kasbes
description
Transcript of kasbes
LAPORAN KASUS BESAR
SEORANG WANITA 55 TAHUN DENGAN PNEUMONIA
KOMUNITI, BEKAS TB, SOPT, DAN UNDERWEIGHT
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Komprehensif
di RSU RA Kartini
Disusun oleh :
Monica Sari Gunawan
22010113210069
Dosen Pembimbing :
Dr. Triadi Kurniawan, SpP, MKes
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Monica Sari Gunawan
NIM : 22010113210069
Judul kasus :Seorang Wanita 55 Tahun dengan Pneumonia Komuniti,
Bekas TB, SOPT, dan Underweight
Pembimbing : dr. Triadi Kurniawan, SpP
Semarang, 3 September 2015
Pembimbing
dr. Triadi Kurniawan, SpP, MKes
,
BAB 1
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Babalan, Jepara
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Masuk RSU : 20 Agustus 2015
Keluar RSU : 26 Agustus 2015
Bangsal : Cempaka 3B1
No CM : 492894
1.2. DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal No Masalah Pasif Tanggal
1. Pneumonia komuniti 24-08-2015
2. Bekas TB 24-08-2015
3. SOPT 24-08-2015
4. Underweight 24-08-2015
1.3. DATA DASAR
A. Anamnesis (Autoanamnesis dengan pasien tanggal 24 Agustus 2015, pukul
10.00 WIB di ruang Cempaka 3B1)
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas,
sesak napas dirasakan semakin lama bertambah berat, terutama sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas tidak disertai mengi, tidak
2
dipengaruhi cuaca. Terbangun malam hari karena sesak napas (-). Pasien
tidur dengan 1 bantal dan lebih nyaman saat berbaring miring ke kanan.
Sesak napas membuat pasien sulit beraktifitas, pasien lebih banyak duduk.
Sesak napas dirasakan terus menerus. Sesak napas memberat saat pasien
beraktifitas. Jika istirahat, sesak napas berkurang.
Gejala Penyerta:
Batuk (+) sejak ± 5 bulan SMRS. Dahak (-), darah (-). Batuk tidak
mengganggu tidur.
Demam (-), berkeringat malam hari (-)
Nafsu makan turun (+), berat badan dirasakan turun (+)
Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-), kaki bengkak (-)
Lemas (+), nyeri kepala (-), nyeri tenggorokan (-), mual (+), muntah
(-), nyeri ulu hati (-).
BAK warna kuning jernih, jumlah cukup, nyeri berkemih (-). BAB
<2 kali/hari, mencret (-), darah (-)
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien pernah menderita batuk lama pada tahun 2014 dan sudah berobat
ke RSU RA Kartini, diberi obat yang membuat urin berwarna merah,
namun hanya berobat selama 3 bulan karena merasa sudah sembuh
Riwayat merokok (-)
Riwayat asma (-), alergi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat keganasan (-)
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga yang menderita batuk lama
Tidak ada anggota keluarga yang sedang menjalani pengobatan paru
,
3
Tidak ada tetangga yang mempunyai riwayat batuk lama atau sedang
menjalani pengobatan paru
Tidak ada keluarga yang menderita kencing manis, hipertensi dan asma
Riwayat Psikososial Ekonomi dan Lingkungan :
Pasien adalah ibu rumah tangga. Suami sudah tidak bekerja. Penghasilan
didapat dari anak. Pasien mempunyai 9 anak, 5 anak belum mandiri. Pasien
tinggal bersama istri dan kelima anak. Biaya pengobatan ditanggung JKN
PBI. Kesan sosial ekonomi kurang.
B. Pemeriksaan Fisik (24 Agustus 2015, pukul 10.30 WIB di ruang Cempaka
3B1)
Keadaan umum : lemas, tampak kurus, dispneu (+), tampak terpasang infus
RL 20tpm, terpasang nasal kanul O2 3 lpm
Kesadaran : komposmentis, GCS = E4M6V5 = 15
TV : TD : 110/70 mmHg (berbaring)
N : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 28x / menit, kussmaul (-)
t : 37 °C (aksiler)
Status gizi : BB : 23 kg TB : 140 cm
BMI : 11,73 kg/m2
Kesan : underweight
Kepala : bentuk mesosefal, jejas (-)
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
kornea jernih, pupil isokor ϕ 3mm/3mm, reflek cahaya
(+/+), sekret (-/-)
Hidung : discharge (-/-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-)
Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : bibir pucat(-), bibir sianosis (-), pursed lips breathing (-)
Tenggorokan : T1-1, faring hiperemis (-), uvula di tengah.
,
4
Leher : JVP tidak meningkat, trakea deviasi (-), pembesaran
kelenjar getah bening leher dan kelenjar tiroid (-)
Toraks : bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis, retraksi
suprasternal (-), retraksi supraclavicula (-), retraksi
intercostal (-), sela iga melebar (-), iga mendatar (-)
Paru-paru depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Kiri : Sonor seluruh lapangan paru
Kanan : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Kiri : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan: ronkhi basah kasar (-),
Wheezing (-)
Kanan : Suara dasar vesikuler melemah setinggi SIC
V ke bawah
suara tambahan : Suara tambahan ronkhi
basah kasar (-), Wheezing (-)
Paru-paru belakang
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan > kiri
Perkusi : Kiri : Sonor seluruh lapangan paru
Kanan : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
,
Sonor
SD : vesikuler
Depan
ST RBK -
Sonor
SD : vesikuler
Belakang
ST RBK -
ST RBK - SD : vesikuler ↓
5
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC IV 2 cm lateral linea parasternal
sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar, pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrial tidak ada (-), sternal lift
(-), thrill (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri : SIC V 2 cm lateral linea midclavicula
sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dekstra
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : HR 88x/menit, reguler, Bunyi Jantung I-II Murni, bising
(-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, area traube timpani, pekak sisi (+) normal, pekak
alih (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Superior Inferior
- Oedem -/- -/-
- Sianosis -/- -/-
- Pucat -/- -/-
- Akral dingin -/- -/-
- Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hematologi
Laboratorium 21/08/201 Nilai Normal /satuan
,
6
5
Hemoglobin 10,4 12,0-16,0 g%
Hematokrit 33,0 37-43 %
Leukosit 11470 4000-10000 /mmk
Trombosit 270000 150000-400000 /mmk
Pemeriksaan Gula Darah
Pemeriksan 21/08/2015 Nilai normal
GDS 270 80-150 mg%
X Foto Thoraks AP (19 Agustus 2015)
USG Thoraks (25 Agustus 2015)
Kesan: cairan bebas intrapleura (-)
,
7
RESUME
Pada anamnesis didapatkan bahwa sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
pasien mengeluh sesak napas, sesak napas dirasakan semakin lama bertambah
berat. Sesak napas dirasakan semakin memberat dan terus-menerus dalam 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidur dengan 1 bantal dan lebih nyaman
dengan posisi berbaring ke kanan. Sesak napas membuat pasien sulit beraktifitas.
