kortiko2.doc

26
KORTIKOSTEROID TOPIKAL Enggar Sari K., S.Ked Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang PENDAHULUAN Kortikosteroid adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh korteks adrenal tubuh manusia. 1 Senyawa ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula, otot, resistensi tubuh, termasuk respon inflamasi. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. 1 Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan mineralokortikoid memiliki efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit. 2 Kortikosteroid sintetik mulai digunakan sebagai terapi sejak tahun 1950. Tahun 1951 Sulzberger dkk melaporkan keberhasilan terapi kortison sistemik dan adrenokortikotropik hormon (ACTH) pada pasien peradangan kulit. Satu tahun kemudian, Sulzberger dan Wittern berhasil mengobati pasien erupsi eksematous dengan hidrokortison topikal. Sejak saat itu, selama 40 tahun terakhir penelitian dikembangkan untuk 1

description

kortikosteroid

Transcript of kortiko2.doc

Page 1: kortiko2.doc

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Enggar Sari K., S.Ked

Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin

Palembang

PENDAHULUAN

Kortikosteroid adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh korteks

adrenal tubuh manusia.1 Senyawa ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan

darah, kadar gula, otot, resistensi tubuh, termasuk respon inflamasi.

Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan

mineralokortikoid.1 Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek

utamanya menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan

mineralokortikoid memiliki efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit.2

Kortikosteroid sintetik mulai digunakan sebagai terapi sejak tahun 1950.

Tahun 1951 Sulzberger dkk melaporkan keberhasilan terapi kortison sistemik dan

adrenokortikotropik hormon (ACTH) pada pasien peradangan kulit. Satu tahun

kemudian, Sulzberger dan Wittern berhasil mengobati pasien erupsi eksematous

dengan hidrokortison topikal. Sejak saat itu, selama 40 tahun terakhir penelitian

dikembangkan untuk mengekplorasi potensi, konsentrasi, bentuk sediaan, dan

bahan aktif kortikosteroid untuk meminimalisasi efek jangka panjang penggunaan

terapi ini.3

Saat ini kortikosteroid memiliki beragam jenis terapi, antara lain terapi

oral, intramuskular, intravena, intralesi, dan topikal.3 Kortikosteroid topikal adalah

terapi yang paling sering digunakan untuk menatalaksana pasien kulit dan

kelamin. Referat bertujuan memahami penggunaan kortikosteroid topikal, agar

dapat mengaplikasikannya dalam penyakit kulit dan kelamin dengan tepat, untuk

menghindarkan efek samping pada pasien.

1

Page 2: kortiko2.doc

STRUKTUR MOLEKUL DAN FARMAKOLOGI

Semua steroid, termasuk glukokortikoid, memiliki struktur dasar

kolesterol rantai karbon berjumlah 21, dengan tiga cincin heksana dan satu cincin

pentana (gambar 1).4

2

Page 3: kortiko2.doc

Gambar 1. Struktur kimia kortison (hidrokortison). Terdapat gugus hidroksil pada atom C114

3

Page 4: kortiko2.doc

Modifikasi dari kortisol dengan penambahan atau perubahan gugus fungsi

pada posisi tertentu menghasilkan beragam potensi dan efek samping. Misalnya,

penambahan sebuah molekul fluorin (halogenasi) pada posisi C6 dan/atau C9 akan

meningkatkan potensi steroid, tetapi diikuti juga dengan peningkatan aktivitas

mineralokortikoid. Penggantian molekul pada posisi C16 dengan 1α-hidroksil

(triamsinolon), 1α-metil (dexametason) atau 1β-metil (betametason)

meningkatkan efek tanpa diiringi peningkatan kadar natrium (gambar 2).3,4

Gambar 2. Beberapa contoh topikal kortikosteroid. A. Triamcinolone B. Dexamethasone C. Betamethasone D. Clobetasol 17-propionate4

Pelepasan, penggantian atau perlindungan gugus hidroksil dapat

meningkatkan lipofilisitas molekul, sehingga absorbsi perkutan dan aktivitas

glucocorticoid-reseptor-binding pun meningkat. Perlindungan terhadap gugus

hidroksil dapat dilakukan melalui reaksi esterifikasi pada C16, C17, dan C21.

