kortiko2.doc
-
Upload
salwa-amane -
Category
Documents
-
view
239 -
download
10
description
Transcript of kortiko2.doc
KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Enggar Sari K., S.Ked
Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh korteks
adrenal tubuh manusia.1 Senyawa ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan
darah, kadar gula, otot, resistensi tubuh, termasuk respon inflamasi.
Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid.1 Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan
mineralokortikoid memiliki efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit.2
Kortikosteroid sintetik mulai digunakan sebagai terapi sejak tahun 1950.
Tahun 1951 Sulzberger dkk melaporkan keberhasilan terapi kortison sistemik dan
adrenokortikotropik hormon (ACTH) pada pasien peradangan kulit. Satu tahun
kemudian, Sulzberger dan Wittern berhasil mengobati pasien erupsi eksematous
dengan hidrokortison topikal. Sejak saat itu, selama 40 tahun terakhir penelitian
dikembangkan untuk mengekplorasi potensi, konsentrasi, bentuk sediaan, dan
bahan aktif kortikosteroid untuk meminimalisasi efek jangka panjang penggunaan
terapi ini.3
Saat ini kortikosteroid memiliki beragam jenis terapi, antara lain terapi
oral, intramuskular, intravena, intralesi, dan topikal.3 Kortikosteroid topikal adalah
terapi yang paling sering digunakan untuk menatalaksana pasien kulit dan
kelamin. Referat bertujuan memahami penggunaan kortikosteroid topikal, agar
dapat mengaplikasikannya dalam penyakit kulit dan kelamin dengan tepat, untuk
menghindarkan efek samping pada pasien.
1
STRUKTUR MOLEKUL DAN FARMAKOLOGI
Semua steroid, termasuk glukokortikoid, memiliki struktur dasar
kolesterol rantai karbon berjumlah 21, dengan tiga cincin heksana dan satu cincin
pentana (gambar 1).4
2
Gambar 1. Struktur kimia kortison (hidrokortison). Terdapat gugus hidroksil pada atom C114
3
Modifikasi dari kortisol dengan penambahan atau perubahan gugus fungsi
pada posisi tertentu menghasilkan beragam potensi dan efek samping. Misalnya,
penambahan sebuah molekul fluorin (halogenasi) pada posisi C6 dan/atau C9 akan
meningkatkan potensi steroid, tetapi diikuti juga dengan peningkatan aktivitas
mineralokortikoid. Penggantian molekul pada posisi C16 dengan 1α-hidroksil
(triamsinolon), 1α-metil (dexametason) atau 1β-metil (betametason)
meningkatkan efek tanpa diiringi peningkatan kadar natrium (gambar 2).3,4
Gambar 2. Beberapa contoh topikal kortikosteroid. A. Triamcinolone B. Dexamethasone C. Betamethasone D. Clobetasol 17-propionate4
Pelepasan, penggantian atau perlindungan gugus hidroksil dapat
meningkatkan lipofilisitas molekul, sehingga absorbsi perkutan dan aktivitas
glucocorticoid-reseptor-binding pun meningkat. Perlindungan terhadap gugus
hidroksil dapat dilakukan melalui reaksi esterifikasi pada C16, C17, dan C21.
Penggantian gugus hidroksil pada C21 molekul betametason dengan klorin
menghasilkan clobetasol 17-propionat (gambar 2d), kortikosteroid potensi terkuat
saat ini.2,4
MEKANISME KERJA
Kortikosteroid mempunyai beragam efek yang dimediasi melalui
glucocorticoid receptor (GCR). Molekul kortikosteroid berdifusi ke sel target dan
berikatan dengan GCR di sitoplasma. Selanjutnya ikatan kortikosteroid-GCR
mengalami perubahan konformasi membentuk kompleks. Kompleks
4
a. b.
c. d.
