Kritik Sastra materi
-
Upload
tiean-bocah-supper -
Category
Documents
-
view
447 -
download
21
description
Transcript of Kritik Sastra materi
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada tiga aliran kritik sastra, yakni: relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di bawah ini.
Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham abslutisme.
Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada paham-paham di luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini cenderung menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai perspektif tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya). Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini dalam menilai karya sastra.
KRITIK SASTRA(catatan ringkas utk KPS)1. Pengertian Secara Bahasa NAQD adalah: 1) Membedakan antara Uang Dirham Yang baik dg yang jelek, 2) Pemberian, 3) Mencuri-curi pandang, 4) Aib / cacat. Definisi pertama kemudian dianggap bisa dijadikan acuan untuk mendefinisikan kritik sastra.Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
KRITIKUS SASTRA
Seorang kritikus tidak disyaratkan pernah menelorkan sebuah karya sastra, karena banyak orang yang tidak bisa bermain bola tapi dia paham dalam teori persepak bolaan. Syarat kritikus sastra: 1) Punya Dzauq Adabi (rasa sastra), 2) Kebudayaan, 3) Pengalaman/ latihan dalam mengkritik, 4) berjiwa seni2. Manfaat Kritik SastraSetidaknya, ada 4 (empat) manfaat kritik sastra. Keempat manfaat tersebut adalah sebagai berikut. a. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastradalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.b. Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembacaDalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus. Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran, kemanusiaan, dan kebenaran).c. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiriAnalisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.d. Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastraDalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.
3. Aktivitas Kritik SastraDari pengertian kritik sastra di depan, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci, aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni menganalisis, menafsirkan, dan menilai. Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antarnsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi pada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b) memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Sedangkan penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus4. Aliran-aliran Kritik SastraMenurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a) relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.(a) Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham abslutisme.(b) Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada paham-paham di luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini cenderung menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).(c) Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai perspektif tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya). Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini
dalam menilai karya sastra.5. Jenis-jenis Kritik Sastra(a) Menurut BENTUKNYA, ada 2 jenis kritik sastra, yakni kritik teoretis (theoritical criticism) dan kritik terapan (practical/applied criticism).1) Kritik teoretis adalah jenis kritik sastra yang berusaha menerapkan kriteria-kriteria tertentu(teori) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya. Kritik teoretis mencoba menerapkan prinsip-prinsip umum, menetapkan suatu perangkat istilah yang mengkait, perbedaan-perbedaan, kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan, interpretasi-interpretasi karya sastra. Beberapa buku kritik sastra jenis ini antara lain:-. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern karya Rahmad Djoko Pradopo-. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Andre Hardjana2) Kritik terapan berupaya menerapkan teori sastra berdasarkan keperluannya. Kritik ini berupaya agar prinsip dan kriteria yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik karya sastra yang bersangkutan. Contoh buku kritik sastra jenis ini antara lain:-. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei karya HB Jassin. -. Buku dan Penulis karya R. Sutia S.(b) Menurut PELAKSANAANNYA, ada 3 jenis kritik sastra, yakni kritik judisial (judicial criticism), kritik impresionistik (impresionistic criticism), dan kritik induktif (inductive criticism).1) Kritik Judisial menurut Abrams adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar yg umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan2) Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat yang terasa dalam berdasarkan kesan-kesan/tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB Jassin.3) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif. Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya. Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun (akademisi UI).(c) Menurut PENDEKATANNYA thd. Karya sastra, ada 4 jenis kritik sastra, yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif (objective criticism).
