Metode Kritik Sastra
-
Author
afriwulandari -
Category
Documents
-
view
2.725 -
download
6
Embed Size (px)
Transcript of Metode Kritik Sastra
Metode Kritik Sastra Metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari meta dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, dan kata hodos berarti jalan, cara, arah. Jadi metode kritik sastra adalah cara sistematis untuk memahami karya sastra. Dalam metode terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya. Metode sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, metode ekspresif berbeda dengan pragmatik disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendalakendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian dan kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian. Menurut Rachmat Djoko Pradopo terdapat metode kritik sastra yang secara umum digunakan oleh kritikus satra : yakni metode struktural, metode perbandingan, metode sosiologi sastra, dan metode estetika resepsi. 1. Metode Struktural Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri terlepas dari yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antarunsur dalam keseluruhanya (Hawkes, 1978:17-18). Hubungan tersebut tidak hanya bersifat positif seperti keselarasan dan kesesuaian, tetapi juga bersifat negative seperti konflik dan pertentangan. Relasi antarunsur merupakan motivator yang menghasilkan makna-makna baru. 1.1 Metode Strukural Analisis struktural yang menekankan otonomi karya, menurut Teeuw memiliki beberapa kelemahan pokok yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka social budayanya (1983:61, Pradopo, 1987:125). Sebuah karya sastra merupakan sebuah karya yang otonom, mandiri yang terstruktur. Sebagai sebuah karya yang terstruktur, ia dibangun oleh unsur-unsurnya berupa tema, latar, tokoh, plot, watak, amanat, sudut pandang, dan sebagainya, yang saling berhubungan yang menjadikannya sebagai karya yang utuh. Bila kita melakukan perbandingan antar unsur-unsur yang membangn karya sastra tersebut akan menambah kekayaan pemahaman terhadap karya sastra.
Dalam karya sastra terdapat keseluruhan makna yang padu dan bulat untuk mencapai keseluruhan makna yang padu dan bulat itu sebuah karya sastra harus memenuhi syarat syarat tertentu, yaitu : 1. Ide Kesatuan. Sebuah struktur harus merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, artinya bagianbagian atau unsure-unsur yang membentuk struktur itu tidak dapat berdiri sendiri. Unsur yang satu dengan unsure yang lainnya harus saling berhubungan atau saling kait-mengait. 2. Ide Transformasi Sebuah struktur itu berisi gagasan transformasi, dalam arti struktur tersebut tidak statis, tetapi dinamis. Sebuah struktur mampu melakukan prosedur-prosedur transformasi, dalam arti bahan-bahan baru dapat diolah melalui prosedur tersebut. 3. Ide Pengaturan Diri sendiri Sebuah struktur itu mampu mengatur dirinya sendiri. Artinya struktur itu tidak memerlukan pertolongan atau bantuan dari luar dirinya untuk mengesankan prosedur transformasinya. Berdasarkan teori struktur di atas, seorang kritikus dapat melakukan kritiknya dengan menggunakan metode tersebut meliputi struktur global, struktur fisik, dan struktur mental. Contoh kritik sastra dengan menggunakan metode structural semacam itu pernah dilakukan oleh Herman J. Waluyo (1991) dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi yang menjabarkan teori Boulton (1979). Subagio Sastrowardjo yang dimuat dalam majalah sastra Horizon nomor 2 tahun II halaman 51, Februari 1967. 1.2 New Criticsm dan Strukturalisme Bagi strukturalisme, New criticsm hanya mengandalkan akal sehat atau common sense dan karena itu, sebetulnya New criticsm tidak mempunyai landasan yang kuat. Akal sehat atau common sense semata, menurut strukturalisme, tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Strukturalisme tampil untuk member landasan pertanggungjawaban yang tidak diberikan oleh New criticsm.
