Metode Kritik Sastra

26
Metode Kritik Sastra Metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari meta dan hodos. Kata meta berarti “menuju, melalui, mengikuti, sesudah’, dan kata hodos berarti ‘jalan, cara, arah’. Jadi metode kritik sastra adalah cara sistematis untuk memahami karya sastra. Dalam metode terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya. Metode sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, metode ekspresif berbeda dengan pragmatik disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendala-kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian dan kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian. Menurut Rachmat Djoko Pradopo terdapat metode kritik sastra yang secara umum digunakan oleh kritikus satra : yakni metode struktural, metode perbandingan, metode sosiologi sastra, dan metode estetika resepsi. 1. Metode Struktural Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri terlepas dari yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antarunsur dalam keseluruhanya (Hawkes, 1978:17-18). Hubungan tersebut tidak hanya bersifat positif seperti keselarasan dan kesesuaian, tetapi juga bersifat negative seperti konflik dan pertentangan. Relasi antarunsur merupakan motivator yang menghasilkan makna-makna baru.

Transcript of Metode Kritik Sastra

Page 1: Metode Kritik Sastra

Metode Kritik Sastra

            Metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari  meta dan hodos. Kata meta berarti

“menuju, melalui, mengikuti, sesudah’, dan kata hodos berarti ‘jalan, cara, arah’. Jadi metode

kritik sastra adalah cara sistematis untuk memahami karya sastra. Dalam metode  terkandung

kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi

berikutnya. Metode sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, metode ekspresif

berbeda dengan pragmatik disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendala-

kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian dan kemungkinan penerimaan masyarakat

terhadap hasil penelitian.

            Menurut Rachmat Djoko Pradopo terdapat metode kritik sastra yang secara umum

digunakan oleh kritikus satra : yakni metode struktural, metode perbandingan, metode sosiologi

sastra, dan metode estetika resepsi.

1. Metode Struktural

Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang

terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna

sendiri terlepas dari yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antarunsur dalam

keseluruhanya (Hawkes, 1978:17-18). Hubungan tersebut tidak hanya bersifat positif seperti

keselarasan dan kesesuaian, tetapi juga bersifat negative seperti konflik dan pertentangan.

Relasi antarunsur merupakan motivator yang menghasilkan makna-makna baru.

1.1 Metode Strukural

Analisis struktural yang menekankan otonomi karya, menurut Teeuw memiliki

beberapa kelemahan pokok yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka social

budayanya (1983:61, Pradopo, 1987:125). Sebuah karya sastra merupakan sebuah karya yang

otonom, mandiri yang terstruktur. Sebagai sebuah karya yang terstruktur, ia dibangun oleh

unsur-unsurnya berupa tema, latar, tokoh, plot, watak, amanat, sudut pandang, dan

sebagainya, yang saling berhubungan yang menjadikannya sebagai karya yang utuh. Bila kita

melakukan perbandingan antar unsur-unsur yang membangn karya sastra tersebut akan

menambah kekayaan pemahaman terhadap karya sastra.

Page 2: Metode Kritik Sastra

Dalam karya sastra terdapat keseluruhan makna yang padu dan bulat untuk mencapai

keseluruhan makna yang padu dan bulat itu sebuah karya sastra harus memenuhi syarat-

syarat tertentu, yaitu :

1.      Ide Kesatuan.

Sebuah struktur harus merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, artinya bagian-

bagian atau unsure-unsur yang membentuk struktur itu tidak dapat berdiri sendiri. Unsur

yang satu dengan unsure yang lainnya harus saling berhubungan atau saling kait-mengait.

2.      Ide Transformasi

Sebuah struktur itu berisi gagasan transformasi, dalam arti struktur tersebut tidak

statis, tetapi dinamis. Sebuah struktur mampu melakukan prosedur-prosedur transformasi,

dalam arti bahan-bahan baru dapat diolah melalui prosedur tersebut.