1) Kritik mimetik Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain misalnya:-. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo-. Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo-. Fiksi Indonesia Dewasa Ini, Jakob Sumardjo-. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sapardi Joko Damono2) Kritik pragmatikKritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. 3 Kritik ekspresif Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya.Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:-. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman-. Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi-. Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo-. WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake-. Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan4) Kritik objektifKritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia
sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya) Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb.Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:-. New Critics (Kritikus Baru di AS)-. Kritikus formalis di Eropa-. Para strukturalis PerancisDi Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok aliran Rawamangun.-. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemaryati-. Novel Baru Iwan Simatupang, Dami N. Toda-. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia, Th. Rahayu Prihatmi-. PerkembanganNovel-Novel di Indonesia, Umar Yunus-. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Umar Yunus-. Tergantung Pada Kata, Teeuw6. Ketegangan antarKritikus di Indonesia-. Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS)-. Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan-. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM, MH Ainun Najib, Korrie Layun Rampan-. Antara pakar sastra VS Kritikus seniman saling bertentangan. Para pakar menyatakan bahwa ketika membuat kritik, kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif, sementara para seniman menyatakan bahwa pakar melihat sastra seperti benda yang dipilah-pilah.
Pada dasarnya ada 3 (tiga) macam paham penilaian:
1. Relativisme (Critical Relativism).
Paham relativisme beranggapan bahwa nilai suatu cipta sastra itu bergantung kepada masa cipta sastra itu diterbitkan dan kemudian tidak dimungkinkan adanya penilaian lagi. "That aesthetic value is not inherent in the work, but dependent upon the approval of an individual, social group, historical period, or culture". Jadi penilaiannya yang relatif berlaku pada suatu tempat dan jaman tertentu dianggap berlaku untuk umum di segala tempat dan jaman.
2. Absolutisme (Critical Absolutism).
Paham absolutisme berusaha menilai suatu cipta sastra berdasarkan normanorma di luar cipta sastra yang umumnya bersifat dogmatis, misalnya berdasarkan paham politik, ukuran-ukuran moral, atau aliran-aliran tertentu yang berdasar pandangan yang sempit. Paham ini menilai suatu cipta sastra tidak hakekat dan fungsi sastra, melainkan berdasar ukuran-ukuran di luar cipta sastra yang sifatnya (absolute (mutlak), seperti misalnya ukuran yang dipakai kaum Humanis baru, Marxis dan Neo-Thomisdi Eropa. Di Indonesia paham ini dikembangkan oleh golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan dengan usaha "mengganyang" puisipuisi Chairil Anwar dan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wyek karangan Hamka, Lekra bersemboyan "politik adalah panglima", artinya segala bentuk kegiatan kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.
Baik absolut maupun relativisme kedua-duanya merupakan paham penulisan yang banyak mengandung kelemahan, "Relativism reduces the history of leterature to a series of discrete and hence discontinuous fragments, while most absolutism serve either only a passing present day situation or are based on some abstract non-literary ideal unjust to the historical variety of literature".
3. Perspektivisme (critical perspectivism)
Paham penilaian perspectivisme berusaha menganalisa sesuatu cipta sastra dari berbagai sudut pandangan atau dari berbagai aspek. Paham ini beranggapan bahwa suatu cipta sastra itu mempunyai sifat abadi (eternal) dan historis (historical). Abadi dalam memiliki suatu ciri yang tertentu dan historie dalam arti cita sastra itu telah melewati suatu perkembangan yang dapat dirunut.
Perspektivisme memungkinkan tiap periode atau tiap zaman untuk memberikan suatu penilaian terhadap suatu cipta sastra, sehingga dengan demikian akan nampak masa-masa perkembangan yang telah dilalui oleh cipta sastra itu. Perspektivisme mengakui nilai statu cipta sastra pada masa terbitnya, pada masa-masa yang telah dilalui dan pada masa sekarang. Mungkin suatu cipta sastra dipandang bernilai pada masa terbitnya, akan tetapi kemudian dipandang kurang bernilai pada masa-masa berikutnya atau dapat juga terjadi yang sebaliknya. Puisi-puisi Chairil Anwar pada pertama kali disiarkan banyak dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang sebagai puisi yang tinggi nilainya.
Di antara ketiga paham penilaian itu maka perspektivismelah yang paling tepat, oleh karena itu berusaha menilai suatu cipta sastra dari berbagai sudut dan berdasarkan cipta sastra itu sendiri sesuai dengan hakekat dan fungsinya.
kritikus dituntut beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut.
