KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - bi.go.id · Bank Indonesia Provinsi Riau Ismet Inono...

130
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL NOVEMBER website : www.bi.go.id email : [email protected] 2016 KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Transcript of KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - bi.go.id · Bank Indonesia Provinsi Riau Ismet Inono...

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

NOVEMBER

website : www.bi.go.id email : [email protected]

2016

KAJIAN EKONOMI DAN

KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

VISI BANK INDONESIA :

kredibel dan terbaik di regional

melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian

inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil

MISI BANK INDONESIA :

1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi

kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

yang berkualitas;

2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien

serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk

mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi

pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;

3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang

berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan

stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan

akses dan kepentingan nasional;

4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia

yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta

melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka

NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :

-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai

untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,

Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kata Pengantar

iii

BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan

terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan

perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan

ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 dengan penekanan

pada kondisi ekonomi makro regional antara lain, Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Daerah, Asesmen Inflasi Daerah, Asesmen Keuangan Pemerintah, Asesmen

Stabilitas Keuangan Daerah dan Pengembangan Ekonomi, Asesmen

Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Asesmen

Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan, serta Prospek Perekonomian tahun 2016

berdasarkan indikator terkini. Analisis dilakukan berdasarkan data bulanan bank

umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, hasil

survei Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau, data PDRB dan Inflasi yang

diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, Data Investasi Badan

Koordinasi Penanaman Modal, informasi anekdotal serta data instansi/lembaga

terkait lainnya.

Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada

stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,

dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak

lain yang membutuhkan.

Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan

buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi

sangat diharapkan.

Pekanbaru, November 2016

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

Ismet Inono Direktur

KATA PENGANTAR

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kata Pengantar

iv

duduk di rumah memegang amanah

duduk di tanah memegang petuah

duduk di kampung menjadi payung

duduk di banjar bertunjuk ajar

duduk di ladang tenggang menenggang

duduk di negeri tahukan diri

duduk di dusun ia penyantun

duduk beramai elok perangai

apa tanda Melayu bertuah,

tahu berguru pada yang sudah

tahu berbuat pada yang ada

tahu memandang jauh ke muka

apa tanda Melayu terbilang,

dada lapang pandangan panjang

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii

DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv

TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH ............................................................ xv

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................... 1

BAB 1. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ................................... 10

1. Kondisi Umum................................................................................ 10

2. PDRB Sisi Penggunaan .................................................................... 12

2.1 Konsumsi ................................................................................ 13

2.2 Investasi (PMTB) ...................................................................... 15

2.3 Ekspor dan Impor .................................................................... 17

2.3.1 Ekspor ........................................................................... 17

2.3.2 Impor ............................................................................ 20

3. PDRB Sektoral................................................................................. 22

3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan ........................... 23

3.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian .................................... 26

3.3 Sektor Industri Pengolahan ..................................................... 28

3.4 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor .................................................................. 30

3.5 Sektor Konstruksi .................................................................... 32

BAB 2. ASESMEN INFLASI DAERAH.................................................................. 34

1. Kondisi Umum................................................................................ 34

2. Perkembangan Inflasi Provinsi Riau ................................................. 35

2.1. Inflasi Kota .............................................................................. 39

2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru ................................................... 39

HALAMAN

DAFTAR ISI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

v

2.1.2 Inflasi Kota Dumai .................................................. 40

2.1.3 Inflasi Kota Tembilahan .......................................... 41

2.2 Disagregasi Inflasi (yoy) .................................................... 42

2.2.2 Inflasi Inti (Core) ..................................................... 43

2.2.3 Inflasi Volatile Foods ............................................... 44

2.2.4 Inflasi Administered Price ....................................... 45

2.3 Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan

Berjalan ............................................................................ 46

2.4 Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau ....... 48

BAB 3. ASESMEN KEUANGAN PEMERINTAH ............................................ 50

1. Kondisi Umum......................................................................... 50

2. Realisasi APBD Triwulan III 2016 .............................................. 51

2.1 Realisasi Pendapatan ........................................................ 52

2.2 Realisasi Belanja ............................................................... 54

BAB 4. STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES

KEUANGAN DAN UMKM ............................................................. 58

1. Kondisi Umum Perbankan ....................................................... 58

2. Perkembangan Bank Umum .................................................... 59

2.1 Perkembangan Aset ......................................................... 59

2.2 Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) .......................... 61

2.3 Perkembangan Penyaluran Kredit .................................... 62

3. Intermediasi dan RIsiko Perbankan .......................................... 64

4. Stabilitas Sistem Keuangan ...................................................... 66

4.1 Ketahanan Sektor Korporasi Daerah ................................ 66

4.2 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah ........................ 69

4.3 Ketahanan Sektor UMKM ................................................ 71

5. Perkembangan Perbankan Syariah........................................... 73

6. Perkembangan Bank Penkreditan Rakyat (BPR/S) ..................... 75

BAB 5. ASESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN

PENGELOLAAN UANG RUPIAH ................................................................. 78

1 Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai ........ 78

2 Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai ........................... 79

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

vi

1.1 Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow - Outflow) ................... 79

1.2 Penyediaan Uang Kartal Layak Edar ........................................ 80

1.3 Uang Rupiah Tidak Asli ........................................................... 81

2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai ........................... 82

2.1 Transaksi Kliring ...................................................................... 82

2.2 Layanan Keuangan Digital (LKD) ............................................. 83

BAB 6. ASESMEN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH ......... 85

1. Kondisi Umum................................................................................ 85

2. Ketenagakerjaan ............................................................................ 86

3. Kesejahteraan Daerah .................................................................... 90

3.1 Penduduk Miskin Riau ............................................................. 90

3.2 Garis Kemiskinan Riau ............................................................. 91

3.3 Indek Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan

Kemiskinan (P2) Riau ............................................................... 92

3.4 Nilai Tukar Petani .................................................................... 93

BAB 7. PROSPEK PERKENOMIAN DAERAH ....................................................... 94

1. Prospek Makroregional................................................................... 94

2. Prakiraan Inflasi .............................................................................. 98

3. Rekomendasi .................................................................................. 100

DAFTAR ISTILAH .............................................................................................. xvi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

vii

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) ................... 12

Tabel 1.2 Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau ..................... 14

Tabel 1.3 Jumlah Investor dan Tenaga Kerja PMA dan PMDN di Riau ....... 16

Tabel 1.4 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau ........................ 17

Tabel 1.5 Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas

(yoy,%) ...................................................................................... 23

Tabel 3.1 Ringkasan Realisasi APBD RiauTriwulan III 2015 dan Triwulan III

2016 .......................................................................................... 52

Tabel 3.2 Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Tw III

Tahun 2015 dan 2016 ............................................................... 53

Tabel 3.3 Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw III 2015

dan Tw III 2016 .......................................................................... 54

Tabel 4.1 Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (Rp Juta) ... 59

Tabel 4.2 Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp

Miliar) ........................................................................................ 62

Tabel 4.3 Kredit Alokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau

(Rp Triliun) ................................................................................. 67

Tabel 4.4 Kredit Alokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau

(Rp Triliun) ................................................................................. 68

Tabel 4.5 Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw IV-2015 Menurut Sektor

Ekonomi (Rp Miliar) ................................................................... 72

Tabel 6.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%) ................ 87

Tabel 6.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut

Lapangan Pekerjaan Utama ...................................................... 87

Tabel 6.3 Garis Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 2016 .............................. 91

HALAMAN

DAFTAR TABEL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

viii

Tabel 7.1 Perkembangan Perrtumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV-2016 serta Triwulan I-2017 (Dalam

%)............................................................................................................ 95

Tabel 7.2 Outlook Perekonomian Global ................................................................. 96

Tabel 7.3 Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan III-2016

dan Triwulan I-2017 ................................................................................. 98

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

ix

Grafik 1.1Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan

(yoy,%) ................................................................................... 11

Grafik 1.2 Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau ......... 13

Grafik 1.3 Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ............................ 13

Grafik 1.4 Kredit Durable Goods .............................................................. 13

Grafik 1.5 Kredit Kendaraan Bermotor ..................................................... 14

Grafik 1.6 Indeks Suku Cadang dan Aksesori ........................................... 14

Grafik 1.7 Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau ................ 15

Grafik 1.8 Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau .................. 15

Grafik 1.9 Likert Scale Investasi ................................................................. 16

Grafik 1.10 Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau .......... 18

Grafik 1.11 Perkembangan Volume Ekspor Pulp Riau ............................... 18

Grafik 1.12 Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ........................ 18

Grafik 1.13 Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ................. 18

Grafik 1.14 Ekspor CPO Dunia (Juta MT) .................................................. 19

Grafik 1.15 Pertumbuhan Ekspor Non Migas Riil ...................................... 19

Grafik 1.16 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau menurut

Wilayah Tujuan ..................................................................... 20

Grafik 1.17 Perkembangan Impor Non Migas Riau ................................... 21

Grafik 1.18 Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau 21

Grafik 1.19 Perkembangan Impor Barang Intermedier .............................. 21

Grafik 1.20 Perkembangan Impor Barang Konsumsi ................................ 21

Grafik 1.21 Nilai Tukar Rupiah terhadap USD ........................................... 21

Grafik 1.22 Perkembangan Harga Karet ................................................... 24

Grafik 1.23 Perkembangan Harga Sawit ................................................... 24

Grafik 1.24 Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian ................. 25

Grafik 1.25 Likert Scale Pertanian ............................................................. 25

Grafik 1.26 Perkembagan Kredit Perkebunan Karet dan Getah ................ 25

HALAMAN

DAFTAR GRAFIK

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

x

Grafik 1.27 Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit ................... 25

Grafik 1.28 Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian ............. 26

Grafik 1.29 Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau .................. 27

Grafik 1.30 Perkembangan Kegiatan Usaha Pertambangan di Provinsi

Riau ...................................................................................... 27

Grafik 1.31Perkembangan Harga Batubara .............................................. 27

Grafik 1.32 Harga Minyak Dunia.............................................................. 27

Grafik 1.33 Pertumbuhan Industri Pengolahan ........................................ 28

Grafik 1.34 Likert Scale Industri Pengolahan ............................................ 29

Grafik 1.35 Indeks Makanan, Minuman dan Tembakau ........................... 29

Grafik 1.36 Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan Subsektor ... 30

Grafik 1.37 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga ......................................... 30

Grafik 1.38 Perkembangan Kredit Perdagangan Eceran ........................... 31

Grafik 1.39 Perkembangan Kredit Durable Goods ................................... 31

Grafik 1.40 Likert Scale Perdagangan ...................................................... 32

Grafik 1.41 Indeks Barang Tahan Lama .................................................... 32

Grafik 1.42 Kredit Konstruksi ................................................................... 32

Grafik 1.43 Konsumsi Semen ................................................................... 32

Grafik 2.1 Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) ..................... 36

Grafik 2.2 Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) ....................... 36

Grafik 2.3 Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) ......... 37

Grafik 2.4 Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulan ............... 37

Grafik 2.5 Historis Inflasi Tw III di Provinsi Riau (qtq) ................................ 38

Grafik 2.6 Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa

Tw III-2016 (qtq) ..................................................................... 38

Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw III

(2011-2015) ........................................................................... 40

Grafik 2.8 Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Pekanbaru

TwIII-2016 .............................................................................. 40

Grafik 2.9 Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw III

(2011-2015) ........................................................................... 41

Grafik 2.10 Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai

Tw III-2016 ............................................................................. 41

Grafik 2.11 Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ................................. 42

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

xi

Grafik 2.12 Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota

Tembilahan Tw II-2016 ............................................................ 42

Grafik 2.13 Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ................................... 43

Grafik 2.14 Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) ......................... 44

Grafik 2.15 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD .................. 44

Grafik 2.16 Perkembangan Harga Emas Dunia ......................................... 44

Grafik 2.17 Perkembangan Inflasi Tradeables Goods Non Tradable

Goods (yoy) ............................................................................. 44

Grafik 2.18 Perkembanga Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) ...................... 45

Grafik 2.19 Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di

Pekanbaru ............................................................................... 45

Grafik 2.20 Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota Pekanbaru .... 45

Grafik 2.21 Perkembanga Harga Daging dan Telur di Kota Pekanbaru ..... 45

Grafik 2.22 Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)....................... 46

Grafik 2.23 Inflasi Kumulatif Riau ............................................................. 47

Grafik 2.24 Pergerakan Inflasi Tahunan .................................................... 48

Grafik 2.25 Perbandingan Inflasi Oktober ................................................. 48

Grafik 2.26 Perkiraan Harga 3 Bulan ke Depan ......................................... 48

Grafik 2.27 Perkiraan Harga per Kelompok Barang .................................. 48

Grafik 3.1 Realisasi APBD Provinsi Riau Tw III 2015 dan Tw III 2016 .......... 51

Grafik 3.2 Realisasi Pendapatan APBD Provinsi Riau Tw III 2015 dan Tw

III 2016 .................................................................................... 52

Grafik 3.3 Realisasi Belanja Langsung TwIII 2015 dan Tw III 2016 ............. 56

Grafik 4.1 Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau .................... 60

Grafik 4.2 Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok ........ 60

Grafik 4.3 Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank . 60

Grafik 4.4 Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ............. 60

Grafik 4.5 Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ...... 61

Grafik 4.6 Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ........ 61

Grafik 4.7 Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan .............. 63

Grafik 4.8 Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan ................ 63