Penggantian gugus hidroksil pada C21 molekul betametason dengan klorin

menghasilkan clobetasol 17-propionat (gambar 2d), kortikosteroid potensi terkuat

saat ini.2,4

MEKANISME KERJA

Kortikosteroid mempunyai beragam efek yang dimediasi melalui

glucocorticoid receptor (GCR). Molekul kortikosteroid berdifusi ke sel target dan

berikatan dengan GCR di sitoplasma. Selanjutnya ikatan kortikosteroid-GCR

mengalami perubahan konformasi membentuk kompleks. Kompleks

4

a. b.

c. d.

Page 5: kortiko2.doc

kortikosteroid-GCR yang telah teraktivasi kemudian melintasi selubung inti sel

dan berikatan dengan situs akseptor pada DNA. Hal ini mengakibatkan regulasi

gen dan transkripsi berbagai mRNA spesifik.3

GCR ditemukan hampir di semua sel dalam tubuh. Pembentukan

kompleks kortikosteroid-GCR dapat menimbulkan efek yang diinginkan (terapi

menguntungkan) maupun tidak diinginkan (efek samping).3 Kortikosteroid

memiliki beragam efek meliputi antiinflamasi, imunosupresif, antiproliferatif, dan

vasokonstriksi.3,4,5

Gambar 3. Mekanisme kerja glukokortikoid.3

Efek antiinflamasi

Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat

fosfolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin,

leukotrien, dan derivat asam arakhidonat lainnya. Kortikosteroid juga

menghambat faktor transkripsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor B

yang berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Gen tersebut diregulasi oleh

kortikosteroid, hal itu berperan dalam resolusi inflamasi meliputi lipocortin dan

p11/calpactin binding protein yang keduanya melepaskan asam arakhidonat dari

fosfolipid. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1α (IL-1α) yang

5

Page 6: kortiko2.doc

merupakan sitokin pro-inflamasi yang penting. Kortikosteroid menghambat

fagositosis dan stabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagositik.3,4,5

Efek imunosupresif

Kortikosteroid memiliki efek imunosupresif yaitu dengan menekan

produksi dan efek dari faktor humoral meliputi respon inflamasi, menghambat

migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan menghalangi fungsi sel endotel,

granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian mengungkapkan bahwa

kortikosteroid dapat menyebabkan berkurangnya sel mast pada kulit serta

penghambatan kemotaksis lokal netrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans.

Kortikosteroid pun dapat menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan

apoptosis sel T.3,4,5

Efek antiproliferatif

Kortikosteroid memiliki efek antiproliferatif dengan menghambat

sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblast dan pembentukan kolagen juga

dapat dihambat. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan suatu proses kompleks

yang terdiri dari penurunan pengaruh stimuli yang telah dinetralisir oleh berbagai

faktor inhibitor. Kortikosteroid juga mengadakan stabilisasi membran lisosom,

sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.3,4,5

Efek vasokonstriksi

Mekanisme kortikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi masih

belum jelas. Akan tetapi, mekanisme ini mungkin berhubungan dengan

terhambatnya vasodilator natural seperti histamin, bradikin, dan prostaglandin.

Kortikosteroid topikal menyebabkan pembuluh darah kapiler dermis kontriksi

sehingga eritema berkurang.3,4,5

FARMAKOKINETIK

Berdasarkan penelitian, kortikosteroid hanya sedikit mengabsorbsi setelah

pemberian pada kulit normal. Oklusi dengan plastik yang tidak dapat tembus,

adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan penetrasi, menyebabkan

peningkatan absorbsi menjadi 10 kali lipat.6

6

Page 7: kortiko2.doc

Struktur kulit merupakan parameter kunci penetrasi pengobatan

topikal. Terdapat variasi regional anatomi dalam penetrasi kortikosteroid seperti

pada tabel 1. Variasi ini dapat dijelaskan melalui hukum difusi Fick’s4,5,6:

dimana J adalah flux; aliran (massa.m-2.s-1) yang merupakan

satuan kecepatan transfer substansi per unit area dalam kurun

waktu tertentu sebanding dengan differensial perubahan

konsentrasi (dC) terhadap diferensial jarak (dx).4,6 Maka, area

dengan lapisan kulit yang tebal seperti lengan bawah memiliki

aliran difusi yang rendah, sehingga penetrasi kortikosteroid

topikal pun rendah, bila dibandingkan dengan lapisan kulit yang

lebih tipis seperti skrotum. Perlu diingat, terapi topikal

menitikberatkan target pada lapisan kulit hipodermis/subkutan

yang kaya pembuluh darah. Tingginya tingkat penetrasi pada

skrotum pun dikaitkan dengan banyaknya pembuluh darah pada

lapisan kulit bagian tersebut.