3.      Ide Pengaturan Diri sendiri

Sebuah struktur itu mampu mengatur dirinya sendiri. Artinya struktur itu tidak

memerlukan pertolongan atau bantuan dari luar dirinya untuk mengesankan prosedur

transformasinya. Berdasarkan teori struktur di atas, seorang kritikus dapat melakukan

kritiknya dengan menggunakan metode tersebut meliputi struktur global, struktur fisik,

dan struktur mental.

Contoh kritik sastra dengan menggunakan metode structural semacam itu pernah dilakukan

oleh Herman J. Waluyo (1991) dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi yang menjabarkan

teori Boulton (1979). Subagio Sastrowardjo yang dimuat dalam majalah sastra Horizon

nomor 2 tahun II halaman 51, Februari 1967.

1.2 New Criticsm dan Strukturalisme

Bagi strukturalisme, New criticsm hanya mengandalkan akal sehat atau common

sense dan karena itu, sebetulnya New criticsm tidak mempunyai landasan yang kuat. Akal

sehat atau common sense semata, menurut strukturalisme, tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Strukturalisme tampil untuk member landasan pertanggungjawaban

yang tidak diberikan oleh New criticsm.

Page 3: Metode Kritik Sastra

Cara kerja New criticsm tampaknya tidak lain merupakan pertanggungjawaban atas

kebenaran kajian mereka. Di satu pihak, kata Cleanth Brooks, puisi adalah aktivitas alamiah,

yang tidak lain merupakan salah satu aktivitas fundamental manusia dank arena itu bukan

merupakan aktivitas yang esoteric (hanya diketahui dan dipahami orang-orang tertentu).

Karena itu, menurut Cleanth Brooks, pandangan bahwa puisi dapat dikaji dengan common

sense memang benar, tapi hanya sampai pada tahap-tahap tertentu saja. Apabila kajian

terhadap puisi diperdalam sampai ke hakikat puisi yang esensial, common sense tidak dapat

diandalkan lagi.

Pada awalnya, baik Formalisme Rusia maupun strukturalisme menganggap bahwa

karya sastra adalah otonom. Namun, pengertian otonomi ini kemudian cenderung meluas.

Otonomi dalam New criticsm, misalnya terbatas pada sebuah puisi yang dijadikan kajian.

Dengan demikian tidak ada kaitannya dengan dunia luar sama sekali, termasuk biografi

penyair. Sementara itu formalism Rusia mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai

otonomi, karena karya sastra adalah karya seni, maka otonomi sebuah karya sastra pasti tidak

bebas dari kaitannya dengan karya seni lain. Otonomi yang lebih luas ini terjadi karena objek

kajian Formalisme Rusia adalah narasi, tidak terbatas pada puisi. Sementara itu,

strukturalisme menganggap bahwa sastra bukan hanya sebuah seni tetapi juga merupakan

satu bagian humaniora, sebagaimana misalnya linguistik, antropologi, sejarah, dan lain-lain.

Clent Brooks juga sudah berkali-kali menekankan bahwa kajian sastra tidak lain

adalah kajian humaniora. Namun, cara Kerja New criticsm terbatas pada puisi dan tidak

mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar puisi itu sendiri, sedangkan strukturalisme

sangat memperhatikan kaitan antara sastra dengan humaniora. Dari memperhatikan kaitan

antara sastra dengan humaniora. Dari titik ini kemudian tampak adanya perpisahan antara

New criticsm dan Strukturalisme. Perpisahan ini terjadi karena kajian sastra berasal dari

sastra sendiri, sedangkan strukturalisme menganggap bahwa sastra adalah sebuah bagian

humaniora.