Grafik 4.9 Perkembangan Kredit Berdasrkan Kelompok dan Valuta.......... 64

Grafik 4.10 Pertumbuhan Kredit Berdasrkan Kelompok dan Valuta .......... 64

Grafik 4.11 Perkembangan LDR di Provinsi Riau ....................................... 65

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

xii

Grafik 4.12 Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinis Riau ... 65

Grafik 4.13 Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan II-2016 65

Grafik 4.14 Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-

2016 ....................................................................................... 66

Grafik 4.15 NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-2016 ... 66

Grafik 4.16 Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw I-2016 .... 67

Grafik 4.17 Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw I-2016 ..... 67

Grafik 4.18 Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia .................................. 69

Grafik 4.19 Perkembangan Kredit Perumahan ......................................... 69

Grafik 4.20 Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .......................... 69

Grafik 4.21 Perkembangan Kredit Multiguna ........................................... 71

Grafik 4.22 Perkembangan Kredit Durable Goods ................................... 71

Grafik 4.23 Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia .................................. 71

Grafik 4.24 Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ................... 72

Grafik 4.25 Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ..................... 72

Grafik 4.26 Perkembangan NPL Kredit UMKM ......................................... 73

Grafik 4.27 NPL Sektoral UMKM Triwulan II-2016 (%) ............................. 73

Grafik 4.28 Perkembangan Aset Perbankan Syariah ................................. 74

Grafik 4.29 Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis

Simpanan ............................................................................... 74

Grafik 4.30 Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut

Penggunaan ........................................................................... 74

Grafik 4.31 Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral .. 74

Grafik 4.32 Perkembangan NPL Perbankan Syariah ................................. 75

Grafik 4.33 Perkembangan FDR Perbankan Syariah ................................. 75

Grafik 4.34 Perkembangan Aset BPR/S .................................................... 76

Grafik 4.35 Perkembangan DPK BPR/S ..................................................... 76

Grafik 4.36 Perkembangan Kredit BPR/S .................................................. 76

Grafik 4.37 Penyaluran Kredit Sektoral .................................................... 76

Grafik 4.38 Perkembangan NPL BPR/S ..................................................... 77

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar

xiv

Gambar 2.1 Inflasi Riau dan Nsional Tw III 2016 dibandingkan dengan

Historisnya (yoy) ................................................................... 35

HALAMAN

GAMBAR DAFTAR

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Tabel Indikator

xiii

I II III IV I II III

Indeks Harga Konsumen*) :

- Provinsi Riau 118.39 120.73 121.55 123.08 123.63 123.04 123.53

- Kota Pekanbaru 117.98 120.31 121.04 122.80 123.16 122.29 125.12

- Kota Dumai 118.50 120.83 122.16 122.75 124.23 124.48 125.91

- Kota Tembilahan 122.58 124.94 125.77 126.62 127.48 128.23 129.02

Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :

- Provinsi Riau 6.17 7.39 5.70 2.65 4.42 1.92 3.27

- Kota Pekanbaru 6.16 7.53 5.70 2.71 4.39 1.65 3.37

- Kota Dumai 6.50 7.29 6.21 2.63 4.84 3.02 3.07

- Kota Tembilahan 5.63 6.23 4.71 2.06 4.00 2.63 2.58

Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 2.36 2.46 1.11

Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,596.67 3,009.73 2,558.21 2,670.62 2,220.90 2,633.10 2,825.90

Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,348.07 5,124.70 4,697.83 5,378.75 4,183.82 4,311.28 4,667.19

Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 304.74 280.97 303.32 195.42 265.06 308.58 269.35

Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 723.88 531.30 482.82 390.43 670.27 657.14 635.91

I II III IV I II III

Bank Umum

Total Aset (dalam Rp Juta) 90,534,888 98,451,429 95,323,470 81,686,208 84,514,141 87,150,773 87,903,910

DPK (dalam Rp Juta) 66,525,297 70,420,859 69,189,487 62,050,178 62,588,183 65,616,219 66,367,322

- Giro 15,108,109 15,301,001 14,785,606 9,874,611 11,909,735 11,691,981 11,296,303

- Tabungan 27,139,376 27,688,804 28,427,087 31,117,804 28,694,078 30,903,236 31,178,733

- Deposito 24,277,812 27,431,054 25,976,795 21,057,764 21,984,370 23,021,002 23,892,287

Kredit (dalam Rp Juta) 52,401,716 54,012,485 54,946,577 56,538,247 56,252,232 58,325,238 58,407,053

- Modal Kerja 16,078,784 16,801,235 16,801,524 17,653,632 17,488,673 18,650,406 18,611,309

- Investasi 16,716,814 17,125,784 17,428,770 17,480,648 17,203,391 17,571,645 17,133,957

- Konsumsi 19,606,118 20,085,465 20,716,283 21,403,968 21,560,168 22,103,187 22,661,787

- LDR (%) 78.77 76.70 79.41 91.12 89.88 88.89 88.01

- NPL (%) 3.64 4.16 4.34 3.71 4.07 3.98 3.91

Kredit UMKM (dalam Rp Juta) 19,809,940 20,212,276 19,894,360 19,884,668 19,905,368 20,633,645 20,495,810

- Mikro 5,461,112 5,531,045 5,465,328 5,645,990 5,835,773 6,105,089 6,081,458

- Kecil 7,439,193 7,775,301 7,771,320 7,687,958 7,791,884 8,063,526 8,000,244

- Menengah 6,909,635 6,905,929 6,657,713 6,550,721 6,277,711 6,465,029 6,414,108

NPL UMKM (%) 6.20 6.71 7.41 6.76 7.65 7.69 7.29

BPR

Total Aset (dalam Rp Juta) 1,189,489 1,185,757 1,186,762 1,228,315 1,246,785 1,252,252 1,289,943

DPK (dalam Rp Juta) 847,560 857,250 881,188 877,171 895,393 911,325 947,369

- Tabungan 364,632 349,230 353,742 348,011 347,972 337,076 359,182

- Deposito 482,929 508,020 527,447 529,160 547,421 574,250 588,187

Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek 864,307 911,096 916,504 907,081 916,870 957,829 953,911

Rasio NPL (%) 14.45 13.84 14.39 12.92 14.08 13.76 14.07

LDR (%) 101.98 106.28 104.01 103.41 102.40 105.10 100.69

2016

2016

2015

2015

B. PERBANKAN

INDIKATOR

A. INFLASI DAN PDRB

INDIKATOR

TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Tabel Indikator

xiv

C. SISTEM PEMBAYARAN

I II III IV I II III

(111,261) 2,575,811 1,801,608 3,405,622 (264,922) 5,668,369 175,963

1,798,608 1,405,848 2,414,612 1,224,352 2,253,374 1,293,835 3,014,802

1,687,347 3,981,659 4,216,220 4,629,974 1,988,452 6,962,203 3,190,765

Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 185,727 303,590 171,823 313,207 799,259 614,941 955,228

Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) 89,640 109,603 88,477 68,937 - - -

Volume Transaksi RTGS (lembar) *) 31,363 32,636 30,853 13,564 - - -

Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,446 1,797 1,404 1,094 - - -

Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 506 535 490 215 - - -

Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 7,881 5,163 8,684 7,366 6,890 6,560 6,374

Volume Transaksi Kliring (lembar) 254,005 135,164 237,984 206,110 209,067 194,424 191,425

Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 127 85 138 117 113 104 106

Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar) 62 61 63 63 61 63 60

20162015

Inflow (dalam Rp Juta)

Outflow (dalam Rp Juta)

Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta)

INDIKATOR

TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

1

GAMBARAN UMUM

Perekonomian Riau pada triwulan III-2016 mengalami pertumbuhan positif, yaitu

sebesar 1,11% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan

dengan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar 2,46% (yoy) serta lebih tinggi jika

dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang tercatat kontraksi 1,38% (yoy).

Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi tanpa migas Riau triwulan III-2016 tercatat

sebesar 2,87% (yoy), mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya

Perekonomian Riau pada triwulan IIII-2016 tercatat sebesar 1,11% (yoy), melambat jika dibandingkan triwulan II-2016 sebesar 2.46%

(yoy).

RINGKASAN EKSEKUTIF

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

2

yang sebesar 4,15% (yoy). Perlambatan tersebut sejalan dengan pertumbuhan

ekonomi Nasional dan Sumatera yang pada triwulan III-2016 masing-masing tercatat

sebesar 5,02% (yoy) dan 3,88% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II-2016

masing-masing sebesar 5,18% (yoy) dan 4,49% (yoy).

I. ASSESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

Melambatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan III-2016 utamanya

disebabkan oleh perlambatan sektor utama seperti pertanian, industri

pengolahan, konstruksi dan perdagangan besar eceran serta kontraksi yang

semakin dalam pada sektor pertambangan dan penggalian. Namun

perlambatan yang lebih dalam tertahan oleh peningkatan pertumbuhan

sektor informasi dan komunikasi, real estate, dan jasa perusahaan. Dari sisi

penggunaan, perlambatan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh

perlambatan konsumsi rumah tangga, dan kontraksi pertumbuhan konsumsi

pemerintah. Disisi lain, pertumbuhan investasi mengalami peningkatan dan

ekspor menunjukkan perbaikan kontraksi sehingga mampu menahan

perlambatan ekonomi pada triwulan laporan.

Secara umum, perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya harga

minyak dunia yang turut menggeret menurunnya harga komoditas kelapa

sawit yang menjadi primadona di Provinsi Riau, semakin berkurangnya

cadangan migas dan keterbatasan untuk melakukan eksplorasi, belum

optimalnya realisasi anggaran, dan menurunnya permintaan masyarakat

pasca perayaan hari raya Idul Adha.

Memasuki triwulan IV-2016, perkembangan berbagai indikator ekonomi

mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan. Kegiatan

konsumsi diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring

terjaganya daya beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen

dan kenaikan permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru,

termasuk percepatan realisasi pengadaan infrastruktur oleh pemerintah

daerah. Sementara itu, kegiatan investasi juga diindikasikan membaik sejalan

dengan membaiknya persepsi investor pasca dikeluarkannya paket kebijakan

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 2016 bersumber dari meningkatnya konsumsi swasta, konsumsi pemerintah, investasi dan perbaikan

kinerja ekspor.

Pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi dan perdagangan besar dan eceran.

Perkembangan berbagai indikator ekonomi terkini mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau triwulan IV-

2016.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

3

pemerintah, sekaligus masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis yang

proses pembangunnya dipercepat.

Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian diperkirakan meningkat seiring

dengan adanya pergeseran musim panen dan semakin gencarnya program

pemerintah di sektor pertanian. Selain itu, mandatori campuran 20%

biodiesel ke dalam bahan bakar berpotensi meningkatkan penyerapan

produk industri pengolahan sawit. Adanya kebijakan relaksasi LTV

diharapkan mampu meningkatkan KPR dan mendorong pertumbuhan

sektor real estate dan konstruksi, serta periode Natal dan Tahun Baru juga

diperkirakan turut mendorong peningkatan aktivitas di sektor perdagangan

pada periode laporan. Disisi lain kinerja sektor pertambangan dan

penggalian diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam seiring dengan

penurunan lifting migas Riau. Secara keseluruhan tahun 2016, indikasi

perbaikan ekonomi masih cukup kuat.

II. ASSESMEN INFLASI DAERAH

Inflasi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 3,27% (yoy), lebih tinggi

jika dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar 1,92% (yoy).

Kondisi ini berbanding terbalik dengan perkembangan inflasi nasional yang

menunjukkan penurunan dari 3,45% (yoy) pada triwulan II-2016 menjadi

3,07% (yoy) pada triwulan III-2016. Jika dibandingkan dengan rata-rata

historis 5 tahun terakhir 2011-2015, inflasi Riau pada triwulan II dan III-2016

masih tercatat lebih rendah.

Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung

mengalami peningkatan, yaitu berada pada kisaran 4,07+0.5% (yoy), masih

berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy).

Meningkatnya tekanan inflasi triwulan IV-2016 diperkirakan bersumber dari

komponen volatile food dan administered price, sedangkan tekanan dari

kelompok inflasi inti relatif stabil. Signifikannya peningkatan inflasi pada

kelompok volatile food terutama bersumber dari kenaikan harga cabai

merah akibat curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan gagal panen

di daerah sentra produksi seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Secara tahunan, meningkatnya tekanan inflasi bersumber dari komponen volatile food dan administered price, sedangkan tekanan dari kelompok inflasi

inti relatif stabil.

Inflasi Provinsi Riau pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 3,27% (yoy), lebih rendah tinggi dingkan triwulan II-2016 sebesar 1,92%

(yoy).

Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi diperkirakan bersumber dari subsektor perkebunan dan

industri pengolahan.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

4

Sedangkan kenaikan tekanan inflasi dari kelompok administered price

dipengaruhi oleh penyesuaian tarif listrik sebagai dampak dari kenaikan

harga minyak dunia dan kenaikan cukai rokok yang berdampak terhadap

kenaikan harga rokok. Di sisi lain menurunnya tekanan inflasi kelompok inti

disebabkan oleh tekanan permintaan yang cenderung moderat pasca

perayaan hari raya Idul Adha dan ekspektasi inflasi yang relatif terkendali.

Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di

Kota Dumai mencapai 3,02% (yoy), diikuti oleh Tembilahan dan Pekanbaru

masing-masing 2,63% (yoy) dan 1,65% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga

kota tersebut menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan

I-2016 yang masing-masing tercatat sebesar 4,84% (yoy), 4,00% (yoy) dan

4,39% (yoy). Hal ini juga menunjukkan bahwa disparitas inflasi antar ketiga

kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.