Cara kerja New criticsm tampaknya tidak lain merupakan pertanggungjawaban atas kebenaran kajian mereka. Di satu pihak, kata Cleanth Brooks, puisi adalah aktivitas alamiah, yang tidak lain merupakan salah satu aktivitas fundamental manusia dank arena itu bukan merupakan aktivitas yang esoteric (hanya diketahui dan dipahami orang-orang tertentu). Karena itu, menurut Cleanth Brooks, pandangan bahwa puisi dapat dikaji dengan common sense memang benar, tapi hanya sampai pada tahap-tahap tertentu saja. Apabila kajian terhadap puisi diperdalam sampai ke hakikat puisi yang esensial, common sense tidak dapat diandalkan lagi. Pada awalnya, baik Formalisme Rusia maupun strukturalisme menganggap bahwa karya sastra adalah otonom. Namun, pengertian otonomi ini kemudian cenderung meluas. Otonomi dalam New criticsm, misalnya terbatas pada sebuah puisi yang dijadikan kajian. Dengan demikian tidak ada kaitannya dengan dunia luar sama sekali, termasuk biografi penyair. Sementara itu formalism Rusia mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai otonomi, karena karya sastra adalah karya seni, maka otonomi sebuah karya sastra pasti tidak bebas dari kaitannya dengan karya seni lain. Otonomi yang lebih luas ini terjadi karena objek kajian Formalisme Rusia adalah narasi, tidak terbatas pada puisi. Sementara itu, strukturalisme menganggap bahwa sastra bukan hanya sebuah seni tetapi juga merupakan satu bagian humaniora, sebagaimana misalnya linguistik, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Clent Brooks juga sudah berkali-kali menekankan bahwa kajian sastra tidak lain adalah kajian humaniora. Namun, cara Kerja New criticsm terbatas pada puisi dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar puisi itu sendiri, sedangkan strukturalisme sangat memperhatikan kaitan antara sastra dengan humaniora. Dari memperhatikan kaitan antara sastra dengan humaniora. Dari titik ini kemudian tampak adanya perpisahan antara New criticsm dan Strukturalisme. Perpisahan ini terjadi karena kajian sastra berasal dari sastra sendiri, sedangkan strukturalisme menganggap bahwa sastra adalah sebuah bagian humaniora. Asal-usul para tokoh New criticsm tidak lain adalah sastra sendiri, sedangkan asalusul para tokoh strukturalisme dari berbagai disiplin ilmu humaniora. Berbagai bidang ilmu itu antara lain antropologi, mitologi, kepercayaan, ritual, dan cerita rakyat. Tokohnya adalah Claude Levi Strauss (Prancis), Michel Foucault (Prancis), Roland Barthes (Prancis), dan Jacques Lacan (Prancis). Sebagai sebuah studi interdisipliner dengan sendirinya strukturalisme mempergunakan pendekatan ekstrinsikl. Jika, strukturalisme menjadi sebuah
studi monodispliner, maka strukturalisme dapat pula mempergunakan pendekatan instrinsik. Salah satu contoh penggunaan pendekatan instrinsik tampak dalam studi Jonathan Culler, seorang tokoh strukturalisme Amerika dalam menghadapi sajak William Blake, Ah Sunflower. 1.3 Struktural-Semiotik Dalam pengertian struktur ini, terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar yaitu, (1) merupakan satu totalitas (kesatuan); (2) dapat bertransformasi (susunannya dapat berubah); dan (3) dapat mengatur dirinya sendiri jika terjadi perubahan pada susunan antarkomponen (Piaget via Hawkes, 1978:16). Dalam rangka membangun totalitas, strukturalisme menolak peranan faktor-faktor lain yang da di luranya termasuk pengarang sendiri. Dalam hal ini, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme dianggap mementingkan objek. Penganut aliran strukturalisme berkiblat pada stukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure dengan dua konsep yakni: penanda (signifier, significant) dan petanda (signified, signifie). Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antar unsur dalam keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-18). Analisis struktural sebagai ciri kesastraan memberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri. Analisis struktural berkembang di Slavia dengan kelompok Praha (Mukarovsky, Vodicka) yang akhirnya berkembang menjadi nama semiotik. Analisis struktural yang menekankan otonomi karya, menurut Teeuw memiliki beberapa kelemahan pokok yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka social budayanya (1984:61; Pradopo, 1987:125). Karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sehingga selalu berada dalam situasi kesejarahan dan kerangka sosial budaya. Oleh sebab itu, untuk mengintrepetas makna karya sastra tidak mungkin tercapai sepenuhnya tanpa mengikutsertakan aspek
kemasyarakatannya. Peranan pembaca sebagai pemberi makna dalam keseluruhan sistem sastra tidak dapat diabaikan sebab tanpa aktivitas interpretasi, karya sastra akan tetap sebagai benda mati.