Tabel 1. Perbandingan resorpsi kortikosteroid (hidrokortison) dari kulit di berbagai daerah tubuh8

Daerah tubuh PerbandinganLengan bawah 1Telapak kaki 0,1

Pergelangan kaki 0,4Telapak tangan 0,5

Punggung 3,7Kulit kepala 3,5

Ketiak 3,6Muka 6,0

Skrotum 42,0

Faktor umur juga mempengaruhi absorbsi kortikosteroid topikal. Bayi

baru lahir (newborn) dan anak memiliki struktur kulit yang lebih halus dan belum

berkembang dibandingkan dengan kulit remaja dan dewasa, sehingga diberikan

kortikosteroid topikal yang absorbsi dan penetrasinya lebih mudah atau lebih

cepat. Hal ini terjadi karena barier epidermis pada anak dan bayi belum terbentuk

sempurna yang dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh serta permeabilitas yang

7

Page 8: kortiko2.doc

lebih tinggi. Pemberian kortikosteroid topikal pada anak perlu dipertimbangkan

dengan baik karena resiko terjadinya efek samping akibat pemberian

kortikosteroid topikal terutama golongan potensi sangat tinggi atau tinggi pada

anak lebih besar daripada pada orang dewasa.3,4,5

Pasien lanjut usia pun memiliki kulit yang tipis, yang dapat menyebabkan

peningkatan penetrasi kortikosteroid topikal. Selain itu pada pasien lanjut usia

banyak terdapat kulit yang atrofi sehingga pertimbangan penggunaan

kortikosteroid untuk pasien ini pun sama dengan pada bayi. Penggunaan

kortikosteroid topikal dianjurkan tidak rutin, dalam periode waktu yang singkat,

atau di bawah pengawasan ketat untuk pasien yang memiliki kulit atrofi, untuk

menghindarkan efek samping yang tidak diinginkan.3,4

PENGGOLONGAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Secara umum kortikosteroid berdasarkan potensinya dibagi menjadi 4,

yaitu potensi sangat kuat, potensi kuat, potensi sedang, dan potensi lemah.9,10

Selain itu, ada juga yang membagi kortikosteroid topikal menjadi 7 golongan,

yaitu super potent, potent, potent upper mid-strength, lower midstrength, mild

strength, dan least potent (tabel 2).2,3,4,5 Penggolongan kortikosteroid topikal

tersebut juga dipengaruhi oleh vehikulum dan merek dagang yang digunakan.3,4

Vehikulum yang tersedia antara lain oinment, krim, gel, losion, dan larutan.

8

Page 9: kortiko2.doc

Tabel 2. Kategori potensi kortikosteroid3,4,5

Kelas I (superpotent) Clobetasol propionate 0,05% Betamethason dipropionate 0,05% Diflorasone diacetate 0,05% Halobetasol propionate 0,05%

Kelas V (mid-strength) Flurandrenolide 0,05% Fluticasone propionate 0,05% Betamethasone dipropionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1% Hydrocortison butyrate 0,1% Fluocinolone acetonide 0,025% Betamethasone valerate 0,1% Hydrocortisone valerate 0,2%

Kelas II (potent) Amcinonide 0,1% Betamethasone dipropionate 0,05% Mometasone furoate 0,1% Diflorasone diacetate 0,05% Halcinonide 0,1% Fluocinonide 0,05% Desoximethasone 0,25%

Kelas VI (rendah) Alclometasone dipropionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1% Desonide 0,05% Fluocinolone acetonide 0,01% Betamethasone valerate 0,1%

Kelas III (potent) Triamcinolone acetonide 0,1% Fluticasone propionate 0,005% Amcinonide 0,1% Betamethasone dipropionate 0,05% Diflorasone diacetate 0,05% Halcinonide 0,1% Fluocinonide 0,05%

