Koran Sendi Budaya

8
alam rangka memperingati satu tahun berdirinya komunitas seni Bentara Muda, PT Pertamina Tbk, Kemen- trian Pariwisata dan Industri Kreatif, Axis, Harian Kompas dan Kompas Grame- dia bersama-sama mendukung kegiatan ACTs! (Art, Creativity and Technologies) yang dise- lenggarakan sepanjang tanggal 19-24 Juni 2012. Dari sekian banyak musisi yang ter- libat meramaikan acara, e Trees and e Wild hadir di hari kedua menjelang acara puncak bersama grup musisi lokal L’alphalpha. Kedua musisi ini sukses mengubah atmos- fer panggung dan membius para ratusan pengunjung melalui rangkaian musik yang mereka bawakan selama hampir dua jam. “Rangkaian acara ini mengusung sebuah motto yang berbunyi Stop Asking, Show Your Real Action. Jadi semacam ajakan buat generasi muda untuk lebih memiliki inisiatif.” Pa- par Retha, salah seorang pengunjung yang hadir malam itu. Be- sar harapannya agar rangkaian acara ini mampu membawa perubahan positif bagi generasi muda, sehingga dapat lebih peduli dan lebih mengapresiasi budaya asli bangsa Indonesia. Ada pula bermacam kegiatan yang tidak kalah me- narik. Semenjak hari peresmian acara, pengunjung sudah da- pat menyaksikan penampilan tari Batin Kemuning yang be- Festival Seni, Kreativitas, dan Teknologi di Bentara Budaya Jakarta BENTARA BUDAYA, Jakarta, Palmerah 23 Juni 2012 Pandji Putranda D rasal dari Sumatera, workshop komunitas mural dan fixed gear, teater-teater dari sekolah menengah, pemutaran film-film inde- penden kreasi anak bangsa, penampilan musisi-musisi lokal lainnya, serta sesi bincang-bincang dengan delegasi dari PT Pertamina Tbk. Bentara Budaya merupakan salah satu lembaga kebu- dayaan di bawah naungan bendera Kompas Gramedia, yang sejak tahun 2011 telah berhasil mengadakan sejumlah program keg- iatan seputar seni dan kebudayaan. Begitu tingginya antusiasme masyarakat serta apreasiasi yang besar, menjadikan Bentara Bu- daya sebagai tempat lahirnya komunitas-komunitas seni yang baru. EDITORIAL Cindy Christella Sendi Budaya Edisi Rabu 27 Juni 2012 Membudayakan Masyarakat Berbudaya TERBIT MINGGUAN “Courage! I have shown it for years; think you I shall lose it at the moment when my sufferings are to end?”. Kalimat ini bagaikan deru nafas dalam kesesakan Ma- rie Antoinette, Ratu Prancis, pada masa 1755 – 1793. Kehidupan seseorang harus diakhiri karena persoalan keuangan. Apakah hal ini pantas terjadi? Belum lagi kepastian ten- tang kebenarannya diketahui. Sungguh tragis kehidupan Marie An- toniette yang dieksekusi pada saat ia berumur 37 tahun. Ternyata Marie tidak terbukti bersalah apa-apa, setelah dieksekusi. Marie adalah sesosok wanita yang sempurna pada masan- ya. Ia sangat cantik, dan semua orang juga sudah tau bahwa takdirnya adalah menjadi Ratu Prancis. Tidak disangka-sangka, kehidupan yang begitu sempurna ternyata berakhir dengan sia-sia. Marie berusaha memperbaiki kead- aan perekonomian negaranya yang sedang terpuruk, tapi ada pihak- pihak lain malah memanfaatkan situasi tersebut untuk mewujudkan kepentingannya masing-masing. Itikad baik Marie pun menjadi bu- ruk di mata rakyatnya akibat ada suara-suara kepentingan lain. Kebaikan yang kita lakukan belum tentu dapat dirasa baik juga oleh orang lain, bahkan sering kali justru orang menatap curiga saat ada suatu keikhlasan terjadi. Keadilan belum tentu dapat diper- oleh ketika ada orang yang bertindak baik dan jujur. Bahkan keadilan tidak dapat diperoleh dalam kebenaran sejati. Hukum tidak lagi seperti timbangan yang seimbang. Hukum memihak secara subyektif, tidak pernah obyektif lagi. Ini semua ka- rena kepentingan. Hal ini dirasakan pula oleh seorang pengusaha yang berada dalam daſtar perempuan terkaya negara Taiwan setelah dinyatakan terbukti melakukan penipuan senilai 380 juta yuan (atau 60 juta dol- lar AS atau hampir setara Rp 545 miliar). Wu Ying sudah berusaha mempertanggungjawabkan ke- salahan yang dibuatnya. Memperbaiki segala sesuatu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Usahanya mengembalikan uang para investor tidak bisa sesuai dengan yang dijanjikan, maka hukuman mati yang harus diterimanya. Kenapa lagi-lagi nyawa harus dipertaruhkan akibat benda mati yang bernama uang itu. Jika ditinjau dari perspektif historiografis, uang pertama kali diciptakan manusia sebagai media tukar resmi untuk meningkat- kan efektifitas serta efisiensi perekonomian masyarakat. Kemunculan uang juga melalui konsensus, yang berarti, memerlukan kesepaka- tan bersama untuk membuatnya berlaku secara legal untuk seluruh pihak. Uang dipercaya dapat menggantikan sistem tukar-menu- kar barang (barter) karena memiliki banyak kelebihan. Seperti mis- alnya : tidak mudah dipalsukan, dapat dipecah menjadi beberapa satuan yang lebih kecil tanpa harus kehilangan nilai totalnya, tahan lama terhadap segala macam kondisi, dan ringkas dibawa-bawa un- tuk digunakan kapan saja. Namun begitu, barangkali sejarah terciptanya uang juga membuka lembaran filosofis lain, terutama yang berkaitan erat den- gan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwasanya dalam perkembangannya selama bertahun-tahun, uang telah bertransformasi menjadi lebih dari sekedar media tukar ekonomis. Uang telah menjadi tujuan dari segala bentuk praktek ekonomis manusia itu sendiri. Uang telah men- galami transvaluasi nilai menjadi sesuatu yang lebih dituju ketim- bang kepentingan ekonomis dan pemenuhan kebutuhan pribadi dari masing-masing individu. Singkatnya, uang telah beralih fungsi. Dari media yang membantu kinerja perekonomian, hingga menjadi me- dia yang justru menghancurkan sendi-sendi ekonomi karena kerap di salahgunakan. Sangat disayangkan sekali, uang begitu netral namun mampun membuat manusia menjadi gelap mata. Namun jangan menyalahkan uang, kalau bijak dalam memaknai dan menggunakan uang, pasti tidak ada darah yang menetes lagi. Nyawa yang melayang tidak mungkin bisa dikembalikan lagi. Tapi kalau uang kan bisa dipertanggung jawabkan, bisa dicari lagi. Uang menjadi segala-galanya. Tidak ada uang membuat setiap orang menjadi tidak berakal budi lagi, tidak bisa berpikir secara ra- sional. Kalau hukum di Indonesia adanya seperti hukum di Tai- wan, pasti banyak orang di pemerintahan kita yang sudah dikubur- kan ke dalam tanah akibat keserakahan terhadap uang. Entah akan menjadi kedukaan bagi Negara ini atau menjadi kesukaan Negara ini. Kebencian orang-orang akibat diperlakukan tidak adil oleh para pembesar tersebut akan terasa begitu impas jika ganti rugi mereka yaitu dengan balas nyawa. Mungkin rasanya rakyat ingin mengeksekusi para koruptor yang ada karena mereka benar-benar telah membuat susah seluruh rakyat Indonesia. Keadilan bukan hanya semata-mata dengan pemusnahan nyawa namun semuanya jadi impas. Tapi kebenaran sejati adalah penegakkan hukum dengan tidak mengandung kepentingan siapa- pun dan apapun dibaliknya. Bahwasanya, tidak ada satupun yang salah dengan segala ciptaan manusia. Tetapi manusialah yang justru memiliki kecender- ungan psikologis untuk menyalahgunakannya. PETANG PUISI TEATER APUNG Universitas Indonesia, Depok 31 Mei 2012 Berapa banyak di antara kita yang mengenal nama-nama seperti chairil anwar, ws rendra, sutardji calzoum bachri, sapardi joko damono, is- mail marzuki, serta budayawan- budayawan angkatan pelopor In- donesia lainnya? Mungkin masih cukup banyak, karena mereka hadir melalui karya-karyanya yang ser- ing kita pelajari sedari kanak-kanak. Namun bagaimana dengan generasi selanjutnya? Apakah anak cucu kita akan tetap mengingat chairil dengan sajak 'aku'nya yang anti peluru seba- gaimana generasi terdahulu? Apakah mereka akan tetap mengenang ren- dra dengan 'sajak sebatang lisong'nya yang mencerminkan getir pahit keadaan Indonesia di era pancaroba kemerdekaan? Atau mereka akan lupa begitu saja dan menjadikan cita- cita chairil untuk hidup 1000 tahun berubah sia-sia? Bila Bung Karno pernah berujar "jangan sekali-sekali me- lupakan sejarah", agaknya kita jus- tru sedang menggiring sejarah un- tuk punah. dan salah satunya adalah dengan cara menelantarkan sastra di dimensi yang enggan dijamah. Itulah alasan bagi Teater Sastra Universitas Indonesia dan Ikatan Alumni Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia untuk mengadakan acara berta- juk Petang Puisi, di mana acara ini juga merupakan bentuk aprea- siasi terhadap karya sastra yang semakin lama semakin mengalami krisis regenerasi atau degradasi eksistensi. Melalui Petang Puisi yang diselenggarakan dua kali setiap tahunnya, mereka mengajak insan- insan Indonesia dari berbagai usia, golongan, latar belakang sosial, untuk berpartisipasi sembari mengenang kembali karya-karya seni klasik Indonesia. Adapun acara ini tidak membatasi peserta sebatas kalangan mahasiswa Universitas Indonesia karena memang bersifat terbuka untuk umum. "Pertama kalinya diadakan, hampir seluruh rangka- ian acara diisi dengan pembacaan puisi. Tapi lama-kelamaan beru- bah menjadi… hmm… semakin fleksibel. Seperti dengan ditam- bahkannya pembacaan cerpen, musikalisasi puisi, pertunjukan teater, atau penampilan apapun yang mengandung unsur seni dan budaya. kali ini, di petang puisi yang keempat yang bertemakan 'Indonesia mau dibawa ke mana?', Kami juga mengundang sejumlah bintang tamu. mulai dari Iman Fattah, Clara Sinta Rendra, Dini Budiayu, Linda Djalil, sampai Fad- li Zon." Jelas Astrid, ketua panitia Petang Puisi malam itu sambil duduk santai di teras danau Uni- versitas Indonesia. "Satu hal yang menjadi ciri khas dari petang puisi ada di sajian kulinernya. Kita selalu memanggil abang-abang geroba- kan yang jual makanan tradisional. Misalnya ada yang jual kue rangi, kerak telor, tahu gejrot, bajigur, dan masih banyak lagi. Dan biar tambah seru, seluruh pengunjung petang puisi boleh menikmatinya dengan cuma-cuma alias gratis!", ia tertawa. Sehingga dapat disimpulkan, kehadiran Petang Puisi ibarat sebuah barang antik di tengah kepungan barang-barang mutakhir. Sekaligus seperti oase yang semakin terkamuflase oleh acara-acara lain yang perlahan mulai terasa monoton dan stagnan. Preva Dimas Foto : Aloysius Nitia