Asal-usul para tokoh New criticsm tidak lain adalah sastra sendiri, sedangkan asal-

usul para tokoh strukturalisme dari berbagai disiplin ilmu humaniora. Berbagai bidang ilmu

itu antara lain antropologi, mitologi, kepercayaan, ritual, dan cerita rakyat. Tokohnya adalah

Claude Levi Strauss (Prancis), Michel Foucault (Prancis), Roland Barthes (Prancis), dan 

Jacques Lacan (Prancis). Sebagai sebuah studi interdisipliner dengan sendirinya

strukturalisme mempergunakan pendekatan ekstrinsikl. Jika, strukturalisme menjadi sebuah

Page 4: Metode Kritik Sastra

studi monodispliner, maka strukturalisme dapat pula mempergunakan pendekatan instrinsik.

Salah satu contoh penggunaan pendekatan instrinsik tampak dalam studi Jonathan Culler,

seorang tokoh strukturalisme Amerika dalam menghadapi sajak William Blake, “Ah

Sunflower”.

1.3 Struktural-Semiotik

Dalam pengertian struktur ini, terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga

ide dasar yaitu, (1) merupakan satu totalitas (kesatuan); (2) dapat bertransformasi

(susunannya dapat berubah); dan (3) dapat mengatur dirinya sendiri jika terjadi perubahan

pada susunan antarkomponen (Piaget via Hawkes, 1978:16). Dalam rangka membangun

totalitas, strukturalisme menolak peranan faktor-faktor lain yang da di luranya termasuk

pengarang sendiri. Dalam hal ini, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis.

Strukturalisme dianggap mementingkan objek. Penganut aliran strukturalisme berkiblat pada

stukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure dengan dua konsep

yakni: penanda (signifier, significant) dan petanda (signified, signifie).

Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang

terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna

sendiri yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antar unsur dalam keseluruhannya

(Hawkes, 1978:17-18).

Analisis struktural sebagai ciri kesastraan memberikan intensitas terhadap kedudukan

karya sastra secara mandiri. Analisis struktural berkembang di Slavia dengan kelompok Praha

(Mukarovsky, Vodicka) yang akhirnya berkembang menjadi nama semiotik.

Analisis struktural yang menekankan otonomi karya, menurut Teeuw memiliki

beberapa kelemahan pokok yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka social

budayanya (1984:61; Pradopo, 1987:125). Karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang

sebagai anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sehingga selalu berada dalam

situasi kesejarahan dan kerangka sosial budaya. Oleh sebab itu, untuk mengintrepetas makna

karya sastra tidak mungkin tercapai sepenuhnya tanpa mengikutsertakan aspek

kemasyarakatannya. Peranan pembaca sebagai pemberi makna dalam keseluruhan sistem

sastra tidak dapat diabaikan sebab tanpa aktivitas interpretasi, karya sastra akan tetap sebagai

benda mati.

Page 5: Metode Kritik Sastra

Untuk melengkapi kelemahan dan kesenjangan teori struktural, analisis struktural

ditempatkan dalam kerangka semiotik. Teori struktural-semiotik merupakan penggabungan

dua teori, teori struktural dan teori semiotik. Strukturalisme dan semiotik merupakan hal yang

identik dan tidak dapat dipisahkan (Culler, 1975: 4).

Seperti halnya strukturalisme, rumusan tentang semiotik tampak bermacam-macam,

tetapi pada dasarnya memiliki pengertian sama yaitu ilmu tentang tanda-tanda. Jan

Mokarovsky dan Felix Vedicka (Teeuw, 1983:62) merupakan dua orang yang

mengembangkan strukturalisme atas dasar konsepsi semiotik dengan pengertian untuk dapat

memahami sepenuhnya seni (sastra) sebagai struktur perlu diinsyafi ciri khasnya sebagai

tanda (sign).

Karya sastra sebagai gejala semiotik, menurut Culler pertama-tama dapat dianggap

sebagai ragam pemaknaan dan komunikasi, asalkan uraian yang memperhatikan makna karya

sastra tersebut sesuai bagi pembaca; kedua, setiap orang harus mengidentifikasikan pengaruh

pemaknaan yang dikehendakinya. Ditegaskan Culler bahwa seseorang dapat mempelajari

signifikasi sastra dengan jalan menguraikan konvensi-konvensi dan kerja semiotik yang

berhubungan dengan penafsiran-penafsiran tersebut(1981:49). 