Kelas VII (rendah) Topikal dengan hydrocortisone Dexamethason, flumethason Prednisolon dan metilprednisolon

Kelas IV (mid-strength) Flurandrenolide 0,05% Mometasone furoate 0,1% Triamcinolone acetonide 0,1% Betamethasone valerate 0,12% Fluocinolone acetonide 0,025% Hydrocortisone valerate 0,2%

Sebagai contoh betametason dipropionat 0,05% masuk dalam golongan I,

II, III, dan V (Tabel 3). Hal ini dipengaruhi oleh vehikulum dan merek dagang

yang digunakan. Perbedaan bentuk sediaan tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 3. Kategori potensi betametason dipropionat 0,05%4,5,7

Golongan SediaanGolongan I Diprolene® ointmentGolongan II Diprosone® ointmentGolongan III Diprosone® creamGolongan V Diprosone® lotion

9

Page 10: kortiko2.doc

Triamcinolone acetonide 0,1% juga masuk dalam golongan III, IV, dan V dan

berbeda dipengaruhi vehikulum yang digunakan (tabel 4).5

Tabel 4. Kategori potensi triamcinolone acetonide 0,1%4,5,7

Golongan SediaanGolongan III Aristocort A® ointmentGolongan IV Kenalog® creamGolongan V Aristocort® cream

Efektivitas kortikosteroid dengan merek dagang tertentu dibandingkan

produk generiknya tidak sepenuhnya bermakna. Berbagai penelitian menyebutkan

potensi sediaan generik tidak selalu sama potensinya dengan kortikosteroid

bermerek dagang. Penelitian lain menyebutkan terdapat pula variasi potensi antara

produk kortikosteroid berbahan aktif sama namun berbeda merek dagang.4

PEMILIHAN KORTIKOSTERID

Kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit, dan

harga murah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan

kortikosteroid topikal yaitu potensi kortikosteroid yang diinginkan, jenis penyakit

kulit, jenis vehikulum, dan jumlah penggunaan.4

Potensi kortikosteroid

Keputusan pemilihan potensi berdasarkan pada usia pasien, tipe

penyakit, tingkat keparahan, luasnya lokasi, dan perkiraan durasi pemakaian

kortikosteroid topikal.

Jenis penyakit kulit

Pemberian kortikosteroid berhubungan dengan respon dari penyakit kulit

yang dialami. Berdasarkan respon tersebut beberapa penyakit dikategorikan

menjadi tiga yaitu responsif tinggi, responsif sedang, dan responsif rendah.4,5

Tabel 5. Kategori respon penyakit kulit terhadap kortikosteroid topikal5

10

Page 11: kortiko2.doc

Respon tinggi Respon sedang Respon rendah Psoriasis intertriginosa Dermatitis atopic pada

anak Dermatitis seboroik Intertriginosa

Psoriasis Dermatitis atopic pada

dewasa Dermatitis numularis Dermatitis iritan primer Papular urtikaria Parapsoriasis Liken simpleks kronis

Psoriasis palmo-plantar Psoriasis pada kuku Dermatitis dishidrosis Lupus erytematosus Pemfigus Liken planus Granuloma annulare Nekrobiosis lipoidica

diabeticorum Sarcoidosis Dermatitis kontak alergi,

fase akut Gigitan serangga

Penyakit kulit dengan respon tinggi biasanya akan merespon dengan steroid

potensi rendah, dan penyakit dengan respon rendah sebaiknya diobati dengan

kostrikosteroid topikal potensi tinggi.4

Jenis vehikulum

Hal terpenting dalam pemilihan vehikulum adalah lokasi pemberian

kortikosteroid topikal, potensi iritasi, dan riwayat alergi sebelumnya. Tabel

berikut menjelaskan pemilihan vehikulum kortikosteroid topikal.

