KELAINAN TELINGA

63
KELAINAN TELINGA KELAINAN TELINGA LUAR A. Kongenital 1. Mikrotia Pada Mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna. Mikrotia adalah kelainan kongenital berupa malformasi daun telinga yang memperlihatkan kelainan bentuk dengan derajat kelainan dari ringan sampai berat, daun telinga berukuran kecil sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia). Pada kelainan ini daun telinga mengandung sisa kartilago yang tidak terbentuk dengan baik yang melekat pada jaringan lunak lobul dan posisinya tidak sesuai dengan telinga normal. Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia) liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. Jika terjadi pada satu telinga akan disebut sebagai unilateral microtia. Sedangkan apabila terjadi pada dua telinga akan disebut sebagai bilateral microtia. Bentuk unilateral lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan bilateral ( 90% angka kejadian microtia adalah unilateral). Bila ditemukan mikrotia yang bilateral pikirkan kemungkinan adanya sindroma kraniofasial (sindroma Treacher cillins dan sindroma nager)

Transcript of KELAINAN TELINGA

Page 1: KELAINAN TELINGA

KELAINAN TELINGA

KELAINAN TELINGA LUAR

A. Kongenital

1. Mikrotia

Pada Mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna.

Mikrotia adalah kelainan kongenital berupa malformasi daun telinga yang

memperlihatkan kelainan bentuk dengan derajat kelainan dari ringan sampai

berat, daun telinga berukuran kecil sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia).

Pada kelainan ini daun telinga mengandung sisa kartilago yang tidak terbentuk

dengan baik yang melekat pada jaringan lunak lobul dan posisinya tidak sesuai

dengan telinga normal.

Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia)

liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. Jika terjadi pada satu telinga

akan disebut sebagai unilateral microtia. Sedangkan apabila terjadi pada dua

telinga akan disebut sebagai bilateral microtia. Bentuk unilateral lebih banyak

terjadi jika dibandingkan dengan bilateral ( 90% angka kejadian microtia

adalah unilateral). Bila ditemukan mikrotia yang bilateral pikirkan kemungkinan

adanya sindroma kraniofasial (sindroma Treacher cillins dan sindroma nager)

Grade I : Deformitas ringan, helix dan antihelix yang sedikit dismorfik.

Termasuk dalam grup ini adalah low-set ears, lop ears, cupped ears,

dan mildly constricted ears. Semua struktur telinga luar masih

lengkap hingga derajat tertentu.

Page 2: KELAINAN TELINGA

Grade II : Stuktur pinna masih ada, namun terjadi defisiensi jaringan dan

deformitas yang cukup signifikan

Grade III : dikenal juga sebagai mikrotia klasik/ telinga kacang karen Terdapat

bagian-bagian aurikula sudah tidak dapat dikenali. Lobulus biasanya

masih ada dan terdapat pada daerah anterior. Termasuk pada grade

ini adalah anotia, yaitu daun telinga yang tidak terbentuk sama

sekali.

2. Telinga caplang/jebang (bats ear)

Daun telinga tampak lebih lebar dan lebih menonjol. Fungsi pendengaran

tidak terganggu. Namun karena bentuknya yang tidak normal serta tidak

enak dipandang kadang kala menimbulkan masalah psikis sehingga perlu

dioperasi

3. Fistula preaurikular

Fistula preaurikula terjadi bila terdapat kegagalan penggabungan

tuberkelkesatu dengan tuburkel kedua. Fistula dapat ditemukan di depan tragus

dan sering terinfeksi. Pada keadaan tenang tampak muara fistula berbentuk bulat

atau lonjong, berukuran seujung pensil, dan dari muara tersebut sering keluar

secret yang berasal dari kelenjar sebasea.

Anotia Microtia grade III

Fistula preaurikular Fistula preaurikular terinfeksi

Page 3: KELAINAN TELINGA

4. Lobus aksesori

Biasanya ditemukan di anterior dari tragus, biasanya dihilangkan untuk

alasan kosmetik. Nodul kartilago yang kecil dapat ditemukan pada kelainan ini.

B. Infeksi

1. Perikondritis

Adalah radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga.

Biasa terjadi akibat trauma, operasi daun telinga yang terinfeksi dan sebagai

komplikasi pseudokista daun telinga. Pus akan terkumpul diantara kartilago dan

lapisan jaringan ikat di sekitarnya (perikondrium). Pemilihan antibiotik

berdasarkan beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya Bila pengobatan

antibiotik gagal dapat timbul komplikasi berupa mengkerutnya daun telinga

akibat hancurnya telinga rawan yang menjadi kerangka daun telinga

(cauliflower ear).

