Kelainan Kongenital Pada Laring

36
KELAINAN KONGENITAL PADA LARING I. PENDAHULUAN Kelaianan kongenital pada laring dapat berupa laringomalasi, stenosis subglotik, selaput di laring, kista kongenital, hemangioma, dan fistel laringotrakea-esofagus. (1) Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan napas. Pada bayi dengan kelainan kongenital laring dapat menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai tidak ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia. Obstruksi jalan napas sendiri dapat menyebabkan kegagalan tumbuh kembang, yang dapat berwujud lebih nyata daripada obstruksi jalan napas. (1,2) II. EMBRIOLOGI a. Prinsip umum perkembangan Pengetahuan tentang perkembangan embrio dari laring sangat penting dalam memahami bagaimana anomali kongenital muncul secara klinis dan bagaimana 1

description

referat THT kedokteran universitas hasanuddin makassar

Transcript of Kelainan Kongenital Pada Laring

KELAINAN KONGENITAL PADA LARING

I. PENDAHULUAN

Kelaianan kongenital pada laring dapat berupa laringomalasi, stenosis subglotik, selaput di laring, kista kongenital, hemangioma, dan fistel laringotrakea-esofagus.(1)Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan napas. Pada bayi dengan kelainan kongenital laring dapat menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai tidak ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia. Obstruksi jalan napas sendiri dapat menyebabkan kegagalan tumbuh kembang, yang dapat berwujud lebih nyata daripada obstruksi jalan napas.(1,2)

II. EMBRIOLOGI

a. Prinsip umum perkembanganPengetahuan tentang perkembangan embrio dari laring sangat penting dalam memahami bagaimana anomali kongenital muncul secara klinis dan bagaimana penanganannya. Perkembangan laring dapat dibagi menjadi tahap prenatal dan postnatal.(3)Saat lahir, laring terletak di leher setinggi antara C1 dan C4 vertebra, memungkinkan bernapas bersamaan atau vokalisasi dan penelanan.(3)Pada usia 2 tahun, laring turun lebih kebawah, pada usia 6 tahun, mencapai posisi dewasa antara vertebra C4 dan C7. Posisi baru ini memberikan jarak yang lebih baik untuk fonasi (karena faring supraglottis lebih luas) dengan menghilangkan fungsi pemisahan ini, yaitu, penelanan dan pernapasan.(3)

b. Perkembangan JaninPerkembangan janin dapat dibagi menjadi tahap embrionik ( 0-8 minggu ), ditandai dengan organogenesis, dan fase janin, ditandai dengan pematangan organ.(3,4)

c. OrganogenesisLaring berkembang dari lapisan endodermal dan mesenkim yang berdekatan dari foregut antara lengkungan branchial keempat dan keenam. Pada usia kehamilan 20 hari , foregut pertama diidentifikasi dengan laryngotracheal alur ventral. Pada usia kehamilan 22 hari, alur ini berdiferensiasi ke dalam sulcus laring primitif dan primordial pernapasan, tunas paru-paru kiri dan kanan muncul pada hari ke- 24. Lekuk laringotrakeal lebih dalam sampai tepi lateral menyatu. Pada hari ke 26 , tabung ini turun lebih caudal, di mana trakea menjadi terpisah dari kerongkongan oleh septum trakeoesofageal dengan pembukaan slitlike ke faring. Fusi ini terjadi pada arah caudal ke kranial, dan hasil fusi yang tidak lengkap dalam perembangan terus-menerus antara laring atau trakea dan esofagus. Saluran pernapasan dan pencernaan berkembang secara terpisah dari titik ini.(3,4,5)Pada usia kehamilan 32 hari, perkembangan laring yang pertama jelas dengan munculnya tojolan mesenchymal - arytenoid dari lengkungan branchial keenam, berdekatan dengan ujung kranial dari laryngotracheal tube. Tonjolan ini masing-masing berada di garis tengah dan ujung bawah dari hypobranchial eminence untuk mengubah pembukaan vertikal laryngotracheal menjadi T-shaped aditus. Penekanan garis tengah saluran oleh tonjolan dalam perkembangannya menyatu dengan lamina epitel, secara efektif saluran menutup dari faring. Tonjolan arytenoid terus tumbuh keatas dan untuk membedakan arytenoid dan corniculate kartilago dan lipatan aryepiglottis primitive. (3,4)Eminensia hypobranchial mencapai epiglottis dan cuneiform cartilage, menyelesaikan struktur supraglottis. Kartilago tiroid berkembang dari pusat chondrification bilateral dari lengkungan branchial keempat, krikoid dan kartilago trakea berkembang dari lengkungan branchial keenam. Saraf laring superior berasal dari lengkungan branchial keempat, menjadi jelas hari ke-33. Pada hari ke-37, saraf laring kembali berasal dari lengkungan branchial keenam menjadi jelas.(3,4)Pada hari ke-40, laring dan tulang rawan dan otot-otot intrinsik terlihat jelas. Pada hari ke-44, kartilago menjadi lebih berkembang, dan krikoid membentuk cincin lengkap. Pada hari ke-48, epiglotis mencapai bentuk cekung nya (concave shape). Kartilago hyoid diamati pada hari ke-51. Pada akhir fase embrio, laring diidentifikasi dengan jelas dengan otot-otot yang intrinsik, persarafan, suplai darah, dan tulang rawan. Lamina epitel melebur pada akhir periode ini, menghasilkan pembukaan paten ke dalam trakea. Lanjutan perkembangan laring merupakan ciri periode janin.(3,4)