description

UAS Editing dan Produksi Media Cetak Dosen: Samiaji Bintang

Transcript of Koran Sendi Budaya

Page 1: Koran Sendi Budaya

alam rangka memperingati satu tahun berdirinya komunitas seni Bentara Muda, PT Pertamina Tbk, Kemen-trian Pariwisata dan Industri Kreatif,

Axis, Harian Kompas dan Kompas Grame-dia bersama-sama mendukung kegiatan ACTs! (Art, Creativity and Technologies) yang dise-lenggarakan sepanjang tanggal 19-24 Juni 2012. Dari sekian banyak musisi yang ter-libat meramaikan acara, The Trees and The Wild hadir di hari kedua menjelang acara puncak bersama grup musisi lokal L’alphalpha. Kedua musisi ini sukses mengubah atmos-fer panggung dan membius para ratusan pengunjung melalui rangkaian musik yang mereka bawakan selama hampir dua jam. “Rangkaian acara ini mengusung sebuah motto yang berbunyi Stop Asking, Show Your Real Action. Jadi semacam ajakan buat generasi muda untuk lebih memiliki inisiatif.” Pa-par Retha, salah seorang pengunjung yang hadir malam itu. Be-sar harapannya agar rangkaian acara ini mampu membawa perubahan positif bagi generasi muda, sehingga dapat lebih peduli dan lebih mengapresiasi budaya asli bangsa Indonesia. Ada pula bermacam kegiatan yang tidak kalah me-narik. Semenjak hari peresmian acara, pengunjung sudah da-pat menyaksikan penampilan tari Batin Kemuning yang be-

FestivalSeni, Kreativitas, dan Teknologidi Bentara Budaya JakartaBENTARA BUDAYA, Jakarta, Palmerah23 Juni 2012Pandji Putranda

D

rasal dari Sumatera, workshop komunitas mural dan fixed gear, teater-teater dari sekolah menengah, pemutaran film-film inde-penden kreasi anak bangsa, penampilan musisi-musisi lokal lainnya, serta sesi bincang-bincang dengan delegasi dari PT Pertamina Tbk. Bentara Budaya merupakan salah satu lembaga kebu-dayaan di bawah naungan bendera Kompas Gramedia, yang sejak tahun 2011 telah berhasil mengadakan sejumlah program keg-iatan seputar seni dan kebudayaan. Begitu tingginya antusiasme masyarakat serta apreasiasi yang besar, menjadikan Bentara Bu-daya sebagai tempat lahirnya komunitas-komunitas seni yang baru.

EDITORIALCindy Christella

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 Membudayakan Masyarakat BerbudayaTERBIT MINGGUAN

“Courage! I have shown it for years; think you I shall lose it at the moment when my sufferings are to end?”. Kalimat ini bagaikan deru nafas dalam kesesakan Ma-rie Antoinette, Ratu Prancis, pada masa 1755 – 1793. Kehidupan seseorang harus diakhiri karena persoalan keuangan. Apakah hal ini pantas terjadi? Belum lagi kepastian ten-tang kebenarannya diketahui. Sungguh tragis kehidupan Marie An-toniette yang dieksekusi pada saat ia berumur 37 tahun. Ternyata Marie tidak terbukti bersalah apa-apa, setelah dieksekusi. Marie adalah sesosok wanita yang sempurna pada masan-ya. Ia sangat cantik, dan semua orang juga sudah tau bahwa takdirnya adalah menjadi Ratu Prancis. Tidak disangka-sangka, kehidupan yang begitu sempurna ternyata berakhir dengan sia-sia. Marie berusaha memperbaiki kead-aan perekonomian negaranya yang sedang terpuruk, tapi ada pihak-pihak lain malah memanfaatkan situasi tersebut untuk mewujudkan kepentingannya masing-masing. Itikad baik Marie pun menjadi bu-ruk di mata rakyatnya akibat ada suara-suara kepentingan lain. Kebaikan yang kita lakukan belum tentu dapat dirasa baik juga oleh orang lain, bahkan sering kali justru orang menatap curiga saat ada suatu keikhlasan terjadi. Keadilan belum tentu dapat diper-oleh ketika ada orang yang bertindak baik dan jujur. Bahkan keadilan tidak dapat diperoleh dalam kebenaran sejati. Hukum tidak lagi seperti timbangan yang seimbang. Hukum memihak secara subyektif, tidak pernah obyektif lagi. Ini semua ka-rena kepentingan. Hal ini dirasakan pula oleh seorang pengusaha yang berada dalam daftar perempuan terkaya negara Taiwan setelah dinyatakan terbukti melakukan penipuan senilai 380 juta yuan (atau 60 juta dol-lar AS atau hampir setara Rp 545 miliar). Wu Ying sudah berusaha mempertanggungjawabkan ke-salahan yang dibuatnya. Memperbaiki segala sesuatu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Usahanya mengembalikan uang para investor tidak bisa sesuai dengan yang dijanjikan, maka hukuman mati yang harus diterimanya. Kenapa lagi-lagi nyawa harus dipertaruhkan akibat benda mati yang bernama uang itu. Jika ditinjau dari perspektif historiografis, uang pertama kali diciptakan manusia sebagai media tukar resmi untuk meningkat-kan efektifitas serta efisiensi perekonomian masyarakat. Kemunculan uang juga melalui konsensus, yang berarti, memerlukan kesepaka-tan bersama untuk membuatnya berlaku secara legal untuk seluruh pihak. Uang dipercaya dapat menggantikan sistem tukar-menu-kar barang (barter) karena memiliki banyak kelebihan. Seperti mis-alnya : tidak mudah dipalsukan, dapat dipecah menjadi beberapa satuan yang lebih kecil tanpa harus kehilangan nilai totalnya, tahan lama terhadap segala macam kondisi, dan ringkas dibawa-bawa un-tuk digunakan kapan saja. Namun begitu, barangkali sejarah terciptanya uang juga membuka lembaran filosofis lain, terutama yang berkaitan erat den-gan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwasanya dalam perkembangannya selama bertahun-tahun, uang telah bertransformasi menjadi lebih dari sekedar media tukar ekonomis. Uang telah menjadi tujuan dari segala bentuk praktek ekonomis manusia itu sendiri. Uang telah men-galami transvaluasi nilai menjadi sesuatu yang lebih dituju ketim-bang kepentingan ekonomis dan pemenuhan kebutuhan pribadi dari masing-masing individu. Singkatnya, uang telah beralih fungsi. Dari media yang membantu kinerja perekonomian, hingga menjadi me-dia yang justru menghancurkan sendi-sendi ekonomi karena kerap di salahgunakan. Sangat disayangkan sekali, uang begitu netral namun mampun membuat manusia menjadi gelap mata. Namun jangan menyalahkan uang, kalau bijak dalam memaknai dan menggunakan uang, pasti tidak ada darah yang menetes lagi. Nyawa yang melayang tidak mungkin bisa dikembalikan lagi. Tapi kalau uang kan bisa dipertanggung jawabkan, bisa dicari lagi. Uang menjadi segala-galanya. Tidak ada uang membuat setiap orang menjadi tidak berakal budi lagi, tidak bisa berpikir secara ra-sional. Kalau hukum di Indonesia adanya seperti hukum di Tai-wan, pasti banyak orang di pemerintahan kita yang sudah dikubur-kan ke dalam tanah akibat keserakahan terhadap uang. Entah akan menjadi kedukaan bagi Negara ini atau menjadi kesukaan Negara ini. Kebencian orang-orang akibat diperlakukan tidak adil oleh para pembesar tersebut akan terasa begitu impas jika ganti rugi mereka yaitu dengan balas nyawa. Mungkin rasanya rakyat ingin mengeksekusi para koruptor yang ada karena mereka benar-benar telah membuat susah seluruh rakyat Indonesia. Keadilan bukan hanya semata-mata dengan pemusnahan nyawa namun semuanya jadi impas. Tapi kebenaran sejati adalah penegakkan hukum dengan tidak mengandung kepentingan siapa-pun dan apapun dibaliknya. Bahwasanya, tidak ada satupun yang salah dengan segala ciptaan manusia. Tetapi manusialah yang justru memiliki kecender-ungan psikologis untuk menyalahgunakannya.