kortikosteroid-GCR yang telah teraktivasi kemudian melintasi selubung inti sel
dan berikatan dengan situs akseptor pada DNA. Hal ini mengakibatkan regulasi
gen dan transkripsi berbagai mRNA spesifik.3
GCR ditemukan hampir di semua sel dalam tubuh. Pembentukan
kompleks kortikosteroid-GCR dapat menimbulkan efek yang diinginkan (terapi
menguntungkan) maupun tidak diinginkan (efek samping).3 Kortikosteroid
memiliki beragam efek meliputi antiinflamasi, imunosupresif, antiproliferatif, dan
vasokonstriksi.3,4,5
Gambar 3. Mekanisme kerja glukokortikoid.3
Efek antiinflamasi
Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat
fosfolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin,
leukotrien, dan derivat asam arakhidonat lainnya. Kortikosteroid juga
menghambat faktor transkripsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor B
yang berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Gen tersebut diregulasi oleh
kortikosteroid, hal itu berperan dalam resolusi inflamasi meliputi lipocortin dan
p11/calpactin binding protein yang keduanya melepaskan asam arakhidonat dari
fosfolipid. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1α (IL-1α) yang
5
merupakan sitokin pro-inflamasi yang penting. Kortikosteroid menghambat
fagositosis dan stabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagositik.3,4,5
Efek imunosupresif
Kortikosteroid memiliki efek imunosupresif yaitu dengan menekan
produksi dan efek dari faktor humoral meliputi respon inflamasi, menghambat
migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan menghalangi fungsi sel endotel,
granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian mengungkapkan bahwa
kortikosteroid dapat menyebabkan berkurangnya sel mast pada kulit serta
penghambatan kemotaksis lokal netrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans.
Kortikosteroid pun dapat menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan
apoptosis sel T.3,4,5
Efek antiproliferatif
Kortikosteroid memiliki efek antiproliferatif dengan menghambat
sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblast dan pembentukan kolagen juga
dapat dihambat. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan suatu proses kompleks
yang terdiri dari penurunan pengaruh stimuli yang telah dinetralisir oleh berbagai
faktor inhibitor. Kortikosteroid juga mengadakan stabilisasi membran lisosom,
sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.3,4,5
Efek vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi masih
belum jelas. Akan tetapi, mekanisme ini mungkin berhubungan dengan
terhambatnya vasodilator natural seperti histamin, bradikin, dan prostaglandin.
Kortikosteroid topikal menyebabkan pembuluh darah kapiler dermis kontriksi
sehingga eritema berkurang.3,4,5
FARMAKOKINETIK
Berdasarkan penelitian, kortikosteroid hanya sedikit mengabsorbsi setelah
pemberian pada kulit normal. Oklusi dengan plastik yang tidak dapat tembus,
adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan penetrasi, menyebabkan
peningkatan absorbsi menjadi 10 kali lipat.6
6
Struktur kulit merupakan parameter kunci penetrasi pengobatan
topikal. Terdapat variasi regional anatomi dalam penetrasi kortikosteroid seperti
pada tabel 1. Variasi ini dapat dijelaskan melalui hukum difusi Fick’s4,5,6:
dimana J adalah flux; aliran (massa.m-2.s-1) yang merupakan
satuan kecepatan transfer substansi per unit area dalam kurun
waktu tertentu sebanding dengan differensial perubahan
konsentrasi (dC) terhadap diferensial jarak (dx).4,6 Maka, area
dengan lapisan kulit yang tebal seperti lengan bawah memiliki
aliran difusi yang rendah, sehingga penetrasi kortikosteroid
topikal pun rendah, bila dibandingkan dengan lapisan kulit yang
lebih tipis seperti skrotum. Perlu diingat, terapi topikal
menitikberatkan target pada lapisan kulit hipodermis/subkutan
yang kaya pembuluh darah. Tingginya tingkat penetrasi pada
skrotum pun dikaitkan dengan banyaknya pembuluh darah pada
lapisan kulit bagian tersebut.