1. Dengan karyanya harus berupaya membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2. Melakukan kritik secara objektif tanpa prasangka, dan dengan jujur dapat mengatakan yang baik itu baik dan yang kurang itu kurang.
3. Mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja para sastrawan sebab hal itu memberi pengaruh terhadap hasil karyanya.
4. Dapat menyesuaikan diri dengan lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan memiliki rasa cinta dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap pembinaan kebudayaan dan tata nilai yang benar.
5. Dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat menaikkan. Kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra.
Pengertian Kritik Sastra
Istilah "kritik" (sastra) berasal dari Bahasa Yunani yaitu "krites" yang berarti "hakim". "Krites" sendiri berasal dari "krinein" yang berarti "menghakimi"; "kriterion" yang berarti "dasar penghakiman" dan "kritikos" berarti "hakim kesusastraan". Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut Graham Hough (1966: 3), kritik sastra tidak hanya terbatas pada penyuntingan, penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai. Menurutnya, kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu sendiri, apa tujuannya, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
Abrams dalam "Pengkajian Sastra" (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
Fungsi Kritik Sastra
Menurut Pradopo, fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek, "Karya sastra tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra."
2. Untuk perkembangan kesusastraan. Maksudnya, kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra, mengenai baik buruknya, dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3. Sebagai penerangan masyarakat, umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi kritik sastra dapat digolongkan menjadi dua:
1. Fungsi kritik sastra untuk pembaca:
1. Membantu memahami karya sastra.
2. Menunjukkan keindahan yang terdapat dalam karya sastra.
3. Menunjukkan parameter atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra.
4. Menunjukkan nilai-nilai yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
2. Fungsi kritik sastra untuk penulis:
1. Mengetahui kekurangan atau kelemahan karyanya.
2. Mengetahui kelebihan karyanya.
3. Mengetahui masalah-masalah yang mungkin dijadikan tema tulisannya.
Manfaat Kritik Sastra
Manfaat dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi 3, yaitu:
1. Manfaat kritik sastra bagi penulis:
1. Memperluas wawasan penulis, baik yang berkaitan dengan bahasa, objek atau tema-tema tulisan, maupun teknik bersastra.
2. Menumbuhsuburkan motivasi untuk menulis.
3. Meningkatkan kualitas tulisan.
2. Manfaat kritik sastra bagi pembaca:
1. Menjembatani kesenjangan antara pembaca dan karya sastra.
2. Menumbuhkan kecintaan pembaca terhadap karya sastra.
3. Meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra.
4. Membuka mata hati dan pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
3. Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra:
1. Mendorong laju perkembangan sastra, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
2. Memperluas cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra.
Jenis-Jenis Pendekatan Kritik Sastra
Abrams (1981: 36-37) membagi pendekatan terhadap suatu karya sastra ke dalam empat tipe yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
1. Kritik Mimetik
Menurut Abrams, kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Karya sastra dianggap sebagai cerminan atau penggambaran dunia nyata, sehingga ukuran yang digunakan adalah sejauh mana karya sastra itu mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita yang ada, semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato, yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan. Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angkatan 45.
2. Kritik Pragmatik
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang diharapkan). Tujuan karya sastra pada umumnya bersifat edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana pernah
menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul "Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan".
3. Kritik Ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu. Kritik ekspresif meyakini bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Dengan menggunakan kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin penulis atau keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang, secara sadar atau tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik zaman Balai Pustaka atau Pujangga Baru menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
1. "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" karya Arif Budiman.
2. "Di Balik Sejumlah Nama" karya Linus Suryadi.
3. "Sosok Pribadi dalam Sajak" karya Subagio Sastro Wardoyo.
4. "WS Rendra dan Imajinasinya" karya Anton J. Lake.
5. "Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan" karya Korrie Layun Rampan.