Tabel 6.Pemilihan vehikulum untuk kortikosteroid topikal4

Sediaan Komposisi Hidrasi kulit

Lesi/dermatosis yang dianjurkan

Area yang dianjurkan

Kosmesis Potensi iritasi

Oinment Emulsi air dalam minyak

Hidrasi kulit sangat baik

Baik untuk kulit tebal, terdapat likenifikasi,atau bersisik

Baik untuk region palmar,plantar; hindari area yang dapat teroklusi alami

Sangat berminyak

Umumnya rendah

Krim Emulsi minyak dalam air

Hidrasi kulit baik

Baik untuk dermatosis fase akut /subakut

Baik untuk kulit lembab & area intertriginous

Elegan Bervariasi

Gel Selulosa dalam alkohol/aseton

Kulit kering

Scalp/daerah berambut

Baik untuk area tertutup, scalp & mukosa

Elegan Tinggi

Losion Minyak dalam air

Kulit kering

Scalp/ daerah berambut

Baik untuk area tertutup dan scalp

Elegan Tinggi

Larutan Alkohol Kulit kering

Scalp /daerah berambut

Baik untuk area tertutup & scalp

Elegan Tinggi

DOSIS DAN PENGGUNAAN

11

Page 12: kortiko2.doc

Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/minggu

pada golongan poten atau 100 gram/minggu pada kortikosteroid golongan potensi

medium dan lemah.4 Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan

yaitu satu kali sehari. Berdasarkan penelitian keuntungan pemberian

kortikosteroid topikal satu kali sehari sama dengan dua kali sehari. Maka

sebaiknya frekuensi pemberian kortikosteroid topikal satu kali sehari sehingga

lebih efektif, mengurangi efek samping, serta menurunkan biaya terapi.4

Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6

minggu untuk golongan potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk

golongan potensi tinggi. Penggunaan kortikosteroid topikal berhubungan dengan

jenis sediaannya, yaitu dipengaruhi oleh bahan dasar (vehikulum) yang

digunakan.3,4,5

Pemakaian kortikosteroid topikal berupa krim atau salep menggunakan

cara Fingertip unit (FTU). Satu satuan FTU adalah krim atau salep dari kemasan

sepanjang 1 ruas jari telunjuk bagian ujung. Satu FTU sama dengan 0,5 gram krim

atau salep. Dua FTU sama dengan 1 gram krim atau salep. Tabel berikut

merupakan petunjuk pemakaian krim atau salep berdasarkan bagian tubuh yang

memerlukan.3

Tabel 7. Pemakaian krim atau salep dengan FTU sesuai bagian tubuh yang memerlukan4

Bagian tubuh Krim atau salepWajah dan leher 2,5 FTUTrunkus anterior 7 FTUTrunkus posterior 7 FTU

1 lengan 3 FTU1 tangan 1 FTU1 tungkai 6 FTU

1 kaki 2 FTU

12

Page 13: kortiko2.doc

Gambar 4. Finger Tip Unit11

KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi dibagi menjadi kontraindikasi absolut dan relatif.

Kontraindikasi absolut antara lain pada pasien hipersensitivitas kortikosteroid

topikal dan hipersensitivitas pada bahan vehikulum. Kontraindikasi relatif antara

lain pada pasien infeksi bakteri, virus, jamur dan pasien dengan akne dan ulkus.

Penggunaan kortikosteroid topikal diperbolehkan pada kehamilan dengan catatan

bila manfaat penggunaannya lebih besar dibandingkan kemungkinan resiko pada

janin. Pada ibu menyusui penggunaan kortikosteroid topikal diperbolehkan pada

lokasi lesi jauh dari payudara.4

EFEK SAMPING

13

Page 14: kortiko2.doc

Penggunaan kortikosteroid topikal memiliki efek samping yang dapat

terjadi bila penggunaan kortikosteroid topikal lama dan berlebihan, penggunaan

kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan

secara oklusif. Semakin tinggi potensi kortikosteroid topikal maka semakin cepat

terjadinya efek sampingnya.4

Efek samping dari kortikosteroid topikal ini dipengaruhi oleh 3 faktor

yaitu jenis steroid berdasarkan kekuatannya, area lesi yang diberi pengobatan

kortikosteroid topikal, dan faktor predisposisi pasien terhadap timbulnya efek

samping. Gejala efek samping dari penggunaan kortikosteroid topikal dapat

berupa efek local dan efek sistemik. Efek lokal yang dapat terjadi antara lain

atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura,dermatosis akneformis, hipertrikosis