2. Erisipelas

Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus

β hemolitikus grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak,

Cauliflower ear

Page 4: KELAINAN TELINGA

keras, dan panas. Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis

tapi berbatas tegas. Gejala sistemik berupa demam dan malaise juga dapat

ditemukan. Infeksi ini diobati dengan penisilin oral. Karena penyakit ini

berjalan dengan progresif dan berpotensi mengurangi kualitas hidup,

penanganan dibutuhkan sedini mungkin. Terapi yang diberikan adalah injeksi

penisilin atau eritromisin.

C. Neoplasma

Neoplasma pada aurikula dapat bersifat jinak maupun ganas. Jenis tumor

jinak pada aurikula misalnya pappilioma, chondroma dan fibroma. Jenis tumor

ganas yang terjadi terbanyak adalah kanker sel basal (rodent ulcer) dan kanker

sel skuamosa ( epithelioma). Keganasan seringkali tumbuh pada telinga luar

setelah pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang. Pda stadium

dini, bisa diatasi dengan pengangkatan kanker (wide excision) atau terapi

penyinaran.

Ephitelioma Rodent ulcer

Page 5: KELAINAN TELINGA

D. Trauma

1. Laserasi

Laserasi hebat pada aurikula harus dieksplorasi untuk mengetahui apakah

ada kerusakan tulang rawan. Tulang rawan perlu diperiksa dengan cermat

sebelum dilakukan reparasi plastik pada kulit. Luka seperti ini perlu benar-benar

diamati akan kemungkinan infeksi pada perikondrium. Berikan antibiotik

profilaktik bila ada kontaminasi nyata pada luka atau bila tulang rawan terpapar.

2. Hematoma

Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar

diantara kartilago dan perikondrium. Jika terjadi penimbunan darah di daerah

tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa

berwarna ungu kemerahan. Darah yang tertimbun ini (hematoma) harus

dikeluarkan secara steril untuk mencegah infeksi yang akan menyebabkan

perikondritis. Selain itu bisa menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago

sehingga terjadi perubahan bentuk telinga. Kelainan bentuk ini disebut telinga

bunga kol, yang sering ditemukan pada pegulat dan petinju. Untuk membuang

hematoma, biasanya digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan

sampai hematoma betul-betul sudah tidak ada lagi (biasanya selama 3-7 hari).

Dengan pengobatan, kulit dan perikondrium akan kembali ke posisi normal

sehingga darah bisa kembali mencapai kartilago. Jika terjadi robekan pada

telinga, maka dilakukan penjahitan dan pembidaian pada kartilagonya. Pukulan

yang kuat pada rahang bisa menyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga

dan merubah bentuk saluran telinga dan seringkali terjadi penyempitan.

Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui pembedahan.

Page 6: KELAINAN TELINGA

E. Lain-lain

1. Pseudokista

Terdapat benjolan di daun telinga yang disebabkan oleh adanya kumpulan

cairan kekuningan di antara lapisan perikondrium dan tulang rawan telinga.

Kumpulan cairan harus dikeluarkan secara steril untuk mencegahnya

perikondritis. Lalu dibalut tekan dengan bantuan semen gips selama 1 minggu

supaya perikondrium melekat pada tulang rawan kembali.

2. Impetigo

Berhubungan dengan infeksi staphylococcus pada kulit superfisial. Terdapat

berbagai vesikel yang mengandung serum didalamnya. Terapi yang diberikan

biasanya pembersihan dengan saline atua pengolesan salep Neosporin.

3. Nodulus

Nodulus pada heliks dapat merupakan kondritis setempat yang dikenal sebagai

kondrodermatitis superior atau antiheliks. Walaupun kadang-kadang dapat

diatasi dengan injeksi steroid, eksisi lokal dapat pula memberikan kesembuhan

dan diagnosis patologik.

Sumber :

- Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck

Surgery. USA: McGraw-Hill; 2008.

- Effendi H, editor. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed ke-6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1997.

- Brown FE et al. Correction of Congenital Auricular Deformities by Splinting in the

Neonatal Period. Pediatrics 1986; 78: 406.

- Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

& Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.

Page 7: KELAINAN TELINGA

Otitis Eksterna

Otitis eksterna adalah radang liang telinga akibat infeksi bakteri. Beberapa faktor yang

mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu :

a. Derajat keasaman (pH)

pH basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. Sedangkan pH asam berfungsi

sebagai protektor terhadap kuman.

b. Udara

Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman bertambah banyak.

c. Trauma

Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga.

d. Berenang

Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air.

Klasifikasi

Ada 2 jenis OE yaitu otitis eksterna akut dan otitis eksterna kronik. Otitis eksterna akut

sendiri terbagi atas 2 yaitu : otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) dan otitis eksterna

difus.

1. Otitis Eksterna Akut

Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)

Adalah infeksi pada 1/3 luar liang telinga, khususnya adneksa kulit, yakni

pilosebaseus (folikel rambut & kelenjar sebaseus) dan kelenjar serumen akibat infeksi

bakteri Staphylococcus aureus & Staphyloccus albus.

Gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul), yaitu :

- Nyeri hebat

Nyeri ini tidak sesuai dengan besarnya furunkel (bisul). Nyeri timbul saat kita

menekan perikondrium karena jaringan ikat longgar tidak terkandung dibawah

Page 8: KELAINAN TELINGA

kulit. Gerakan membuka mulut juga menjadi pemicu nyeri karena adanya sendi

temporomandibula.

- Gangguan pendengaran

Akibat furunkel (bisul) yang sudah besar dan menyumbat liang telinga.

Terapi otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) yang sudah membentuk abses,

yaitu :

Aspirasi steril untuk mengeluarkan nanah

Antibiotik topical (salep antibiotik) misalnya polymixin B dan bacitracin

Antiseptik : asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%.

Insisi : diakukan pada furunkel (bisul) yang berdinding tebal.

Pasang salir (drain) untuk mengalirkan nanah.

Obat simptomatik : analgetik dan penenang.

X Antibiotik sistemik biasanya tidak diperlukan.

Otitis Eksterna Difus

Merupakan infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri.

Umumnya bakteri penyebab utamanya yaitu Pseudomonas, selain itu dapat pula terjadi

akibat Staphylococcus albus, Escheria coli. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan

edem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul).

Gejala sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kadang-

kadang kita dapat menemukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir

(mucin). Lendir (mucin) merupakan sekret yang berasal dari cavum timpani dan kita

temukan pada kasus otitis media.

Terapi otitis eksterna difus, yaitu :

Tampon yang mengandung antibiotik.

Antibiotik sistemik jika diperlukan.

Otitis externa, diffuse desquamative type.Layers of wet soggy white shed skin are partially blocking the ear canal. Red swollen inflamed skin is preventing a proper view of the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. Until the eardrum has been fully examined, it is impossible to know whether or not there is an underlying middle ear disease such as cholesteatoma.

Page 9: KELAINAN TELINGA

2. Otitis Eksterna Kronik

Otitis eksterna kronik adalah infeksi liang telinga yang berlangsung lama dan ditandai

oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Terbentuknya jaringan ini menyebabkan liang

telinga menyempit. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan oleh :

Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak adekuat.

Trauma berulang.

Benda asing.

Alat bantu dengar (hearing aid) : penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid.

Terapi otitis eksterna kronik dengan operasi rekonstruksi liang telinga.

Otitis externa secondary to infected grommet or ventilation tube. Mucoid discharge with bubbles from middle ear.

Otitis externa. Mixed fungal and bacterial infection. Viewed with operating microscope

c = conidiophoresm = myceliump = pus

Otitis externa. Suspicious for infected cholesteatoma.Red granulation tissue overlying the bone of the left ear canal, behind the eardrum. Layers of wet soggy white shed skin are stuck to the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. In this case it was too painful to complete the cleaning in out-patients. Microsuction under a general anaesthetic confirmed the diagnosis.

Page 10: KELAINAN TELINGA

Sumber:

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &

Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2006.

KELAINAN TELINGA TENGAH

Otitis Media Akut ( OMA )

Klasifikasi stadium otitis media akut:

a. Stadium Oklusi : gambaran retraksi membran timpani pada telinga ke arah dalam

akibat tekanan negatif dalam telinga tengah, yang yang ditimbulkan oleh sumbatan

dan absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna

keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi pada stadium ini.

Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus

atau alergi.

Th/ : dekongestan (A < 12th: HCl ephedrine 0.5% dalam lar fisiologis, A >12 th: HCl

efedrine1% dalam lar fisiologis), antibiotic, analgetic, antipyretic.

b. Stadium Hiperemis : tampak pembuluh darah melebar di membran timpani / seluruh

membran timpani tampak hiperemis atau edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin

masih bersifat eksudat yang serous sehingga sulit terlihat, dan ada rasa nyeri.

Th/ : dekongestan, analgetik, antibiotic local, amoxicillin 40 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis, ampicillin 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, eritromicin 40

mg/kgBB/hari.

c. Stadium Supurasi : edema pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel

superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di cavum timpani, menyebabkan

Page 11: KELAINAN TELINGA

membran timpani bulging ke arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi

dan suhu meningkat, nyeri telinga bertambah hebat. Bila tekanan di cavum timpani

tidak berkurang, terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler serta trombophlebitis

pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada

membrane timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna

kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

Th/ : antibiotic local, amoxicillin, ampicillin, eritromicin, miringotomy, antipiretik,

analgesik.

d. Stadium Perforasi : karena terlambatnya pemberian antibiotic atau virulensi kuman

yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran tympani dan nanah keluar mengalir

dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi

tenang, suhu badan menurun dan anak dapat tertidur nyenyak.