PETANG PUISI TEATER APUNGUniversitas Indonesia, Depok 31 Mei 2012

Berapa banyak di antara kita yang mengenal nama-nama seperti chairil anwar, ws rendra, sutardji calzoum bachri, sapardi joko damono, is-mail marzuki, serta budayawan-budayawan angkatan pelopor In-donesia lainnya? Mungkin masih cukup banyak, karena mereka hadir melalui karya-karyanya yang ser-ing kita pelajari sedari kanak-kanak. Namun bagaimana dengan generasi selanjutnya? Apakah anak cucu kita akan tetap mengingat chairil dengan sajak 'aku'nya yang anti peluru seba-gaimana generasi terdahulu? Apakah mereka akan tetap mengenang ren-dra dengan 'sajak sebatang lisong'nya yang mencerminkan getir pahit keadaan Indonesia di era pancaroba kemerdekaan? Atau mereka akan lupa begitu saja dan menjadikan cita-cita chairil untuk hidup 1000 tahun berubah sia-sia? Bila Bung Karno pernah berujar "jangan sekali-sekali me-lupakan sejarah", agaknya kita jus-tru sedang menggiring sejarah un-tuk punah. dan salah satunya adalah dengan cara menelantarkan sastra di dimensi yang enggan dijamah. Itulah alasan bagi Teater Sastra Universitas Indonesia dan Ikatan Alumni Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia untuk mengadakan acara berta-juk Petang Puisi, di mana acara ini juga merupakan bentuk aprea-siasi terhadap karya sastra yang semakin lama semakin mengalami krisis regenerasi atau degradasi eksistensi. Melalui Petang Puisi yang diselenggarakan dua kali setiap tahunnya, mereka mengajak insan-

insan Indonesia dari berbagai usia, golongan, latar belakang sosial, untuk berpartisipasi sembari mengenang kembali karya-karya seni klasik Indonesia. Adapun acara ini tidak membatasi peserta sebatas kalangan mahasiswa Universitas Indonesia karena memang bersifat

terbuka untuk umum. "Pertama kalinya diadakan, hampir seluruh rangka-ian acara diisi dengan pembacaan puisi. Tapi lama-kelamaan beru-bah menjadi… hmm… semakin fleksibel. Seperti dengan ditam-bahkannya pembacaan cerpen, musikalisasi puisi, pertunjukan teater, atau penampilan apapun yang mengandung unsur seni dan budaya. kali ini, di petang puisi yang keempat yang bertemakan 'Indonesia mau dibawa ke mana?', Kami juga mengundang sejumlah bintang tamu. mulai dari Iman Fattah, Clara Sinta Rendra, Dini Budiayu, Linda Djalil, sampai Fad-li Zon." Jelas Astrid, ketua panitia Petang Puisi malam itu sambil duduk santai di teras danau Uni-versitas Indonesia. "Satu hal yang menjadi ciri khas dari petang puisi ada di sajian kulinernya. Kita selalu memanggil abang-abang geroba-kan yang jual makanan tradisional. Misalnya ada yang jual kue rangi, kerak telor, tahu gejrot, bajigur, dan masih banyak lagi. Dan biar tambah seru, seluruh pengunjung petang puisi boleh menikmatinya

dengan cuma-cuma alias gratis!", ia tertawa. Sehingga dapat disimpulkan, kehadiran Petang Puisi ibarat sebuah barang antik di tengah kepungan barang-barang mutakhir. Sekaligus seperti oase yang semakin terkamuflase oleh acara-acara lain yang perlahan mulai terasa monoton dan stagnan.

Preva Dimas

Foto : Aloysius Nitia

Page 2: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 2

Bagi saya, sastra adalah luapan ekspresi yang menolak batas -ad infinitum, atau

paduan karya yang dibangun atas ranting-ranting komunikasi antar manusia, yang dalam konteks ini,

mustahil diinterupsi, terdistraksi, bah-kan tersendat oleh variabel eksternal

apapun, tidak terkecuali ekspresi ‘yang lain’. Sastra begitu otonom sehingga

mampu mengalami evolusi kon-tekstual dengan sendirinya.

Barangkali inilah yang ke-mudian menghadirkan se-buah anggapan, bahwa di dalam setiap karya sastra, bersemayam unsur transen-dentalitas yang kasat mata,

sekalipun in absentia. Sapardi Djoko Damono, salah seorang sastrawan senior In-donesia, yang dalam diskusi mengenai perkembangan literasi sastra Indonesia di era kolonialisme, memaparkan dengan gamblang akan variasi bentuk sastra yang telah berhasil merepresentasikan sejarah kesusasteraan bangsa sebelum kemerdekaan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah hampir segala bentuk riset terhadap asal usul kesusasteraan Indonesia masih berk-isar di tahap permukaan analisa. Dengan kata lain, “belum men-dalam”. Artinya, masih banyak bahan kajian yang siap dan tersedia untuk dibedah dan diteliti. Mulai dari aspek bahasa, pengaruh sastra asing, penerapan regulasi bacaan (yang sempat didominasi oleh Balai Pustaka), hingga kritik sastra itu sendiri, yang pada akhirnya akan memunculkan data-data baru mengenai ekosistem sastra Indonesia secara menyeluruh dan rinci. Namun saya tidak mengerti. Jika sastra benar-benar murni hasil eksplorasi kreatif, maupun komposisi ragam ekspresi manusia yang tengah berkelana menempuh labirin imajiner tanpa akhir, men-gapa sastra harus menuai kritik? Atau jika memang sastra demikian transenden, mengapa masih menyisakan cela yang kemudian memicu beberapa ‘pakar’ untuk menelisik? Barangkali Derrida benar tentang intertekstualitas yang merupakan sifat yang terkandung dalam setiap teks. Bahwa jika sastra diumpamakan sebagai tesis, maka perlu di-adakan kritik sebagai antitesis untuk menghadirkan sebuah sintesis. Aufhebung. Sekalipun itu berarti nilai kemurnian suatu karya sastra harus didera campur tangan ‘yang lain’.

OPINIRelevansi Kritik Terhadap Perkembangan Seni

Pandji PutrandaMahasiswa,Ciputat

Rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat dan sidang semakin menambah citra buruk anggota DPR. Derasnya hujatan atas kinerja anggota dewan bukan tanpa alasan, mengingat pekerjaan anggota DPR adalah rapat, sidang, dan evaluasi untuk menghasilkan undang-undang. Bila anggota dewan tidak menjalani itu, maka akan dipertanyakanlah eksistensi dari anggota dewan itu sendiri. Padahal anggota dewan telah diberi berbagai fasilitas pe-nunjang dalam pekerjaan mereka, seperti mobil mewah, serta keis-timewaan lainnya. Hal ini seharusnya bisa menjadi pengingat bahwa segala kemudahan itu diberikan untuk memaksimalkan pekerjaan anggota dewan. Namun sayangnya hal itu masih jauh dari kenyataan. Dalam situasi seperti ini, maka dibutuhkan perbaikan dan peningkatan kesadaran dari anggota dewan. Sebab mereka memegang amanah dari suara yang mengantarkan mereka duduk di kursi dewan. Anggota dewan seharusnya sadar bahwa mereka menjadi sorotan publik, yang artinya mereka adalah teladan bagi masyarakat. Sosok negarawan yang arif dan rendah hati sama sekali tidak tercermin dari anggota dewan. Hal ini membuat kerinduan kita akan sosok seperti Natsir, Perdana Menteri Indonesia era 50-an, yang begitu sederhana. Bila mengkomparasi masa dulu dan sekarang, maka yang terjadi hanyalah kerinduan atas masa lalu. Namun perlu disadari bahwa masa depan tidak ada di belakang. Masih belum terlambat untuk berbenah dan meningkatkan kinerja. Anggota dewan adalah tangan rakyat, yang bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan lebih luas dalam membangun Indonesia menuju arah yang lebih baik.

PERBAIKAN ITU BERMULA DARI KESADARAN

Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat terus turun. Ironisnya, ketidakdisiplinan ini telah terjadi sejak awal mereka dilantik.