4. Kritik Objektif
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan menghendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb.; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb..
Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:
1. New Critics di AS
2. Formalisme di Eropa
3. Strukturalisme di Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok kritikus aliran Rawamangun:
1. "Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati.
2. "Novel Baru Iwan Simatupang" karya Dami N. Toda.
3. "Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi.
4. "Perkembangan Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus.
5. "Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus.
6. "Tergantung pada Kata" karya A. Teeuw.
Aliran-aliran Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a) relativisme, (b)
absolutisme, dan (c) perspektivisme.
(a) Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra
(penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya
sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu
tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain
(dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian
karya sastra yang menganut paham abslutisme.
(b) Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada paham-paham di luar sastra
seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak
didasarkan pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki
tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini cenderung menilai karya sastra secara
dogmatis dan statis. Contoh kritik sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru
dan marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa
sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
(c) Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai perspektif tempat, waktu, dan sudut
pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini
berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri tertentu,
historis karena karya sastra itu melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain,
karya sastra dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian.
Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan
penafsirnya). Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini dalam menilai karya
sastra.
5. Jenis-jenis Kritik Sastra
(a) Menurut BENTUKNYA, ada 2 jenis kritik sastra, yakni kritik teoretis (theoritical criticism) dan kritik terapan
(practical/applied criticism).
1) Kritik teoretis adalah jenis kritik sastra yang berusaha menerapkan kriteria-kriteria tertentu(teori) untuk
menilai karya sastra dan pengarangnya. Kritik teoretis mencoba menerapkan prinsip-prinsip umum,
menetapkan suatu perangkat istilah yang mengkait, perbedaan-perbedaan, kategori-kategori untuk
diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan, interpretasi-interpretasi karya sastra. Beberapa buku kritik
sastra jenis ini antara lain:
-. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern karya Rahmad Djoko Pradopo
-. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Andre Hardjana
2) Kritik terapan berupaya menerapkan teori sastra berdasarkan keperluannya. Kritik ini berupaya agar
prinsip dan kriteria yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik karya sastra yang bersangkutan.
Contoh buku kritik sastra jenis ini antara lain:
-. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei karya HB Jassin.
-. Buku dan Penulis karya R. Sutia S.
(b) Menurut PELAKSANAANNYA, ada 3 jenis kritik sastra, yakni kritik judisial (judicial criticism), kritik
impresionistik (impresionistic criticism), dan kritik induktif (inductive criticism).
1) Kritik Judisial menurut Abrams adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-
efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar yg umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan
2) Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat yang
terasa dalam berdasarkan kesan-kesan/tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara
langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus melakukan kritik praktis. Contoh
paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB Jassin.
3) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-
fenomena yang ada secara objektif.
Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif
tanpa menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya.
Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun (akademisi UI).
(c) Menurut PENDEKATANNYA thd. Karya sastra, ada 4 jenis kritik sastra, yakni kritik mimetik (mimetic
criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif
(objective criticism).
1) Kritik mimetik
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra
merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh
mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra
menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.
Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah
tiruan kenyataan.
Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain misalnya:
-. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo
-. Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo
-. Fiksi Indonesia Dewasa Ini, Jakob Sumardjo
-. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sapardi Joko Damono
2) Kritik pragmatik
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan
sesuatu yang daharapkan). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis.
Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini
berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul
Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3 Kritik ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang)
karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan,
kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang
sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.
Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori
kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
-. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman
-. Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi
-. Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo
-. WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake
-. Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan
4) Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap sekitarnya, bebas
dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi
dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehndaki
pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas,
koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya)
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup
kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb.
Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:
-. New Critics (Kritikus Baru di AS)
-. Kritikus formalis di Eropa
-. Para strukturalis Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok aliran Rawamangun.
-. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemaryati
-. Novel Baru Iwan Simatupang, Dami N. Toda
-. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia, Th. Rahayu Prihatmi
-. PerkembanganNovel-Novel di Indonesia, Umar Yunus
-. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Umar Yunus
-. Tergantung Pada Kata, Teeuw
6. Ketegangan antar Kritikus di Indonesia
-. Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung,
Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh
(UNHAS)
-. Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob
Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan
-. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM, MH Ainun Najib, Korrie Layun
Rampan
-. Antara pakar sastra VS Kritikus seniman saling bertentangan. Para pakar menyatakan bahwa ketika
membuat kritik, kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif, sementara para seniman menyatakan
bahwa pakar melihat sastra seperti benda yang dipilah-pilah.
A. Paham Penilaian Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a) relativisme,
(b) absolutisme, dan (c) perspektivisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang ketiga aliran kritik
sastra tersebut:
1. Relativisme
Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya
sastra. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada
karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya
sastra tersebut terus dianggap bernilai di zaman dan tempat yang lain. Penilaian relativisme
memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan
bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat padakonteks tempat dan
zaman tertentu tidak memerlukan penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59). Contoh
penilaian relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai
literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu
dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat
dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan
masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak
bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa
Hikayat Si Miskin haruslahditerima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai
sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun(tempat/ lokus). Jadi, penilaian relativisme yang
diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di
segala tempat dan zaman lain yang berbeda.
2. Absolutisme
Penilaian absolut Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau
aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-
ukuran yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru,
Marxis danNeo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan
ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum
tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya
sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judicial menggunakan
standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra
tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit
banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61). Di
Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra
adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
3. Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu
dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya
sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai keabadian dan
kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada
zamannya. Nilai historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau
melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik,
realisme, dan postmodernisme. Jadi, penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra
yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang
lain. Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra
(tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham
perspektif mengakui adanya pengaruh zamandan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai
contoh beberapa karya sastra yang kinidianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu
diremehkan. Hamlet karya Shakespeare olehVoltaire dianggap tulisan seorang yang seang
mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian VictorHugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi
daripada karangan-karangan Racine “dewa”drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris
dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatifitu dianut oleh kebanyakan kritikus.
B. Bentuk Kritik Sastra
1. Kritik Impresionistik
Kritik Impresionistik yaitu kritik sastra yang muncul sebagai produksi
dari aliran individualisme romantik dan kesadaran akan diri yang lebih
modern. Kritik ini menghubungkan pengalaman si penulis dengan
karyanya (Coulter, 1930: 336).Sebaiknya, seorang kritikus mempunyai gaya
yang bisa membuat hati pembaca terpikat dalam kedudukannya sebagai
pembimbing juga penghubung antara pembaca dan karya sastra. Kritik
impresionistik ini dapat bertindak sebagai penghubung antara parapembaca yang belum
berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus dalam hal ini dapat bertindak
sebagai pembimbing dan penghubung; lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat
sensitive terhadap efek-efek sastra,dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh masyarakat;
apalagi kalau dia memang seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta
mempunyai gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan demikian dia
dapat memperkaya pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif.Kritik
Impresionistik ini juga merupakan kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata
sifat yang terasa dalam berdasarkan kesan-kesan atau tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg
ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus
melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB
Jassin. Kritik berada pada dunia pemikiran, jadi sebuah kritik itu akanberkembang walau orang
hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin,
ini merupakan bentuk dari kritik terhadap sebuah karya sastra. Contoh lain adalah setelah
membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung memberikankesan bahwa kualitas novel
tersebut baik
2. Kritik Judisial
Kritik judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian atau
penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta menghubungkannya dengan norma-norma
teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karyatersebut (Coulter, 1930: 336).
Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-normapenilaian, baik secara implicit maupun secara eksplisit
tetap akan terdapat dalamsegala tipe kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut.
