Kritik untuk Swarga

download Kritik untuk Swarga

of 4

description

Terhadap terhadap karya Ali Facmi Bachtiar, seputar konten dan kurasi foto yang buruk.

Transcript of Kritik untuk Swarga

  • Kritik untuk Swarga, Karya Ali Fachmi Bachtiar

    Oleh : Robbani Amal Romis

    Tulisan ini adalah tanggapanatas permintaan Ali Fahmi Bachtiar (selanjutnya akan

    saya sebut Bung Ali) rekan saya, untuk mengkritik secara imanen (sebagai bentuk apresiasi

    saya) terhadap zine fotografi yang berisi kompilasi foto lanskap yang dipotret menggunakan

    kamera analog. Barangkali hari ini, memotret menggunakan kamera analog adalah suatu

    pekerjaan yang bagi saya, membingungkan. Kebingungan saya mula-mula adalah, di dunia

    fotografi yang serba digital, masih saja ada orang kurang kerjaan yang menggunakan

    teknologi old fashioned yang mahal dan merepotkan. Tentu kita bisa membayangkan

    bagaimana ribetnya teknologi kamera analog yang berisik itu serta pita-pita negatif yang

    harus melalui beberapa kali proses untuk melihat hasilnya. Bukankah DSLR sudah

    menyediakan itu? atau yang paling baru, kamera mirrorless?. Bahkan teknologi fotografi

    tidak hanya berhenti di piranti keras saja, di piranti lunak pun terdapat banyak teknologi

    untuk merekayasa foto. Foto yang dianggap kurang memuaskan (bahkan yang berkualitas

    burukpun) dapat di revisi melalui piranti lunak Photoshop, Lightroom dan sebagainya.

    Singkatnya hari ini, seseorang non-fotografer professional pun dapat menciptakan foto

    yang keren dan sedap dipandang.

    Oke, kembali ke pertanyaan awal, mengapa menggunakan teknologi fotografi

    lawas?. Teknologi lawas akhir-akhir ini mulai happening di dunia fotografi, keluasan

    eksplorasi gear, rekayasa tone, multiple layer, kesulitan atau kejutan-kejutan fotografis pra

    cetak menjadi daya tarik sendiri di kalangan fotografer kamera analog. Seiring dengan itu

    juga, terdapat kejemuan pasar fotografi terhadap hasil-hasil foto yang terkesan terlalu

    dibuat-buat, hiperbolis, repetitif, norak, penuh rekayasa komputer dan akhirnya

    menyebabkan karya tersebut kehilangan ruh artisitiknya. Karena hal itulah mulai muncul

    romantisme terhadap karya-karya fotografi analog yang prosesnya rumit dan hanya

    beberapa orang saja yang mampu melakukanya. Setidaknya dari sini ada beberapa hal yang

    ditawarkan oleh fotografi analog;

    - Pertama, keunikan. Proses yang rumit, panjang dan penuh hal-hal tak terduga

    membuat foto hasil kamera analog berbeda dari satu ke foto yang lain, bahkan dari

    kamera yang sama. Disini kemampuan fotografer menjadi hal utama, bagaimana

    mengolah, mengeksplorasi, mengatur bukaan, mengamati intensitas cahaya, hingga

    menentukan momentum untuk memencet tombol shutter. Semuanya di lakukan

    secara intuitif tetapi penuh perhitungan. Hal ini tentu berbeda dengan foto hasil

    kamera digital yang semuanya sudah terpogram dalam firmware, meskipun masih

    ada sedikit kesulitan, tetapi tidak sesulit kamera analaog, khususnya dalam proses

    pra-shuttering. Tidak hanya sampai disitu, proses pasca shuttering, hasil kamera

    analog masih berbentuk lembar negatif, sehingga membutuhkan proses kedua, yaitu

    proses pencucian. Proses ini membutuhkan ketelitian dan skill yang mumpuni dari

    fotografer, sehingga baik tidaknya hasil foto tidak hanya ditentukan oleh hebatnya

  • gear yang fotografer punya, melainkan juga kemampuan dalam pencucian lembar-

    lembar negatif tersebut. Proses yang sulit, panjang dan membutuhkan kemampuan

    khusus, kemudian membuat karya fotografi analog memiliki keunikan tersendiri. Dia

    adalah sebuah karya yang bisa kita sebut sebagai fine art, pure art, avant garde, atau

    apapun itu.