Preva DimasMahasiswa,Tangerang

DEWAN REDAKSIPimpinan Redaksi : Cindy ChristellaRedaktur Pelaksana : Pandji PutrandaKoordinator Liputan : Erin Widyo Editor : Preva DimasLayout & Design : Preva DimasReporter : Cindy Christella Pandji Putranda Erin Widyo Preva Dimas

Sendi BudayaMembudayakan Masyarakat Berbudaya

Ayu Utami, 43 tahun, sastrawati Indonesia yang melakukan terobosan melalui bukunya, Saman. Satir adalah pilihannya dalam menentukan genre. Terlihat dari karya-karyanya yang sedikit banyak mengambil analogi dari komposisi kehidupan urban. Yang nampak, yang seolah nampak, maupun yang sama sekali kasat mata. “Perempuan kita, selalu dianggap sebagai mesin membikin

Wanita Dan Spiritualitas Sastra

keluarga alias mesin beranak. Kalau susunya sudah menggelambir, dengan mudah dipoligami.” Tambahnya, “itulah nasib perempuan kita.” Kesetaraan gender dan emansipasi wanita adalah akar dari peradaban dunia, hikayat tak berujung, yang menurut Goenawan Mohamad, “cerita mengenai peradaban juga menampilkan cerita ke-biadabannya sendiri,” sehingga ada yang ‘biadab’ meng-imbuh-i ke-hidupan yang ‘adab’. Dan apa yang biadab di sini adalah penafsiran ambigu oleh karena mistransfigurasi bahasa. Bahasa yang dikata ku-dus, sampai akhirnya diterjemahkan oleh manusia. Penulisan injil, yang mengambil sabda tuhan sebagai plat-form, hendak menanamkan bahwa wanita tercipta oleh karena tulang rusuk seorang pria. Pria bernama adam yang kesepian menjelajahi eden, yang menemukan baginya binatang-binatang sebagai teman, walaupun tidaklah serupa dengan dirinya. “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” – Kejadian 2 : 18 Sampai di sini, tahap penafsiran masih spekulatif. Apa yang akan tuhan ciptakan belumlah jelas, karena kata ‘sepadan’ amatlah ambigu untuk menjadi dasar suatu kesimpulan. Sampai akhirnya tu-han membuat pria tertidur, mengambil salah satu rusuk dari padanya, kemudian menutupi tempat itu dengan daging, dan pada akhirnya seorang perempuan terlahir. Kini jelas, seorang perempuan dikon-struksi dengan menggunakan jasmani pria sebagai bahan baku, bu-kan dengan material lain. Manusia dilahirkan melalui, oleh, dan dari manusia.Kemudian, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dag-ingku. Ia akan di- namai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki.” – Kejadian 2 : 23Kata-kata pria dalam kebaha-giaan menemu- kan yang sepadan adalah kata-kata m u l t i p e r s e p s i yang tidak akan pernah dapat dianalisa melalui aspek-aspek personal semacam psikologis. Atau mungkin, bahasa manusia –yang variatif lah yang menciptakan batas-batas penalaran umum sehingga proses penerjemahan tidak pernah sempurna dan utuh sama. Bias simbol, intonasi, artikulasi, bahkan persepsi itu sendiri adalah distorsi utama, yang agaknya sudah diang-gap biasa dan tidak lagi menjadi konsekuensi dalam dasar interaksi. Dan kamus adalah berhala yang dipercaya mampu mengejawantah-kan perbedaan tersebut. Rasio akan menjawab bahwa perempuan terbentuk dari pria. Otoritas pria seakan-akan sirna dan terbagi setelah tuhan me-mutuskan untuk mengambil rusuk dan membentuk perempuan. Keduanya adalah perbedaan yang sekaligus melambangkan kesatuan intim. Sebagaimana kedua sisi dari sekeping logam. Berbeda dalam sesuatu yang satu. “Perempuan kita, selalu dianggap sebagai mesin membikin keluarga alias mesin beranak. Kalau susunya sudah menggelambir, dengan mudah dipoligami.” Tambahnya, “itulah nasib perempuan kita.” Lantas bagi seorang Ayu Utami, fenomena yang hadir ada-lah demikian. Hukuman atas sebuah keserakahan dan keangkuhan yang melahirkan fallacia (kesesatan). Tuhan, tidak menciptakan perempuan untuk menjadi budak pria.Tuhan, tidak menciptakan perempuan dengan kemampuan yang tidak melampaui pria. Tuhan, tidak menciptakan perempuan sebagai mesin be-ranak. Tuhan tidak memiliki alasan tertentu selain menginginkan pria memiliki teman yang sepadan. Lantas, apa yang sekarang membuat perempuan menda-pat perlakuan tidak sama, tidak seperti ketika berada di taman eden? Agaknya kita, yang sadar ataupun tidak, lahir dari perempuan, telah berkhianat. Kita telah melupakan apa yang mereka emban, malah hanya melihat sebatas acuan fungsional semata. Keagungan perem-puan yang selalu luput menjadi sorotan sehingga muncul dalam sosok figuran, adalah sebuah pesan konotatif, bahwa perempuan justru ter-lahir untuk melengkapi figur konkret seorang pria. Dan seorang bijak akan berkata, “di balik pria hebat, terda-pat perempuan yang jauh lebih hebat.”

Pandji PutrandaMahasiswa,Tangerang

KOLOM

“Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki.” – Kejadian 2 : 23

Waktu itu 29 September. Layaknya tahun-tahun sebel-umnya, selalu ada perayaan akbar untuk tanggal 2 Oktober. Kodam Diponegoro mengirimkan sekitar 500 personilnya untuk memper-ingati hari jadi angkatan. Angkatan yang gagah berani melindungi dan mengawal nusantara, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Angkatan yang masih hijau dengan sejumlah prestasi yang men-gukir mata dunia. Martono, putra Purwodadi yang memiliki mimpi untuk mengawal negeri, ialah salah satunya. Personil kebanggaan infan-teri dengan wing emas di dada itu merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia meninggalkan keluarga dengan mimpi-mimpi besar demi membela negara serta mengawal Republik Indonesia. Mimpi mulia yang terpatron dalam dirinya. Namun, petaka memang datang tanpa diundang. Ia ber-sama rekan-rekan seperjuangannya dikhianati ketika sedang mel-akukan perjalanan panjang nun mulia dari Semarang ke Ibu kota. Mereka dialihkan sebelum masuk ke Ibu Kota dan diperintahkan untuk menjaga daerah Halim dengan alasan yang tidak jelas – han-ya untuk berjaga. Satu pertanyaan yang menghinggapi Martono dan ratusan tentara lainnya – kenapa kita dialihkan ke sini? Martono adalah prajurit sejati yang taat. Taat pada per-intah yang kadang tidak pernah ia temukan alasannya. Ia patuh mengikuti instruksi atasan untuk menjaga daerah itu. Meskipun martono juga heran, kenapa harus menjaga daerah angkatan udara, kenapa ada pengalihan komando, dan dari mana komando itu data-ng? Petaka semakin dekat. Prajurit berjaga dengan penuh tanggung jawab, walau mereka pun tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tanggung. Tengah malam menjelang subuh, suara bising berondon-gan senjata terdengar dari segala arah. Semakin dekat dan terus mendekat. Tanpa komando, tanpa instruksi. Selayang pandang ter-lihat kilat api yang semakin jelas keluar dari moncong senjata berat. Semakin dekat dan terus mendekat. Martono dan beberapa prajurit lari tunggang – langgang, sebab mereka tahu, ada yang tidak beres di sini. Sepelarian mereka melihat prajurit-prajurit yang terkapar dengan luka tembak. entah apakah mereka masih bernyawa atau tidak. Kepalanya tidak bisa berpikir jernih, yang ada di otaknya hanya lari dan menjauh dari daerah ini. Berlari menjauh dari ham-paran mayat prajurit yang terhujani peluru tajam berkaliber besar. Martono terus berlari. Di ujung pelariannya, Martono melihat jejeran bayangan hitam di kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, mereka disambut dengan hujanan peluru. Martono memutar haluan dan menjauh dari bayangan hitam. Rombongan mengikuti, meski satu persatu mulai berguguran disambar peluru – tepat disampingnya berlari. Kerutan dahi dan desahan nafas dengan baluran keringat cukup memperlihatkan betapa panik dan takutnya Martono dengan apa yang ada di depan matanya. Matanya terbelalak lebar tanpa kedi-pan, tanpa basuhan air mata. Melihat rombongannya berangsur-angsur hanya menjadi kumpulan, Martono terus berlari dan me-nambah kecepatan. Sesekali kumpulan Martono membalas dengan tembakan kecil, yang kemudian dibalas dengan hujanan tembakan lebih dahsyat. Jelas bahwa jumlah mereka tidak seimbang. Martono sadar bahwa yang sedang dihadapinya ini bukan hal biasa yang bisa dinalar dengan logika. Maka, Martono dan beberapa kumpulannya memutuskan untuk menerobos hutan menuju Karawang, menjauh dari kejaran untuk membuka harapan besar dan satu pertanyaan besar, “Apa yang sedang terjadi?”. Martono dan beberapa kumpulannya berhasil lari dari kejaran dan menyelinap di lebatnya hutan. Sesekali mereka masuk ke perkampungan untuk mengganti pakaian dan mencari makan, sambil mencuri-curi informasi, lalu kembali menghilang di hutan Karawang. Martono hanya ingat bahwa hari itu adalah 30 Septem-ber 1966. Keberuntungan tidak menunjukkan keberpihakkannya pada Martono. Martono jatuh teramat dalam ke lembah yang kelam yang menyimpan seribu petaka. Petaka besar yang ternyata bukan hanya menimpa dirinya. Petaka yang membuatnya hidup sebagai pelarian, sampai sekarang. Hampir setengah abad peristiwa itu berlalu. Namun bay-angannya masih datang alam mimpi dan halusinasi. di usianya yang kini tidak lagi segar, Martono terus dihantui bayangan masa lalu. bayangan hitam, bayangan kelam. Hadir padanya dalam berbagai bentuk, rupa yang sebenarnya maya. bekas luka itu terlalu dalam. teramat dalam untuk bisa sembuh. dan tetap menyisakan bekas.