Untuk melengkapi kelemahan dan kesenjangan teori struktural, analisis struktural ditempatkan dalam kerangka semiotik. Teori struktural-semiotik merupakan penggabungan dua teori, teori struktural dan teori semiotik. Strukturalisme dan semiotik merupakan hal yang identik dan tidak dapat dipisahkan (Culler, 1975: 4). Seperti halnya strukturalisme, rumusan tentang semiotik tampak bermacam-macam, tetapi pada dasarnya memiliki pengertian sama yaitu ilmu tentang tanda-tanda. Jan Mokarovsky dan Felix Vedicka (Teeuw, 1983:62) merupakan dua orang yang
mengembangkan strukturalisme atas dasar konsepsi semiotik dengan pengertian untuk dapat memahami sepenuhnya seni (sastra) sebagai struktur perlu diinsyafi ciri khasnya sebagai tanda (sign). Karya sastra sebagai gejala semiotik, menurut Culler pertama-tama dapat dianggap sebagai ragam pemaknaan dan komunikasi, asalkan uraian yang memperhatikan makna karya sastra tersebut sesuai bagi pembaca; kedua, setiap orang harus mengidentifikasikan pengaruh pemaknaan yang dikehendakinya. Ditegaskan Culler bahwa seseorang dapat mempelajari signifikasi sastra dengan jalan menguraikan konvensi-konvensi dan kerja semiotik yang berhubungan dengan penafsiran-penafsiran tersebut(1981:49). Penegasan Culler tersebut identik dengan pernyataan Preminger, dkk (1974:81) bahwa studi semiotik sastra merupakan usaha untuk mengkaji suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra tersebut memiliki makna. Semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda (Segers, 1978:41). Berkaitan dengan kerja semiotik atau intetrpretasi makna karya sastra, pembaca tidak hanya tergantung pada kemampuan di bidang bahasa dan latar belakang lingkungan, melainkan juga tergantung pada konvensi dan budaya tertentu. Sehubungan dengan pengertian bahwa karya sastra merupakan tindak komunikasi dengan memanfaatkan ragam signifikansi, Teeuw (1982: 17-18) secara rinci memberikan sistematika sebagai berikut: ...segala faktor yang ikut memainkan peranan dalam komunikasi harus diperhitungkan dan diberikan tempat yang selayaknya: Pertama -tama faktor pengirim dan penyambut atau penerima pesan, dan struktur pesan itu sendiri; tapi yang lebih penting lagi, karena pesan itu berupa tanda, sign, perlu diperhatikan hubungan tanda dengan yang ditandainya, refernnya di dunia luar ataupun referen yang kita bina atas
dasar informasi yang terkandung dalam tanda itu sendiri; demikian pula hubungannya dengan sistem bahasa sebagai sistem tanda (kode) primer yang sebagiannya menentukan makna dan potensi sastra sebagai sistem tansa (kode) sejunder. Yang paling penting: bagaimana kita pertahankan dalam pendekatan karya sastra sifat dan ciri khasnya yaitu aspek estetikanya, nilainya... dan justru nilai itu tidak dapat dilepaskan dari tindak interpretasi yang antara lain mau tidak mau harus dilakukan oleh peneliti karya sastra. Dalam proses signifikasi sastra, struktur bermakna dalam karya sastra terbentuk berdasarkan susunan bahasa. Seperti dinyatakan Teeuw, karya sastra sebagai tanda (kode) sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam sstra nerupakan sistem semiotik tingkat kedua yang meknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sstra (Pradopo, 1987:122). Arti dalam bahasa sastra disebut makna (significance). Karya sastra sebagai tanda (kode) sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang maknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 1987: 122). Bahasa dalam sastra dapat memiliki arti lain dari arti itu sendiri (meaning of meaning) dan untuk membedakannya, arti dalam bahasa sastra disebut makna (significance). Dalam hal ini, Riffaterre (1978: 3) menempatkan istilah arti (meaning) bagi informasi yang disampaikan teks pada taraf mimetik. Berdasarkan sudut pandang arti itu, teks (karya sastra) merupakan unit-unit informasi yang berurutan, sedangkan dari sudut pandang signifikansi karya sastra merupakan satuan unit semantik. Makna karya sastra cenderung ditentukan oleh kehadiran atau peranan pembaca sebagai pemberi makna. Kenyataan tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra sebagai artefak akan menjadi penuh setelah melewati kegiatan pembacaan (Mukarovsky vis Fokkema, 1977:31-32). Kegiatan pembacaan dalam rangka interpretasi merupakan partisipasi pembaca dalam menciptakan makna. Berkaitan dengan hal tersebut. Riffaterre (1978:4-6) mengklasifikasikan dua tingkat atau tahap pembacaan yaitu heuristik dan hermeneutik. Kompetensi lunguistik pembaca menduduki tempat penting dalam pembacaan heuristik sebab dalam tahap ini pembaca melakukan interpretasi secara referensial (tataran