Dalam kritik judisial ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatukarya sastra seringkali
sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal ini sebenarnya tidak perlu kita
herankan. Dalam zaman spesialisasi seperti yang kita alami kini, orang hanya memilih objek
yang sempit, terbatas, tetapi diusahakan keterangan serta penjelasan seluas mungkin. Selanjutnya
Rene Wellek dan Austin Warren menegaskan bahwa “kritik yudisial menaruh perhatian pada
hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Yang dituntut
dari kritik judisial adalah suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan tajam terhadap para
pengarangdan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang berwenang atau menaruh perhatianpada
sejumlah dogma teori sastra”. Menurut Abrams kritik Judisial adalah kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan efek- efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya,
teknik, serta gayanya; dan berdasarkan pertimbangan- prtimbangan individual kritikus atas dasar
yang umum tentang kehebantan dan keluarbiasaan.
Contoh: karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dankeluasaan
(intricacy, tension, width), karya sastra yang baik harus menunjukkansesutu yang baru, sesuatu
yang aneh (making it new, making it strange), sastra yang baik harus memiliki satu kesatuan, dan
keruwetan (unity and complexity).
3. Kritik Induktif
Kritik induktif merupakan sejenis kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta-fakta yang
ada hubungan atau referensinya dengan sesuatu karya seni, metode-metodenya, hubungannya
dengan waktu penciptaannya, serta menyusunnya menjadi suatu urutan dan susunan yang rapi,
dan akhirnya melukiskannya dengan teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam ilmu
pengetahuan yang mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. Kritik induktif
adalah kritik sastra yang mengurangi bagian- bagian karya sastra berdasarkan fenomena-
fenomena yang ada secara objektif. Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli
ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari luar
dirinya. Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun. Aliran
Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok
penelitian sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan kritik baru Amerika (new
criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J. U. Nasution, S. ; H.B. Jassin ; Boen S.
Oemarjati; dll.
BAB IIPENERAPAN
A. Kritik Impresionistik cerpen “Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka
Bumi” karya Zulidahlan.
1. Sinopsis
Cerpen ini menceritakan seorang pemuda yang merasa terasingkan, sendiri, tanpa ada yang
memperdulikannya. Apalagi saat itu si Aku hidup sebatang kara, ibunya telah tiada kemarin yang
jasadnya masih terbaring dalam dipan kamarnya setelah berbulan- bulan menahan sakit.
Bapaknya juga telah ditangkap, setahun yang lalu kemudian beruntun kakaknya perempuan,
Mami; abangnya, Parlan dan seorang adik bapaknya, Tarto. Selain ditinggal para anak
keluarganya, jauh sebelumnya para tetangga si Aku sudah menjauh dari keluarga si Aku. Entah
apa yang harus dirasakan si Aku saat itu, perasaan dendam atau sedih.
Si Aku binggung bagaimana ia menyampaiakan kabar duka ini kepada masyarakat di
desanya. Hubungan mereka tidak begitu baik, si Aku ragu kabar itu hanya dianggap angin lalu
saja. Satu- satu jalan si Aku pergi ke tempat Kepala Desa, memberitahukan bahwa ibunya
meninggal dunia jam tiga kurang tujuh menit.
Saat tiba di tempat Kepala Desa si Aku bertemu dengan Nif dan segera melaporkan berita
itu namun kurang mendapat respon yang baik. Akhirnya tidak lama setelah bertemu Nif, seorang
pemuda kurus menghampirinya dan menyambut baik si Aku. Si Kurus mendengarkan dengan
seksama apa yang dibicarakan si Aku bahkan berniat memberi bantuan kemudahan untuk
mengurus kematian ibu si Aku.
Bayangannya diperjalan pulang dari tempat Kepala Desa hanyalah ketakutan menyergap.
Bayangan cerita- cerita bahwa tak seorang pun mau mengurusi jenazah- jenazah kami, orang-
orang yang diasingkan ini. Bahkan tanah kubur pun haram kami tempati.
“Bertumpang- tindih pikiran- pikiran ini, seperti martil yang memalu batok kepalaku.