MartonoPreva Dimas

Page 3: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 3

Sendi Budaya

SINEMA

Cuaca minggu malam yang cukup dingin tidak lantas me-nyurutkan antusiasme pengunjung Serambi Salihara kala itu. karena tepat pukul 20.30 WIBB akan diadakan pemutaran film bisu keluaran tahun 1922 yang berjudul Nosferatu, beserta iringan live music dari band rock ternama Zone Libre. band beranggotakan tiga orang yang berasal dari Perancis ini dianggap mampu menyajikan nuansa musik yang menyihir. melalui komposisi dinamika serta eksperimentasi su-ara, trio Serge Teyssot-Gay (guitar), Marc Sens (guitar), and Cyril Bil-beaud (drum) tampil memukau selama film Nosferatu diputar. Nosferatu atau Nosferatu Le Vampire karya Friedrich W. Murnau -yang banyak dikenal sebagai pelopor film ekspresionis Jer-man- merupakan salah satu film bergengsi pada masanya. dalam ba-hasa Indonesia, Nosferatu dapat diterjemahkan sebagai "Pembawa Malam atau Pembawa Kelam". Diadaptasi dari novel Dracula karya Bram Stoker dengan rentang durasi kurang dari satu setengah jam, film bertajuk horor ini berhasil membuat para pengunjung berdecak kagum. mengingat masa-masa lampau ketika proses pembuatan film masih dapat dikatakan rumit (bahkan kompleks), pemakaian efek, setting properti, aplikasi teknik editing, serta alur cerita yang disaji-kan film ini sungguh brilian dan patut diapresiasi. "Nggak nyangka di tahun segitu udah ada film sedemikian rupa. memang nggak mungkin dibandingkan dengan film-film jaman sekarang, tapi di jaman itu, proses pembuatannya pasti makan waktu dan rumit banget." ujar salah satu pengunjung. Kebanyakan pengunjung yang hadir malam itu berasal dari kalangan penikmat musik dan penikmat film. mereka yang datang untuk mendengarkan musik terpuaskan oleh penampilan kharisma-tik Zone Libre, sementara mereka yang penasaran akan format film di era 20-an juga terpuaskan oleh pemutaran Nosferatu. seolah setiap pengunjung memperoleh orgasme kreasi sesuai seleranya masing-masing. Di dalam proses pembuatan film itu sendiri, peran dan fungsi suara atau SFX amatlah krusial. sebagaimana riset membuk-tikan dalam skala numerik, bahwa musik memiliki prosentase yang cukup dominan untuk memberikan dampak psikologis kepada kha-layak pemirsa, dan karenanya menjadi salah satu elemen paling pent-ing. namun, kebisuan yang menyergap di dalam Nosferatu nampak terimbangi dengan iringan musik Zone Libre. kolaborasi audio dan visual yang mereka padu sukses menawarkan ragam interpretasi baru. bisa disimpulkan, Nosferatu telah mengalami upaya resureksi seh-ingga menjadikannya layak diterima sebagai produk seni masa kini. dan di penghujung acara, gemuruh tepuk tangan memenuhi Studio Serambi Salihara dari pengunjung yang sebagian besar adalah warga negara Perancis. malam horor itu berubah menjadi panggung pertun-jukan seni yang dramatis.

SERAMBI SALIHARA, Jakarta, Pasar Minggu - 27 Mei 2012

NOSFERATU WITH ZONE LIBRE Pandji Putranda

REMBULAN RANDU DAHLIA

Page 4: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 4

Selamat DatangSilakan masuk

Sapaan hangat nan santun dari seorang pemandu di pintu masuk mengawali tur budaya di Museum Ullen Sentalu. Setelahnya hanya ada kicauan burung dan natural sound yang mengiringi pen-gunjung sampai masuk pada bangunan utama. Suasana alami bak di hutan yang asri nan sejuk membuat museum ini terlihat berbeda dan men-gagumkan. Saat masuk ke

bangunan museum, guide akan memperingatkan untuk mematuhi aturan yang ada, salah satunya dilarang men-gambil gambar di dalam ruangan. Ullen Sentalu memi-liki lima ruang. Pengunjung akan disambut oleh Ruang Selamat Datang yang berisi keterangan tentang museum dan Arca Dewi Sri sebagai simbol kesuburan. Selanjut-nya, pengunjung akan dibawa ke Ruang Seni Tari dan Gamelan. Saat memasukinya, pengunjung dibuat nyaman dengan tatanan arsitektur yang berhias dinding batu bata expose dipa-du lantai berwarna senada. Sesuai namanya, di dalamnya terdapat alat musik tradisional Yogyakarta, yaitu gamelan Kraton Yogya-karta yang merupakan pemberian dari salah seorang pangeran Kasultanan Yogyakarta. Di sepanjang dindingnya tergantung berb-agai lukisan yang menggambarkan sesosok penari wanita dalam berbagai tarian, seperti Tari Srintil dan Tari Topeng. Menuju ruang kedua, yaitu Gua Sela Giri. Jangan kaget jika tiba-tiba lampu di Ruang Seni Tari dan Gamelan padam karena memang saat rombongan berpindah ke ruangan selanjutnya, lampu di ruang sebe-

lumnya akan padam secara otomatis. Sesuai namanya, ruang ini memang sebuah gua yang dihiasi batu-batu besar berwarna hitam yang berasal dari batu Merapi. Kesan gothic begitu terasa karena lampu yang ada hanya menyinari lukisan dan gambar di dinding. Ruangan ini memang diban-gun di bawah tanah karena mengikuti kontur tanah yang tidak rata. Ruan-gan ini menyimpan karya dokumen-tasi yang merangkai silsilah keluarga empat Kraton Di-nasti Mataram. Pemandu akan menjelaskan secara detail dari setiap sosok yang ada di gambar. Di sini kita akan tahu siapa saja Raja-raja Mataram beserta keturunan-nya. Salah satu lukisan yang menarik adalah lukisan tiga dimensi yang sorot matanya akan mengikuti dari sisi manapun kita melihatnya. Selanjutnya pengunjung diajak menelusuri Kampung Kambang yang dibangun di atas kolam air. Di dalamnya terdiri lima ruang. Sesuai nama ruangnya, tentu setiap ruangan memiliki koleksi yang berbeda. Di Ruang Syair untuk Tineke, terdapat syair-syair yang ditu-

jukan kepada GRAj Koes Sapariyam yang akrab disapa Tineke dari para kerabat dan teman-teman. Sastra yang terpancar sungguh bercita rasa tinggi. Di Royal Room Ratoe Mas, berbagai lukisan, foto, serta pernak-pernik Ratu Mas di-simpan dengan apik. Ruangan ini khusus di-persembahkan kepada Ratu Mas, yaitu permai-suri Sunan Paku Buwana X. Memasuki Ruang Batik Vorstendlanden, pengunjung dapat meli-hat koleksi batik dari era Sultan Hamengkubu-wono VII - Sultan Hamengkubuwono VIII dari Kraton Yogyakarta dan Sunan Pakubuwono X - Sultan Pakubuwono XII dari Surakarta. Ada

satu lagi ruang batik, yaitu Ruang Batik Pesisiran. Di sini dipamerkan pakaian adat Jawa yang menawan, terlihat dari koleksi kebaya yang dikenakan kaum peranakan

mulai zaman HB VII. Di ruang terakhir, ada Ruang Putri Dambaan. Siapakah Pu-tri Dambaan itu? Dia adalah GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, putri tunggal Mangkunegara VII. Ruangan ini dires-mikan sendiri oleh Sang Putri pada 2002 saat ulang tahunnya yang ke-81. Ruang ini berisi foto-foto berbagai elemen ke-hidupan putri kraton yang secara pribadi dititipkan kepada museum ini. Setelah berkeliling di lima ruangan, pen-

gunjung akan melewati Koridor Retja Landa yang meru-pakan museum outdoor berisi arca-arca dewa-dewi dari abad VIII - IX M. Arca-arca tersebut merupakan simbol dari dewa-dewa yang dipuja saat masa itu karena agama dan budaya Hindu dan Buddha sedang berkembang. Selesai berkelil-ing, tiap pengunjung akan disuguhi dengan minuman khas warisan Gusti Kanjeng Ratoe Mas yang konon katanya berkhasiat mendatang-kan kesehatan dan awet muda. Hayoo... yang mau awet muda, silakan mencoba. Harga tiket yang lebih mahal dibanding museum-museum lain-nya, tak akan membuat Anda kecewa karena Ullen Sentalu mampu menghadirkan seni dan budaya Jawa dengan penuh pe-sona. Terlebih suasana di dalam yang begitu nyaman dan akrab, memberikan atmosfer yang berbeda. Saat Anda kembali ke rumah, hanya rasa rindu yang terbawa untuk kembali ke sana.