Sesak napas memberat saat pasien beraktifitas. Jika istirahat, sesak napas
berkurang. Batuk (+) tidak berdahak sejak ± 5 bulan SMRS. Batuk tidak
mengganggu tidur. Nafsu makan turun (+), berat badan dirasakan turun (+) +18kg
dalam 1 tahun terakhir. Lemas (+), mual (+), muntah (-). BAK warna kuning
jernih, jumlah cukup, nyeri berkemih (-). BAB <2 kali/hari, mencret (-), darah (-).
Pada pasien didapatkan, riwayat pengobatan TB selama 3 bulan tahun 2014,
namun tidak melanjutkan karena pasien merasa sudah sembuh.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 24 Agustus 2015, didapatkan kesan umum
tampak lemas, kurus, dispneu (+), tampak terpasang infus RL 20tpm, terpasang
nasal kanul O2 3 lpm, dengan tanda vital : TD 110/70 mmHg (berbaring), nadi
88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, RR : 28 x / menit, kussmaul (-), suhu
37,7 °C (aksiler). Pada pemeriksaan antropometri, didapatkan BMI 11,73 kg/m2,
kesan underweight. Pada inspeksi pulmo bagian depan didapatkan simetris saat
statis dan dinamis, stem fremitus kanan = kiri. Perkusi pulmo dekstra dan sinistra
sonor seluruh lapangan paru. Pada auskultasi pulmo, suara dasar vesikuler
melemah (+/-) setinggi SIC V ke bawah pada pulmo dekstra, suara tambahan(-).
Kulit, kepala, mata, THT, cor, abdomen, dan ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Agustus 2015 didapatkan
leukositosis, peningkatan LED, peningkatan neutrophil segmen, dan peningkatan
GDS. Dari hasil x-foto toraks AP tanggal 19 Agustus 2015, didapatkan cor tidak
membesar, gambaran fibrosis pasca TB, dan curiga efusi pleura kanan.
DAFTAR ABNORMALITAS
1. Dispneu
2. Batuk tidak berdahak
,
8
3. Lemas
4. Mual
5. Nafsu makan turun
6. Berat badan turun
7. Riwayat pengobatan TB putus obat tahun 2014
8. BMI: 11,73 kg/m2 (underweight)
9. Pemeriksaan pulmo
Auskultasi : Kanan : Suara dasar vesikuler melemah setinggi SIC
V ke bawah
Suara tambahan : Suara tambahan ronkhi
basah kasar (-), Wheezing (-)
10. Leukositosis
11. Peningkatan neutrofil segmen
12. Peningkatan LED
13. X- foto thoraks: fibrosis pasca TB, curiga efusi pleura kanan
ANALISA SINTESIS
1. Abnormalitas 1,2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12, 13 = Pneumonia komuniti
2. Abnormalitas 1, 2, 3, 5, 6, 7 = Bekas TB
3. Abnormalitas 1,2, 3, 7, 9, 13 = SOPT
4. Abnormalitas 8 = underweight
PEMECAHAN MASALAH
1. Problem 1: Pneumonia komuniti
Assessment : Etiologi kuman
IpDx : x foto thoraks ulang, pengecatan sputum gram, BTA dan jamur,
kultur sputum dan sensitivitas antibiotik
IpTx : O2 3 liter/menit
Infus RL 20 tpm+ aminofilin 1 amp
Inj ceftriaxone 1x2gr IV
Salbutamol 3x 4mg
,
9
Astein 2x 1 tab
IpMx : Tanda vital, keadaan umum, keluhan sesak
IpEx :- Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai
penyakitnya, meminum obatnya secara teratur, dan kompres bila
demam.
- Memotivasi pasien untuk kontrol ke dokter untuk evaluasi
respon pengobatan, efek samping obat dan komplikasi penyakit
setelah keluar dari rumah sakit.
