Konsep masy sipil

115
Definisi Masyarakat Sipil Global 15 March 2012 - dalam Masyarakat Sipil Global Oleh apsariaulia- fisip09 “Masyarakat sipil”, menurut Mary Kaldor (2003:584) dalam artikelnya The Idea of Global Civil Society, merupakan suatu konsep yang modern. Walau pun ide-ide penyokongnya dapat ditelusuri kembali dari zaman Aristoteles. Kaldor (2003:584) menyatakan bahwa masyarakat sipil masih merupakan bagian dari konsep negara. Lebih spesifiknya lagi, masyarakat sipil adalah suatu tipe negara yang dikarakteristikkan oleh sebuah kontrak sosial. Masyarakat sipil diatur oleh hukum yang berdasarkan prinsip kesamarataan. Prinsip kesamarataan tersebut berarti seluruh anggota masyarakat adalah subyek hukum. Dengan kata lain, kontrak sosial telah disetujui oleh seluruh anggota masyarakat. Namun penulis lebih sepakat dengan pendapat Thomas Charoters mengenai masyarakat sipil. Charoters dengan teliti mengungkapkan bahwa masyarakat sipil merupakan masyarakat di luar pemerintah dan pengusaha. Pendapat Charoters tersebut dilengkapi dengan definisi dari Civil Society International (CSI) yang melihat masyarakat sipil sebagai sektor ketiga di samping pemerintah dan bisnis. Dalam konteks tersebut, sektor ketiga berarti “institusi perantara”, seperti asosiasi profesional, kelompok religi, persatuan buruh, organisasi advokasi warga, dan perkumpulan lainnya yang menyuarakan dan memperkaya partisipasi publik dalam demokrasi. CSI menambahkan batasan “keluarga” dalam mendefinisikan masyarakat sipil. Sehingga penyempurnaan konteksnya menjadi masyarakat di luar pemerintah, bisnis, dan keluarga. Keanggotaan dalam masyarakat sipil dapat dilihat berdasarkan fungsi aktor tersebut, seperti apakah aktivitas atau peranannya, daripada bentuk organisasionalnya (Anon, n.d.). Karena menurut penulis, tidak semua aktor di dalam masyarakat sipil memiliki bentuk organisasional. Hampir seluruhnya lebih memfokuskan pada satu atau beberapa perangkat aktivitas, seperti mempromosikan toleransi dan mempengaruhi kebijakan publik.

description

Gerakan sosial

Transcript of Konsep masy sipil

Page 1: Konsep masy sipil

Definisi Masyarakat Sipil Global

15 March 2012 - dalam Masyarakat Sipil Global Oleh apsariaulia-fisip09

            “Masyarakat sipil”, menurut Mary Kaldor (2003:584) dalam artikelnya The Idea of Global Civil Society, merupakan suatu konsep yang modern. Walau pun ide-ide penyokongnya dapat ditelusuri kembali dari zaman Aristoteles. Kaldor (2003:584) menyatakan bahwa masyarakat sipil masih merupakan bagian dari konsep negara. Lebih spesifiknya lagi, masyarakat sipil adalah suatu tipe negara yang dikarakteristikkan oleh sebuah kontrak sosial. Masyarakat sipil diatur oleh hukum yang berdasarkan prinsip kesamarataan. Prinsip kesamarataan tersebut berarti seluruh anggota masyarakat adalah subyek hukum. Dengan kata lain, kontrak sosial telah disetujui oleh seluruh anggota masyarakat. 

            Namun penulis lebih sepakat dengan pendapat Thomas Charoters mengenai masyarakat sipil. Charoters dengan teliti mengungkapkan bahwa masyarakat sipil merupakan masyarakat di luar pemerintah dan pengusaha. Pendapat Charoters tersebut dilengkapi dengan definisi dari Civil Society International (CSI) yang melihat masyarakat sipil sebagai sektor ketiga di samping pemerintah dan bisnis. Dalam konteks tersebut, sektor ketiga berarti “institusi perantara”, seperti asosiasi profesional, kelompok religi, persatuan buruh, organisasi advokasi warga, dan perkumpulan lainnya yang menyuarakan dan memperkaya partisipasi publik dalam demokrasi.

            CSI menambahkan batasan “keluarga” dalam mendefinisikan masyarakat sipil. Sehingga penyempurnaan konteksnya menjadi masyarakat di luar pemerintah, bisnis, dan keluarga. Keanggotaan dalam masyarakat sipil dapat dilihat berdasarkan fungsi aktor tersebut, seperti apakah aktivitas atau peranannya, daripada bentuk organisasionalnya (Anon, n.d.). Karena menurut penulis, tidak semua aktor di dalam masyarakat sipil memiliki bentuk organisasional. Hampir seluruhnya lebih memfokuskan pada satu atau beberapa perangkat aktivitas, seperti mempromosikan toleransi dan mempengaruhi kebijakan publik.

            Ketika partisipasi masyarakat semakin tinggi dalam membentuk institusi dan kebijakan (“active citizen”), dalam era globalisasi ini muncul wacana perluasan dari konsep masyarakat sipil. Masyarakat sipil global merupakan lingkaran supranasional atas partisipasi politik dan sosial. Menurut David Korten dan kawan-kawan (2002), dalam sudut pandang masyarakat sipil, dunia merupakan suatu tempat berisikan kesempatan-kesempatan kreatif yang dapat disadari melalui kerja sama dan kesamarataan. Kerja sama dan kesamarataan yang dimaksud termasuk sharing of power dan pengendalian sumber daya. Konsentrasi dan sentralisasi kekuataan dan kekayaan adalah hal penting dalam mengorganisir prinsip globalisasi (Korten et. al, 2002). Dengan kata lain,

Page 2: Konsep masy sipil

berdasarkan prinsip kesamarataan tersebut juga, berarti masyarakat sipil global memiliki komitmen kuat akan common human values. Setiap manusia memiliki gairah akan makna, komunitas, dan tujuan, serta kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam membangun dunia dengan memiliki interest yang aktif terhadap pemerintahannya masing-masing.

            Akhir kata, penulis dapat menyimpulkan bahwa konsepsi masyarakat sipil adalah suatu sektor lain dalam negara di luar pemerintah, bisnis, dan keluarga. Masyarakat sipil berperan aktif dalam membentuk institusi dan kebijakan. Karena itulah, peranannya dinilai lebih penting dibandingkan dengan bentuk organisasionalnya. Perluasan konteks masyarakat sipil yang kini sudah dianggap mengglobal, kini dilihat dari partisipasi politik dan sosial pada ruang lingkup supranasional.

 

Referensi

Anon. n.d. “CIVICUS Civil Society Index: Summary of Conceptual Framework and Research Methodology” [online] dalam https://civicus.org [diakses pada 15 Maret 2012].

Civil Society International. 2003. “What is Civil Society?” [online] dalam http://www.civilsoc.org/whatisCS.htm [diakses pada 15 Maret 2012].

Kaldor, Mary. 2003. “The Idea of Global Civil Society” dalam International Affairs: Royal Institute of International Affairs 1944-. Blackwell Publishing (pp. 583-593).

Korten, David, et. al. 2002. “Global Society: The Path Ahead” [online] dalam http://www.davidkorten.org/global-civil-society [diakses pada 15 Maret 2012].

Page 3: Konsep masy sipil

KONSEPSI HEGEL TENTANG MASYARAKAT SIPIL DAN NEGARAPosted On 10 Apr, 2013 - By tikusmerah1 - With 0 Comments

Oleh: Linda Sudiono

Penulis akan membagi artikel ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama penulis akan memaparkan konsep negara Rasional dan pertentangannya dengan konsep Civil Society, bagian kedua penulis akan menguraikan sejarah singkat lahirnya Civil Society, Bagian Ketiga penulis akan sedikit mengulas tentang perdebatan konsep negara Rasional antara Hegelian Kiri dan Hegelian kanan serta pada bagian empat bagaimana implikasi konsep Negara Rasional di

Indonesia. Terakhir akan kita bahas singkat mengenai kritik terhadap konsep masyarakat sipil dan Negara

 

Konsep Negara “Rasional”

Segala sesuatu menurut pemikiran Hegel merupakan bentuk dari roh yang mengalienasi diri dimana keadaan dalam dirinya akan selalu bertentangan untuk mencapai suatu penemuan dari perwujudan eksistensi diri yang absolut sebagai suatu keseimbangan yang hakiki.[1] Tampaknya Hegel banyak merujuk dari Rene Descartes yang berpendapat bahwa segala sesuatu kecuali Tuhan dan jiwa manusia akan bergerak secara mekanis/adaptif berdasarkan hukum alam. Sebagai sesuatu yang digerakkan oleh alam, maka manusia sebagai bagian darinya harus tunduk serta terus menerus menggali dan menemukan rahasia alam yang terdapat di balik segala fenomena yang terjadi termasuk menemukan kehakikian diri yang bersifat absolut.

Manusia sebagai makhluk yang rasional selalu menghendaki adanya prinsip-prinsip yang rasional pula dalam pengaturan masyarakat. Berdasarkan pada kenyataan ini, maka hegel berpendapat bahwa rekonsiliasi konflik oleh negara menjadi kemungkinan yang sangat besar. Mereka dapat menerima aturan hukum tanpa kehilangan kebebasan, karena hukum adalah logis, dan yang tidak logis bukanlah hukum. Negara yang rasional menciptakan hukum yang logis untuk melakukan persatuan terhadap pertentangan-pertentangan yang terjadi antar individu untuk menemukan kebebasan absolut. Potensi akan adanya keinginan khusus individu yang terwujud dalam konflik, persaingan egoisme, dan lainnya dapat mengancam proses rasional masyarakat. Pada situasi inilah negara akan muncul untuk membatasi kebebasan “sempit” untuk menekan “perang individu melawan individu”.[2] Namun jika setiap individu memahami bahwa kebebasan sejati adalah didasarkan pada tuntunan rasional umum maka mereka akan menyadari pentingnya universalitas yang akan diwujudkan oleh negara.

Pemikiran filosofi Hegel dalam karya Philoshophy of Rights, konsep mengenai negara memainkan peran kunci. Negara menurut pandangan Hegel adalah landasan dari aturan dalam masyarakat, merupakan inkarnasi dari kebebasan dan jiwa tertinggi kolektif. Hegel cenderung ingin memisahkan peran negara sebagai realisasi kolektif dengan konsep masyarakat sipil yang

Page 4: Konsep masy sipil

direpresentasikan sebagai masyarakat yang terkonstruksi berdasarkan kepentingan diri (self interest). Dalam filsafat hegel, masyarakat sipil (civil society) memiliki peran penting dalam mewadahi kumpulan manusia sebagai individu yang terpisah. Individu dalam masyarakat sipil akan menghubungkan atau membentuk relasi dengan individu lain dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan. Dalam arti bahwa keterhubungan antar individu yang memanfaatkan individu lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Masyarakat sipil dalam tatanannya adalah bagian yang terpisah dari kepentingan publik. Negara bagi masyarakat sipil (civil society) adalah bagian terpisah yang akan menyelesaikan persoalan-persoalan publik termasuk ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Dengan kata lain, negara dalam kontrol universal akan mendamaikan kepentingan individual kedalam kepentingan umum.

 

Sejarah Masyarakat Sipil (Civil Society)

Civil Society / Burgerliche Gesellschaft (Bourgeois Society) merupakan konsep yang baru muncul dalam tatanan masyarakat kapitalisme. Konsep Masyarakat Sipil mengindikasikan keberadaan masyarakat beradab dengan kemapanan hukum dan institusi di satu sisi, dengan keterpisahan antara aktivitas ekonomi individu dari ranah politik disisi lain. Konsep ini mensyaratkan adanya kebebasan dalam persaingan dan hubungan ekonomi individu yang berpotensi bertentangan dengan kebebasan dan hubungan masyarakat yang lebih luas dalam negara, sehingga pada masa Monarki kerajaan, konsep Civil Society tidak relevan untuk berkembang pesat karena dunia perpolitikan tidak merepresentasikan kepentingan kolektif. Politik adalah merupakan hak prerogative pribadi raja sebagai penguasa Tunggal pemerintahan.[3]

Terbukanya jalur perdagangan antara Eropa dengan pasar Timur Tengah pasca Perang Salib I, membuat arus perdagangan eropa yang sempat mati suri– akibat terputusnya jalur pax Romana—kembali marak. Kota-kota warisan Romawi dibangun kembali untuk menyemarakkan lajunya arus industri dan perdagangan yang dibangun disepanjang perjalanan darat menuju laut tengah oleh para tukang dan pedagang yang perlu tempat usaha sekaligus tempat berlindung. Kota-kota baru yang dibangun ataupun yang direstorasi dikonstruksi berbentuk benteng yang bertujuan untuk menekan serangan gangguan dari luar. Yang termasuk dalam kota baru tersebut antara lain adalah Hamburg, Marburg, Edinburg, St.Petersburg, Luxemburg, yang penamaanya berdasarkan terminologi Burgus yang artinya Kota Benteng.[4]

Pembangunan kota benteng ini didasarkan pada perjanjian militer para tukang dan pedagang, yang diawasi utusan raja, untuk memakmurkan, melindungi dan mencari perlindungan dari kota benteng. Lahirlah hukum yang khusus mengatur tentang hak dan kewajiban warga kota benteng yang disebut Burgherecht. Seorang Burgher (sebutan untuk warga kota benteng) selain memiliki kios dan hak untuk melakukan perdagangan, juga memiliki wewenang untuk mengangkat senjata jika mendapatkan serangan.[5] Kebutuhan untuk mengundang laju perdagangan disatu sisi, dengan kewaspadaan untuk melindungi kota benteng di sisi lain, melahirkan strategi dari para Burgher untuk memanfaatkan lahan-lahan di tengah kota sebagai pusat perdagangan/ pasar, dimana aktivitas pertukaran barang hasil tani, maupun perdagangan antar kota benteng di lakukan.

Page 5: Konsep masy sipil

Aktivitas ini melahirkan kemakmuran yang mengalir deras kedalam kota-kota benteng. Warga kota benteng tidak lagi bergantung pada pasukan militer dari kerajaan (yang memberatkan mereka dengan pajak,dll). Kini warga benteng bisa mengongkosi pasukan militer sendiri yang jauh lebih profesional. Kesamaan kepentingan diantara kota benteng dalam bidang ekonomi maupun pertahanan melahirkan ikatan kuat berbentuk persekutuan ekonomi yang berkesadaran untuk menangkis serbuan dari bangsa manorial. Cikal bakal masyarakat sipil pun lahir, sebagai suatu konsepsi penyatuan masyarakat berdasarkan kepentingan yang bersifat individual.

 

Perdebatan Negara Rasional Hegelian Kiri Vs Hegelian Kanan

“Yang riil adalah rasional.” Siapa sangka ungkapan sederhana dari Wilhelm Fredrich Hegel ini menjadi awal dari perpecahan penganut Hegelian kedalam dua faksi. Negara prusia yang monarkis oleh para pengikut Hegel konservatis/Hegelian Tua dianggap sebagai sesuatu yang telah rasional dan ideal sebagai perwujudan roh absolut. Pendapat ini menoreh banyak kritikan dari kelompok pengikut hegel/hegelian muda yang saat itu mampu memberikan suatu kritik radikal terhadap pemahaman tersebut. Menurut para hegelian muda kekolotan negara Prussia merupakan perwujudan ideal yang belum selesai. Ide yang belum selesai ini maka tidak bisa dikatakan sebagai yang riil. Oleh karena itu untuk menemukan suatu eksistensi yang riil maka negara Prussia harus menjadi rasional terlebih dahulu dalam bentuk Demokrasi Parlementer yang dapat menjadi embrio bagi individu untuk menemukan kebebasan diri, intelejensia dan semangat rakyat.  

Para Hegelian Muda menganggap konsepsi, pemikiran maupun ide (dalam wujud Negara dan Tuhan) adalah merupakan produk dari kesadaran. Manusia adalah subyek yang otonom dan mandiri dengan eksistensi kesadaran yang mandiri pula. Fantasi pikiran (Negara dan Agama), interrelasi, keterbatasan manusia merupakan hasil dari kesadaran. Hegelian Muda mereduksi posisi manusia kedalam dalil moral (makhluk moral) melalui tranformasi kesadaran untuk mengatasi keterbatasan diri. Hal ini berarti bahwa tuntutan untuk merubah kesadaran manusia berdasarkan kesadaran untuk menginterpretasikan realita menurut keberagaman penafsiran.

Hegelian kiri menginginkan adanya transformasi kekuasaan monarkis yang absolut ke tangan kekuasaan demokrasi dalam bingkai persaudaraan yang universal. Semua manusia adalah spesies dengan kesatuan tujuan yang akan bergerak ke satu arah yang sama.[6] Bagi Kaum Hegelian Muda solusi bagi irasionalitas negara Prussia pada saat itu adalah transformasi sosial yang bergerak diatas keberagaman manusia sebagai bentuk keunikan universal yang hanya dapat tertampung dalam wadah yang menjunjung tinggi asas kebebasan.

 

Negara Hegel dan Lahirnya Pemerintahan Otoriter di Indonesia

Konsep Negara sebagai perwujudan jiwa suci yang menyatukan seluruh elemen dalamgerak utuh menuju tujuan final mengindikasikan adanya absolutisme kekuasaan negara. Konsep ini kemudian berkembang sebagai dalil lahirnya negera diatas tahta totalitarianisme. Sebut saja

Page 6: Konsep masy sipil

Adolf Hitler yang mengagungkan pemusnahan massal bangsa Yahudi kedalam paham Nasional Sosialisme ala Nazi. Model pemerintahan ini yang oleh Soepomo dianggap memiliki nilai ketimuran karena mendasarkan pada persatuan pimpinan dan rakyat kedalam prinsip persatuan negara secara organik.[7]

Indonesia pasca runtuhnya kekuasaan orde baru, muncul polemik terkait konsep negaraintegralistik ala soepomo yang dipandang telah berimplikasi bagi lahirnya negaraTotalitarian militer ala Soeharto. Negara integralistik adalah salah satu teori yang dilahirkan oleh pemikiran Soepomo tentang “persatuan masyarakat organis” yang mengutamakan “kepentingan seluruhnya bukan kepentingan perseorangan” yang banyak mengacu pada ajaran Hegel.[8] Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang tersusun secara integral. Masyarakat merupakan kesatuan organis yang tidak terpisah dan bergerak bersama kedalam satu tujuan tunggal yang hakiki. Dalam proses penemuan tujuan hakiki ini, pemimpin berperan sebagai kepala yang akan menuntun pergerakan dari unsur-unsur organis lainnya, sehingga tercipta keselarasan antara pimpinan dan rakyat. Ancaman terhadap ketidakseimbangan susunan organis harus dituntaskan oleh alat yang diciptakan oleh negara agar tidak menghambat perjalanan “suci” masyarakat dalam mewujudkan kepentingan bersama. Seluruh elemen masyarakat adalah kesatuan utuh, dimana keterpisahan dari salah satu elemen akan mengancam keseimbangan harmonisasi hidup.

Kritik terhadap pemerintahan orde baru, yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai manifestasi dari negara integralistik soepomo, melahirkan solusi perlu adanya reformasi sistem untuk memberikan kebebasan ruang publik bagi masyarakat. Franz Magnis Suseno misalnya, berpendapat bahwa kekuasaan tanpa batas yang dimiliki negara adalah penyebab dari krisis multidimensi yang dialami Indonesia. Beliau melihat konsep negara Integralistik telah diterapkan oleh pemerintahan ordebaru yang menutup mata pada demokrasi liberal dengan alasan paham tersebut terlalu mengedepankan individualis. Adnan Buyung Nasuition sendiri berpendapat bahwa perlu adanya dualismeantara negara dan Masyarakat. Sebab kalau tidak, masyarakat tidak akan menjadi entitas  yang bebas. Masyarakat akan cenderung selalu diatur dan berada dalam kontrol kekuasaan negara. Ini akan membuat negara bersifat totaliter dan anti demokrasi.

Polemik negara Integralistik ordebaru seolah-olah telah memindahkan panggung perdebatan Hegelian Kanan dan Hegelian Kiri ke Indonesia. Negara Integralistik yang identik dengan absolutisme Hegelian Kanan dan Persaudaraan Universal dalam bingkai reformasi ala Hegelian Kiri. Negara otoriter telah berhasil ditumbangkan, agenda reformasi menggaung sejak tahun 1998, lantas apakah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi sebaik teori yang dipaparkan oleh para penentang Negara Integralistik?

 

Kritik terhadap Konsep Negara dan Masyarakat Sipil

 Kritik Karl Marx terhadap Hegel sesungguhnya berangkat dari kritik terhadap pengagungan idealisme filsafat yang total. Marx cenderung ingin menghadapkan filsafat pada realita dunia, dengan menghubungkan antara filsafat dengan realita keterasingan sosial.[9] Dalam analisanya terhadap Philosophy of Rights, Marx berhasil menemukan relasi borjuasi yang berlandaskan

Page 7: Konsep masy sipil

pada perang antar individu dalam konsep masyarakat sipil yang dikemukakan oleh Hegel, sehingga menurut Marx kekurangan dari konsep negara Hegel tidak berasal dari ketidak sempurnaan bentuk negara tetapi berasal dari kenyataan bahwa bahkan negara yang paling sempurna sekalipun tidak akan mampu mewujudkan harapan Hegel karena adanya pemisahan dari Masyarakat Sipil. “Masyarakat sipil dan Negara adalah terasing dalam kehidupan manusia yang sejati”. Ini artinya bahwa marx berhasil mengungkap implikasi dari relasi borjuis dan keterlibatan relasi tersebut dalam menyembunyikan esensi kehidupan manusia.[10]

 “Masyarakat Sipil sebagaimana hanya dikembangkan oleh borjuis;organisasi sosial secara langsung mengembangkan produksi dan perdagangan, yang dalam setiap zaman membentuk dasar negara dan sisa suprastruktur…”[11]

 Marx lebih cenderung memandang titik persoalan keterasingan sosial pada relasi kelas yang berkembang dari negara sebagai perwujudan politik masyarakat sipil dengan anatomi dalam bentuk ekonomi politik. Akumulasi kekuasaan teritori yang melandasi kepentingan negara dan logika kekuasaan kapitalistik di balik konsep masyarakat sipil merupakan konsep kekuasaan yang lahir sebagai bentuk imperialisme ala kapitalisme. Perpaduan kontradiktif antara politik negara dan imperium serta proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu merupakan strategi baru untuk melancarkan dominasi di tengah ancaman krisis melalui ekspansi geografis dan reorganisasi spasial agar terjadi pergeseran temporal surplus kapital pada proyek jangka panjang suatu lokasi.[12] Kekuasaan negara dalam bayang liberalisme berperan penting terhadap pembukaan lahan baru bagi surplus kapital.

 Dengan demikian, Perdebatan yang berkutat seputar bentuk negara sesungguhnya adalah parsial karena tidak menyentuh akar persoalan masyarakat sesungguhnya, yaitu adanya hubungan asimetris dalam relasi kelas. Negara sesungguhnya adalah alat yang digunakan untuk mendamaikan pertentangan kelas yang tidak mungkin terdamaikan. Walaupun logika kekuasaan teritori dan logika kekuasaan kapitalis [13] tidak selalu sama dan cenderung bertentangan namun saling membutuhkan, sebagimana yang dipaparkan oleh Hannah Arendt “Suatu akumulasi hak milik yang tiada henti haruslah didasarkan pada suatu akumulasi kekuasaan yang tiada henti…proses akumulasi kapital yang tanpa batas membutuhkan struktur politik dari suatu kekuasaan yang sedemikian tak terbatas.”[14] ***

 

[1]  G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2007

[2]  Marx and Engels, The German Ideology part One, Student Edition, Trowbridge, Dotesios, 1970

[3] Ibid.

[4]  Dede Mulyanto, Kapitalisme : Perspektif Sosio-Historis, Bandung, Ultimus, 2010

[5] ibid.

[6] Marx and Engels, Opcit.

Page 8: Konsep masy sipil

[7] Supomo, Negara Integralis, dalam Herbert Feith & Lance Castles, (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970

[8] Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1994

[9] Cyril Smith, Kritik Marx terhadap Hegel, makalah untuk seminar hegel pada tanggal 18 Juni 1999

[10] ibid

[11] Marx and Engels, Opcit

[12] David Harvey, Imperialisme Baru, Jogjakarta, Resist Book, 2004

[13] Ibid.

[14] H. Arendt, Imperialism, New York, Harcourt Brace Janovich, 1968

 

*] Linda Sudiono merupakan penggemar kucing. Ia kebingungan karena kucingnya hilang. Sekarang tinggal di Yogyakarta sembari menunggu kekasihnya pulang.

Page 9: Konsep masy sipil

Pengertian Civil Society 11 Nov

Pengertian Civil Society

Oleh Cindy Kusuma Dewi

Bab I

Pendahuluan

 

1.1  Latar belakang

Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat selalu berkembang dalam perkembangannya ini dipengaruhi juga oleh beberapa aspek seperti halnya dalam bidang budaya, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang saling terikat dan mempengaruhi bagaimana perkembangan masyarakat tersebut . Masyarakat yang dapat mengerti dan memahami apa yang dibutuhkan oleh negaranya adalah masyarakat yang sangat diharapkan oleh negaranya . Dimana masyarakat tersebut dapat menjaga budayanya, dapat hidup secara mandiri, masyarakat yang didasari oleh kesetaraan dan juga tidak lepas dengan masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum yang ada selaras dengan bagaimana hidup dengan demokrasi. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk memperkenalkan lebih dalam seperti apakah masyarakat sipil atau masyarakat madani dalam kehidupan bernegara sehingga informasi serta pengetahuan tentang civil society ini dapat berkembang lebih cepat dalam masyarakat dengan begitu secara tidak langsung tujuan Negara Indonesia untuk dapat memiliki masyarakat yang aktif dalam proses perkembangan Negara dapat terwujud.