    - Kedua, ekslusif. Akibat keunikanya itulah kemudian fotografi analog memiliki added

    value tersendiri, yaitu eksklusifitas. Kamera digital bisa saja menghasilkan foto yang

    keren, tapi unik belum tentu. Seunik-uniknya foto hasil kamera digital tentu tidak

    akan seunik kamera analog. Keunikanya yang super spesifik itulah yang kemudian

    mengakibatkan foto kamera analog menjadi eksklusif. Frasa ekslusif disini tentu

    berkorelasi secara langsung dengan nilai produksinya, yaitu mahal harganya.

    Dari kedua premis diatas kemudian akan menjadi dasar untuk membedah zine

    Swarga karya Bung Ali secara rinci dan berurutan, premis ini digunakan agar argumen yang

    saya lancarkan bersifat konstruktif dan semakin membuka wacana lebih diskursif. Jadi,

    apakah karya Bung Ali unik dan ekslusif? cekidot.

    1. FRONT COVER

    Cover dari zine karya Bung Ali ini jujur mengecewakan saya sebagai pembaca dan

    penikmat karya-karya beliyo, bahkan sejak dari pandangan pertama. Jujur saya adalah orang

    yang tidak mempercayai slogan dont judge book from the cover bagi saya cover adalah

    representasi (jika bukan rangkuman) dari keseluruhan isinya, ibarat teaser dalam film-film,

    dia harus mencerminkan isinya, setidaknya membuat pembaca penasaran lalu membacanya

    sampai tuntas. Alih-alih mengandung keunikan, kombinasi warna monokromatik, putih,

    ungu, biru, abu-abu dan hitam bagi saya sangat datar dan membosankan. Font Swarga

    yang berwarna putih yang berada di atas, dan by alfabach dibawahnya seolah-olah tidak

    merepresentasikan seorang fotografer analog yang katanya artisitik itu. Flat dan biasa saja.

    Apalagi ditambahkan tulisan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dibawahnya,

    kombinasi font seperti ini mengingatkan saya (maaf) pada brosur-brosur paket perjalanan

    wisata. Jika ini adalah brosur wisata, tentu kombinasi tulisan Taman Nasional Bromo

    Tengger Semeru dengan foto padang pasir tidaklah tepat, seharusnya pasang saja foto

    gunung bromo seperti pada umumnya. Kata Swarga sendiri, bisa jadi Bung Ali merujuk

    pada bahasa sanskrit yang berarti Surga, tetapi foto yang menjadi latar belakang tidak

    menunjukkan hal tersebut, alih-alih menggunakan gambar lanskap yang serba hijau, penuh

    warna-warni bunga serta lengkap dengan 72 bidadari seksi seperti dalam gambaran kitab-

    kitab suci, foto tersebut lebih mirip lautan padang pasir di parangtritis, apakah ini semacam

    imagenary counter atas gambaran surga mainstream, sebuah satirisme fotografis yang

    atheistik?. Tetapi mengingat ini adalah zine fotografi, gambaran surga dengan lautan

    padang pasir parangtritis juga bukan pilihan yang cukup artitistik. Jika cover ini mencoba

  • bercerita tentang kekeringan dan kehampaan batin atas ketiadaan Tuhan, mungkin bisa

    dicari foto-foto yang lebih gelap, sunyi atau bisa menggunakan foto yang sama tetapi

    diberi aksentuasi melalui poin of interest. Aksentuasi itu bisa berupa foreground manusia

    atau sebuah benda yang tentunya merepresentasikan kepribadian Bung Ali sebagai seorang

    manusia yang masih tersesat yang selalu berusaha mencari surganya, entah dimana. Bisa

    jadi foto Bung Ali terbalik, dengan kepala terbenam ke pasir. Singkatnya, komposisi teks dan

    gambar perlu disesuaikan, meskipun dengan pertimbangan artisitik yang rumit dan avant

    garde sekalipun.

    Selain itu bahan kertas yang digunakan juga kurang merepresentasikan keunikan

    zine fotografi analog, kertas artpaper yang tipis dan kualitas print yang buruk membuat foto

    analog yang sebetulnya bertekstur tersebut tidak tampak secara utuh. Karakterisitik foto

    analog yang sebetulnya khas, menjadi hilang akibat ketajaman foto yang tereduksi oleh

    printer dan kertas yang buruk. Penggunaan kertas sebagai sampul lebih baik menggunakan

    kertas yang lebih tebal, atau menggunakan kertas yang bertekstur seperti kertas akasia atau

    linen. Selain mengakomodasi karakteristik foto analog yang unik, ketebalan juga akan

    menjaga lembar isi dalam zine yang rawan terlipat atau rusak.

