekanisme ratifikasi suatu perjanjian internasional. Berdasarkan hukum internasional, hanya negara sajalah yang berhak mendapatkan status sebagai pihak pada perjanjian internasional, dengan cara menyatakan kehendaknya untuk terikat pada perjanjian tersebut (consent to be bound by a treaty). Setelah suatu negara meratifikasi suatu perjanjian internasional, maka ia terikat secara hukum pada perjanjian tersebut sehingga harus melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan. Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional tersebut inilah yang juga berlaku pada peoples sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3), sehingga peoples setelah melakukan unilateral declaration (serupa dengan proses ratifikasi perjanjian), terikat pada Konvensi dan Protokol dan ia harus melaksanakan hak dan kewajiban internasional yang timbul akibat dari tindakannya tersebut, sama seperti negara yang meratifikasi Konvensi dan Protokol itu. Hal inilah yang merupakan perkembangan baru dalam hukum humaniter, di mana suatu bangsa diberikan penyetaraan yang serupa seperti sebuah negara, hal mana sama sekali tidak diatur dalam hukum humaniter atau hukum internasional sebelumnya. Dengan demikian, dalam hubungan hukum yang timbul akibat ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) tersebut di atas, maka peoples dapat dianggap sebagai pihak yang setara dengan negara, dengan persyaratan tertentu. Oleh karena itulah maka konflik

yang melibatkan suatu bangsa dalam pengertian Pasal 1 ayat (4) dapat digolongkan sebagai konflik bersenjata internasional. Semoga penjelasan ini dapat dipahami.