1.2  Rumusan masalah

1.2.1        Apakah pengertian konsep civil Society ?

1.2.2        Apakah landasan filosofis masyarakat sipil ?

1.2.3        Apakah Tujuan dibangun Civil Society ?

1.2.4        Apakah Realitas kehidupan civil society di Indonesia ?

1.2.5        Bagaimana cara penguatan Civil society ?

1.2.6        Apa sajakah Organisasi civil society ?

1.3  Tujuan

1.3.1        Memahami pengertian konsep civil society

Page 10: Konsep masy sipil

1.3.2        Memahami  landasan filosofis masyarakat sipil

1.3.3        Mengerti tujuan dibangun civil society

1.3.4        Memahami realitas kehidupan civil society di Indonesia

1.3.5        Mengerti bagaimana cara penguatan civil society

1.3.6        Mengenal dan mengetahui organisasi civil society

Bab II

Pembahasan

2.1 Pengertian Civil Society

            Civil Society mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih mudah memahaminya kita dapat menstransfernya dengan bahasa yang lebih ringan Civil Society juga dapat dipahami dengan arti masyarakat madani masyarakat madani adalah masyarakat sipil masyarakat yang tanggap dan juga beradab dan tentunya masyarakat yang memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun terjadi pertukaran budaya yang besar – besaran saat ini. Masyarakat madani adalah suatu konsep yang diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, dimana Kota Madinah ini telah mempunyanyi peradaban yang sudah sangat lama dan baik dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw yang hingga saat ini masih dinilai sebagai peradaban tertinggi. Dahulunya Madinah tersebut bernama asli Yasrib yang berada di wilayah Arab. Madani tersebut berate Kota (city state) sedangkan dalam bahasa Yunani disebut dengan Polis yang artinya juga sama yaitu kota. Civil Society merupakan satu cara untuk memahami relasi antara individu dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.

            Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato (1992) adalah Modern Civil Society is based on egalitarian principle and universal inclusion experience in articulating the political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy . Civil Society yang dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh kesetaraan dan selain itu juga masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum serta masyarakat yang didasari oleh demokrasi sehingga dapat membentuk masyarakat yang mandiri.

            Civil Society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup masyarakat Indonesia jika diubah ke Bahasa Indonesia artinyya adalah masyarakat sipil. Kebanyakan masyarakat pada umumnya mengertekaikan antara kata sipil dengan militer oleh karena itu kata tersebut masih terasa asing di lingkungan masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat madani , meski tidak semua memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun sudah tidak asing di telingan masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya memang tidak ada perbedaan antara Masyarakat madani , Civil Society dan masyarakat sipil tersebut.

Suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak diatas prinsip – prinsip egaliterisme-sederajat dan inklusivisme universal. Secara konkret, masyarakat sipil bisa terwujud bebagai organisasi

Page 11: Konsep masy sipil

yang berada di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan counter hegemoni yang sudang pasti dapat mempengaruhi kebijakan umum.

 

2.2 Landasan Filosofis Masyarakat Madani

      Di Negara bagian barat sedang menganut suatu faham yaitu faham rasionalitas. Lalu dengan adanya suatu pencerahan bahwa rasionalitas adalah instrument utamanya . Segala sesuatu yang berada di luar rasio atau jangkauan piker manusia dianggap menjadi suatu yang tidak relavan atau yang disebut dengan dikhotomi. Dengan adanya pemikiran yang seperti itu membuat masyarakat cenderung memandang sesuatu hanya berorientasi pada masyarakat modern serta lebih memandang proses sejarah secara tertutup dan menafikkan perlunya elemen diluar rasionalitas yang ada. Akhirnya mucullah suatu ketidakpuasan didalam hati masyarakat lali mereka berusaha untuk me-Recovery (menemukan) dan Recontruction (menyusun).Tetap berpegang teguh pada tradisi , agama, adat yang ada , tetapi tidak menolak sepenuhnya gagasan pencerahan yang tentunya akan membawa kedalam perubahan yang lebih baik .

Meskipun akar pemikiran dari masyarakat madanipada dasarnya dapat diruntut kebelakang zaman Aristoteles namun Ciecerolah yang mulai memperkenalkan penakaian istilah yaitu societas civilis dalam suatu filsafat politik . Societas Civilis yang merujuk pada gambaran mengenai masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan hukum yang tinggi dan dapat di salurkan melauli organisasi – organisasi ataupun lembaga lembaga yang ada sehingga dapat membantu pembentukan kebijakan umum yang akan dibentuk atau yang perlu direvisi untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.

Di benua Eropa , masyarakat madani muali diawali dengan menguatnya kekuatan kekuatan politik diluar raja ketika pihak kerajaan membutuhkan upeti yang lebih besar dari kelompok tuan tanah. Perkembangan masyarakat Madani secara besar – besaran mulai sejalan dengan proses formasi social dan perubahan – perubahan politik di Eropa sebagai akibat dari pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya waktu itu ikut mendorong tergusurnya rezim – rezim absolut . dan akhirnya Masyarakat borjuis Eropa untuk melepaskan diri dari dominasi Negara. Civil Society secara institusional diartikan Pengelompokan anggota – anggota masyarakat. Sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam suasana dan praktis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. (Henningsen Democracy : 14)

            2.3 Tujuan dibangunya Civil Society

a. Kemandirian individu sebagai warga negara

Kemandirian individu sebagai warga Negara yang dimaksutkan adalah individu individu yang bisa mengerti akan pentingnya peranan mereka dalam membatu perkembangan bangsa Indonesia . Hal kemandirian ini dapat di implementasikan kepada masyarakat yang taat dan patuh akan hukum serta dapat menyampaikan pendapat pendapatnya secara baik dan terarah untuk

Page 12: Konsep masy sipil

membantu pertimbangan kebijakan public yang akan di bentuk ataupun yang perlu di revisi uantuk kepentingan masyarakat luas.

b. Jaminan Hak Asasi Manusia

Sebagaimana yang telah tertulis dalam Undang Undang Dasar Negara Rebublik Indonesia bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan jaminan Hak Asasi Manusia tersebut, hal ini ditujukan agar warga Negara dapat dengan tenang melakukan segala aktivitasnya dan pastinya tidak mengganggu kepentingan orang lain.

c. Kebebasan bicara dan menyatakan pendapat

Civil Society yang memiliki tujuan untuk menjadi masyarakat yang patuh akan hukum dan juga memiliki prinsip demokrasi dan juga dapat mempengaruhi kebijakan umum hal tersebut diperlukan dengan adanya keberanian mengungkapkan pendapat, wadah wadah yang dapat menampung aspirasi atau pendapat masyarakat contonya seperti lembaga ataupun lembaga lembaga kemasyarakatan.

d. Keadilan yang merata

Keadilan merata bagi seluruh warga Negara baik dalam bidang hukum maupun pelayanan masyarkat lainnya .

e. Pembagian sumber daya ekonomi

Pembagian sumber daya ekonomi yang merata sehingga masyarakat dapat hidup lebih mandiri dan tidak selalu tergantung kepada pemerintah saja dan menunggu bantuan bantuan yang di berikan oleh pemerintah.

2.4 Realitas kehidupan civil society di Indonesia

Realitas kehidupan civil society di Indonesia sangatlah menarik ,dimana gerakan-gerakan kemasyarakatan tumbuh dengan subur, mengindikasikan rasa tidak cukup puas masyarakat sipil terhadap peran negara. Lembaga Swadaya Maysarakat (LSM) pun menjamur, yang mana fungsinya sebagai pengimbang negara dan kekuatan untuk memberdayakan masyarakat marginal. Fenomena ini perlu disambut dan dilihat secara positif dalam rangka berlomba-lomba untuk berbuat yang terbaik

            Dari gambar diatas dapat dijelaskan akan selalu ada nya keterkaitan antara Intitusi non-pemerintah , Ormas dan Media massa, Perorangan yang selaku sebagai masyarakat sipil akan mempengaruhi kebijakan kebijakan yang akan dputuskan oleh institusi Negara. Masyarakat sipil reflektif dan mengisyaratkan hingga ada wacana public  bahwa individu dalam yang setara dapat membuat transaksi wacana dan praksis politik (akses kegiatan publik )  ruang publik yang bebas media masa , tempat pertemuan umum , parlemen sekolah , organisasi masyarakat. Untuk dapat mengembangkan masyarakat madani di Indonesia perlu suatu landasan tumpu untuk penguatan Civil Society tersebut yaitu Pancasila, nilai – nilai sila pancasila yang fleksibel dan universal

Page 13: Konsep masy sipil

dalam percepatan perubahan sistem ekonomi , social , politik serta tetap berakar pada latar belakang kesejahterahan

       2.5 Strategi Penguatan Civil Society

       Strategi Penguatan Civil Society ini sangat penting karena kesadaran masyarakat akan pentingnya kepatuhan terhadap hukum , hidup mandiri dan berprinsip demokrasi dalam menyampakain pendapatnya dalam suatu wadah yang tepat yang ditujukan kepada kepentingan masarakat seluruhnya . Ada berbagai macam cara atau strategi dalam penguatan civil society  tersebut yaitu :

1. Melalui Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa Indonesia ini , melalui wadah wadah yang tepat seperti ORMAS dan LSM sehingga dapat membantu Institusi Negara dalam perumusan Kebijakan Umum. Wadah Wadah tersebut juga diharapkan mampu menampung semua aspirasi masyarakat Namun pastinya juga diperlukan kesadara pada setiap ORMAS dan LSM bahwa penyampaian kepada Institusi Negara harus dengan Aturan yang berlaku sehingga tidak mengganggu kepentingan masyarakat lain.

1. Hukum

Penguatan dengan cara hukum yaitu dengan kesadaran masyarakat akan kepatuhannya melaksanakan hukum yang sedang berlaku tersebut.

1. Gerakan Kultural

       Pemahaman nilai nilai yang terkandung pada Civil Society dapat diperoleh di sekolah, universitas, lembaga – lembaga swadaya masyarakat serta organisasi masyarakat .

Page 14: Konsep masy sipil

MASYARAKAT MADANI : DEFINISI DAN KONSEP

Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berbudaya, maju dan modern. Di dalamnya,

setiap warganya menyadari dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa dan

agama serta terhadap sesama, dan tentunya juga menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

            Masyarakat madani selalu menjadi tipe masyarakat yang didambakan oleh banyak orang, bahkan

oleh masyarakat di dunia. Tipe masyarakat ini adalah gambaran masyarakat yang diidealkan oleh Islam

dan pernah menjadi bagian dari sejarah Rasulullah saw ketika beliau memimpin negara Islam pertama di

Madinah.

Adanya istilah masyarakat madani pada prinsipnya bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad

Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai

sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita

membentuk yang madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pasca hijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik

dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup beragam, beliau kemudian melakukan beberapa

perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah melakukan perjanjian-perjanjian terkait solidaritas

untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara

berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam

saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.

Konsep-konsep solidaritas yang dibangun saat itu cukup berhasil membangun suatu masyarakat

yang pluralistik, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan yang ada, serta dapat memberikan iklim

kebebasan yang kondusif, untuk mengemukakan pendapat dan mengekspresikan sikap dan

pemikirannya serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”.

Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di

Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada

konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah

dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat

muslim modern.

Pada masa-masa sekarang ini, makna masyarakat lebih mengarah kepada masyarakat sipil atau

terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan

masyarakat. Cicero adalah orang barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam

filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis,

istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang

Page 15: Konsep masy sipil

ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan

monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).

Antara masyarakat madani dan civil society, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,

sedikit berbeda konteks walaupun sangat mirip secara substansi. Masyarakat madani adalah istilah yang

dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi islami. Menilik dari subtansi civil society lalu

membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas

pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus

perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan hasil

dari proses modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaissance (gerakan

masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan). Ini membuat konsep civil society sempat diindikasi

mempunyai aspek moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat

madani lahir dari dalam suatu proses agama. Dari alasan ini, masyarakat madani kemudian diidentifikasi

sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral

transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).

Masyarakat madani merupakan konsep yang sangat majemuk, memiliki banyak arti atau sering

diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil

society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate

(1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which

takes place outside of government and the market (suatu aktivitas sosial yang terbentuk secara sukarela

tanpa adanya intervensi pemerintah/pasar)” Merujuk pada Bahmueller (1997).

Di Indonesia, konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk

meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari

proses demokratisasi di Indonesia yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian

memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan

seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat

Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih

jelasnya, rasanya perlu ada analisa lebih jauh dan secara historis terkait kemunculan masyarakat madani

dan kemunculan istilah masyarakat sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam

membangun masyarakat bangsa Indonesia.

Dalam kutipan yang lain, masyarakat sipil diterjemahan dari istilah Inggris civil society yang

mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah

satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan

sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar

masyarakat Marxis (sekuler). Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri

Page 16: Konsep masy sipil

individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari

masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.

Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial

ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).

Seperti ahli sosiologi Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam

masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting

dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi.

Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua

partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang/militer saat itu), padahal dia

memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih

sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di

mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.

Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan

di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan

dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi

yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat

komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan

masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari

Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme

mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik

dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai

penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat

sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai

padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung mengacu kepada

konsep masyarakat menurut Ibnu Khaldun. Deskripsi beliau justru banyak mengandung muatan-muatan

moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.

Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani

merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat

sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas, seorang sosiolog sepakat dengan

Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham

masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din

(diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota

Yatsrib berubah menjadi Medinah bermakna disanalah agama berlaku (lih. Alatas, 2001:7).

Page 17: Konsep masy sipil

Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali.

Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah

masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa

menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen

usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan

waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

Page 18: Konsep masy sipil

Masyarakat sipil "Masyarakat sipil" adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah permasalahan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yg pertama kali menggunakan kata "societies civilis" dalam filsafat plitiknya konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Monteswye, JJ. Rousseau, John Locke dan Hobbes. Ketiga orang itu mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarki-absolur dan ortodoksi gereja. Substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independent (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen sekaligus hasil dari transformasi sosial. Sementara menurut Haynes, tekanan dari "masyarakat sipil" sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umummultipartai, demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional.

Selanjutnya diteliti dan ditelusuri sejarahnya dari asal usulnya civil society 

       Fase pertama, yaitu dijelaskan oleh Filsuf Yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat sipil sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat civil di luar dan penyeimbang lembaga negara, pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah kemunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan.

       Fase kedua pd tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana zivil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya ia lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang menyolok.

        Fase ketiga berbeda dengan pendahulunya pd tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai anitesis negara, bersandar pada paradigma ini, peran negara sdh saatnya dibatasi, negara tdk lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negara yg absah, menurut konsep ini adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.

Page 19: Konsep masy sipil

        Fase keempat wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M) Karl Max dan Antonio Gramsi  dlm pandangan ketiganya civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine. Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara, pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang tertumbuhannya ditandai oleh penjuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.

       Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis dengan Tocwueville bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. menurutnya kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.

Jadi civil society bukan pencapaian kekuasaan tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooperasi dari pihak penguasa.

   

Page 20: Konsep masy sipil

Strategi dan Taktik Gerakan   Sosial Posted on Mei 2, 2013 by Moderator

Oleh Asep Setiawan

 

Dalam politik, perbedaan antara strategi dan taktik tak dapat dipisahkan dengan tajam seperti halnya dalam perang. Dalam masyarakat dimana kebebasan berpendapat hadir, adalah hal biasa gerakan sosial mengalami konflik dengan pemerintah mengenai taktik dan bukannya strategi. Khususnya terjadi manakala gerakan sosial itu terlibat “aksi langsung” seperti sabotase, pemogokan umum, boikot, aksi “duduk”, teror dan aksi kekerasan. Atau bahkan dalam persiapan serius kudeta.

Perselisihan dalam sebuah gerakan sosial biasanya muncul dalam hal taktik. Misalnya masalah reformasi dan revolusi. Mereka bertikai bukan dalam soal strategi. Meskipun demikian ada perpecahan serius misalnya dalam strategi jangka panjang. Contoh, kontroversi Stalinist -Trotksyite. Bagi orang luar, sering sulit memutuskan apakah perubahan dalam kebijakan sebuah gerakan karena perubahan dalam tujuan akhir atau semata-mata manuver taktik.

Aksi langsung biasanya tidak demokratik karena menyangkal kalangan oposisi peluang untuk berdiskusi sebuah isu, sering dilakukan saat aksi politik yang sah gagal. Dalam situasi ekstrim, gerakan akan berpuncak pada revolusi keras.

Taktik dan strategi dalam gerakan soaial adalah saling tergantung dengan ideologi dan bentuk organisasi. Misalya, sebuah gerakan yang bertujuan revolusi perlu organisasi lebih otoritarian daripada organisasi yang percaya reformasi bertahap.

Pilihan akan taktik serta bentuk organisasi sebagian tergantung terhadap sistem politik dimana gerakan sosial itu beroperasi. Sebagian lagi tergantung besarnya gerakan sosial dan pengaruhnya terhadap sistem politik. Oleh karena itulah, taktik sebuah gerakan sosial mungkin berubah sejalan dengan pertumbuhan. Mungkin mereka kurang revolusioner saat gerakan itu mendapatkan banyak pengaruh atau mungkin menjadi lebih agresif manakala peluang untuk berhasil membesar.

Sebagian besar gerakan sosial beroperasi di masyarakat karena publisitas memberikan pengaruh dan menaikkan pendukung. Namun, kerahasiaan dilakukan saat situasi dimana hak-hak berkumpul, berdiskusi dan kebebasan beropini ditolak atau dimana anggota gerakan tertentu dilarang secara hukum dan diadili. Gerakan buruh pada tahap awalnya dipaksa untuk rahasia. Konsekuensinya, perpecahan gerakan yang besar menjadi banyak kelompok  atau kelompok yang kurang agresif.

Dalam dunia politik seperti halnya dalam militer dan bisnis, sukses muncul karena langkah inovator.  Berkuasanya dan prestasi politik luar negeri kekuatan Fasis dan Nazi sebagian karena fakta bahwa mereka tidak bermain bukan dalam kerangka aturan sedangkan lawannya baik di dalam maupun di luar negeri memperkirakan akan mentaati aturan.

Page 21: Konsep masy sipil

Hal yang sama dapat dikatakan dengan sedikit modifikasi, mengenai gerakan komunis: seringnya perubahan taktik cenderung membingungkan musuhnya. Mao Zedong berhasil karena ia menyimpang dari strategi ortodoks Leninis.

Revolusi radikal dan gerakan kontrarevolusi mampu melanggar “aturan main” karena anggotanya tiak dianggap pesaingnya sebagai bagian dari komunitas politik. Mereka mengkonsepkan  semua hal berbau  politik dalam pengertian hubungan sahabat-musuh., dimana tak ada aturan yang melarang. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan teror sebelum dan sesudah perebutan kekuasaan dan pradoks bahwa  orang-orang yang berniat menciptakan dunia yang lebih baik mampu mengorbankan jutaan manusia dalam prosesnya.

Page 22: Konsep masy sipil

GERAKAN SOSIAL PADA MASYARAKAT KONTEMPORER

Pendahuluan

Jaman kontemporer menampilkan banyak sekali fenomena-fenomena mutakhir.

Fenomena-fenomena tersebut menjadi trend yang hidup dalam masyarakat seiring

dengan perubahan-perubahan dan perkembangan dalam masyarakat dalam era

globalisasi dan high tekhnologi tersebut. Salah satu fenomen yang mucul dalam

masyarakat kontemporer adalah munculnya gerakan-gerakan social dalam masyarakat.

Tulisan ini akan mengkaji fenomen gerakan social ini dalam perspektif sosiologi

masyarakat kontemporer. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran

umum tentang pengertian gerakan social, selanjutnya gerakan social akan diteropong

dari pandangan beberapa teorisi. Bagian berkutnya mengenai gerakan social dan

modernitas dengan ciri-cirinya, dan diakhiri dengan suatu wacana tentang suatu

gerakan social yang baru.

1. Gerakan Sosial; Sebuah Panorama Umum

Pertanyaan utama bagian ini adalah : Apa persisnya gerakan social? Bagi

seorang Lorenz Von Stein, pada abad 19, gerakan social pertama-tama merupakan

suatu gerakan kelas pekerja. Perubahan social yang terjadi pada abad 20 serta

perkembangan dunia akademis telah mengakibatkan perubahan pluralisasi pengertian

yang terlepas dari kerangka historisnya. Gerakan social akhirnya digunakan untuk

menyebut beragam fenomena dan perilaku kolektif yang tidak terstruktur, mulai dari

praktek dan sekte agama sampai pada gerakan protes hingga berbagai revolusi yang

terorganisasi. Satu-satunya kesamaan atau titik temu dari macam-macam pengertian

tersebut adalah gerakan social merupakan kelompok-kelompok yang bersifat tidak

melembaga dari berbagai anggota masyarakat yang tidak terwakili yang bergerak

dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elit atau pihak oposisi. Riset

membuktikan bahwa gerakan social memiliki dua sumber utama dalam sejarah yaitu

dalam Revolusi Perancis dan Revolusi Industri serta munculnya gerakan social pada

akhir abad 19. Setelah menurunnya pengaruh anarkisme dan kekerasan dan

Page 23: Konsep masy sipil

munculnya bargaining kolektif terbentuklah gerakan-gerakan yang memerangi

anggapan bahwa gerakan social bersifat tidak rasional. Pengertian lain dapat diberikan

di sini. Gerakan social atau dalam bahasa Inggris social movement diartikan sebagai

aktivitas social berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang atau secara individu

dalam kelompok informal melalui wadah atau organisasi tertentu, yang berfokus pada

pada suatu isu social atau politik dengan cara melaksanakan atau menolak dan atau

mengkampanyekan sebuah perubahan social.

Jika kita melihat kebelakang, dalam sejarah manusia modern banyak ditemukan

gerakan-gerakan sipil. Misalnya Gerakan Buruh yang menandai masyarakat industry

pada abad 19 dan awal abad 20. Kemudian yang lebih baru pada tahun 1960-an

banyak negara di Barat mengalami gerakan social penting dalam bentuk gerakan hak-

hak sipil dan gerakan perdamaian. Sedangkan di Dunia Ketiga gerakan kemerdeaan

nasional bermunculan. Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an gerakan social

berkembang di seluruh Amerika Utara, dan Eropa dalam bentuk gerakan wanita untuk

memperjuangkan kesetaraan gender, gerakan ekologi, gerakan anti nuklir dan

perdamaian serta gerakan otonomi daerah. Di tempat lain muncul gerakan

fundamentalis yang menekankan kekhususan cultural. China pada tahun 1989

merasakan gerakan demokratisasi yang kemudian ditindas dan di Eropa Timur gerakan

rakyat menggulingkan rezim komunis. Banyak gerakan social menentang struktur

institusional, cara hidup dan pemikiran, norma dan moralitas. Dalam kenyataannya

gerakan social terkait erat dengan perubahan social dan beberapa ciri masyarakat

kontemporer adalah akibat dari aksi gerakan social ini.

Secara umum gerakan social terdiri dari gerakan reformasi dan gerakan radikal.

Gerakan reformasi dimaksudkan untuk mengubah norma, hukum atau paham tertentu.

Pada saat ini bentuk gerakan seperti ini misalnya gerakan serikat buruh dengan tujuan

untuk meningkatkan hak-hak pekerja, Gerakan Hijau yang memperjuangkan hukum-

hukum perlindungan terhadap alam atau ekologi, gerakan untuk mendukung atau

menolak hukuman mati dll (cfr. Gerakan reformasi di Indonesia). Sedangkan gerakan

radikal adalah gerakan yang dimaksudkan untuk merubah dengan segera suatu system

nilai dengan melakukan perubahan secara substansial dan mendasar. Contoh gerakan

Page 24: Konsep masy sipil

ini dalam perjalanan sejarah manusia dapat terlihat pada Perjuangan atau Gerakan

Hak-hak Sipil di Amerika yang menuntut persamaan hak-hak sipil bagi rakyat Amerika

secara penuh tanpa adanya pembedaan terutama ras. Contoh lain adalah Gerakan

Solidaritas di Polandia oleh kaum buruh, atau yang paling sensasional misalnya

Perjuangan Penghapusan politik Apartheid dibawah pimpinan Nelson Mandela di Afrika

Selatan.

Gerakan social bisa dengan atau tanpa kekerasan. Yang tanpa kekerasan

misalnya seperti yang terjadi di Amerika dan Polandia. Sedangkan yang dengan

kekerasan misalnya Gerakan Sipil yang didukung oleh Tentara Pembebasan Nasional

Zapatista di Kolumbia. Selain itu focus atau target dari gerakan sosial juga bisa terarah

pada pribadi atau pada kelompok (umumnya pihak yang sedang berkuasa). Jika

gerakan diarahkan pada kelompok maka biasanya bertujuan untuk menganjurkan

perubahan sistem politik, namun jika gerakan itu diarahkan pada pribadi maka

dimaksudkan untuk mempengaruhi cara berpikir atau keputusan-keputusan mengenai

suatu permasalahan yang berhubungan dengan hajat hidup bersama.

