karsinoma nasofaring

download karsinoma nasofaring

of 27

description

karsinoma nasofaring

Transcript of karsinoma nasofaring

BAB IPENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di daerah kepala dan leher yang selalu berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit. Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang ditemukan di Amerika dan Eropa.1 Akan tetapi angka insiden cukup tinggi di sebahagian tempat dan dipercayai faktor genetik dan lingkungan pencetus karsinoma nasofaring. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia adalah cukup tinggi dimana 4,7: 100 000 orang kasus pertahun.1,2Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (mukosa) nasofaring atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Telah di ketahui bahawa faktor genetik, lingkungan dan infeksi virus menjadi penyebab utama terjadi karsinoma nasofaring.1-3Gejala awal yang sering ditemukan ialah hidung buntu, perdarahan dari hidung, pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Ada juga pasien datang dengan keluhan benjolan atau massa pada leher, ini terjadi apabila berlaku metastase sel-sel ganas ke kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah pada stadium lanjut dan ini menyebabkan kematian tinggi selama satu tahun setelah terapi radiasi. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita.1,2Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan pengetahuan mengenai kanker nasofaring sehingga diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiKarsinoma nasofaring ialah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitel mukosa nasofaring atau kalenjar yang terdapat pada nasofaring.1 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak yang ditemukan di Indonesia namun sulit untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan letaknya yang tersembunyi serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.

2.2. EpidemologiInsiden KNF relatif rendah di seluruh dunia, insidennya kurang dari 1:100 000 orang. Tetapi di Selatan Negara China, insidennya mencapai 10-15:100 000 pada laki-laki dan 5-10:100 000 pada perempuan. Di daerah Guandong dan Guangxi insiden KNF mencapai 50:100 000 orang.2,3Di Indonesia insiden KNF sebanyak 4,7:100 000 orang pertahun dimana parbandingan laki-laki dengan perempuan berkisar 2-3:1 orang.1

2.3. EtiologiAntara faktor yang berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah faktor lingkungan yang saling berhubungan dengan faktor genetik.1-3,4-62.3.1. Faktor LingkunganAntara faktor yang dikaitkan ialah ventilasi rumah yang kurang bagus dan penggunaan kayu api sebagai bahan bakar dalam ruangan. Ventilasi yang buruk menyebabkan terpaparnya oleh asap yang terlalu lama dapat meningkatkan resiko KNF.Konsumsi ikan asin dalam jangka masa lama dapat meningkatkan resiko KNF. Penelitian yang dilakukan oleh Yu et al menunjukan ras China yang memiliki kebiasaan konsumsi ikan asin dalam jangka lama ternyata memiliki insiden KNF yang tinggi. Ada juga penelitian dilakukan dengan menggunakan tikus, dimana tikus ini diberikan ikan asin sebagai diet. Hasil penelitian tersebut di menunjukkan hasil bahwa 3 dari 20 tikus yang diberi ikan asin sebagai diet, terjangkit kanker nasofaring dan kanker faring. Kandungan nitrosamide yang terdapat di ikat asin diduga sebagai penyebab utama untuk terjadinya KNF.Merokok (tembakau) juga merupakan salah satu faktor resiko, dimana dalam suatu penelitian didapatkan angka insiden KNF tinggi pada orang yang merokok lebih dari 10 tahun atau lebih. Ada pun penelitian dilakukan di Taiwan oleh Lin et al menunjukkan bahwa paparan terlalu lama oleh asap rokok meningkatkan resiko KNF.2Paparan terlau lama pada senyawa kimia yang bersifat karsinogen (pestisida, asbes, dll) juga memainkan peranan dalam terjadinya KNF.Gambar 1. Faktor yang bisa memicu terbentuknya KNF.

2.3.2. Faktor GenetikInsiden KNF pada ras China lebih tinggi di populasi yang biasa berkaitan dengan jenis diet tertentu. Satu penelitian yang dilakukan simon et al didapati peranan histocampability locus antigen (HLA) mempunyai kaitan dengan KNF. Dimana HLA termasuk HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58 mempunyai hubungan keganasan. Salah satu contoh pada anggota keluarga di Cina selatan dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 penderita karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari penderita karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.2,32.3.3. Virus Epstein-Barr Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini.1-4 Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.2.4. AnatomiNasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.

Gambar 2. Gambaran Nasofaring.

Gambar 3. Gambaran nasofaring melalui laringscope2.5. HistologiMukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya dengan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan bisa merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.