Gambar: Perkembangan laring: 1. minggu ke-3 Pernapasan awal dibentuk dari primitive foregut, 2. Minggu ke 4-5 septum trakeoesofageal (TE) dibentuk dari lipatan TE.(5)

Gambar: 1. Pertumbuhan laring dari tonjolan ke 4 dan 5; 2. Saluran primitive laring T-shaped terdiri atas 3 bagian(5)d. Pematangan organSelama kehamilan bulan ketiga, proses vokal berkembang dari arytenoid, dan lamina tulang rawan tiroid di garis tengah. Selama bulan keempat, sel-sel goblet dan kelenjar submukosa menjadi jelas. Tulang rawan epiglottis matang untuk menjadi fibrocartilaginous antara bulan kelima dan ketujuh. Selama periode ini, corniculate dan ujung tulang rawan menjadi jelas. Periode janin berakhir dengan kartilago krikoid berubah dari pertumbuhan interstitial ke perichondrial.(3)

e. Perkembangan postnatalPerubahan utama terjadi pada laring postnatal adalah perubahan sumbu, bentuk luminal, panjang, dan pertumbuhan proporsional dari elemen laring. Laring tumbuh pesat selama 3 tahun pertama kehidupan, sedangkan aritenoid tetap dengan ukuran yang sama. Aritenoid pada laring dewasa secara proporsional lebih kecil daripada di laring anak .(3)Dimulai pada usia 18-24 bulan , laring turun ke leher untuk mencapai posisi akhir di vertebra C4 - C7 pada usia 6 tahun. Selama penurunan ini, sumbu laring berubah dari posisi yang sedikit off horizontal (anteriorly shaped) ke posisi horizontal. Laring memanjang sebagai hyoid, tiroid , dan tulang rawan krikoid masing-masing terpisah satu sama lain (accordion effect). Kartilago krikoid terus berkembang selama dekade pertama kehidupan, secara bertahap berubah dari bentuk corong ke lumen dewasa yang lebih luas, sehingga tidak lagi menjadi bagian tersempit dari saluran napas bagian atas.(3)

III. ANATOMI LARINGLaring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring, sedangkan bagian bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.(6)Rongga laring dibagi atas 3 bagian yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis. Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum terdiri dari pangkal epiglotis, plika vestibularis, dan ventrikel daerah glotis terdiri dari pita suara dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari batas bawah glotis sampai dengan batas bawah kartilago krikoid.(6)Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago kuneiformis.(6)Jaringan elastis laring terdiri dari 2 bagian yaitu membran kuadrangular supraglotis dan konus elastikus. Membran kuadrangular melekat di anterior pada batas lateral epiglotis dan melingkar ke posterior dan melekat di kartilago aritenoid dan kornikulata. Struktur ini dan mukosa yang melapisinya akan membentuk plika ariepiglotika. Plika ini juga merupakan dinding medial dari sinus piriformis.(6)Konus elastikus merupakan struktur elastis yang lebih tebal dibanding membran kuadrangular. Di bagian inferior melekat pada batas superior dari kartilago krikoid yang kemudian berjalan ke atas dan medial melekat di superior pada komisura anterior kartilago tiroid dan prosesus vokalis dari aritenoid. Di antara perlekatan di superior ini konus menebal dan membentuk ligamen vokalis. Di bagian anterior konus membentuk membran krikotiroid pada garis tengah. Membran ini memadat dan membentuk ligamen krikotiroid. Ligamen-ligamen dan membran ini akan menyatukan kartilago dan distabilkan oleh mukosa yang meliputinya.(6)

Gambar : Kartilago dan ligamen pada laring.(6)

Otot-otot laring terdiri atas otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot ekstrinsik terdiri dari m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid, m. sternohioid, m. omohioid, dan m. tirohioid. Sedangkan otot intrinsik laring adalah m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika, m. krikotiroid, m. ariteoid transversum, m. ariteoid oblik, dan m. krikoaritenoid posterior. .(6)