setempat, hipopigmentasi, dermatitis perioral, menghambat penyembuhan ulkus,

infeksi mudah terjadi dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi

kabur.3,4

Efek sistemik yang dapat terjadi antara lain ocular effects, supresi

hyphothalamic-pituitary-adrenal axis, dan efek samping metabolik. Penggunaan

kortikosteroid dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dengan dermatitis atopik

dan menjadi addsonian steroid dependency dan juga cushing syndrome. Anak

yatopik lebih dari 50% permukaan tubuhnya biasanya memiliki perawakan

pendek (short stature). kepadatan tulang berkurang pada orang dewasa dengan

dermatitis atopic kronik yang parah karena memerlukan perparat kortikosteroid

yang lebih kuat daripada hidrokortison.2,3,4

KOMBINASI SEDIAAN

Beberapa agen antimikroba dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal

termasuk clioquinol, clotrimazole, asam fusidat, miconazole, neomycin, dan

nystatin. Kombinasi ini menimbulkan beberapa kontroversi karena dianggap

efektif ketika diberikan dengan indikasi yang jelas. Hanya saja, kombinasi

kortikosteroid topikal dan antimikroba sering digunakan ketika diagnosis belum

ditegakkan. Penggunaan seperti itu tidak dianjurkan karena menimbulkan resiko

14

Page 15: kortiko2.doc

mengaburkan gambaran klinis penyakit untuk penegakkan diagnosis dan memicu

resistensi dan sensitasi antibiotik pada pasien di kemudian hari.7

Terdapat pula kombinasi kortikosteroid topikal dengan bahan aktif lainnya

seperti tar, asam salisilat, atau calcipotriol. Kombinasi ini terbukti baik untuk

menatalaksana pasien psoriasis.7

RINGKASAN

Kortikosteroid topikal merupakan salah satu bahan aktif dalam pengobatan

penyakit kulit karena memiliki efek antiinflamasi, imunosupresi, antiproliferasi,

dan vasokonstriksi. Resopsi obat tergantung pada bagian tubuh yang diberi obat.

Secara umum kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya dibagi menjadi 7

golongan, yaitu yaitu superpotent, potent, poten upper mid-strength, mid-strength,

lower mid-strength, mild strength, dan least potent.

Pemberian kortikosteroid berhubungan dengan respon dari penyakit kulit

yang dialami, yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu responsif tinggi, responsif

sedang, dan responsif rendah. Terdapat beberapa faktor yang perlu

dipertimbangkan dalam pemilihan kortikosteroid topikal, yaitu jenis penyakit

kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit (stadium penyakit, luas atau tidaknya lesi,

dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi), serta umur pasien.

Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/minggu

pada golongan poten atau 100 gram/minggu pada kortikosteroid golongan potensi

medium dan lemah. Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal adalah satu kali

sehari. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6

minggu untuk golongan potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk

golongan potensi tinggi.

Efek samping pemakaian kortikosteroid topikal dapat terjadi secara lokal

maupun sistemik. Terdapat berbagai pertimbangan dalam menggunakan

kortikosteroid topikal pada pasien penyakit kulit.

15

Page 16: kortiko2.doc

16

Page 17: kortiko2.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland,W.A. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.2002.

2. Maibach, Robertson, dan Howard. Farmakologi Dermatologik. Dalam:

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC.

1998. P970-87

3. Jackson M.Scoot dan Lee T. Glucocorticosteroi. In: Bolognia J.L., J.L.

Jorizzo,J.V. Schaffer, Dermatology 3rd Ed. Elsevier: British, 2012. p2075-81

4. Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In: Wolverton,

Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007;

British: Elsevier. p. 595-623

5. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The

McGraw Hills,Inc.2008. p.2102-06.

6. Forster M, et al. Topical delivery of cormetic and drug: molecular aspect of

percutaneus absorbtion and delivery. Eur J Dermatol; 2009. 19(4): 309-23

7. Stoughton, Richard B., et al. Topical Corticosteroids in Dermatology. In:

Topical Corticosteroid Therapy.New York: Raven Press. 1988.p.1-11.

8. James WD, Berger TG, Elston DM. Adverse Reactions to Corticosteroids.

Burns, Tony., et al. Topical Therapy. In:Rook’s Textbook of Dermatology, 7th

edition. Chapter 56. London: Blackwell Publishing. 2008.75.16-21.