Tabel 1. Perbandingan resorpsi kortikosteroid (hidrokortison) dari kulit di berbagai daerah tubuh8
Daerah tubuh PerbandinganLengan bawah 1Telapak kaki 0,1
Pergelangan kaki 0,4Telapak tangan 0,5
Punggung 3,7Kulit kepala 3,5
Ketiak 3,6Muka 6,0
Skrotum 42,0
Faktor umur juga mempengaruhi absorbsi kortikosteroid topikal. Bayi
baru lahir (newborn) dan anak memiliki struktur kulit yang lebih halus dan belum
berkembang dibandingkan dengan kulit remaja dan dewasa, sehingga diberikan
kortikosteroid topikal yang absorbsi dan penetrasinya lebih mudah atau lebih
cepat. Hal ini terjadi karena barier epidermis pada anak dan bayi belum terbentuk
sempurna yang dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh serta permeabilitas yang
7
lebih tinggi. Pemberian kortikosteroid topikal pada anak perlu dipertimbangkan
dengan baik karena resiko terjadinya efek samping akibat pemberian
kortikosteroid topikal terutama golongan potensi sangat tinggi atau tinggi pada
anak lebih besar daripada pada orang dewasa.3,4,5
Pasien lanjut usia pun memiliki kulit yang tipis, yang dapat menyebabkan
peningkatan penetrasi kortikosteroid topikal. Selain itu pada pasien lanjut usia
banyak terdapat kulit yang atrofi sehingga pertimbangan penggunaan
kortikosteroid untuk pasien ini pun sama dengan pada bayi. Penggunaan
kortikosteroid topikal dianjurkan tidak rutin, dalam periode waktu yang singkat,
atau di bawah pengawasan ketat untuk pasien yang memiliki kulit atrofi, untuk
menghindarkan efek samping yang tidak diinginkan.3,4
PENGGOLONGAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Secara umum kortikosteroid berdasarkan potensinya dibagi menjadi 4,
yaitu potensi sangat kuat, potensi kuat, potensi sedang, dan potensi lemah.9,10
Selain itu, ada juga yang membagi kortikosteroid topikal menjadi 7 golongan,
yaitu super potent, potent, potent upper mid-strength, lower midstrength, mild
strength, dan least potent (tabel 2).2,3,4,5 Penggolongan kortikosteroid topikal
tersebut juga dipengaruhi oleh vehikulum dan merek dagang yang digunakan.3,4
Vehikulum yang tersedia antara lain oinment, krim, gel, losion, dan larutan.
8
Tabel 2. Kategori potensi kortikosteroid3,4,5
Kelas I (superpotent) Clobetasol propionate 0,05% Betamethason dipropionate 0,05% Diflorasone diacetate 0,05% Halobetasol propionate 0,05%
Kelas V (mid-strength) Flurandrenolide 0,05% Fluticasone propionate 0,05% Betamethasone dipropionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1% Hydrocortison butyrate 0,1% Fluocinolone acetonide 0,025% Betamethasone valerate 0,1% Hydrocortisone valerate 0,2%
Kelas II (potent) Amcinonide 0,1% Betamethasone dipropionate 0,05% Mometasone furoate 0,1% Diflorasone diacetate 0,05% Halcinonide 0,1% Fluocinonide 0,05% Desoximethasone 0,25%
Kelas VI (rendah) Alclometasone dipropionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1% Desonide 0,05% Fluocinolone acetonide 0,01% Betamethasone valerate 0,1%
Kelas III (potent) Triamcinolone acetonide 0,1% Fluticasone propionate 0,005% Amcinonide 0,1% Betamethasone dipropionate 0,05% Diflorasone diacetate 0,05% Halcinonide 0,1% Fluocinonide 0,05%