2. Problem 2: Bekas TB
Assessment : TB putus obat
TB kambuh
IpDx : Pengecatan sputum BTA, x foto ulang
IpTx : O2 3 liter/menit
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1 amp
Inj ceftriaxone 1x2gr IV
Salbutamol 3x 4mg
IpMx : Tanda vital, keadaan umum, keluhan sesak
IpEx : Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai
penyakitnya, pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan, dan
pengobatan yang akan dilakukan
3. Problem 2: SOPT
Assessment : Faal paru
IpDx : Spirometri
IpTx : O2 3 liter/menit
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1 amp
IpMx : Tanda vital, keadaan umum, keluhan sesak
IpEx : Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai
penyakitnya dan pengobatan yang akan dilakukan
,
10
3. Problem 3 : Underweight
Assessment : Penyakit kronis
Intake kurang
IpDx : Reanamnesis intake
IpTx : Diet biasa 1500 kkal
IpMx : Keadaan umum, acceptabilitas makanan, kenaikan BB per
minggu, status gizi
IpEx : Menjelaskan kemungkinan penyebab dan menghabiskan diet
yang diberikan
,
11
PROGRES NOTE
Tanggal Problem & Assessment Subyektif / Obyektif Terapi Program
21/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
S : sesak (+), batuk (+)
O :
KU : tampak lemah, sesak
TV : TD : 110/70 mmHg
N : 88 x/menit
T : 360C
O2 3 liter/menit nasal kanul
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1
amp
Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Alprazolam 0,5 mg/24 jam
(malam)
KU/TV
Pengecatan sputum
Cek GDS, ur/cr,
SGOT/SGPT, H2TL
22/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
S : sesak (+) ↓, batuk (+) ↓
O :
KU : tampak lemah
TV : TD : 110/80 mmHg
N : 86 x/menit
T : 360C
GDS: 125 (80-150 mg%)
Sputum: BTA (-), candida (+)
O2 3 liter/menit nasal kanul
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1
amp
Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Alprazolam 0,5 mg/24 jam
(malam)
KU/TV
Pengecatan BTA
Cek GDS
,
12
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
Laboratorium HasilNilai
Normal
Hemoglobin 12,012,0-16,0 g%
Hematokrit 37,2 37-43 %
Leukosit 106204000-10000 /mmk
Trombosit 312000150000-400000 /mmk
LED 1 jam 660-15 mm/jam
2 jam 99 mm/jamDiff count:Eosinofil 0 1-3%Basofil 0 0-1%Stab 3 2-6%Segmen 87 50-70%Limfosit 10 20-40%Monosit 0 2-6%Kimia darah:Ureum 20,9 10-50 mg
%Kreatinin 0,5 0,5-0,9mg
%SGOT 24 15-31 U/LSGPT 12 9-32 U/L
23/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
S : sesak (+) ↓, batuk (+)↓
O :
O2 3 liter/menit nasal kanul
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1
amp
KU/TV
Pengecatan BTA
,
13
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
KU : tampak lemah
TV : TD : 100/60 mmHg
N : 84 x/menit
T : 360C
GDS: 151 (80-150 mg%)
Sputum: BTA (-)
Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Alprazolam 0,5 mg/24 jam
(malam)
Cek GDS
24/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
S : sesak (+) ↓, batuk (+) ↓
O :
KU : tampak lemah, sesak
TV : TD : 100/70 mmHg
N : 84 x/menit
RR : 28 x/ menit
T : 36,40C
Mata: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Mulut : bibir pucat(-), bibir sianosis (-),
pursed lips breathing (-)
Pulmo
I : simetris saat statis dan dinamis
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
O2 3 liter/menit nasal kanul
Infus RL 20 tpm + aminofilin 1
amp
Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Alprazolam 0,5 mg/24 jam
(malam)
KU/TV
Cek GD1 dan GD2
,
14
Pe: Sonor seluruh lapangan paru
Au : SD vesikuler melemah (+/-), ST (-/-)
Cor
I : IC tampak
Pa : IC teraba di SIC IV 2 cm lateral LPS
Pe: Batas kiri: SIC V 2 cm LMCS, Batas
kanan : SIC V 2 cm lateral LPD, Pinggang
jantung cekung
Au: HR 84x/menit, reguler, Bunyi Jantung I-
II Murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen
I : datar, venektasi (-)
Au : BU (+) normal
Pa : timpani, area traube timpani, PS (+) N,
PA (-)
Pa: supel, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Sup Inf
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Pucat -/- -/-
GDS: 169 (80-150 mg%)
Sputum: BTA (-)
25/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
S : nyeri perut, sesak (-), batuk (+) sedikit
O :
O2 3 liter/menit nasal kanul (stop)
Infus RL 20 tpm (aminofilin
stop)
KU/TV
USG thoraks pro marker
,
15
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
KU : tampak lemah
TV : TD : 120/80 mmHg
N : 84 x/menit
RR : 22 x/ menit
T : 360C
Mata: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Mulut : bibir pucat(-), bibir sianosis (-),
pursed lips breathing (-)
Pulmo
I : simetris saat statis dan dinamis
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe: Sonor seluruh lapangan paru
Au : SD vesikuler melemah (+/-), ST (-/-)
Cor
I : IC tampak
Pa : IC teraba di SIC IV 2 cm lateral LPS
Pe: Batas kiri: SIC V 2 cm LMCS, Batas
kanan : SIC V 2 cm lateral LPD, Pinggang
jantung cekung
Au: HR 84x/menit, reguler, Bunyi Jantung I-
II Murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen
I : datar, venektasi (-)
Au : BU (+) normal
Pa : timpani, area traube timpani, PS (+) N,
Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam (stop)
Alprazolam 0,5 mg/24 jam (stop)
Banadoz 200 mg/12 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Forneuro 1 tab/24 jam
,
16
PA (-)
Pa: supel, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Sup Inf
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Pucat -/- -/-
GD1: 89 (80-150 mg%)
GD2: 131 (80-150 mg%)
26/08/2015 Problem 1: Infeksi paru
pasca TB
Assessment :
Pneumonia pasca TB
TB paru putus obat
Problem 2: SOPT
Assessment :
Faal paru
Problem 3 : Underweight
Assessment :
Penyakit kronis
Intake kurang
S : sesak (-), batuk (+) sedikit
O :
KU : tampak lemah
TV : TD : 120/80 mmHg
N : 84 x/menit
RR : 22 x/ menit
T : 360C
Mata: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Mulut : bibir pucat(-), bibir sianosis (-),
pursed lips breathing (-)
Pulmo
I : simetris saat statis dan dinamis
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe: Sonor seluruh lapangan paru
Au : SD vesikuler melemah (+/-), ST (-/-)
Banadoz 200 mg/12 jam
Salbutamol 4 mg/ 8 jam
Astein 1 tab/12 jam
Forneuro 1 tab/24 jam
Boleh Pulang
,
17
Cor
I : IC tampak
Pa : IC teraba di SIC IV 2 cm lateral LPS
Pe: Batas kiri: SIC V 2 cm LMCS, Batas
kanan : SIC V 2 cm lateral LPD, Pinggang
jantung cekung
Au: HR 84x/menit, reguler, Bunyi Jantung I-
II Murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen
I : datar, venektasi (-)
Au : BU (+) normal
Pa : timpani, area traube timpani, PS (+) N,
PA (-)
Pa: supel, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Sup Inf
Sianosis -/- -/-
Pucat -/- -/-
USG Thoraks: cairan bebas intrapleura (-)
,
18
,
19
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Paru
2.1.1 Etiologi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9
juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk.1,2,3
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang-orang yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1
– 4 μm. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak
cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis ialah asam
mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding yang
kompleks menyebabkan Mycobacterium tuberculosis bersifat asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asam alkohol.1,2,3
,
20
2.1.2 Patogenesis2
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
,
21
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberculosis
primer.
b. Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis
post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama
yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih
keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
,
22
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan
menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan penyembuhannya
,
23
2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis3
Berdasarkan letak anatomis penyakit, tuberkulosis dibagi menjadi:
a. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak
pada paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur
spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk
diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi, tuberkulosis dibagi
menjadi:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah
Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan menunjukan
hasil positif pada pemeriksaan laboratorium yang memenuhi External Quality
Assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan berasal dari dahak pagi
hari.