Penegasan Culler tersebut identik dengan pernyataan Preminger, dkk (1974:81)

bahwa studi semiotik sastra merupakan usaha untuk mengkaji suatu sistem tanda-tanda dan

menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra tersebut memiliki makna.

Semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi

dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sistem tanda (Segers, 1978:41).

Berkaitan dengan kerja semiotik atau intetrpretasi makna karya sastra, pembaca tidak hanya

tergantung pada kemampuan di bidang bahasa dan latar belakang lingkungan, melainkan juga

tergantung pada konvensi dan budaya tertentu.

Sehubungan dengan pengertian bahwa karya sastra merupakan tindak komunikasi

dengan memanfaatkan ragam signifikansi, Teeuw (1982: 17-18) secara rinci memberikan

sistematika sebagai berikut: “...segala faktor yang ikut memainkan peranan dalam

komunikasi harus diperhitungkan dan diberikan tempat yang selayaknya: Pertama-tama

faktor pengirim dan penyambut atau penerima ‘pesan,’ dan struktur pesan itu sendiri; tapi

yang lebih penting lagi, karena pesan itu berupa tanda, sign, perlu diperhatikan hubungan

tanda dengan yang ditandainya, refernnya di dunia luar ataupun referen yang kita bina atas

Page 6: Metode Kritik Sastra

dasar informasi yang terkandung dalam tanda itu sendiri; demikian pula hubungannya

dengan sistem bahasa sebagai sistem tanda (kode) primer yang sebagiannya menentukan

makna dan potensi sastra sebagai sistem tansa (kode) sejunder. Yang paling penting:

bagaimana kita pertahankan dalam pendekatan karya sastra sifat dan ciri khasnya yaitu

aspek estetikanya, nilainya... dan justru nilai itu tidak dapat dilepaskan dari tindak

interpretasi yang antara lain mau tidak mau harus dilakukan oleh peneliti karya sastra.”

Dalam proses signifikasi sastra, struktur bermakna dalam karya sastra terbentuk

berdasarkan susunan bahasa. Seperti dinyatakan Teeuw, karya sastra sebagai tanda (kode)

sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa

itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan

bahasa dalam sstra nerupakan sistem semiotik tingkat kedua yang meknanya ditentukan

bersama-sama berdasarkan konvensi sstra (Pradopo, 1987:122). Arti dalam bahasa sastra

disebut makna (significance).

Karya sastra sebagai tanda (kode) sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh

sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat

pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam sastra merupakan sistem semiotik

tingkat kedua yang maknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sastra

(Pradopo, 1987: 122). Bahasa dalam sastra dapat memiliki arti lain dari arti itu sendiri

(meaning of meaning) dan untuk membedakannya, arti dalam bahasa sastra disebut makna

(significance). Dalam hal ini, Riffaterre (1978: 3) menempatkan istilah arti (meaning) bagi

informasi yang disampaikan teks pada taraf mimetik. Berdasarkan sudut pandang arti itu, teks

(karya sastra) merupakan unit-unit informasi yang berurutan, sedangkan dari sudut pandang

signifikansi karya sastra merupakan satuan unit semantik.

Makna karya sastra cenderung ditentukan oleh kehadiran atau peranan pembaca

sebagai pemberi makna. Kenyataan tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra

sebagai artefak akan menjadi penuh setelah melewati kegiatan pembacaan (Mukarovsky vis

Fokkema, 1977:31-32). Kegiatan pembacaan dalam rangka interpretasi merupakan partisipasi

pembaca dalam menciptakan makna. Berkaitan dengan hal tersebut. Riffaterre (1978:4-6)

mengklasifikasikan dua tingkat atau tahap pembacaan yaitu heuristik dan hermeneutik.

