KRITIK HADIS

40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian hadis, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. B. Rumusuan Masalah 1. Apa Pengertian dan Cakupan Kritik Hadis? 2. Bagaimana Sejarah Kritik Hadis serta Urgensi Kritik Hadis? 3. Apa Saja Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Hadis? 1

description

HADIS

Transcript of KRITIK HADIS

Page 1: KRITIK HADIS

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan

pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber

ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama

Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab

hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis

tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek

kemurniannya dan keasliannya.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian hadis, bukan berarti meragukan hadis

Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia,

yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong

oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas

hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.

B. Rumusuan Masalah

1. Apa Pengertian dan Cakupan Kritik Hadis?

2. Bagaimana Sejarah Kritik Hadis serta Urgensi Kritik Hadis?

3. Apa Saja Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Hadis?

4. Siapa Saja Tokoh-tokoh Kritik Hadis?

5. Bagaimana Indikasi mayor dan Minor Sanad Hadis Shahih?

6. Bagaimana Indikasi mayor dan Minor Matan Hadis Shahih?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Pengertian dan Cakupan Kritik Hadis

2. Untuk mengetahui Sejarah Kritik hadis serta Urgensi Kritik Hadis

3. Untuk mengetahui Apa Saja Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik

Hadis

4. Untuk mengetahui Siapa Saja Tokoh-tokoh Kritik Hadis

5. Untuk mengetahui Indikasi mayor dan Minor Sanad Hadis Shahih

6. Untuk mengetahui Indikasi mayor dan Minor Matan Hadis Shahih

1

Page 2: KRITIK HADIS

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Hadis

Asal usul penggunaan kata kritik berasal dari bahasa Latin yaitu: critic,

yang berarti menilai. Sedangkan kritik dalam bahasa arab sering digunakan

dengan kata naqd yang memiliki ma’na pokok “mengluarkan sesuatu” atau

“memisahkan”. Secara bahasa, penggunkaaan kata al-naqd bisa juga diartikan

dengan arti pengecekan dan pembedaan1.

Dalam terminology ahli hadis, istilah al-naqd diartikan secara beragam.

‘Azami dengan mengutip pendapat mah}adisi>n mendefinisikan al-naqd (kritik)

dengan:

تمييز االحادث الص��حيحة من الض��عيفة والحكم على ال��رواة

توثيقا وتجريحا

Artinya: Upaya untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih dari yang yang daif, serta untuk menetapkan status para riwayat hadis dari segi keandalan dan kecacatannya2.

Senada dengan itu, Muhammad Ali Qasim al-‘Umari mendefinisikan naqd al-h}adis (kritik hadis) dengan:.

علم يبحث فى تمييز االحاديث الصحيحة من الضعيفة وبيان

عللها والحكم على رواتها جرحا وتع��ديال بالف��اظ مخصوص��ة

ذات دالئل معلومة عند اهل الفن

Artinya: Ilmu yang membahas tentang proses pengklasifikasian hadis yang sahih dengan yang dhaif dengan menjelaskan cacat yang terdapat di dalamnya serta status hukum beserta kondisi perawinya dari aspek jarh dan ta’dil dengan menggunakan istilah-istilah khusus dan bukti-bukti yang mudah dikenal oleh para ahlinya3.

1Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam Memahami Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), hlm, 263.

2 ‘Azami, Manhaj al-Naqd’ Inda al-Muha>ddisi>n, ( Riyadh: al-Umariyah, 1982), hlm 5 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm, 263-264.

3 Muhammad Ali Qasim al-‘Umari, Dira>sa>t fi> Manhaj al-Naqd ‘Inda al-

Muh}additsi>n, (Yordania: Da>r al-Nafa>’is, 2000), hlm 11 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 264.

Page 3: KRITIK HADIS

3

Sementara Muhammad Tahir al-Jawabiy naqd al-h}adis (kritik hadis) dengan:

الحكم على الرواة تجريحا وتعديال بالفاظ خاصة ذات دالئ��ل معلومة عن��د اهل��ه والنظ��ر فى مت��ون االح��اديث ال��تى ص��ح سندها لتصحيحها او تضعيفها ولرفع اشكال عما بدا مش��كاال

من صحيحها ودفع التعارض بينها بتطبيق مقاييس دقيقةArtinya: Proses penetapan status keadilan dan kecacatan para periwayat

hadis dengan menggunakan lafad-lafad khusus berdasarkan dalil-dalil yang diketahui oleh ahlinya, serta pemeriksaan terhadap matanmatan hadis berikut menghilangkan kemusykilan dan kontradiksi diantara matan-matan hadis itu dengan menerapkan standar yang cermat4.

Para sarjana hadis lebih senang menamakan ilmu yang membahas tentang

kritik hadis dengan sebutan al-Jarh wa al-Ta’di>l. Belakangan ini beberapa

sarjana hadis mulai tertarik untuk menggunakan istilah al-naqd dalam judul buku-

buku yang mereka tulis. Tetapi ruang lingkup naqd al-hadis dapat dikatakan lebih

luas dibandingkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l. Lingkup pembahasan al-Jarh wa

al-Ta’di>l berkisar pada keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis berikut

kecacatan mereka, sementara lingkup pembahasan naqd al-hadis berkisar pada

keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis, ketersambungan sanad serta ada

tidaknya syudzudz (kejanggalan) dan “illah (cacat)5.

Kritik hadits pada hakikatnya bukan untuk menilai salah atau

membuktikan ketidakbenaran sabda Nabi, tetapi lebih merupakan uji perangkat

yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya.

Kritik hadits bertujuan untuk menguji dan menganalisa secara kritis apakah fakta

sejarah kehaditsan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang

terekspos dalam ungkapan rasional (matan). Pada level ini, pengujian matan

hadits lebih terfokus pada aspek kebahasaan. Tapi lebih jauh lagi, kritik hadits

bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat

diterima sebagai sesuatu yang secara historis benar, dan dapat dipercaya. Target

4 Muhammad Tahir al-Jawabi>, Juhu>d al-muh}additsin fi> Naqd Matn al-Hadi>ts

al-Nabawiy al-Syari>f, (tt: Muassasah Abdul Kari>m, t.th), hlm 34 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 264-265.