Pada laboratorium yang belum memenuhi EQA, TB paru positif bila:
- Sekurang-kurangnya 2 atau lebih spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan kuman TB positif.
,
24
b. Tuberkulosis paru BTA (-) apabila
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negative tetapi hasil kultur
positif.
Jika hasil pemeriksaan BTA dua kali negative di daerah yang belum memiliki
fasilitas kultur, dan memenuhi kriteria berupa gambaran klinis dan kelainan
radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
c. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif) dan gambaran radiologi
paru menunjukan lesi TB yang tidak aktif atau foto serial 2 bulan menunjukan
gambaran menetap.
Berdasarkan tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
tuberkulosis dibagi menjadi:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan denga OAT
atau sudah pernah mendapatkan terapi OAT kurang dari satu bulan. Pasien
dengan hasil dahak BTA positif maupun negatif dengan lokasi penyakit dimana
pun.
b. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
c. Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
d. Kasus gagal adalah pasien BTA posititf yang masih tetap posititf atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan atau penderita dengan hasil BTA negatif, gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan.
,
25
e. Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan
yang baik.
f. Kasus pindahan (transfer in) Adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
2.1.4 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis dapat berdasarkan gejala klinis. Gejala klinis tuberkulosis
dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang
terkena adalah paru, maka gejala lokal ialah gejala respiratori.1,2,3
1. Gejala respiratori:
Batuk selama 2 minggu atau lebih, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum).
Batuk darah, akibat robeknya pembuluh darah di sekitar bronkus.
Sesak nafas, dapat ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada, bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritits.
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
2. Gejala sistemik
Demam dengan peningkatan suhu yang tidak begitu tinggi.
Malaise.
Anoreksia, badan makin kurus (berat badan turun).
Keringat malam hari
,
26
Untuk menegakkan diagnosis TB paru, selain dari gejala klinik yang didapatkan di
atas, juga perlu diperhatikan beberapa hal berikut:1,2,3
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, jeis kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada TB paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak ditemukan kelainan.
Kelainan pada paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apek
dan segmen posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara nafas bronkhial, amforik, suara nafas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan yang ditemukan tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara nafas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis
tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher,
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar getah bening tersebut dapat
menjadi cold abscess.
b. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberculosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
jaringan paru.
Cara pengumpulan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (dahak keesokan harinya)
Sewaktu / spot (dahak pada saat mengantarkan dahak pagi)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
a) 3 kali positif atau 2 kali posititfdan 1 kali negatif: BTA positif
,
27
b) 1 kali posititf dan 2 kali negatif: ulang BTA 3 kali, apabila
Bila 1 kali positif dan 2 kali negatif: BTA positif
Bila 3 kali negatif: BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International
Union Againts Tuberculosis and Lung Disease):
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : negatif
b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis dalam jumlah kuman
yang ditemukan.
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : + (1+)
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++ (2+)
e) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++ (3+)
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam
medium biakan (Lowenstein Jensen, Kudoh, atau Ogawa), koloni kuman tuberkulosis
mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan
dinyatakan negatif.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat
member gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
Bayangan bercak milier.
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
Fibrotik
,
28
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Destroyed Lung (luluh paru): Gambaran radiologi yang menunjukan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh
paru terdiri dari atelektasis,ektasis/multikaviti dan fibrosis parenkim paru.
Pada sebagian besar kasus, diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto thoraks. Namun, pada kondisi tertentu
perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:4
- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasil BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendukung diagnosis Tb paru BTA
positif.
- Ketiga specimen dahak hasil negatif setelah specimen daha SPS sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotic non
OAT
- Pasien mengeluh keluhan sesak napas berat yang memerlukan penanganan
khusus (pneumothoraks, pleuritis eksudativa, efusi pleura, efusi perikaditis) dan
pada pasien dengan hemoptisis berat
d. Pemeriksaan penunjang lainnya3,4
- Pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test)
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB
teruatama padaanak-anak dan balita. Di Indonesia dengan prevalens tuberculosis
yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostic penyakit kurang berarti
pada orang dewasa. Dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD
(Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength).
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaanan
,
29
tibodi selular dan antgen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibody humoral, makin
besar pengaruh antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Interpretasi hasil tes Mantoux, dibagi dalam:
Indurasi 0 – 5 mm : Mantoux negatif = golongan nosensitivity. Peran antibody
humoral paling menonjol.
Indurasi 6 – 9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Peran
antibody humoral masih menonjol.
Indurasi 10 – 15 mm : Mantouxpositif = golongan normal sensitivity. Antibodi
humoral dan seluler seimbang.
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Peran
antibody seluler paling menonjol.
- Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indicator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi LED yang normal tidak dapat menyingkirkan tuberculosis. Limfosit pun
kurang spesifik.
- Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.
- Pemeriksaan histopatologi jaringan.
,
30
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,
biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat
pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama
pada tuberkulosis ekstra paru. Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila
pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkejuan.
- Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan
PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan
PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB,
maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
- Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.
M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2
yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah
satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis.