Th/ dewasa : H2O2 3% 5 gtt 3 dd 1 selama 3-5 hari, antibiotic local.

e. Stadium Resolusi : perlahan-lahan membran timpani akan sembuh, normal kembali

jika robekan tidak terlalu lebar. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan

berkurang dan akhirnya kering. Tetapi jika robekan lebar, stadium perforasi dapat

menetap dan berubah menjadi Otitis Media Supuratif Kronik.

Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi

walau tanpa pengobatan.

Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah selama lebih dari 3

minggu, maka kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Subakut ( OMSS ).

Sedangkan bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar selama lebih dari 1.5 bulan,

maka kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Kronis ( OMSK )

Page 12: KELAINAN TELINGA

Sumber:

Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &

Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.

Otitis Media dengan Efusi ( OME )

OME adalah suatu kondisi terkumpulnya cairan di dalam cavum timpani / telinga

tengah, tanpa adanya infeksi pada telinga.

Patogenesis

Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah setiap

keadaan yang mempengaruhi muara/ujung proksimal tuba eustachius (TE) di nasofaring

ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup (valve)

penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi telinga tengah,

sehingga menjaga tekanan tetap equal di kedua sisi gendang telinga (membrana timpani =

MT). Karena itu berbagai keadaan yang merubah integritas normal TE dapat menyebabkan

akumulasi cairan di telinga tengah dan mastoid.

Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal

TE di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi

hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid yang

Page 13: KELAINAN TELINGA

membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun deformitas celah

palatum, benda asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat pula menjadi faktor

predisposisi. Selain itu terdapat pula beberapa faktor resiko pada anak, antara lain:

1. Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah palatum, hipertrofi

adenoid, dan GERD.

2. Faktor resiko fungsional: serebral palsy, down syndrome, kelainan neurologis lainnya,

dan imunodefisiensi.

3. Faktor resiko lingkungan: bottle feeding, menyandarkan botol di mulut pada posisi

tengadah (supine position), rokok pasif, status ekonomi rendah, banyaknya anak yang

dititipkan di fasilitas penitipan anak.

Diagnosis

Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak

bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala

seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh

orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.

Diagnosis OME ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan menemukan

cairan di belakang MT yang normalnya translusen. Pada pemeriksaan dengan menggunakan

otoskopik dapat ditemukan :

- MT yang retracted (tertarik ke dalam), dull, dan opaque.

- Warna MT bisa merah muda cerah hingga biru gelap.

- Short process maleus terlihat sangat menonjol dan long process tertarik medial dari MT.

- Adanya level udara-cairan (air fluid level) membuat diagnosis lebih nyata.

Tatalaksana

Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga

tengah. Akan lebih baik menangani faktor predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan

Page 14: KELAINAN TELINGA

barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti

penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Jika OME ternyata menetap dan mulai

bergejala, maka pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti:

1. Antihistamin atau dekongestan

Rasionalisasi kedua obat ini adalah sebagai hasil komparasi antara sistem telinga

tengah dan mastoid terhadap sinus paranasalis. Karena antihistamin dan dekongestan

terbukti membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di

sinonasal, maka tampaknya logis bahwa keduanya dapat memberikan efek yang sama

untuk OME. Jika ternyata alergi adalah faktor etiologi OME, maka kedua obat ini

seharusnya memberikan efek yang menguntungkan terhadap OME.

2. Mukolitik

Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk

memperbaiki transport mukus dari telinga tengah melalui TE ke nasofaring. Namun

demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.

3. Antibiotika

Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Karena OME bukanlah

infeksi yang sebenarnya (true infection). Meskipun demikian OME seringkali diikuti

oleh OMA, di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan

OME. Organisme tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non

typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta Staphyllococcus aureus.

Controlled studies menunjukkan antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-

klavulanat, sefaklor, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-

sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens efusi dalam 1 bulan. Pemberian antibiotika

juga meliputi dosis profilaksis yaitu ½ dosis yang digunakan pada infeksi akut. Namun

demikian perlu dipertimbangkan pula hubungan antara antibiotika profilaksis dengan

tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies bakteri yang resisten.

4. Kortikosteroid

Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon

inflamasi di kompleks nasofaring-TE dan menstimulasi agent-aktif di permukaan TE

dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui TE. Pemberian dapat berupa

kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Berdasarkan clinical

guidance 1994, pemberian steroid bersama-sama antibiotika pada anak usia 1-3 tahun

mampu memperbaiki klirens OME dalam 1 bulan sebesar 25%. Namun demikian

Page 15: KELAINAN TELINGA

karena hanya memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang

tinggi, serta resiko sekuele maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.

Sumber:

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &

Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2006.