    2. ISI

    Lembar kedua adalah lembar yang mengejutkan bagi saya, bagaimana tidak, kalimat

    Ketika ada muncul keinginan untuk menghilang ke tempat yang jauhnya hingga tak bisa

    kembali, mungkin kita hanya sekedar ingin dirindukan cukup sulit bagi saya untuk

    menemukan hubunganya dengan lembar cover, jadi apa yang dirindukan? Atau apa yang

    sebetulnya yang hilang?, meskipun kita bisa saja mengabaikan teks ini beserta isinya, tapi

    komposisi dan pemilihan font juga kurang tepat. Font yang terlalu besar terlihat tidak sesuai

    dengan besarnya halaman, kmargin atas-bawah dan kanan-kiri pun terlihat tidak seimbang,

    asimetris boleh saja, tetapi tetap dalam komposisi yang proporsional. Pemilihan font pun

    juga terlihat kurang pas, alangkah lebih baiknya dalam layout minimalis seperti ini, pilihan

    font lebih baik menggunakan font-font yang simpel, tegas dan tipis. Di lembar berikutnya

    pun kita akan menemukan problem yang serupa.

    Dalam pemilihan fotopun terasa sekali bahwa tidak penentuan tema sebelumnya,

    penekanan melalui teks sebagai indeks gambar terlihat tidak cukup untuk membantu

    pembaca memahami apa yang ingin disampaikan oleh Bung Ali, apakah ada tema besarnya?

    apakah ini serupa katalog fotografi tematik?, akan sangat disayangkan jika tidak, karena zine

    fotografi ini hanya akan menjadi kumpulan foto seperti di kalender. Bagi saya, yang

    menarik dari fotografi adalah story behind them, ada hal-hal yang bisa diceritakan dan

    disampaikan melalui medium fotografi.

    Selain itu keterkaitan antar lembar yang absen transisi, seorang pembaca tentu

    membutuhkan jeda, entah lembar kosong, atau lembar foto yang masih memiliki

  • keterkaitan sekuensial dengan lembar cover. Sekuens adalah faktor penting jika zine ini

    berupa lembaran-lembaran foto yang memiliki tema besar seperti perjalanan hidup, atau

    pencarian Tuhan, lembar-lembar yang dibuka akan lebih menarik jika pembaca

    disuguhkan pengalaman membaca yang unik, penuh kejutan dan dramaturgis. Ibarat

    menonton sebuah film, foto yang disusun adalah rangkaian cerita yang penuh teka-teki dan

    misteri.

    Dalam pemilihan fotopun masih mengandung beberapa problem, khusunya pada

    masalah kuratorial. Pemilihan foto cenderung flat, meskipun di tengah-tengah ada kejutan

    (berupa gambar pura di tengah padang pasir yang ukuranya berbeda dengan yang lain) tapi

    itu saja belum cukup, absenya tema besar membuat foto seakan-akan melompat-lompat,

    acak dan akhirnya pembaca tidak menemukan apapun dalam katalog ini kecuali kumpulan

    foto lanskap seperti pada umumnya. Karaketeristik foto analog yang unik dan eksklusif

    sayangnya tidak diakomodasi secara maksimal, penyajian yang apa adanya akhirnya

    menenggelamkan proses pengolahan foto yang sulit itu menjadi sederhana dan terkesan tak

    ada yang istimewa.

    Persoalan mendasar dalam zine ini bagi saya adalah tiadanya tema besar. Padahal

    adanya tema besar akan menentukan jenis layout, font, teks dan proses kuratorial foto. Bisa

    jadi dalam zine berikutnya akan berupa rangkaian foto dengan tema bersambung, yang

    keseluruhan fotonya dipilih melalui proses kuratorial dengan tema tertentu. Jika boleh

    menyimpulkan, zine ini belum memenuhi kedua premis diatas, yaitu unik dan eksklusif.

    Overall, rangkaian foto ini bisa jadi menarik dan istimewa jika didukung oleh

    rangkaian sekuens yang konspetual serta proses kuratorial fotografi yang tematik, sehingga

    fotografi analog akan mencapai posisi sesungguhnya sebagai the finest and purest art of

    photography!.