5 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 267.

Page 4: KRITIK HADIS

4

yang hendak dibidik dalam kritik ini adalah pada isi kandungan (substansi

doctrinal) yang terdeskripsikan dalam redaksi hadis6. Menurut hemat penulis

kritik hadis adalah suatu ilmu yang membahas proses penelitian hadis sehingga

hadis tersebut bisa dikatakan ma’bul baik dalam hal sanad maupun matannya.

B. Sejarah Kritik Hadis

Berbeda dengan al-Qur’an, hadis masih menyimpan pertanyaan atas

eksistensinya. Dalam kesejarahannya, tidak semua pembawa berita dalam hadis

merupakan sesorang yang dipercaya. Dalam sejarah panjangnya, hadis

menyisakan berbagai persoalan diantaranya adalah pembukuan yang relative

lama dan di kalangan ulama’ masih ada perbedaan dalam penilaian suatu hadis,

ada yang terkesan longgar ( mutasa>hih), moderat (mutawa>sit), dan ketat

(mutasyaddid). Hasil karya ulama’ tentang hadis sangat banyak dengan beragam

corak dan metodenya7. Di bawah ini akan penulis paparkan sejarah kritik hadis

sebagaimana berikut:

1. Sejarah Kritik Sanad Hadis

a. Kritik Sanad Hadis masa Rasulullah saw

Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting dalam jajaran

ilmu hadis, muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hadis itu

sendiri, terutama ketika muncul aktifitas para ulama’ dan pengumpul hadis

dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut8.

Aktifitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. namun demikian, bukan

berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan yang

demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik di pahami sebagai sebuah

upaya untuk memilah-milah atau membedakan antara yang benar dan yang

salah atau antara yang s>ahi>h dan yang tidak, maka dapat dipahami

bahwa kegiantan kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski

disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang

6 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang ar-Riwa>yah bi al-

Ma’na> dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis”, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm 9.7 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis”,

( Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 5.8 Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang

Press, 2008), 32.

Page 5: KRITIK HADIS

5

sederhana9. Patut diketahui, bahwa hadis dalam masa Rasulullah saw.

diterima dan diriwayatkan oleh para sahabat dengan cara oral

( syafahiyyan). Saat itu tidak dikenal periwayatan dengan tulisan. Sahabat

yang mendengar hadis dari Rasulllah saw.langsung meriwayatkannya

dengan lisan tanpa menunggu tulisan. Dengan cara seperti inilah hadis

banyak dihafal oleh para sahabat10Kritik hadis di masa Rasulullah saw

dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara

langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang

mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah11.

Sebagaimana diketahui bahwa di era Rasulullah agaknya terdapat

semacam aturan khusus yang tidak tertulis dan telah mereka sepakati, yakni

setiap sahabat yang telah mendengar hadis atau mengikuti majlis ta’lim

Rasulullah memiliki kewajiban moral untuk mentransmisikannya kepada

sahabat lain yang tidak mengikutinya. Di saat mereka meriwayatkan

kembali sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah saw, mereka

menyandarkannya kepada beliau, bahkan jika berupa hadis qudsi sering pula

terjadi penyandaran hadis kepada Allah, jika Rasulullah sendiri

menyebutnya demikian. Adapun bagi yang tidak mendengarkan secara

langsung, mereka selalu menyandarkannya pula kedapa orang yang

meriwayatkan hadis tersebut kepadanya12.

Perjalanan hadis di masa Rasulullah saw tidak dapat dipisahkan dengan

hadis di masa sahabat. Karena di masa Rasulullah saw sahabat juga

memiliki peran yang signifikan dalam proses periwayatan hadis13.

Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya dimotivasi

oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi tersebut.

Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih hidup, yakni

Rasulullah saw. sendiri. Dengan demikian, para sahabat secara langsung 9 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 33.10 Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam

Memahami Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), 33. 11 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 33.12 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’kub

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994,531 dalam Umi Sumbulah, Kritik, hlm 33-34. 13 Zeid B. Smeer, Studi Hadis,hlm, 33.

Page 6: KRITIK HADIS

6

dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu. Oleh

karena itu, model konfirmasi hadis yang demikian ini relative sedikit.

Namun demikian, para ulama’ bersepakat bahwa konfirmasi hadis di era

Rasulullah ini dipandang sebagai cikal bakal lahirnya ilmu kritik hadis, yang

dalam tahap berikutnya menjadi salah satu dari 93 cabang ilmu hadis14.

Praktik kritik hadis dengan pola konfirmasi ini terus berlangsung dan

berhenti dengan sendirinya di saat Rasulullah wafat. Meskipun Rasulullah

telah wafat, bukan berarti bahwa kritik hadis telah kehilangan urgensinya.

Bahkan di saat tersebut , para sahabat lebih memberikan aturan-aturan untuk

memperketat penerimaan hadis dari seorang perawi. Dengan demikian,

kegiatan kritik hadis tetap berjalan, hanya saja mengambil bentuk yang

berbeda dalam mekanisme praktisnya.

b. Kritik Hadis di Masa Sahabat

Jika di era Rasulullah saw kritik hadis mengambil bentuk konfirmatif,

maka pada masa sahabat, tampilan kritik hadis lebih bersifat komparatif15.

Di samping dua metode tersebut, konfirmatif dan komparatif, masih terdapat

sebuah metode kritik. Ini sebenarnya merupakan pengembangan dari

metode komparatif tersebut, hanya saja perbedaan terletak pada jika

komparatif hanya mengacu kepada hafalan dan menyatukan hadis yang

dimaksud dengan diri perawi, maka komparatif bentuk kedua ini tidak

hanya berdasarkan pada kekuatan hafalan seorang perawi ansich, namun

juga diperkuat dengan perbandingan terhadap terhadap data tertulis yang

dapat disima’ pada kitab-kitab hadis mereka. Selain itu juga terdapat model

pengembangan kritik hadis yang dilakukan dengan mengkomparasikan ayat-

ayat terkait. Metode komparatif dalam pengertian kedua inilah yang

kemudian banyak berkembang di kalangan kritikus hadis hingga beberapa

decade pasca penghujung kepemimpinan sahabat16.