2. Gerakan Sosial dalam Perpektif Beberapa Teori Sosiologis

Pertama, Marxisme. Teori Marx menegaskan bahwa dimasyakat industry,

gerakan social dan revolusi berasal dari kontradiksi structural utama antara capital dan

buruh. Merka adalah actor-aktor utama dalam konflik social ini. Ketidakpuasan yang

dialami oleh kaum buruh inilah yang akhirnya memunculkan gerakan social yang

bertujuan memperjangkan nasib mereka.

Kedua, Interaksionisme. Simmel (1908), memahami konflik sebagai sebuah

proses interaksi. Pada tahun 1920an, Mashab Chicago melalui teori interaksionalisme

simbolik juga mengadopsi pemikiran Simmel ini untuk mempelajari tentang perilaku

kolektif dan gerakan social. Berdasarkan asumsi bahwa individu dan kelompok orang

bertindak berdasarkan espektasi bersama dan bahwa gerakan social muncul dari suatu

situasi yang tak terstruktur atau “chaos”. Suatu situasi dimana hanya ada sedikit

pedoman cultural bersama atau pedoman itu berantakan dan harus didefinisikan

Page 25: Konsep masy sipil

kembali. Menurut teori ini, gerakan social adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi

situasi social tersebut. Jadi gerakan social adalah “usaha kolektif untuk menciptakan

tatanan kehidpan yang baru (Blummer, 1939).

Ketiga, fungsionalisme structural. Ada tiga varian dalam model gerakan social

menurut teori fungsionalis structural. Pertama, teori masyarakat massa. Teori ini

mempostulatkan individu sebagai yang teratomisasi (Kornhauser, 1959), Karena

tercabut dari akarnya akibat perubahan social yang cepat, urbanisasi dan hilangnya

ikatan tradisional, terisolasi dari relasi kelompok dan kelompok normative, maka

individu didalam masyarakat massa bebas dan cenderung berpartisipasi dalam jenis

kelompok baru seperti gerakan social. Kedua, teori tekanan sturktural. Teori ini

memandang bahwa penyebab utama kemunculan gerakan social adalah terganggunya

keseimbangan dari system social (Smelser, 1962). Nonkorespondensi antara nilai-nilai

yang dianut dengan praktek masyarakat actual, tertutupnya fungsi institusional, elemen

disfungsional yang mengganggu kelangsungan system, semuanya merupakan hal-hal

yang dapat mengganggu keseimbangan system social, memicu ketegangan structural

dan kemudian memacu gerakan social. Ketiga, teori deprivasi relative. Teori ini

merupakan salah satu “turunan” psikologi social dari teori tekanan. Tekanan ini bukan

diakibatkan oleh diskrepansi structural tetapi berasal dari perasaan subyektif: yaitu

ketika orang merasa gagal menggapai harapannya. Kebutuhan yang terpenuhi tidak

sesuai dengan yang diharapkan. Perbaikan kondisi ekonomi dan politik yang

membesarkan harapan dalam kelompok, akan mudah memunculkan gerakan social

apabila realitas tampak tidak sesuai dengan harapan. Ketidakpuasan dan frustrasi akan

bermunculan. Inilah yang menyebabkan gerakan social.

Keempat, Neo-utilitarian. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa gerakan social

berkembang dari aktivitas organisasional apabila mereka berhasil memobilisasi sumber

daya material dan simbolis seperti uang, waktu dan legitimasi. Gerakan social

dijelaskan dalam term kesempatan, strategi, mode komunikasi dan kompetisi dengan

kelompok dan otoritas yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan.

Page 26: Konsep masy sipil

3. Gerakan Sosial dan Modernitas

Secara historis gerakan sosial adalah fenomena universal. Rakyat di seluruh

masyarakat manusia tentu mempunyai alasan untuk bergabung dan berjuang untuk

mencapai tujuan kolektif mereka dan menentang orang yang menghalangi mereka

mencapai tujuan itu, sebagaimana telah dijelaskan pada awal pembahasan ini. Strategi

dan taktik gerakan di semua zaman itu telah berkembang, namun kebanyakan

pengamat sependapat bahwa hanya dalam masyarakat modernlah "era gerakan sosial

benar-benar dimulai". Hanya di abad 19 dan 20 gerakan sosial telah menjadi begitu

banyak, besar, penting dan besar akibatnya terhadap jalannya perubahan. Pengamat

kontemporer menyatakan ”Masyarakat yang sangat modern cenderung menjadi

masyarakat gerakan" (Neidhardt & Rucht, 1991)

Gerakan sosial adalah bagian sentral modernitas. Gerakan sosial menentukan

ciri-ciri politik modern dan masyarakat modern. Gerakan sosial berkaitan erat

dengan perubahan struktural mendasar yang telah terkenal sebagai modernisasi yang

menjalar ke bidang "sistem" dan kehidupan dunia.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan gerakan sosial di zaman modern lebih menonjol dan lebih signifikan. Alasan ini didasarkan pada pandangan para pakar klasik abad 19 tentang ciri modernitas sebagai berikut

a. Alasan pertama disebut "Tema Durkheim". Kecenderungan kepadatan penduduk di

kawasan sempit terjadi bersamaan dengan urbanisasi dan industrialisasi dan

menghasilkan kepadatan moral penduduk yang besar. Kepadatan ini membuka

peluang lebih baik untuk mengadakan kontak dan interaksi untuk mengembangkan

kesamaan, pandangan, ideologi bersama. Singkatnya, peluang mobilisasi dan

gerakan sosial sangat meningkat.

b. Gambaran modernitas lain adalah yang disebut "Tema Tonnies", yakni atomisasi dan

isolasi individu dalam Gesellschaft yang bersifat impersonal. Riesman menyebutnya

"kerumunan yang kesepian". Keterasingan, kesepian, dan penjungkirbalikan nilai

menimbulkan idaman terhadap komunitas, solidaritas, dan kebersamaan. Keanggotaan

gerakan sosial menyediakan pengganti yang memuaskan bagi kebutuhan manusia yang

universal itu.

Page 27: Konsep masy sipil

c. Tema Marxian. Peningkatan ketimpangan sosial yang belum pernah terjadi

sebelumnya, dengan perbedaan kekayaan, kekuasaan, dan preiII yang sangat tajam ini

menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, dan

perampasan hak yang menggerakan permusuhan dan konflik kelompok. Orang

yang kepentingan tersembunyinya terancam, siap untuk bertempur melawan orang

yang membahayakan mereka. Ketimpangan struktural yang merangsang timbulnya

gerakan sosial tampak lebih nyata ketimbang yang pernah ada sebelumnya.

d. Tema Weberian. Transformasi demokratis sistem politik membuka peluang bagi

tindakan kolektif massa rakyat. Pengungkapan perbedaan pendapat, artikulasi

kepentingan tersembunyi dan kegiatan mempertahankannya menjadi hak yang syah

dan tanggungjawab selaku warga negara makin diharapkan. Peluang kemunculan

gerakan sosial berkadar politik akan berubah secara radikal.

e. Gambaran yang disebut Tema Comte dan Saint Simon. Mereka menekankan

modernitas pada penaklukan, kontrol, dominasi, dan manipulasi realitas: mula-

mula terhadap realitas alam dan akhirnya juga terhadap realitas masyarakat

manusia. Keyakinan bahwa perubahan sosial dan kemajuan tergantung pada tindakan

manusia, bahwa masyarakat dapat dibentuk oleh anggotanya untuk keuntungan

mereka sendiri, merupakan syarat ideologis penting untuk aktif dan untuk mobilisasi

dan gerakan sosial.

f.

Masyarakat modern mengalami peningkatan pendidikan dan mempunyai kultur umum. Partisipasi dalam gerakan sosial membutuhkan kesadaran, imajinasi, kepekaan moral, dan perhatian terhadap masalah publik dalam derajat tertentu serta kemampuan menggeneralisirnya dari pengalaman pribadi dan lokal. Kesemuanya ini berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan. Revolusi pendidikan yang menyertai penyebaran kapitalisme dan demokrasi, memperluas tumpukan potensi anggota gerakan sosial.

g. Kemunculan dan penyebaran media massa. Media massa merupakan instrumen yang

sangat kuat untuk mengartikulasikan, membentuk, dan menyatukan keyakinan,

merumuskan dan menyebarkan pesan ideologis, serta membentuk pendapat umum.

Media massa memperluas cakrawala pandangan rakyat melampaui dunia pribadi mereka

Page 28: Konsep masy sipil

menuju pengalaman kelompok, kelas, dan bangsa lain yang herjauhan letak

geografisnya. Ini menimbulkan dua akibat: pertama, Keterbukaan cakrawala ini

menciptakan "efek demonstrasi" penting yakni peluang untuk membandingkan

kehidupan masyarakat sendiri dan kehidupan masyarakat lain. Kesan ketidakadilan

yang merugikan yang disertai perasaan "terampas” menyediakan latar belakang

psikologis yang kondusif bagi gerakan sosial. Kedua, melalui media massa orang juga

belajar mengenai keyakinan, sikap, dan keluhan politik orang lain. Ini me-

mungkinkannya untuk menaksir tingkat keburukan keadaan bersama, untuk

mengakhiri "kedunguan" atau kekeliruan bersama, menghilangkan keyakinan bahwa is

sendiri yang merasa tak senang dan sengsara. Media massa pun membangkitkan

solidaritas, loyalitas, dan konsensus yang berkembang melampaui lingkaran sosial

yang ada sebelumnya. Perasaan adanya masalah bersama dan solidaritas yang

melampaui batas lokal ini merupakan syarat sosio-psikologis lainnya untuk kemunculan

gerakan sosial. ketidakpuasan. Apakah gerakan sosial mampu melakukan hal ini

nantinya akan bergantung pada kapasitas organisasionalnya.

4. Gerakan Sosial Baru di Era Modernisasi?

Beberapa teoretisi sosial menggunakan istilah "gerakan sosial baru" untuk

menyebut variasi besar dari gerakan-gerakan sosial sepanjang 1970-an dan awal

1980-an di Barat. Secara umum, gerakan-gerakan ini membentuk jaringan kontestasi

dan gaya hidup alternatif, tetapi mereka juga memasuki politik resmi misalnya

Green Movement.

Apa yang membuat gerakan sosial ini baru? Kebanyakan ahli memandangnya

dalam term perilaku kolektif konfliktual yang membuka ruang kultural dan sosial

baru. Gerakan sosial baru dilihat sebagai institusi masyarakat sipil yang dipolitisasi,

dan karenanya mendefinisikan ulang batas-batas politik institusional (Claus Offe);

sebagai cara baru memahami dunia dan menentang aturan kultural dominan

berdasarkan alasan simbolik (Alberto Melucci); sebagai penciptaan identitas baru

yang berisikan tuntutan yang tak bisa dinegosiasikan (Jean L. Cohen); sebagai

ekspresi proses pembelajaran kolektif revolusioner (Klaus Eder); sebagai artikulasi

sosial baru yang mengkristalisasikan pengalaman dan persoalan baru yang

Page 29: Konsep masy sipil

dialami dan dihadapi bersama, sebagai akibat dari disintegrasi umum pengalaman

berbasis kelas ekonomi (Ulrich Beck). Arti penting yang diberikan oleh semua

rumusan di atas kepada gerakan sosial baru adalah bahwa gerakan sosial itu

mendapatkan kesadaran baru akan kapasitasnya untuk memproduksi makna baru

dan bentuk kehidupan dan tindakan sosial yang baru. Penjelasan sistemaris

mengenai reflektivitas gerakan sosial ini dapat dijumpai dalam paradigma

rasionalitas komunikasi. Proses rasionalisasi komunikasional dalam kehidupan

dunia di sini dianggap sebagai ciri menonjol dari modernitas, yang paralel dengan

proses rasionalisasi sistemik (Habermas, 1981). Didalam kerangka teoritis, gerakan

sosial diletakkan dalam dua perspektif. Sehapi ekspresi rasionalisasi komunikasional,

gerakan sosial baru mempertanyakan validitas pola kehidupan dunia yang sudah ada,

seperti norma dan legitimasi, dan kemudian memperluas ruang publik. Pada saat yang

sama, sebagai gerakan defensif, gerakan sosial baru menentang gangguan patologis

terhadap kehidupan dunia, yang dikolonisasikan berdasarkan mekanisme politik dan

ekonomi sistemik yang membatalkan proses komunikasi.

Dalam perspektif sosiologi tindakan, pandangan-pandangan yang kompleks dan men-

dalam tentang gerakan sosial bertujuan mengintegrasikan berbagai macam pendekatan

menjadi representasi umum demi memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik

(Touraine, 1973). Menurutnya, pusat dari kehidupan sosial adalah perjuangan permanen

dalam menggunakan teknologi baru dan kontrol sosial atas kapasitas masyarakat itu

sendiri. Karena alasan ini, gerakan sosial, yang dipandang sebagai agen konflik,

merupakan perhatian utama bagi ilmuwan sosial.

Penutup

Pembahasan ini hendak menegaskan tentang kompleksitas permasalahan dalam

masyarakat kontemporer ini. Salah satunya adalah dengan munculnya berbagai

macam gerakan social. Pembahasan tema-tema gerakan social akan dibahas dalam

diskusi selanjutnya.

@@@@@@@@@@@

Page 30: Konsep masy sipil

Daftar Pustaka

Scott, A., Ideology and the New Social Movements. Blacwell Piblishing, 1990.

William Outwaite (ed), Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana, 2008.

Adam Kuper and Jesica Kuper (eds)., The Social Sciences Encyclopedia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996.

Sztompka Piotr. , Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada, 2008

George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2008.

Robert H. Lauer., Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Margaret M. Poloma., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Grafindo, 2007.

Page 31: Konsep masy sipil

arak antara realitas dan representasinya telah menjadi kabur di tengah masyarakat saat ini. Proses-proses sosial hanya terjadi pada tingkat simbolik. Akan tetapi, gerakan kontemporer seperti Pencerahan Gülen menyingkirkan bentuk perwakilan dan kodifikasi utama itu. Mereka berjuang bukan untuk institusi tetapi melawan penerapan simbol dan kekhasannya dalam mengatur hubungannya dengan dunia. Mereka memperlihatkan ketidak-sewenang-wenangan kekuasaan dan dominasi-nya. Mereka berupaya untuk mendapatkan kembali hak atau kapasitas untuk mendefinisikan kembali realitas. Mereka memperkenalkan praktik sosial yang bukan sepenuhnya objek pemikiran, gagasan di kepala, tetapi sebenarnya dapat dihidupkan di tingkat akar rumput. Mereka merekomposisi berbagai bagian dalam dirinya. Mereka mengorientasikan strategi mereka ke arah pencarian dimensi kemanusiaan yang hilang. Mereka mengembangkan model budaya yang otonom dan tidak biasa atau bentuk tindakan yang tidak diatur hanya oleh kalkulasi untung rugi kepentingan diri. Dan mereka menekankan dimensi spiritual pengalaman manusia. Hal-hal tersebut di atas membuat sebuah analisis kontemporer atas dimensi ideologis dari tindakan kolektif ini menjadi lebih sulit.

Partisipasi dan kontribusi Pencerahan Gülen di dalam proyek-proyek sosial memiliki pengertian yang berbeda untuk masyarakat yang berbeda di Turki. Di mata mereka yang melihat Pencerahan Gülen dengan penuh penghargaan, Pencerahan Gülen mengakui bahwa organisasi ini masuk ke dalam sistem dan mengidentikkan dirinya dengan kepentingan umum masyarakat Turki secara kese-luruhan. Mereka bertindak secara legal dan menurut aturan hukum di dalam batasan yang ditentukan oleh sistem untuk mencapai tujuan bersama secara kolektif. Akan tetapi, bagi yang lainnya, partisipasi dan kontribusi ini adalah klaim perpindahan dari kepentingan khusus di dalam sebuah konteks kompetitif. Tujuannya adalah untuk menyebarkan pengaruh atas distribusi kekuasaan untuk manfaat bagi ’orang lain’ di dalam masyarakat Turki—dan bukan berpijak pada fakta bahwa budaya kolektif dan layanan altruistik berbeda dari partisipasi politik.

Peranan sistem politik di Turki berbeda menurut kasusnya. Hal ini secara khusus tidak sama dengan kasus yang telah dikaji di Eropa Barat atau Amerika Utara. Faktor-faktor kejadian di Turki sangat berbeda dari masyarakat Barat tersebut. Dalam hal ini teori-teori gerakan sosial klasik timbul di tengah teori-teori gerakan sosial kontemporer yang terus berkembang. Misalnya, perkembangan demokrasi liberal di Turki secara sukarela terhambat beberapa kali karena tindakan kelompok kepentingan tertentu. Sejarah budaya Turki adalah sebuah faktor kejadian yang membedakan konteks Pencerahan Gülen dari konteks gerakan sosial sebagaimana yang dianalisis oleh para ahli teori gerakan sosial lainnya.

Salah satu implikasi Gerakan Sosial adalah politik partai di Turki tidak dapat memberikan ekspresi yang memadai untuk tuntutan kolektif karena partai politik digunakan untuk mewakili kepentingan yang diasumsikan tetap stabil dengan basis yang berbeda secara geografis, okupasional, sosial atau ideologis. Otonomi harus diperbarui untuk masyarakat sipil, bukan dengan menjatuhkannya ke dalam dimensi politik tetapi dengan turut menyelesaikan masalah-masalah sosial.

Kendati demikian, budaya kelompok kepentingan khusus seperti peristiwa 28 Februari 1997 dan prosesnya memperlihatkan bukti kurangnya persiapan untuk mengambil tugas ini. Mereka telah berupaya mereduksi segala sesuatu yang dibuat di dalam masyarakat sipil secara politis,

Page 32: Konsep masy sipil

ancaman atau manipulasi. Implikasi lain, signifikan untuk teori gerakan sosial adalah keadaan spesifik untuk Turki selama tiga puluh tahun terakhir tidak dapat menganalisis mengapa gerakan sosial di Turki ini tidak dapat dijelaskan melalui teori-teori umum yang telah berlaku.

Segala cara bentuk permusuhan yang digunakan oleh kelom-pok radikal dan militan di Turki termasuk elite proteksionis, dapat secara persuasif dijelaskan dengan menggunakan teori-teori gerakan sosial kontemporer. Ideologi dan aplikasi kelompok proteksionis ini mendukung sikap autoritarian, mengawasi terhadap publik dan kebijakan intervensionis dalam kaitan dengan agama, demokrasi partisipatorik, dan kehidupan ekonomi. Perkembangan di tingkat domestik dan internasional tidak banyak memengaruhi peranan dan kepemimpinan mereka. Ada sedikit pengakuan pada pihak mereka bahwa ada beragam model organisasi sosial yang dapat berfungsi sebagai sebuah platform untuk identitas, masyarakat, kepentingan Turki khususnya dan untuk masyarakat internasional dan kemanusiaan pada umumnya. Karena mereka menarik sekumpulan nilai materialistik dan politisasi atau bingkai dari berbagai teori gerakan sosial sekarang ini, maka tindakan mereka dapat dengan berhasil dijelaskan melalui berbagai teori ini.

Seperti para ahli teori gerakan sosial kontemporer, kelompok-kelompok ini juga tidak mengetahui bahwa motivasi internal sesungguhnya memengaruhi tindakan atau perilaku masyarakat atau mereka tidak mengetahui cakupan motivasi internal tersebut. Selain itu, mereka tidak mengaitkan seluruh motivasi bagi individu dan gerakan sosial dengan faktor-faktor eksternal terhadap substruktur kondisi politik atau ekonomi.

Kebalikan dengan elite proteksionis, kelompok radikal, dan militan, Pencerahan Gülen membuktikan dirinya berhasil dalam memobilisasi energi yang tidak aktif, tertidur tetapi inovatif yang ada di masyarakat Turki dan lainnya. Para partisipan telah membentuk sebagian besar organisasi yang beroperasi lintas batas ekonomi, politik dan budaya dan melibatkan berbagai anggota masyarakat di dalam waktu yang sangat singkat pada wilayah yang luas untuk mencapai keberhasilan proyek-proyek bersama. Berbeda dengan elite proteksionis, Pencerahan Gülen telah menunjukkan bahwa organisasi ini dapat mengendalikan tekanan dan meng-hindari ketegangan di dalam komunitas yang terfragmentasi. Hal ini menyirkulasi dan mendifusi gagasan, informasi, pola tindakan baru dan budaya. Hal ini telah mentransformasi potensi untuk kohesi di dalam sistem politik ke dalam upaya untuk menghasilkan berbagai layanan yang bermanfaat. Gerakan ini tidak pernah menunjukkan proses pembelajaran ke arah kekerasan maupun bentuk provokasi yang dijadikan cara oleh organisasi.

Meskipun seluruh kontramobilisasi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan di Turki, Pencerahan Gülen tidak mengem-bangkan aspirasi tertentu untuk tumbuh menjadi sebuah gerakan yang berkonflik, sebuah partai politik atau berupaya mencari kekuasaan politik. Sebaliknya, Gülen tetap sepenuhnya di dalam tradisi Sufi utama untuk menangani kebutuhan spiritual masyarakat mendidik mereka dan memberikan stabilitas pada masa-masa susah. Dia seperti yang kita lihat telah dituduh secara tersembunyi berkonspirasi untuk mendapatkan kekuasaan politik atau merusak status quo. Tetapi berbagai tuduhan itu telah terbukti salah dan rekayasa semata. Sebagian besar publik Turki tetap menganggap Gülen sebagai seorang ulama Islam yang moderat dan tidak subversif atau melakukan tindakan konspirasi.

Page 33: Konsep masy sipil

Pencerahan Gülen bukan sebuah perjuangan atau mobilisasi untuk produksi, pemberian dan alokasi sumber daya dasar kepada masyarakat. Gerakan Gülen bukan bersifat materialistik, antagonistik atau berkonflik. Pencerahan Gülen bermaksud untuk membawa perubahan di dalam diri seseorang, di dalam cara berpikir, sikap, dan perilaku mereka. Pencerahan Gülen mengajarkan berbagai individu untuk menggunakan hak-haknya secara konstitusional agar dapat memberikan kontribusi dan melayani masyarakat secara positif. Oleh karena itu, Pencerahan Gülen adalah sebuah bentuk altruisme sosial kolektif, terarah, tidak berkonflik, apolitik, dan terorganisasi yang muncul dari masyarakat sipil yang tetap di dalam batas-batas bidang perhatian dan tindakan mereka.

Pencerahan Gülen meyakinkan sebuah peranan yang tidak totaliter sebagai mediator tuntutan. Gerakan ini mengundang pengertian yang memungkinkan masyarakat untuk mengambil tanggung jawab untuk tindakan mereka sendiri di dalam batas-batas hukum yang berlaku. Gerakan ini membantu menciptakan ruang publik bersama yang di dalamnya terdapat sebuah kesepakatan yang akan dicapai melalui pembagian tanggung jawab untuk bidang sosial di luar kepentingan partai ataupun jabatan. Gerakan ini menciptakan keterbukaan di dalam sistem dan energi inovatif yang menghasilkan SMO baru. Gerakan ini menciptakan elite-elite baru yang mampu mengatasi situasi sulit (yang sebelumnya diabaikan), dan hal ini memberikan pencerahan pada wilayah masalah-masalah kompleks di dalam sebuah sistem. Sebuah aktor kolektif dengan watak dan kualitas ini sangatlah diperlukan untuk pengembangan demokrasi dan masyarakat yang terbuka di Turki.

Partisipasi dan kontribusi Pencerahan Gülen di dalam berbagai proyek sosial menegaskan komitmen keterlibatannya dengan mendahulukan kepentingan umum di masyarakat. Melalui aktivitas yang legal dan sah di dalam batas-batas yang disepakati oleh Sistem untuk mencapai berbagai tujuan kolektif, serta tidak berupaya memperluas pengaruh politik agar mendapat manfaat dari ’orang lain’ dalam masyarakat Turki atau lainnya.

Hal ini memiliki dua hasil utama pada tingkat analisis yang berbeda. Pertama, memberikan manfaat untuk proses modernisasi sistem politik, konsolidasi masyarakat sipil dan demokrasi pluralistik dan reformasi institusional di Turki. Kedua, hal ini menjelaskan kerangka kerja konseptual sebelumnya di dalam berbagai kajian gerakan sosial tidaklah memadai dan memperlihatkan kekurangan pendekatan kategorikal dan bias terhadap masyarakat yang terinspirasi oleh kepercayaan ataupun umat Muslim mainstraim dan Islam budaya yang damai.