III. ASSESMEN KEUANGAN PEMERINTAH

Alokasi Anggaran Pendapatan Pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2016

secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi

pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu

dari Rp8,72 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp7,58 triliun pada tahun 2016.

Kondisi ini didorong oleh penurunan rata-rata harga minyak internasional

yaitu dari USD 48,68/barel di tahun 2015 menjadi USD 34,27/ barel di tahun

2016. Penurunan harga minyak dunia tersebut berdampak terhadap

penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi Riau hingga 65% (yoy), disamping

karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural declining. Di

sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif

meningkat dibandingkan tahun 2015 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari

Rp10,68 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp10,97 triliun pada tahun 2016.

Peningkatan utamanya berasal dari anggaran belanja transfer pemerintah

Provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota.

Realisasi pendapatan dan belanja pemerintah Provinsi Riau pada triwulan III

2016 masing-masing mencapai 64,58% dan 38,68% sementara realisasi

pada triwulan yang sama tahun 2015 tercatat sebesar 64,84% dan 30,33%

dari total anggaran. Rendahnya realisasi belanja pemerintah selama dua

Realisasi anggaran pendapatan pemerintah Riau di triwulan III-2016 secara umum menurun jika dibandingkan

triwulan II-2016.

Inflasi tahunan tertinggi terjadi di Kota Dumai, diikuti Tembilahan dan Pekanbaru.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

5

tahun terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi pemerintah daerah

untuk mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja daerah pada

tahun 2016.

IV. ASSESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN

PENGEMBANGAN EKONOMI

Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 cenderung

membaik jika dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang tercermin dari

pertumbuhan Aset dan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang

membaik, namun demikian penyaluran Kredit justru mengalami

perlambatan. Pada triwulan III-2016 aset perbankan tercatat mencapai

Rp89,19 triliun, membaik dari kontraksi 11,28% (yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi kontraksi sebesar 7,58% (yoy). Sementara, DPK pada

triwulan laporan tercatat sebesar Rp67,31 triliun, membaik dari kontraksi

6,66% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi sebesar 3,93%

(yoy) pada triwulan III-2016.

Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2016

mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun

masih lebih baik jika dibandingkan triwulan yang sama pada tahun

sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to

Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 88,01%, lebih rendah dibandingkan LDR

pada triwulan II-2016 yang tercatat 88,89%. Namun demikian, nilai LDR

tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas

pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan

dalam penyaluran kredit.

Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan III 2016 masih didominasi

oleh sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-

masing 22,76% dan 21,60% dengan nilai kredit masing-masing sebesar

Rp13,29 triliun dan Rp12,62 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor

tersebut tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi

Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh

subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 93,20%dari total kredit

Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor

perdagangan.

Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 cenderung membaik dibandingkan dengan triwulan II-2016.

Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

6

sektor pertanian atau sebesar Rp12,39 triliun. Sedangkan subsektor

perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan,

minuman dan tembakau dengan pangsa 18,67% dari total kredit sektor

perdagangan atau sebesar Rp2,36 triliun.

Pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan III-2016

mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan II 2016, dimana

pada triwulan ini kredit konsumsi tercatat tumbuh sebesar 9,39% (yoy)

melambat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 10,05%

(yoy). Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran

kredit ke sektor kendaraan bermotor, kredit multi guna dan kredit durable

goods. Kredit kendaraan bermotor pada triwulan III-2016 tercatat sebesar

Rp343,84 miliar, mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan

triwulan sebelumnya yakni dari kontraksi 15,66% menjadi 17,41% (yoy).

Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,50 triliun pada

triwulan III 2016 atau tumbuh sebesar 3,02% (yoy), meningkat jika

dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 2,08% (yoy). Porsi kredit

yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi

Riau mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari

35,38% menjadi 35,09%.

Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat

menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari

melambatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan

triwulan II-2016. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,80 triliun,

tumbuh 17,23% (yoy) atau melambat jika dibandingkan triwulan II-2016

yang tumbuh sebesar 19,12% (yoy).

Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar Rp1,29

triliun, tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan II-2016 yaitu

dari 5,61% (yoy) menjadi 8,69% (yoy) pada triwulan III-2016. Sementara itu,

DPK BPR/S pada triwulan II-2016 tercatat sebesar Rp947 miliar, tumbuh

7,51% (yoy) membaik dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang tumbuh

sebesar 6,31% (yoy).

Kinerja perbankan syariah tercatat menurun dibandingkan triwulan

sebelumnya.

Penyaluran kredit UMKM pada triwulan III-2016 meningkat dibandingkan triwulan II-

2016.

Aset BPR/S tercatat tumbuh membaik dibandingkan triwulan II-

2016.

Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan III-2016 sedikit melambat jika dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

7

V. ASSESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN

PENGELOLAAN UANG RUPIAH

Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan III-

2016 tercatat mengalami net outlow, hal ini sejalan dengan kondisi yang

terjadi pada triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Secara umum pada

triwulan III 2016 terjadi peningkatan inflow jika dibandingkan dengan

triwulan II 2016, sementara outflow pada triwulan III 2016 tercatat

mengalami penurunan setelah pada triwulan II 2016 tercatat outflow

sebesar Rp Rp6,96 triliun yang merupakan outflow tertinggi dalam 5 tahun

terakhir yang utamanya didorong oleh seasonal factor akibat meningkatnya

konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan di triwulan II 2016 ditambah

dengan meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang

hari raya Idul Fitri dan memasuki musim liburan sekolah. Namun secara

keseluruhan jumlah outflow yang lebih tinggi dibandingkan jumlah inflow

telah menyebabkan terjadinya net outflow di triwulan III 2016 di Provinsi

Riau. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring mengalami penurunan

baik dari sisi nominal maupun volume.

Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal

layak edar (fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan

Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari

setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat. Untuk

meningkatkan kualitas uang beredar di masyarakat, KPw BI Provinsi Riau

melakukan kerjasama dengan 48 Bank Umum di Provinsi Riau untuk

melayani masyarakat dalam hal penukaran uang lusuh. Selain itu Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas

keliling wholesale untuk perbankan, kas keliling retail untuk melayani

masyarakat umum, serta melakukan sosialisasi keaslian uang rupiah.

VI. ASSESMEN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN

Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada

Agustus 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup membaik. Dari

Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 mengalami net

outflow.

Perkembangan ketengakerjaan dan kesejahteraan daerah periode Agustus 2016 terindikasi

membaik.

Secara berkala Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar

(UTLE).

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

8

indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan

antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau

dari 7,83% pada Agustus 2015 menjadi 7,43% pada Agustus 2016.

Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik

terlihat dari penurunan persentase jumlah penduduk miskin dibanding

jumlah penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada bulan Maret 2015 menjadi

7,98% pada Maret 2016 dan peningkatan Nilai Tukar Petani dari 98,11 pada

triwulan II-2016 menjadi 99,11 pada triwulan III-2016.

VII. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH

Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi Riau selama tahun 2016 secara

umum diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 1,48-2,48 (yoy)

dengan tendensi ke arah batas atas. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi

di Provinsi Riau diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun depan

dengan kisaran pertumbuhan triwulan I-2017 sekitar 2,2-3,2% (yoy) dan

keseluruhan tahun 2017 sekitar 3,0-4,0% (yoy). Sumber pertumbuhan dari

sisi penggunaan diperkirakan berasal dari konsumsi rumah tangga, konsumsi

pemerintah, investasi serta net ekspor. Sementara itu, secara sektoral

peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan,

dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor

perdagangan besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau

tertahan oleh berlanjutnya kontraksi sektor pertambangan dan penggalian

yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.

Dari sisi penggunaan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi periode

mendatang didorong oleh perbaikan kondisi ekonomi yang diikuti dengan

pertumbuhan konsumsi rumah tangga, percepatan pengesahan APBD-P

yang diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah

seiring dengan realisasi belanja yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2016,

optimisme pelaku usaha terhadap perbaikan kondisi ekonomi ke depan yang

turut meningkatkan investasi, serta perbaikan harga komoditas dunia

mendorong peningkatan kinerja net ekspor.

Perkembangan ekonomi Riau keseluruhan tahun 2016 diperkirakan tumbuh meningkat pada kisaran 2.0+0.5%(yoy) dengan tendensi

ke arah batas atas.

Pertumbuhan ekonomi dari sisi penggunaan diperkirakan ditopang oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan net

ekspor.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

9

Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 diperkirakan

bersumber dari peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan

perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor

perdagangan besar dan eceran. Faktor pendorong meningkatnya

pertumbuhan diperkirakan berasal dari perbaikan harga komoditas,

meningkatnya permintaan ekspor dan penyerapan domestik, volume

produksi seiring dengan mulai berproduksinya tanaman yang telah di

replanting, percepatan realisasi anggaran pemerintah daerah dan terus

berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur strategis mendorong

peningkatan kinerja sektor konstruksi, serta membaiknya kondisi

perekonomian mendorong peningkatan daya beli masyarakat dan ekspektasi

pedagang terhadap kondisi ekonomi ke depan sehingga berpotensi

mendorong pertumbuhan di sektor perdagangan besar dan eceran.

Inflasi Provinsi Riau tahun 2016 diperkirakan mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2015, yaitu berada pada kisaran 4,15+0.5% (yoy).

Peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan harga terutama bahan

makanan yang cukup tinggi pada awal triwulan IV-2016. Pada triwulan I-

2017 hingga akhir tahun 2017, tekanan inflasi diperkirakan meningkat pada

kisaran 4,50+0.5 (yoy), masih berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun

2016 sebesar 4±1% (yoy). Beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi

melewati batas atas kisaran proyeksi antara lain menguatnya kemungkinan

terjadinya la nina yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra

pertanian, kenaikan permintaan pada momentum liburan sekolah dan hari

besar keagamaan, penyesuaian tarif listrik, kenaikan cukai rokok, kenaikan

harga pakan ternak, dan sebagainya. Sementara itu, faktor yang berpotensi

membawa inflasi ke batas bawah yaitu perkembangan harga minyak dunia

yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari

kelompok administered prices, apresiasi nilai rupiah, melimpahnya pasokan

pada saat musim panen yang terjadi bersamaan di beberapa daerah sentra

produksi, kebijakan pemerintah yang semakin baik di bidang ketahanan

pangan, kebijakan impor, penurunan tingkat suku bunga, dan sebagainya.

Inflasi Riau tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran

4.00+0.5% (yoy).

Pertumbuhan ekonomi di sisi sektoral utamanya diperkirakan bersumber dari subsektor perkebunan, industri pengolahan, konstruksi, dan

perdagangan.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

10

1. KONDISI UMUM

Perekonomian Riau pada triwulan III-2016 tumbuh sebesar 1,11% (yoy), melambat

jika dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar 2,46% (yoy).

Namun demikian, pertumbuhan triwulan III-2016 tersebut lebih tinggi jika

dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2015 yang mengalami

kontraksi sebesar 1,38% (yoy). Jika dilihat pertumbuhan ekonomi tanpa migas

Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 2,87% (yoy), melambat

dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,15% (yoy). Perlambatan

tersebut sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Nasional dan Sumatera yang pada

triwulan III-2016 masing-masing tercatat 5,02% dan 3,88% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 5,18% dan 4,49% (yoy) (Grafik 1.1).

Bab 1 ASESMEN PERTUMBUHAN

EKONOMI DAERAH

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

11

Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)

Sumber: BPS

Melambatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan III-2016 utamanya

disebabkan oleh perlambatan sektor utama seperti pertanian, industri pengolahan,

konstruksi dan perdagangan besar eceran serta kontraksi yang semakin dalam pada

sektor pertambangan dan penggalian. Namun demikian, perlambatan yang lebih

dalam tertahan oleh peningkatan pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi,

real estate, dan jasa perusahaan. Sementara itu dari sisi penggunaan, perlambatan

kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh perlambatan konsumsi rumah tangga,

dan kontraksi pertumbuhan pada konsumsi pemerintah. Di sisi lain, pertumbuhan

investasi mengalami peningkatan dan ekspor menunjukkan perbaikan kontraksi

sehingga mampu menahan perlambatan ekonomi pada triwulan laporan.

Secara umum, perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya harga minyak

dunia, kelapa sawit dan karet yang selama ini menjadi komoditas unggulan di

Provinsi Riau, semakin berkurangnya cadangan migas dan keterbatasan untuk

melakukan eksplorasi, belum optimalnya realisasi anggaran, dan menurunnya

permintaan masyarakat pasca perayaan hari raya Idul Fitri.

Memasuki triwulan IV 2016, perkembangan berbagai indikator ekonomi

mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan berada pada kisaran

2,04+0,5%(yoy) dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi

penggunaan diperkirakan berasal dari konsumsi rumah tangga, konsumsi

pemerintah, serta investasi yang tumbuh meningkat dibandingkan triwulan III-2016.