Mastoiditis

Coalescent Mastoiditis

Etiologi: jika pasien mengalami otitis media akut dan mastoiditis hingga 2-4 minggu. Ini

merupakan infeksi yang akut dan progresif dengan perubahan pada tulang dan

mukoperiosteum di system sel udara mastoid.Penyakit ini lebih sering pada orang muda

terutama laki-laki.Sebagian besar pasien berusia 4 tahun atau kurang.Virulensi bakteri dan

daya tahan penderita berperan dalam perkembangan penyakit.

Patologi: pada awalnya, edem dan hiperemis dari lapisan mukoperiosteal akan menyumbat

aditus yang sempit dan mengganggu aliran udara. Membran mukosa menebal dan

terganggunya fungsi silia mencegah drainase normal telinga tengah melalui tuba

eustachius.Eksudat serosa menjadi purulen karena berkumpulnya sel inflamasi.Inflamasi

yang berlanjut, hiperemis, dan akumulasi debris menyebabkan stasis vena, asidosis local, dan

dekalsifikasi septa tulang.

Patofisiologi: seiring dengan berlanjutnya infeksi, tekanan dalam rongga mastoid meningkat

dan infeksi dapat meluas keluar mastoid. Hal ini dapat menyebabkan flebitis, dan periflebitis,

serta penyebaran ke bagian lain seperti meninges, sinus sigmoid, serebelum, dan lobus

temporal.jalur infeksi yang paling sering ialah melalui korteks lateral di belakang telinga.

Selain itu infeksi juga bisa meluas ke jaringan lunak dileher bagian atas.Sangat jarang ke

jaringan lunak di atas dan bawah aurikuler.

Diagnosis: tanda dan gejala pada coalescent mastoiditis sama dengan tanda dan gejala otitis

media akut: otore purulen, demam, toksisitas dan otalgia. Riwayat yang penting ialah

Page 16: KELAINAN TELINGA

kronologis infeksi berupa secret purulen dan otalgia yang berlangsung selama 2 minggu atau

lebuh, rekuren setelah 10-14 hari.Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada perkusi,

eritema mastoid, dan tenggelamnya dinding posterior superior kanal akustikus eksterna.Perlu

juga dilakukan pemeriksaan darah rutin dan CT scan.Jika dicurigai ada komplikasi

intracranial perlu dilakukan MRI.

Tatalaksana: bisa dengan obat-obatan maupun tindakan operasi. Mastoidektomi komplit

dengan antibiotic yang tepat mengeradikasi jaringan yang terinfeksi dengan segera. terapi

menggunakan antibiotik selama 3-6 minggu juga dapat mengeradikasi proses infeksi pada

pasien tanpa komplikasi lain.

Mastoiditis Kronik

Etiologi: terjadi berhubungan dengan perforasi membrane timpani dalam waktu lama, dengan

kolestatoma, atau sebagai komplikasi dari pemasangan tube ventilasi telinga tengah.

Mastoiditis dengan perforasi membrane timpani terjadi ketika episode otitis media akut

menjadi infeksi kronik. Walaupun koleastoma seringkali tidak terinfeksi untuk waktu yang

lama, koleastoma cenderung mengalami supurasi dan membentuk jaringan granulasi dan

mengenai tulang. Ketika mastoiditis mengakibatkan secret yang purulen selama 8 minggu

atau lebih maka resolusi lengkap dengan antibiotic semakin kecil angka keberhasilannya.

Mastoiditis

Adalah peradangan pada tulang mastoid .mastoiditis akut ditandai dengan ;

a. Demam

b. Nyeri

c. Gangguan pendengaran

d. Membran timpani menonjol

e. Dinding posterior kanalis menggantung

f. Pebengkakan postaurikular

g. Nyeri tekan mastoid

h. Temuan radiologis

Page 17: KELAINAN TELINGA
Page 18: KELAINAN TELINGA

Rontgen untuk mastoid

a. Law (merupakan foto yang sering untuk melihat mastoiditis akuta, hampir

sama dengan “direct lateral view, sampai sekarang sering digunakan foto ini

untuk menentukan batas penting seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoid)

b. Schuller (elevasi lateral tambahan sehingga tidak hanya melihat foto

dihasilkan oleh Law tetapi juga epitimpanum atau attic)

c. Mayer (dengan cara angulasi kepala 45 derajat, dapat melihat anthrum dan

caput os. Maleus, dengan memodifikasi arah sinar Xray maka dapat terlihat

inkus dan area epitimpanum)

d. Owens (hampir mirip dengan Mayer yang dimodifikasi tapi dengan sedikit

angulasi dari datangnya sinar menyebabkan visualisasi yang lebih baik dari

tulang-tulang pendengaran dan recessus epitimpani)

e. Chausse III (membantu melihat struktur pada telinga tengah)

f. Towne (memperlihatkan kedua petrous piramid dan canalis akusticus internus)

g. Stenvers (memperlihatkan canalis akustikus internus, labirin, dan anthrum).

Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In

Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.

1994. h. 88-117.

KARAKTERISTIK MEMBRAN TIMPANI DAN REFLEKS CAHAYA

Membran timpani

Membrane timpani adalah suatu membrane yang tipis dan tersusun dari jaringan

fibrosa yang berwarna abu-abu mutiara (pearly grey). Membrane berada berbentuk konkaf dari

lateral dan bagian terdalam dari lengkungan konkaf disebut sebagai umbo. Umbo adalah bagian

membrane timpani yang berhubungan dengan tulang malleus. Ketika membrane disinari cahaya,

misalnya melalui pemeriksaan otoskop, bagian konkaf akan memberikan reflex cahaya ( cone of

light) yang terletak anterior inferior dari umbo. Membrane timpani berbentuk sirkular dan

berukuran diameter kurang lebih 1 cm. beberapa bagian dari membrane timpani mengikuti

bentuk hubungannya dengan tulang pendengaran dibelakangnya. Perlekatan tulang maleus

dengan membrane timpani terjadi pada permukaan bagian dalam dari membrane timpani pada

Page 19: KELAINAN TELINGA

membrane mukoid. Membrane timpani adalah bagian yang sangat sensitive terhadap nyeri,

dipersyarafi oleh nervus auriculotemporal dan cabang auricular dari nervus vagus.

Fungsi dari membrane timpani adalah: membantu menyalurkan gelombang suara

menuju telinga bagian tengah (tulang pendengaran). Membrane timpani akan bergetar ketika

dilalui oleh gelombang suara dan getaran ini yang akan disalurkan ke telinga bagian tengah.

Tekanan pada bagian lateral dan medial membrane timpani adalah sama (tekanan atmosfir).

Bagian lateral berhubungan langsung dengan udara luar sedangkan bagian dalam berhubungan

dengan udara luar melalui tuba eustachius yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan

nasopharing. Pada keadaan normal, tuba eustachius tertutup, akan terbuka pada keadaan-

keadaan dimana terjadi perbedaan tekanan antara telinga luar dan dalam. Terbukanya tuba

eustachius akan kembali menyeimbangkan tekanan di telinga luar dan tengah.

Membrane timpani dan reflex cahaya kanan

Membrane timpani dan reflex cahaya kiri

Page 20: KELAINAN TELINGA

Membran timpani mempunyai reflex cahaya meredup pada:

1. Membran timpani yang menebal : radang akibat timbunan kolagen terhialinisasi pada

bagian tengah.

2. Membran timpani yang menebal : hilangnya lapisan tengah (membrana propria),

sebagai akibat dari disfungsi ventilasi tuba eustachius.

3. Retraksi Membran timpani : akibat vakum pada telinga tengah.

4. Menonjol : akibat massa atau infeksi pada telinga tengah.

5. Membran timpani meradang : miringitis.

Sumber :

- Snell RS. Clinical Anatomy 7thed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.

- Sherwood, Lauralee. Human Physiology from Cell to System 6th ed. USA: Thompson;

2007.

PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

a. Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran

timpani. Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.

b. Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau

sulkus timpanikum. Tipe marginal perforasi berada di pinggir membran timpani.

c. Perforasi atik (pars flacid). Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.

d. Perforasi tipe tuba: perforasi dekat muara timpani dengan tuba eustachius.

tipe perforasi marginal

Ini menandakan bahwa tulang pada margo timpani telah mengalami destruksi

Page 21: KELAINAN TELINGA

tipe perforasi sentral

tipe perforasi attic (pars flaksida)

Ini menandakan bahwa sudah ada kholesteatoma pada epi timpanum .

tipe perforasi tuba

Ukuran perforasi membrana timpani dibagi menjadi

1. Kecil : hanya melibatkan 1 kuadran atau < 10% pars tensa

2. Sedang : melibatkan 2 kuadran atau 10 – 40 % pars tensa

3. Besar : melibatkan 3 – 4 kuadran atau > 40% dari pars tensa dengan sisa membrana

timpani yang masih lebar .

Page 22: KELAINAN TELINGA

4. Subtotal : melibatkan 4 kuadran dan mencapai annulus fibrosus

5. Total : perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus

* Perforasi membran timpani karena trauma umumnya berukuran kecil, dengan tepi yang

tidak rata dan kebanyakan memiliki bekuan darah, sedangkan perforasi membran timpani

karena otitis media ukurannya beradam dengan tepi yang rata dan tanpa bekuan darah.

Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In

Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.

1994. h. 88-117.