Pencerahan Gülen memperlihatkan adanya definisi dan dimensi lain dari pengalaman manusia yang mengajak masyarakat memperhatikan tanggung jawabnya. Hal ini sebuah tantangan simbolik terhadap organisasi proteksionis di Turki. Melalui dimensi yang ditawarkannya, Pencerahan Gülen mengembangkan model rasionalitas sosial baru. Para partisipan memberikan masyarakat dengan hadiah budaya melalui tindakan mereka. Hal ini peduli dengan simbol-simbol budaya bukan konfrontasi dan konflik. Hal ini memungkinkan adanya penyesuaian kembali atas berbagai bentuk peranan di dalam kerja layanan bagi identitas Pencerahan Gülen yang menekankan keberhasilan mereka dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Sentralitas sosial dari aktor kolektifnya, peranan otonom dalam mendefinisikan kebutuhan personal, hubungan mediasi yang terus- menerus antara kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan individu, keluarga dan masyarakat merupakan pengalaman sehari-hari mereka. Melalui

Page 34: Konsep masy sipil

kegiatannya sebuah isyarat nyata membahas berbagai masalah sosial dan individu. Oleh karena itu, wataknya muncul sebagai sebuah tantangan simbolik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Pencerahan Gülen secara progresif memodernisasi budaya dan organisasinya. Mereka telah meningkatkan profesional baru yang berkualitas agar dapat memberikan berbagai layanan. Mereka juga menerapkan rasionalitas melalui netralitas keahlian teknis yang dapat diterima. Hasilnya mereka telah menyosialisasikan dan mentransmisi-kan berbagai nilai dan ketentuan untuk pengem-bangan keterampilan personal. Dengan menggeneralisasi dan mengakumulasi berbagai hasil tindakan mereka, jaringan layanan dan SMO telah menghasilkan interaksi dan memediasi berbagai institusi. Partisipasi dan jaringan layanan ini mencermati berbagai keterbatasannya sendiri dan hal ini membuatnya bersifat reflektif. Pencerahan Gülen berhasil karena sebagai sebuah gerakan murni yang telah menentukan model original dan contoh serta membangun berbagai institusi yang berhasil untuk aktor sosial lainnya agar dapat berkembang.

Sebagai sebuah gerakan kontemporer, modus operandi Pen-cerahan Gülen adalah meramu pengertian baru untuk tindakan sosial dan berfungsi sebagai mesin utama inovasi dan transformasi damai melalui pendidikan, interaksi, dan kerja sama. Bagi para partisipan Pencerahan Gülen, dimensi yang bermusuhan atau politik seperti yang dijelaskan oleh para ahli tindakan kolektif kontemporer dan teori gerakan sosial acapkali tidak mewakili apa-apa selain residu/sampah.

Oleh karena itu, membaca orientasi politik (atau motivasi) dari gerakan sosial harus melakukan penyesuaian atau memperluas perspektifnya apabila akan menganalisis berbagai gerakan seperti Pencerahan Gülen secara berhasil guna. Membatasi analisis terhadap dimensi politik semata dari fenomena yang diamati (seperti pertikaian dengan pihak otoritas) berarti tunduk kepada reduksionisme. Reduksionisme ini mengabaikan dimensi sosio-budaya secara khas dari sebuah tindakan kolektif dan terutama fokus pada karakteristik yang siap diukur dengan visibilitas yang tinggi.

Di bawah tindakan layanan Pencerahan Gülen, masyarakat telah diinspirasi oleh kepercayaan yang melandasi berbagai proyek dan layanan pendidikan altruistik, sumber daya, adanya asal usul, konsekuensi, implikasi praksis, ideasional, dan sosial yang digagas oleh Gülen. Dengan demikian sangat berbeda dari gerakan yang sebelumnya dieksplorasi di dalam teori gerakan sosial. Secara khusus, layanan altruistik menekankan dimensi lain dan memberikan sebuah karakter khusus terhadap Pencerahan Gülen. Dimensi altruisme tersebut di dalam gerakan sosial pada saat ini kurang dimainkan, ditolak atau hanya dijelaskan sepintas di dalam teori gerakan sosial. Kedudukan altruisme sebagai sebuah faktor internal di dalam gerakan sosial harus diakui di masa depan sebagai kriteria atau perangkat analisis.

Teori-teori dan para ahli teori gerakan sosial relatif tidak akrab dengan gerakan damai yang diinspirasi oleh kepercayaan yang muncul di dalam masyarakat muslim sejak permulaan abad kedua puluh. Karena Pencerahan Gülen berasal dan berkembang dalam komunitas yang mayoritas Muslim pada umumnya, maka motivasi untuk partisipasi mencakup berbagai nilai yang diambil dari Islam meliputi altruisme dan berbagai nilai nonmaterialis lainnya. Teori-teori gerakan sosial sekarang ini tidak dapat mendeskripsikan Pencerahan Gülen secara memadai

Page 35: Konsep masy sipil

karena reduksionismenya ketika membahas gerakan yang diinspirasi oleh kepercayaan pada umumnya dan gerakan Islam pada khususnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak melihat atau mengabaikan bingkai dan faktor-faktor internal gerakan tersebut.

Kemudian, ketika menganalisis gerakan sosial yang memenuhi kontramobilitasi, haruslah diingat bahwa pada waktu tertentu seluruh tindakan sebuah gerakan sosial tidak diarahkan pada kekuatan kontra-mobilisasi dan seluruh kekuatan tindakan kontramobilisasi tidak diarahkan untuk satu gerakan sosial tertentu. Dengan adanya tantangan dari musuh tentu saja mobilisasi gerakan tersebut tidak akan efektif. Tentu saja, logika di atas tidak tepat dalam menyimpulkan gerakan sosial seperti Pencerahan Gülen yang dihadapi oleh kontramobilisasi yang berasal dari elite proteksionis di Turki. Hal ini tidak tepat untuk menganalisis tindakan baik aktor sosial di dalam tindakannya dengan menggunakan kriteria yang sama. Misalnya, mereka yang melakukan kontramobilisasi terhadap Pencerahan Gülen termotivasi oleh cara tertentu yang lebih dapat diprediksikan bagi berbagai teori gerakan sosial selama ini. Secara teoretis, pada umumnya gerakan sosial bersifat bermusuhan dan materialistik, mereka secara sadar terlibat di dalam sebuah perjuangan untuk mempertahankan kontrol atas sumber daya material dan kekuasaan politik. Apabila perbedaan di dalam faktor-faktor internal mobilisasi dan kekuatan kontramobilisasi tidak dimasukkan di dalam analisis ini, maka pengakuan atas tindakan satu partai, misalnya, elite proteksonis, dapat mengarahkan peneliti kepada sebuah analisis reduksionis yang tidak tepat termasuk meng-analisis Pencerahan Gülen.

Identitas atau hakikat Pencerahan Gülen merupakan gerakan masyarakat sipil, interpersonal, konsensus, afektif, informal, dan integratif. Hal ini bukan bersifat jangka pendek, instrumental ataupun formal. Hal ini bersifat budaya dan pekerjaan konkret; reflektif diri dan altruistik. Mereka tidak bersifat bermusuhan, politis, termarginalisasi, eksklusivis dan kekerasan. Mereka bertindak berbasis proyek, pendidikan, inklusif, dan universalistik. Kegiatannya bersifat jangka panjang, lokal, dan transnasional; pluralis, kolaboratif, demokratis, mediasi, beradab, dan damai. Pencerahan Gülen adalah sebuah aktor masyarakat sipil yang apolitik, sukarela, antarperadaban yang berbagai upayanya paling terlihat dan jelas dideskripsikan sebagai altruisme sosial kolektif. Di seluruh waktu dan tempat, para partisipan Pencerahan Gülen telah bertindak secara bermakna untuk mereduksi agresi dan ketidaksepakatan dan terbukti bahwa mereka berada pada sisi perdamaian dan kerja sama.

Page 36: Konsep masy sipil

Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial

Pendahuluan

Tulisan ini didasari oleh tiga pengandaian. Pertama, perlawanan petani – upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan mereka atas sebidang tanah–merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria (tanah) merupakan gejala dan/atau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui dan/atau merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini sebagai miliknya.[1] Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria,

maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria.[2]

Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial[3], karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi – merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani untuk mewujudkan reforma agraria.[4] Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan reforma agraria bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Jika pengandaian dan kesimpulan hipotetis di atas kita gunakan sebagai “cetak biru” untuk mengkonfirmasi organisasi-organisasi gerakan sosial[5] yang mengklaim dirinya memperjuangkan reforma agraria, apakah sudah konsisten dengan logika pengandaian dan kesimpulan hipotesis di atas?

Kedudukan Petani dalam Penelitian SosialPerhatian kalangan ilmuwan sosial terhadap kaum petani (peasant),

Page 37: Konsep masy sipil

khususnya yang mencuat setelah Perang Dunia Kedua (era Perang Dingin) terutama didorong oleh peran mereka (petani) dalam gerakan sosial– pemberontakan dan revolusi.[6] Seperti dicatat oleh Clammer, “…proporsi terbesar populasi pedesaan di dunia (dan oleh karena itu populasi terbesar secara total) adalah “petani”, dan kelompok manusia yang luar biasa besarnya ini sekalipun merupakan proletariat pasif dan homogen, namun sebaliknya, telah dibuktikan oleh gerakan-gerakan petani yang signifikan di Asia Selatan, Amerika Latin, Afrika dan bahkan di Eropa (di mana banyak orang telah lupa jika petani masih eksis di sana.” (2003:195)

Meskipun gambaran Clammer tentang petani tidak tepat benar jika dipetakan pada sosok kaum tani dewasa ini[7], namun kita tidak bisa memungkiri bahwa petani memiliki peran penting dalam perubahan sosial dan perkembangan sejarah sebuah masyarakat. Pernyataan Clammer tersebut memperkuat catatan Wolf (1969) tentang perlawanan petani Vietnam terhadap invasi Perancis dan Amerika Serikat. Wolf mencatat, “… melalui bantuan militer untuk Prancis yang tengah berperang, kemudian melalui misi militernya, dan akhirnya – sejak tahun 1962 – memperkuat komitmen pasukannya sendiri, Amerika Serikat mencari kemenangan militer dan politik dalam suatu perang bagi kontrol atas jantung dan pikiran suatu rakyat petani”. (2004:1)

Catatan Wolf tersebut menunjukkan pada kita tentang dua hal. Pertama, bahwa kaum petani yang sering di-stereotype-kan bodoh dan pasrah (tunduk pada nasib kemiskinan dan penderitaannya), yang oleh pejabat militer Amerika serikat sering disebut “si haram jadah compang camping berpiyama hitam” (Wolf 2004:1) itu pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang secara politis tidak mudah ditaklukkan dan menyerah begitu saja pada kondisi yang tidak menguntungkan kehidupannya. Kedua, bahwa kaum yang sering disikapi secara sinis sebagai kelompok masyarakat yang tidak memiliki sejarah itu pada dasarnya mengambil peran penting dalam perkembangan sejarah dan perubahan sosial sebuah masyarakat. Seperti dikemukakan oleh Kartodirjo (1984), meskipun dalam gerakan sosial dan pemberontakan yang diberi label “pemberontakan petani” (peasant revolt) sekalipun kaum petani lebih banyak berperan sebagai “gerbong” (massa aksi) pengikut kaum pemuka desa, bukan subyek gerakannya itu sendiri, tetapi mereka memiliki peran penting dalam sejarah dan perubahan sosial sebuah masyarakat. Dalam sejarah Indonesia misalnya, terutama dalam sejarah Jawa abad XIX, pemberontakkan petani yang oleh penjajah dianggap sebagai wabah atau penyakit sosial merupakan bukti, bahwa petani memiliki peran penting dan posisi politik yang diperhitungkan dalam perkembangan sejarah Indonesia.

Page 38: Konsep masy sipil

Masyarakat petani di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka (1950-1960-an) sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan sosial Barat. Kajian terhadap masalah petani terutama berpusat pada hubungan mereka (petani) dengan negara, terutama jika mereka menimbulkan masalah bagi negara (revolusioner dan membangkang) (Selemink 2004:263). Konteks hubungan petani dan negara tersebut secara spesifik adalah konteks penetrasi kapitalisme Barat (terutama Amerika Serikat) ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka.

Tumbuhnya perhatian besar terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka[8] bukan semata-mata didorong oleh minat dan kehausan intelektual, melainkan karena tekanan internal dan eksternal dalam ilmu sosial (Mirsel 2004), yakni kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang memiliki relevansi teoretis dan politis.[9] Dengan kata lain, perhatian tersebut didasari oleh kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang sesuai dengan kepentingan ideologi-politik yang dominan maupun marjinal dalam sebuah masyarakat. Pertempuran antara kubu ekonomi moral lawan ekonomi rasional yang muncul dalam konteks “Perang Vietnam” misalnya, bukan semata-mata perdebatan antara kubu kaum substantifis dan rasionalis yang murni muncul karena pertimbangan-pertimbangan teoretis, melainkan dipicu oleh pertempuran kapitalisme lawan sosialisme; kaum revolusioner lawan kontra-revolusioner.[10] Demikian pula perdebatan antara intelektual pengusung gagasan reforma agraria lawan pendukung revolusi hijau dalam konteks Perang Dingin dan era state-led-development (tahun 1960-1970-an) pada dasarnya merupakan pertempuran antara kubu kapitalisme lawan sosialisme dan populisme.[11] Sampai pada titik ini kita bisa menyepakati Scott yang mengatakan, bahwa perdebatan ilmiah bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh konteks historis dan politisnya.[12]

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat membuat beberapa catatan tentang posisi petani dalam kajian ilmu sosial. Pertama, perhatian terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka vis a vis kapitalisme-negara yang dipropagandakan negara-negara Barat lebih banyak didasari oleh kepentingan ideologi-politik Amerika Serikat untuk menamkan pengaruhnya di negara-negara Dunia Ketiga di satu sisi; dan menandingi pengaruh negara-negara Eropa Timur, terutama Uni Soviet yang berhaluan sosialisme-komunisme di sisi lain. Itu artinya, besarnya perhatian intelektual Barat terhadap kehidupan petani di negara-negara Dunia Ketiga lebih banyak didasari oleh kehendak untuk membangun kekuatan kontra-revolusi terhadap kekuatan-kekuatan yang potensial menentang sistem kapitalisme-

Page 39: Konsep masy sipil

liberalisme. Dengan demikian, kedua, selain petani menjadi obyek kajian ilmu sosial, juga menjadi obyek pertempuran ideologi-politik dominan. Itu artinya, petani menjadi arena diskursif kekuasaan dan pengetahuan. Seperti telah disinggung di atas, hal ini logis, karena petani merupakan kelompok masyarakat yang menempati proporsi terbesar penduduk dunia, terutama di negara-negara Dunia Ketiga.

Kedudukan Studi Gerakan Sosial dalam Ilmu SosialSatu persoalan klasik yang senantiasa dihadapi ilmu sosial adalah masalah pembatasan atau pemberian arti sebuah istilah. Dalam ilmu sosial tidak pernah ada satu istilah pun yang memiliki arti tunggal. Demikian pula dengan istilah gerakan sosial. Tidak saja pengertiannya bermacam-macam, tetapi juga kontroversial. Ini merupakan konsekuensi logis dari (1) realitas sosial yang selalu berubah; (2) beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat yang hendak “dijelaskannya” (positivisme), “dipahaminya” (interpretatif), dan “diubahnya” (kritisisme)[13]; (3) adanya hubungan timbal-balik antara realitas sosial (yang “diteorikan”) dengan teori sosial (yang “direalitaskan”)[14]; dan khusus untuk konteks Indonesia adalah (4) adanya persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.[15]

Karena rumusan sebuah istilah senantiasa dikendalikan oleh paradigma pemikiran atau landasan filosofis yang mendasarinya[16], maka sebelum saya mengemukakan beberapa pengertian gerakan sosial, terlebih dahulu akan dibahas kedudukan dan perkembangan studi gerakan sosial dalam khasanah perkembangan ilmu sosial. Pembahasan masalah ini penting, mengingat perkembangan ilmu sosial, demikian pula realitas sosial yang membentuk dan dibentuknya senantiasa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah teka-teki yang masih tersembunyi dan belum terjawab di dalam paradigma sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu (Mirsel 2004:11). Tekanan eksternal terjadi pada dua tataran. Pertama, terjadinya pergeseran-pergeseran di dalam gaya pemikiran (intellectual fashions) dan aliran pemikiran (intellectual currents); dan kedua, datang dari perubahan yang terhadi dalam gejala-gejala itu sendiri. Kaitan antara pergeseran-pergeseran internal dan eksternal di dalam ilmu pengetahuan dengan pola-pola aliran pemikiran yang lebih luas; dan dengan gejala itu sendiri disebut sebagai ruang lingkup sejarah.

Sekilas tentang Teori Gerakan Sosial KlasikPerhatian terhadap gerakan sosial pertama kali lahir sebagai reaksi terhadap munculnya gejala kerumunan (crowd), acting mob, kelompok-kelompok

Page 40: Konsep masy sipil

panik, perilaku yang berubah-ubah (fads), kerusuhan massal, histeria, protes, dan tindakan-tindakan kolektif lainnya yang dianggap brutal, intoleran, tidak rasional, dan destruktif, seperti gerakan McCarthysisme di Amerika Serikat yang menggerus dan menghabisi para pendukung golongan kiri (gerakan anti-komunisme), atau gerakan nazi yang menghabisi etnis Yahudi. Itulah sebabnya studi gerakan sosial pada masa ini (1940-1960-an) menekankan pada aspek irrasionalitas yang mendorong munculnya tindakan kolektif dalam bentuk kekerasan. Implikasinya, sebagai sebuah gejala, gerakan sosial dan perilaku kolektif lainnya dipandang secara negatif – dianggap sebagai penyakit sosial yang harus disembuhkan. Munculnya pandangan semacam itu terkait erat dengan paradigma pemikiran yang dominan waktu itu, yakni teori-teori konsensus (fungsionalisme) yang menekankan keseimbangan, harmoni, keteraturan dan stabilitas (status quo) dalam masyarakat. Pilihan ini logis, karena pada saat yang sama dunia tengah berada dalam kondisi di mana rezim-rezim anti-demokrasi dan represif – seperti Nazisme di Jerman, Fasisme di Jepang dan Italia, Stalinisme di Uni Soviet – menjadi kekuatan geopolitik utama.

Penelitian tentang gerakan sosial pada periode ini terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” muncul gerakan sosial – faktor-faktor apa saja yang mendorong seseorang melibatkan diri dalam gerakan sosial. Ada tiga perspektif teoretis yang menjadi dasar bagi para ilmuwan sosial dalam menjawab pertanyaan tersebut, yakni fungsionalisme (Emile Durkheim); Marxisme (Karl Marx), dan liberal-individualisme (para filsuf pencerahan, seperti John Locke, Thomas Hobes, John Stuart Mill, dan Adam Smith).[17]

Persepektif fungsionalisme, seperti kita ketahui, mengandaikan kehidupan sosial itu seperti tubuh makhluk hidup. Mereka percaya, bahwa analogi biologi dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat. Individu-individu sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan masyarakat dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosial sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosial

Page 41: Konsep masy sipil

sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.

Meskipun Durkheim secara pribadi tidak mengkaji gerakan sosial, tetapi pandangannya tentang masyarakat banyak memberi sumbangan konseptual bagi studi-studi gerakan sosial periode awal. Konsep-konsep tersebut antara lain “anomie”, “regulasi sosial” versus “integrasi sosial”, dan “solidaritas sosial” versus “kesadaran kolektif”. Konsep-konsep tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari kondisi-kondisi sosial dan faktor-faktor sosial-psikologis yang mendorong lahirnya gerakan sosial, seperti protes, kerusuhan massa, dan perilaku-perilaku kolektif lainnya yang dianggap destruktif dan mengganggu stabilitas sosial dalam masyarakat.

Berbeda dengan fungsionalisme, perspektif Marxis memandang masyarakat tidak bersifat statis, karena selalu berada dalam kondisi yang konfliktual, yakni pertentangan kelas proletar lawan borjuis. Sejarah masyarakat, demikian menurut Marx, adalah sejarah perjuangan kelas. Pandangan ini didasari oleh keyakinan bahwa struktur sosial sebuah masyarakat, secara deterministik dibentuk oleh sistem ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Terciptanya struktur sosial dalam sebuah masyarakat, bukan karena individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi satu sama lain, melainkan karena adanya kelas yang didominasi (kaum proletar) dan kelas yang mendominasi (kaum borjuis). Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak pernah statis, karena kaum proletar sebagai pihak yang didominasi akan senantiasa melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Asumsinya, hanya dengan jalan mengubah sistem ekonomilah, struktur masyarakat yang dominatif akan berubah. Karena itu, meskipun Marx meyakini adanya telos (tujuan akhir) dalam perjalanan sejarah masyarakat – yang itu berarti akhir dari konflik dan pertentangan kelas – tetapi dia percaya, hanya dengan jalan perjuangan kelas dan revolusilah telos dari perjalanan sejarah masyarakat bisa tercapai.

Dilihat dari perspektif Marxis, maka gerakan sosial tidak dianggap sebagai penyakit sosial, melainkan merupakan gejala yang positif. Kemunculannya bukan disebabkan oleh adanya gangguan dalam struktur sosial, melainkan karena terjadinya proses eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lainnya. Gerakan sosial, dengan demikian, dipahami sebagai reaksi (perlawanan) kaum proletar terhadap kaum borjuis, merupakan ekspresi dari struktur kelas yang kontradiktif. Singkatnya, gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena adanya kesadaran kelas.

Gagasan liberal-individualisme merupakan produk pencerahan masyarakat Eropa Barat. Gagasan ini menekankan akan arti pentingnya hak-hak dan

Page 42: Konsep masy sipil

kebebasan individu dan rasionalitas (akal). Itulah sebabnya, kepentingan-pribadi (self-interest) yang rasional sifatnya diletakkan sebagai kata kunci untuk memahami kehidupan sosial, terutama aspek ekonomi dan politik. Para penganutnya percaya, bahwa kehidupan sosial senantiasa berjalan di bawah kendali motif kepentingan-pribadi yang melekat dalam diri setiap individu.

Terhadap studi gerakan sosial, perspektif liberal-individual menyumbangkan gagasan, bahwa faktor pendorong utama lahirnya gerakan sosial adalah karena adanya kepentingan pribadi dari setiap individu yang terlibat didalamnya. Kepentingan pribadi di sini secara spesifik menunjuk pada keuntungan ekonomi dan politik (kekuasaan). Oleh sebab itulah, dalam perspektif liberal-individual, gerakan sosial lebih dimaknai sebagai kalkulasi kepentingan-kepentingan individu untuk memperoleh keuntungan ekonomi-politik.

Sekilas tentang Teori Gerakan Sosial Baru dan Mobilisasi SumberdayaTeori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya merupakan dua perspektif teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial kontemporer.[18] Tidak hanya itu, kedua teori itupun memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga. Kedua perspektif tersebut lahir sebagai kritik terhadap teori gerakan sosial klasik yang dinilai tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh terhadap perkembangan gejala gerakan sosial dewasa ini.

Jika dalam studi-studi gerakan sosial yang berkembang pada tahun 1940-1960-an gerakan sosial dianggap sebagai gejala penyipangan (deviant)[19], irasional dan dianggap penyakit sosial, maka dalam studi-studi yang berkembang pada 1960-1970-an dan 1980-an hingga sekarang, gerakan sosial dipandang sebagai gejala positif yang kelahirannya didasari oleh alasan-alasan rasional. Lahirnya pandangan positif merupakan implikasi dari perkembangan gerakan sosial dewasa ini, yang dinilai telah berhasil mendorong proses demokratisasi. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, gerakan anti kolonial, gerakan anti komunis, gerakan anti-rasial. Itulah sebabnya, minat para intelektual sosial untuk mempelajari gerakan sosial tidak lagi didasari oleh pertanyaan “mengapa”, melainkan “bagaimana” organisasi gerakan sosial bekerja dalam memperjuangkan kepentingan dan tujuan-tujuannya, termasuk strategi dan taktik yang dijalankannya.

Sebagai konsekuensi logis dari orientasi nilai terhadap gerakan sosial di satu sisi, dan dasar pertanyaan studi yang dikemukakan di sisi lain, perspektif

Page 43: Konsep masy sipil

teori yang mendominasi studi gerakan sosial pada periode ini adalah teori-teori pilihan rasional, teori mobilisasi sumber daya, dan teori-teori yang dikembangkan dari perspektif Marxis. Perspektif teori-teori yang dikembangkan pada umumnya meletakkan gejala gerakan sosial sebagai aktor penting yang berperan dalam proses perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi.

Dalam konteks kekinian, ada dua teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial, yakni teori mobilisasi sumber daya yang berbasis di Amerika Serikat, dan perspektif gerakan sosial baru yang berbasis di Eropa Barat.[20] Teori mobilitas sumber daya lahir sebagai tanggapan terhadap perspektif teori Durkheimian yang memandang gerakan sosial secara negatif – sebagai anomie dan perilaku irasional. Sedangkan perspektif teori gerakan sosial baru lahir sebagai tanggapan terhadap perspektif Marxis yang dinilai reduksionis, karena menerjemahkan gerakan sosial semata-mata sebagai perjuangan kelas.

Dalam memandang gerakan sosial, kedua perspektif tersebut tidak melihatnya sebagai artikulasi dari aliran pemikiran atau ideologi tertentu, melainkan sebagai tanggapan terhadap persoalan-persoalan sosial secara luas. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya gerakan-gerakan sosial yang tidak mendasarkan gerakannya pada kesadaran kelas dan “ideologi” tertentu, melainkan pada identitas dan kesadaran/perhatian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat secara luas. Secara empiris, gerakan sosial yang muncul pada periode ini dicirikan oleh kaburnya batas-batas ideologi, asal-usul dan latar belakang sosial, serta hal-hal sempit lainnya yang melekat pada seseorang, yang dapat merintangi upaya penyatuan kehendak untuk melakukan perubahan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan lingkungan, gerakan perempuan, gerakan anti-nuklir, gerakan homo seks (gay), dan gerakan-gerakan “lintas-batas kelas” lainnya.