14 Jala>l al-Di>n Al-Suyu>ti>, Tadri>b al-Ra>wi> ‘ala> Taqri>b al-

Nawawi>, (ttp: Da>r al-Kutub al-H}adi>thah, t.th.), juz II, hlm 45 dalam Umi Sumbulah, Kritik, hlm 36-37.

15 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 37.16 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 39-40.

Page 7: KRITIK HADIS

7

c. Kritik Hadis Masa Tabi’in

Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin digoyang oleh

berbagai kasus manipulasi hadis menurut para ulama’ untuk lebih bersikap

ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap sebelumnya

upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama’ di lingkup satu

daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok

daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah yang

demikian ini, kemudian bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan

tokoh-tokoh kritikus termashur yang memotorinya.

2. Sejarah Kritik Matn Hadis

Berikut ini dikemukakan penelitian mant dalam setiap generasi yang

dimulai dari masa Rasulullah saw sampai ulama’ hadis:

a. Kritik Matn Hadis Masa Rasullah saw

Ketika masih hidup, kritik matan berjalan dengan baik dan dalam

bentuk yang ssederhana. Goal yang ingin dicapai adalah menguji kebenaran

suatu berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Adapun

bentuk kritik matn pada masa tersebut adalah konfirmasi, klarifikasi

(taba>yun), dan kesaksian(testimony), hal ini membuktikan atas sesuatu

yang diperbuat oleh Nabi Muhammad saw17.

b. Kritik Matn Hadis Masa Sahabat

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, maka kemungkinan untuk

melakukan cek tidak ada lagi. Musfir Azmilla>h al-Dama>ni>

menyebutkan tiga pilar utama cara sahabat menilai suatu matn hadis, yaitu

tidak bertentangan dengan al-Qur’an seperti dalam kasus persoalan nikah

mut’ah, tidak bertentangan dengan hadis lain seperti dengan cara

muqa>ranah dengan cara membandingkan antar riwayat sesama sahabat.

Hal tersebut dilakukan oleh Abu> Bakr dan Umar ibn al-Khat}t}a>b18.

Selain sahabat tersebut, Aisyah juga melakukan sebuah kritik hadis

tatkala mendengan sebuah hadis yang didengar dari Ibn ‘Abba>s dari

17 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, , hlm 144.18 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, , hlm 144-145.

Page 8: KRITIK HADIS

8

‘Umar. Aisyah telah mengkritik matn hadis dari Ibn ‘Abba>s tersebut

dengan cara membandingkan matn hadis dan mengkonfirmasi dengan hadis

yang bertema sama, yang pernah didengar sendiri dari Rasulullah saw.

Disamping itu Aisyah juga membandingkannya dengan nash yang bobot

akurasinya lebih tinggi, yakni Al-Qur’an dan hadis yang lebih sahih,

merupakan standar utama untuk menilai kesahihan sebuah hadis19. Hal

tersebut membuktikan bahwa kritik matn hadis telah dilakukan di era

sahabat.

c. Kritik Matn Hadis Masa Tabi’i>n

Dasar-dasar kritik matn yang telah dibangun oleh para sahabat di atas,

pada tahab berikutnya di kembangkan oleh generasi tabi’in20. Pada masa ini,

kritik matn hadis telah mulai berkembang, selain melakukan penelitian matn

hadis sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Para tabi’i>n

melakukan penelitian matn dengan cara mu’a>radah. Cara ini efektif untuk

mencocokkan konsep yang menjadi muatan suatu matn hadis agar tetap

terpelihara kebenarannya. Selain itu, digunakan media al-Qur’an dan

pendekatan historis dalam artian pencocokan dengan sejarahnya. Kenyataan

tersebut berkembang dalam periode berikutnya.

d. Kritik Matn Hadis Masa Ulama’ Hadis

Ulama’ hadis telah berupaya untuk mensistematisasikan penelitian matn

dengan baik yakni dengan cara mempermudah langkah-langkah dalam

melakukan penelitian matn hadis. Musfir Azmilla>h al-Dama>ni>

memberikan gambaran tentang metode ulama’ muh}addisi>n dalam

menilai suatu matn hadis. Metode tersebut antara lain tidak bertentangan

dengan al-Qur’an, tidak bertentangan antar satu hadis dengan hadis lainnya,

tidak bertentangan dengan sunnah satu dengan yang lainnya, tidak

bertentangan dengan kejadian yang sesungguhnya dan fakta sejarahnya, dan

sebagainya21.

19 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 97.20 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 98.21 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, hlm 145-146.

Page 9: KRITIK HADIS

9

Dengan model metode tersebut, kritik matn mulai menemukan model

baru yang lebih sempurna. Kesempurnaan bentuk kritik matn di masa ini,

dapat ditunjukkan dengan adanya upaya yang dilakukan para ulama’ untuk

memulai menspesialisasikan dirinya sebagai kritikus hadis, seperti Mali>k,

al-Thauri>, dan Syu’bah. Kemudian disusul dengan munculnya kritikus

hadis lainnya seperti Abdullah ibn al-Muba>rak, Yahya> ibn Sa’id al-

Qat}t}a>n, Abd rahma>n Mahdi> dan al-Imam al-Sya>fi’i. jejak mereka

diikuti Yahya> ibn Ma’i>n, Ali ibn al-Madi>ni> dan Ima>m Ah}mad22.

C. Objek Kritik Hadis

Sekalipun terdapat sedikit perbedaan mengenai batasan naqd hadis, namun

secara umum objek pembahasan studi ini tidak berubah, yakni menyangkut dua

aspek yaitu mata rantai transmisi hadis (sanad) dan isi kandungan hadis (matan).