Kelas VII (rendah) Topikal dengan hydrocortisone Dexamethason, flumethason Prednisolon dan metilprednisolon
Kelas IV (mid-strength) Flurandrenolide 0,05% Mometasone furoate 0,1% Triamcinolone acetonide 0,1% Betamethasone valerate 0,12% Fluocinolone acetonide 0,025% Hydrocortisone valerate 0,2%
Sebagai contoh betametason dipropionat 0,05% masuk dalam golongan I,
II, III, dan V (Tabel 3). Hal ini dipengaruhi oleh vehikulum dan merek dagang
yang digunakan. Perbedaan bentuk sediaan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3. Kategori potensi betametason dipropionat 0,05%4,5,7
Golongan SediaanGolongan I Diprolene® ointmentGolongan II Diprosone® ointmentGolongan III Diprosone® creamGolongan V Diprosone® lotion
9
Triamcinolone acetonide 0,1% juga masuk dalam golongan III, IV, dan V dan
berbeda dipengaruhi vehikulum yang digunakan (tabel 4).5
Tabel 4. Kategori potensi triamcinolone acetonide 0,1%4,5,7
Golongan SediaanGolongan III Aristocort A® ointmentGolongan IV Kenalog® creamGolongan V Aristocort® cream
Efektivitas kortikosteroid dengan merek dagang tertentu dibandingkan
produk generiknya tidak sepenuhnya bermakna. Berbagai penelitian menyebutkan
potensi sediaan generik tidak selalu sama potensinya dengan kortikosteroid
bermerek dagang. Penelitian lain menyebutkan terdapat pula variasi potensi antara
produk kortikosteroid berbahan aktif sama namun berbeda merek dagang.4
PEMILIHAN KORTIKOSTERID
Kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit, dan
harga murah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
kortikosteroid topikal yaitu potensi kortikosteroid yang diinginkan, jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, dan jumlah penggunaan.4
Potensi kortikosteroid
Keputusan pemilihan potensi berdasarkan pada usia pasien, tipe
penyakit, tingkat keparahan, luasnya lokasi, dan perkiraan durasi pemakaian
kortikosteroid topikal.
Jenis penyakit kulit
Pemberian kortikosteroid berhubungan dengan respon dari penyakit kulit
yang dialami. Berdasarkan respon tersebut beberapa penyakit dikategorikan
menjadi tiga yaitu responsif tinggi, responsif sedang, dan responsif rendah.4,5
Tabel 5. Kategori respon penyakit kulit terhadap kortikosteroid topikal5
10
Respon tinggi Respon sedang Respon rendah Psoriasis intertriginosa Dermatitis atopic pada
anak Dermatitis seboroik Intertriginosa
Psoriasis Dermatitis atopic pada
dewasa Dermatitis numularis Dermatitis iritan primer Papular urtikaria Parapsoriasis Liken simpleks kronis
Psoriasis palmo-plantar Psoriasis pada kuku Dermatitis dishidrosis Lupus erytematosus Pemfigus Liken planus Granuloma annulare Nekrobiosis lipoidica
diabeticorum Sarcoidosis Dermatitis kontak alergi,
fase akut Gigitan serangga
Penyakit kulit dengan respon tinggi biasanya akan merespon dengan steroid
potensi rendah, dan penyakit dengan respon rendah sebaiknya diobati dengan
kostrikosteroid topikal potensi tinggi.4
Jenis vehikulum
Hal terpenting dalam pemilihan vehikulum adalah lokasi pemberian
kortikosteroid topikal, potensi iritasi, dan riwayat alergi sebelumnya. Tabel
berikut menjelaskan pemilihan vehikulum kortikosteroid topikal.