Konsep Gerakan Sosial: Mencari Rumusan yang Tepat untuk Konteks IndonesiaSalah satu bidang kajian sosial yang mengalami perkembangan sangat cepat adalah studi tentang gerakan sosial. [21] Percepatan ini sejalan dengan terjadinya perubahan sosial yang begitu cepat pula. Implikasinya, upaya pengkonseptualisasian dan pendefinisian gerakan sosial masih terus diperdebatkan – belum ada kesepakatan umum. Implikasi berikutnya, konsep dan pengertian gerakan sosial sering dianggap kabur, karena beranekaragamnya pengertian yang ada.

Page 44: Konsep masy sipil

Dalam ilmu sosial masalah semacam ini tidaklah aneh, karena akan selalu muncul. Ada beberapa hal yang dapat ditunjuk sebagai penyebabnya. Pertama, pemaknaan terhadap sebuah gejala sosial dan penerjemahan terhadap sebuah istilah dan konsep – sebagai abstraksi dari gejala – sangat ditentukan oleh, atau bergantung pada landasan flosofis dan paradigma yang dianut/digunakan oleh si peneliti. Kedua, adanya kaitan yang sangat erat (hubungan timbal balik) antara si peneliti (knower) dengan obyek yang ditelitinya (known). Ketiga, dalam studi gerakan sosial, perubahan dan pergeseran yang terjadi pada tataran empiris sangat cepat mempengaruhi perubahan dan pergeseran pada tataran teoretis, demikian pula sebaliknya. Dengan kalimat lain, hubungan timbal balik antara “gerakan sosial dari” dan “gerakan sosial untuk” relatif cepat terjadi. Keempat, bias kepentingan dalam studi gerakan sosial–seperti juga dalam studi-studi sosial pada umumnya–signifikan mempengaruhi terjadinya pergeseran dan perubahan gerakan sosial, baik di tataran empiris maupun teoretis. Singkat kalimat, adanya tuntutan untuk mensinergiskan “relevansi teoretis dan sosial”; “tekanan internal dan eksternal”; serta “teori dan praksis” sangat kuat mendorong perubahan dan pergeseran gerakan sosial, baik sebagai gejala sosial yang hendak dijelaskan maupun sebagai alat untuk menjelaskan.

Dalam bagian ini akan dikemukakan hasil penelusuran (sementara) penulis tentang pengertian-pengertian gerakan sosial yang ada. Dari pengertian-pengertian tersebut akan akan dicoba untuk merumuskan ciri dan karakteristik gerakan sosial secara umum.

Davil L. Sills (1972:438-439), gerakan sosial adalah the term social movement or its equivalent in other Western languages is being used to denote a wide variety of collective attemps to bring about a change in certain social institutions or to create an enterely new order. Social movements are a specific kind of concerted actions groups; they last longer and are more integrated than mobs, and crowds and yet are not organized like political clubs and other association.

Ribert Mirsel (2004:6-7), gerakan sosial adalah seperangkat keyakinan dan tindakan yang tidak terlembaga (noninstitutionalized) yang dilakukan sekelompok otang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam sebuah masyarakat.Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:312), gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Page 45: Konsep masy sipil

Kuper dan Kuper (Kuper and Kuper 1985:778), gerakan sosial adalah institutionalized groups in some insurgent relationship to existing society, involving unmediated bonds between leaders and followers.Rudolf Heberle (1949) sebagaimana dikutip oleh Latit Kumar (2004), gerakan sosial adalah collective attemps to bring about a social change.Herbert Blumer (1939: 99), social movements can be viewed as collective enterprises to establish a new order of life. They have their inception in the condition of unrest, and derive their motive power on one hand from dissatisfaction with the current form of life, and on the other hand, from wishes and hopes for a new scheme or system of living.Encyclopedia Britanica, sebagaimana dikutip oleh Kumar, gerakan sosial adalah loosely organized but sustained campaign in support of social goal, typically either the implementation or the prevention of a change in society’s structure or values.Turner dan Killan 1987:3, sebagaimana dikutip Muukkonen 1999:29, gerakan sosial adalah a collectivity acting with some continuity to promote or resist a change in the society or groups of which it is a part.McCarthy and Zald 1977:1217f, sebagaimana dikutip oleh Muukkonen (1999:23), gerakan sosial adalah a set of opinions and belief in a population which represents preferences for changing some elements of the social structure and for reward distribution of society.Anthony Giddens (2001:699), gerakan sosial adalah a large grouping of people who have become involved in seeking to accomplish, or to block, a process of social change. Social movement normaly exist in relations of conflict with organizations whose abjectives and outlook they frequently oppose. However, movements which successfully challenge for power, once they become institutionalized, can develop into organizations.Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Pasuk Phongpaichit 2004), gerakan sosial adalah defensive relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of the state system and market economy.Doug McAdam (1982:25), sebagaimana dikutip oleh Benita Roth, gerakan sosial adalah those organized efforts, on the part of excluded groups, to promote or resist changes in the structure of society that involve recourse to noninstitutional forms of political participation.

Sidney Tarrow (1994:4) sebagaimana dikutip oleh Benita Roth, menerjemahkan gerakan sosial sebagai expressions of extremism, violence, and deprivation, they are better defined as collective challenges, based on common purposes and social solidarities, in sustained interaction with elites, opponents, and authorities.Ralph H. Turner dan Lewis M. Killian(1972, 1987:223) sebagaimana dikutip

Page 46: Konsep masy sipil

oleh Benita Roth, gerakan sosial adalah a collectivity acting with some continuity to promote or resist a change in the society or organization of which it is a part.Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai ciri-ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau untuk mempertahankan suatu kondisi. Itu artinya, tujuan sekelompok orang untuk melakukan gerakan sosial tidak selalu didasari oleh motif dan cita-cita ‘perubahan’, karena bisa juga–disadari atau tidak– ditujukan untuk mempertahankan keadaan (status quo). Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisasi, baik formal maupun tidak. Keenam, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

Dengan melihat pengertian-pengertian tersebut, pemilahan antara gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru sesungguhnya menjadi tidak relevan, karena secara empiris, keduanya eksis di masyarakat. Lebih dari itu, terjadi konvergensi atau percampuran antara gagasan yang terkandung dalam gerakan sosial baru dengan gerakan sosial lama. Seperti yang dilaporkan oleh Gianote et.al. (1985), MacRae (1992), Shneider (1992) dan Starm (1992) tentang gerakan sosial di Amerika Latin, bahwa secara empiris kita akan sukar untuk memilah karakter gerakan sosial yang ada sekarang ke dalam gerakan sosial baru dan lama secara ketat.[22] Dalam praktiknya, banyak organisasi-organisasi gerakan sosial–organisasi non-pemerintah–di Amerika Latin yang disadari atau tidak menggabungkan gagasan-gagasan perjuangan kelas dengan gagasan-gagasan perjuangan lintas-kelas yang dipromosikan oleh teori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya.[23] Kenyataan serupa terjadi pula di Indonesia. Salah satu contoh yang paling jelas dapat kita temukan dalam gerakan reforma agraria yang mengemuka pada tahun 1990-an hingga sekarang. Beberapa ornop dan organisasi petani pendukung reforma agraria yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tampak secara eksplisit hendak mempraksiskan gagasan perjuangan kelas, sebagaimana tampak dalam moto perjuangan mereka: “tanah untuk penggarap”. Selain itu, gerakan mereka pun menjalankan upaya penyadaran dan penguatan petani untuk mendongkrak potensi perlawanan petani vis a vis pemilik modal dan negara. Namun demikian, strategi perjuangan kelas tersebut tampak menjadi ironis, karena di sisi lain, mereka pun terlibat dalam upaya merumuskan kebijakan agraria bersama-sama dengan pemerintah dan parlemen, serta terlibat dalam upaya

Page 47: Konsep masy sipil

penyelesaian konflik yang dilakukan di luar kerangka pelaksanaan reforma agraria, yakni perombangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah secara nasional.Dengan mengacu pada contoh tersebut, maka akan sangat sulit bagi kita untuk memilah gerakan sosial kontemporer ke dalam kategori-kategori gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru.[24] Untuk itu, ada dua tugas utama yang harus kita lakukan jika hendak memelajari gerakan sosial kontemporer. Pertama, membuat rumusan konsep atau pengertian gerakan sosial yang relatif longgar, dengan memperhatikan ciri dan karakteristik gerakan sosial yang dikemukakan di atas. Kedua, membuat semacam elaborasi dua atau lebih perspektif teori yang dinilai cocok dengan situasi dan kondisi di lapangan.[25]

Perlawanan Petani dan Konflik Agraria: Apa yang hendak Dipelajari dari sana?Sebagaimana dikemukakan oleh banyak literatur yang membahas gerakan sosial kontemporer, gerakan sosial dewasa ini tidak lagi mendasarkan gerakannya pada gagasan ideologi-ideologi besar, tidak mengenal sekat kelas, dan tidak revolusioner – perombakkan struktur kekuasaan politik dan ekonomi. Gerakan lingkungan, gerakan gay, gerakan perempuan, gerakan anti nuklir, gerakan masyarakat adat adalah beberapa contohnya. Di sisi lain, menurut beberapa kalangan aktivis gerakan sosial – praktisi pengguna teori gerakan sosial –yang tergabung dalam organisasi non-pemerintah, model gerakan yang lahir dari sejarah masyarakat Barat ini diyakini lebih “ampuh” – dan relevan dengan perkembangan jaman – dibanding gerakan sosial yang berbasis ideologi dan kelas.Adanya penilaian semacam itu merupakan pertanda, bahwa gejala sosial yang muncul dalam sejarah masyarakat Barat itu tidak hanya menjadi pengetahuan tentang realitas sosial Barat, melainkan sudah menjadi sebuah model – modelisasi (dimodelkan) – gerakan sosial kontemporer yang bisa – disarankan, bahkan “diwajibkan” – ditiru dan diaktualisasikan dalam konteks masyarakat bukan Barat. Timbulnya keinginan untuk mencangkokkan realitas sosial Barat tersebut bukan semata-mata karena sudah lulus uji teoretis dan empiris, melainkan lebih merupakan satu bentuk keberhasilan propaganda dan hegemoni pengetahuan Utara ke Selatan, baik melalui birokrasi dan institusi pengetahuan akademis (perguruan tinggi) maupun non-akademis (organisasi non-pemerintah, lembaga penelitian pemerintah dan swasta). Dalam hal ini saya tidak memandang, bahwa masyarakat di Selatan itu statis dan tidak memiliki kehendak, sementara Utara itu dinamis dan selalu menjadi subyek. Saya percaya, bahwa kedinamisan adalah normal dan akan selalu demikian adanya. Namun, yang harus kita garis bawahi adalah, bahwa jiwa – hasrat, keinginan, motif, preferensi, referensi, dan

Page 48: Konsep masy sipil

ukuran tentang sesuatu – yang menghidupkan dinamika masyarakat bergantung pada relasi kuasa. Itu artinya, dinamika dan arah perubahan masyarakat sangat ditentukan oleh kehendak kekuasaan.

Pertanyaannya kini, apakah benar model gerakan sosial baru (GSB) lebih “ampuh” dari gerakan sosial “lama” (GSL)? Pertanyaan ini muncul, karena saya yakin dalam tubuh GSB ada banyak persoalan yang cukup mendasar yang membuat GSB tidak tajam dan tidak revolusioner seperti gerakan sosial yang meletakkan ideologi dan kesadaran kelas sebagai basis gerakan. Secara hipotesis saya bisa mengatakan, bahwa perbedaan kelas dan latar belakang sosial, ekonomi, politik, serta budaya orang-orang yang terlibat dalam GSB banyak menyimpan persoalan – laten maupun manifes – yang membuat GSB tidak seradikal, sefundamental, dan serevolusioner gerakan kelas dan ideologi. Saya juga yakin ada mitos yang dipelihara dalam GSB sehingga orang-orang yang tadinya meyakini keampuhan GSL berbelok haluan ke GSB.

Menanggapi hal ini, maka tugas peneliti adalah membongkar asumsi-asumsi dan mitos-mitos yang melekat dalam paradigma GSB, dan menunjukkan, bahwa lunturnya GSL bukan karena penjelasan-penjelasan teoretisnya gugur (sebagian) menghadapi realitas dan pertanggungjawaban teoretis, melainkan karena alasan-alasan ideologis dan politis. Kekalahan GSL dalam arena pertempuran wacana bukan semata-mata karena tesis GSL memiliki kelemahan, melainkan karena dimitoskan sebagai sesuatu yang sudah tidak cocok, tidak berguna dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Untuk membuktikan apakah benar ada mitos atau tidak, maka harus dilakukan penelitian/kajian empiris. Salah satu kasus yang bisa diteliti adalah konflik tanah yang didalamnya melibatkan tindakan kolektif petani, organisasi tani dan organisasi non-pemerintah, termasuk lembaga donor yang ada di balik ornop.

Mengapa kasus konflik tanah? Pertama, konflik baik sebagai sebuah peristiwa maupun gejala merupakan produk perilaku kolektif masyarakat (petani) untuk memperoleh penguasaan atas tanah. Kedua, baik sebelum maupun setelah konflik terjadi, kehadiran ornop dan organisasi mahasiswa yang memberi dukungan – baik upaya penyelesaian maupun dorongan/mobilisasi untuk melakukan tindakan kolektif non-institusionalized –telah memberi pengaruh berupa pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan (baru) yang berbeda dengan masyarakat yang “didampinginya”. Selain itu, kehadiran ornop juga sedikit banyak akan memberi pengaruh dalam bentuk pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan baru kepada masyarakat dalam

Page 49: Konsep masy sipil

melihat masalah pertanahan khususnya dan realitas kehidupan pada umumnya.

Pertanyaannya, pengaruh-pengaruh apa saja yang memasuki peta pengetahuan dan kesadaran masyarakat; apakah memberi sumbangan positif bagi upaya perbaikan kehidupan masyarakat sesuai dengan yang mereka bayangkan dan kehendaki? Apakah pengaruh pengetahuan dan kesadaran baru tersebut semakin memperkuat potensi dan aktualisasi perlawanan masyarakat, sehingga mampu mendorong ke arah perubahan yang mendasar, atau justru sebaliknya? Ketiga, selain pengaruh pengetahuan dan kesadaran baru, kehadiran ornop di masyarakat juga telah membuka akses baru kepada masyarakat untuk terlibat dalam (1) jaringan yang lebih besar, formal, sistematis, rumit dan terlembagakan; dan (2) melintasi batas geografis, serta perbedaan latar belakang sosial dan budaya. Apa implikasi positif dan negatif berjaringan terhadap perubahan di tingkat lokal?Rerkomendasi untuk PenelitianPenelitian tentang perlawan petani dan konflik agraria selayaknya diletakkan dalam kerangka studi gerakan sosial. Ada beberapa pertimbangan penting yang mendasari hal tersebut. Pertama, sebagai sebuah peristiwa maupun gejala, konflik agraria merupakan produk dari gerakan sosial, baik yang terorganisasi secara formal maupun tidak. Kedua, penelitian yang memfokuskan perhatian pada konflik agraria pada umumnya lebih diarahkan untuk kepentingan penyelesaian konflik, bukan untuk mencari jawaban, mengapa konflik yang sifatnya lokal tidak pernah berkembang menjadi besar. Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat logika perjuangan mewujudkan reforma agraria mensyaratkan adanya sebuah perlawanan massif dari petani terhadap strukrur kekuasaan negara. Ketiga, organisasi petani yang berkembang di Indonesia pada umumnya lahir atas dukungan organisasi-organisasi non-pemerintah. Diletakkan dalam konteks studi gerakan sosial, gejala ini penting untuk diperhatikan, mengingat organisasi non-pemerintah memiliki peran dalam proses sosialisasi dan internalisasi strategi dan model gerakan sosial Barat kepada organisasi petani yang menjadi “dampingannya”. Arti penting kita memperhatikan masalah ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana modelisasi gerakan sosial yang dibawa oleh organisasi non-pemerintah membawa dampak terhadap dinamika dan arah gerakan organisasi-organisai petani di Indonesia. Diletakkan dalam kerangka reforma agraria, upaya ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan, apakah model dan strategi gerakan sosial yang disosialisasikan dan diinternalisasikan oleh organisasi non-pemerintah terhadap organisasi petani tersebut diarahkan untuk mendorong “revolusi” atau justru – disadari maupun tidak – merupakan “kontra-revolusi”.[26]

Page 50: Konsep masy sipil

Upaya untuk menelusuri pengaruh organisasi non-pemerintah terhadap gerakan petani menjadi semakin penting apabila dikaitkan dengan kenyataan sejarah, bahwa setiap gerakan sosial dan pemberontakkan yang disebut “pemberontakan petani” (peasant revolt) sekalipun, petani sesungguhnya lebih banyak berperan sebagai “gerbong” (massa aksi) pengikut kaum pemuka desa, bukan subyek gerakannya itu sendiri.[27] Pemimpin-pemimpin gerakan petani kebanyakan berasal dari kalangan elite desa, seperti pemuka agama, kaum ningrat atau orang-orang dari golongan penduduk desa yang menduduki status sosial terhormat (Kartodirjo 1984:16).

Jika demikian adanya, maka pertanyaannya, mengapa kaum tani cenderung hanya menjadi gerbong sebuah gerakan sosial? Pertanyaan ini masih penting untuk dikemukakan, karena kecenderungan semacam itu tampaknya masih terjadi hingga kini. Perbedaannya hanya terletak pada aktor-aktor yang berdiri, baik di depan maupun di belakang gerakan perlawanan petani. Jika dulu peran itu dipegang oleh pemuka agama dan kalangan elite desa, sementara sekarang diisi oleh kalangan intelektual perkotaan yang aktif dalam organisasi-organisasi non-pemerintah. De facto, elite desa dan kalangan pemuka masyarakat memang masih memiliki peran penting, tetapi bukan sebagai aktor tunggal yang memberi preferensi nilai dan visi perjuangan seperti dulu. Peran mereka lebih sebagai penghubung (dalam arti luas) masyarakat dengan penggiat ornop, yakni sebagai “penerjemah bahasa” – pengetahuan, kesadaran, keyakinan, visi – kalangan ornop.

Penelitian tentang perlawan petani dan konflik agraria selayaknya dilaksanakan di daerah yang tengah mengalami konflik agraria. Namun demikian, yang menjadi unit analisis penelitian bukan komunitas, melainkan para petani yang terlibat dalam konflik. Jika para petani tersebut sudah tergabung dalam organisasi tani, maka yang menjadi unit analisis penelitian adalah organisasi tani yang bersangkutan. Selanjutnya, mengingat penelitian inipun hendak melihat pengaruh organisasi non-pemerintah terhadap dinamika dan arah gerakan petani, maka adanya keterlibatan organisasi non-pemerintah dalam konflik agraria menjadi salah satu kriteria penelitian yang harus dipenuhi.BOX

Gerakan Sosial “dari” dan “untuk”: Sebuah Ilustrasi EmpirisTiga tahun yang lalu (2003) saya sempat berdiskusi dengan direktur salah satu ornop yang menangani masalah petani di Yogyakarta, sebut saja Parto.

Page 51: Konsep masy sipil

Selain masalah agraria dan petani, satu persoalan menarik yang saya catat dari diskusi itu adalah soal wacana ‘gerakan sosial’. Wong Yogya ini mengatakan, bahwa untuk saat ini ornop, gerakan mahasiswa, organisasi tani, serikat buruh dan lain-lain harus sudah mengubah strategi perjuangannya dari basis ideologis ke non-ideologis; dari gerakan kelas ke non-kelas. Dalam kondisi dan perkembangan masyarakat seperti sekarang, menurut dia, sudah tidak cocok lagi menempatkan perspektif pemikiran ideologi-ideologi besar – sosialisme, komunisme, populisme dan sebagainya – sebagai pondasi perjuangan. Meskipun tidak cukup jelas kondisi seperti apa yang dia maksud, yang jelas dia menginginkan sebuah gerakan sosial yang bisa mendobrak batas-batas ideologi, asal-usul dan latar belakang organisasi, serta hal-hal sempit lainnya yang melekat pada seseorang, yang dapat merintangi upaya penyatuan kehendak untuk melakukan perubahan sosial. Dalam memperjuangan pembaruan agraria misalnya, siapa dan dari manapun seseorang berasal bisa ikut bergabung memperjuangkan cita-cita tersebut. Tidak perlu ada pembatasan apakah dia petani atau bukan, berideologi kiri, tengah, kanan, atau “tanpa ideologi”, petani yang didamping ornop atau bukan, dan seterusnya. Pembatasan-pembatasan tidak produktif seperti itu harus ditinggalkan dan diganti dengan konsep gerakan sosial yang bersifat inklusif. Label organisasi dan status seseorang (individu) yang dapat mengikat kebebasan dan totalitasnya untuk bersikap dan bertindak, menurutnya, harus dilepaskan.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Parto sampai pada pilihan konsep gerakan sosial semacam itu. Pertama, berdasarkan pengalamannya, kecenderungan terjadinya friksi, pertentangan dan polarisasi di antara elemen organisasi pro pembaruan agraria banyak dipicu oleh perbedaan-perbedaan yang secara substantif tidak prinsipil, kecuali arogansi dan hasrat mengunggulkan diri merasa yang paling benar, atau rebutan proyek dari donor. Kedua, konsep ‘pendampingan’ yang diterapkan ornop telah menjadi salah satu penyebab timbulnya friksi dan pertentangan, baik antarornopnya itu sendiri maupun antarmasyarakat dampingannya. Secara empiris, konsep itu telah membatasi sekaligus mengkebiri bibit solidaritas dan kebersamaan antarsesama petani yang secara geografis dan programatis (untuk sebagian petani) tersekat-sekat. Selain itu, ketiga, ada juga fakta yang menunjukkan, bahwa masyarakat yang didampingi ornop sering dimanfaatkan, “diobyekkan” dan diklaim sebagai basis masa yang secara struktural berada di bawah ornop pendampingnya (underbow). Keempat, dalam membangun aliansi atau front perjuangan bersama, latar belakang organisasi sering menjadi faktor yang membatasi seseorang untuk secara total terlibat dalam perjuangan. Alasannya bermacam-macam, bisa karena agenda perjuangan yang akan dilaksanakan tidak sejalan atau bukan bagian dari program kerja

Page 52: Konsep masy sipil

lembaga tempat di mana dia beraktivitas/bekerja, tidak ada dukungan dana dari lembaga, tidak ada insentif yang jelas, dan hal-hal pragmatis lainnya. Jika saya boleh memberi tafsiran sementara, timbulnya gejala ini merupakan akibat dari adanya “pergeseran” komitmen perjuangan di lingkungan ornop dan organisasi gerakan sosial lainnya, yakni dari vokasionalisme ke profesionalisme.

Selain ketiga alasan tersebut, keinginan Parto – disadari atau tidak; sedikit atau banyak – juga dipengaruhi oleh wacana ‘Gerakan Sosial Baru’ yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Serikat sejak tahun 1970 dan 1980-an . Gejala sosial yang ada dalam sejarah masyarakat Barat yang kemudian diabstrasikan menjadi konsep dan teori tersebut tampaknya mulai diaplikasikan di lapangan. Meskipun mungkin tidak bisa dikatakan sebagai‘replikasi’ atau ‘modelisasi’ logika sejarah Barat atas Indonesia, apa yang berkembang di Barat itu telah memberi inspirasi yang cukup berarti bagi usaha merancang sebuah gerakan sosial yang (dianggap) sesuai dengan harapan di satu sisi, dan dapat mengikis persoalan-persoalan yang selama ini menghambat laju perjuangan di sisi lain.penulis : sadikin

Catatan [1] Dasar pengakuan dan keyakinan di sini bisa didasari oleh konstitusi, faktor sejarah, maupun bukti-bukti kepemilikan yang sah secara hukum.

[2] Bandingkan dengan Gunawan Wiradi, “Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung Pembaruan Agraria”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pembaruan Agraria, diselenggarapan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (SPTN), Badan Pertanahan Nasional (BPN), di Yogyakarta, 16 Juli 2002.

[3] Lihat Robert Mirsel, 2004. Teori Pergerakan Sosial, Terjemahan, Yogyakarta: Insisist Press. Pembahasan tentang masalah relevansi sosial dan teoretis dapat dilihat juga dalam Ignas Kleden, 1987. Strategi Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.

[4] Dalam penertiannya yang paling sederhana, reforma agraria adalah perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat.

[5] Gerakan sosial yang dimaksud dalam konteks kalimat ini secara spesifik menunjuk pada organisasi petani dan organisasi non-pemerintah yang mendukung perlawanan petani dan terlibat dalam konflik agraria – langusung maupun tidak – dan secara institusional memiliki komitmen untuk memperjuangkan reforma agraria.

Page 53: Konsep masy sipil

[6] Lihat Sartono Kartodirjo, 1984. Pemberontakkan Petani Banten 1888, Terjemahan, Jakarta: Pustaka Jaya; John Clammer, 2003. Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Terjemahan, Cetakan Keempat, Jakarta YIIS; John Clamer, 2003. Neo-Marxisme Antropologi: Studi Ekonomi Politik Pembangunan, Terjemahan, Yogyakarta: Sadasiva, khususnya hal. 197-220; Eric R. Wolf, 2004. Perang Petani, Terjemahan, Yogyakarta: Insis

Page 54: Konsep masy sipil

Gerakan Mahasiswa dan Transformasi

Sosial Kontemporer[1]

 

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si[2]

 

 

“Sebuah gerakan mungkin ditindas secara kejam,

tetapi berbagai perubahan yang diupayakannya

mungkin akan timbul dikemudian hari karena

konfrontasi adalah tanda peringatan

bagi kelompok penguasa bahwa mereka lebih baik

melakukan perubahan ketimbang  menghadapi

pergolakan lebih dahsyat di masa mendatang.”