Kompetensi lunguistik pembaca menduduki tempat penting dalam pembacaan

heuristik sebab dalam tahap ini pembaca melakukan interpretasi secara referensial (tataran

Page 7: Metode Kritik Sastra

mimetik) terhadap satuan linguistiknya. Pembaca dalam tahap ini akan menemukan meaning

arti secara linguistik.  Ketidaklangsungan semantik tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu,

displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning (Riffaterre, 1978:20).

Proses semiotik merupakan hasil pembacaan tahap kedua yang bersifat hermeneutic.

Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang lebih rumit dan bervariasi yaitu

pembacaan ulang disertai penafsiran dengan jalan menguraikan (decoding) terhadap unsur-

unsur ketidakgramatikalan kedalam ekuivalensi sehingga membentuk varian dari matrik

struktural yang sama.

1.4 Strukturalisme dan Eksistensialisme

Kendati eksistensialisme tidak langsung berhubungan dengan strukturalisme,

eksistensialisme menjadi salah satu pemicu lahirnya strukturalisme. Sebagaimana yang

dibawakan oleh Jean Paul Sartre (Prancis), Albert Camus (Prancis, Aljazair), dan Martin

Heidegger (Jerman). Di antara Sartre, Camus, dan Heidegger, hanya Heidegger lah yang

tidak menulis sastra.

Eksistensialisme sebetulnya sudah ada pada abad ke-19 sebagaimanayang dibawakan

oleh Soren Klerkegaard dan Karl Jasers. Pada abad ke-19, eksistensialisme dibawakan dan

dianutoleh orang-orang yang percaya Tuhan dank arena itu eksistensialisme abad kesimbalan

belas adalah teistik. Eksistensialisme abad ke-20 sebaliknya dibawakan oleh orang-orang

yang tidak percaya Tuhan adalah ateistik.

Dalam Perang Dunia II, Jerman memperoleh kemenangan di berbagai medan

pertempuran baik di Eropa maupun di Afrika. Kenyataan bahwa perang terus berkelanjutan

dan Jerman terus menang inilah yang memicu Sartre dan Camus untuk meragukan

keberadaan Tuhan. Akhirnya, inilah salah satu awal yang memicu keyakinan Sartre dan

Camus untuk menjadi ateis. Karena Tuhan tidak turun tanggan, maka tanggung jawab untuk

memerangi Jerman terletak di tanggan manusia sendirir tanpa bantuan siapa pun. Akhirnya,

Sartre dan Camus memutuskan terjun dalam pasukan bawah-tanah untuk melawan Jerman.

Menurut Eksistensialisme abad ke-20, manusia dilahirkan bagaikan “dilemparkan”

begitu saja ke dunia. Apa yang terjadi pada seseorang yang telah terlanjur “dilemparkan” ke

dunia adalah tanggung jawab dia sendiri. Dia mempunyai pilihan untuk menjadi apa pu.

Page 8: Metode Kritik Sastra

Setelah mengambil pilihan dia sendiri, maka tanggungjawab seluruhnya terletak di

tanggannya sendiri, bukan orang lain, bukan pula Tuhan, sebab Tuhan tidak ada. Dalam

interaksi dengan orang lain pun masing-masing orang mempunyai pilihan sendiri dan akibat

pilihannya itu dia memikul tanggungjawab atas pilihannya itu.

Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi, karna setiap konsekuensi dapat

mendatangkan petaka, maka kehidupan ini penuh dengan angst atau ketakutan. Inilah inti sari

filsafat eksistensialisme ateis abad ke-20 dan ini pulalah yang mewarnai novel dan drama

Sartre dan Camus. Semua tokoh dalam karya sastra mereka ateistis, semua menentukan

pilihannya sendiri, semua menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pilihannya sendiri

dan semua tidak percaya Tuhan. Simpul-simpul Eksistensialisme tampak juga dalam sastra

Indonesia dalam novel Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung.