Tuhan, kalau memang benar Kau ada, beri aku jalan. Kemana aku mesti melangkah? Aku tidak
bisa berpikir.” Tanpa sadar si Aku menyebut nama Tuhan, ini baru sekali selama si Aku hidup.
Hati si Aku bergetar seolah- olah telah diingatkan oleh ibunya bahwa jangan lagi si Aku
meneruskan dendam keluarga, minta maaflah karena keluarganyalah yang salah dan berbuat
baiklah kepada sesama.
Setibanya dirumah, timbullah keberanian untuk mengabarkan berita duka itu kepada
tetangga. Semua mereka terpekur dan bergumam kecil. Persis seperti pemuda kurus yang ditemui
di kelurahan. Tidak ada perasaan benci di kebanyakan mata mereka.
Satu dua orang mulai datang kerumah si Aku. Bertanya ini itu tentang penyakit ibu dan
tentang si Aku sendiri.
Si Aku berpikir bahwa, diantara mereka, yang mati maupun hidup itu, masih ada sesuatu.
Yang selama ini di luar jangkauan keluarga si Aku, jangkauan orang- orang yang semacam
keluarga si Aku. Betapa agungnya Tuhan.
Sampai jenazah ibunya diusung, masih saja si Aku merasa dalam jangkauan Tuhan. Si Aku
merasa aman dan sentausa dan tiada hentinya akan berterimakasih padaNya dan semakin tertedu
karena Tuhan.
2. Kritik Impresionistik
Cerpen ini menceritakan tentang satu keluarga yang merasa terasingkan oleh masyarakat.
Entah apa salah mereka, namun banyak mata yang memandang mereka dengan sinis. Sampai
saat keluarga ini satu- persatu pergi. Bapak, kakak, pamannya yang ditahan setahun lalu yang
sampai sekarang belum ada kabar, kemudian terakhir kabar duka bahwa ibunya telah meninggal
setelah bertahun- tahun menahan sakit. Semua bagi si Aku sangat menyiksa hidupnya, si Aku
tidak tau apa yang harus dilakukannya. Si Aku merasa sendiri, tidak ada sanak keluarga, tetangga
bahkan seolah- olah Tuhan yang Maha Kuasa pun tidak berpihak padanya. Kematian ibunya
membawa berkah buat si Aku. Dimana sejak kematian ibunyalah, si Aku mulai sadar dan
mengetahui bahwa sebenarnya apa yang selama ini dipikirkannya salah. Mata si Aku dibukakan
oleh banyaknya tetangga yang datang berkunjung ke rumah si Aku saat ibunya meninggal.
Mereka yang hadir tidak ada yang bermata sinis, semua penuh kehangatan dan ikut berduka atas
meninggalnya ibu si Aku.
Cerpen ini menyadarkan saya bahwa betapa besar kuasa Tuhan dalam hidup manusia.
Sekalipun mungkin manusia sering berbuat kesalahan namun Tuhan tetap menaungi mereka.
Tuhan tetep ada saat suka dan duka. Sepeti si Aku merasakan saat kematian ibunya,
hubungannya dengan Sang Penciptapun mulai terjalin setelah sekian lama selama si Aku hidup
tidak pernah sekalipun berhubungan atau bahkan menyebut nama Tuhan. Mungkin inilah
pelajaran dalam hidup si Aku, bahwa dibalik kematian ibunya hatinya terbuka. Dan berharap ada
pertautan dalam kekeluargaan seperti pagi itu. Saya berpikir bahwa tokoh si Aku saja yang
berada dalam kesulitan seperti itu bisa tetap merasakan kuasa Tuhan apalagi kita yang saat ini
mungkin masih diberi kebahagian, mempunyai keluarga yang masih utuh dan hidup tidak dalam
perasingan. Apakah kita masih menjalin hubungan baik dengan Tuhan?