(Oberschall)

 

 

 

Gagasan paper ini tidak bermaksud untuk menjangkau semua sejarah pemetaan gerakan mahasiswa dan telaah perkembangannya masing-masing. Tentu energi untuk itu akan cukup besar dan membutuhkan multi kajian yang amat luas dengan cakupan data yang maha luas juga.  Tentu sebagai sebuah kajian, ia akan menjadi proyek yang menantang, fenomenal dan amat prestisius. Paper ini akan membahas dan mendiskusikan secara khusus sebuah entitas gerakan sosial yang menempati ruang perbincangan khusus dan masih menarik untuk dibaca yakni ‘gerakan mahasiswa’. Sebagai tema tentu ia tidak berdiri sendiri. Banyak kemungkinan tulisan apapun tentangnya selalu akan menyertakan tema-tema yang lain yang saling memperkaya dan menggenapi.

 

Page 55: Konsep masy sipil

Ada beberapa pertimbangan mendasar yang menjadi daya tarik penulis untuk mengekplorasi dan membaca kembali persoalan ‘gerakan mahasiswa’ secara lebih jauh.  Pertama, secara pribadi penulis masih menganggap bahwa ‘gerakan mahasiswa’ menjadi sektor gerakan yang amat krusial dan penting untuk ikut terlibat menggenapi gerakan sosial dalam skala yang lebih luas.  Banyak mandat dan peran yang sebenarnya  sangat terbuka bisa dimainkan dan diolah terkhusus untuk melibatkan diri dalam isu-isu perubahan sosial yang lebih besar. Kedua, refleksi akhir-akhir ini, terutama pasca reformasi berjalan justru menjukan kondisi gejala sebaliknya. Terlihat kesan terjadi penurunan atas greget kualitas gerakan dengan berbagai kondisi yang amat memprihatinkan. Premis awal ini perlu dikembangkan dalam argumentasi yang lebih ilmiah. Polarisasi dan keterjebakan pada ruang-ruang gerakan yang terbatas membuat banyak gerakan mahasiswa mengalami kemandulan dan pada titik ekstrim mengalami ‘dekadensi’. Pokok tema inilah yang menjadi titik sentral kajian yang ingin diangkat dalam paper ini. Ketiga, tentu saja untuk menambah ruang pendikusian dan telaah ilmiah secara lebih serius dan bisa menyumbang referensi penting bagi telaah gerakan mahasiswa selanjutnya. Tak berarti mengatakan telaah-telaah sebelumnya belum ada, gagasan paper ini berkehendak menampilkan perluasan perpektif pandangan tentang kerumitan-kerumitan gerakan mahasiswa yang saat ini berkembang.

 

Pada pengalaman transformasi politik Indonesia mahasiswa selalu seakan ditempatkan menjadi aktor penting pelaku perubahan. Bahkan dalam banyak hal dianggap sebagai ‘kekuatan moral’[3] yang amat besar dalam menginjeksi dan mendorong berbagai tranformasi politik yang terjadi. Mahasiswa selalu dianggap sebagai ‘agen perubahan’ yang independen  dan masih steril terhadap kepentingan-kepentingan pragmatis politis. Karenanyalah ia dianggap menjadi pembawa pesan moral yang kuat. Walau begitu masih banyak juga yang melihat ini sebagai cara melebih-lebihkan peran yang justru sering menjebak kita pada situasi kesadaran semu. Gerakan mahasiswa justru menjadi “mitos baru”[4] dan pada kenyataannya sering menjadi barisan kekuatan yang tidak luput dari berbagai manuver politik yang bermain. Agen perubahan adalah ‘mitos’. Itulah catatan kritik keras sebagian orang yang melihat sejatinya siapa gerakan mahasiswa.  Poin ini masih  menjadi perdebatan yang menghangat di kalangan gerakan. Barangkali kritik itu sebagai cara mengingatkan kembali agar mahasiswa tidak mudah jatuh dalam lubang yang sama seperti masa perjalanan gerakan sebelumnya.

 

 

Pentingnya Otokritik Gerakan : Provokasi Awal

 

Gemilang prestasi yang dilabelkan pada tubuh gerakan mahasiswa seringkali membuat mahasiswa lengah dan lupa aka konsistensi yang harus diembannya. Tidak jarang diantara kemegahan label tersebut, ada cerita tentang penghianatan gerakan. Keberhasilan politik menjadi sekedar dimaknai sebagai ‘peluang’ dan ‘kesempatan’ untuk mencapai mobilitas kelas tertentu.  Tidak jarang anasir inilah yang menjadi embrio penting bagi ruang pembusukan gerakan

Page 56: Konsep masy sipil

dikemudian hari. Meskipun dinamika seperti itu biasa terjadi dalam dunia gerakan, tetapi tak bisa ditutupi bahwa pengaruh subjektifitas moralitas gerakan turut menyumbang pada anggapan-anggapan yang muncul kemudian.

 

Pengalaman penghianatan gerakan tentu tidak khas esklusif hanya dimiliki oleh mahasiswa. Secara prinsip ia selalu berpotensi pada setiap ruang dan sektor gerakan apapun. Watak ‘oportunisme’ dalam bentuk penggembosan dan pembusukan gerakan seringkali membuat patahan-patahan dan kegagalan jangka panjang gerakan. Memang bukan hanya faktor  mentalitas yang sifatnya kadang lebih personal, tetapi dalam banyak pengalaman lebih merujuk pada kegagalan untuk membangun fondasi yang kokoh secara ideologis dalam menempatkan gerakan secara lebih luas. Perdebatan tentang problem kasus ini menjadi tidak sekedar sebagai kegagalan kader gerakan dalam mengawal konsistensi prinsip dalam visi hidup secara lebih luas tetapi mencangkup kerangka nalar paradigmatik yang sifatnya lebih laten pada pembangunan aspek nalar dasar metodologi gerakan.

 

Seorang yang kemudian terjebak pada nalar pragmatis oportunistik tidak hanya berbicara bahwa ia semata karena ‘gagal’ dan ‘tergoda’ pada pilihan yang kontraproduktif bagi gerakan karena kontradiksi yang dialaminya. Bisa jadi secara  ontologis, bacaan apa yang dimaknai sebagai gerakan mahasiswa memang sudah problematis sejak awal. Sejak awal mereka sudah membawa rancangan kegagalan yang diam-diam tidak disadari. Argumentas ini mengandaikan sebuah problem pada jantung pilihan sistem, ideologi dan manajemen gerakan. Ada pilihan ideologi gerakan yang memang sejak awal perumusan sudah bermasalah dan berpotensi melahirkan banyak kaum oportunis dan ‘potong jalan’ ketika gerakan sudah mencapai titik-titik penting keberhasilannya.

 

Di mana posisi sesungguhnya gerakan mahasiswa harus diletakkan? Bagaimana model dan bentuk gerakan yang sejatinya harus dlakukan? Bagaimana gerakan mahasiswa harus menjawab berbagai problem penting yang hadir dengan berbagai rupa? Seberapa pentingkah posisi strategis gerakan mahasiswa jika diletakkan dalam kepentingan perubahan masyarakat secara lebih luas? Sebagian pertanyaan-pertanyaan inilah yang masih perlu selalu dikaji. Karena tidak sedikit usaha ke arah sana semakin kering sepi dilakukan. Banyak yang bahkan mengalami frustasi dann patah dijalan karena berbaga tantangan polemik di dalam dan situasi eksternal yang masih begitu besar untuk dijawab. Kegagalan gerakan kemudian tidak hanya terjadi pada level taktis metodologis tetapi sampai pada ranah nalar pikir teoritik yang mandeg dan beku. Alhasil tidak sedikit kemudian terseret pada gelombang trend isu yang sejatinya sudah tidak disadari menjadi domain nalar-nalar kepentingan politik yang lebih besar.

 

Page 57: Konsep masy sipil

Studi yang serius pada gerakan mahasiswa yang lebih masuk pada pendiskusian paradigmatik pilihan gerakan menjadi sangat penting. Jika lietaratur  gerakan masih kita anggap sebagai alat yang penting untuk menjadi rujukan dan bacaan kritis, maka kiranya kepentingan dari penulisan buku ini menjadi relevan. Seperti halnya dalam prinsip gerakan kita yakini bahwa perkembangan kuantitatif selanjutnya juga akan menentukan perkembangan kualitatif maka penerbitan banyak tulisan tentang gerakan akan mempunyai peran penting menjawab problem mendasar ini. Sebagaimana keterlibbatan praksis menjadi penting, tak berarti harus meninggalkan peran penting yang lain yakni pengembangan teoritik yang benar. Kedua-duanya bisa menjadi cermin. Kegagalan atas yang satu biasanya bisa dirujuk pada kegagalan pada aspek yang lain.  Lemahnya pembacaan teoritik akhirnya menyebabkan gerakan menjadi sering terombang-ambing dalam gagasan yang tidak berperspektif. Sebaliknya, pembacaan teoritik tanpa digenapi dengan pengalaman praksis gerakan yang kongkrit akan membawa ia pada pergulatan di atas angina. Dua-duannya bukanlah cara pikir yang berjalan secara mekanik mana yang harus didahulukan, melainkan menjadi kesatuan ikatan yang secara prinsip saling melengkapi. Toh meskipun perdebatan tentang hal tersebut sudah banyak bisa dilampaui, namun dalam kenyataan praksis keduanya sering mengalami kegagalan dan kebuntuan.

 

Secara utuh beberapa kajian yang menyentuh problem gerakan mahasiswa baik dalam ranah praksis sampai dasar teoritik bisa dikatakan masih terbatas, apalagi tulisan yang kemudian secara panjang menggali tantangan dunia kontemporer saat ini yang semakin rumit dan serius harus dibaca oleh gerakan mahasiswa. Banyak isu-isu yang justru hadir dalam jantung tubuhnya sendiri seperti isu-isu berkait kebijakan kampus, pendidikan dan isu-isu konsolidasi gerakan kampus justru lupa digali secara lebih serius. Jikapun di beberapa tempat gelombang perlawanan mahasiswa itu terjadi tetapi imbas dampaknya menjadi terbatas dan lagi-lagi belum menjadi kekuatan yang strategis untuk menjadi entitas penentu kebijakan  yang terjadi di kampus. Trend gerakan yang dibangun mengarah pada fragmentasi gerakan yang sifatnya spontan dan parsial.[5] Di ujung lain kooptasi kepentingan politik elite juga masih sering nampak sehingga lambat laun apa yang disebut kepercayaan masyarakat pada tubuh gerakan berangsur semakin menghilang.  Akhirnya gerakan mahasiswa semakin terkurung pada dunia dan medan fungsi yang semakian terbatas.

 

Peta dan wujud tantangan kontemporer masyarakat yang makin kompleks, justru belum mampu dijawab dengan wujud ‘peradikalan gerakan’ yang lebih maju. Bahkan banyak komunitas mahasiswa asyik dengan aktifitasnya sendiri. Mahasiswa  larut dalam berbagai problem yang sama sekali tidak berkait dengan tantangan-tantangan perubahan yang lebih baik. Di satu sisi, banyak bermunculan wujud aktifitas mahasiswa yang menjadi keniscayaan semakin melebarnya ruang spesialisasi dunia pendidikan, tetapi justru terjadi pengecilan kualitas gerakan. Rasanya semakin sepi kita melihat entitas gerakan yang berdaya ledak besar untuk mengawal setiap tuntutan perubahan. Rasanya gerakan mahasiswa telah mati! Demikian rasa frustasi yang makin terdengar hari-hari ini dengan sekian tidak hadirnya mahasiwa dalam berbagai persoalan yang sejatinya harus disambut dan direspon. Alih-alih menyelesaikannya, ia justru dibanyak hal

Page 58: Konsep masy sipil

menjadi agen penyambung kepentingan kekuasaan yang bekerja dan menjalar dalam masyarakat seperti halnya juga terjadi dalam dunia kampus.

 

 

Menjernihkan Pemahaman Gerakan Mahasiswa

 

Saya pikir, pertama yang harus kita jernihkan dahulu adalah tentang bagaimana pemahaman dasar kita terhadap apa yang dimaksud sebagai ‘gerakan mahasiswa’? Pada titik ini sebaiknya kita menengok sebentar pemahama-pemahaman dasar tersebut. Membedakan definisi yang lebih cenderung ‘fungsional’[6]  tentang mahasiswa, ‘Gerakan Mahasiswa’ (GM) secara generik lebih memberi pengertian yang lebih dinamis. Rumusan final tentang apa yang dimengerti tentang GM tentu tidaklah begitu saja bisa ditemukan. Kita akan mencari prinsip dan kondisi umum yang bisa membedakaan dengan pengertian fungsi atau kondisi mahasiswa yang lain. Lebih tidak sekedar hanya untuk memahami, namun untuk memberikan makna pada ‘gerakan mahasiswa’. Kita bisa memulai dengan pertanyaan apa yang bukan gerakan dan mana yang sebenarnya bisa didefinisikan sebagai gerakan. Tentu saja pertanyaan ini akan menyentuh dasar pemahaman tentang pemahaman masyarakat atau minimal lingkungan sosial yang dihadapi. Artinya bisa dikatakan bahwa, ‘Gerakan Mahasiswa’ merupakan bagian gambaran dari representasi ‘Gerakan Sosial’.[7]  Sebab yang utama disadari bahwa entitas GM selalu tak lepas dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam konteks sosial (masyarakat) yang melingkupinya. Apa yang melingkupinya tentunya adalah keseluruhan dimensi yang memberi pengaruh pada gerakan mahasiswa. Makna dan representasi pengertian atas dimensi ini yang beragam yang menyebabkan setiap definisi tentang gerakan juga akan beragam pula. Bahkan sebenarnya, studi tentang gerakan bukanlah studi tentang kelompok stabil atau institusi mapan, tetapi studi kelompok atau institusi yang berada dalam proses pembentukannya.

 

Batasan pengertian di atas akan sedikitnya membantu untuk memahami dinamika proses dan konteks historis bagaimana GM bisa difahami. Konteks ekosistem historis yang selalu menyertai gerakan, menyebabkan gerakan mahasiswa selalu bertumbuh dalam situasi-situasi ketegangan dan konfliktual. Mandat yang dibawa gerakan selalu tidak lepas untuk menjawab kondisi-kondisi ketegangan tersebut. Ada kondisi disparitas, kesenjangan, ketimpangan, ketidakadilan dan problem-problem masalah sosial yang mendorong gerakan mahasiswa harus mengambil bagian. Capaian idealnya tentu adalah perubahan. Tidak sekedar karena baju identitas yang melekat, melainkan keniscayaan sejarah yang wajib untuk diambil. Pada titik ini maka ia kerab dimengerti sebagai ‘agen historis’ yang penting untuk mendorong perubahan sosial. Definisi M.S Gore tentang gerakan menjadi relevan kita simak[8]:

 

Page 59: Konsep masy sipil

“Semua gerakan yang berjuang demi perubahan melibatkan suatu wawasan baru, suatu perspektif baru, suatu perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada yang mungkin berawal dari seorang individu atau sekelompok kecil individu, yang kemudian menyebarluaskan cara berpikir mereka dengan cara memobilisasi individu-individu  yang berpikiran serupa yang nantinya akan memperluas penyebaran persepsi-persepsi baru , nilai-nilai baru dan praktik-praktik baru”

 

Tidak untuk dimengerti sebagai agen historis yang linier, gerakan mahasiswa tetap saja akan selalu ditentukan dan juga terlibat menentukan struktur sosial yang ada. Kondisi ekonomi politik tertentu juga amat mempengaruhi bentuk, model dan tipe gerakan yang dibangun. Kesadaran ini penting dipahami, mengingat masih banyak yang mendudukan entitas gerakan sebagai subjek (agen) penentu dalam perubahan dan ia dipahami sebagai sebuah garis determinan yang amat berpengaruh.[9] Setidaknya masih banyak tulisan yang meletakan pada peran sentral ini. Pada himpitan kekuasaan struktur ekonomi politik, tidak jarang bahkan menyebabkan peran agen (subjek) gerakan mahasiswa ini menjadi tersubordinasi dan bahkan tenggelam. Dalam banyak kasus ia hanya tertinggal menjadi pengguna (konsumen) dari struktur dan fungsi yang telah disediakan oleh sistem. Jikapun ada kelindan keterlibatan mahasiswa, kadar pengaruhnya menjadi semakin menciut. Tarik menarik ‘struktur dan agency’ ini juga amat berharga menjadi kerangka teoritik yang bisa dipakai untuk memahami gerakan mahasiswa.

 

 

Mahasiswa dan Dinamika Historis Kekuasaan

 

Konteks dinamika pengalaman historis dan pasang surutnya GM di Indonesia akan memberi ilustrasi wajah yang lebih lengkap. Setiap generasi jaman dalam periodisasi sejarah bangsa Indoneisia peran yang diberikan dan dibentuk oleh GM tidaklah seragam. Struktur ekonomi politik dan dinamika relasi kekuasaan memberi sumbangsih keragaman watak dan peran tersebut. Keragaman itu bisa terdapat pada pilihan dan peletakkan ideologi gerakan, relasi dan posisi terhadap kekuasaan ataupun  juga model-model pilihan gerakan. Pada kaitan dengan pilihan dan relasinya dengan  ideologi amat jelas tergambar dalam perbedaan-perbedaan penting. Pada era tahun 1910-an sampai era 1930-an peran mahasiswa sebagai ‘penggagas’ amatlah besar. Pada tahun tersebut peran mahasiswa terfokus dalam ‘menyusun’ dan ‘mengembangkan’ disamping menerapkan dan mendukung ideologi. Dalam dekade ini meminjam telaah yang ditulis Arbi Sanit[10], mahasiswa merupakan komponen utama kaum intelektual Indonesia. Bersama dengan beberapa penggerak bangsa Indonesia seperti Cokroaminoto, Wahidin Sudirohusodo, generasi mahasiswa tahun 1910-an seperti Soetomo dan generasi 1920-an seperti Soekarno dan Hatta, telah meletakkan dasar pijakan ideologi bangsa Indonesia di kemudian hari.

 

Page 60: Konsep masy sipil

Berbeda dengan tahun sebelumnya, Tahun 1940-an peran mahasiswa lebih banyak sebagai pendukung atas berjalannya ideologi.[11] Beberapa generasi penggagas awal sudah ada dalam pimpinan-pimpinan republik dan gerakan mahasiswa setelahnya lebih hanya menenpatkan sebagai penerap. Pada ujung periode tahun 1960-an peran penggagas ideologi ini semakin menurun. Pada era ini apa yang disebut fragmentasi dan polarisasi ideologi makin terlihat tajam. Beberapa kelompok mahasiswa terkotakan dalam kepentingan masing-masing kelompok, aliran dan partai. Generasi-generasi gerakan mahasiswa seperti kelompok Cipayung (HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, PMII) mau tidak mau sebenarnya terlahir dari tuntutan ketegangan politik. Apalagi era kontestasi era Perang Dingin di taun 1960-an membawa dan merembes pada ketegangan sampai pada gerakan mahasiswa. Beberapa gerakan mahasiswa yang berafiliasi dan merupakan satu garis ideologi komunisme dan sosialisme (seperti CGMI) satu sisi berhadapan dengan organ gerakan mahasiswa yang berdiri pada sikap anti komunisme pada sisi yang lain.[12] Kebanyakan dari mereka yang sejatinya juga mewarnai kontestasi transisi politik 1966 di mana kekuatan Orde Baru mulai menggantikan posisi kekuasaan Soekarno.

 

Setelah berkuasanya Orde Baru, terutama era tahun 1970-an dan 1980-an, ketika pola pemberangusan dan represi atas seluruh daya kritis mahasiswa terutama dalam kegiatan berpolitik dan berideologi maka terjadi pemerosotan yang luar biasa. Politik NKK/BKK merupakan produk puncak dari upaya serius untuk mendepolitisasi GM. Ruang aktifitas gerakan selalu diawasi. Jikapun kemudian berkembang kegiatan-kegiatan di dalam kampus, ia sekedar berwujud dalam aktifitas-aktifitas instrumental yang berkait dengan persoalan internal kemahasiswaan yang tidak berkait dengan persoalan politik. Kehidupan kampus benar-benar ada dalam tekanan. Birokrasi kampus dibuat untuk sekaligus perpanjangan kekuasaan. Sistem pendidikan juga amat dikontrol sesuai kebutuhan fungsional dan pragmatis pembangunan yang menjadi kredo besar Orde Baru. Sensor dan pelarangan berbagai kegiatan mahasiswa yang bertendensi politis semakin ketat.[13]  Beberapa sebagian gerakan kemudian mentransformasi diri dan bergerak ke bawah tanah melalui pembentukan forum-forum dan kelompok-kelompok studi. Di lain sisi pemerintah melalui birokrasi kampus telah membentuk standar acuan baku dan resmi organisasi dan kegiatan mahasiswa yang direstui oleh negara. Sistem senat mahasiswa dan UKM kemudian muncul di kampus. Tahun 1980-an, kelompok-kelompok studi dan juga jaringan penerbitan pers kampus yang tumbuh subur dan ditahun 1990-an kembali merapatkan diri untuk membangun strategi gerakan terutama masa-masa mendekati krisis politik 1990-an dan memuncak pada transisi perubahan politik tahun 1998. Di tahun 1980-an sampai era 1990-an inilah peran mahasiswa yang kembali mengangkat pentingnya perumusan ideologi semakin berkembang.

 

 

Politik Pasca 1998 : Membaca Wajah Demokrasi Indonesia Saat Ini

 

Page 61: Konsep masy sipil

Sekedar menengok saja, harapan atas perubahan politik dan demokratisasi begitu kuat pada transisi politik 1998 karena sudah tidak relevannya bangunan sistem lama yang sekian lama berkuasa. Semua orang berharap perubahan itu bisa diwujudkan. Bagi rakyat kebanyakan, perubahan itu berarti pengandaian terjadinya perubahan pada tata kelola negara yang lebih baik yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Gelombang harapan itu kian waktu kian menyurut manakala apa yang diartikan sebagai perubahan nasib tidak kian membaik. Tidak menutup mata, ada beberapa prestasi reformasi yang hari ini bisa dirasakan terutama beberapa kebijakan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis seperti kebebasan pers dan hak kebebasan berpolitik yang lebih longgar. Boleh saja itu menjadi poin kemajuan transisi ke arah lebih demokratis, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa konfogurasi perubahan itu juga mencipta wajah krisis dan problem sosial yang makin merupa dengan berbagai bentuk.

 

Apa yang difahami sebagai ‘kebebasan’[14] dan ‘keterbukaan’ sebagai unsur demokratisasi dalam bangunan perspektif liberal, tidak begitu saja kemudian bisa mengangkat derajat solidaritas, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Keterbukaan dan kebebasan tidak menutup ruang atas lahirnya manifes eksploitasi baru. Kebebasan lebih bercitra ‘pasar’ ketimbang demokrasi sesungguhnya. Nalar budaya yang dibangun adalah ‘kompetisi’ dan bukan ‘solidaritas’. Warga negara menjadi subjek anonim. Anonimitas mendorong individualisme yang bergerak tak ubahnya seperti kerumunan konsumen pasar. Makna politik akhirnya menyempit tak ubahnya medan transaksional tukar beli. Kemanfaatan politik menjadi memusat hanya pada sejauh mana ia mampu mendorong ‘laba’ atau ’profit’ politik yang terkosentrasi pada minoritas yang terbatas. Bagi Hannah Arendt, politik tak ubahnya akan hanya menjadi ‘pasar’ jika ruang pablik politis terdistorsi oleh nalar kepentingan kapital.

 

Problem menjadi semakin akud, manakala transisi politik demokrasi tidak dibarengi dengan keseriusan mengawal aspek terpentingnya yakni  ‘komitmen keperpihakan’. Komitmen etis tak lagi ada ketika ruang demokratisasi bisa disulap menjadi sekedar ruang kompetisi tanpa batas. Tentu saja yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang mempunyai perangkat modal kekuasaan yang lebih terutama kapital sumber daya dan logistik uang. Hukum dan kebijakan yang diharap menjadi pengendali dan pelindung masyarakat sekedar menjadi tangan panjang dari kekuatan pasar. Apalagi senyatanya bahwa klaim transparasi, partisipasi, kebebasan, kemerdekaaan bersuara, hanya berlaku pada momen dan konteks terbatas. Lebih hanya menjadi fiksi dan manipulasi ketimbang sebuah habitus dan budaya politik yang nyata. Pada panggung belakang sudah terproteksi dalam nalar yang sudah baku yakni ‘rasionalitas sarana’ dengan capaiannya jelas yakni ‘kekuasaan tak terbatas’

 

Pemilu sebagai gambaran sederhana atas wujud demokrasi tidak beranjak dari residu persoalan yang makin menguat. Oligarkhi nepotisme kekuasaan pada sistem otoritarianisme tak berubah. Justru pemilu pasca reformasi melahirkan sistem oligarkhi dengan kecenderungan ‘plutokrasi’[15]  yang lebih terdeferiansi dalam berbagai mutualismenya. Kekuatan intervensi

Page 62: Konsep masy sipil

modal, money politik, baiaya lonjakan pemilu, kekerasan sosial, dan hilangnya nalar keperpihakan pada kelas rakyat mayoritas justru semakin menguat. Pepatah dan metafora ‘menuang anggur lama dalam botol yang baru’ seolah menjadi kenyataan. Kebebasan kian hari justru menjadi ‘mimpi horor’ bagi jaminan kehidupan manusia. Dengan kebebasan itu pula rezim lama berhasil menutup segala ingatan kolektif massa tentang kejahatan yang pernah diperbuat. Dengan kebebasan pula rezim telah membangun rehabilitasi pencitraan diri. Tak menjadi sulit bagi seorang ‘penjahat masa lalu’ mengubah diri menjadi ‘pahlawan’ pada saat ini. Cita-cita kebebasan dalam sistuasi seperti ini menjadi terasa ‘menjengkelkan’ dan  ‘absurd’. Menjadi mengembang sebagai ‘fiksi’ ketimbang membumi dalam kenyataan.