1.5 Primitivisme Di Luar Konteks Strukturalisme

Dalam konteks strukturalisme, primitivisme mengandung makna masa lampau pada waktu

manusia masih primitive sebagaimana yang tercerminkan dalam antropologi, sedangkan di

luar konteks strukturalisme, primitivisme merupakan bagian dari proses kreatif. Dalam proses

kreatif, setiap penulis mempunyai tendensi untuk mundur ke pengabadian kebiasaan-

kebiasaan masa lampau yang sudah kuno dan tidak dipakai lagi. Sadar atau tidak, setiap

penulis pada hakikatnya kembali ke primitivisme. Pengabdiaan kebiasaan-kebiasaan masa

lampau ini tampak antra lain, dalam penggunaan bahasa, dan penciptaan suasana sublime

yang hanya mungkin terjadi di masa lampau. Salah satu contoh primitivisme terdapat pada

novel pendek Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea.

1.6 Formalisme

Pada dasarnya, kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki

dunianya sendiri.Artinya, terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita

alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis, mempertentangkan metode kritisis meformalis

dengan teori seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman

manusia di luar seni. Menurut pendapatnya Art is to be art, must be independent and self

sufficient.

Page 9: Metode Kritik Sastra

Kriteria kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form,

yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni. Menurut Bell

untuk memahami dan merasakan significant form, dan ruang tiga dimensional. Dengan

maksud yang sama Roger Fry menggunakan istilah plastic drama, yakni sintesis permainan

garis dan volume dalam karya seni rupa. Unsur desain menurut Fry terdiri atas garis, volume,

cahaya, bayang, dan warna.

Secara definitif kritik sastra Formalisme adalah aliran kritik sastra yang lebih

mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai

struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka

adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka

sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya

psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.

Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang

dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk

meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari

pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui

penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).

1.6.1 Formalisme Rusia, Strukturalisme Praha, dan Strukturalisme

Ketika New criticsm secara resmi dianggap sudah mati pada tahun (1950-an dan

1960-an), muncullah kemudian dua perkembangan baru, yaitu Formalisme Rusia dan

Strukturalisme Praha yang dalam banyak hal dianggap identik. Formalisme Rusia sendiri

sebetulnya terdiri atas dua kelompok, yaitu The Moscow Linguistic Circel dan Opojaz

(masyarakat untuk kajian bahasa puitik). Dalam perkembanganya, keduannya dianggap satu,

yaitu Formalisme Rusia. Para tokoh Formalisme Rusia dianggap sebagai orang-orang yang

anti kajian sastra Marxis dank arena itu banyak di antara mereka yang melarikan diri dari

Rusia. Lahirnya kajian sastra Marxis antara lain melahirkan Realisme Sosial, yang di

Indonesia kemudian dijadikan pedoman mutlak para seniman Lekra (Lembaga Kesenian

Rakyat).

Para tokoh Formalisme Rusia tidak lain adalah juga tokoh strukturalisme Praha.

Mereka anatara lain adalah Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Boris Tomashevsky, dan

Page 10: Metode Kritik Sastra

Yuri Tynjanov. Beberapa di antara mereka kemudia lari dari negara-negara komunis Uni

Soviet dan Chekoslovakia, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Vladimir Proop dengan

bukunya yang sangat berpengaruh, Morphology of the Folktale, dan Roman Jakobson,

seorang linguis Rusia yang kemudian melarikan diri ke New York menjelang Perang Dunia

II. Karena peran dan sumbangan mereka sangat besar, masing-masing mereka dianggap

berdiri sendiri seolah mereka tidak ada kaitannya dengan mazhab tertentu.