Wisata Budaya Ala Ullen SentaluErin Widyo

Minuman Khas Ullen Sentalu

Visit Ullen Sentalu

Jl.Boyong Taman wisata Kaliurang, Yogyakarta(0274) 895161, 895131Jam Buka Tiket:Selasa – Minggu09.00 – 16.00 WIBHarga Tiket: Rp. 25 000 (nusantara)Rp. 25 000 (pelajar man-canegara)US$ 5.00 / Rp 50.000 (manca negara)

Menyelam pada masa sekarang ini dikenal sebagai olahraga yang san-gat mahal dan hanya bisa dilakukan oleh kalangan elit. Menyelam juga di-akui sebagai olahraga yang memiliki tingkat bahaya nomor dua kata instruk-tur menyelam Ong Andre. Siapa yang akan menyang-

ka bahwa olahraga menyelam yang sedang trend sekarang ini ternyata pada jaman dahulu dipakai sebagai salah satu kegiatan militer.

Sejarah Selam Menyelam dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan air, dengan atau tanpa menggunakan peralatan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Profesi menyelam sudah dikenal lebih dari 5000 tahun lalu. Penyelam zaman dulu tidak bisa mencapai kedalaman lebih dari 30 meter. Biasanya kegiatan ini dilakukan untuk mengambil kerang dan mutiara. Dalam sejarah Yunani, Herodotus menceritakan seorang pe-nyelam bernama Scyllis yang dipekerjakan Raja Persia Xerxes untuk mengambil harta karun yang tenggelam pada abad ke 5 SM. Sejak jaman dulu, penyelam juga dipergunakan untuk mi-liter, seperti menenggelamkan kapal musuh, memotong jangkar, dan melubangi kapal dari bawah. Para penyelam jaman dulu juga diper-gunakan untuk menyelamatkan barang yang tenggelam. Pada abad pertama SM, khususnya di Mediterania barat, para penyelam sudah terorganisir dan pembayarannya sudah diatur hukum. Pembayaran-nya tergantung kedalaman air yang diselami.

Pipa udara Penyelam jaman dulu hanya memikir-kan bahwa panjangnya pipa udara adalah sangat penting dalam penyelaman. Banyak design yang memakai pipa panjang yang fleksibel dengan bagian atas mengapung. Tentunya hal ini tidak akan bekerja dengan baik pada kedalaman satu meter, karena akan menyebabkan penyelam kekurangan oksigen dan akan tenggelam. Te-kanan air juga meningkat sehingga menekan pipa dan dada. Hal ini menyebabkan desain alat selam yang menggunakan pipa udara tidak praktis dan sukar dilakukan. Sedangkan kantong udara pe-nyelam (Breathing Bag) terbuat dari kulit. Hal ini diprediksi dari lukisan Asyiria pada abad 9 SM menggambarkan seorang penyelam mengguna-kan tanki udara terbuat dari kulit.

Perkembangan Desain Alat Selam

Diving Bell Sekitar tahun 1500-1800 lonceng selam telah berkembang, sehingga penyelam dapat menyelam dalam hitungan jam. Lonceng selam adalah peralatan berbentuk bel dimana dasarnya terbuka di dalam laut. Lonceng selam pertama sangat besar sehingga penyelam dapat menyelam dalam beberapa jam. pada perkembangan lanjut, lonceng selam ini terhubungkan dengan kabel dari permukaan. Lon-ceng ini tidak dapat bermanuver dengan baik. Penyelam dapat tetap didalam atau keluar lonceng sebentar sambil menahan napas. Lonceng selam pertama dibuat tahun 1513. Pada tahun 1680, petualang bernama William Philip berhasil mengangkat harta tenggelam sebanyak $200.000 dengan metode ini. Pada tahun 1690, seorang ahli astronomi Inggris, Edmund Halley mengembangkan lonceng selam, dengan menenggelamkan tong dengan pemberat. Bersama 4 temannya ia dapat bertahan 1 1/2

jam dalam kedalaman 20 meter di sungai Thomas. 26 tahun kemudian, dengan mengembangkan peral-atannya menjadi lebih baik ia dapat bertahan 4 jam dalam kedalaman 22 meter.

Diving Suit Pada tahun 1715, seorang Inggris bernama John Lethbridge mengembangkan baju selam. Pertama kali ia menciptakan sebuah tong dari kayu yang di-lapisi kulit, juga dilengkapi dengan kaca di bagian depan, dan lubang untuk lengan. Dengan menggu-nakan peralatan ini penyelam bisa melakukan tu-gasnya. Peralatan ini diturunkan dari kapal ke dalam air. Baju selam ini cukup berhasil, karena kedalaman normal operasinya 20 meter dan selama 34 menit. Tapi kelemahannya hampir sama dengan lonceng selam, yaitu terbatasnya suplai udara.

Pada tahun 1823 John dan Charles Deane, mem-patenkan pakaian pemadam kebakaran. Dengan pakaian tersebut, pemadam kebakaran dapat masuk ke dalam bangunan yang terbakar. Pada tahun 1828, pakaian tersebut dipatenkan untuk selam, dimana

terdiri dari pakaian yang dapat menahan dingin, helm, dan hose yang menghubungkan dengan permukaan. Suplai udara berasal dari permukaan dan dikeluarkan lewat bagian bawah helm, sehingga jika posisi helm terbalik maka akan cepat terisi air. Akhirnya oleh Augus-tus Siebe, helm ini dilengkapi dengan seal di bagian leher dan katup kuras.

Beberapa penemu bekerja sama untuk membuat pakaian selam yang dilengkapi dengan senjata. Pakaian ini dapat mengatur tekanan sehingga tekanan udara yang dihirup sama dengan tekanan udara permukaan. Pakaian selam ini merupakan pengembangan dari pakaian John Lethbridge. Penggunaan pakaian ini dipertanyakan, karena bentuknya agak kaku untuk melakukan tugas. Pada tahun 1930 kedalaman yang dicapai 230 meter, tetapi dengan pengembangan sekarang sudah men-capai 660 meter untuk penyelaman di laut.

Metamorphosis MenyelamCindy Christella

Page 5: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 5

Pameran perang-ko dan filateli tingkat dunia, “World Stamp Championship 2012” yang diikuti oleh sekitar 60 federasi anggota Federation Internationale de Philatelie (FIP), berlangsung pada 18 - 24 Juni 2012 di Hall A Jakarta Convention Centre (JCC), Ja-karta.

"Event ini akan mendorong usaha pemerintah Indonesia untuk membangkitkan semangat filateli nasional di samping juga menjadi bukti eksistensi filateli di dunia internasional," ujar Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring, dalam pembukaan acara itu di JCC, Senin (18/6/2012). Pameran ini terbagi dalam 11 kelas dengan 532 exhibitor yang akan mengikuti pertandingan filateli. Sebanyak 1.400 panel den-gan 2.544 frame koleksi prangko dari seluruh dunia akan dipamerkan dalam pameran yang bertajuk "Jembatan Menuju Dunia yang Damai Melalui Prangko". Tujuan penyelenggaraan acara ini untuk membangkitkan gairah filatelian di tanahair, serta memajukan persahabatan filatelis menuju perdamaian dunia dan juga untuk memperingati 266 tahun PT. POS Indonesia dan 90 tahun Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI).

World Stamp Championship 2012Preva Dimas

INTERNASIONAL

Hubungan Iran dan Indonesia berjalan sangat baik dari dulu hingga sekarang. Hubungan emosional masyarakat Iran dan Indonesia pun sangat dekat, salah satunya terlihat saat Iran men-gadakan “Pekan Budaya Iran” di Jakarta. Pengunjung sangat antusias melihat pameran yang diselenggarakan pada 7-13 Maret 2012 di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ini adalah kali keempat Iran mengadakan pekan budaya di Indonesia. Hanya saja pam-eran ini adalah yang pertama kali diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia. Saat memasuki ruang pameran, Anda akan disuguhkan be-ragam foto menarik dengan berbagai tema. Di salah satu sudut ter-pampang foto-foto wanita Iran dengan berbagai pekerjaan dan aktivi-tas. Di ruangan lain juga terdapat karya-karya kaligrafi, kera-mik, karpet, pakaian tradisional Iran, buku, serta beberapa produk

lainnya. Tidak hanya karyanya yang dibawa langsung, pemerintah Iran pun membawa serta seniman-senimannya. Hal ini membuat kita bisa berinteraksi langsung dengan mereka dibantu penerjemah yang sigap dalam membantu pengunjung. Dalam satu tahun, pemerintah Iran mengadakan pekan budaya di banyak negara. Tujuannya untuk memperkenalkan ke-

pada masyarakat dunia, seperti apa kondisi Iran saat ini, juga bagaimana seni dan budayanya. Selain itu, juga bertujuan menyatukan hubungan masyarakat negara penyelenggara dengan masyarakat Iran. Dengan adanya acara tahunan seperti ini juga akan terjalin hubungan para seniman Iran dengan seniman negara lain. Iran dan Indonesia telah melakukan banyak kerja sama di berbagai bidang, di antaranya adalah dalam bidang seni budaya, pendidi-kan, serta kesejahteraan dan kema-nusiaan. Kesamaan budaya timur dan agama Islam lah yang merekatkan hubungan Iran dan Indonesia.

Tujuan utama dari penyelengaraan pekan budaya ini adalah memperlihatkan bahwa Iran tidaklah seburuk yang orang-orang lihat melalui media. “Kami yakin semua di sini tergantung orang-orang yang melihat dan mereka akan menilai,” ujar Hasyim, salah satu penyeleng-gara.