Pada aspek sanad yang diperiksa adalah status maqbul23 dan tidaknya sanad itu,

sementara pada aspek matn yang diperiksa adalah status maqbul dan tidaknya

matn24.

1. Sanad

Secara etimologis, sanad berarti “bagian bumi yang menonjol” dan

“sesuatu yang berada di hadapan anda dan jauh dari kaki bukit ketika anda

memandangnya”. Bentuk jama’nya adalah “asnad”. Segala sesuatu yang

disandarkan kepada lain disebut musnad25.

Sedang secara terminologis, sanad adalah “jalur matn”, yaitu rangkaian

para perawi yang memindahkan matn dari sumber primernya. Sanad dalam

pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-

manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadits dengan sumber

22 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 99.23 Maqbul adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang

bersifat ‘udul memiliki hafalan yang sempurna, tidak terdapat kejanggalan dalam matannya dan tidak pula terdapat cacat. Lihat Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 52.

24 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 265.25 Suryadi, Metodologi, hlm 99. Lihat juga Muhammad Ajja>l al-Khat}i>b, Us}ul al-

Hadi>s ulu>muh wa Mus}t}alah}uh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm, 32-33.

Page 10: KRITIK HADIS

10

riwayat, yaitu Rasulallah saw (pada hadis marfu’) atau sahabat (pada hadis

mauquf) dan tabi’in (pada hadis maqthu’)26.

Dalam kritik sanad hadis maka hal-hal yang perlu diteliti adalah:

a. Kualitas personal sanad hadis yang mencakup kualitas kesalehan

sanad (keadilan-nya) dan kapasitas tingkat intelektualnya

(kedhabithannya).

b. Ketersambungan seluruh sanad hadis.

c. Terhindarnya sanad hadis dari sifat sudzudz dan illat.

2. Matan

Adapun definisi matan dari sisi bahasa berma’na punggung jalan atau

gundukan, bisa juga berma’na isi atau muatan. Teks hadis dinamakan

demikian karena isi hadis berada pada teks. Adapun secara terminology,

matan adalah akhir dari rentetan perawi dalam sebuah sanad. Ibarat tangga,

akhir pada anak tangga berujung pada teks, dan teks itu sendiri adalah

redaksi atau ucapan yang dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau

penutur teks itu bisa Nabi, sahabat, atau juga bisa tabi’in27.

Dalam kritik matan unsure-unsur yang harus diteliti adalah terhindarnya

dari sifat sudzudz dan illat.

Dalam menjabarkan dua criteria tersebut ulama’ berbeda-beda pandangan.

Seperti yang diungkapkan oleh Al-Khati>b al-Baghda>di>, yaitu:

1) Tidak bertentangan dengan akal sehat

2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an

3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir

4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan

5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti

26 Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, ( Jakarta: Erlangga, 2010), hlm 28.

27 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 94.

Page 11: KRITIK HADIS

11

6) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat28

Sedangkan menurut Shalah al-Din al-Adlabi mengemukakan bahwa

pokok-pokok tolok ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam,

yakni:

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2)

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat;

3) Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah;

dan,

4) Susunan pernyataanya menunjukan cirri-ciri sabda kenabian.29

D. Urgensi Kritik Hadis

Penelitian hadis penting dilakukan karena sosok hadis sendiri merupakan

salah satu ajaran Islam. Bebicara Islam tidak akan terlepas dari ajaran dasarnya.

Sumber Islam secara normative dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan hadis30.

Secara eksplisit, Muhammad ibn Si>ri>n menyatakan bahwa : “ Sesungguhnya

pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil

agamamu itu”. Sementara Abd Alla>h ibn al-Muba>rak menyatakan bahwa,

“Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada,

niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya31.

Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, keberadaannya pada awal

mulanya hanya dihafal secara berkesinambungan dari generasi ke generasi

berikutnya. Sampai pada upaya penulisan terhadap hadis32. Berbeda dengan Al-

Qur’an, secara keseluruhan hadis belum ditulis pada zaman Rasulullah saw,

bahkan Rasulullah melarangnya33.

28 Lihat, al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-rRwayah, Mesir, Mathba’ah as-Sa’adah, 1972 M, hh. 206-207

29 Lihat Shalah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al Matn, Dar al-Afaq al-Jadidah, Beirut, Cet. I, 1403 H= 1983 M, h. 238

30 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 6.31 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 100.32 Umar bin Abdul Aziz beliau menggagas penulisan ( tadwin) hadits. Beliau

memerintahkan kepada Walikota Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Ibn Hajm yang ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadits. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, ( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm 54.

33 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 11.

Page 12: KRITIK HADIS

12

Perjalanan panjang pembukuan hadis dan adanya beberapa kecenderungan

yang mewabah di dunia Islam menyebab tidak dipungkiri adanya pemalsuan

hadis. Senada dengan itu, hadis dapat diriwayatkan secara makna, artinya tidak

semua periwayat hadis meriwayatkan apa yang didengar dan diketahui dari

Rasulullah mereka dapat memberi ma’na dengan kata lain34.

Hal inilah yang memberikan porsi lebih atas perkembangan hadis dengan

menerapkan kaidah-kaidah yang ketat dalm menerima dan menolak suatu hadis

ketika dijadikan hujjah.

Dari kronologi penyusunan kitab hadis, ada enam macam kitab hadis, yaitu

al-Mus}annaf, al-Musnad, S}ahih, al-Mu’jam, al-Mustadrak, dan al-Mustakhraj35.

E. Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Sanad Hadis

Kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad muncul

dalam berbagai bentuk dan sifatnya, mulai dari yang bersifat umum sampai

kepada yang bersifat khusus.

1. Kitab Sanad Hadis Yang Bersifat Umum

a. Al-Tarikh al-Kabir

Kitab ini merupakan karya terbesar Al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M),

di dalamnya terdapat 12.315 biografi periwayat hadis. Al-Bukhari

menyusun nama-nama orang secara alfabetis dengan ciri khas tertentu,

dengan disesuaikan dari huruf pertama dari nama itu dan nama ayahnya.