Tabel 6.Pemilihan vehikulum untuk kortikosteroid topikal4
Sediaan Komposisi Hidrasi kulit
Lesi/dermatosis yang dianjurkan
Area yang dianjurkan
Kosmesis Potensi iritasi
Oinment Emulsi air dalam minyak
Hidrasi kulit sangat baik
Baik untuk kulit tebal, terdapat likenifikasi,atau bersisik
Baik untuk region palmar,plantar; hindari area yang dapat teroklusi alami
Sangat berminyak
Umumnya rendah
Krim Emulsi minyak dalam air
Hidrasi kulit baik
Baik untuk dermatosis fase akut /subakut
Baik untuk kulit lembab & area intertriginous
Elegan Bervariasi
Gel Selulosa dalam alkohol/aseton
Kulit kering
Scalp/daerah berambut
Baik untuk area tertutup, scalp & mukosa
Elegan Tinggi
Losion Minyak dalam air
Kulit kering
Scalp/ daerah berambut
Baik untuk area tertutup dan scalp
Elegan Tinggi
Larutan Alkohol Kulit kering
Scalp /daerah berambut
Baik untuk area tertutup & scalp
Elegan Tinggi
DOSIS DAN PENGGUNAAN
11
Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/minggu
pada golongan poten atau 100 gram/minggu pada kortikosteroid golongan potensi
medium dan lemah.4 Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan
yaitu satu kali sehari. Berdasarkan penelitian keuntungan pemberian
kortikosteroid topikal satu kali sehari sama dengan dua kali sehari. Maka
sebaiknya frekuensi pemberian kortikosteroid topikal satu kali sehari sehingga
lebih efektif, mengurangi efek samping, serta menurunkan biaya terapi.4
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk golongan potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
golongan potensi tinggi. Penggunaan kortikosteroid topikal berhubungan dengan
jenis sediaannya, yaitu dipengaruhi oleh bahan dasar (vehikulum) yang
digunakan.3,4,5
Pemakaian kortikosteroid topikal berupa krim atau salep menggunakan
cara Fingertip unit (FTU). Satu satuan FTU adalah krim atau salep dari kemasan
sepanjang 1 ruas jari telunjuk bagian ujung. Satu FTU sama dengan 0,5 gram krim
atau salep. Dua FTU sama dengan 1 gram krim atau salep. Tabel berikut
merupakan petunjuk pemakaian krim atau salep berdasarkan bagian tubuh yang
memerlukan.3
Tabel 7. Pemakaian krim atau salep dengan FTU sesuai bagian tubuh yang memerlukan4
Bagian tubuh Krim atau salepWajah dan leher 2,5 FTUTrunkus anterior 7 FTUTrunkus posterior 7 FTU
1 lengan 3 FTU1 tangan 1 FTU1 tungkai 6 FTU
1 kaki 2 FTU
12
Gambar 4. Finger Tip Unit11
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi dibagi menjadi kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut antara lain pada pasien hipersensitivitas kortikosteroid
topikal dan hipersensitivitas pada bahan vehikulum. Kontraindikasi relatif antara
lain pada pasien infeksi bakteri, virus, jamur dan pasien dengan akne dan ulkus.
Penggunaan kortikosteroid topikal diperbolehkan pada kehamilan dengan catatan
bila manfaat penggunaannya lebih besar dibandingkan kemungkinan resiko pada
janin. Pada ibu menyusui penggunaan kortikosteroid topikal diperbolehkan pada
lokasi lesi jauh dari payudara.4
EFEK SAMPING
13
Penggunaan kortikosteroid topikal memiliki efek samping yang dapat
terjadi bila penggunaan kortikosteroid topikal lama dan berlebihan, penggunaan
kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
secara oklusif. Semakin tinggi potensi kortikosteroid topikal maka semakin cepat
terjadinya efek sampingnya.4
Efek samping dari kortikosteroid topikal ini dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu jenis steroid berdasarkan kekuatannya, area lesi yang diberi pengobatan
kortikosteroid topikal, dan faktor predisposisi pasien terhadap timbulnya efek
samping. Gejala efek samping dari penggunaan kortikosteroid topikal dapat
berupa efek local dan efek sistemik. Efek lokal yang dapat terjadi antara lain
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura,dermatosis akneformis, hipertrikosis
setempat, hipopigmentasi, dermatitis perioral, menghambat penyembuhan ulkus,
infeksi mudah terjadi dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi
kabur.3,4
Efek sistemik yang dapat terjadi antara lain ocular effects, supresi
hyphothalamic-pituitary-adrenal axis, dan efek samping metabolik. Penggunaan