Kerja Sama Iran dan IndonesiaErin Widyo

Nurani , Nurani tidaklah lagi menjadi saksi dari sa nubari . Nurani , telah ke-hilangan akarnya yang budi . Nurani bukanlah lagi mata hati . ia telah terla-lu lama tertutup iri , dengki , dan ingin menang sendiri . Ini hati , sudah terlalu lama kering dan tak berperi . Ini hati , kian lama kian jauh dengan pekerti . hati yang sudah ter-lalu lama tertutup nurani yang penuh dengan dengki akan berubah menjadi makhluk ganas yang melahat segala tanpa bertepi .

Nurani TakBerperi

Page 6: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 6

Menggeprak

Ayo nak, kamu pasti kuat

53 kg!

Makan Siang

Bungkus

EuforiaSiapa bilang euforia hanya milik masyarakat modern? Petani pun punya masanya merasakan euforia. Saat musim panen tiba, rasanya seakan surga di depan mata.

Panen besar menjadi rutinitas yang dilaku-kan dalam masa min-imal setahun dua kali. Ini merupakan hasil jerih payah setelah nandur selama tiga bulan. Panen me-makan waktu hingga dua hari. Biasanya, dimulai dengan memotong padi dan mengumpulkan-nya di suatu tempat yang dilakukan pada malam hari. Setelah itu, potongan padi akan digeprak atau dirontok-kan menggunakan alas papan kayu. Selanjutnya, gabah dimasukkan ke dalam karung. Pekerja lainnya bersiap mengangkat tumpukan karung ke tempat penimban-gan. “Sang Juragan” akan mencatat hasil timbangan. Sebagai upahnya, masing-masing pekerja diperboleh-kan memilih bayarannya berupa uang atau sejumlah gabah. Inilah tradisi euforia ala masyarakat agraris.

Siap diantar

ESAI FOTOErin Widyo

Page 7: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 7

Semut Merah Semut Hitam15 - 17 Juni 2012Gedung Teater Taman Ismail Marjuki (TIM), Jakarta

Matah Ati22 – 25 Juni 201219.30 WIB - selesaiGedung Teater Taman Ismail Marjuki (TIM), Jakarta

Jakarta dalam SastraSab, 30 Juni 2012 20.00 – 22.00 WIBTeater SaliharaJalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia 12520

Jadwal Teater

Event Budaya IndonesiaJakarta :- Jakarta International Dance Festival (free)Pagelaran tari-tarian dari berbagai dae-rah di Nusantara1 – 9 Juni 201219.00-23.00 WIBTaman Ismail Marzuki Jak-Pus

- Festival Monas (free)Pagelaran budaya Jakarta8 – 10 Juni 20129.00 WIB - selesaiSisi Barat Monas

- Jakarnaval (free)Parade seni dan budaya10 Juni 201215.00 WIB- selesaiAntara Monas-Sudirman-Thamrin-Bundaran HI

- Festival Jalan Jaksa (free)Festival Budaya15 – 16 Juni 20129.00-17.00 WIBSepanjang Jl.Jaksa – K.H.Wahid Hasyim, Jakpus

Jawa Tengah :- Dieng Culture Festival 201230 Juni - 1 Juli 2012Kompleks Candi Arjuna, Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah

- Keraton Art Festival13 – 14 Juni 2012 Keraton Kasunanan Surakarta

Yogyakarta :- Labuhan Merapi20 - 21 Juni 201206.00 WIB – selesaiLereng Merapi, Kinahrejo, Pakem, Sle-man

- Sendratari Ramayana Ballet 19.30 - 21.30 WIB1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 23, 26, 27, 28, 30 Juni 2012Outdoor Theater / Panggung TerbukaTaman Wisata Candi PrambananJalan Raya Yogya - Solo km 16 Pramba-nan

- Festival Kesenian Yogyakarta 10.00 - 21.00 WIBBenteng Vredeburg

Jawa Timur :- Ijen Festival 20128 - 10 Juni 2012Kota Bondowoso, Jawa Timur

Bali :- Pesta Seni Rakyat Bali9 Juni - 7 Juli 2012Denpasar, Bali

Papua :- Festival Budaya Danau Sentani19-23 Juni 2012Pantai Kalhote, Kampung Ohei, Sentani Timur.

SEKADAR INFOEksotika

BADUY Baduy adalah kelompok masyarakat adat Sunda yang hidup di Kabupaten Lebak, Banten. Populasi suku ini kurang lebih 8.000 orang yang terbagi menjadi dua bagian desa, Baduy Dalam dan Baduy Luar. Desa Baduy Dalam ter-diri dari tiga desa, yaitu Cikeusik, Ciker-tawana, dan Cibeo. Desa Cibeo adalah desa yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar suku. Karena intensitas pertemuannya yang tinggi dengan masyarakat luar Baduy, Masyarakat Cibeo lebih mahir mengguna-kan bahasa Indonesia ketimbang dua desa Baduy Dalam lainnya. Masyarakat Desa Cibeo jugaa sering melakukan perjalanan ke Jakarta dan sekitarnya untuk menjual hasil-hasil kerajinan mereka, seperti kain tenun, tas, dan kerajinan lainnya. Ada satu lagi barang yang sering dijual mereka dan diminati oleh pembeli, yaitu madu hutan. Madu dari Baduy ini dikenal murni tanpa campuran, yang membuat kualitas madu-nya menjaadi tinggi. Masyarakat Baduy dalam memi-liki adat istiadat yang cukup berbeda. Masyarakat Baduy Dalam cukup mem-batasi diri untuk menggunakan barang-barang tekhnologi. Mereka memiliki aturan untuk tidak boleh memiliki barang-barang tersebut, seperi handphone misalnya. Mereka juga tidak diperkenankan untuk menaiki kendaraan umum seperti mobil atau sebagainya. Tradisi ini dipegang teguh oleh masyarakatnya. Oleh sebab itulah, mereka selalu berjalan kaki untuk berpindah tempat, meski-pun jaraknya jauh sekalipun.

Hal menarik lainnya adalah di dalam kaawasan Baduy Dalam tidak boleh ada penggunaan barang-ba-rang berteknologi, kecuali senter untuk penerangan. Namun senter juga hanya dipakai oleh pengunjung, bukan oleh masyarakat Baduy Dalam. Di dalam ka-wasan Baduy Dalam juga tidak diperkenankan untuk menggunakan sabun, sampo, atau sejenisnya untuk membersihkan diri. Mereka percaya bahwa barang-barang seperti itu dapat mengotori alam, sedangkan alam adalah ibu mereka, ibu yang selalu memberikan segala kebutuhan mereka untuk hidup. Tradisi ini dipegang teguh tanpa ada penga-wasan. Mereka sangat menunjukkan kesadaran yang

tinggi untuk menjadi masyarakat Baduy dalam. Intensitas interaksi mereka dengan dunia luar ternyata tidak membuat mereka menjadi kehilangan jati diri. Ada sebuah kebanggaan untuk menjadi masyarakat Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar adalah masyarakat Baduy yang tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan adat seperti masyarakat Baduy Dalam. Mereka hidup layaknya penduduk Indo-nesia pada umumnya. Namun dari itu semua, masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keju-juran. Mereka seperti mempunya kewajiban untuk berperilaku jujur dalam kesehariannya. Semua hal yang saya dengar ini membua ketertarikan saya untuk berkunjungl angsung ke Desa Baduy Dalam dan Luar. Banyak kekaguman sekaligus pertanyaan dalam kepala saya mengenai perilaku masyarakat Baduy yang menurut saya sangat luar biasa. Akhirnya, bertepatan dengan libur nasional, saya dan dua rekan saya melakukan perjalanan menuju desa Baduy. Kebetulan teman saya sudah me-

miliki hubungan yang baik dengan beberapa orang dari Baduy Dalam. Perjalanan dimulai dari Sta-siun Serpong, tempat pertemuan kami. Kereta tiba, dan kamipun langsung naik transportasi ini. Perjalanan sekitar tiga jam dengan kereta ekonomi menuju Stasiun Rangkasbitung. Sesampainya di Sta-siun Rangkasbitung, kami langsung menaiki angkutan kota menuju Ter-minal Bus Mandala. Dari terminal

inni kami menumpang minibus tujuan Terminal Ciboleger. Namun sayangnya kami tidak mendapat kursi dan akhirnya kami harus duduk di atas kap minibus selama kurang lebih dua jam. Perjalanan menuju Ciboleger sangat menenangkan, pemandangan perbukitan yang indah diselingi hamparan sawah hijau menjadi pemandangan kami di perjalanan. Dan tidak terasa, kami telah sampai di Terminal Bus Cibo-leger. Di terminal ini kami bertemu dengan kenalan teman saya, orang Baduy Dalam. Namanya Sapri dan Asmin. Mereka masih tergolong anak-anak, sebab Sapri baru berusia 18 tahun, dan Asmin masih 15 tahun. Wajah gembira

tampak jelas dari raut wajah mereka. sebab, orang Ciboleger sangat senang bila dikunjungi tamu dari luar, dan ketika mereka dikunjungi, mereka akan membalas kunjungan itu. Namun bedanya, mereka da-tang dengan berjalan kaki. Perjalanan dari Desa Ciboleger menuju Desa Cibeo, desa tempat tinggal Sapri dan Asmin harus ditembuh dengan berjalan