Nama yang pertama diuraikan adalah mereka yang bernama Muhammad,

nama tersebut dipertimbangkan kemuliaan nama Nabi Muhammad Saw.,

sebagaimana didahulukannya nama sahabat yang paling pertama, dengan

tanpa melihat nama ayah mereka. Setelah penulis menguraikan nama-nama

yang ditempatkan secara khusus itu, baru ia menguraikan nama-nama yang

lain secara alfabetis.36

b. Al-Jarh wa al-Ta’dil

34 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 13.35 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 14.

36 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;Masturi Irham & Asmu’I Taman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm.,. 25.

Page 13: KRITIK HADIS

13

Kitab ini ditulis oleh Ibn Abi Hatim (wafat 327 H). Nama-nama

periwayat ditulis secara lengkap dengan menyebutkan nama ayah dan

gelarnya, kemudian diurut secara alfabetis. Yang paling menonjol dari

kitab ini adalah memberikan penilaian kualitas periwayat sesuai dengan

nama kitab tersebut, yaitu al-jarh wa ta’dil.37

2. Kitab-kitab Sanad hadis yang bersifat khusus

a. Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat

kitab-kitab tertentu, Seperti:

1) Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahli al-Tsiqat wa al Saddat

Kitab ini dikarang oleh Abi Nashr Ahmad Ibn Muhammad Al-

Kalabadi (wafat 318 H). Kitab ini dikhususkan pengarangnya hanya

membahas biografi para periwayat dalam Sahih Bukhari.

2) Rijal al-Sahih Muslim

Kitab ini dikarang oleh Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Al-Asfahani yang

dikenal dengan nama Ibn Manjuyah (wafat 428 H). Kitab ini berisi para

periwayat kitab Sahih Muslim secara khusus.

b. Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat

beberapa kitab hadis:

1) Kutub al-Tarajum al-Khassah bi Rijal al-Kutub al-Sittah

“Induk dari kitab-kitab yang termasuk dalam kelompok ini adalah

kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal, karangan Abdu gani Al-Maqdisi (wafat

600 H). Kitab ini merupakan kitab induk dalam kajian rijal al-Hadis.

Kitab rijal yang termasuk dalam kelompok ini adalah Tahzib al-

Kamal oleh Al-Syahr Abu Hajjaj Yusuf Ibn Zakki Al-Mizzi (wafat 742

H). Kitab Tahzib al-Kamal kemudian disempurnakan oleh ‘Alaw Al-Din

Al-maghlathay (wafat 762 H) dengan judul Ikmal Tahzib al-Kamal.

Karya Al-Mizzi di atas juga disusun ulang oleh Abu Abdillah Ibn

Ahmad Al-Zahabi (wafat 748 H) dengan judul Tahzib al-Tahzib. Ibnu

hajar Al-Asqalani juga menulis kitab dengan judul yang sama, yaitu

Tahzib al-Tahzib.

37 Ibid.

Page 14: KRITIK HADIS

14

c. Kitab-kitab sanad hadis yang khusus memuat periwayat tingkat sahabat:

1) Kitab Ma’rifah man Nazala min al Sahabah Sair al-Buldan karya Abu

al-Hasan Ali ibn Abdullah al-Madini (w.234)

2) Kitab al-Ma’rifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-

Marwazi, Kitab al-Sahabah karya Abu hatim Muhammad ibn Hibban

Al-Busti,

3) Kitab Al-Istiab fi Marifah al-Ashab karya Abu Umar Yusuf ibn

Abdillah ibn Muhammad ibn Abd Barr al-Namiri Al-Qurtubi (w. 463)

4) Kitab Tajrid Asma al-Sahabah karya al-Hafiz Syams al-Din Abu

abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Asir (555-630),

5) Kitab al-Badr al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir karya

Muhammad Qasim ibn Salih al-Sindi, dan lain-lain.38

d. Kitab-kitab yang secara khusus menghimpun para periwayat-periwayat

Tsiqah saja, seperti:

1) Ali Ibn Abdullah Al-Madini (234 H) menghimpun periwayat hadis

yang Tsiqah dalam karyanya yang diberi judul al-tsiyat wa al

Mutsabbitin yang terdiri dari sepuluh juz.

2) Abu Al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih Al-‘Ijli (261 H) juga

menghimpun perwayat hadis yang tsiqah dalam koleksinya diberi judul

Kitab al-Tsiqah. Di dalam kitab ini, nama-nama periwayat hadis

disusun secara alfabetis.

3) Muhammad Ibn Ahmad Hibban Al-Busti (354 H) juga menghimpun

periwayat hadis yang tsiqah dalam satu kitab tertentu, yang diberi

nama Kitab al-Tsiqat., nama periwayat dalam kitab ini disusun secara

alfabetis.39

e. Kitab-kitab sanad hadis yang khusus mengkaji dan menghimpun

periwayat dhaif:

1) Kitab al-duafa’ wa al-Matrukin, karya An-Nasa’i.

38 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, hlm. 117.39 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hlm.

27-28.

Page 15: KRITIK HADIS

15

2) Kitab al-Du’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (w

323 H).40

F. Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Matan Hadis

Kitab yang khusus membahas kritik matan belum ditemukan pada awal

awal perkembangan ilmu hadis. Namun, kitab tentang matan telah muncul

bersamaan dengan berkembangnya ilmu hadis. Kitab yang membahas tentang

matan hadis, pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi,

baik kontroversi hadis dengan hadis sahih, hadis dengan akal, maupun dengan

Alquran.

Adapun kitab-kitab yang mengkaji seputar penelitian terhadap matan hadis

antara lain adalah sebagai berikut:

1. Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab yang

berjudul ikhtilaf al-hadits untuk menyelesaikan kitab yang kelihatannya

saling bertentangan terutama yang menyangkut hukum.

2. Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri (wafat 204 H) menulis kitab yang senada

dengan karya Imam Al-Syafi’i dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.