 

Sedikit meminjam catatan kritis dari Vedi R. Hadiz[16], kenyataannya Indonesia tidak sedang dalam ‘transisi politik’. Pertama, format demokrasi yang sekarang ditegakkan adalah sebuah sistem yang ditandai oleh praktik-praktik politik uang dan kriminalitas politik yang sama sekali tak beranjak dari sistem yang lama yakni nalar politik Orde Baru. Kedua, tidak ada satu sistem kendaraan reformasi murni yang efektif. Ketiga, menurut Hadiz, kerangka perubahan politik yang baru itupun lahir dan berkembang dalam sifat khusus dari kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan menyusul jatuhnya Soeharto. Menyoal transisi demokrasi dan analisisnya tentang demokrasi di Indonesia ia secara kritis menambahkan bahwa :“…bahwa demokrasi, dalam kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi berbagai kepentingan ‘predatoris’, sebagaimana rezim otoritarian yang antidemokrasi, dengan suatu syarat bahwa kelompok-kelompok dominan ini mampu menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokratik secara paksa”[17].  Formasi institusional politik boleh berubah tetapi yang berkuasa tetap rezim dan aktor-aktor yang sama.

 

Jika perjuangan demokrasi di saat ‘rezim totaliter Orde Baru’ lebih menempatkan vis a vis pihak kawan dan lawan yang lebih jelas, perjuangan demokratisasi saat ini justru berhadapan dengan nalar tubuhnya sendiri yakni kebebasan sekaligus para pelaku politik yang ‘predatoris’. Nalar utamanya tetap merampok walaupun membawa jargon demokrasi dan perubahan sebagai klaim politiknya. Sistem oligarkhi lama tidak bergeser. Oligarkhi baru makin menguat dengan berbagai praktik berdemokrasi. Era demokrasi justru menumbuh suburkan ‘kartel-kartel kekuasaan’ yang berorientasi pada kekuasaan modal. Mau tidak mau, krisis demokrasi harus dibaca mempunyai dua problem yakni nalar logikanya sendiri dan praktik relasi kuasa yang berkepentingan atasnya. Barangkali sebagian orang tidak begitu saja setuju dengan premis ini. Namun untuk perluasan sudut pandang, analisis semacam ini perlu menjadi perhatian. Jika poinnya melihat bahwa ‘demokrasi’ adalah sistem yang cukup berkapabilitas menjawab kehendak perubahan, situasi krisis saat ini wajar orang akan bertanya: apakah sedemikian lemahnya prinsip nalar demokrasi berhadapan dengan kooptasi relasi kekuasaan di luar dirinya?

 

 

Page 63: Konsep masy sipil

 

Demokrasi, Kapitalisme Pasar  dan Kembalinya Otoritarianisme

 

Sebagian besar nalar instrumentalis akan lebih bersibuk untuk selalu melihat ini sebagai problem teknis dan prosedural formal kelembagaan. Maka jawabanya selalu merujuk pada kerangka institusional. Sejak reformasi bergulit hingga saat ini, tambal sulam dan perubahan dalam dimensi institusional selalu terjadi, Sekian kebijakan peraturan, pembentukan format kelembagaan dan juga amandemen undang-undang telah dilakukan. Entah didorong oleh antusias dan kegenitan berdemokrasi, bagian dari pembentukan konsensus-konsensus politik baru ataupun memang ‘by desaign’ bagian dari keterkaitan dengan dorongan kepentingan global, perubahan-perubahan konstitusi dan institusi telah berlangsung. Namunpun demikian, situasi tetap tidak beranjak dari nalar lama yang terus terwariskan, terutama pola karakteristik relasi kekuasaan dan kelas dominan yang berkuasa. Warisan ‘otoritarianisme’[18] yang pernah dibangun Orde Baru dalam berbagai dimensi operasinya justru menjamur dan bermetamorfosis dalam rupa-rupa yang baru.

 

Dalam perjalanan berkait momen historis, mungkin transisi demokrasi rezim otoritarianisme Orde Baru menuju perjalanan reformasi politik Indonesia menjadi momen penggalan waktu yang amat berguna untuk menjadi analisis pembuka.[19] Justru secara prinsip sejatinya momen dialektis sebelumnya dalam proses transisi demokrasi selalu akan menentukan momen-momen dialektis setelahnya. Angin demokratisasi yang bergulir begitu kuat pada tumbangnya rezim Soeharto, tidak bisa dipungkiri juga buah interaksi dengan perubahan dan dorongan kepentingan kapitalisme pasar. Berbagai kebijakan deregulasi, privatisasi, debirokratisasi dan berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi politik neoliberal berhasil dibentuk. Lebih dari puluhan produk kebijakan berorientasi pada pro pasar kapitalis. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah demokrasi menjadi ruang terbuka dan mudah mengundang  intervensi pasar hadir ataukah sebaliknya bahwa liberalisasi ekonomi global (neoliberalisme) yang berperan memaksa sebuah negara membuka diri pada demokrasi?

 

Dalam konteks transisi politik Indonesia, neoliberalisme memang tak hanya menggunakan ruang demokrasi sebagai jargon dan lip service semata. Pasar neoliberal bahkan selalu menagendakan prinsip-prinsip demokrasi yang seluas-seluasnya  terutama upaya memotong intervensi negara yang hanya akan menghambat proses berjalannya pasar. Tetepai prinsip ini tidaklah harus diletakan sama pada konteks kepentingan yang berbeda. Dalam relasi kuasa yang lain ia justru bisa membentuk sebaliknya Prinsipnya kekuatan ekonomi pasar tak menghiraukan apakah sebuah negara demokratis atau tidak, tetapi terpenting yang menjadi mendasar adalah apakah ia cukup bersahabat dan kondusif bagi upaya akumulasi keuntungan kapitalisme pasar atau tidak.[20] Jika justru kontraproduktif, maka tak segan-segan kekuatan kapitalisme pasar akan menggunakan cara dan dalil apapun untuk merubahnya. Menjadi beralasan bahwa upaya sebuah

Page 64: Konsep masy sipil

transformasi peralihan kapitalisme pasar pada sebuah negara akan ditentukan dengan format kekuatan sosial politik yang ada. Kebertemuan ini menghadirkan satu bentuk relasi dan artikulasi relasi produksi kapitalis yang khas diantara kepentingan-kepentingan kekuasaan yang berkeleindan.

 

Pieere-Philippe Rey, seorang antropolog Prancis menuturkan dengan sangat baik melalui teori artikulasi kapitalismenya bahwa dalam periode-periode transisi peralihan kekuasaan dalam satu negeri tidaklah dengan begitu saja menghilangkan unsur formasi kekuatan lama dalam tahap tertentu justru memperkuat hubungan eksploitasi-eksploitasi yang sudah ada.[21] Dengan begitu, kapitalisme pasar bisa mendapat bagian untuk terlibat menentukan cara-cara produksi kapitalis yang ingin dibangun. Dalam konteks transisi peralihan Indonesia, tumbangnya rezim Soeharto yang lebih berkarakteristik kapitalisme oligarkhis non demokratis terbatas tidaklah kemudian begitu saja tiba-tiba berganti total. Neoliberalisme dalam banyak hal penting untuk mempertahankan relasi-relasi kekuasaan dengan metamorfosis wajah yang berbeda. Watak kekuasaan tetap sama. Tesis tentang ‘otoritarianisme’ yang masih hidup dan bertahan, dalam penjelasan ini menjadi masih relevan.

 

Cairnya kekuasaan setelah runtuhnya Orde Baru, menurut Hadiz tidak niscaya mengisyaratkan suatu keterputusan yang tajam dengan masa lalu.[22] Konsolidasi perubahan tidak sampai ke jantung perubahan kekuasaan sistem kelola ekonomi politiknya. Alhasil, apa yang menjadi situasi belum terkonsolidasi ini banyak dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan global untukm merombak baju dan penampilannya seraya menciptakan struktur kekuasaan baru yang lebih besar. Era reformasi dan keterbukaan justru disambut dengan berbagai kecenderungan pemberian peluang seluas-luasnya bagi intervensi kepentingan korporasi global. Jika di jaman Orde Baru kekuasaan ekonomi politik global berkolaborasi dengan kalangan terbatas yakni kekuatan kroni birokrasi negara maka melalui wajah pola barunya, korporatokrasi berevolusi  lebih meluas. Era kapitalisme yang terkosentrasi pada segelintir birokrasi negara sudah berakhir dan era neoliberalisme pasar mulai menunjukan taringnya dengan sangat leluasa.

 

Kekuasaan ekonomi global melalui seluruh kebijakan ‘pasar bebasnya’[23]  yang dikeluarkan oleh baik negosiasi dan perjanjian bilateral maupun internasional telah begitu menyebabkan negara mengalami satu dekade besar perubahan. Lembaga-lembaga besar internasional ekonomi juga memainkan pola relasi baru untuk menjadi tangan panjang dari masuknya berbagai kekuasaan tersebut. Tidak ada alasan sebenarnya bahwa negara telah menggunakan keabsahannya sebagai representasi kehendak umum untuk melakukan berbagai kebijakan yang memberi peluang pada hadirnya intervensi negara-negara lain. Namun, langkah ini tetap dilakukan walaupun warga masyarakat tidak pernah berkehendak atas hal tersebut.  Membaca fakta demikian, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negara itu adalah kondisi alamiah dari berbagai suara dan kehendak masyarakat? Jikapun itu ternyata tidak terbukti, kemudian bagaimana kita mampu mendefinisikan kembali tentang apa itu negara sejatinya?

Page 65: Konsep masy sipil

 

Kekuatan global melalui korporasinya mampu dengan mudah mendesakkan segala kepentingannya dalam berbagai kepentingan sektornya yang strategis di sebuah negara tertentu. Nalar kekuatan pasar selalu berlogika bahwa tak penting lagi ada pembatasan-pembatasan dan regulasi-regulasi yang mengikat hadirnya kepentingan pasar ini. Biarkan pasar berdiri bebas dan maka kesjahteraan umat manusia akan terwujud. Demikian kredo besar dari para penggagas pasar bebas atau neoliberalisme pasar. Dalam sistem neoliberal kekuatan pasar menjadi utama dan negara bangsa lambat laun akan melenyap.[24] Tetapi benarkah demikian? Apakah negara benar-benar sudah melenyap, jika kita menyaksikan kenyataannya bahwa negara dengan seluruh kebijakannya masih saja eksis dan bahkan gencar melakukan langkah-langkah yang menggunakan klaim negara. Tentu saja premis Omahe ini bisa kita maknai sebagai cara baca liberal yang belum tentu tepat. Cara baca yang begitu terburu-buru juga pernah dilontarkan oleh Francis Fukuyama mengenai berakhirnya sejarah (The End of History) di mana ia menganggap bahwa kapitalisme sebagai babak akhir pemanang dari keseluruhan sejarah saat ini.

 

Dalam bentuk, cara dan baju yang yang lain negara justru masih saja kuat dan eksis. Negara pada kenyataannya tidak lenyap melainkan justru bermetamorfosis dan menyesuaikan diri dengan dinamika kepentingan yang ada. Negara telah kehilangan ciri utamanya sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan pelindung warga negaranya.[25] Negara justru lebih memilih dan berorientasi untuk melindungi dan menghamba para pemilik modal dan kekuatan-kekuatan kapital besarnya. Tali pengikat akan determinasi dan intervensi ini dilakukan dengan berbagai kesepakatan-kesepakatan internasional yang memaksa setiap negara harus tunduk pada aturan aturan global tersebut. Tak hanya itu, seperangkat kekuasaan global juga dijelmakan melalui beberapa bentuk kelembagaan internasional yang bertugas untuk menjadi penentu. Ambil contohlah seperti IMF, PBB, World Bank, WTO dan lainnya. Kata kunci bagi kekuasaan ini adalah: pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi.  Tugas negara akhirnya hanya minimal (minimal state) yakni bertugas untuk melindungi kepentingan para pengusaha dan pemilik modal.

 

Terakhir, mapping awal ini amatlah penting untuk difahami secara ktisis sehingga masing-masing gerakan mahasiswa mampu meletakkan posisi keterlibatannnya secara benar. Kegagalan gerakan mahasiswa biasanya juga amat terletak pada kesalahan dan kelemahan pembacaan kritis terhadap konteks objektif yang mereka fahami. Evolusi perubahan sosial politik dan ekonomi yang banyak melahirkan format dan kemasan baru kekuasaan seringkali membawa sekaligus wajahnya yang semakin rumit dan kompleks. Tentu menjadi kewajiban dari gerakan untuk mampu menangkap perubahan perubahan dan kerumitan-kerumitan tersebut. Transformasi dan metamorfosis gerakan menjadi niscaya dibutuhkan. Pada ujung fungsi yang lain, langkah strategis ini akan meminimalisis kemandegan dan kefrustasian gerakan.

 

Page 66: Konsep masy sipil

 

Jabat erat dan salam juang !!!

[1] Paper ini disampaikan pada diskusi tentang “Sejarah Gerakan Mahasiswa” dalam rangka Up-grading anggota kabinet BEM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Sabtu 28 Mei 2010. Tulisan ini juga hasil tambahan kompilasi beberapa tulisan penulis yang sudah ada sebelumnya.

[2] Pemateri adalah pengamat lepas sosial politik dan sekarang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Yogyakarta. (No Kontak : 081329317843)

[3] Sebagai sebuah identitas, kemunculan penyebutan ‘kekuatan moral’ ini harus dibaca secara lebih kritis. Pada konteks sejarah, penyebutan itu justru dikembangkan oleh kekuatan Orde Baru pada saat itu. Terutama berkepentingan untuk membatasi skup ruang keterlibatan mahasiswa pada dimensi-dimensi praktik politik. Bersamaan dengan itu pula diam-diam ada pentabuan tentang apa yang dimenngerti tentang politik. Situasi semacamk ini bisa dibaca sebagai modus depolitisiasi kekeuasaan untuk meminggirkan gerakan mahasiswa dari fungsi sejatinya yakni gerakan politik kaum muda.

[4] Lahir dan berkembangnya ‘mitos’ terhadap gerakan mahasiswa ini bersamaan dengan terjadinya depolitisasi gerakan. Pada titik yang lain menyebabkan keterpisahan dengan komponen perubahan yang lain yang sejatinya menjadi kekuatan yang sesungguhnya. Nalar yang kadang sering muncul adalah bahwa gerakan mahasiswa sering kali difahami sebagai sebuah kekuatan yang besar di antara kekuatan politik yang lain. Rasa kemegahan diri ini sering kali menggelincirkan diri gerakan pada situasi keretakan dan keterpecahan konsolidasi gerakan.

[5] Warna ‘spontannya’ bisa dicontohkan dengan kegemaran gerakan yang hanya selalu berkecenderungan untuk merespon isu yang kadang sifatnya elitis tanpa bersabar untuk membangun fondasi dan praktik gerakan secara jangka panjang. Warna ‘parsialnya’ terlihat pada semakin terkurungnya aktifitas gerakan pada kotak aktifitas dan kerja esklusif kelembagaan sendiri-sendiri. Masing-masing gerakan terpisah-pisah dan semakin lemah dalam tingkat konsolidasi.

[6] Pengertian ‘mahasiswa’ tidak hanya terberi karena status fungsionalnya sebagai pribadi yang tercatat secara formal dalam kampus sebagai mahasiswa, melainkan definisi yang melekat pada makna peran dan fungsinya dalam sejarah perubahan sosial.

[7] Lihat, Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Penerbit Prenada, Jakarta, 2010, hal. 326. Gerakan Sosial menurut Eyerman dan Jamison bisa difahami sebagai “Tindakan kolektif yang kurang lebih terorganisir, bertujuan perubahan sosial atau lebih tepatnya kelompok individu yang secara bersama bertujuan mengungkapkan perasaan tak puas secara kolektif di depan umum dan mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tak memuaskan itu”.

Page 67: Konsep masy sipil

[8] Lihat, Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru (terjemahan : Eko P. Darmawan), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010, hal. 184.

[9] Ambil contoh jargon dan mitos yang sering terdengar seperti istilah “mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of changes)” pada banyak kasus justru telah menjadi candu yang mengilusi gerakan.  Definisi ini justru dibanyak hal menjadi pujian yang meninakbobokan dari prinsip kenyataan yang ada. Gerakan mahasiswa menjadi terbawa dalam kecenderungan subjektif atau kebanggaan diri yang berlebih. Banyak hal pula justru menghilangkan peran analisis kritis, di mana gerakan sejatinya juga merupakan produk dari relasi struktur masyarakat yang berjalan.

[10] Lihat, Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Aksi Politik, Penerbit Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.  42-43.

[11] Pada era demokrasi parlemen di mana partai-partai berkembang subur terlihat mulai terbukanya aktifitas politik aliran dan pilitik ideologi masing-masing kekuatan politik. Masing-masing kekuatan  tersebut juga menyertakan barisan pendukung yang dilembagakan dalam berbagai bentuk kelompok mahasiswa dan pemuda.

[12] Pada kenyataannya, ‘gerakan mahasiswa’ yang berdiri pada pilihan ‘anti komunis’ ini banyak diberi ruang dan dukungan oleh Tentara pada waktu itu. Satu sisi kepentingan tentara dalam upaya terlibat menggeser kekuasaan Soekarno amatlah kentara. Setelah keberhasilan tahun 1966 dan berkuasanya Orde Baru yang dipimpin Soeharto, banyak aktifis 66 ini masuk dalam jajaran kekuasaan dan pimpinan negara. Catatan menarik tentang situasi ini bisa dibaca pada: Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta, 1983.

[13] Momen sejarah yang amat menentukan dari lahirnya sistem represi ini dapat terlihat pada respon kekuasaan Orde Baru terhadap geliat resistensi mahasiswa di tahun 1974 yang kemudian akrab disebut sebagai peristiwa Malari (Peristiwa 15 Januari 1974). Dalam keputusan Menteri Pertahanan Negara, M Pangabean, ada sedikitnya tiga langkah untuk merespon peristiwa tersebut yang salah satunya ikut berpengaruh pada kehidupan GM: Pertama, demontrasi yang menurut pengalaman menimbulkan kekacauan-kekacauan dalam masyarakat tidak dibenarkan lagi; Kedua, menertibkan pemberitaan dalam pers/surat kabar; Ketiga, menertibkan kehidupan dalam universitas-universitas/sekolah-sekolah agar tidak digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik. Lihat, Marzuki Arifin, Peristiwa 15 Januari 1974, Publishing House Indonesia, Jakarta, 1974, hal. 339 dikutip dalam buku Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibreidel, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2006, hal. 43.

[14] Apa hakikat ‘kebebasan’ dalam ‘korelasinya’ dengan kehidupan masyarakat warga dan potensi-potensi negativitasnya bisa melihat tulisan Fitzerald K.Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G.W.F Hegel” dalam buku: F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 201o, hal. 123.

[15] Sistem ‘plutokrasi’ lebih menunjukan kecenderungan sistem yang beradaptasi pada praktik lanjutan demokrasi representatif liberal dengan capaian-capaian prosedural terbatas dan lebih

Page 68: Konsep masy sipil

beradaptasi pada ‘kekuasaan otokrasi’ yang lihai memainkan  manipulasi-manipulasi dalam pemilu.,

[16] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, Kerangka mendasar teoritik dari buku ini  dituliskan bahwa “Kerangka Institusional kekuasaan dapat berubah–misalnya ke arah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi  sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto-tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks intitusional yang baru”.

[17] Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 271.

[18] Lihat, Baskara T Wardaya, dkk., Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Penerbit ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta, 2007.

[19] Tidak berarti melupakan dan mengabaikan keterkaitan momen transisi politik sebelumnya seperti transisi naiknya Orde Baru 1966 dan setelahnya, tetapi setidaknya momen transisi 1998 membuktikan secara nampak bahwa diskursus dan eufoia demokrasi begitu luar biasa dirasakan. Perubahan-perubahan sistem  baik aturan dan kelembagaan demokrasi juga begitu gegap gempita. Tidak harus dulu memberi penilain dan kritik pada moment perubahan ini, namun sebagai sebuah penggalan sejarah, ia menarik untuk dicermati. Artinya pula tidak bisa dipungkiri bahwa ekspetasi dan harapan politik atas perubahan menuju demokrasi yang sejati begitu besar hadir dalam pandangan dan pikiran hampir keseluruhan rakyat Indonesia.

[20] Lihat dalam kasus krisis politik demokrasi di Burma (Myanmar) yang pernah berlangsung. Rezim junta milkiter justru selalu dipertahankan oleh kekuatan kapitalisme liberal karena fungsi manfaat keuntungannya yang besar ketimbang menggantikannya dengan sistem demokrasi rakyat. Kebijakan Liberal tidak semerta-merta mampu menggantikan “rezim militer yang otoriter”  menjadi sitem “politik yang demokratis”. Diambil dari tulisan Katherine Barbieri “The Liberal Illusion: Does Trade Promote Peace (2002), yang dikutip oleh Ronny Agustinus, dalam “Rezim Militer dalam Ilusi Kaum Liberal”, di Jurnal ‘KONSTALASI’, edisi 2, Oktober 2007.

[21] Lihat, Pieere-Philippe Rey, Les Aliances des Classes, dikutip dari tulisan Aidan Foster-Carter, “The Model of Production Controversy”, New Left Review, no. 107, Jan-Feb, 1978.

[22] Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 216.

[23] Untuk mendapat gambaran tentang sejarah ‘perdagangan bebas’ dan beberapa implementasi praktiknya bisa dilihat di, Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Mensiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Penerbit Mizan, Bandung, 2007.

[24] Lihat, Kenichi Omahe, The End of The Nation State, New York : Simon and Schuster, 1995. Beberapa anggapan ini meyakini bahwa negara sudah saatnya melenyap karena akan mengganggun berjalannya mekanisme pasar. Kenichi Omahe dalam bukunya The End of Nation State begitu amat yakin bahwa pada era sekarang tidak ada lagi tapal batas yang dimaksud dengan sebuah negara. Lenyapnya negara adalah sebuah keharusan karena peran negara sudah tidak lagi menentukan bagaimana sistem ekonomi politik saat ini berjalan. Apa yang sejatinya

Page 69: Konsep masy sipil

sekarang berjalan adalah kekuatan korporasi pasar. Tak ada lagi yang bisa disebut sebagai hasil dari produk negara.

[25] Lihat, I. Wibowo, Negara Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 6.

Page 70: Konsep masy sipil

Gerakan Sosial

Bab I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dewasa kini kita semua sering menjumpai aksi-aksi demontrasi yang dijalankan oleh gerakan-gerakan sosial baik dari kalangan mahasiswa maupun elemen masyarakat. Ini semua karena mereka peduli terhadap bangsa Indonesia tercinta ini. tak bisa di pungkiri bahwasannya gerakan-gerakan sosial sangatlah berpengaruh terhadap perjalanan perkembangan bangsa Indonesia ini.

Penulis akan membawa pembaca untuk melihat aksi dari gerakan sosial, misalanya gerakan mahasiswa tahun 1998 merupakan sebuah contoh gerakan sosial yang berhasil dalam misinya. Memang tidak semua slogan yang di inginkan dalam gerakan mahasiswa bisa terwujud namun langkah-langkah dan karakteristik yang diambil dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Indonesia selama tahun 1998 menunjukkan sebuah ciri-ciri gerakan sosial. Saat Presiden Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998, gerakan mahasiswa yang marak di hampir seluruh kampus di Indonesia mencapai klimaksnya. Sesudah itu perlahan-lahan situasi kampus kembali ke kehidupan perkuliahan. Boleh dikatakan, gerakan sosial seperti itu seperti sebuah gerakan resi yang turun gunung manakala situasi membahayakan negara memanggilnya.

Mahasiswa yang muncul sebgai suatu segmen masyarakat yang terdidik, terpengaruh budaya pendidikan Barat dan belajar menganalisa masyarakatnya keluar dari tradisi-tradisi umumnya yang ingin menempatkan “Pemerintah” sebagai sebuah institusi yang serba benar. Para gerakan-gerakan sosiaol dari semua kalangan muncul itu bukan karena ingin narsis kepada para wartawan. Tapi patut ditekankan bahwa kemunculan mereka adalah sebab dari ketimpangan-ketimpangan para rezim yang berkuasa dan penindasan-penindasan yang dilakukan oleh para rezim. Seperti, biaya sekolah mahal sampai-sampai anak miskin dilarang sekolah, bahan makan sembako mahal, dan penindasan-penindasan lainnya. Bahkan dalam dunia pendidikan bagi dunia mahasiswa itu juga tidak lepas dari kenakalan yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa.