Kegiatan konsumsi diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring

terjaganya daya beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen yang

disertai dengan kenaikan permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru,

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Nasional 5.14 4.96 4.97 5.04 4.73 4.66 4.74 5.04 4.92 5.18 5.02

Sumatera 5.03 4.55 4.52 4.20 3.47 2.98 3.13 4.56 4.18 4.49 3.88

Riau 4.05 2.83 2.61 1.39 (0.0 (2.1 (1.3 4.45 2.36 2.46 1.11

(2.50) (1.50) (0.50) 0.50 1.50 2.50 3.50 4.50 5.50 6.50

Laju Pertumbuhan PDRB (% yoy)

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

12

serta percepatan realisasi pengadaan infrastruktur oleh pemerintah daerah

memasuki tutup anggaran 2016. Sementara itu, kegiatan investasi juga diindikasikan

membaik sejalan dengan membaiknya persepsi investor pasca dikeluarkannya paket

kebijakan pemerintah dan masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis yang

proses pembangunnya dipercepat. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan

IV-2016 diperkirakan mengalami kontraksi sebagai dampak dari ketidakpastian

ekonomi global terutama perbaikan mitra dagang yang diperkirakan masih terbatas,

serta fluktuasi harga komoditas dunia.

Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan

meningkat seiring dengan adanya pergeseran musim panen, semakin gencarnya

program pemerintah di sektor pertanian berupa intensifikasi dan perluasan areal

tanam, serta mulai berproduksinya beberapa lahan replanting mendorong laju

pertumbuhan sektor perkebunan dan industri pengolahan Di sisi lain, menurunnya

kinerja industri pengilangan migas dan batubara menjadi faktor yang menahan

pertumbuhan. Selain itu, mandatori campuran 20% biodiesel ke dalam bahan bakar

yang berpotensi meningkatkan penyerapan produk industri pengolahan sawit.

Adanya kebijakan relaksasi LTV diharapkan mampu meningkatkan KPR dan

mendorong pertumbuhan sektor real estate dan konstruksi, serta periode Natal dan

Tahun Baru yang juga diperkirakan turut mendorong peningkatan aktivitas di sektor

perdagangan triwulan IV 2016. Sementara itu kinerja sektor pertambangan dan

penggalian diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam seiring dengan penurunan

lifting migas Riau.

2. PDRB SISI PENGGUNAAN

Melambatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan III-2016 bersumber dari

melambatnya konsumsi rumah tangga dan kontraksi pertumbuhan konsumsi

pemerintah. Perlambatan tersebut tertahan oleh pertumbuhan investasi dan

perbaikan kontraksi ekspor pada triwulan laporan. Seiring dengan perkembangan

indikator terkini, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan

meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan ini utamanya didorong

oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

13

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)

2.1. Konsumsi

Konsumsi rumah tangga

Provinsi Riau pada triwulan III-

2016 tercatat sebesar 5,12%

(yoy), melambat jika

dibandingkan triwulan

sebelumnya yang mencapai

5,80% (yoy). Melambatnya

konsumsi rumah tangga

dipengaruhi pula oleh harga

komoditas internasional dan

permintaan negara mitra dagang yang belum stabil sehingga mempengaruhi daya

beli masyarakat yang mayoritas bekerja di subsektor perkebunan kelapa sawit.

Perlambatan konsumsi rumah tangga ini juga tercermin dari Indeks Keyakinan

Konsumen (IKK) dan Indeks Keyakinan Ekonomi (IKE) yang berada pada level pesimis

(di bawah batas 100) (Grafik 1.2). Pada triwulan laporan, IEK tercatat sebesar

88,09% lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 88,28%.

Menurunnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi saat ini juga terindikasi dari

kredit durable goods yang tumbuh melambat secara tahunan (Grafik 1.4) serta

melambatnya kredit rumah tangga khususnya kredit kendaraan bermotor (Grafik

I II III IV I II III Tw 1 Tw 2 Tw 3

1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 7.23 6.00 6.36 5.92 5.56 5.95 6.41 5.80 5.12 2.11 2.04 2.31 2.08 1.82

2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 15.44 (0.07) (1.61) 0.70 2.09 0.29 2.89 3.14 2.77 0.06 0.00 0.01 0.01 0.01

3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (3.08) 2.27 1.17 3.30 7.39 3.75 (1.69) 6.88 (4.50) -0.09 0.14 -0.05 0.26 -0.16

4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 1.81 1.61 2.40 5.31 6.79 4.06 2.96 3.09 3.43 0.45 1.23 0.95 1.02 1.12

5. Ekspor Luar Negeri 4.82 (30.63) (17.75) (9.55) 1.96 (15.27) (4.68) (9.11) (1.07) 1.86 -4.96 -1.21 -2.33 -0.29

6. Impor Luar Negeri (13.01) (7.10) (8.25) (17.42) 4.17 (7.65) (3.47) 14.84 11.61 -0.51 -0.29 -0.14 0.62 0.45

7. Net Ekspor Antar Daerah 26.49 (83.04) (63.82) (983.21) 15.62 (59.89) (24.48) (79.18) 57.44 0.86 -0.95 -1.17 -3.39 1.89

PDRB 2.70 (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.36 2.46 1.11 2.70 0.22 2.36 2.46 1.11

Komponen Pengeluaran

2015 2016

Kontribusi Pertumbuhan (%)

2016 2014

2015 2015

Growth (% yoy)

2014

Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

70

80

90

100

110

120

130

140

150

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2011 2012 2013 2014 2015 2016

IKK IKE IEK Garis 100

Sumber : BPS

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

14

1.5) yang terelaksasi pula pada Indeks Suku Cadang dan Aksesori berdasarkan hasil

Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (Grafik 1.6).

Sumber : LBU Bank Indonesia Sumber : SPE Bank Indonesia

Sementara itu, konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat kontraksi 4,50%

(yoy), mengalami penurunan dibandingkan triwulan II-2016 yang tumbuh sebesar

6,88% (yoy). Menurunnya konsumsi pemerintah disebabkan oleh realisasi anggaran

yang masih belum optimal. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

faktor kehati-hatian akibat masalah korupsi yang menimpa sejumlah pemimpin

daerah di Provinsi Riau, penundaan DAU untuk Pemerintah Provinsi Riau dan

beberapa Kab/Kota di Riau sedangkan sebagian besar Kab/Kota tidak memiliki

anggaran SILPA, dan pemotongan DBH akibat berkurangnya lifting migas dan

menurunnya harga minyak dunia.

Realisasi belanja pemerintah pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 38,68% atau Rp

4,24 triliun dari total yang dianggarkan sebesar Rp10,97 Triliun. Namun realisasi ini

Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik 1.4. Kredit Durable Goods

Sumber: LBU Bank Indonesia

Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor

Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang & Aksesori

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2013 2014 2015 2016

Indeks Kegiatan Usaha Indeks Penghasilan Konsumen

Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 100

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar Durable Goods g yoy (kanan)

-25-20-15-10-50510152025

0

100

200

300

400

500

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp. MiliarKendaraan g yoy (kanan)

60

70

80

90

100

110

120

130

140

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Suku Cadang dan Aksesori

Indeks Total

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

15

tercatat lebih tinggi jika dibandingkan triwulan III-2015 yang tercatat sebesar

30,33% atau sebesar Rp 3,24 triliun (Tabel 1.2).

Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau

Adapun faktor-faktor yang dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga

pada triwulan IV-2016 adalah perayaan Natal dan Tahun Baru serta persepsi akan

membaiknya penghasilan sejalan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP)

turut mendorong realisasi konsumsi masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang

berpotensi menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah lebih rendahnya

alokasi pendapatan tahun 2016 sehingga mengurangi optimalisasi penggunaan

anggaran serta adanya kebijakan penyesuaian tarif listrik golongan tertentu dan

menurunnya harga minyak mentah yang dapat menekan perbaikan harga komoditas

global.

Sementara itu, adanya monitoring anggaran yang lebih intensif diharapkan

mendorong realisasi konsumsi pemerintah yang lebih baik. Monitoring ini

merupakan salah satu faktor pendorong utama meningkatnya pertumbuhan

konsumsi pemerintah. Namun demikian, tertekannya pertumbuhan konsumsi

pemerintah dapat bersumber dari sikap pemerintah yang semakin hati-hati dalam

menggunakan anggaran dan adanya regulasi yang menghambat realisasi bantuan

sosial dan hibah.

2.2. Investasi (PMTB)

Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar

3,43% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar

3,09% (yoy). Kondisi ini didukung oleh meningkatnya realisasi investasi sejumlah

pelaku usaha yang terelaksasi dari hasil liaison (Grafik 1.9). Namun dilihat dari

realisasi PMA dan PMDN terjadi penurunan. Kondisi ini dipengaruhi oleh sikap wait

Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi %

Pendapatan Daerah 8,721.57 5,655.08 64.84% 7,588.65 4,900.40 64.58%

Belanja Daerah 10,683.97 3,240.22 30.33% 10,972.07 4,243.52 38.68%

Pembiayaan Daerah 1,962.40 3,981.56 202.89% 3,383.43 3,131.90 92.57%

Surplus / (Defisit) -1,962.40 2,019.16 -102.89% -3,383.43 251.53 -7.43%

UraianTriwulan III 2015 Triwulan III 2016

Sumber : BPKAD

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

16

and see pelaku usaha terhadap kondisi pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan II-

2016 yang mengalami perlambatan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari

Badan Penanaman Modal dan Promosi

Daerah Provinsi Riau, menurunnya

investasi PMA dan PMDN di Riau turut

mempengaruhi kemampuan perusahaan

dalam menyerap tenaga kerja baik Tenaga

Kerja Indonesia maupun Asing (Tabel 1.3).

Indikator terkini menunjukkan peningkatan kinerja investasi seiring dengan

meningkatnya investasi sektor swasta dan pemerintah meskipun ada kemungkinan

bias ke bawah. Beberapa faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan investasi

pada triwulan berjalan antara lain: i) ekspansi investasi existing dan program

maintenance; ii) masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol,

rehabilitasi bangunan, peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan dan

pembangunan jalur kereta api Dumai-Bukit Kayu Kapur; iii) adanya penurunan suku

Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau

Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Grafik 1.9. Likert Scale Investasi

Sumber: Liaison Bank Indonesia

-200

-100

0

100

200

300

400

500

600

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

4,500,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

% yoyRp RibuRealisasi PMDN growth (yoy)

-500

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

% yoyUSD RibuRealisasi PMA growth (yoy)

-20.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

LS Realisasi Investasi

LS Pembiayaan Investasi

Tabel 1.3 Jumlah Investor dan Tenaga Kerja PMA & PMDN di Riau

Sumber : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau

I II III I II III

Jumlah Perusahaan 52 152 91 38 114 73

Tenaga Kerja Indonesia 894 1,257 3,462 1,490 2,205 5,717

Tenaga Kerja Asing 11 12 12 11 22 11

PMDN

2016Uraian

PMA

2016

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

17

bunga acuan diharapkan menurunkan tingkat suku bunga bank; iv) relaksasi LTV

diharapkan meningkatkan KPR (investasi sektor konstruksi); dan v) insentif tax

amnesty diharapkan mendorong peningkatan masuknya dana segar sehingga dapat

meningkatkan kapasitas permodalan. Adapun faktor lain yang berpotensi menahan

pertumbuhan investasi di Riau pada triwulan IV-2016 adalah sikap pelaku usaha yang

cenderung wait and see terkait perkembangan harga komoditas yang belum

menunjukkan ke arah perbaikan yang ditargetkan, serta belum maksimalnya

kapasitas utilisasi dan RTRW yang telah disahkan namun belum sesuai dengan yang

diusulkan oleh pemerintah Provinsi Riau.

2.3. Ekspor dan Impor

2.3.1. Ekspor

Kinerja ekspor barang dan jasa pada triwulan III-2016 tercatat tumbuh sebesar

1,27% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II-2016 yang mengalami kontraksi

2,30% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekspor juga bersumber dari perbaikan

ekspor luar negeri yang sebelumnya kontraksi 9,11% (yoy) menjadi 1,07% (yoy)

pada triwulan III-2016.

Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Berdasarkan hasil liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau,

peningkatan ekspor terutama bersumber dari komoditas pulp seiring dengan

proyeksi peningkatan produksi pulp salah satu pemain besar industri ini yang

mencapai di atas 10% (Grafik 1.10). Selain itu, perbaikan harga komoditas karet

I II III IV I II III I-16 II-16 III-16 I-16 II-16 III-16

Makanan dan Hewan Bernyawa 426.03 378.30 398.85 530.07 1,733.24 385.27 343.40 363.65 9.21 7.97 7.79 (9.57) (9.23) (8.82)

Tembakau dan Minuman 6.89 9.54 5.53 5.97 27.93 7.47 8.26 4.60 0.18 0.19 0.10 8.38 (13.41) (16.91)

Barang Mentah 741.56 711.78 737.73 729.47 2,920.53 685.76 774.12 792.92 16.39 17.96 16.99 (7.52) 8.76 7.48

Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 28.20 53.34 15.37 22.16 119.06 40.08 23.15 - 0.96 0.54 - 42.10 (56.59) (100.00)

Minyak dan Lemak Nabati 2,613.93 3,403.66 3,004.55 3,541.13 12,563.28 2,455.28 2,562.86 2,861.62 58.69 59.45 61.31 (6.07) (24.70) (4.76)

Bahan Kimia 118.96 171.17 114.89 136.84 541.85 172.27 169.38 179.74 4.12 3.93 3.85 44.81 (1.04) 56.45

Barang Manufaktur 412.50 396.91 420.91 413.11 1,643.43 437.40 429.92 464.66 10.45 9.97 9.96 6.04 8.32 10.39

Mesin dan Peralatan - 0.00 0.00 0.00 0.01 0.29 0.18 - 0.01 0.00 - 0.00 0.00 0.00

Hasil Olahan Manufaktur 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 - - - - - - (100.00) (100.00) (100.00)

Koin, bukan mata uang - - - - - - - - - - - - - -

4,348.07 5,124.70 4,697.83 5,378.75 19,549.34 4,183.82 4,311.28 4,667.19 100.00 100.00 100.00 (3.78) (15.87) (0.65)

2016 Pangsa (%)

Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton)

Jenis

Total

yoy (%)2015 (ribu ton) 2015

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

18

internasional mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan ekspor (Grafik 1.13).