3. Shalah Al-Din ibn Ahmad Al-Adabi menulis kitab berjudul Manhaj

naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi

4. Muhammad Thahir Al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-

Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif

5. Muhammad Mushthafa Al-A’zhami menulis kitab yang berjudul Manhaj

al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin,

6. Yusuf Qardawi menulis kitab yang berjudul kayfa Nataamal ma’a al-

Sunnah al-Nabawiyah, Muhammad Al-Ghazali menulis kitab yang

berjudul Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits.

Kitab-kitab di atas berusaha menawarkan metodologi penelitian dan kritik

matan hadis serta berupaya mengidentifikasi hadis-hadis yang dianggap

berseberangan dengan sumber hukum yang lain.41

G. Tokoh-tokoh Kritikus Hadis

40 Ibid.41 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm., 61-62.

Page 16: KRITIK HADIS

16

Perjalanan sejarah perkembangan kritik hadis telah diuji oleh berbagai

cobaan dari internal dan eksternal umat Islam. Namun berbagai peristiwa yang

mencoba menguji otentisitas dan orisinalitas hadis tersebut malah menyadarkan

kaum muslimin untuk menetapkan rambu-rambu, standarisasi dan metode

penelitian hadis. Dari hasil kajian tersebut maka terlahirlah para kritikus hadis

yang populer di masanya, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kritikus Hadis Pada Masa Sahabat (abad 1 H.)

Adapun para kritikus hadis yang dapat disebutkan di masa sahabat

antaranya adalah sebagai berikut :

Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), Umar bin Khattab (w. 234

H=644 M) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M), Abdullah Ibn Hushain (w.

52 H), `Imran ibn Hushain (w.52 H), Abu Hurairah (59 H), Abdullah ibn

Amar ibn al-`Ash (w. 65 H), Abdullah ibn `Umar (w. 83 H), Abu Sa`id al-

Khudzri (w. 79 H), dan Anas ibn Malik (w. 92 H).42

2. Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in (Abad 2 H.)

Adapun tokoh penelitian hadis pada masa tabi’in (abad II) dan pusat

aktivitas mereka adalah sebagai berikut:

a. Kufah dengan tokohnya Sufya>n al-Thauri> (97-161 H), Wa>lid ibn

al-Jarrah (wafat 196 H).

b. Madinah dengan tokohnya Ma>lik ibn Anas ( 93-179 H)

c. Beirut dengan tokohnya al-Awza’I (88-158 H)

d. Wasith dengan tokohnya Syu’bah (83-100 H)

e. Basrah dengan tokohnya Hamma>d ibn Sala>mah ( wafat 167 H),

Hamma>d ibn Zaid (wafat 179 H), Yahya> ibn Sa’id al-Qat}t}a>n

(wafat 198 H) dan Abd al-Rahma>n ibn Mahdi> (wafat 198 H)

f. Mesir dengan tokohnya al-Laits ibn Sa’d (wafat 175 H) dan al-Syafi’I

(wafat 204 H)

g. Makkah dengan tokohnya ibn ‘Uyainah (107-198 H)

h. Merv dengan tokohnya Abdullah ibn al-Muba>rak (118-181 H)43

42 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis dan Metodologis, hlm. 40.43 M.M. Azami, Metodologi Pemahaman, hlm 85-86. Lihat juga Umi Sumbulah, Ktitik

Hadis, hlm 41.

Page 17: KRITIK HADIS

17

3. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3 H.

Tokoh-tokoh hadis yang telah disebutkan di atas adalah tokoh kritikus

abad II H yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh kritik penerus mereka di

abad ke III H, yakni di antaranya adalah:

a. Baghdad dengan tokohnya Yahya> ibn Ma’i>n (wafat 233 H), Ibn

H}anbal (wafat 241 H), dan Zuhair ibn H}arb (wafat 234 H)

b. Basrah dengan tokohnyan Ali ibn al-Madi>ni> (wafat 234 H) Ubaid

Allah ibn Umar (wafat 235 H)

c. Wasith dengan tokohnya Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah (wafat 235 H)

d. Merv dengan tokohnya Isha>q ibn Rahawaih (wafat 238 H)44.

Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga inilah pada perkembangan

berikutnya muncul ilmuwan-ilmuwan hadis seperti al-Bukha>ri>, al-Darimi,

Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, yang karena kontribusi intelektual merekalah hadis

maupun ilmu hadis menemukan elanvitalnya sebagai khazanah pola pikir para

cerdik cendekiawan di masa-masa berikutnya45

Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga ini kemudian melahirkan

ilmuwan-ilmuwan hadis sekaliber seperti:

a. Malik bin Anas (97-179 H.), nama lenkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik

bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Asbahiy al-Himyari al-Madaniy.

b. Asy –Syafi’I (150-204 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Acdullah

Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Syafi’I bin as-Saibbin’Ubaid bin

‘Abdu Yaziz bin Hasyim bin ‘Abdul Mutolib bin ‘Abdul Manaf al-

Muttolib al-Qurisyiy.

c. Ahmad bin Hanbal ( 164-241H.) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Ahmad

bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad Asy- Syaibani al-

Marwaziy dari Maru

d. Ad-Darimi ( 181- 255 H.) nama lengkapnya adalah Abu Muhammad

‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at- Tamimiy ad-

Darimi.

44 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 42.45 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis,, hlm 42.

Page 18: KRITIK HADIS

18

e. Al-Bukhori(194-256H.),nama lengkapnya, Abu ‘Abdullah Muhammad bin

Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya Majusi.

f. Muslim,( 206-261H.), nama lengkapnya adalahAbul Husain Muslim bin

Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an- Naisaburi.

g. Abu Daud (202-275 H.), nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin

Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani

h. Ibn Majah (209-273 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah

Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Robi’I al-Qozwani.

i. Abu Hatim Ar Rozi (195 H. - 227 H.), nama lengkap Abu Hatim Ar-Razi

adalah Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran Al-Hanzhali

Al-Hafizh.

j. At-Tirmidzi ( 209-279 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad

bin Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi at-Tirmidzi

k. An- Nasa’i (214-303 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman

Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin Sinan an-Nasai.46

4. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H.