kortikosteroid dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dengan dermatitis atopik
dan menjadi addsonian steroid dependency dan juga cushing syndrome. Anak
yatopik lebih dari 50% permukaan tubuhnya biasanya memiliki perawakan
pendek (short stature). kepadatan tulang berkurang pada orang dewasa dengan
dermatitis atopic kronik yang parah karena memerlukan perparat kortikosteroid
yang lebih kuat daripada hidrokortison.2,3,4
KOMBINASI SEDIAAN
Beberapa agen antimikroba dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal
termasuk clioquinol, clotrimazole, asam fusidat, miconazole, neomycin, dan
nystatin. Kombinasi ini menimbulkan beberapa kontroversi karena dianggap
efektif ketika diberikan dengan indikasi yang jelas. Hanya saja, kombinasi
kortikosteroid topikal dan antimikroba sering digunakan ketika diagnosis belum
ditegakkan. Penggunaan seperti itu tidak dianjurkan karena menimbulkan resiko
14
mengaburkan gambaran klinis penyakit untuk penegakkan diagnosis dan memicu
resistensi dan sensitasi antibiotik pada pasien di kemudian hari.7
Terdapat pula kombinasi kortikosteroid topikal dengan bahan aktif lainnya
seperti tar, asam salisilat, atau calcipotriol. Kombinasi ini terbukti baik untuk
menatalaksana pasien psoriasis.7
RINGKASAN
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu bahan aktif dalam pengobatan
penyakit kulit karena memiliki efek antiinflamasi, imunosupresi, antiproliferasi,
dan vasokonstriksi. Resopsi obat tergantung pada bagian tubuh yang diberi obat.
Secara umum kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya dibagi menjadi 7
golongan, yaitu yaitu superpotent, potent, poten upper mid-strength, mid-strength,
lower mid-strength, mild strength, dan least potent.
Pemberian kortikosteroid berhubungan dengan respon dari penyakit kulit
yang dialami, yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu responsif tinggi, responsif
sedang, dan responsif rendah. Terdapat beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan kortikosteroid topikal, yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit (stadium penyakit, luas atau tidaknya lesi,
dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi), serta umur pasien.
Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/minggu
pada golongan poten atau 100 gram/minggu pada kortikosteroid golongan potensi
medium dan lemah. Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal adalah satu kali
sehari. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk golongan potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
golongan potensi tinggi.
Efek samping pemakaian kortikosteroid topikal dapat terjadi secara lokal
maupun sistemik. Terdapat berbagai pertimbangan dalam menggunakan
kortikosteroid topikal pada pasien penyakit kulit.
15
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland,W.A. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.2002.
2. Maibach, Robertson, dan Howard. Farmakologi Dermatologik. Dalam:
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC.
1998. P970-87
3. Jackson M.Scoot dan Lee T. Glucocorticosteroi. In: Bolognia J.L., J.L.
Jorizzo,J.V. Schaffer, Dermatology 3rd Ed. Elsevier: British, 2012. p2075-81
4. Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In: Wolverton,
Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007;
British: Elsevier. p. 595-623
5. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The
McGraw Hills,Inc.2008. p.2102-06.
6. Forster M, et al. Topical delivery of cormetic and drug: molecular aspect of
percutaneus absorbtion and delivery. Eur J Dermatol; 2009. 19(4): 309-23
7. Stoughton, Richard B., et al. Topical Corticosteroids in Dermatology. In:
Topical Corticosteroid Therapy.New York: Raven Press. 1988.p.1-11.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Adverse Reactions to Corticosteroids.
Burns, Tony., et al. Topical Therapy. In:Rook’s Textbook of Dermatology, 7th
edition. Chapter 56. London: Blackwell Publishing. 2008.75.16-21.
9. Guido Herz. Topical Corticosteroids and Adrenal Suppression: Special
Aspects in Pediatrics with Prednicarbate. In:Topical Corticosteroid Therapy.
New York: Raven Press. 1988.p.147-50.