Alur diagnosis TB Paru2
,
31
- +
Gambar 2. Alur diagnosis TB paru
,
Suspek TB Paru
2/3BTA (+) 3 BTA (-)
TB Paru BTA (+)
Tidak ada perbaikan
Beri antibiotik
Foto toraks dan pertimbangan dokter
Periksa ulang BTA sputum
≥ 1 BTA (+)
Foto toraks dan pertimbangan
dokter
3 BTA (-)
TBBukan TB
Periksa BTA sputum
Hanya 1 BTA (+)
Perbaikan
32
2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis1,2,3,5,6
Pengobatan TB paru dilakukan melalui 2 fase yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman
yang membelah dengan cepat.
b. Fase lajutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek
atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah
dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT fixed-dose combination atau
disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC saja). Dengan adanya FDC ini
diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan
meningkatkan kesembuhan pasien.
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah :
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuionolon
Sikloserin
Etionamid
Para-amino salisilat
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
,
33
Obat lini kedua hanya digunakan pada kasus resisten obat terutama TB multi drug
resistance.
Kemasan
Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing ,rifampisin, INH,
pirazinamid dan etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC), kombinasi dosis
tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Jenis dan dosis OAT
Obat
Dosis
(mg/kgB
B/hari)
Dosis yang dianjurkan Dosis
maks
(mg)
Dosis (mg) / berat
badan (kg)
Harian
(mg/kgBB/hari)
Intermitten
(mg/kgBB/hari)< 40
40-
60> 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000
sesu
ai
BB
750 1000
,
34
Kategori Pengobatan TB Paru (FDC)
Kategori Kasus Paduan Obat
I
BTA (+) TB paru
BTA (-) lesi luas
TB extraparu berat
TB + HIV
2RHZE/4R3H3
2RHZE/4RH
2RHZE/6HE
II
Kambuh
Gagal Pengobatan
Putus Obat
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
2RHZES/1RHZE lalu sesuai dengan hasil
tes resistensi
2RHZES/1RHZE/5RHE
III
BTA (-) lesi minimal
TB extraparu lebih
ringan
2RHZE/4R3H3
2RHZE/4RH
2RHZE/6RHE
IV
KronikRHZES sambil menunggu hasil uji resistensi
+ OAT lini kedua (min 18 bulan)
MDR-TBSesuai hasil uji resistensi + OAT lini kedua
atau H seumur hidup
Dosis Obat FDC
Obat Bentuk Dosis harianDosis 3 kali
seminggu
INH + rifampisin Tablet 75 mg + 150 mg 150 mg + 150 mg
INH + etambutol Tablet 150 mg + 400 mg 60 mg + 60 mg
INH + rifampisin +
pirazinamidTablet
75 mg + 150 mg + 400
mg
150 mg + 150 mg +
500 mg
INH + rifampisin +
pirazinamid + etambutolTablet
75 mg + 150 mg + 400
mg + 275 mg
,
35
2.1.6 Efek samping OAT dan penatalaksanaannya2,3,5,6
Efek Samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual,
sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan s/d rasa
terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100mg
Warna kemerahan pada
air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak
perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan kemerahan
pada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
evaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ganggguan
keseimbangan (vertigo
dan nystagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / hepatitis imbas
obat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
sampai ikterik
menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan confusion
(suspected drug-induced
preicteric hepatitis
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
dan lakukan uji fungsi
hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik,
termasuk syok & purpura
Rifampisin Hentikan rifampisin
,
36
2.1.7 Komplikasi tuberculosis2,3,5,6
Adapun komplikasi dari tuberkulosis antara lain:
1. Komplikasi dini
Pleuritis
Efusi pleura
Empiema
Laringitis
2. Komplikasi lanjut
Obstruksi jalan nafas (SOPT)
Kerusakan parenkim berat: fibrosis paru
Kor pulmonal
Amiloidosis
Karsinoma paru
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
TB milier
2.2 Sindroma Obstruksi Pasca TB
Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB dalam praktik
klinik.7,8,9 Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan
kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Inilah yang dikenal sebagai Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT). Yang sering
dikeluhkan pasien adalah sesak terutama saat beraktivitas dengan gambaran radiologik
menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik atau kalsifikasi) yang minimal dan uji faal paru
yang menunjukkan adanya gambaran obstruksi jalan napas yang ireversibel. 10-13
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian
terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi
,
37
oleh reaksi imunologis perorangan sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang
menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama
ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka
lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas dan akhirnya mengakibatkan
gangguan faal paru yang dapat dideteksi dengan uji faal paru.13,15,16 Penelitian lainnya
menunjukkan bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjadi
dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis.17
Kemajuan ilmu dalam pemberantasan TB dan gejala sisa dari TB masih menjadi
salah satu tantangan penting saat ini. Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum
tertangani secara tuntas walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT
masih sering ditemukan dan dapat mengganggu kualitas hidup pasien, serta berperan
sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah durasi 10 tahun.7,18,19 Deteksi dini SOPT
dengan uji faal paru pada pasien pasca TB diperlukan untuk berperan dalam memperbaiki
kualitas hidup pasien. Semakin cepat pengobatan yang diberikan maka kerusakan yang
ditimbulkan oleh kuman TB diharapkan semakin minimal. 14
Penyakit obstruksi saluran pernapasan yang sering ada di Indonesia adalah asma
dan PPOK. Oleh sebab itu perlu dibedakan dengan SOPT karena terapinya berbeda. 10
Asma PPOK SOPTTimbul pada usia muda ++ - +Sakit mendadak ++ - -Riwayat merokok +/- +++ -Riwayat atopi ++ + -Sesak dan mengi berulang +++ + +Batuk kronik berdahak + ++ +Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-Reversibiliti obstruksi ++ - -Variabiliti harian ++ + -Eosinofil sputum + - ?Neutrofil sputum - + ?
,
38
Makrofag sputum + - ?
2.3 Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang megenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Secara klinis pneumonia
didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi, obat – obatan.