Tokoh-tokoh kritikus hadis yang terdapat pada abad ke 4, 5, 6, 7 adalah

sebagai berikut:

a. At-Tobroni (260-360 H), lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi.

b. Al- Hakim ( 321-405 H), lahir di Naisabur pindah ke Iroq

c. Ibn Khuzaimah (223-313 H), lahir di Khurosan

d. Ibn Hibban ( w 354), dia orang Samarqond.

e. Ad-Daruqutni ( 306-385 H), dia orang Bagdad

f. At-Tohawi (238-321H), dia orang Mesir

g. Al- Baihaqi (w. 458 H), wafat di Naisabur, belajar hadis ke ‘Iroq dan

Hijaj.

h. An-Nawawi ( 631-676 H),lahir di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti

Kitab Riyadus solihin.

i. Al-Imam Adz-Dzahabi (673-748 H), Nama lengkap Al-Imam Adz-Dzahabi

adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin

46 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 86-125.

Page 19: KRITIK HADIS

19

Abdullah at-Turkimani al-Fariqi, Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’I, Syamsuddin Abu

Abdillah Adz-Dzahabi.47

Adapun mengenai profil, kapasitas intelektual, guru dan murid, kelompok

sosial, dan karya-karya para tokoh kritikus hadis ini dapat ditelusuri pada kitab

yang mengkaji keritikus hadis seperti kitab tahzib al-kamal.

H. Indikasi Mayor dan Minor Sanad dan Matan Hadis Shahih

1. Indikasi mayor sanad dan matan hadis shahih

Kaidah kritik sanad hadis dapat diketahui dari pengertian istilah hadis

shahih. Menurut ulama hadis, Ibn al-Shalah (w. 643 H), hadis shahih ialah

hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh

periwayat yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak

terdapat kejanggalan (syudzudz), dan cacat (‘illat).48

Dari pengertian istilah tersebut, dapat diurai unsur-unsur hadis shahih

menjadi: (1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; (3) periwayat

bersifat dhabith; (4) dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syudzudz);

dan (5) dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat). Ketiga unsur yang

disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya

berkenaan dengan sanad dan matan. 49

Dengan demikian unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum

kaidah keshahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan

dengan sanad dan dua macam berkaiatan dengan matan. Persyaratan umum itu

dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsurnya

memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat

khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.50

47 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 812.48 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya

(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 7649 Pernyataan itu didasarkan atas ketentuan yang menyatakan bahwa syudzudz dan ‘illah

hadis terdapat pada sanad dan matan. Lebih lanjut lihat, misalnya Al-Sakhawi, Fath al-Mugits, al-Maktabah al-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah, 1388 H= 1968, Juz I, hh. 183-184 dan 209-217; Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, Damaskus, 1399 H= 1979 M, hh. 428-429 dan 447-454; dan Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Dar al-Qur’an al-Karim, Beirut, 1398 H= 1979 M, hh. 98-101 dan 116-118.

50 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 77

Page 20: KRITIK HADIS

20

Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad diatas

sesungguhnya dapat “dipadatkan” menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur

terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur

pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi

kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari adanya tumpang

tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.51

2. Indikasi minor sanad hadis shahih

Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi keshahihan sanad

disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-

butirnya sebagai berikut:

a. Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung. Mengandung

unsur kaidah minor: (a) muttashil (bersambung)52; (b) marfu’

(bersandar kepada Nabi saw); (c) mahfuzh (terhindar dari syudzudz);

dan (d) bukan mu’all (bercacat).53

51 Ibid,. 52 Istilah muttashil, dimaksudkan sebagai hadis yang bersambung sanadnya. Namun

demikian, istilah tersebut belum menjamin bahwa kebersambungan sanad tersebut pasti hingga Rasulullah, bisa saja hingga sahabat atau bahkan hingga tabi’in saja. Oleh karena itu kemudian muncul istilah muttashil marfu’ jika kebersambungan dengan Rasulullah, muttashil mauquf jika hingga sahabat dan muttashil maqthu’ jika hany sampai pada tingkatan tabiin. Lihat misalnya Zain al-Din al-Iraqi, AL-Taqyid wa al-Idhah: Syarh Muqaddimah Ibn al-Shalah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) h. 65-66

53 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada klasifikasi ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi yang demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah memberikan akurasi yang pasti sifatnya. Sayangnya, hadis-hadis Rasulullah yang diklasifikan pada kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Lain halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Disamping hadis tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang dzanni sifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan. Berpijak pada argumentasi tersebut, titik orientasi kritik sanad yang dikembangkan oleh para ulama menemukan arti pentingnya bagi upaya pembuktian valid atau tidak valid suatu hadis. Tidak selalu terdapat keseberagaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Salah satu konsep yang dapat dimajukan yakni, digulirkan oleh al-Bukhari. Bagi al-Bukhari sebuah sanad baru diklaim bersambung apabila memenuhi criteria berikut: pertama, al-liqa’ yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya; kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya. Lihat Ali

Page 21: KRITIK HADIS

21

b. Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayatnya bersifat adil.

Mengandung unsur kaidah minor: (a) beragama Islam; (b) mukallaf

(baligh dan berakal sehat); (c) melaksanakan ketentuan agama Islam;

dan (d) memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa

pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan

kebiasaan-kebiasaan).

c. Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat dhabith dan atau

adhbath, mengandung unsur kaidah minor: (a) hafal dengan baik

hadis yang diriwayatkannya; (b) mampu dengan baik menyampaikan

riwayat hadis yang dihafalnya kepada orang lain; (c) terhindar dari

syudzudz; dan (4) terhindar dari ‘illat.54

3. Indikasi minor matan hadis shahih

Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan, ada dua

macam, yakni “terhindar dari syudzudz” dan “terhindar dari ‘illah”. Ulama

hadis tampaknya mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi

unsur-unsur kaidah minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan

demikian karena, karena dalam kitab-kitab yang membahas penelitian hadis,

sepanjang yang penulis telah mengkajinya, tidak terdapat penjelasan

klasifikasi unsur-unsur kaidah minor berdasarkan unsur-unsur kaidah

mayornya. Padahal untuk sanad, klasifikasi itu dijelaskan.55

Pernyataan tersebut tidaklah dimaksudkan bahwa ulama hadis tidak

menggunakan tolak ukur dalam meneliti matan. Tolok ukur itu telah ada,

hanya saja dalam penggunaannya, biasanya ulama hadis menempuh jalan

secara langsung tanpa bertahap menurut tahapan unsur kaidah mayor;

misalnya dengan memperbandingkan matan hadis yang sedang diteliti dengan

dalil naqli tertentu yang lebih kuat dan relevan. Jadi kegiatan penelitian tidak

Mustafa Ya’kub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) Cet. II, h. 19