Ketika Roman Jackobson memperkenalkan gagasan-gagasannya di Amerika, pada

saat yang hampir sama terjemahan karya para tokoh Formalisme Rusia dan Strukturalisme

Praha juga masuk ke Amerika. Gagasan pokok Roman Jackobson terdiri atas tiga tingkatan,

yaitu :

a. Analisis aspek bunyi suatu karya sastra

b. Masalah makna dalam konteks puitik

c. Integrasi antara bunyi dan makna dalam suatu kesatuan yang tidak mungkin

dipisahkan

Namun, Strukturalisme Praha, Strukturalisme Prancis, dan Strukturalisme Rusia pada

hakikatnya terikat oleh gagasan yang sama, yaitu strukturalisme. Gagasan yang sama ini

tampak anatara lain dalam pertanyaan-pertanyaan seputar objek, tugas, dan metode sejarah

sastra. Strukturalisme tidak mungkin membebaskan diri dari New Criticsm. Bedanya, New

Criticsm membatasi diri pada puisi dan strukturalisme pada humaniora, yang dalam masa

hidupnya mungkin tidak pernah membayangkan lahirnya strukturalisme yang mengguncang

dunia pemikiran (bukan dunia sastra saja), ternyata juga kadang-kadang dianggap sebagai

tokoh strukturalisme.

Ketika strukturalisme sedang tumbuh dengan pesat di Prancis, ada seorang filsuf

Perancis terkemuka, Louis Althusser, yang berusaha untuk memasukkan gagasan-gagasan

Marxism eke dalam strukturalisme. Gagasan utamannya adalah kembali ke Marxisme tulen,

dengan jalan mempelajari kembali karya Marx dengan cermat. Pemikirannya mempunyai

pengaruh yang sangat cermat. Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat cermat.

Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat luas di Eropa Barat dan Amerika Latin pada

tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan masuknya Louis Althusser ke dalam jajaran

Page 11: Metode Kritik Sastra

strukturalisme, maka cakrawala strukturalisme menjadi bertambah luas, dank arena itu peran

strukturalisme dalam kajian sastra menjadi lebih sempit.

Gagasan Althusser, memang lebih banyak mengaju pada ideologi, yaitu Marxisme

khususnya Historisme Materialisme suatu kajian mengenai pergeseran kelas menurut

idealism Marxisme. Salah satu simpulan pemikiran Althusser yang Marxist dan Derrida yang

non-ideologis serta beberapa tokoh strukturalisme yang lain, akhirnya melahirkan

pascastrukturalisme. Salah satu gagasan pokok pascastrukturalisme adalah dekonstruksi.

2. Metode Perbandingan

Menurut Robert J. Clementa, sastra bandingan adalah suatu disiplin ilmu yang

memiliki metode yang mencangkup berbagai aspek yaitu tema, jenis/bentuk, keterhubungan

sastra dengan disiplin dan media seni lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam kajian

sastra bandingan diperlukan pendekatan dalam mengkaji karya sastra yang satu dengan

lainnya. Dengan membanding-bandingkan karya sastra dengan menggunakan suatu

pendekatan, akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan

perbedaan.

 

2.1 Intertekstual

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks

yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti

tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam

interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan

dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks

yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks

memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.

Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Munculnya studi

interteks lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan

sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya.

Maksudnya, jika dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra yang

satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan

dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu.

Page 12: Metode Kritik Sastra

Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena senada akan memiliki sumbangan

penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah

dibandingkan secara cermat satu sama lain.

Julia Kristeva (Junus, 1986: 87) mengatakan munculnya interteks sebenarnya

dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan

bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat hanya setitik saja. Jika kemungkinan

unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang berarti. Asumsi paham

interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain.

Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja,

terjadinya interteks tersebut ada yang sangat “vulgar” dan ada pula yang sangat halus. Semua

kasus interteks tergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang

ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.

Prinsip dasar intertekstualitas (Pradopo, 1997: 228) adalah karya hanya dapat

dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram.

Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran dalam berkarya. Hipogram

tersebut bisa sangat halus dan bisa sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir

berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka

selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya

sendiri, dengan horizon atau harapannya sendiri.