Page 23: KELAINAN TELINGA

KELAINAN HIDUNG

Kelainan Mucosa Pada Cavum Nasi Normal Livid Hiperemis

Rinitis alergi Rinitis vasomotorRinitis vasomotor (terkadang) Benda asing

Sumber:1. http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/normal-nasal-cavity.htm 2. http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/allergic_rhinitis_3.htm

http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/foreign_body_nose-5.htm

Kelainan pada Konka

- Hipertrofi, dapat terjadi pada rhinitis alergi, rhinitis simpleks dan rhinitis hipertrofi.

- Atrofi , dapat terjadi pada rhinitis atrofi.

Sumber: Hilger PA. Penyakit Hidung. In Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC. 1994. h. 200-92.

Polip Nasi

Definisi

Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan

polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak

mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi

kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).

Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan

dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah

belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.

Page 24: KELAINAN TELINGA

Etiologi

Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi

alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum

diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus

paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari

pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol

dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan

interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf

atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak

– anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :

1. Alergi terutama rinitis alergi.

2. Sinusitis kronik.

3. Iritasi.

4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi

konka.

Patofisiologi

Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler

dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari

bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling

sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan

masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip

koana. Secara makroskopik polip tershat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau

keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel

tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma

sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf

dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.

Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip hidung

sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara

lain:

Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter

Aktivasi respon imun lokal

Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.

Page 25: KELAINAN TELINGA

Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab

tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,

vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa

akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu

struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid.

Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi

karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang

mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi

perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga

alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus

membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.

Manifestasi klinis

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di

hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.

Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip

ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis

dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.

Page 26: KELAINAN TELINGA

Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di

hidung.

Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka

hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka

polipoid ialah :

Polip :

- Bertangkai

- Mudah digerakkan

- Konsistensi lunak

- Tidak nyeri bila ditekan

- Tidak mudah berdarah

- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

Diagnosis

Anamnesis

Keluhan utama: hidung terasa tersumbat, rhinore jernih sampai purulen, hiposmia atau

anosmia, bersin-bersin, nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila

disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rhinore purulen.

Gejala sekunder: bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, dan gangguan tidur.

Juga dapat menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, batuk kronik dan mengi.

Stadium-stadium polip nasi menurut Mackaydan Lund :

- stadium 0 : tidak ada polip

- stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius

- stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi

belum memenuhi rongga hidung

- stadium 3 : polip yang masif

Page 27: KELAINAN TELINGA

Pemeriksaan fisik

Polip nasi yang masif menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak

mekar. Pada rhinoskopi anterior terlihat massa pucat berasal dari meatus medius dan

mudah digerakkan.

Tatalaksana

Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :

1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,

kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).

2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,

tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.

3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat

untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan

pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,

sehingga lebih aman.

Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi)

dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan

drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus

paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,

pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya

perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.

Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian

dekongestan dan anestesi lokal.

Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh

karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :

1. Intranasal

2. Ekstranasal

Sumber :

1. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga

Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989

2. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea

& Febiger 14th edition. Philadelphia 1991

Page 28: KELAINAN TELINGA

3. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000

4. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan

Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta

2000

Rinitis Alergi

A. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

B. Epidemiologi

Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang menyerang kira-kira

10-50% penduduk dunia, yang dapat mengganggu kualitas hidup, kualitas pendidikan

di sekolah dan produktvitas kerja. (atopi). RA merupakan penyakit umum dan sering

dijumpai. Prevalensi penyakit RA pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3%

dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit

umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3

penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada

wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan

predisposisi genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan

memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua

menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.

C. Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

Page 29: KELAINAN TELINGA

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II membentuk kom-plek peptida MHC kelas II (Major Histo-compatibility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel

penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO

untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di

permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan

memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)

sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar

dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan

terjadi degranulasi (pecah-nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat

terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama

his-tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain

prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,

GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Page 30: KELAINAN TELINGA

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbul-nya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca

dan kelembaban udara yang tinggi.

D. Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)

dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran

ruang inter-seluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel

eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus

menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang

ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau

debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel

kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass ) serta jamur

(Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin

dan sengatan iebah.

Page 31: KELAINAN TELINGA

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misal-

nya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,

sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi

gejala asma bronkial dan rinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari :

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi

respons tertier.

3. Respons tertier:

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu

1. tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),

2. tipe 2, atau reaksi sitotoksik/sitolitik,

3. tipe 3, atau reaksi kompleks imun dan

4. tipe 4, atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT

adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

E. Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu :

Page 32: KELAINAN TELINGA

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis).

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)

dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino

konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan

mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi

musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah

alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen

inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah

(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan

biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan

pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan

dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang

dari , 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

F. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Page 33: KELAINAN TELINGA

Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala

rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat

kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,

yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama

merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat

dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak

lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap

di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak

menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini

disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan

akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga

bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung

langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring menebal. Lidah tampak

seperti gambaran peta (geographic tongue).