9. Guido Herz. Topical Corticosteroids and Adrenal Suppression: Special

Aspects in Pediatrics with Prednicarbate. In:Topical Corticosteroid Therapy.

New York: Raven Press. 1988.p.147-50.

10. MIMS Indonesia volume 12. Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,2011

11. Long C, Finlay A. The finger tip unit: a new practical measure. Clin Exp

Dermatol 1991; 16:444-7

17

Page 18: kortiko2.doc

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Apakah dalam penggunaan kortikosteroid topikal dilakukan tappering off,

bagaimana mekanismenya? (Haris)

2. Mengapa sediaan dan merek dagang dapat memberikan potensi

kortikosteroid topikal yang berbeda? (Yoland)

3. Mengapa tiap lokasi tubuh memiliki tingkat penetrasi kortikosteroid

topikal yang berbeda pula, contohnya pada lengan bawah dan skrotum?

(Shabrina)

Jawab:1. Beberapa literatur menyebutkan terdapat mekanisme tapering off

kortikosteroid topikal, namun terdapat literatur yang tidak membahas

mekanisme ini. Disebutkan bahwa tapering off dapat dilakukan melalui

dua cara:

penggantian potensi kortikosteroid yang digunakan. Kortikosteroid

topikal potensi tinggi kemudian diganti menjadi potensi sedang,

lalu potensi rendah, atau

pengurangan frekuensi penggunaan, contohnya dari dua kali sehari

menjadi sekali sehari.

Namun, tidak terdapat aturan yang pasti batasan waktu tapering off

tersebut dilakukan.

Sitasi jawaban: Stoughton, Richard B., et al. Topical Corticosteroids in Dermatology.

In: Topical Corticosteroid Therapy.New York: Raven Press. 1988.p.11 Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In:

Wolverton, Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007; British: Elsevier. p. 619-20

2. Vehikulum berperan penting dalam absorbsi perkutan dan efektivitas terapi kortikosteroid topikal. Molekul glukokortikoid dalam verhikulum ointment lebih poten dibandingkan molekul yang sama dalam sediaan

18

Page 19: kortiko2.doc

krim atau losion karena vehikulum oklusif dapat meningkatkan absorbsi perkutan melalui hidrasi stratum korneum.

Pada beragam penelitian, produk kortikosteroid bermerek dagang dan sediaan generik dapat memiliki potensi berbeda. Penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif yang menyimpulkan perbedaan pada berbagai merek dagang kortikosteroid topikal dan hasil penelitian tersebut terkadang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada penelitian observasional yang mengkaji kemungkinan penyebab perbedaan potensi antarkortikosteroid topikal bermerek dagang.Sitasi jawaban: Jackson M.Scoot dan Lee T. Glucocorticosteroi. In: Bolognia J.L., J.L.

Jorizzo, J.V. Schaffer, Dermatology 3rd Ed. Elsevier: British, 2012. p2078

Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In: Wolverton, Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007; British: Elsevier. p. 613-4

3. Struktur kulit merupakan parameter kunci penetrasi pengobatan topikal. Berdasarkan hukum difusi Fick’s:

dimana J adalah flux; aliran (massa.m-2.s-1) yang merupakan satuan kecepatan transfer substansi per unit area dalam kurun waktu tertentu sebanding dengan differensial perubahan konsentrasi (dC) terhadap diferensial jarak (dx). Maka, area dengan lapisan kulit yang tebal seperti lengan bawah memiliki aliran difusi yang rendah, sehingga penetrasi kortikosteroid topikal pun rendah, bila dibandingkan dengan lapisan kulit yang lebih tipis seperti skrotum. Perlu diingat, terapi topikal menitikberatkan target pada lapisan kulit hipodermis/subkutan yang kaya pembuluh darah. Tingginya tingkat penetrasi pada skrotum pun dikaitkan dengan banyaknya pembuluh darah pada lapisan kulit bagian tersebut.

Sitasi jawaban: High WA, Fitzpatrick JE. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The McGraw Hills,Inc.2008. p.2035

19

Page 20: kortiko2.doc

Forster M, et al. Topical delivery of cormetic and drug: molecular aspect of percutaneus absorbtion and delivery. Eur J Dermatol; 2009. 19(4): 309-23

20