54 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 132-133

55 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 78

Page 22: KRITIK HADIS

22

diklasifikasi, misalnya langkah pertama meneliti kemungkinan adanya

syudzudz dengan unsur-unsur kaidah minornya, lalu diikuti langkah

berikutnya meneliti kemungkinan adanya ’illah dengan unsur-unsur kaidah

minornya juga.56

Adapun tolok ukur penelitian matan (ma’ayir naqd al-matn) yang telah

dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam. Al-Khathib al-Baghdadi (w. 463

H = 1072 M) menjelaskan bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai

hujah) haruslah: (1) tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak

bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah muhkam; (3) tidak

bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan

yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf); (5) tidak

bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan (6) tidak bertentangan dengan

hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat. 57 Keenam butir tolak ukur

tersebut nampak masih tumpang tindih. Selain itu, masih ada tolok ukur

penting yang tidak disebutkan, misalnya tentang susunan bahasa dan fakta

sejarah.

Shalah al-Din al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolok

ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam, yaki: (1) tidak

bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis

yang kualitasnya lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat,

indera dan sejarah; dan (4) susunan pernyataanya menunjukan cirri-ciri sabda

kenabian.58 Tolok ukur tersebut masih bersifat global dan masih dimungkinkan

untuk dikembangkan.

Butir-butir tolok ukur di atas yang dapat dinyatakan sebagai kaidah

keshahihan matan oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai tolok ukur untuk

meneliti kepalsuan suatu hadis. Menurut jumhur ulama, tanda-tanda matan

56 Ibid57 Lihat, al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-rRwayah, Mesir, Mathba’ah as-

Sa’adah, 1972 M, hh. 206-20758 Lihat Shalah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al Matn, Dar al-Afaq al-

Jadidah, Beirut, Cet. I, 1403 H= 1983 M, h. 238

Page 23: KRITIK HADIS

23

hadis yang palsu ialah: (1) susunan bahasanya rancu; (2) isinya bertentangan

dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; (3)

isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; (4) isinya bertentangan

dengan hukum alam (sunnatullah); (5) isinya bertentangan dengan sejarah; (6)

isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran ataupun hadis mutawatir yang

telah mengandung petunjuk secara pasti; (7) isinya berada diluar kewajaran

diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.59

Walaupun butir-butir tolok ukur penelitian matan tersebut tampak telah

cukup menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya ditentukan oleh ketepatan

metodologis dalam penerapannya. Untuk itu, kecerdasan, keluasan

pengetahuan, dan kecermatan peneliti sangat dituntut.60

Selanjutnya dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatan kritik

sanad dan matan hadis, maka kritik sanad dilaksanakan terlebih dahulu

sebelum kegiatan kritik matan. Langkah itu dapat dipahami dengan melihat

latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadis sebagaimana

telah dibahas di muka. Dengan latar belakang sejarah tersebut maka dapat

dipahami juga, mengapa Imam al-Nawawi (w. 676 H= 1277 M) menyatakan

bahwa hubungan hadis dengan sanadnya semisal hubungan hewan dengan

kakinya.61 Jadi, penelitian matan barulah bermanfaat, bila sanad hadis yang

bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujah. Bila sanad bercacat berat,

maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujah.62

59 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 80

60 Ibid 61 Lihat pernyataan al-Nawawi dalam Syarh Muslim li al-Nawawi, al-Mathaba’ah al-

Mishriyyah, (Mesir), Juz I, 1924 M, h. 8862 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h.

80

Page 24: KRITIK HADIS

24

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Sanad dipahami sebagai serangkaian perawi yang mentransmisikan hadis

dari Rasulullah sampai kepada mukharrij al-hadith. Matan difokuskan pada

teks hadis yang merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan

Rasulullah, yang ditransmisikan pada generasi-generasi berikutnya sehingga

sampai pada tangan para mukharrij al-hadith, baik secara lafdzi maupun

ma’nawi.

Istilah kritik sanad hadis shahih, mengandung arti bahwa seluruh jajaran

perawi dalam suatu hadis berkualitas shahih, disamping juga adanya

kebersambungan sanad, serta terbebas dari kerancuan (syadz) dan cacat

(‘illat). Mengacu pada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa jajaran

periwayatnya berkualitas dha’if, atau bisa jadi karena tidak memenuhi criteria

keshahihan isinya. Istilah kritik matan hadis, dipahami sebagai upaya

pengujian atas keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan

antara matan-matan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Dengan

demikian, kritik matan tersebut bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau

menggoyah dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah,

akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi atau makna gua memetapkan

keabsahan suatu hadis.

Dapat ditegaskan, bahwa kritik sanad diperlukan untuk mengetahui apakah

perawi itu jujur, taqwa, kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung

atau tidak. Sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis

tersebut mengandung berupa syadz atau ‘illat.

Mengacu pada tujuan final dari kritik hadis, yakni memilah dan memilih

hadis antara yang shahih dan yang tidak, aktivitas tersebut merupakan

keharusan. Karena dengan aktivitas kritik hadis, akan memberikan keyakinan

Page 25: KRITIK HADIS

25

pada umat Islam berupaya merealisasikan serangkaian ajaran agama dengan

berpegang pada hadis-hadis yang telah terbukti keshahihannya dan

meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa diterima sebagai dasar agama.

Dengan demikian kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dalam realisasi

ajaran agama yang telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah dapat

diminimalisir.