2.6. Pathogenesis

Gambar 4. Skema pathogenesis KNFHubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine diketahui sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV adalah suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus), yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asimptomatis tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.2,3,6Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara terus menerus mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

2.7. DiagnosisDiagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga pemeriksaan penunjang.Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap gejala mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat menentukan KNF.6

Table 1. Digby skoring

Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.

2.8. Manisfestasi klinisSimtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung, tuba Eustachii dan dasar tengkorak1,4,62.8.1. Gejala Hidung : Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan. Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman.2.8.2. Gejala telinga Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen Muler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran) Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran2.8.3. Gejala lanjut Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan di leher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.2.8.4. Gejala mata dan saraf Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen. Gejala saraf kranialis meliputi : Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak N.I melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa. Penderita akan mengeluh anosmia, Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi sehingga penderita memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan. Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata m.levator palpebra dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia serta ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra menyempit dan kesulitan membuka mata. Paresis N.III, IV dan VI akan menimbulkan keluhan diplopia Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut karsinoma, akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N.IX menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah, salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin akibat gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan memberikan gejala : gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah faring dan laring, dispnea, hipersalivasi). Parese N.XI akan menimbulkan kesukaran mengangkat dan memutar kepala dan dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor melalui kanalis n.hipoglossus atau dapat pula karena parese otot-otot yang dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan inferior, m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul berupa lidah yang deviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan, suara pelo dan disfagia.2.9. Pemeriksaan Penunjang2.9.1. Pemeriksaan NasofaringPemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) sertafibernasofaringoskopi.1,4,62.9.2. Pemeriksaan RadiologiDigunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan : Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.3,5,62.9.3. Pemeriksaan SerologiPemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi infeksi EBV dimana dilakukan biopsi jarum halus pada sel tumor. Melalui pemeriksaan imunohistokimia dapat mendeteksi mRNA EBV pada jaringan tumor. EBV dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma.1,2,62.9.4. Pemeriksaan PathologiPemeriksaan pathologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum halus dan biopsi jaringan. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis.Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikal.6 Biopsi JaringanBiopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.1,6

2.10 KlasifikasiKlasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadii. Tipe WHO 1- Karsinoma sel skuamosa (KSS)- Deferensiasi baik sampai sedang.- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).ii. Tipe WHO 2- Karsinoma non keratinisasi (KNK).- Paling banyak pariasinya.- Menyerupai karsinoma transisionaliii. Tipe WHO 3- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).-Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma, varian sel spindel.- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.2.11 StaggingPenentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannyaT1 : Tumor terbatas pada nasofaringT2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasalT2a : Tanpa perluasan ke parafaringT2b : Dengan perluasan ke parafaringT3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasalT4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cmN2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cmN3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastase jauhM0 : Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :Stadium I : T1, N0, M0Stadium IIA : T2a, N0, M0Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0Stadium IVA: T4, N0-2, M0Stadium IVB: Tiap T, N3, M0StadiumIV C: Tiap T, Tiap N, M1

2.12 Diagnosis BandingAdapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 11. TBC nasofaringDapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).1. Angiofibroma nasofaringInsidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena merupakan tumor jinak

2.13 PenatalaksanaanModalitas penatalaksaan dapat dilakukan 2.11.1. RadioterapiRadioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi merupakan pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk radioterapi radikal adalah 6000-7000 rad dengan aplikasi radium dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar X dalam waktu 5-6 minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring dan kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga dari dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada tahun pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan setiap 6 bulan selama 5 tahun.3-52.11.2. KhemoterapiKemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian adjuvan kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah : 1,21. Obat tunggal : Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im 5 Fluorouracil atau 5FU dan CisplatinCisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan membuat rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik ganda. 5FU akan menghambat sintesis timidilat dan juga mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA, berpengaruh terhadap DNA, dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien dengan penyakit yang progresif.6

1. Obat-obatan ganda :COMP :Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena Vincristine 1 mg intravena5 FU 750 mg intravenaHari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena Vincristine 1 mg intravena Methotrexate 50 mg intravenaDiulang setiap 4 minggu Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin : Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena Methotrexate 20 mg / m2 intravena Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravenaDiulang setelah 10 mingguHarus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang baik terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat radioterapi dan juga karena tingginya metastase jauh dari kanker nasofaring, maka kombinasi modalitas therapy radiasi dan kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif. Kombinasi ini dapat saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa cara untuk kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan (kemoterapi yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi (radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.5-62.11.3. PembedahanTindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya kekambuhan kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa atau kambuh diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.

2.14 PrognosisAngka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia dimana usia muda mempunyai prognosis yang lebih baik bebanding usia lanjut, staging klinik dan lokasi dari metatase regional juga berperanan (lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastase kontralateral dan metastase yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%, stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%.6 Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya. Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai :1. Anaplasia dan atau plemorfism.2. Proliferasi sel yang tinggi (dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia).3. Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.4. Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.5. Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.6. Dijumpai ekspresi c-erb B-2.

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien Nama : Kedem Ni NyomanRM: 01.49.43.47Umur: 68 tahunJenis kelamin: PerempuanBangsa: IndonesiaSuku: BaliAgama: HinduPendidikan: Tidak tamat SDStatus Perkawinan: Sudah MenikahPekerjaan: PetaniAlamat: Br. Dinas Tibubiu Klod, Kerambitan, TabananMRS: 18 Juli 2011Tanggal Pemeriksaan: 25 Juli 20113.2. AnamnesisKeluhan utama : Benjolan pada leher kiriPerjalanan penyakit :Pasien datang mengeluhkan terdapat benjolan di leher kiri. Benjolan ini dikatakan sudah muncul kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa benjolan awalnya berukuran kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun benjolan ini dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan. Keluhan ini juga dikatakan disertai dengan keluhan berupa telinga mendenging yang terjadi kurang dari 1 bulan yang lalu dan hilang timbul. Telinga berdenging ini dirasakan di telinga kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala yang hilang timbul dan dikatakan sudah terjadi sejak kurang dari 1 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sebelumnya juga sempat demam dan merasa lemas sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu dan sempat diajak berobat kemana-mana dan akhirnya sempat memeriksakan diri ke RSUD Tabanan. Keluhan lemas masih dirasakan pasien hingga sekarang namun demam sudah ada perbaikan. Di RSUD Tabanan pasien menerima pengobatan untuk keluhannya. Karena dalam pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar di leher kiri, kemudian kelenjar tersebut dikatakan disuntik untuk diperiksa di laboratorium. Dari hasil pemeriksaan tersebut dikatakan bahwa pasien dicurigai terdapat kanker nasofaring, kemudian pasien di rujuk ke Poli THT di Rumah Sakit tersebut dan menjalani pemeriksaan serta pengambilan jaringan di daerah nasofaring. Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil adanya sel-sel kanker dan pasien didiagnosis mengalami karsinoma nasofaring. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP Sanglah untuk menjalankan terapi penyinaran dan kemoterapi, sebab fasilitas untuk terapi penyinaran tidak ada di Rumah Sakit tersebut.Riwayat pengobatanSejak pertama kali pasien merasakan timbulnya benjolan di leher kiri kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien tidak memeriksakan dan melakukan pengobatan. Pada saat pasien memeriksakan diri di RSUD Tabanan dengan keluhan demam dan lemas, pasien mengaku hanya diberikan obat untuk penurun panas dan vitamin saja. Namun saat diperiksakan di Poli THT RSUD Tabanan dan dengan diagnosis karsinoma nasofaring pasien mengaku tidak diberikan pengobatan dan hanya dirujuk ke RSUP Sanglah untuk menjalani terapi penyinaran dan kemoterapi.

Riwayat Penyakit TerdahuluPasien tidak pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit sistemik lainnya. Selain itu pasien juga menyangkal pernah melakukan operasi.Riwayat Penyakit KeluargaPasien mengatakan bahwa pada keluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang sama atau menderita penyakit kanker lainnya. Pasien mengatakan bahwa dari keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit sistemik lainnya.Riwayat sosialPasien mengatakan sering nginang sejak lama dan tepatnya sejak kapan pasien tidak ingat. Pasien mengatakan sering nginang dengan menggunakan mako (tembakau). Kesehariannya pasien bekerja sebagai petani di sawah, dan pasien mengaku sawahnya menggunakan bahan pestisida untuk mengusir hama perusak. Kebiasaan lainnya adalah pasien sering minum kopi sejak remaja namun hanya secangkir dalam sehari, namun sejak sakit pasien jarang mengkonsumsinya. Pasien mengaku salah satu bangunan di rumah pasien menggunakan bahan bangunan berupa asbes. Pasien menyangkal memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin maupun ikan bakar dan mengkonsumsi alkohol.3.3. Pemeriksaan fisikStatus PresentKeadaan umum: LemahKesadaran: Compos MentisTekanan Darah: 120/80 mmHgDenyut Nadi: 80 kali/menitRespirasi: 20 kali/menitTemperatur Axila: 36,5oC

Status General1. Kepala: Tidak ditemukan kelainanMata: Anemia (+/+), ikterus (-/-), ptosis (-/-), diplopia (-/-), strabismus (-/-), isokor1. THT: Sesuai status lokalis1. Leher: Pembesaran kelenjar getah bening0. Pada daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm.1. Thorak: Cor : S1S2 tunggal, Reguler, Murmur(-) Po : Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-1. Abdoment: Distensi(-), Bising usus (+) Normal, H/L tak teraba1. Ekstremitas: Edema (-/-), akral hangat (+/+)Status Lokalis THTTELINGAKANANKIRI

Daun telingaNN

Liang telingaLapangLapang

Discharge--

Membrana TipaniIntakIntak

Tumor--

MastoidNN

Tes pendengaran:

BerbisikTidak dievaluasi

WeberTidak dievaluasi

RinneTidak dievaluasi

SchwabahTidak dievaluasi

BOATidak dievaluasi

TympanometriTidak dievaluasi

AudiometriTidak dievaluasi

Nada MurniTidak dievaluasi

BERATidak dievaluasi

OAETidak dievaluasi

Tes AlatTidak dievaluasi

KeseimbanganTidak dievaluasi

HIDUNGKANANKIRI

Hidung LuarNN

Kavum NasiLapangLapang

SeptumTidak ada deviasiTidak ada deviasi

Discharge--

MukosaMerah mudaMerah muda

Tumor--

KonkaDekongestiDekongesti

SinusNN

KoanaTidak dievaluasi

Naso endoskopiTidak dievaluasi

TENGGOROK

Dispneu-

Sianosis-

MukosaMerah muda

Dinding belakang-

Stridor-

SuaraNormal

TonsilT1/T1

LARINGTidak dievaluasi

NASOFARINGMassa berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap nasofaring

3.4. Pemeriksaan Penunjang Patologi (9 Juli 2011)Bahan: Nasofaring Kesimpulan: Undifferentiated carcinoma nasofaring CT Scan Kepala (14 Juli 2011)Kesan: Massa nasofaring kiri yang tidak meluas ke organ sekitar. Staging: T1N0M0. Foto thorax PA (24 Juli 2011)Kesan: Cor dan Pulmo tidak tampak ada kelainan. Tidak tampak proses metastasi. Pemeriksaan LabDarah Lengkap:14/7/201120/7/201125/7/2011

WBC (x 103/L)6,76 10,4310,87

Ne (%)76,3075,7078,70

Lym (%)8,90 ()11,10 ()8,10 ()

Mo (%)7,508,407,60

Eo (%)5,70 ()3,504,40

Ba (%)0,600,400,40

RBC (x 106/ L)2,69 ()4,073,80 ()

Hgb (g/dL)6,50 ()10,0 ()9,70 ()

Hct (%)22,50 ()33,50 ()31,40 ()

MCV (fL)83,70 82,2082,40

MCH (pg)24,20 ()24,60 ()25,60 ()

MCHc (g/dL)28,90 ()29,30 ()31,0

PLT (x 103/L)451,0 ()407,0284,0

Kimia Klinik:14/07/201120/07/201122/07/201125/07/2011

Alkali Phospathase (U/L)-221,00 ()--

SGOT (U/L)34,0 ()29,0 ()-48,04 ()

SGPT (U/L)13,0 14,0-16

Albumin (g/dL)2,40 ()2,40 ()3,44 ()2,60 ()

BUN (mg/dL)26,0 ()14,0-9,0

Creatinin (mg/dL)0,53 0,43 ()-0,41 ()

Creatinin Clearance (ml/mnt)---152,638 ()

GDS (mg/dL)92,0 ---

Na (mmol/L)141,10 140,20-140,20

K (mmol/L)3,54 3,0 ()-3,45 ()

3.5. DiagnosisKarsinoma Nasofaring (KNF) stadium II B (T1N1M0)3.6. PenatalaksanaanTerapi :0. MRS0. IVFD NaCL 0,9% 20 tetes/menit0. Diet TKTP + ekstra putih telur0. Vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab0. Vitamin C 1 x 1 tab0. Koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3 g/dL0. Koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL.0. Rencana Kemoterapi dengan Paclitaxel dan Carboplatin0. PrognosisDubius ad bonam

BAB IVPEMBAHASAN

Pasien, seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu, datang dengan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Dari riwayat sosial ditemukan bahwa pasien bekerja sebagai petani dan mengaku menggunakan pestisida untuk membunuh hama. Selain itu pasien juga sering nginang dengan menggunakan tembakau. Berdasarkan anamnesis dari pasien, ditemukan adanya gangguan nasofaring, telinga, dan pembesaran kelenjar getah bening, serta terdapat faktor resiko berupa terpapar bahan insektisida, menggunakan tembakau, terpapar bahan asbes, yang sesuai teori mampu mengarahkan keadaan pasien pada diagnosis karsinoma nasofaring. Pada pemeriksaan fisik, di dalam nasofaring ditemukan massa berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap nasofaring. Pada pemeriksaan nasofaring tersebut ditemukannya tumor primer dari pasien ini. Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm. Pembesaran kelenjar getah bening ini menunjukkan bahwa adanya metastase regional. dari hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan kesimpulan bahwa masa nasofaring kiri tidak mengalami perluasan ke jaringan sekitarnya. Dari pemeriksaan foto thorax PA didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada proses metastase ke paru-paru maupun jantung. Dari keadaan ini stadium penyakit pasien dapat ditentukan dengan sistem TNM. Dari hasil CT-Scan dan foto thorax PA dapat disimpulkan kedaan pasien saat ini dalam T1 dan M0. Dari pembesaran kelenjar getah bening pasien yang bersifat unilateral dan dengan ukuran dibawah 6 cm serta letaknya di atas supraklavikula, didapatkan N1. Sehingga staging karsinoma nasofaring pasien adalah T1N1M0 dan termasuk ke dalam stadium II B.Dari kriteria Digby gejala-gejala yang dikeluhkan oleh pasien masuk ke dalam kriteria ini. Massa terlihat pada nasofaring pasien (skor 25), dikeluhkan gejala pendengaran berupa tinitus (skor 15), sakit kepala (skor 5), dan terdapat limfadenopati pada leher (skor 25). Skor untuk kriteria Digby pada pasien ini adalah 70 yaitu lebih dari 50, sehingga diagnosis karsinoma nasofaring dapat dipertanggungjawabkan untuk pasien ini.Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi nasofaring dan didapatkan hasil undifferentiated nasopharyngeal carcinoma dan termasuk dalam klasifikasi histopatologi tipe II (Undifferentiated epidermoid carcinoma ) dan WHO tipe 3.Penatalaksanaan pada penderita ini berupa pemberian radioterapi dan kemoterapi hal ini sudah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke intrakranial. Kemoterapi merupakan terapi adjuvant/tambahan pada karsinoma nasofaring. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh, dan pada kasus dengan metastase jauh. Pada penderita ini kemoterapi diberikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap radioterapi yang diberikan. Namun pada pasien ini masih belum dapat dilakukan sebab pasien masih mengalami anemia dan hipoalbumin, sehingga perlu dilakukan koreksi untuk keadaan ini. Setelah keadaan tersebut terkoreksi, pasien kemudian akan dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi (rencana dengan paclitaxel dan carboplatin)Prognosis pasien ini adalah baik, sebab stadium kanker pasien adalah II B dimana berdasarkan literatur angka 5 years survival rate untuk kanker dengan stadium ini adalah 95%.

BAB VSIMPULAN

Dilaporkan kasus seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu, datang dnegan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Di dalam nasofaring ditemukan massa berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap nasofaring. Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm. Dari hasi pathologi ditemukan adanya undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Dari hasil pemeriksaan CT-scan dan foto thorax PA tidak ditemukan adanya proses metastase. Pasien didiagnosis dengan KNF stadium II B (T1N1M0). Penatalaksanaannya adalah berupa MRS dengan IVFD NaCL 0,9% 20 tetes/menit, diet TKTP + ekstra putih telur, vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab, vitamin C 1 x 1 tab, koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3 g/dL, koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL, dan rencana kemoterapi dengan Paclitaxel dan Carboplatin, serta radioterapi.

DAFTAR PUSTAKA

8. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring; Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keenam. Editor : Soepardi EA, Iskandar N. FK UI;Jakarta. 20078. Satyanarayana K. et al. Epidemiological and etiological factors associated with nasofharyngeal carcinoma. September 2003: 33(9); 1-98. Jeyakumar A. et al. Review of nasopharygeal carcinoma. March 2006: 85(3); 168-1738. Suardana W. et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Denpasar. 19928. Asroel H. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatera Utara. 20028. Febrianto, P. Karsinoma Nasofaring. 2008. Diunduh dari: http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulus-febrianto-silor-078114130.pdf. Diakses pada : tanggal 25 Juli 2011.

27