Namun perbaikan ekspor ini masih relatif terbatas karena gejolak ekonomi di

Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga berdampak

terhadap permintaan komoditas utama.

Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau

Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Pulp Riau

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Berdasarkan negara tujuan ekspornya, peningkatan ekspor pada triwulan laporan

terutama berasal dari India yang tercatat sebesar 822 ribu ton, meningkat 27,56%

(yoy) dibandingkan triwulan II-2016 yang hanya mencapai 677 ribu Ton. Ke depan

permintaan dari India diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan

pendapatan. Demikian pula dengan permintaan dari Eropa juga terus meningkat

seiring dengan perbaikan kondisi ketenagakerjaan yang juga mendorong kenaikan

pendapatan dan peningkatan konsumsi. Sementara itu, lemahnya pemulihan

ekonomi AS menahan peningkatan permintaan ekspor.

(40.0)

(20.0)

-

20.0

40.0

60.0

80.0

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

%

rib

u t

on

Vol (kiri) yoy (kanan)

(20.00)

(10.00)

-

10.00

20.00

30.00

40.00

-

100.0

200.0

300.0

400.0

500.0

600.0

700.0

800.0

900.0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

%

rib

u t

on

Vol (kiri) yoy (kanan)

(120.0)

(100.0)

(80.0)

(60.0)

(40.0)

(20.0)

-

20.0

40.0

60.0

-

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

450.0

500.0

I II III IV I II III IV I II III IV I II

2013 2014 2015 2016

%

rib

u t

on

Vol (kiri) yoy (kanan)

-100

-50

0

50

100

150

200

250

-

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

%

rib

u t

on

Vol (kiri) yoy (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

19

Ekspor pada triwulan berjalan diperkirakan meningkat meskipun masih dalam level

terbatas. Perbaikan ekspor ini didukung oleh menurunnya produksi CPO Dunia

sehingga menaikkan harga, Vietnam yang akan segera bergabung dengan

International Tri-Partite Rubber Commission (ITRC) dan diharapkan dapat mendorong

perbaikan harga karet, penetapan bea keluar serta kontrak penjualan biodiesel

periode Mei-Oktober 2016 mendorong meningkatnya penjualan domestik,

meningkatnya produksi kertas dan tisu guna memenuhi permintaan buyer salah satu

perusahaan besar di industri sejenis.

Grafik 1.16 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

786 762 1,078 1,034

678 759 766 1,024 965 780 869 942 681 891 971 1,188 773 797 849

511 481

787 675 835 818 635

920 598

538 651 990

510 798 644

720

524 677 822

783 733

842 922 851 662 814

920

691 651 548

518

580

637 606

787

622 550 576

734 563

600 901

644 585 658

609

573 432

589

759

592

570 587

756

501 545 584

1,343 1,257

1,433 1,457

1,830 1,657 1,558

1,667

1,617 1,717

1,892

1,988

1,985

2,228

1,890

1,928

1,763 1,741 1,837

-

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

Cina India ASEAN MEE Lainnya

Grafik 1.14 Ekspor CPO Dunia (Juta MT)

Grafik 1.15. Pertumbuhan Ekspor Non Migas Riil

-

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

45,000

50,000

Other Benin Thailand Papua New Guinea Malaysia Indonesia

Sumber: USDA

Sumber: Recent Economic Development BI

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

20

Terdapat beberapa faktor yang dapat menahan pertumbuhan ekspor Riau ke depan

yaitu mulai diberlakukannya kebijakan compound rubber Tiongkok sehingga

diproyeksikan akan menurunkan demand dari Tiongkok, black campaign CPO di

kawasan Eropa, meningkatnya proteksi industri dalam negeri maupun industri

produk substitusi, pembatasan volume ekspor karet terkait kesepakatan tri partit

(Indonesia, Malaysia, Thailand) untuk mendorong kenaikan harga dan kembali

tertekannya harga minyak dunia menyebabkan perbaikan harga komoditas yang

tidak optimal, penerapan amandemen Solas 1972 per 1 Juli 2016 terkait Verifikasi

Berat Peti Kemas yang belum diiringi dengan sosialisasi yang memadai dikhawatirkan

menghambat aktivitas ekspor serta gangguan produktivitas sawit akibat tingginya

curah hujan.

2.3.2. Impor

Perkembangan impor barang dan jasa Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat

sebesar 22,70%, meningkat dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat kontraksi

sebesar 1,39% (yoy). Peningkatan ini utamamya bersumber dari pertumbuhan impor

antar daerah sebesar 31,08% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya

yang mengalami kontraksi sebesar 11,37% (yoy). Peningkatan impor luar negeri

Provinsi Riau pada triwulan laporan utamanya bersumber dari peningkatan impor

non migas yang tercatat tumbuh 427,82% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan

triwulan II-2016 yang tumbuh sebesar 161,73% (yoy) sebagaimana ditunjukkan

pada Grafik 1.17. Jika dilihat dari jenis barang non migas yang diimpor, barang modal

dan intermedier (Grafik 1.18 dan Grafik 1.19) tercatat mengalami peningkatan

signifikan dibandingkan triwulan lalu. Meningkatnya impor juga dipengaruhi oleh

penguatan nilai tukar rupiah yang pada triwulan III-2016 secara rata-rata tercatat

sebesar Rp13.136,00/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah

pada triwulan II-2016 sebesar Rp13.317,00/USD. Namun peningkatan impor ini

tertahan oleh kontraksi 49,70% (yoy), menurun dibandingkan triwulan II-2016 yang

tumbuh sebesar 23,34% (yoy) yang ditunjukkan oleh Grafik 1.20.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

21

Impor pada triwulan IV-2016 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan

triwulan III-2016. Hal ini dipicu oleh meningkatnya daya beli masyarakat serta

penguatan nilai tukar yang sudah terlihat sejak awal tahun 2016. Namun masih

belum optimalnya kapasitas utilisasi perusahaan di tengah gejolak ekonomi global

berpotensi menahan laju impor.

Grafik 1.21 Nilai Tukar Rupiah terhadap USD

Grafik 1.17. Perkembangan Impor Non Migas Riau

Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau

Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Intermedier

Grafik 1.20. Perkembangan Impor Barang Konsumsi

-100

0

100

200

300

400

500

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

yoy,%Ribu Ton Volume (ribu ton) growth (rhs)

(200)

-

200

400

600

800

1,000

1,200

-

20

40

60

80

100

120

140

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

%ribu Ton Barang Modal(lhs) yoy (rhs)

(100)

-

100

200

300

400

500

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

%ribu Ton Barang intermedier (lhs) yoy (rhs)

(200)

(100)

-

100

200

300

400

500

600

-

5

10

15

20

25

30

35

40

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

%ribu Ton Barang Konsumsi (lhs) yoy (rhs)

Sumber : Bank Indonesia

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

22

3. PDRB SEKTORAL

Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan III-2016 secara

umum menunjukkan perlambatan. Perlambatan kinerja terjadi di empat sektor

utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan

besar eceran. Perlambatan lebih dalam didorong oleh kontraksi sektor pertambangan

dan penggalian.

Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Melambatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari penurunan kinerja

subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian terutama

perkebunan sawit dan karet yang menjadi unggulan di Provinsi Riau seiring dengan

menurunnya harga komoditas global. Menurunnya kinerja di sektor pertanian secara

langsung berdampak terhadap penurunan kinerja industri pengolahan yang

mayoritas di Provinsi Riau berbahan baku kelapa sawit atau Tandan Buah Segar (TBS).

Selain itu, semakin menurunnya cadangan minyak bumi secara alamiah diperparah

dengan turunnya harga minyak dunia sehingga mengakibatkan kontraksi yang

semakin dalam. Di sisi lain, belum terealisasinya anggaran pembangunan

infrastruktur secara optimal turut menekan pertumbuhan sektor konstruksi.

I II III IV I II III I II III

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.21 7.28 -4.54 -7.62 8.24 0.35 3.37 4.32 2.90 0.77 0.99 0.68

Pertambangan dan Penggalian -5.28 -8.43 -7.62 -6.07 -5.50 -6.91 -2.95 -4.34 -6.13 -0.86 -1.23 -1.68

Industri Pengolahan 5.63 -0.48 0.94 4.28 9.58 3.61 5.40 4.62 3.88 1.31 1.13 0.97

Pengadaan Listrik, Gas 6.81 8.32 8.67 8.51 1.18 6.43 14.66 17.24 16.60 0.01 0.01 0.01

Pengadaan Air 1.06 -2.90 3.10 2.55 7.01 2.41 2.00 -1.49 -1.16 0.00 0.00 0.00

Konstruksi 8.46 4.59 5.07 8.06 7.69 6.39 3.84 4.87 4.67 0.31 0.40 0.39

Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor 3.82 1.36 0.57 0.58 3.97 1.63 4.93 6.60 3.61 0.46 0.63 0.34

Transportasi dan Pergudangan 7.99 4.29 4.58 5.69 6.85 5.38 4.52 4.46 2.46 0.04 0.04 0.02

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.97 1.08 -2.17 -0.03 8.75 1.89 5.47 6.10 1.67 0.03 0.03 0.01

Informasi dan Komunikasi 5.64 8.88 7.70 5.26 6.90 7.15 4.21 5.19 6.26 0.03 0.03 0.04

Jasa Keuangan 4.93 5.84 -3.44 -0.11 -0.69 0.35 1.76 8.40 6.02 0.02 0.08 0.05

Real Estate 5.32 7.04 7.91 8.38 9.98 8.34 1.91 0.51 1.12 0.02 0.00 0.01

Jasa Perusahaan 12.84 6.98 7.09 8.31 8.25 7.67 0.19 1.34 1.64 0.00 0.00 0.00

Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos. 1.53 1.38 6.08 5.92 4.21 4.39 -5.07 0.02 -5.94 -0.07 0.00 -0.09

Jasa Pendidikan 5.90 6.29 6.47 8.91 3.94 6.35 0.63 2.64 0.98 0.00 0.01 0.01

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.40 11.68 8.92 11.06 8.26 9.94 0.17 1.03 0.93 0.00 0.00 0.00

Jasa lainnya 11.14 8.41 9.55 11.20 11.24 10.14 5.65 6.27 6.02 0.03 0.03 0.03

2.70 -0.01 -2.13 -1.38 4.45 0.22 2.36 2.46 1.11 2.36 2.46 1.11

5.92 2.83 -0.57 -0.28 6.20 2.01 3.55 4.15 2.87 3.55 4.15 2.87

Uraian

PDRB

PDRB Tanpa Migas

2014 2015

2015

Growth (yoy)

2016

Kontribusi Pertumbuhan (%)

2016

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

23

Perlambatan dari sektor utama ini menyebabkan daya beli masyarakat mengalami

penurunan sejalan dengan menurunnya permintaan pasca Idul Fitri sehingga

menyebabkan perlambatan ekonomi Riau secara keseluruhan. Namun demikian,

perlambatan yang lebih dalam tertahan oleh peningkatan pertumbuhan sektor

informasi dan komunikasi, real estate, dan jasa perusahaan. Perekonomian Riau pada

triwulan mendatang diperkirakan didorong oleh peningkatan kinerja sektor

pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar & eceran serta konstruksi.

Peningkatan laju ekonomi sektoral diperkirakan tertahan oleh kontraksi sektor

pertambangan yang semakin dalam.

3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan III-2016

tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 2,90% (yoy), namun lebih rendah

jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan II-2016 sebesar 4,32% (yoy).

Perlambatan tersebut utamanya bersumber dari subsektor pertanian, peternakan,

perburuan dan jasa pertanian yang tercatat sebesar 3,58% (yoy), melambat

dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,55% (yoy).

Laju penurunan yang lebih dalam tertahan oleh subsektor kehutanan dan

penebangan kayu serta subsektor perikanan yang tumbuh positif masing-masing

sebesar 0,22% dan 1,77% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II-2016 yang

masing-masing tercatat mengalami kontraksi 3,01% dan tumbuh positif sebesar

0,33% (yoy).

Melambatnya kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan

laporan terindikasi dari menurunnya harga CPO Global dan TBS Lokal. Selain CPO

dan TBS, harga karet juga menunjukkan tren menurun. Pada dasarnya beberapa

faktor yang menyebabkan volatilitas harga komoditas dunia ini, antara lain kondisi

ekonomi internasional, volume permintaan dan pasokan, fluktuasi nilai tukar dan

pergerakan harga minyak dunia (Grafik 1.22 dan Grafik 1.23).