mimetik) terhadap satuan linguistiknya. Pembaca dalam tahap ini akan menemukan meaning arti secara linguistik. Ketidaklangsungan semantik tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu, displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning (Riffaterre, 1978:20). Proses semiotik merupakan hasil pembacaan tahap kedua yang bersifat hermeneutic. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang lebih rumit dan bervariasi yaitu pembacaan ulang disertai penafsiran dengan jalan menguraikan (decoding) terhadap unsurunsur ketidakgramatikalan kedalam ekuivalensi sehingga membentuk varian dari matrik struktural yang sama. 1.4 Strukturalisme dan Eksistensialisme Kendati eksistensialisme tidak langsung berhubungan dengan strukturalisme, eksistensialisme menjadi salah satu pemicu lahirnya strukturalisme. Sebagaimana yang dibawakan oleh Jean Paul Sartre (Prancis), Albert Camus (Prancis, Aljazair), dan Martin Heidegger (Jerman). Di antara Sartre, Camus, dan Heidegger, hanya Heidegger lah yang tidak menulis sastra. Eksistensialisme sebetulnya sudah ada pada abad ke-19 sebagaimanayang dibawakan oleh Soren Klerkegaard dan Karl Jasers. Pada abad ke-19, eksistensialisme dibawakan dan dianutoleh orang-orang yang percaya Tuhan dank arena itu eksistensialisme abad kesimbalan belas adalah teistik. Eksistensialisme abad ke-20 sebaliknya dibawakan oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan adalah ateistik. Dalam Perang Dunia II, Jerman memperoleh kemenangan di berbagai medan pertempuran baik di Eropa maupun di Afrika. Kenyataan bahwa perang terus berkelanjutan dan Jerman terus menang inilah yang memicu Sartre dan Camus untuk meragukan keberadaan Tuhan. Akhirnya, inilah salah satu awal yang memicu keyakinan Sartre dan Camus untuk menjadi ateis. Karena Tuhan tidak turun tanggan, maka tanggung jawab untuk memerangi Jerman terletak di tanggan manusia sendirir tanpa bantuan siapa pun. Akhirnya, Sartre dan Camus memutuskan terjun dalam pasukan bawah-tanah untuk melawan Jerman. Menurut Eksistensialisme abad ke-20, manusia dilahirkan bagaikan dilemparkan begitu saja ke dunia. Apa yang terjadi pada seseorang yang telah terlanjur dilemparkan ke dunia adalah tanggung jawab dia sendiri. Dia mempunyai pilihan untuk menjadi apa pu.
Setelah mengambil pilihan dia sendiri, maka tanggungjawab seluruhnya terletak di tanggannya sendiri, bukan orang lain, bukan pula Tuhan, sebab Tuhan tidak ada. Dalam interaksi dengan orang lain pun masing-masing orang mempunyai pilihan sendiri dan akibat pilihannya itu dia memikul tanggungjawab atas pilihannya itu. Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi, karna setiap konsekuensi dapat mendatangkan petaka, maka kehidupan ini penuh dengan angst atau ketakutan. Inilah inti sari filsafat eksistensialisme ateis abad ke-20 dan ini pulalah yang mewarnai novel dan drama Sartre dan Camus. Semua tokoh dalam karya sastra mereka ateistis, semua menentukan pilihannya sendiri, semua menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pilihannya sendiri dan semua tidak percaya Tuhan. Simpul-simpul Eksistensialisme tampak juga dalam sastra Indonesia dalam novel Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung. 1.5 Primitivisme Di Luar Konteks Strukturalisme
Dalam konteks strukturalisme, primitivisme mengandung makna masa lampau pada waktu manusia masih primitive sebagaimana yang tercerminkan dalam antropologi, sedangkan di luar konteks strukturalisme, primitivisme merupakan bagian dari proses kreatif. Dalam proses kreatif, setiap penulis mempunyai tendensi untuk mundur ke pengabadian kebiasaankebiasaan masa lampau yang sudah kuno dan tidak dipakai lagi. Sadar atau tidak, setiap penulis pada hakikatnya kembali ke primitivisme. Pengabdiaan kebiasaan-kebiasaan masa lampau ini tampak antra lain, dalam penggunaan bahasa, dan penciptaan suasana sublime yang hanya mungkin terjadi di masa lampau. Salah satu contoh primitivisme terdapat pada novel pendek Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea. 1.6 Formalisme Pada dasarnya, kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki dunianya sendiri.Artinya, terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis, mempertentangkan metode kritisis meformalis dengan teori seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman manusia di luar seni. Menurut pendapatnya Art is to be art, must be independent and self sufficient.