10. MIMS Indonesia volume 12. Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,2011
11. Long C, Finlay A. The finger tip unit: a new practical measure. Clin Exp
Dermatol 1991; 16:444-7
17
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apakah dalam penggunaan kortikosteroid topikal dilakukan tappering off,
bagaimana mekanismenya? (Haris)
2. Mengapa sediaan dan merek dagang dapat memberikan potensi
kortikosteroid topikal yang berbeda? (Yoland)
3. Mengapa tiap lokasi tubuh memiliki tingkat penetrasi kortikosteroid
topikal yang berbeda pula, contohnya pada lengan bawah dan skrotum?
(Shabrina)
Jawab:1. Beberapa literatur menyebutkan terdapat mekanisme tapering off
kortikosteroid topikal, namun terdapat literatur yang tidak membahas
mekanisme ini. Disebutkan bahwa tapering off dapat dilakukan melalui
dua cara:
penggantian potensi kortikosteroid yang digunakan. Kortikosteroid
topikal potensi tinggi kemudian diganti menjadi potensi sedang,
lalu potensi rendah, atau
pengurangan frekuensi penggunaan, contohnya dari dua kali sehari
menjadi sekali sehari.
Namun, tidak terdapat aturan yang pasti batasan waktu tapering off
tersebut dilakukan.
Sitasi jawaban: Stoughton, Richard B., et al. Topical Corticosteroids in Dermatology.
In: Topical Corticosteroid Therapy.New York: Raven Press. 1988.p.11 Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In:
Wolverton, Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007; British: Elsevier. p. 619-20
2. Vehikulum berperan penting dalam absorbsi perkutan dan efektivitas terapi kortikosteroid topikal. Molekul glukokortikoid dalam verhikulum ointment lebih poten dibandingkan molekul yang sama dalam sediaan
18
krim atau losion karena vehikulum oklusif dapat meningkatkan absorbsi perkutan melalui hidrasi stratum korneum.
Pada beragam penelitian, produk kortikosteroid bermerek dagang dan sediaan generik dapat memiliki potensi berbeda. Penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif yang menyimpulkan perbedaan pada berbagai merek dagang kortikosteroid topikal dan hasil penelitian tersebut terkadang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada penelitian observasional yang mengkaji kemungkinan penyebab perbedaan potensi antarkortikosteroid topikal bermerek dagang.Sitasi jawaban: Jackson M.Scoot dan Lee T. Glucocorticosteroi. In: Bolognia J.L., J.L.
Jorizzo, J.V. Schaffer, Dermatology 3rd Ed. Elsevier: British, 2012. p2078
Warner R. Michael, Comiso Charles. Topical corticosteroid. In: Wolverton, Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Ed. 2007; British: Elsevier. p. 613-4
3. Struktur kulit merupakan parameter kunci penetrasi pengobatan topikal. Berdasarkan hukum difusi Fick’s:
dimana J adalah flux; aliran (massa.m-2.s-1) yang merupakan satuan kecepatan transfer substansi per unit area dalam kurun waktu tertentu sebanding dengan differensial perubahan konsentrasi (dC) terhadap diferensial jarak (dx). Maka, area dengan lapisan kulit yang tebal seperti lengan bawah memiliki aliran difusi yang rendah, sehingga penetrasi kortikosteroid topikal pun rendah, bila dibandingkan dengan lapisan kulit yang lebih tipis seperti skrotum. Perlu diingat, terapi topikal menitikberatkan target pada lapisan kulit hipodermis/subkutan yang kaya pembuluh darah. Tingginya tingkat penetrasi pada skrotum pun dikaitkan dengan banyaknya pembuluh darah pada lapisan kulit bagian tersebut.
Sitasi jawaban: High WA, Fitzpatrick JE. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The McGraw Hills,Inc.2008. p.2035
19
Forster M, et al. Topical delivery of cormetic and drug: molecular aspect of percutaneus absorbtion and delivery. Eur J Dermatol; 2009. 19(4): 309-23
20