Gambar : otot-otot pada laring(6)

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringeus inferior dan n. laringeus superior. Kedua saraf ini merupakan saraf motorik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. laringeus inferior yang merupakan cabang dari a. tiroid inferior dan a. laringeus superior yang merupakan cabang dari a. tiroid superior. .(6)

IV. LARINGOMALASI1. DEFINISILaringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Istilah laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat baru lahir atau dalam usia beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. .(6)Berdasarkanletak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.(6)

Gambar : Klasifikasi laringomalasia.(6)

2. EPIDEMIOLOGIBerdasarkan beberapa laporan, sekitar 65- 75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fase normal perkembangan laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun. .(4,6)

3. ETIOLOGIEtiologi laringomalasia masih belum diketahui secara pasti. Tetapi karena tingginya insiden gangguan neuromuskuler pada bayi dengan laringomalasia, beberapa peneliti mempercayai bahwa gangguan ini merupakanbentukhipotonialaring. Penelitilain berpendapat bahwa penyakit refluks gastroesofageal yang ditemukan pada 63% bayi dengan laringomalasia, mungkin berperan, karena menyebabkan edema supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga menimbulkan obstruksi nafas. .(4,6)

4. MANIFESTASI KLINISLaringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan.(6)Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan.(6)Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi.(6)Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. (6)

5. DIAGNOSISDiagnosis laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan utamauntuk diagnosis laringomalasia adalah dengan menggunakan laringoskopi fleksibel.(6)HawkinsdanClarkmenyatakan bahwa laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. Laringoskopi fleksibeldapatmembantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis.(6) Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea. Masih menjadi perdebatan di kalangan ahli apakah setiap bayidengan laringomalasiaharusmelalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi kelompok umur neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi, alatendoskopi yang khusus, membutuhkan ahli anestesi yang handal, dan biaya yang mahal.(6)Olney dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: (6)1. Bayi laringomalasia dengan gangguan pernafasan yang berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang.2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laingomalasia yang ditunjukkan oleh laringoskopi fleksibel.3. Bayi dengan lesi di laring. 4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti

6. DIAGNOSIS BANDINGSetiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring dan trakea merupakan diagnosis banding dari laringotrakeomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea. (6)

7. PENATALAKSANAANKira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dicapai.(6)Pada keadaan ringan, bayi diposisikan tidur telungkup, tetapi hindari tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis terjadi hipoksemia (saturasi oksigen 5 tahun). Tahap ini biasanya bergejala klinis yang jelas dan dapat dibedakan secara mikroskopis dan immunohisto-kimia.(14)

Gambar : Hemangioma(11)

2. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGIHemangioma subglottis mencapai 1,5 % dari seluruh kelainan kongenital pada laring. Perempuan dua kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki.(15)Hemangioma subglottis berkembang sebagai hasil dari malformasi vaskular yang berasal dari sisa jaringan mesenchymal vasoaktif di subglottis tersebut.(15)

3. MANIFESTASI KLINISPada anak-anak biasanya tanpa gejala saat lahir . Sebagaian lesi cepat tumbuh dari usia 2-12 bulan, anak mengalami gangguan pernapasan progresif yang awalnya intermiten kemudian terus menerus. Gejalanya mirip dengan infeksi croup, manifestasi klinisnya berupa stridor biphasic, batuk menggonggong, menangis normal atau serak, dan gagal tumbuh. Kebanyakan pasien mengalami obstruksi jalan napas yang cukup signifikan dan memerlukan intervensi. (15)Pada pemeriksaan, anak dengan hemangioma subglottis mungkin tidak mengalami gangguan pernapasan yang signifikan (pernafasan cuping hidung, supraklavikula atau interkostalis, sianosis). Pada kepala dan leher hasil pemeriksaan biasanya normal, meskipun setengah dari pasien mungkin memiliki hemangioma kulit kepala dan leher. Pada endoskopi fleksibel tidak menunjukkan lesi tetapi merupakan prosedur yang diperlukan untuk menyingkirkan kelainan laring yang lainnya.(15)

4. DIAGNOSABronkoskopi kaku diperlukan untuk menentukan diagnosis hemangioma subglottis. Lesi biasanya terletak posterolateral di submukosa subglottis tersebut. Lesi bisa unilateral atau bilateral, biasanya terletak di trakea bagian atas. Lesi berwarna pink biru, tidak bertangkai, dan mudah di mampatkan.(15)

Gambar : Endoskopi hemangioma subglottis (Dari B Benjamin , Atlas of Pediatric Endoskopi , Oxford University Press , NY , 1981)(15)