Kriteria kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form, yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni. Menurut Bell untuk memahami dan merasakan significant form, dan ruang tiga dimensional. Dengan maksud yang sama Roger Fry menggunakan istilah plastic drama, yakni sintesis permainan garis dan volume dalam karya seni rupa. Unsur desain menurut Fry terdiri atas garis, volume, cahaya, bayang, dan warna. Secara definitif kritik sastra Formalisme adalah aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan. Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).1.6.1
Formalisme Rusia, Strukturalisme Praha, dan Strukturalisme
Ketika New criticsm secara resmi dianggap sudah mati pada tahun (1950-an dan 1960-an), muncullah kemudian dua perkembangan baru, yaitu Formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha yang dalam banyak hal dianggap identik. Formalisme Rusia sendiri sebetulnya terdiri atas dua kelompok, yaitu The Moscow Linguistic Circel dan Opojaz (masyarakat untuk kajian bahasa puitik). Dalam perkembanganya, keduannya dianggap satu, yaitu Formalisme Rusia. Para tokoh Formalisme Rusia dianggap sebagai orang-orang yang anti kajian sastra Marxis dank arena itu banyak di antara mereka yang melarikan diri dari Rusia. Lahirnya kajian sastra Marxis antara lain melahirkan Realisme Sosial, yang di Indonesia kemudian dijadikan pedoman mutlak para seniman Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Para tokoh Formalisme Rusia tidak lain adalah juga tokoh strukturalisme Praha. Mereka anatara lain adalah Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Boris Tomashevsky, dan
Yuri Tynjanov. Beberapa di antara mereka kemudia lari dari negara-negara komunis Uni Soviet dan Chekoslovakia, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Vladimir Proop dengan bukunya yang sangat berpengaruh, Morphology of the Folktale, dan Roman Jakobson, seorang linguis Rusia yang kemudian melarikan diri ke New York menjelang Perang Dunia II. Karena peran dan sumbangan mereka sangat besar, masing-masing mereka dianggap berdiri sendiri seolah mereka tidak ada kaitannya dengan mazhab tertentu. Ketika Roman Jackobson memperkenalkan gagasan-gagasannya di Amerika, pada saat yang hampir sama terjemahan karya para tokoh Formalism Rusia dan Strukturalisme e Praha juga masuk ke Amerika. Gagasan pokok Roman Jackobson terdiri atas tiga tingkatan, yaitu : a. Analisis aspek bunyi suatu karya sastra b. Masalah makna dalam konteks puitik c. Integrasi antara bunyi dan makna dalam suatu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan Namun, Strukturalisme Praha, Strukturalisme Prancis, dan Strukturalisme Rusia pada hakikatnya terikat oleh gagasan yang sama, yaitu strukturalisme. Gagasan yang sama ini tampak anatara lain dalam pertanyaan-pertanyaan seputar objek, tugas, dan metode sejarah sastra. Strukturalisme tidak mungkin membebaskan diri dari New Criticsm. Bedanya, New Criticsm membatasi diri pada puisi dan strukturalisme pada humaniora, yang dalam masa hidupnya mungkin tidak pernah membayangkan lahirnya strukturalisme yang mengguncang dunia pemikiran (bukan dunia sastra saja), ternyata juga kadang-kadang dianggap sebagai tokoh strukturalisme. Ketika strukturalisme sedang tumbuh dengan pesat di Prancis, ada seorang filsuf Perancis terkemuka, Louis Althusser, yang berusaha untuk memasukkan gagasan -gagasan Marxism eke dalam strukturalisme. Gagasan utamannya adalah kembali ke Marxisme tulen, dengan jalan mempelajari kembali karya Marx dengan cermat. Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat cermat. Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat cermat. Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat luas di Eropa Barat dan Amerika Latin pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan masuknya Louis Althusser ke dalam jajaran
strukturalisme, maka cakrawala strukturalisme menjadi bertambah luas, dank arena itu peran strukturalisme dalam kajian sastra menjadi lebih sempit. Gagasan Althusser, memang lebih banyak mengaju pada ideologi, yaitu Marxisme khususnya Historisme Materialisme suatu kajian mengenai pergeseran kelas menurut idealism Marxisme. Salah satu simpulan pemikiran Althusser yang Marxist dan Derrida yang non-ideologis serta beberapa tokoh strukturalisme yang lain, akhirnya melahirkan pascastrukturalisme. Salah satu gagasan pokok pascastrukturalisme adalah dekonstruksi. 2. Metode Perbandingan Menurut Robert J. Clementa, sastra bandingan adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki metode yang mencangkup berbagai aspek yaitu tema, jenis/bentuk, keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam kajian sastra bandingan diperlukan pendekatan dalam mengkaji karya sastra yang satu dengan lainnya. Dengan membanding-bandingkan karya sastra dengan menggunakan suatu pendekatan, akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan perbedaan.
2.1 Intertekstual Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Munculnya studi interteks lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra yang satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu.
Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain. Julia Kristeva (Junus, 1986: 87) mengatakan munculnya interteks sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat hanya setitik saja. Jika kemungkinan unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang berarti. Asumsi paham interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada yang sangat vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua kasus interteks tergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya. Prinsip dasar intertekstualitas (Pradopo, 1997: 228) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran dalam berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan bisa sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horizon atau harapannya sendiri. Prinsip intertekstual tersebut sebenarnya merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah presupposition. Yakni, sebuah perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Secara garis besar penelitian intertekstual memiliki dua fokus: pertama, meminta perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu. Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena dalam hal hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstual akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam sebuah penciptaan. Bahkan, Barthes berpendapat, karya sastra yang anonim sekalipun kadang-kadang akan mewarnai penciptaan karya sastra selanjutnya.
Hubungan interteks tersebut ternyata tidak hanya pada karya yang satu bahasa. Interteks dapat melebar atau meluas ke sastra lain. Yang penting, asalkan pengarang menguasai bahasa karya sastra lain, maka akan terjadi interteks. Kini tugas peneliti intertekstual adalah menemukan presupposition. Mungkin saja pengarang sangat halus menyembunyikan presupposition sehingga membutuhkan tafsir yang meyakinkan.
Presupposition sebenarnya merupakan perkiraan tanda terjadinya transformasi teks 3. Metode Sosiologi Satra
Metode sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi pengaruh terhadap masyarakat. a. Konsep dan kriteria Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga
mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain -lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut: 1. Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut. 2. Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis. 3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya. 4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan
membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
3.1
Poskolonial
Awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial literature) yang dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas. Teori postkolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri. 3.2 Antropologi Sastra Perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer (1956: 44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal rationale. Menurut Cassirer, yang kemudian juga dimanfaatkan salam sosiologi interaksi simbolik Meadean (Riter dan Douglas, 2004: 272), sistem symbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui symbol. Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi, sehingga sistem symbol, termasuk symbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, cirri-ciri yang memungkinkan system komusikasi dapat berkembang secara tak terbatas. Di pihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (Sastrapratedja, 1982: ix), manusia adalah entitas histories, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah factor yang saling mempengaruhi, yaitu: a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan istitusi soaial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, e) manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius. Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropolog menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hokum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memudatkan perhatian pada kompleks ide.
3.3 Posmodernisme Lyotard (Sarup, 1993:131-134) berpendapat bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya radikal. Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin. Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusionisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya harus ini dan harus itu. 4. Metode Estetika Resepsi
Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu. Selanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada
pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut. Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika (1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca: 1. norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; 2. pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya; 3. pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara horison sempit dari harapan -harapan sastra maupun dalam horison luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang mengharuskan para pembaca mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian tempat terbuka ini dilakukan melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan sempurna dalam mengisi tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.