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

24

Grafik 1.22. Perkembangan Harga Karet

Sumber: Bloomberg

Grafik 1.23. Perkembangan Harga Sawit

Sumber : Bloomberg

Berdasarkan informasi dari contact liaison, penurunan harga ini berdampak terhadap

menurunnya penjualan perusahaan baik ekspor maupun domestik karena sebagian

perusahaan lebih memilih untuk menahan stok sampai harga kembali menunjukkan

tren peningkatan (Grafik 1.25). Pada semester I-2016, produktifitas sawit berada

pada titik yang rendah seiring dengan terjadinya musim trek sehingga menyebabkan

terbatasnya suplai TBS yang secara otomatis mendorong kenaikan harga TBS dan

CPO, namun excess supply minyak nabati pada triwulan III-2016 menekan kenaikan

harga komoditas global. Selain itu, melambatnya kinerja di sektor pertanian juga

terindikasi dari perkembangan kredit karet dan getah serta kredit perkebunan kelapa

sawit (Grafik 1.26 dan 1.27).

Grafik 1.24. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian

Sumber: BPS Provinsi Riau

Grafik 1.25. Likert Scale Pertanian

Sumber : Liaison Bank Indonesia

(40.00)

(20.00)

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

-

1

2

3

4

5

6

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

%

US

D

Karet Growth

-

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,000

1,100

1,200

1,300

1,400

1,500

1,600

1,700

1,800

1,900

I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II II IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

TBS

CPO (RHS)

Rp/Kg $/MT

-2.00

-1.50

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% yoy

Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian

Perikanan

Kehutanan dan Penebangan Kayu

(4.00)

(3.00)

(2.00)

(1.00)

-

1.00

2.00

3.00

4.00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Penjualan Domestik

Penjualan Ekspor

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

25

Grafik 1.26. Perkembangan Kredit Perkebunan Karet dan Getah

Sumber : LBU Bank Indonesia

Grafik 1.27. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit

Sumber : LBU Bank Indonesia

Penyaluran kredit subsektor perkebunan karet dan kelapa sawit berdasarkan lokasi

bank di Provinsi Riau pada triwulan laporan masing-masing tercatat sebesar Rp32,5

Miliar dan Rp12,39 Triliun atau mengalami kontraksi 22,45% dan tumbuh 11,27%

(yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar Rp12,49 Triliun dan

Rp 32,6 Miliar atau mengalami kontraksi 18,38% dan tumbuh 15,51% (yoy).

Panen raya kedua tanaman pangan pada akhir tahun 2016 diperkirakan mendorong

membaiknya kinerja sektor pertanian pada triwulan mendatang. Beberapa faktor

yang mendorong peningkatan kinerja sektor ini antara lain adalah adanya kontrak

penjualan biodiesel pemerintah dengan perusahaan di Riau serta program

pemerintah yang cukup baik di bidang pertanian, antara lain:

Intensifikasi dan perluasan areal tanam oleh Distan melalui peningkatan

indeks pertanaman.

Bantuan alsintan berupa traktor roda empat dan handtractor kepada petani.

Program penanaman 284.417 Hektar tanaman jagung pada tahun 2016.

Program pembagian kapal tangkap ikan bagi nelayan

Perluasan area tanam bawang merah dengan jumlah insentif Rp37,5 juta per

hektar.

Adapun beberapa faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor

pertanian antara lain: i) bantuan benih Pajale yang belum sepenuhnya disalurkan

(pertanian tabama); ii) belum disahkannya RTRW yang berdampak terhadap izin

sertifikat lahan yang tidak bisa dikeluarkan sehingga bantuan dana untuk replanting

kelapa sawit terhambat; iii) preferensi Tiongkok untuk mulai menggunakan kedelai

dibandingkan dengan kelapa sawit seiring dengan berkembangnya industri

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.50

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp. Triliun Kredit Perkebunan Karet g (yoy) - RHS

0

5

10

15

20

25

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp TriliunKredit Kelapa Sawit growth (yoy)

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

26

peternakan serta selisih harga yang rendah; serta iv) adanya libur lebaran

menyebabkan petani enggan melakukan panen kelapa sawit akibat tutupnya

beberapa petani kelapa sawit.

3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian

Kinerja sektor pertambangan Riau

pada triwulan III-2016 mengalami

kontraksi sebesar 6,13% (yoy),

lebih dalam dibandingkan

kontraksi triwulan sebelumnya

yang sebesar 4,34% (yoy).

Semakin dalamnya kontraksi

terutama bersumber dari

penurunan kinerja pertambangan

minyak dan gas bumi yang pada triwulan II-2016 tercatat kontraksi sebesar 4,61%

(yoy), turun lebih dalam pada triwulan III-2016 menjadi 6,68% (yoy) sebagaimana

ditunjukkan Grafik 1.28.

Berdasarkan hasil survei dan liaison, penurunan tersebut disebabkan semakin

berkurangnya cadangan minyak bumi dan keterbatasan perusahaan untuk

melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak yang tidak

memenuhi nilai keekonomisannya. Kondisi ini juga tercermin dari pencapaian lifting

minyak bumi Provinsi Riau yang pada triwulan III-2016 masih cenderung melanjutkan

tren penurunan (Grafik 1.29) meskipun mulai meningkat pada awal Oktober 2016.

Grafik 1.29. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau

Sumber: Kementerian ESDM

Grafik 1.30. Perkembangan Kegiatan Usaha Pertambangan di Provinsi Riau

Sumber: SKDU Bank Indonesia

(14.00)

(12.00)

(10.00)

(8.00)

(6.00)

(4.00)

(2.00)

-

2.00

4.00

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

450.00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II IIIO

kt*

2011 2012 2013 2014 2015 2016

yoy,

%

ribu

bar

el/h

ari

Lifting (LHS) growth (RHS)

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

I II III IV I II III IV I II III IV Tw-I Tw-II Tw-III

2013 2014 2015 2016

SBT

Grafik 1.28. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)

-4.00

-3.50

-3.00

-2.50

-2.00

-1.50

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% yoy

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Pertambangan Batubara dan Lignit

Pertambangan Bijih Logam

Pertambangan dan Penggalian Lainnya

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

27

Grafik 1.31. Perkembangan Harga Batubara

Grafik 1.32. Harga Minyak Dunia

Sumber: Bloomberg

Sumber : Bloomberg

Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang lebih dalam tertahan oleh

kinerja pertambangan batubara yang relatif stabil seiring dengan perkembangan

harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan akibat menurunnya

produksi batubara di Tiongkok dan Amerika Serikat sehingga perusahaan berupaya

untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi perusahaan

dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan (Grafik 1.31).

Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin menurun

akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural declining) dan

minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif di Provinsi Riau.

Oleh sebab itu, pada triwulan berjalan subsektor pertambangan dan penggalian

diperkirakan akan mengalami kontraksi yang semakin dalam. Secara alamiah, lifting

migas mengalami penurunan seiring dengan cadangan minyak yang semakin

berkurang dan usia sumur yang tua serta keterbatasan untuk melakukan eksplorasi

baru. Akibatnya, produksi migas secara alamiah turun sekitar 8-12% per tahun

namun dengan investasi yang dilakukan penurunan dapat ditekan menjadi 6-7%.

Namun dengan kondisi saat ini, perusahaan tidak mungkin melakukan investasi baru

akibat harga yang tidak memenuhi nilai keekonomisan atau tidak dapat menutupi

biaya investasi yang tergolong besar. Selain itu eksplorasi sumur baru juga

menghadapi kendala perijinan terutama izin amdal.

Kenaikan harga minyak ke depan relatif terbatas mengingat masih tingginya pasokan

di tengah permintaan yang masih lemah. Meningkatnya harga minyak akhir-akhir ini

bersifat temporary dipengaruhi oleh kesepakatan OPEC menurunkan produksi ke

level 32,5-33 MBPD yang berdampak terhadap meningkatnya harga di akhir

(30.00)

(20.00)

(10.00)

-

10.00

20.00

30.00

40.00

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

%

US

D

Coal Growth

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Minyak WTI

Minyak Minas

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

28

September 2016. Meskipun demikian, penurunan produksi minyak dengan skala

terbatas tersebut diperkirakan tidak berdampak signifikan terhadap harga ke depan

karena masih excess supply.

3.3. Sektor Industri Pengolahan

Kinerja sektor industri pengolahan

dengan migas pada triwulan III-

2016 tumbuh sebesar 3,88%

(yoy), melambat jika dibandingkan

triwulan II-2016 yang tumbuh

sebesar 4,62% (yoy). Perlambatan

kinerja sektor industri pengolahan

pada triwulan laporan didorong

oleh beberapa subsektor antara

lain, kontraksi industri batubara dan pengilangan migas dan perlambatan subsektor

industri makanan dan minuman, dan industri kertas dan barang dari kertas (Grafik

1.33).

Pada triwulan III-2016 subsektor industri batubara dan pengilangan migas tercatat

mengalami kontraksi sebesar 0,87% (yoy), menurun dibandingkan triwulan

sebelumnya yang kontraksi 0,43% (yoy). Kontraksi industri batubara dan

pengilangan migas pada triwulan laporan terjadi seiring dengan semakin

berkurangnya cadangan minyak bumi. Subsektor lainnya yang mengalami

perlambatan pada triwulan III-2016 terutama adalah industri makanan dan

minuman, dan industri kertas dan barang dari kertas. Subsektor industri makanan

dan minuman pada triwulan laporan tumbuh sebesar 4,91% (yoy), melambat

dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,53% (yoy). Perlambatan di subsektor

industri makanan dan minuman ini dipengaruhi oleh menurunnya permintaan

masyarakat pasca Idul Adha dan menurunnya daya beli ditengah perlambatan

ekonomi. Sedangkan perlambatan di subsektor industri kertas dan barang dari kertas

dari 0,19% (yoy) pada triwulan II-2016 menjadi 0,15% (yoy) pada triwulan III-2016

dilatarbelakangi oleh menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan

dengan masih berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika

terhadap produk kertas Indonesia.

Grafik 1.33. Pertumbuhan Industri Pengolahan

Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% yoy

Industri Batubara dan Pengilangan Migas

Industri Kertas dan Barang dari Kertas

Industri Makanan dan Minuman

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

29

Grafik 1.34 Likert Scale Industri Pengolahan

Sumber : Liaison Bank Indonesia

Grafik 1.35. Indeks Makanan, Minuman dan Tembakau

Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia

Kinerja industri pengolahan pada triwulan berjalan diperkirakan meningkat sejalan

dengan kebijakan 15% biodiesel kelapa sawit dalam BBN semakin digencarkan

sehingga meningkatkan penyerapan domestik. Selain itu, peningkatan penjualan

domestik di subsektor industri pengolahan CPO menjadi Biodiesel terjadi akibat

didorong oleh peningkatan permintaan dari Pemerintah untuk mensuplai Pertamina.

Selain itu, peningkatan produksi kertas dan tisu dari salah satu pemain besar di

industri sejenis turut menjadi faktor yang dapat mendorong peningkatan

pertumbuhan di sektor ini.

Adapun faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor ini antara lain: i)

Black campaign CPO di Eropa, dalam bentuk penerapan bea masuk dan kewajiban

adanya label POF (Palm Oil Free), serta dari negara lain seperti India, Rusia dan

Tiongkok yang menerapkan adanya bea masuk; ii) pasokan BBM yang masih cukup

tinggi menyebabkan kembali rendahnya harga minyak dunia sehingga juga

memberikan tekanan bagi perkembangan harga komoditas perkebunan; iii)

keterbatasan pasokan TBS akibat persaingan dengan perusahaan indusri sejenis,

terutama pada saat harga membaik sehingga produksi perusahaan meningkat seiring

dengan meningkatnya permintaan; iv) tindakan anti dumping Amerika Serikat; dan

v) harga gas industri yang masih relatif tinggi serta adanya penyesuaian tarif listrik

yang berpotensi meningkatkan biaya dan menekan margin usaha.

(3.00)

(2.00)

(1.00)

-

1.00

2.00

3.00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Penjualan Domestik

Penjualan Ekspor

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

160

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Makanan, Minuman dan Tembakau

Indeks Total

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

30

3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan

Sepeda Motor

Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor

pada triwulan III-2016 tercatat melambat dari 6,60% (yoy) pada triwulan II-2016

menjadi 3,61% (yoy) pada triwulan III-2016. Perlambatan pada sektor ini terutama

didorong oleh perlambatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor dan

reparasinya serta perdagangan besar dan eceran yang pada triwulan III2016 masing-

masing 3,29% dan 3,73% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya

masing-masing sebesar 6,40% dan 6,68% (yoy) sebagaimana Grafik 1.36. Kondisi

ini sejalan perlambatan pengeluaran rumah tangga (Grafik 1.37), perkembangan

kredit perdagangan dan durable goods (Grafik 1.38 dan 1.39) yang tumbuh

melambat.

Grafik 1.36. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor

Sumber: BPS Provinsi Riau

Grafik 1.37 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik 1.38. Perkembangan Kredit Perdagangan Eceran

Sumber: LBU Bank Indonesia

Grafik 1.39 Perkembangan Kredit Durable Goods

Sumber: LBU Bank Indonesia

-0.20

-0.10

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% yoy Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya

Perdagangan Besar dan Eceran

120

140

160

180

200

220

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2013 2014 2015 2016

Bahan makanan Makanan jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau

Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar Sandang

Kesehatan Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

-50

0

50

100

150

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp Triliun

Perdagangan eceran didominasi makanan, minuman dan tembakau

g (yoy)

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar Durable Goods g yoy (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

31

Jika dilihat dari kredit perbankan, perlambatan pertumbuhan sektor perdagangan

juga tercermin dari menurunnya penyaluran kredit subsektor perdagangan eceran

dan kredit durable goods berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau (Grafik 1.38 dan

Grafik 1.39) yang pada triwulan laporan masing-masing tercatat sebesar Rp2,36

Triliun dan Rp77,83 Miliar atau tumbuh 3,97% dan 138,76% (yoy), lebih rendah

jika dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar Rp2,42 Triliun dan Rp71,02

Miliar atau tumbuh 1,46% dan 253,61% (yoy).

Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan

eceran juga tercermin dari meningkatnya Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama

(Grafik 1.41) triwulan II 2016 yang berada pada level optimis 104,75% lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya yang berada pada level 105,74%. Melambatnya

konsumsi rumah tangga pada periode triwulan berjalan menjadi penyebab

melambatnya subsektor perdagangan besar, eceran dan reparasi mobil ini. Namun

demikian, masih rendahnya risiko tekanan inflasi, terutama dipengaruhi oleh

kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi dan tarif angkutan menjadi

insentif bagi pengusaha di sektor ini dan berpotensi mendorong peningkatan daya

beli masyarakat. Selain itu apresiasi nilai tukar sejak awal tahun 2016 dapat

menyebabkan harga sparepart, suku cadang dan aksesoris lebih murah dan

terjangkau sehingga berpotensi mendorong kinerja sektor perdagangan ke depan.

Grafik.1.40. Likert Scale Perdagangan

Sumber: Liaison Bank Indonesia

Grafik.1.41. Indeks Barang Tahan Lama

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

(2.50)

(2.00)

(1.50)

(1.00)

(0.50)

-

0.50

1.00

IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Penjualan Domestik

Penjualan Ekspor 0

20

40

60

80

100

120

140

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

32

3.5. Sektor Konstruksi

Kinerja sektor konstruksi pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 4,67% (yoy),

melambat dibandingkan triwulan II-2016 sebesar 4,87% (yoy). Melambatnya

realisasi investasi PMDN dan PMA serta belum optimalnya penyerapan APBD dan

terganggunya daya beli masyarakat juga turut mendorong perlambatan kinerja

sektor konstruksi pada triwulan laporan.

Peningkatan kinerja sektor konstruksi tercermin dari meningkatnya realisasi

penyaluran dan pertumbuhan kredit konstruksi berdasarkan lokasi bank di Provinsi

Riau yang pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp2,01 triliun, lebih rendah jika

dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 1,85 triliun (Grafik

1.42). Selain itu, indikator peningkatan volume realisasi konsumsi semen yang pada

triwulan laporan terkontraksi sebesar 3,77% (yoy) namum membaik jika

dibandingkan triwulan II-2016 sebesar 450.537 ton turut menjadi indikator

pendukung meningkatnya kinerja sektor konstruksi ke depan. Meskipun tidak

setinggi periode yang sama tahun sebelumnya, namun pencapaian volume konsumsi

semen triwulan III-2016 ini tercatat kontraksi sebesar 3,77% (yoy), membaik jika

dibandingkan kontraksi pada triwulan II-2016 yang sebesar 5,84% (yoy) (Grafik

1.42).

Seiring dengan berlanjutnya proyek infrastruktur, kinerja sektor konstruksi pada

triwulan IV-2016 diperkirakan membaik. Meningkatnya kinerja sektor ini dapat

menimbulkan optimisme pelaku usaha terhadap membaiknya daya beli masyarakat

Grafik.1.42. Kredit Konstruksi

Sumber: LBU Bank Indonesia

Grafik.1.43. Konsumsi Semen

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

-20-15-10-5051015202530

0

0.5

1

1.5

2

2.5

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp. Triliun Kredit Konstruksi growth (yoy)

-20

-10

0

10

20

30

40

50

-

100

200

300

400

500

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

%

rib

u T

on

Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

33

ke depan. Sebaliknya, apabila pelaku swasta khawatir dalam merealisasikan

investasinya terkait dengan kepatuhan wajib pajak, terutama untuk penjualan rumah

premium yang tercermin dari undisbursed loan di kategori konstruksi yang

didominasi oleh perumahan premium, dapat menjadi faktor yang menghambat

pertumbuhan sektor konstruksi. Demikian juga dengan belum disahkannya RTRW

masih menjadi faktor penghambat dalam pengembangan sektor ini.

Contact liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau yang bergerak di

subsektor pelayaran (shipping company)

menginformasikan bahwa arus barang

masuk (inbound) dan arus barang keluar

(outbound) dari Pelabuhan Perawang di

Provinsi Riau pada tahun 2016

mengalami peningkatan bila

dibandingkan tahun 2015.

Terminal Petikemas Perawang merupakan terminal peti kemas pertama di Riau,

diharapkan mendorong pertumbuhan perekonomian di Provinsi Riau dan daerah

sekitarnya karena arus barang dari dan keluar provinsi Riau menjadi lebih cepat dan

efisien sehingga mampu meningkatkan daya saing perekonomian Provinsi Riau.

Keberadaan pelabuhan Perawang dinilai memberikan dampak yang positif, karena

ekspor karet, hasil hutan dan hasil industri yang sebelumnya harus melalui Jambi,

Padang dan Medan dan menimbulkan biaya angkutan relatif besar, berpeluang beralih

ke Perawang karena telah beroperasinya terminal Peti Kemas Perawang sejak tahun

2012.

Selain itu, depo (penumpukan peti kemas) dan pergudangan juga sangat mendukung

bisnis dan arus barang dari dan menuju Riau, karena letaknya yang cukup strategis

dan mudah dijangkau oleh para pengguna jasa kepelabuhanan, lebih kurang 60 Km

dari pusat Kota Pekanbaru.

Lapangan penumpukan peti kemas kini telah memiliki luas 24.000 m2 mampu

menampung 88.155 TEUs/tahun dengan target bongkar muat peti kemas yang

Boks

Kemajuan dan Tantangan Percepatan

Pembangunan Infrastruktur Maritim

ditampung di pelabuhan tersebut hingga akhir tahun 2016 mencapai sekitar 70.000

TEUs1.

Menurut hasil liaison yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

dengan perusahaan yang bergerak di industri sejenis, pembenahan dan penambahan

fasilitas di pelabuhan Perawang, mampu memangkas dwelling time di pelabuhan dari

semula sekitar tujuh hari, saat ini menjadi 3-4 hari. Pelabuhan Perawang ini merupakan

pelabuhan di Sungai Siak, berbeda dengan pelabuhan laut, Perawang memiliki

sejumlah keterbatasan, antara lain besarnya kapal yang bisa melalui alur sungai Siak

terbatas pada kapal dengan panjang maksimal 120m 120m, dengan kapasitas 8.100

dwt (deadweight tonnage) atau setara dengan 537 TEUs. Tapi hanya bisa diisi

maksimal 75% atau sekitar 400 TEUs terkait dengan aturan yang ditetapkan

syahbandar (otoritas pelabuhan) dan kondisi sungai siak (kedalaman) yang tidak

memungkinkan bagi kapal untuk diisi full capacity.

Dampak dari keterbatasan batasan tersebut tentunya adalah biaya angkut yang relatif

jadi lebih mahal, karena shipping company tidak bisa mengisi space dikapalnya sampai

penuh, sehingga fixed cost yang dibebankan untuk setiap kontainer jadi lebih tinggi.

Contact juga menyampaikan bahwa untuk melakukan perawatan rutin (docking),

perusahaannya lebih memilih melakukannya dinegara tetangga, yaitu di Jurong

Singapura, dibanding menggunakan galangan kapal di dalam negeri, padahal nilainya

tidak kecil dan merupakan devisa negara. Demikian pula untuk pembelian kapal,

pengusaha lebih memilih membeli dari perusahaan di China dibanding dari galangan

kapal di dalam negeri. Beberapa alasan yang disampaikan antara lain harga yang lebih

murah dan penyelesaian pesanan relatif cepat, hanya 9-12 bulan kapal telah siap

dikirimkan.

Bila jasa perawatan dan pembuatan kapal bisa dilakukan oleh galangan kapal dalam

negeri, pastilah banyak devisa yang bisa dihemat. Ditambah lagi penyerapan lapangan

kerja dan perputaran ekonomi yang terjadi.

1 Twenty Foot Equivalent Unit, sebuah satuan kapasitas kargo yang didasarkan pada

volume peti kemas berukuran 20-foot-long / 6.1 m)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

34

1. KONDISI UMUM

Sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia, inflasi Provinsi Riau pada triwulan III

2016 mengalami peningkatan. Meningkatnya tekanan inflasi terutama bersumber

dari kelompok volatile food akibat gangguan produksi di daerah pemasok. Selain itu,

meningkatnya tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price

akibat penyesuaian tarif listrik dan kenaikan cukai rokok. Tekanan inflasi yang lebih

tinggi tertahan oleh penurunan harga daging ayam ras, bawang merah, telur ayam

ras, dan gula pasir karena kondisi pasokan yang cukup baik secara nasional. Relatif

terkendalinya laju inflasi di Provinsi Riau tidak terlepas dari berbagai koordinasi aktif

Bank Indonesia, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya akan terus dilakukan

dan difokuskan pada upaya menjamin ketersediaan pasokan dan kelancaran

distribusi untuk meminimalisir tekanan inflasi yang lebih tinggi.

ASESMEN

INFLASI DAERAH

Bab 2

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

35

2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU

Inflasi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 3,27% (yoy), lebih tinggi jika

dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar 1,92% (yoy). Kondisi ini

berbanding terbalik dengan perkembangan inflasi nasional yang menunjukkan

penurunan dari 3,45% (yoy) pada triwulan II-2016 menjadi 3,07% (yoy) pada

triwulan III-2016. Jika dibandingkan dengan rata-rata historis 5 tahun terakhir 2011-

2015, inflasi Riau pada triwulan II dan III-2016 masih tercatat lebih rendah.

Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw III 2016 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung

mengalami peningkatan, yaitu berada pada kisaran 4,07+0.5% (yoy), masih berada

di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy). Meningkatnya

tekanan inflasi triwulan IV-2016 diperkirakan bersumber dari komponen volatile food

dan administered price, sedangkan tekanan dari kelompok inflasi inti relatif stabil.

Signifikannya peningkatan inflasi pada kelompok volatile food terutama bersumber

dari kenaikan harga cabai merah akibat curah hujan yang tinggi sehingga

menyebabkan gagal panen di daerah sentra produksi seperti Sumatera Utara dan

Sumatera Barat. Sedangkan kenaikan tekanan inflasi dari kelompok administered

price dipengaruhi oleh penyesuaian tarif listrik sebagai dampak dari kenaikan harga

minyak dunia dan kenaikan cukai rokok yang berdampak terhadap kenaikan harga

rokok. Di sisi lain menurunnya tekanan inflasi kelompok inti disebabkan oleh tekanan

3.45 3.07

5.72

Tw II Tw III Avg Tw III2011-2015

Nasional1.92

3.27

5.87

Tw II Tw III Avg Tw III2011-2015

Riau

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

36

permintaan yang cenderung moderat pasca perayaan hari raya Idul Adha dan

ekspektasi inflasi yang relatif terkendali.

Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota

Pekanbaru mencapai 3,37% (yoy), diikuti oleh Dumai dan Tembilahan masing-

masing 3,07% (yoy) dan 2,58% (yoy). Tekanan inflasi di Kota Pekanbaru dan Dumai

menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang masing-

masing tercatat 1,65% (yoy) dan 3,02% (yoy). Sebaliknya tekanan inflasi di Kota

Tembilahan menunjukkan penurunan yaitu dari 2,63%(yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi 2,58% (yoy) pada triwulan laporan. Tingkat inflasi antar ketiga

kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) mencerminkan disparitas

inflasi yang relatif mengecil.

Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau

dan Nasional (yoy)

Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga

Kota di Riau (yoy)

Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah

Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau,

sumber peningkatan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan III 2016 terutama

berasal dari peningkatan yang cukup signifikan pada kelompok bahan makanan dan

makanan jadi yang masing-masing memiliki kontribusi sebesar 2,23% dan 1,03%

pada triwulan III-2016 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 8,71% dan 4,96%

(yoy). Sebaliknya kontribusi kelompok sandang pada triwulan laporan sebesar

0,14%, kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,14%, serta

kelompok transportasi & komunikasi yang mengalami deflasi sebesar 0,21% tercatat

lebih rendah dibandingkan kontribusi pada triwulan II-2016 yang masing-masing

tercatat sebesar 0,16%, 0,22% dan deflasi 0,18%. Sedangkan kelompok

0

2

4

6

8

10

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (yoy) Nas Riau Smt

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan Riau

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

37

perumahan dan kesehatan cenderung stabil dengan kontribusi masing-masing

sebesar 0,15% dan 0,08%.

Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan juga tercatat mengalami

peningkatan sebesar 2,01% (qtq), lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2016 yang

mengalami deflasi sebesar -0,48% (qtq). Namun, angka inflasi Riau pada triwulan

laporan masih tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya

dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang sebesar 1,88% (qtq).

Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)

Sumber : BPS, diolah

Meningkatnya tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh kenaikan harga

subkelompok bumbu-bumbuan, lemak dan minyak, transpor, dan komunikasi.