Prinsip intertekstual tersebut sebenarnya merupakan usaha pemahaman sastra sebagai

sebuah “presupposition”. Yakni, sebuah perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung teks

lain sebelumnya. Secara garis besar penelitian intertekstual memiliki dua fokus: pertama,

meminta perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu. Tuntutan adanya otonomi

teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal

tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstual akan

membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode

yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak bahwa

karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam sebuah penciptaan. Bahkan, Barthes

berpendapat, karya sastra yang anonim sekalipun kadang-kadang akan mewarnai penciptaan

karya sastra selanjutnya.

Page 13: Metode Kritik Sastra

Hubungan interteks tersebut ternyata tidak hanya pada karya yang satu bahasa.

Interteks dapat melebar atau meluas ke sastra lain. Yang penting, asalkan pengarang

menguasai bahasa karya sastra lain, maka akan terjadi interteks. Kini tugas peneliti

intertekstual adalah menemukan presupposition. Mungkin saja pengarang sangat halus

menyembunyikan presupposition sehingga membutuhkan tafsir yang meyakinkan.

Presupposition sebenarnya merupakan perkiraan “tanda” terjadinya transformasi teks

3.    Metode Sosiologi Satra

Metode sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan 

pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat

dan memberi pengaruh terhadap masyarakat.

a. Konsep dan kriteria

Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga

mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang,

pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan

kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:

1.  Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra

sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah

masyarakat,  sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.

2.  Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat

dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan

realisme sosialis.

3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan

suatu jaman dalam karyanya.

4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis,

palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga

menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan

membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.

3.1 Poskolonial

Page 14: Metode Kritik Sastra

Awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial literature) yang

dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan

pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada

hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek

etnisitas. Teori postkolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu

sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi

imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material

maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

3.2 Antropologi Sastra

Perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan

oleh Ernst Cassirer (1956: 44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak

hakikat manusia sebagai semata-mata animal rationale. Menurut Cassirer, yang kemudian

juga dimanfaatkan salam sosiologi interaksi simbolik Meadean (Riter dan Douglas, 2004:

272), sistem symbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan

melalui symbol. Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi,

sehingga sistem symbol, termasuk symbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di

satu pihak, simbol tidak seragam, cirri-ciri yang memungkinkan system komusikasi dapat

berkembang secara tak terbatas. Di pihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch

(Sastrapratedja, 1982: ix), manusia adalah entitas histories, keberadaannya ditentukan oleh

sejumlah factor yang saling mempengaruhi, yaitu: a) hubungan manusia dengan alam sekitar,

b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan

istitusi soaial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, e)

manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, dan f) manusia dan kesadaran

religius atau para-religius.

Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan

relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropolog menjadi dua macam,

yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam

kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia,

seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hokum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya

sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia,

yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra

memudatkan perhatian pada kompleks ide.

Page 15: Metode Kritik Sastra

3.3 Posmodernisme

Lyotard (Sarup, 1993:131-134) berpendapat bahwa postmodernisme merupakan

gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis

khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang

lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan.

Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman

budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat

dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.

Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya

sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya,

seperti evolusionisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim

dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu

kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera

budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit

kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus

ini” dan “harus itu”.

4.    Metode Estetika Resepsi

Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata

recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan

pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian

makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan)

yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima

atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks

sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap

teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki

makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Berdasarkan pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada

Page 16: Metode Kritik Sastra

pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga

memberikan reaksi terhadap teks tersebut.

 Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya

sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara

pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan

periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon

atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang

pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini sebagai konsep awal yang

dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu

adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki

pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu

akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh

pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika

(1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga

dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:

1. norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;

2. pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;

3. pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk

memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam

horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.

Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada

tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya. Hal ini

berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah

untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian

tempat terbuka ini dilakukan melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca.

Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya

akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.