kaki. Perjalanan memakan waktu seki-tar 2,5 jam. Namun perjalanan selama itu sangat tidak terasa, karena hutan yang kami lalui masih asri dan segar. Sesekali kami melewati danau dan sungai-sungai kecil yang airnya sangat jernih dan segar. Menemui sungai den-gan kualitas air seperti itu, saya lang-sung tergoda untuk meminumnya. Dan benar saja, dua teguk air sungai bersih memberikan kesegaran yang begitu luar biasa. Di perjalanan kami disuguhi ce-milan siang berupa buah durian. Waw, luar biasa nikmatnya. Durian asli baduy. Tak terasa kami telah sampai di Desa Cibeo, kami menginap di rumah Sapri. Rumahnya sangat sederhana. Terbuat dari kayu seperti rumah panggung kecil. Namun yang untuknya, setiap bangunan rumah tidak memakai paku untuk menempelkan masing-masing kayu. Mereka menggunakan teknik

kunci dan mengikatnya dengan sejenis tali dari akar-akaran. Sapri hidup ber-sama dua adik dan kedua orang tuanya. Kami men-dapat kabar gembira bahwa tidak lama lagi Sapri akan menikah. Oleh sebab itu di rumahnya terdapat ban-yak barang kerajinan yang

nantinya akan digunakan sebagai mas kawin untuk meminang calon istrinya. Sore tiba, kami segera pergi ke sungai untuk mandi. Meng-ingat kebiasaan masyarakat Baduy yang tidak menggunakan sabun dan sampo, kami hanya membawa handuk dan pakaian ganti. Meli-hat sungai, kami langsung menceburkan diri layaknya anak kecil yang senang bermain di sungai. Malam tiba, suasana desa begitu tenang dan gelap. Tidak ada penerangan di jalan. Kami harus memakai lampu api untuk meli-hat jalan bila kami keluar untuk buang air. Langitnya begitu cerah, bintang-bintang bertaburan jelas di kepala kami. Malam semakin larut, kami hanyut dalam buaian ketenangan Desa Cibeo. Keesokan harinya kami bangun dan langsung berkeliling desa untuk melihat-lihat. Di ujung perkampungan, kami melihat ru-mah Pu’un ( panggilan untuk tetua adat Baduy Dalam ). Niat kami intin bertemu tidak tersampaikan. Kebetulan Pu’un sedang menginap di ladang sejak beberapa hari. Menjelang sore, kami bergegas untuk kembali. Namun se-belum pulang, kami kedatangan tamu, dari Jakarta juga. Namanya Joni. Ia ditemani dengan pria asal Baduy Luar. Kami berbincang dan memutuskan untuk pulang bersama. Satu malam yang tidak terlupakan. Perjalanan bersejarah ke Desa Cibeo, Baduy Dalam. Mengenal masyarakat dengan kebiasaan yang tidak pernah saya temui pada masyarakat sebelumnya. Mereka yang paling luar biasa. Mereka memiliki keyakinan dan kebanggaan menjadi seorang Baduy Dalam. Sebab mereka sadar, mereka bisa dengan mudah dikeluarkan dari komunitas adat dan menjadi orang Baduy Luar hanya dengan satu pelanggaran saja Mereka tidak pernah melanggar itu dan membuktikan ke-banggaan dan kecintaan mereka terhadap adatnya. Sebuah pelajaran yang luar biasa untuk mencintai dengan kebanggaan. Cibeo, salah satu tempat paling bersejarah dalam hidupku.

StasiunRangkasbitung

Terminal BusMandala

Stasiun Serpong

Terminal BusCiboleger

Sungai BatasBaduy Dalam - LuarDanau Ageng

Desa CibeoBaduy Dalam

Preva Dimas

grafis :Ryan V. Liwang

Page 8: Koran Sendi Budaya

Sendi BudayaEdisi Rabu 27 Juni 2012 8

Seniman sejati tak pernah mati. Leon Agusta membukti-kan eksistensinya di dunia seni dengan mempersembahkan

panggung teaterikal dari karyanya. Pementasan

teater puisi “Kapal Penye-

PROFILLeon Agusta

Pada tanggal 8-9 Mei 2012 lalu, teater Indonesia mencipta-kan warna baru melalui pementasan ”Kapal Penyeberangan Hukla” yang berisikan puisi-puisi karya Leon Agusta. Pementasan teater ini mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar meskipun tampil dengan konsep baru.

D a l a m p e m e n t a s a n Kapal Pe-ny e b e r a n g a n Hukla, puisi-puisi karya Leon Agusta dikemas dalam bingkai teat-rikal. Para pe-main berdialog melalui puisi melalui ba-hasanya mas-i n g - m a s i n g . Puisi tidak di-bacakan secara suatu teks yang utuh lagi. ”Pemen-tasan teater kali ini mena-warkan sesuatu yang baru. Di-harapkan ini

bisa diteruskan bahwa sebuah pementasan berangkat dari sebuah drama turgi dan menghasilkan sesuatu yang inovatif. Jadi, ini adalah awal dari sebuah proses yang akan diteruskan oleh anak-anak muda,” jelas Leon Agusta yang berhasil diwawancarai seusai pentas di hari pertama. Sebagai sutradara Pementasan Teater Puisi, Aidil Usman mengaku mempersiapkan pementasan ini selama enam bulan. Tapi waktu yang dipakai untuk eksekusi konsep yang ada hanya dua bulan. ”Kami mencari benang merah dalam puisi-puisi tersebut menjadi peristiwa panggung,” kata Aidil Usman. Pementasan ini didukung oleh beberapa artis yang naman-ya sudah dikenal di telinga masyarakat, di antaranya seperti Rahayu Saraswati, Teuku Rifnu Wikana, Iwa K dan Abdel. Jose Rizal Manua pun turut mengambil bagian dalam Pementasan Teater ini. Penulis buku Saatirah, Niknik M. Kuntarto menjadi salah

Warna Baru Teater IndonesiaCindy Christella satu pemain dalam Kapal Penyeberangan Hukla.

”Selama ini yang saya ketahui puisi itu hanya dibuat musikalilasi puisi, hanya dibacakan. Tapi saya menangkap ini puisi yang luar biasa, bisa di-katakan yang pertama di Indonesia, karena seni puisi digabungkan dengan seni tari, seni musik, seni teater, multimedia, itu keunikannya. Jadi saya dilamar untuk menjadi salah satu pembaca puisi. Selama ini kan puisi dikemas dengan cara yang kurang menarik, membosankan. Dengan cara seperti (teater) yang baru ini, bisa menarik perhatian anak muda. Harusnya acara-acara sep-erti ini diperkenalkan ke anak muda, remaja,” ce-rita Niknik M. Kuntarto. Leon Agusta mempersembahkan Pe-mentasan Teater Puisi ini kepada Chairil Anwar. Baginya, sosok seorang Chairil adalah sosok yang luar biasa menginspirasi banyak orang ter-masuk dirinya.

Pengembara, jejakmu tak akan sirna. Erin Widyo

Foto : Cindy

Foto : Cindy

Foto : Cindy

berangan Hukla” hanya salah satu dari tumpukan karyanya se-lama menjadi seniman Indonesia.

Ia telah berkarya puluhan tahun. Karyanya menghiasi be-berapa media massa, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Berb-

agai karya sastra lahir dari pemikirannya yang mengusung kebebasan individu. Sebut saja berbagai kumpulan sajak, novel, puisi, cerpen, esai, dan lain-lain. Buku pun sukses ia lahirkan. Namanya semakin mendunia saat karya-karyanya diterjemahkan ke beberapa bahasa di beberapa belahan dunia, seperti Asia, Eropa, dan Amerika. Kelembutan hati dan dirinya begitu tercermin melalui se-tiap karyanya. Akan selalu ada ketenangan di sana karena ia selalu

menggunakan bahasa yang halus dan manis. Tak asal menulis, ia akan pendam dulu di dalam hatinya, baru ia torehkan melalui

rangkaian kata. Dalam puisinya, ia menerapkan kesatuan bunyi

sehingga ada aroma pantun di dalamnya. Membacanya seperti menghirup rasa dalam satu tarikan nafas. Leon memandang kehidupan di sekelilingnya adalah sama. Ia tak memosisikan dirinya lebih dari orang lain, begitu pun sebaliknya. Meskipun kary-anya sudah melanglang buana, ia tak pernah merasa dirinya sebagai penyair besar. Ia justru takut menjadi penyair populer. Leon Agusta mengusung nilai kebebasan. Kebe-basan individu banyak tercermin melalui karyanya.

Tak hanya itu, ia juga menegaskan sikapnya pada petualangan. Leon menyukai seni pengembara. Itu pula yang menjadi fokus dalam karyanya. Tema pengembaraan banyak memengaruhi karyanya. Ban-yak rasa dan ingatan dalam pengembaraan-nya. Baik luka maupun trauma, baik di negeri sendiri ataupun di negeri orang. Salah satu karya yang menggam-barkan tentang pikirannya akan kebebasan dan pengembaraan adalah sebuah buku teran-yar yang ber-judul “Gendang P e n g e m b a r a”. Pengembara, je-jakmu tak akan

Nama Asli : Ridwan IlyasNama Tenar : Leon AgustaTempat/Tanggal Lahir : Sigiran, Maninjau, Sumatera Barat / 5 Agustus 1938Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru Payakumbuh (1956) International Writing Program, Lowa, Amerika Serikat (1976)Profesi : Pengajar SGB/Sekolah Guru B di Bengkalis (1956 – 1964) Wartawan Koran Haluan Padang Pemimpin Bengkel Teater Kota Padang (1972-1974) Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1990-1993) Anggota Dewan Kesenian Jakarta