Page 34: KELAINAN TELINGA

G. Pemeriksaan penunjang :

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula peme-riksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam

penyakit, misalnya se-!ain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.

Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil

dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA

(Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak menunjukkan

kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi

makanan, sedang-kan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal~atau berseri .Skin End-point Titration/SET),

SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan aiergen dalam berbagai

konsentrasi yang ver-tingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-skhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus ^rovocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas

dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge Test").

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena

itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai; berikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala

menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

H. Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen pe-

nyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Page 35: KELAINAN TELINGA

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi, Pem-berian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan antihistamin

generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat

lipofilik, se-hingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada

SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang ter-masuk kelompok

ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin

sedangkan yang dapat di-berikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin

generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik,

antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin di-

absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala

pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk me-

ngatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat

dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah

astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap

jantung tersebut disebabkan repolarisasi jan-tung yang tertunda dan dapat menye-

babkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah

diterik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,

deslora tadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mo-metason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja

untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah

pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,

mencegah bocornya plasma. Hal ini me-nyebabkan epitel hidung tidak

Page 36: KELAINAN TELINGA

hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan

lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja men-stabilkan mastosit

(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat.

Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan

menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat

dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat

untuk me-ngatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada, inhalan dengan gejala yang berat

sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang

memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: antibody

dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan

sublingual.

I. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif utama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Page 37: KELAINAN TELINGA

Sinusitis

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,

dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis

sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai

semua sinus paranasal disebut pan sinusitis.

a. Etiologi

(1) Rinitis akut

(2) Infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut

(3) Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)

(4) Berenang dan menyelam

(5) Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

(6) Barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.

b. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens

dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga

mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa

yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan

juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam

rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus.

Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai

sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka

sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan

multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut

bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini

bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.

Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau

pembentukan polip dan kista.

Page 38: KELAINAN TELINGA

c. Faktor Predisposisi

Deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di

dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis

kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir

yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi

lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan

perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.

d. Gejala Subyektif

Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat ingus kental

yang kadang – kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung

tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang – kadang dirasakan juga

ditempat lain karena nyeri alih (referred pain).

Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan kadang – kadang menyebar ke

alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan didepan telinga.

Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius. Kadang –

kadang dirasakan nyeri di bola mata atau dibelakangnya, dan nyeri akan bertambah bila mata

digerakkan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal). Pada sinusitis frontal rasa nyeri

terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri diseluruh kepala. Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di

verteks, oksipital, dibelakang bola mata dan didaerah mastoid.

e. Gejala Obyektif

Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada

sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul

pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka

hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior

tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior

dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior

tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

f. Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:

1. Kriteria Mayor :

- Sekret nasal yang purulen

Page 39: KELAINAN TELINGA

- Drenase faring yang purulen

- Purulent Post Nasaldrip

- Batuk

- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih 50% dari

antrum

- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus

2. Kriteria Minor :

- Sakit kepala - Edem periorbital

- Nyeri di wajah - Sakit gigi

- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau

- Bersin-bersin bertambah sering - Demam

- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri

- Ultrasound

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :

Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor

g. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak

lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat

adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan

di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior untuk menilai sinus frontal dan

posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.

Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah

pemeriksaan CT-scan.

h. Pemeriksaan Mikrobiologi

Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus medius atau

meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam – macam bakteri yang merupakan flora

normal di hidung atau kuman patogen, seperti Pneumococcus, Streptococcus, Stphylococcus

dan Haemophylus influeanzae. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.

Page 40: KELAINAN TELINGA

i. Terapi

Medikamentosa berupa antibiotika selama 10 – 14 hari, meskipun gejala klinik telah

hilang. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin. Diberikan juga obat

dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan

analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang

diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial; atau bila ada nyeri

yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

j. Komplikasi Sinusitis

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi

di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan

pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

1. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus

frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi

isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus

ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina

papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada

kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi

orbita namun pus belum terbentuk.

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita

menyebabkan proptosis dan kemosis.

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap

ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.

Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran

vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

Page 41: KELAINAN TELINGA

a. Oftalmoplegia.

b. Kemosis konjungtiva.

c. Gangguan penglihatan yang berat.

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan

saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

2. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista

ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi

mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis kista ini dapat membesar dan

melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai

pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.

Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan

dengan menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel

meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa

yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

3. Komplikasi Intra Kranial

Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,

infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung

dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui

lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

Abses dural adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering

kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya

mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan

tekanan intra kranial.

Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat

terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra

Page 42: KELAINAN TELINGA

kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang

mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

4. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah

infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa

malaise, demam dan menggigil

Sumber :

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung

tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

2. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis