Karsinoma Nasofaring Referat Fix

download Karsinoma Nasofaring Referat Fix

of 33

description

a

Transcript of Karsinoma Nasofaring Referat Fix

REFERATKARSINOMA NASOFARINGPEMBIMBING : dr. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :

32

Amira Danila 030.09.012Antonius Verdy T. 030.09.027Azmi Ikhsan Azhary 030.09.043Dudi Novri Wijaya 030.09.075Jessica Wirjosoenjoto 030.09.126Michael Wong 030.09.153Ria Afriani 030.09.200Rizcha Octaviani 030.09.211Sitti Monica A. Ambon 030.09.239Sylvia Alviodita 030.09.249

KEPANITERAAN KLINIKILMU PENYAKIT THT-KLRUMAH SAKIT RSUD KARAWANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIPERIODE 17 FEBRUARI 22 MARET 2014DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................2BAB II ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI NASOFARING .................................3BAB III KARSINOMA NASOFARING1. DEFINISI........81. EPIDEMIOLOGI81. ETIOLOGI101. FAKTOR RESIKO....121. GEJALA KLINIS..121. PATOFISIOLOGI .........................................................................141. DIAGNOSIS......................161. DIAGNOSIS BANDING..191. PEMERIKSAAN PENUNJANG..201. PENATALAKSANAAN.. 221. KOMPLIKASI...281. PROGNOSIS.29BAB IV PENUTUPI. KESIMPULAN..................30II. SARAN..30DAFTAR PUSTAKA..31

BAB IPENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besartumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempatpertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikutitumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaringyang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan datapatologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan padatahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu segala aspek dari kanker nasofaring ini, meliputi definisi, anatomi fisiologi nasofaring, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi, diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semuaaspek tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.BAB IIANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI NASOFARINGAnatomi dan Fisiologi NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.1Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas Lateral : - Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleriPada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

Gambar 1 Anatomi nasofaring

Gambar 2 Fossa of RosenmullerNasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.Struktur penting yang ada di Nasopharing1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Gambar 3 Nasofaring

Fungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Histologi NasofaringMukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.1

Gambar 4 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring

BAB IIIKARSINOMA NASOFARINGA. DEFINISIKarsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. (DORLAND.2002).Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan (DORLAND.2002).

B. EPIDEMIOLOGIAngka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987).Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (ZONG dkk.1983).Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).

C. ETIOLOGI Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebabutama timbulnya penyakit ini. Karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virusEB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dankepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun. Virustersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatukelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatumediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masakanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehinggamenimbulkan karsinoma nasofaring.2

Ada beberapa mediator yang dianggap berpengaruh untuk menimbulkan terjadinya karsinoma nasofaring :

1. Zat nitrosaminDidalam ikan asin terdapat zat nitrosamin yang merupakan mediator penting. Zatnitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland. Juga pada Qualid yaitu daging kambing yang dikeringkan di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.

2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.Udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina,Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus Karsinoma Nasofaring. DiHongkong, pembakaran dupa rumah rumah juga dianggap berperan dalammenimbulkan Karsinoma Nasofaring.

3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti: Benzopyrenen Benzoanthracene Gas kimia Asap industri Asap kayu Beberapa ekstrak tumbuhan

4. Ras dan keturunan. Ras Kulit putih sering terkena penyakit ini. Di asia terbanyak adalah bangsa Cina,baik yang Negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia danIndonesia termasuk yang agak banyak terkena penyakit ini.

5. Radang kronis daerah nasofaringDianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentanterhadap karsinogen lingkungan.

6. Profil HLA

D. FAKTOR RESIKOFaktor resiko penyebab adanya kanker nasopharing antara lain: Makan makanan asinPada banyak kasus di Cina, nasopharing carcinoma disebabkan dari makan ikan asin, juga dari bumbu masak tertentu dan makan makanan yang terlalu panas. VirusBeberapa virus menimbulkan tanda dan gejala seperti demam. Beberapa virus memiliki kemungkinan akan timbulnya kanker nasopharing. EBV-virus biasanya yang menyebabkan kanker. KeturunanDalam keluarga dengan riwayat terkena kanker terutama kanker nasopharing besar selain nitrosamine, faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kanker nasofaring adalah keadaan sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup yang rendah, udara yang penuh asap di rumah yang kurang baik ventilasinya misalnya pembakaran dupa, obat nyamuk, meningkatkan insiden kanker nasofaring. Demikian juga kontak dengan bahan kimia seperti gas kimia, asap industri dan asap kayu. Penyebab lain adalah radang kronis (menahun) di daerah nasofaring, peradangan menyebabkan selaput lendir nasofaring lebih rentan terhadap karsinogen.2

E. GEJALA KLINIS

Gejala dan Tanda Karsinoma Nasofaring :1. Gejala Nasofaring Pilek lama yang tidak sembuh Epistaksis.Keluhan darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkalibercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

2. Gejala Telinga : Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumordekat muara Tuba Eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gejala dapat berupa : TinitusTumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi. Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinitus. Gangguan pendengaran hantaran. Gangguan ini bisa diawali dengan rasa penuh di telinga, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga ( otalgia )

3. Gejala Mata dan Saraf : Diplopia dan gerakan bola mata terbatas.Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N III,N.IV , N.Vdan N VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.Bila mengenai N V akan menimbulkan neuralgia trigeminal, merupakan gejalayang sering ditemukan ahli saraf. Gejala saraf akan timbul bila tumor sudah meluas ke otak dan diraskan padapenderita. Gejala ini dapat berupa : Sakit kepala yang terus-menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Sensibilitas daerah pipi dan hidung berkurang Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean. Sindrom ini terjadi bilaproses tumor melanjut menjalar melalui foramen jugulare dan mengenai N. IX, N.X, N.XI dan N.XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: lidah, palatum,faringatau laring, M. sternocleidomastoideus, M. Trapezius.

4. Metastasi ke kelenjar leher Dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di Cina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran modul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.3

Stadium dari kanker ini adalah :1. Stadium 0 : sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut dengan nasopharynx insitu.2. Stadium 1 : sel kanker menyebar dibagian nasopharing.3. Stadium 2 : sel kanker sudah menyebar pada lebih dan nasopharing ke rongga hidung, atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.4. Stadium 3 : kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher.5. Stadium 4 : kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah. Dari tingkatan-tingkatan inilah dokter dapat menentukan jenis pengobatan yang tepat bagi penderita.

F. PATOFISIOLOGIVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam family Herpes viridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfomasel T, mononucleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:41) Adanyainfeksi EBV, 2) Faktor lingkungan3) Genetik

1) Virus Epstein-BarrVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epiteldan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV kedalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (PolimericImmunogloblin Receptor).Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu, sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2) GenetikWalaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggungjawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen3) Faktor LingkunganSejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan America utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan factor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehyde dan yang terpapar debu kayu diakui factor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.4

G. DIAGNOSISDiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : GejalaMenurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.5

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis. Pemeriksaan NasofaringPemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.5 Radiologi Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya. SerologiPada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tekhnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi IgG ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma. Pemeriksaan Patologi1. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalisSejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis.2. BiopsiBiopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi karsinoma nasofaring.6

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :7

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannyaT1 : Tumor terbatas pada nasofaringT2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasalT2a : Tanpa perluasan ke parafaringT2b : Dengan perluasan ke parafaringT3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasalT4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cmN2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cmN3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I : T1, N0, M0Stadium IIA : T2a, N0, M0Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0Stadium IVA: T4, N0-2, M0Stadium IVB: Tiap T, N3, M0StadiumIV C: Tiap T, Tiap N, M1

H. DIAGNOSA BANDING

1. Angiofibroma JuvenilisSering ditemukan pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai Karsinoma Nasofaring. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang dan hanya erosi saja karena penekanan tumor. Terdapat pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebagai antral sign.

2. Adenoid Persisten

3. Hiperplasia adenoidBiasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.4. Tumor sinus sphenoidalisTumor ganas primer sinus sphenoidalis sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Biopsi NasofaringBiopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsy tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ). CUnam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menelurusi konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan di klem bersama sama ujung kateter yang berada di hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung sebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringkop dengan dimasukkan ke mulut, dan masa tumor akan terlihat jelas.2

2. Pemeriksaan Patologi AnatomiKlasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh WHO sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Carcinoma ). Tipe ini dapat dibagi menjadi diferensiasi baik, sedang maupun buruk Karsinoma non keratinisasi ( Non keratinizing Carcinoma ). Pada tipe ini dijumpai adana diferensiasi, tetapi tidak ada diferesniasi sel skuamosa dalam jembatan intesel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. Karsinoma tidak berdiferensiasi ( Undiferentiated Carcinoma ). Pada tipe ini sl tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nucleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991,hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu : Karsinomaselskuamosaberkeratinisasi(KeratinizingSquamousCellCarcinoma) Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma ). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

3. Pemeriksaan radiologi PemeriksaanradiologipadakecurigaanKNFmerupakanpemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah: Memberikandiagnosisyanglebihpastipadakecurigaanadanya tumorpada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

CT ScanBeberapa posisi dengan foto polos untuk yang perlu dibuat untuk mencari kemungkinan adanya tumor pada nasofaring yaitu : Posisi lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique ) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogram Antero posterior daerah nasofaring

4. Pemeriksaan neuro - oftalmologiKarena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.5. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta telah mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut ( stadium III dan IV ) sensitivitas IgA VCA adalah 97.5% dan spesifisitas 91.8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tapi spesifisitasnya hanya 30.0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.

J. PENATALAKSANAAN1. RadioterapiSampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.Pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju. Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.8

Dosis radiasiDosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60, megavoltageorthovoltageRespon radiasiSetelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO : Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Komplikasi radioterapi :1. Komplikasi diniBiasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :0. Mual-muntah0. Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum0. Anoreksi0. Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang terkena radiasi)0. Eritema

1. Komplikasi lanjutBiasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :0. Kontraktur0. Penurunan pendengaran0. Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.92. KemoterapiKemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :1. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif1. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.1. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi 1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi)2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi)3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi )

Efek Samping KemoterapiAgen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.9Manfaat Kemoradioterapi:1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. 1. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. 1. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). 9Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Kelemahan KemoradioterapiKelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.3. OperasiTindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

4. ImunoterapiDengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

K. KOMPLIKASI1. Sindrom PetrosphenoidalTumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus sehingga menekan saraf N. III, N. IV, N. V, N.VI. yang memberikan kelainan: Trigeminal neuralgia ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus. Ptosis palpebra ( N. III ) Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )2. Sindrom RetroparotidianTumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parafaring dan retrofaring dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI dengan manifestasi gejala : N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah N. X : hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring. N XI : kelumpuhan / atrofi otot trapezius. N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.2K. PROGNOSISPrognosis hidup setelah 5 tahun berada untuk tiap tingkatan/stadium tumor Stadium I : 85 % Stadium II : 75 % Stadium III : 45 % Stadium IV : 10 %

Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru dan hati.

Ad vitam: Dubia ad MalamAd sanationam: Dubia ad MalamAd Fungsionam: Dubia ad Malam

BAB IVPENUTUPI. KESIMPULAN Karsinomanasofaringmerupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan menempati urutan ke 10 dariseluruh tumor ganas di tubuh. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu(1) Adanya infeksi EBV, (2) Faktor lingkungan(3) Genetik Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.

II. SARAN Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, sakit kepala dan penglihatan dobel. Sebagai`gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan saraf otak. Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap sampai karsinoma nasofaring dapat disingkirkan. Bagi para penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi diharapkan melalukan vaksinasi virus EBV. Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapatditekan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Respiratory system pre lab. Available from: http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502). Accessed on 3 March 2014.2. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed).Buku Ajar Ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok-Kepala leher.edisi keenam.jakarta :FK UI,2007.h.182-872.3. Ballenger JJ.Otorhinolaryngology : head and neck surgery.16th ed. Philadelphia :Williams & Wilkins,2003.4. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 4th ed. New York : Churchill Livingstone, 2005. h. 495-507.5. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008. Hal : 263-278 6. Roezin A, Adham M. 2012. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala&Leher. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. eds. 2012. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 158. 7. Paulino AC, Arceci RJ. Nasopharyngeal Cancer. Available at :http://emedicine.medscape.com/article/988165. Accessed March, 14th 2014.8. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.9. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.