Hidup tidak selalu berada dalam keadaan suka namun suatu saat nanti pastilah tiap manusia
ada dalam keadaan duka. Semuanya sudah digariskan sendiri oleh Sang Pencipta. Garis hidup
manusia pun berbeda- beda, memperoleh kebahagian adalah hadiah namun apa jadinya saat
manusia merasa sendiri, terasingkan mungkin mereka akan menganggap itu semua adalah
kutukan dari Tuhan. Kebahagian dan kesedihan itu relatif. Tergantung dari sudut mana
kebahagian dan kesedihan itu di pandang. Saat manusia berada dalam kebahagiannya Tuhan
ingin agar manusia tidak lupa diri dan mengucap syukur kepadaNya, sebaliknya jika manusia
berada dalam kepahitan, kesedihan harapan Tuhan hanya satu yaitu manusia mau dekat dan
berserah padaNya. Setelah membaca cerpen ini kita diingatkan disaat kita merasa sendiri,
terasingkan belajarlah untuk tetap berserah pada Tuhan. Saat kita mau berhubungan dekat
dengan Sang Pencipta maka kita kan mendapat pencerahan dan jalan keluar dalam permasalahan
hidup kita. Seperti halnya si Aku yang dulunya merasa sendiri, terasingkan namun setelah
kematian sang ibu, ia disadarkan untuk berhubungan dengan Tuhan sang Pencipta dan belajar
hidup bersama dengan tetangga yang selama ini dianggap menjauhinya. Mungkin masalalu yang
kelam menjadikan si Aku pernah menjadi pendendam. Namun perlu diketahui menjadi
pendendam tidak dianjurkan dalam setiap agama. “Jangan belajar menjadi seorang pendendam
namun belajarlah untuk menjadi seorang yang menyebarkan damai sejahtera di sekitarmu.”
B. Kritik Impresionistik sajak “Kabut” karya Goenawan Mohamad.
1. Parafrasa
Mereka bertanya kepada siapa keadilan itu berpihak. Kepada Tuhan yang merupakan
suatu kebenaran atau kepada sebuah kekelaman yang merupakan simbol dari kejahatan. Mereka
merasakan ada bisik- bisik yang membuat wajahnya tertahan maksud wajahnya disini adalah
wajah dari suatu keadilan atau kebenaran itu sendiri.
Mereka bertanya kembali kepada siapa keadilan ini akan perlahan turu. Kepada seorang
yang tua atau kepada kami yang muda. Kepada kerja yang menghasilkan uang atau kepada
sawah sepi yang tidak mengahasilkan apa- apa.
2. Kritik Impresionistik
Pada sajak ini saya merasakan bahwa saat itu benar- benar tidak ada keadilan dalam masa
itu. Padahal mereka sangat butuh akan keadilan itu. Seperti hidup ada putih dan ada hitam. Ada
kebaikan dan ada kejahatan. mereka pun bertanya nantikan keadilan itu akan berpihak pada
siapa? Kepada Tuhan yang merupakan suatu kebenaran atau kepada kelam yang merupakan
simbolik dari kejahatan. semua penuh dengan keraguan. Keraguan itu muncul karena ada
bujukan- bujukan dimana- mana. Dalam sajak ini juga memberi kita pelajaran untuk benar- benar
berhati- hati dalam menjalani kehidupan ini. Jangan sampai kita terpengaruh dengan bisikan-
bisikan dari kekelaman yaitu dari si Jahat. Sehingga, nantinya akan menghapus perlahan
kebenaran dan yang ada hanyalah ketidak adilan.
Menurut saya sajak ini sangat cocok untuk pemerintahan di Indonesia ini. Kita ketahui
keadilan di Indonesia ini sekarang sangat sulit kita jumpai. Bagi mereka keadilan itu bisa dibeli
dengan materi (uang) atau dengan kedudukan. Bagi mereka siapa yang beruang dan
berkedudukan tinggi, mereka yang berhak mendapatkan keadilan.
Padahal seharusnya, keadilan itu bukan dinilai dari materi ada kedudukan namun perlu dan
sangat melibatkan kebenaran. Siapa yang benar itulah yang akan mendapat keadilan.