Pneumonia atipik adalah bagian jenis akut pneumonia, mengacu pada setiap jenis
selain pneumonia bakteri. Organisme penyebab termasuk Mycoplasma pneumoniae dan
spesies Rickettsia, dan Chlamydia, serta virus, ditandai dengan infiltrasi luas tetapi berumur
pendek, demam, malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, dan batuk.20
2.3.1 Klasifikasi Pneumonia21,22
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
1) Pneumonia komunitas
2) Pneumonia nosokomial
3) Pneumonia pada penderita immunocompromised
4) Pneumonia aspirasi
2. Berdasarkan kuman penyebab
1) Pneumonia bacterial/tipikal
Gram-Positive Bacteria :
1. Streptococcus pneumoniae (disebut juga pneumococcal pneumonia).
2. Staphylococcus aureus
3. Streptococcus pyogenes atau Group A Streptococcus
Gram-Negative Bacteria :
,
39
Haemophilus influenzae → umumnya pada pasien penyakit paru kronik,
pasien umur tua dan alkoholik
Klebsiella pneumoniae → pneumonia pada alkoholik dan orang yang debil
Pseudomonas aeruginosa → penyebab paling banyak nosocomial pneumonia
dan penyakit paru kronik.
Moraxella catarrhalis → ditemukan pada nasal and oral passages. Juga
sebagai penyebab pneumonias tertentu, contohnya pada pasien asthma atau
emphysema.
Neisseria meningitides → salah satu penyebab terbanyak meningitis
Bakteri gram-negatif lain : E. coli , Proteus dan Enterobacter.
2) Pneumonia atipikal
Disebabkan oleh Micoplasma pneumoniae, Legionella pneumophila, Chlamydia
psittaki dan Coxiella burnetti.
3) Pneumonia virus
Disebabkan oleh virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV), herpes
simplex virus, varicella-zoster virus dan adenovirus.
4) Pneumonia jamur
Mycobacterium avium.
3. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris
Sering pada pneumonia bacterial, jarang pada bayi dan orang tua.
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder,
disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus, misal pada aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan.
2) Bronchopneumonia
,
40
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapang paru. Disebabkan oleh
bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus.
3) Pneumonia interstitial
Interstitial pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakeri atipikal.18
2.3.2 Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif.21,22
Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat
aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya makanan atau lambung, edema
paru, dan obstruksi mekanik simpel oleh bahan padat, kuman patogen terutama kuman
anaerob obligat yang terdapat disekirat gigi disertai klebsiella pneumoniae, stafilococcus
atau fusobacterium nucleatum. Manifestasi pneumonia aspirasi dapat berupa
bronkopneumonia, pneumonia lobar, pneumonia nekrotikans atau abses paru.23
,
41
2.3.3 Patofisiologi Pneumonia
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema dari seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis dari eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi.
Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang
lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagositir.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan terdapat 4 zona
pada daerah parasitik tersebut yaitu:
1. Zona luar: alveoli yang terisi dengan kuman dan cairan edema
2. Zona pemulaan konsolidasi: terdiri dari sel-sel PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas: daerah dimana terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah sel PMN yang banyak.
4. Zona resolusi: daerah dimana terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit, dan alveolar makrofag.
Daerah perifer dimana terdapat edema dan perdarahan disebut “Red hepatization”.
Sedangkan daerah konsolidasi yang luas disebut “Gray hepatization”.21,22
2.3.4 Diagnosis Pneumonia.
Pada foto toraks terdapat infiltrat paru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini : 21,22
- batuk-batuk bertambah berat
- perubahan karakteristik dahak / purulen
- suhu tubuh >37,5oC(oral) / riwayat demam
- pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi
- leukosit >10.000 atau <4500
Diagnosis pneumonia atipik
,
42
a. Gejalanya adalah tanda infeksi saluran nafas yaitu demam, batuk non produktif dan
gejala sistematik berupa nyeri kepala dan mialgia.
b. Pada pemeriksaan fisis terdapat ronki basah tersebar, konsolodasi jarang terjadi
c. Gambaran radiologis menunjukkan infiltrat intertisial
d. Laboratorium menunjukkan leukositsis ringan dan pengecatan gram, biakan dahak
atau darah tidak ditemukan bakteri
e. Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik:
Isolasi bukan sensivitinya sangat rendah
Deteksi antigen enzyme immunoassayys (EIA)
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Uji serologi:
- Cold agglutinin
- Uji fiksasi komplemen merupaan standar untuk diagnosis M. Pneumoniae
- Micro Immunofluorescence (MIF), stancar seologi untuk C. Pneumoniae
- Antigen dari urin untuk Lagionella
Gambaran klinis pneumonia atipik tidak sama dengan pneumonia tipik (bakterial).