Sindrom PHACES (malformasi fossa otak posterior, hemangioma, anomali jantung dan koarktasio aorta, anomali mata dengan atau tanpa celah sternal) adalah gangguan neurokutaneus. Hal ini penting untuk menyingkirkan sindrom PHACES dengan hemangioma subglottis. Haggstrom dkk baru-baru ini melaporkan pada 17 pasien berusia kurang dari 1 tahun yang didiagnosis memiliki hemangioma wajah dan hemangioma saluran napas ukuran ( > 22 cm2 ). Delapan pasien (47%) memenuhi kriteria untuk sindrom PHACES.(15)Bila diagnosis tidak jelas, biopsi dilakukan pada lesi dengan hati-hati karena risiko perdarahan yang signifikan. Radiologi polos leher dapat menunjukkan penyempitan yang asimetris dari subglottis, yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis sebelum endoskopi.(15)

5. PENATALAKSANAANObservasi biasanya sudah cukup untuk lesi kecil, yang tidak menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan. Trakeostomi biasanya diperlukan untuk mengamankan jalan napas sampai lesi regresi spontan, biasanya pada usia 5 tahun.(15)Injeksi steroid pada hemangioma kecil atau ukuran menengah dapat menimbulkan involusi sekunder dan penekanan stimulasi estradiol lesi dan meningkatkan kemampuan reaksi vasokonstriktor.(15)Teknik lain yang dijelaskan termasuk carbon dioxide laser ablation, cryosurgery, intralesional interferon atau injeksi agen sclerosing, dan steroid sistemik. Dari beberapa teknik ini, Endoskopik laser ablasi yang paling sering berhasil untuk pengobatan lesi unilateral yang kecil. Ablasi lesi melingkar dalam pengobatan tunggal ditakutkan dapat menyebabkan stenosis subglotis. Penyinaran eksternal memiliki tingkat keberhasilan 93% untuk menyembuhkan hemangioma subglottis tetapi tidak digunakan saat ini karena peningkatan risiko kanker tiroid . Hemangioma dapat kambuh dalam kasus-kasus tertentu di mana lesi melampaui batas-batas submukosa dan tidak terdeteksi selama operasi.(15)Operasi terbuka telah digunakan segera setelah diagnosis sebagai intervensi primer setelah kegagalan terapi lain. Circular hemangioma tidak disebutkan sebagai kontraindikasi untuk operasi meskipun risiko stenosis pasca operasi bisa terjadi dalam kasus ini, terutama jika perawatan laser karbon dioksida telah dilakukan.(15)Penggunaan propanolol dalam pengobatan hemangioma subglottic menunjukkan hasil yang positif dengan perbaikan yang cepat dan kurangnya efek samping yang parah. Banyak penulis menyarankan penggunaan propanolol sebagai pengobatan lini pertama pada hemangioma subglottis ketika intervensi diperlukan.(15)

DAFTAR PUSTAKA1. Arsyad E,dkk. Kelainan kongenital laring. In: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed.6.Jakarta: 2007.p.237-2382. Boies A. Gangguan laring jinak. In: Boies buku ajar penyakit THT. Ed.6. Jakarta: .p.378-3823. Tewfik TL,dkk. Embryology. In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/Embryology.html4. Soliman, Ahmad. Congenital anomalies of the larynx. Philadelphia. Department of otolaryngology-head & neck surgery, temple university. USA: 2007.p.177-1915. Font JP. Congenital laryngeal anomalies. Department of otolaryngology The University of Texas Medical Branch. Texas: 20056. Novialdy, Rusdi D. Diagnosis dan penatalaksanaan laringomalasia dan trakeomalasia. Bagian ilmu kesehatan THT Bedah KL FK Universitas Andalas. Padang7. Tewfik TL,dkk. Congenital Subglottic Stenosis. In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/congenital subglottic stenosis.html8. Morrissey MSC, Bailey CM. Diagnosis and management of subglottic stenosis after neonatal ventilation. Department of otolaryngology. London:1990;65:1103-11049. Briscoe M, dkk. Pediatric congenital subglottic stenosis. Dept. of otolaryngology. Update: June27, 200710. Bull TR. The larynx. In: Color atlas of ENT diagnosis. Ed.4. London, UK:2003.p.210-21811. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal webs. In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/congenital laryngeal webs.html12. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma. In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/ Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma.html13. Prowse S, Knight L. Congenital cysts of the infant larynx. Int J pediatr Otorhinolaryngol.2012 May:76(5):708-1114. Marler JJ, Mulliken JB. Current management of hemangiomas and vascular malformation. Clin plastic surg 32(2005) 99-11615. Tewfik TL,dkk. Subglottic hemangioma. In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/subglottic hemangioma.html

3