Misalnya, semenjak NKK/BKK diberlakukan terhadap kampus untuk meredam pengaruh politik dari ormas-ormas yang ada atau pengaruh dari pesaing politik yang anti atau vokal terhadap kebijakan pemerintah, mahasiwa disibukkan oleh urusan kuliah. Sistem SKS yang diberlakukan telah mendorong mereka untuk mencurahkan perhatian semata-mata pada perkuliahan. Kegiatan ekstrakulikuler dan keorganisasian mahasiswa lainnya dipersulit untuk dikatakan tidak dilarang sama sekali. Oleh karena itulah generasi NKK/BKK itu melahirkan mahasiswa yang manut terhadap kekuatan pemerintah atau bahkan mungkin penakut. Inilah yang terjadi dalam dunia mahasiswa sekarang. Yang mana hanya kuliah, kos, perpustakan, kantin. Mereka tidak pernah berani untuk menganalisis realitas sosial yang terjadi disekitarnya.

Page 71: Konsep masy sipil

Maka dari itu penulis menyajikan sebuah tulisan tentang gerakan sosial, faktor penyebab munculnya, dan macam-macam gerakan sosial. Yang mungkin dapat diambil hikmahnya oleh penbaca. Yang nantinya akan bersikap kritis terhadap keadaan yang terjadi disekitar kita.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan atau jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Akhirnya besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan manfaat. Amiin Ya Robbal ‘Alamin.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang tertulis diatas penulis dapat merumuskan masalah yang terkait dalam gerakan sosial, diantaranya :

a.       Bagaimana pengertian dan konsep dari gerakan sosial ?

b.      Sebutkan macam-macam dan fungsi gerakan sosial ?

c.      Bagaimana faktor penyebab atau pemicu munculnya gerakan sosial ?

1. Tujuan Penulisan

a.       Untuk memahami pengertian dan konsep gerakan sosial.

b.      Untuk memahami macam-macam gerakan sosial.

c.       Untuk memahami faktor pemicu atau penyebab munculnya gerakan sosial.

Bab II

PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Konsep Gerakan Sosial

Pada tahun 1966 para mahasiswa anggota KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berusaha mengagalkan upacara pelantikan anggota kabinet baru dengan jalan memblokade jalan-jalan yang menuju istana-istana merdeka dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang bannya dikempesin. Dua puluh tahun kemudian penduduk wilayah palestina yang diduduki Israel melancarkan gerakan yang dikenal dengan nama intifadah—demontrasi, pemogokan serta konfrontasi dengan pasukan Israel dengan menggunakan batu dan bom api.

Bagaimana gerakan seperti itu dilihat oleh sosiologi ? dalam sosiologi gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial.[1] Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang

Page 72: Konsep masy sipil

secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.[2]

Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan.[3] Definisikan gerakan sosial sebagai: “any board social alliance of people who are associated in seeking to effect or to block an aspect of social change within a society” artinya, Suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat.[4]

Organisasi yang dinamis adalah organisasi yang mampu berkolaborasi dengan sekitarnya. Ketika sumber daya yang ada dapat berkolaborasi dan berbaur dengan sekitar maka akan tercipta sebuah gerakan yang besar dan terarah. Jika subjek-subjek yang berada didalam sebuah wadah organisasi mampu meningkatkan kualitas diri dan mampu meningkatkan jejaring komunikasi dan kerjasama. Tentunya konsep TriNetwork ini akan menjadi sebuah konsep yang mampu memberikan arah perubahan yang cukup bagi kemajuan organisasi.

Konsep TriNetwork ini adalah sebuah ilmu yang memposisikan diri organisasi dari 3 (Tiga) aspek penting dalam dunia kemasyarakatan. Aspek tersebut adalah:

Ø  Masyarakat

Sebuah Organisasi yang mandiri harusnya memiliki sebuah tujuan agar dapat melakukan perubahan dan tentunya harus berorientasi terhadap masyarakat. Perjuangan yang tak berorientasi tujuan maka akan sia-sia karena tidak ada yang akan merasakan hasil dan yang mampu memberikan sebuah respons terhadap kinerja organisasi

Ø  Pemerintah

Sebagai penguasa dinegara adalah pemerintah, karena itu wajib hukumnya kita berkolaborasi dengan penguasa agar kita dapat memberikan fungsi Sosial Control kita agar Policy yang ditetapkan dapat bersinergi dengan tujuan kita. Tak lepas dari itu kita juga memiliki peran yang sentral dalam upaya pemberdayaan masyarakat yang tentunya merupakan prioritas dari pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat dan tentunya bersinergi dengan aspek yang pertama yaitu tujuan (masyarakat)

Ø  Instansi Swasta

Instansi swasta merupakan aspek yang ketiga karena perkembangan dunia Ekonomi tak akan lepas dari peran instansi swasta. Aspek yang menjadi sentral dan tentunya berakibat yang sangat fatal jika ekonomi mengalami kolaps dan mengakibatkan masyarakat menderita.

Ketiga aspek tersebut harusnya menjadi sebuah sinergi dalam satu arah gerak dalam membuat kebijakan organisasi yang berorientasi tujuan dan jejaring.[5]

Page 73: Konsep masy sipil

Konsep Dalam Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur.

Unsur dasar adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi (kelas kapitalis).

Dengan kata lain, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh, dengan determinisme ekonomi sebagai landasan gerakan sosial.Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis, termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian pula sebaliknya. Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial.

Pendidikan, budaya dan kesadaran merupakan sesuatu permasalahan yang sangat penting dan perlu diperjuangkan dalam perubahan sosial. Hegemoni merupakan bentuk kekuasaan kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran subordinat. Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety).

Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideology dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah.[6]

Gerakan sosial berbeda dengan perilaku kolektif yang telah dibahas terdahulu, maka gerakan sosial ditandai dengan adanya tujuan atau kepentingan yang bersama.[7] Setelah melakukan perusakan terhadap stadion, stasiun kereta api, kendaraan atau sarana umum lainnya. Para suporter yang terlibat dalam perilaku kolektif biasanya tidak mempunyai tujuan atau kepentingan bersama lagi dan perilaku kolektif akan berhenti sendirinya. Hal sama berlaku pula bagi orang yang bersama-sama melakukan pemukulan bahkan pembunuhan terhadap tersangka pelaku kejahatan. Para remaja penggemar aktor atau seniman tertentu yang telah berdesak-desakan dalam kerumpunan akhirnya berhasil memperoleh tanda tangan idola mereka.

Page 74: Konsep masy sipil

Gerakan sosial, dipihak lain, ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk menghubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada didalamnya. Contoh, gerakan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilancarkan hampir tiap hari bertujuan perimbangan politik dan kebijakan ekonomi pemerintah (pembubaran PKI, penurunan harga, perubahan kabinet). Giddens (1989) dan Light, Keller dan Calhoun (1989) menyebutkan ciri lain gerakan sosial, yaitu penggunaan cara yang berada diluar institusi yang ada. Berbagai gerakan sosial memang memenuhi kriteria ini. gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1966 dan 1998, gerakan mahasiswa Amerika Serikat menentang perang Vietnam, memang sering berada diluar institusi yang ada. Sebagaimana dapat dilihat kasus di atas, cara yang digunakan memang berada diluar Institusi, misalnya, pemogokan, pawai, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa izin, mogok makan, intimidasi, konfrontasi dengan aparat keamanan.

1. Macam-Macam dan Tipe Gerakan Sosial

Disekitar kita banyak terdapat macam-macam gerakan sosial. Seperti halnya gerakan buruh, gerakan petani, gerakan mahasiswa, gerakan religius, gerakan sosial, gerakan radikal, gerakan ideologi, dan kalau kita menganalisis secara terperinci maka sangat banyak macam-macam gerakan sosial yang tumbuh di dalam tataran masyarakat.

Karena keragaman gerakan sosial sangat besar, maka berbagai ahli sosiologi mencoba menklarifikasikan dengan menggunakan kriteria tertentu. David Aberle, misalnya, dengan menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki (perubahan perorangan dan perubahan sosial) dan besar pengaruhnya yang diingginkan ( perubahan untuk sebagain dan perubahan menyeluruh). Membedakan empat tipe gerakan sosial, tipologi Aberle adalah sebagai berikut:

a. Alterative Movement

Ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk merubah sebagian perilaku perorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukan berbagai kampanye untuk merubah perilaku tertentu, seperti misalnya kampanye agar orang tidak minum-minuman keras. Dengan semakin menyebarnya penyakit AIDS kini pun banyak dilancarkan kampanye agar dalam melakukan perbuatan sek dengan bertanggung jawab.

b. Rodemptive Movement

Gerakan ini lebih luas dibandingkan dengan alterative movement, karena yang hendak dicapai ialah perubahan menyeluruh pada perilaku perorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat di bidang agama. Melalui gerakan ini , misalnya, perorangan diharap untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama.

c. Reformative Movement

Gerakan ini yang hendak diubah bukan perorangan melainkan masyarakat namun lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu masyarakat, misalnya gerakan kaum homoseks untuk memperoleh perlakuan terhadap gaya hidup mereka atau gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan people power di Filipina atau

Page 75: Konsep masy sipil

gerakan menentang pedana mentri Suchinda di Thailand pun dapat dikategorikan dalam tipe ini karena tujuannya terbatas, yaitu pergantian pemerintah.

d. Transformative Movement

Gerakan ini merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh. Gerakan kaum Khamer Merah untuk menciptakan masyarakat komunis di Cambidia. Suatu proses dalam mana seluruh penduduk kota dipindahkan ke desa dan lebih dari satu juta orang Cambodia kehilangan nyawa mereka karena di bunuh kaum Khamer Merah, menderita kelaparan atau sakit merupakan contoh ekstrim gerakan sosial semacam ini. Gerakan transformasi yang dilancarkan oleh rezim komunis di Uni Soviet pada tahun 30-an serta di Tiongkok sejak akhir 40-an untuk mengubah masyarakat mereka menjadi masyarakat komunis pun mengakaibatkan menentang diskriminasi oleh orang kasta-kasta bawah, menengah dan atasmu mendapat di kategotikan dalam ini karena keberhasilan gerakan mereka akan berarti pula perombakan mendasar  pada masyarakat India.[8]

Kornblum pun membuat klarifikasi tentang gerakan sosial, tetapi berbeda dengan Aberle, maka yang dijadikan kriteria klarifikasi adalah tujuan yang hendak di capai.[9] Atas dasar kriteria ini kornblum membedakan antara revolutionary movenment, reformist movement, convervative movement, dan reactionary movement. Apabila gerakan sosial nbertujuan mengubah institusi dan strafikasi masyarakat, maka gerakan tersebut merupakan gerakan revolusioner (revolutionary movenment).

Revolusi sosial merupakan satu transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi pemerintah dan sistem strafikasi.[10] Revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi di Tiongkok pada tahun 1949 dapat dimasukan dalam kategori ini, karena di kedua masyarakat tersebut sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi lama dirombak menyeluruh diganti sistem komunis. Apa yang membedakan revolusi dengan gerakan sosial lain? Menurut Giddens, suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria, antara lain:

1.      Melibatkan gerakan sosial massal

2.      Menghasilkan proses reformasi dan perubahan

3.      Melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan

Dengan demikian menurut Giddens, revolusi perlu dibedakan dengan kudeta dan pembrontakan, karena menurutnya kudeta hanya melibatkan penggantian pemimpin dan tidak mengubah institusi politik sedangkan pembrontakan tidak membawa perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan.[11]

Jika gerakan hanya bertujuan untuk mengubah senagian institusi dan nilai, maka nama yang diberikan Kornblum ialah gerakan reformis (reformist movement). Atas dasar kriteria ini gerakan Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakarta merupaskan gerakan reformis, karena tujuan utama mereka adalah memberikan pendidikan Barat formal kiepada putra-putri pribumi.[12]

Page 76: Konsep masy sipil

Gerakan yang berupa mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut Kornblum gerakan konsevatif (conservative movement). Di Amerika Serikat, misalnya usaha kaum feminis ditahun 1980-anj untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin persamaan hak lebih besar antara laki-laki dan perempuan (ERA atau Equal Rights Amandment) ditentang dan akhirnya digagalkan oleh gerakan konsevatif perempuan STOP-ERA “suatu gerakan anti feminis yang melihat sebagai ancaman terhadap peranan perempuan dalam keluarga sebagai istri dan ibu.[13]

Suatu gerakan yang disebut reaksioner (reactionary movement) manakala tujuannya ialah untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan meninggalkan institusi dan nilai masa kini. Contoh yang di berikan Kornblum ialah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi rahasia ni berusaha mengembalikan keadaan di Amerika Serikat ke masa lampau di kala instituisi sosial mendukung asas keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit hitam (White Supermacy).[14]

1. Fungsi Gerakan Sosial

Perubahan-perubahan besar dalam tatanan sosial di dunia yang muncul dalam dua abad terakhir sebagian besar secara langsung atau tak langsung hasil dari gerakan-gerakan sosial. Meskipun misalnya gerakan sosial itu tidak mencapai tujuannya, sebagian dari programnya diterima dan digabungkan kedalam tatanan sosial yang sudah berubah. Inilah fungsi utama atau yang manifest dari gerakan-gerakan sosial. Saat gerakan sosial tumbuh, fungsi-fungsi sekunder atau “laten” dapat dilihat sebagai berikut:

1. Gerakan Sosial memberikan sumbangsih kedalam pembentukan opini publik dengan memberikan diskusi-diskusi masalah sosial dan politik dan melalui penggabungan sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini publik yang dominan.

2. Gerakan Sosial memberikan pelatihan para pemimpin yang aka menjadi bagian dari elit politik dan mungkin meningkatkan posisinya menjadi negarawan penting. Gerakan-gerakan buruh sosialis dan kemerdekaan nasional menghasilkan banyak pemimpin yang sekarang memimpin negaranya.

Para pemimpin buruh dan gerakan lainnya bahkan sekalipun mereka tidak memegang jabatan pemerintah juga menjadi elit politik di banyak negara. Kenyataan ini banyak diakui oleh sejumlah kepala pemerintahan yang memberikan penghargaan kepada para pemimpin gerakan sosial dan berkonsultasi dengan mereka dalam isu-isu politik. Saat dua fungsi ini mencapai titik dimana gerakan sesudah mengubah atau memodifikasi tatanan sosial, menjadi bagian dari tatanan itu maka siklus hidup gerakan sosial akan berakhir karena melembaga.[15]

1. Faktor Penyebab Gerakan Sosial

Faktor apakah yang menyebabkan munculnya gerakan sosial? Mengapa orang melibatkan diri kepada perilaku kolektif yang bertujuan mempertahankan ataupun mengubah masyarakat? Dalam ilmu-ilmu sosial dapat dijumpai berbagai penjelasan, baik bersifat psikologis maupun bersifat sosiologis. Penjelasan yang sering dikemukakan mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial.

Page 77: Konsep masy sipil

Menurut penjelasan ini orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan, penderitaan), misalnya di bidang ekonomi (seperti hilangnya peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya: pangan, sandang, papan). Para penganut penjelasan ini menunjuk pada fakta bahwa gerakan sosial dalam sejarah didahului deprivasi yang disebabkan oleh sosial seperti kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok.

Beberapa ahli sosiologi, misalnya James Davies, kurang sependapat dengan penjelasan deprivasi semata-mata. Mereka menunjuk pada fakta bahwa gerakan sosial sering muncul justru pada saat masyarakat menikmati kemajuan dibidang ekonomi. Oleh sebab itu dirumuskanlah penjelasan yang memakai konsep deprivasi sosial relatif.[16] James Davies mengemukakan bahwa meskipun tingkat kepuasan masyarakat meningkat terus, namun mungkn saja terjadi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan yuang diinginkan masyarakat dengan apa yang diperoleh secara nyata.

Kesenjangan ini dinamakan deprivasi sosial relatif. Apabila kesenjangan sosial relatif ini semakin melebar sehingga melewati batas toleransi masyarakat, misalnya karena pertumbuhan ekonomi dan sosial diikuti dengan kemacetan bahkan kemunduran mendadak maka, menurut teori Davies revolusi akan tercetus.[17] Sejumlah ahli sosiologi lain berpendapat bahwa deprivasi tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan terjadinya gerakan sosial.[18]

Menurut mereka perubahan sosial memerlukan pengerahan sumber daya manusia maupun alam (resource mobilization). Tanpa adanya pergerakan sumber daya suatu gerakan sosial tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi tinggi. Keberhasilan suatu gerakansosial bergantung, menurut pandangan ini, padasosial manusia seperti kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan, serta sosial sumber daya lain seperti dana dan sarana. Deprivasi yang dialami oleh masyarakat kita pada tahun 1966 tingkat inflasi tinggi yang dampaknya terasa pada harga kebutuhan pokok, ketidakmampuan terhadap klebijaksanaan politik dalam negeri kepemimpinan nasional setelah peristiwa percobaaqn kudeta  “Gerakan 30 September”.

Menurut teori ini tidak akan menghasilkan gerakansosial berupa kebangkitan “Angkatan 1966” apabiula ditunjang dengan pengerahan sumber daya kepemimpinan, organisasi dab keterlibatan mahasiswa dan pelajar, dukungan moral dan materiel kekuatan dalam TNI, dukungan berbagai kalangan masyarakat, dan peliputan oleh media massa dalam negeri dan luar negeri.[19]

Bab III

PENUTUP

Ø  Kesimpulan

Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan.

Page 78: Konsep masy sipil

Konsep TriNetwork ini adalah sebuah ilmu yang memposisikan diri organisasi dari 3 (Tiga) aspek penting dalam dunia kemasyarakatan. Aspek tersebut adalah: 1. Masyarakat, 2. Pemerintah, 3. Instansi Swasta. Gerakan sosial berbeda dengan perilaku kolektif yang telah dibahas terdahulu, maka gerakan sosial ditandai dengan adanya tujuan atau kepentingan yang bersama. Membedakan empat tipe gerakan sosial, tipologi Aberle adalah sebagai berikut: a. Alterative Movement, b. Rodemptive Movement, c. Reformative Movement, d. Transformative Movement.

Fungsi-fungsi gerakan sosial sekunder atau “laten” dapat dilihat sebagai berikut: 1. Gerakan Sosial memberikan sumbangsih kedalam pembentukan opini publik dengan memberikan diskusi-diskusi masalah sosial dan politik dan melalui penggabungan sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini publik yang dominan. 2. Gerakan Sosial memberikan pelatihan para pemimpin yang akan menjadi bagian dari elit politik dan mungkin meningkatkan posisinya menjadi negarawan penting.

Faktor penyebab munculnya gerakan sosial dalam ilmu-ilmu sosial dapat dijumpai berbagai penjelasan, baik bersifat psikologis maupun bersifat sosiologis. Penjelasan yang sering dikemukakan mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial. Menurut penjelasan ini orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan, penderitaan), misalnya di bidang ekonomi (seperti hilangnya peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya: pangan, sandang, papan).

DAFTAR PUSTAKA

Sunarto. Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Nagazumi. Akira , Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta, Grafitipers, 1989.

Kornblum. William, sosiology in a Changing World,  New York, 1988. Keller. Light  dan  Calhoun. Craig , Sosiology,  New York, Edisi Kelima, Alfred A.

Knopf, 1989. Jary. Julia  dan Jary. David, Collins Dictionary of Sociology, Edisi Kedua, 1995. http//:www.google.co.id.

[1] Prof. Dr. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004, hlm. 194-195.

[2] http//:www.google.co.id.

[3] Prof. Dr. Kamanto Sunarto, loc. cit.

[4] Julia Jary dan David Jary, Collins Dictionary of Sociology, Edisi Kedua, 1995, hlm. 614-615.

Page 79: Konsep masy sipil

[5] http//:www.google.co.id.

[6] Lihat, Mansour Fakih, 2004.

[7] Lihat, Giddens, 1989.

[8] Light, Keller dan  Craig Calhoun, Sosiology,  New York, Edisi Kelima, Alfred A. Knopf, 1989, hlm. 599-600.

[9] William Kornblum, sosiology in a Changing World,  New York, 1988, hlm. 233-236.

[10] William Kornblum, Ibid,. hlm. 250.

[11] Giddens, 1989, hlm. 604-605.

[12] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta, Grafitipers, 1989.

[13] Light, Keller dan  Craig Calhoun, op. cit,. hlm. 605-607

[14] Prof. Dr. Kamanto Sunarto, op. cit,. hlm. 195-197

[15] http//:www.google.co.id.

[16] Prof. Dr. Kamanto Sunarto, op. cit,. hlm. 198

[17] Light, Keller dan  Craig Calhoun, op. cit,. hlm. 600-601

[18] Light, Keller dan  Craig Calhoun, Ibid,. hlm. 602-604

[19] Prof. Dr. Kamanto Sunarto, loc. cit.

Page 80: Konsep masy sipil

CIRI-CIRI GERAKAN SOSIAL

Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya

ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain gerakan sosial

lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau menginginkan perubahan

kebijakan karena dinilai tidak adil. Biasanya gerakan sosial seperti itu mengambil bentuk

dalam aksi protes atau unjuk rasa di tempat kejadian atau di depan gedung dewan perwakilan

rakyat atau gedung pemerintah. Setelah Mei 1998, gerakan sosial semakin marak dan

ketidakadilan atau ketidakpuasan yang muncul jauh sebelum 1998 dibongkar untuk dicari

penyelesaiannya. Situasi itu menunjukkan bahwa dimana sistem politik semakin terbuka dan

demokratis maka peluang lahirnya gerakan sosial sangat terbuka.

Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian

menjamur memberikan indikasi bahwa memang dalam suasana demokratis maka masyarakat

memiliki banyak prakarsa untuk mengadakan perbaikan sistem atau struktur yang cacat. Dari

kasus itu dapat kita ambil semacam kesimpulan sementara bahwa gerakan sosial merupakan

sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut

perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah.

Di sini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak

sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan

kehendak sebagian rakyat.Karena gerakan sosial itu lahir dari masyarakat maka kekurangan

apapun di tubuh pemerintah menjadi sorotannya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka

gerakan sosial yang sifatnya menuntut perubahan insitusi, pejabat atau kebijakan akan

berakhir dengan terpenuhinya permintaan gerakan sosial. Sebaliknya jika gerakan sosial itu

bernafaskan ideologi, maka tak terbatas pada perubahan institusional tapi lebih jauh dari itu

yakni perubahan yang mendasar berupa perbaikan dalam pemikiran dan kebijakan dasar

pemerintah. Adapun ciri-ciri gerakan menurut beberapa ahli yaitu:

  Bruce J Cohen (1992) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1.      Gerakan kelompok

2.      Terorganisir (struktur, personalia, jaringan, mekanisme kerja, dukungan modal/alat, dll)

3.      Memiliki rencana, sasaran, dan metode

Page 81: Konsep masy sipil

4.      Memiliki ideologi

5.      Merubah atau mempertahankan

6.      Memiliki usia jauh lebih panjang

2. Kamanto Sunarto (2004) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1.      Perilaku kolektif

2.      Kepentingan bersama

3.      Mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau  institusi yang ada di dalamnya.

4.      Tujuan jangka panjang

5.      Penggunaan cara di luar institusi (mogok makan, pawai, demo, konfrontasi, dll)

3. James W. Vander Zanden (1990) dan Rafael Raga Maran (2001) ciri-ciri gerakan sosial

yaitu:

1.      Upaya terorganisir yang

2.      Dilakukan sekelompok orang

3.      Menimbulkan perubahan/menentangnya

4.      Aktif atau tidak pasif menata perubahan

4. Kartasapoetra dan Kreimers (1987) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1.      Kegiatan kolektif

2.      Berusaha mengadakan orde kehidupan baru.

3.      Memiliki kendali dan bentuk

4.      Memiliki kebiasaan atau nilai sosial

5.      Memiliki kepemimpinan dan tenaga kerja

5. Robert Mirsel (2004) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1.      Memiliki seperangkat keyakinan dan tindakan tak terlembaga (noninstitutionalised)

2.      Dilakukan sekelompok orang

3.      Memajukan atau menghalangi perubahan di dalam suatu masyarakat.

4.      Mereka cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku umum secara luas dan sah di

dalam suatu masyarakat.

6. Laode Ida (2003) ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1.      Ada upaya kolektif melakukan perubahan

2.      Adanya organisasi sebagai wadah gerakan

Page 82: Konsep masy sipil

3.      Gerakan tersebut melembaga serta memiliki gagasan alternatif perubahan

4.      Aktivitas dan gerakannya terus-menerus

5.      Memiliki identitas kolektif sebagai ciri

6.      Serta kehadirannya menjadi tantangan bagi pihak lain (pemerintah, institusi manca negara,

dll).

7.      Gerakan dilakukan sekelompok orang

8.      Memiliki visi, misi, tujuan, ide, nilai sosial politik

9.      Mempertahankan, merubah, merebut, mengontrol, dan menjalankan kehidupan sosial politik

10. Dilakukan secara sistematis dan terorganisir

11. Memiliki identitas kolektif dan alternatif perubahan

Dapat berbentuk kelompok pelajar/mhs, LSM, ormas, pers, pressure group, partai politik, dan bertahan cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA:

Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), FEUI, Jakarta, 2004

Kartasapoetra, G dan Kreimers, L.J.B, Sosiologi Umum, Bina Aksara, Jakarta. 1987.

James W. Vander Zanden, The Social Experience : An Introduction To Sociology, New York :

McGraw-Hill Publishing, 1990

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.  

Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis, Resist Book,

Jakarta, 2004