Untuk membantu / mempermudah gambaran perbedaan gejala klinis dan tipik dapat dilihat
pada tabel 2, meskipun tidak selalu dijumpai gejala-gejala sebagaimana berikut dibawah
ini:
Perbedaan gambaran klinik Pneumonia Tipikal dan Atipikal22
Tanda dan Gejala Pneumonia Tipikal Pneumonia Atipikal
Onset Akut Gradual
Suhu Tinggi, menggigil Kurang tinggi
Batuk Produktif Non produktif
Dahak Purulen Mukoid
Gejala lain Jarang Nyeri kepala, mialgia, sakit tenggorokan
Gejala di luar paru Lebih jarang Sering
Pewarnaan gram Kokus gram (+) atau (-) Flora normal atau spesifik
,
43
Radiologik Konsolidasi lobar Patchy
Laboratorium Lebih tinggi Leukosit normal kadang rendah
Gangguan fungsi hati Jarang Sering meningkat
2.3.5 Tatalaksana Pneumonia
1. Penderita rawat jalan
- Pengobatan suportif / simptomatik:
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antobiotik kurang dai 8 jam
2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa:
- Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam
3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif:
- Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk terapi rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
- Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Petunjuk terapi empirik pneumonia komuniti menurut PDPI 2003
Rawat
jalan
Tanpa faktor modifikasi:
Golongan Beta laktam dan Beta laktam + anti Beta laktamase
,
44
Dengan faktor modifikasi:
- Golongan Beta laktam + anti Beta laktamase atau
- Fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin, moksifloksasin gatifloksasin)
Bila dicurigai pneumonia atipik:
Makrolid baru (roksitromisin, klaritrimisin, azitromisin)
Rawat
inap
Tanpa faktor modifikasi:
Golongan beta laktam + anti beta laktamase iv, atau Sefalosporin
generasi 2, 3 iv, atau Fluorokuinolon respirasi iv
Dengan faktor modifikasi
- Sefalosporin generasi 2, 3 iv
- Fluorokuinolon respirasi iv
Bila dicurigai desartai infeksi bakteri atipik ditambah makroloid
baru
Ruang
rawat
intensi
f
Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas:
Sefalosporin gen. 3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas:
Sefalosporin antipseudomonas iv atau karbapenemiv ditambah
fluorokuinolon anti pseudomonas (siproflaksasin) iv atau
aminoglikosida iv
Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik:
Sefalosporin antipseudomonas iv atau carbapenem iv ditambah
aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau fluorokuinolon
respirasi iv
Terapi pneumonia komuniti menurut IDSA 2000, Canada 2000 dan ATS 2001
IDSA 2000 Canada 2000 ATS 2001
,
45
Pasien
rawat
jalan
Makrolid atau
doksisiklin
atau
fluorokuinolon
Tanpa faktor modifikasi
- makrolid atau doksisiklin
Dengan faktor modifikasi
- makrolid baru
- fluorokuinolon respirasi
- amoksilin / klavulanat +
Makrolid
Tanpa penyakit
kardiopulmoner atau
faktor modifikasi:
- makrolid/doksisiklin
Dengan penyakit
kardiopulmoner atau
faktor modifikasi:
- beta laktam:
amoksilin dosis tinggi
-Amoksilin / klavulanat
atau parenter al
seftriakson + makrolid
atau doksisiklin atau
fluorokuinolon respirasi
saja
Pasien
rawat
inap
Sefalosporin
gen. 3 +
makrolid atau
beta- laktam /
penghambat
betalaktamase
+ makrolid
atau
fluorokuinolon
saja
Fluorokuinolon respirasi
atau gen. 2, 3 atau 4 +
makrolid
Tanpa penyakit
kardiopulmoner atau
faktor modifikasi:
- beta-laktam iv +
makrolid iv /
doksisiklin atau
- Fluorokuinolon iv saja
(anti pneumokokus)
Dengan penyakit
kardiopulmoner atau
faktor modifikasi:
,
46
- Azitromisin iv saja
jika alergi: dosisiklin,
beta-laktam atau
fluorokuinolon saja
(anti pneumokokus)
Pasien
ruang
rawat
intensi
f
Sefalosporin
gen.3 atau 4
atau
penghambat
beta-laktamase
+
fluorokuinolon
atau makrolid
Dengan resiko
pseudomonas:
- Fluorokuinolon respirasi
iv + sefotaksim,
seftriakson atau
penghambat beta-
laktamase
Dengan resiko
pseudomonas:
- Fluorokuinolon anti
pseudomonas + beta-
laktam anti pseudomonas
atau aminoglikosid
Tanpa resiko
pseudomonas:
- beta-latktam iv +
- Makrolid azitromisin
iv atau fluorokuinolon
iv
Dengan resiko
pseudomonas:
- Beta-laktam anti
pseudomonas iv +
fluorokuinolon anti
pseudomonas iv atau
beta-laktam anti
pseudomonas iv +
aminoglikosid +
makrolid
(azitromisin)iv atau
fluorokuinolon
nonpseudomonas iv
,
47
BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien datang ke RSU RA Kartini dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak
± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak napas dirasakan semakin lama bertambah
berat, terutama dalam 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas membuat pasien sulit
beraktifitas dan hanya berbaring di tempat tidur dan dirasakan terus menerus. Sesak napas
memberat saat pasien beraktifitas. Jika istirahat, sesak napas berkurang. Batuk (+) sejak ± 5
bulan SMRS. Batuk tidak disertai dahak dan darah. Batuk tidak mengganggu tidur. Nafsu
makan turun (+), berat badan dirasakan turun (+) dalam 1 tahun ini ± 18 kg, nyeri dada
kanan (-). Pasien sebelumnya pernah didiagnosis menderita tuberkulosis paru tahun 2014
dan telah menjalani pengobatan TB selama 3 bulan, tetapi berhenti karena merasa sudah
sembuh. Pasien tidak kontrol lagi setelah itu.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 24 Agustus 2015, didapatkan kesan umum tampak
lemas, kurus, dispneu (+), tampak terpasang infus RL 20 tpm, terpasang nasal kanul O2 3
lpm, dengan tanda vital : TD 110/70 mmHg (berbaring), nadi 88x/menit, reguler, isi dan
tegangan cukup, RR : 28 x / menit, kussmaul (-), suhu 37,7 °C (aksiler). Pada pemeriksaan
antropometri, didapatkan BMI 11,73 kg/m2, kesan underweight. Pada inspeksi pulmo
bagian depan didapatkan simetris saat statis dan dinamis, stem fremitus kanan = kiri.
Perkusi pulmo dekstra dan sinistra sonor seluruh lapangan paru. Pada auskultasi pulmo,
suara dasar vesikuler melemah (+/-) setinggi SIC V ke bawah pada pulmo dekstra, suara
tambahan(-). Kulit, kepala, mata, THT, cor, abdomen, dan ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Agustus 2015 didapatkan leukositosis,
peningkatan LED, peningkatan neutrophil segmen, dan peningkatan GDS. Dari hasil x-foto
,
48
toraks AP tanggal 19 Agustus 2015, didapatkan cor tidak membesar, gambaran fibrosis
pasca TB, dan curiga efusi pleura kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien menderita pneumonia komuniti. Adanya riwayat putus obat pada
pasien menimbulkan kecurigaan TB paru pada awalnya. Namun anamnesis dan
pemeriksaan fisik, serta hasil pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang menunjukkan BTA
(-), tidak mendukung ke arah TB paru.
Pada pemeriksaan x foto thoraks didapatkan gambaran fibrosis pasca TB paru dan
curiga efusi pleura kanan. Namun kecurigaan adanya efusi pleura tidak terbukti dengan
pemeriksaan USG thoraks pada tanggal 25 Agustus 2015. Sebenarnya hasil x-foto thoraks
yang ada tidak layak untuk dibaca, dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto ulang.
Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak dan batuk lama. Pada
pemeriksaan fisik paru kanan didapatkan suara dasar vesikuler yang melemah. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien menderita SOPT karena sebelumnya pasien pernah menderita
TB walaupun tidak menyelesaikan program terapi. Diagnosis SOPT juga didukung dengan
hasil x-foto thoraks serta USG thoraks yang menunjukkan adanya hiperinflasi paru sebagai
kompensasi dari fibrosis. Sebenarnya perlu dilakukan pemeriksaan spirometri setelah
pasien tidak sesak untuk memastikannya.
Hasil GDS yang meningkat pada pemeriksaan pertama tanggal 21 Agustus 2015
menimbulkan kecurigaan adanya penyakit diabetes melitus atau toleransi glukosa
terganggu (TGT) pada pasien ini. Namun pemeriksaan GDS selama tiga kali berturut-turut
setiap hari, serta pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah post prandial tanggal 25
Agustus 2015, menunjukkan tidak adanya penyakit diabetes melitus maupun TGT pada
pasien.
Pada pemeriksaan antropometri, didapatkan BMI 11, 73 kg/m2, kesan underweight,
sehingga pasien sebaiknya diberikan asupan sesuai kebutuhan kalori orang dewasa per
harinya, yaitu berupa diet biasa 1500 kkal dengan melakukan monitoring terhadap
akseptabilitas makanan, kenaikan BB per minggu, dan status gizi.
,
49
Untuk penatalaksanaan pneumonia pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa
obat simptomatis dan antibiotik, berupa injeksi Ceftriaxon 2 gr/24 jam. Pada hari perawatan
kelima didapatkan perbaikan klinis pasien, sehingga pemberian oksigen dihentikan.
Pemberian injeksi Ceftriaxon dihentikan dan diganti dengan antibiotik peroral yang satu
golongan, yaitu cefpodoxime (Banadoz) 200 mg/12 jam. Pasien juga mengeluh nyeri perut
sehingga drip aminofilin juga dihentikan.
Setelah didapatkan perbaikan klinis pada hari perawatan kelima, dilakukan
observasi kembali satu hari untuk memastikan keadaan pasien, sehingga pasien baru
diizinkan pulang pada tanggal 26 Agustus 2015.
,
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA, Standridge MP. Tuberculosis Paru. Dalam buku Patofisiologi: Konsep Kllinis
Proses-Proses Penyakit Jilid 2. Edisi VI. Jakarta: EGC. 2005
2. Aditama TJ, dkk. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:Perhimpunan dokter paru Indonesia. 2006
3. Aditama TJ, dkk. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:Perhimpunan dokter paru Indonesia. 2011.
4. Satoto, Bambang. Gambaran radiologis tuberkulosis paru. Dalam kumpulan naskah
simposium tuberkulosis holistic approach of TB management. Semarang: Tim DOTS
TB RSUP Dr. Kariadi. 2013.
5. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam buku ajar penyakit dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta:Pusat penerbitan ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas
indonesia.2009
6. Mansjoer A, dkk. Ed. Tuberkulosis paru. Dalam kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi
3. Jakarta: Media Aesculapius. 2009
7. Ramos, L.M.M., Sulmonett, N., Ferreira, C.S., Henriques, J.F., Spindola de Miranda, S.
Functional Profile of Patients with Tuberculosis Sequelae in a University Hospital. J.
bras. pneumol. 2006; 32(1): 43-47.
8. Shetty, A.J., Tyagi, A. Development of Post Tubercular, Bronchial Asthma - A Pilot
Study. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2010; 4: 2360 -2362.
9. Van Zyl Smit, R.N., Pai, M., Yew, W.W., Leung, C.C., Zumla, A., Bateman, E.D.,
Dheda, K. Global Lung Health: the colliding epidemics of tuberculosis, tobacco
smoking, HIV and COPD. Eur Respir J. 2010; 35: 27 -33.
,
51
10. PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
11. Jordan, T.S., Spencer, E.M., Davies, P. Tuberculosis, Bronchiectasis, and Chronic
Airflow Obstruction. Respirology. 2010; 15: 623 - 628.
12. Chakrabarti, B., Calverley, P.M.A., Davies, P.D.O. Tuberculosis and Its Incidence,
Special Nature, and Relationship with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2007;
2(3): 263 - 272.
13. Kawashiro, T. Evaluation of Respiratory Failure Due to Sequelae of Tuberculosis.
PubMed, Kekkaku. 2005; 80(6): 491 - 7.
14. Aida, N. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah
Sakit Persahabatan. 2006; 1 – 5.
15. Danusantoso, H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates. 2000; 1 - 254
16. Amin, Z., Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 2007; 1576 - 1594
17. Pasipanodya, J.G., Miller, T.L., Vecino, M., Munguia, G., Garmon, R., Bae, S.,
Drewyer, G., Weis, S.E. Pulmonary Impairment After Tuberculosis. CHEST June.
2007; 131 (6): 1817 - 1824.
18. Menezes, A.M.B, Hallal, P.C., Padilla, R.P., Jardim, J.R.B., Muino, A., Lopez, M.V.,
Valdivia, G., Montes de Oca, M., Talamo, C., Pertuze, J., Victoria, C.G. Tuberculosis
and Airflow Obstruction: Evidence from the PLATINO Study in Latin America. ERJ.
2007; 30 (6) : 1180 - 1185.
19. Rekha, V.V.B., Ramachandran, R., Rao, K.V.K., Rahman, F., Adhilakshmi, A.R.,
Kaliselvi, D., Murugesan, P., Sundaram, V., Narayanan, P.R. Assessment of Long Term
Status of Sputum Positive Pulmonary TB Patients Successfully Treated with Short
Course Chemotherapy. Indian J. Tuberc. 2009; 56: 132 - 140.
20. Sherwood Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke sistem.Ed 2.Jakarta:EGC ;2001
21. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pneumonia Komuniti. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2003 tersedia di
,
52
22. Wibisono J,Winariani,Hariadi S.Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabatya: Dept.ilmu
pnyakit pari FK UNAIR.2010.h 149
23. Zul Dahlan. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 : 2196 – 2207
,