Berdasarkan komoditasnya, peningkatan tekanan inflasi utamanya bersumber dari

cabai merah, cabai hijau, minyak goreng, mobil, angkutan udara, dan tarif pulsa

ponsel. Kenaikan harga tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

-2.0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

-2

0

2

4

6

8

10

Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi

TransportasiKomunikasi

% Kontribusi% (yoy) Inflasi % (yoy) Tw II 2016 Inflasi % (yoy) Tw III 2016

Kontribusi Kont.Tw II 2016 Kontribusi Kont.Tw III 2016

-2

-1

0

1

2

3

4

5

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% qtq Pekanbaru Dumai Tembilahan Nasional Riau

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

38

berkurangnya supply dari daerah sentra produksi akibat curah hujan yang tinggi

sehingga mengakibatkan gagal panen dan disertai lonjakan permintaan masyarakat

seiring dengan momentum perayaan Idul Adha.

Grafik 2.5. Historis Inflasi Tw III di Provinsi Riau (qtq)

Sumber : BPS, diolah

Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, semua kelompok

tercatat mengalami inflasi. Inflasi tertinggi berasal dari kelompok bahan makanan

diikuti oleh kelompok makanan jadi, dan kelompok transportasi & komunikasi

dengan tingkat inflasi masing-masing sebesar 5,44%, 1,82%, dan 1,20% (qtq), atau

masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 2,23%, 1,03% dan deflasi 0,21%.

Sementara itu, realisasi inflasi triwulanan terendah terjadi pada kelompok

perumahan dan pendidikan dengan tingkat inflasi sebesar 0,48% dan 0,49% (qtq).

Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang Jasa Tw III-2016 (qtq)

Sumber : BPS, diolah

2.121.87 1.83

2.06

1.39

0.22

0.820.94

0.64

-0.22-0.5

0.5

1.5

2.5

3.5

Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan

% (qtq) Historis 2011-2015 Tw III-2016

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

1 2 3 4 5 6 7 8

% Kontribusi% (qtq) % (qtq) Tw II 2016 % (qtq) Tw III 2016

Kont.Tw II 2016 Kont.Tw III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

39

2.1. Inflasi Kota

2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru

Pada triwulan III-2016, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 3,37% (yoy), lebih

tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,65% (yoy). Meningkatnya

tekanan inflasi di Kota Pekanbaru terutama bersumber dari kelompok volatile food

yang tercatat mengalami inflasi 9,60% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya yang sebesar 2,43% (yoy). Tingginya inflasi kelompok volatile food

disebabkan oleh kondisi curah hujan yang cukup tinggi sehingga beberapa daerah

sentra produksi seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat mengalami gagal panen

dan mengakibatkan berkurangnya pasokan bahan makanan khususnya cabai merah

yang memiliki andil cukup tinggi terhadap inflasi Pekanbaru sebesar 0,62% (mtm).

Selain itu, sumber tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok inti yang tercatat

sebesar 2,58% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat 2,29%

(yoy). Meningkatnya laju inflasi inti disebabkan oleh kenaikan harga makanan jadi

dan minyak goreng yang juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan kebutuhan

pokok dan peningkatan permintaan masyarakat. Di sisi lain, peningkatan inflasi yang

lebih dalam tertahan oleh inflasi administered price yang tercatat deflasi -0,61%

(yoy), meskipun sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mengalami deflasi lebih dalam sebesar 0,87% (yoy) seiring dengan mulai naiknya

tarif angkutan udara dan angkutan antar kota menjelang Idul Adha.

Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, inflasi di Pekanbaru pada triwulan laporan

bersumber dari semua kelompok kecuali kelompok transportasi & komunikasi yang

mengalami deflasi sebesar 1,34% (yoy). Tekanan inflasi tertinggi berasal dari

kelompok bahan makanan dan makanan jadi yang masing-masing memberikan andil

sebesar 2,20% (yoy) dan 1,01% (yoy) dengan tingkat inflasi 9,44% dan 5,00% (yoy).

Laju inflasi kelompok bahan makanan dan makanan jadi tersebut tercatat lebih tinggi

dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat sebesar 2,65% dan 3,77% (yoy) dengan

andil pada triwulan lalu masing-masing sebesar 0,59% dan 0,76% (yoy).

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

40

Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw III

(2011-2015)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di

Pekanbaru Tw III 2016

2.1.2. Inflasi Kota Dumai

Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga

tercatat mengalami peningkatan dari 3,02% di triwulan II 2016 menjadi 3,07% (yoy)

pada triwulan III 2016. Meningkatnya tekanan inflasi di Dumai terutama bersumber

dari kelompok volatile food seiring dengan kenaikan harga komoditas bumbu-

bumbuan seperti cabai merah, cabai rawit, cabai hijau, dan udang basah. Sama

halnya dengan Pekanbaru, kenaikan harga komoditas tersebut juga dipicu oleh

gangguan pasokan dari daerah sentra produksi, sedangkan produksi dari derah

sendiri belum dapat memenuhi jumlah permintaan yang ada.

Di sisi lain, laju inflasi administered price di Kota Dumai juga tercatat mengalami

inflasi sebesar 1,67% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat

sebesar 1,25% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya didorong oleh kenaikan tarif

listrik dan kenaikan harga rokok filter sebagai dampak dari penyesuaian tarif listrik

dan cukai rokok. Tekanan inflasi yang lebih tinggi tertahan oleh perkembangan

inflasi inti yang menunjukkan penurunan dari 4,08% (yoy) pada triwulan lalu menjadi

2,11% (yoy) pada triwulan III-2016. Relatif terkendalinya inflasi inti bersumber dari

penurunan harga gula pasir karena terjaganya pasokan.

Apabila dilihat per kelompok komoditas, kelompok bahan makanan dan makanan

jadi memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi Kota Dumai pada triwulan III-2016

masing-masing 1,74% dan 1,10%, dengan tingkat inflasi 6,73% dan 5,25% (yoy),

merupakan tertinggi dari seluruh kelompok barang dan jasa. Sementara itu,

kelompok yang memiliki andil inflasi terendah adalah transportasi dan komunikasi

-2

-1

0

1

2

3

4

5

0

2

4

6

8

10

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy

9.44

5.00

0.65

2.301.50

2.38

-1.34-0.2

0.2

0.6

1.0

1.4

1.8

2.2

2.6

-4

0

4

8

12

BahanMakanan

MakananJadi

Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi

Transport &Kom

% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2016 Kont.Tw III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

41

yang bahkan tercatat deflasi 0,20% dengan tingkat deflasi pada triwulan laporan

sebesar 1,21% (yoy), lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat

deflasi sebesar 0,90% (yoy).

2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan

Berbeda dengan kedua kota perhitungan inflasi lainnya, tekanan inflasi Kota

Tembilahan pada triwulan laporan tercatat sebesar 2,58% (yoy), lebih rendah

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 2,63% (yoy). Penurunan

tekanan inflasi ini utamanya bersumber dari kelompok administered price yang

tercatat inflasi sebesar 0,75% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya

sebesar 1,65% (yoy). Terkendalinya inflasi administered price didorong oleh

penurunan tarif angkutan antar kota.

Sementara itu, inflasi inti turut mendorong lebih rendahnya inflasi pada triwulan

laporan. Realisasi inflasi inti pada triwulan III-2016 tercatat 1,88% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 2,19% (yoy). Menurunnya tekanan

inflasi inti utamanya disumbang oleh menurunnya harga komoditas semen dan gula

pasir. Namun demikian, penurunan inflasi lebih dalam tertahan oleh kenaikan inflasi

volatile food dari 4,21% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 5,30% (yoy) pada

triwulan III 2016.

Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw III

(2011-2015)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw III-

2016

-2

-1

0

1

2

3

4

5

0

2

4

6

8

10

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy

6.73

5.25

1.290.58

3.24

1.35

-1.21

-0.2

0.2

0.6

1.0

1.4

1.8

2.2

-4

0

4

8

12

BahanMakanan

MakananJadi

Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi

Transport &Kom

% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2016 Kont.Tw III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

42

Berdasarkan kelompok barang dan jasa, kelompok transportasi dan komunikasi

memiliki kontribusi terendah terhadap inflasi di Tembilahan sebesar -0,26%, atau

tercatat deflasi sebesar 2,48%(yoy). Tingkat deflasi tersebut lebih dalam

dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat deflasi 2,05% (yoy). Sementara itu,

kelompok bahan makanan dan makanan jadi memiliki kontribusi terbesar masing-

masing 1,45% dan 0,80% dengan tingkat inflasi sebesar 5,12% dan 3,88% (yoy)

pada triwulan laporan. Kondisi tersebut lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tercatat 4,09% (yoy) dan 4,35% (yoy).

Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw II-2016

2.2. Disagregasi Inflasi1 (yoy)

Meningkatnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan didorong oleh

meningkatnya tekanan inflasi terutama kelompok volatile food. Kenaikan inflasi

volatile food tersebut utamanya disebabkan oleh kenaikan harga cabai merah akibat

gagal panen di daerah sentra produksi sehingga mengganggu ketersediaan pasokan.

Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price karena

kenaikan tarif listrik dan harga rokok kretek filter. Kenaikan harga komoditas

tersebut disebabkan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral terkait penyesuaian tarif listrik dan kebijakan pemerintah yang

menaikkan cukai rokok. Di sisi lain, tekanan inflasi yang lebih tinggi tertahan oleh

penurunan laju inflasi inti seiring dengan menurunnya harga gula pasir dan bahan

1 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok

-2

-1

0

1

2

3

4

5

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy

5.12

3.88

0.34

4.545.34

0.82

-2.48-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

-4

-2

0

2

4

6

BahanMakanan

MakananJadi

Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi

Transport &Kom

% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2016 Kont.Tw III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

43

bangunan seperti pasir, besi beton, kayu seiring dengan moderatnya tekanan

permintaan secara umum dan terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat

Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)

Sumber : BPS, diolah

2.2.1. Inflasi Inti (Core)

Laju inflasi inti pada triwulan III-2016 tercatat sebesar 2,50% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan II-2016 yang mencapai 2,60% (yoy). Terjaganya inflasi inti

merupakan dampak dari relatif terjaganya pasokan komoditas inti, relatif stabilnya

nilai tukar rupiah, terkendalinya ekspektasi masyarakat, dan cenderung moderatnya

tekanan permintaan secara umum. Pada akhir periode triwulan laporan perlambatan

tekanan inflasi inti didorong oleh koreksi harga komoditas gula pasir dan bahan

bangunan seperti pasir, besi beton, kayu balokan. Di sisi lain, hal utama yang

menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan harga minyak goreng sejalan

dengan kenaikan harga dari distributor menjelang perayaan Idul Adha.

Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, inflasi inti terendah pada triwulan III-2016

terjadi di Kota Tembilahan sebesar 1,88% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan

II-2016 yang tercatat sebesar 2,19% (yoy). Sebaliknya, inflasi tertinggi pada triwulan

laporan terjadi di Kota Pekanbaru sebesar 2,58% (yoy), meningkat bila dibandingkan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,29% (yoy). Sementara itu di Kota

Dumai inflasi inti sebesar 2,11% (yoy), namun lebih rendah dibandingkan triwulan

II-2016 yang mencapai 4,08% (yoy).

-5

0

5

10

15

20

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2013 2014 2015 2016

(% yoy)CPI Core Volatile Food Administered

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

44

Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia

Sumber : Bloomberg, diolah

Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods Non Tradable Goods (yoy)

Sumber : BPS, diolah

2.2.2. Inflasi Volatile Food

Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode triwulan laporan tercatat

sebesar 8,83% (yoy), meningkat signifikan jika dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya yang sebesar 2,59% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi volatile food

didorong oleh inflasi yang terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama berasal

dari subkelompok bumbu-bumbuan. Komoditas utama penyumbang inflasi dari

kelompok tersebut adalah cabai merah.

Berdasarkan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) Kantor Perwakilan Bank Indonesia

Provinsi Riau, harga cabai merah sejak awal triwulan laporan terus mengalami

peningkatan pada kisaran harga Rp.60.000-72.000/Kg. Kenaikan harga tersebut

dipicu oleh kenaikan harga dari daerah pemasok seperti Sumatera Utara dan

(30.00)

(20.00)

(10.00)

-

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

-

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

2,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

%

US

D

Harga Emas

Growth

0

2

4

6

8

10

12

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2013 2014 2015 2016

% (yoy)Tradeable Non Tradeable

Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD

Sumber : Bank Indonesia

0

2

4

6

8

10

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU

11,000

11,500

12,000

12,500

13,000

13,500

14,000

14,500

15,000

2-J

an

-15

26

-Ja

n-1

51

7-F

eb

-15

12

-Ma

r-1

56

-Ap

r-1

52

8-A

pr-

15

22

-Ma

y-1

51

6-J

un

-15

8-J

ul-

15

5-A

ug

-15

28

-Au

g-1

52

1-S

ep

-15

15

-Oct

-15

6-N

ov

-15

30

-No

v-1

52

3-D

ec-1

51

9-J

an

-16

11

-Fe

b-1

64

-Ma

r-1

63

0-M

ar-

16

21

-Ap

r-1

61

7 M

ei

20

16

8-J

un

-16

30

-Ju

n-1

62

8-J

ul-

16

22

-Au

g-1

61

4-S

ep

-16

6-O

ct-1

62

8-O

ct-1

6

Kurs Tengah

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

45

Sumatera Barat akibat curah hujan tinggi yang menyebabkan gagal panen di sentra

produksi sehingga supply cabai di pasar menjadi terbatas.

Jika dilihat dari ketiga kota perhitungan inflasi di Riau, inflasi volatile food tertinggi

pada triwulan III-2016 terjadi di Kota Pekanbaru sebesar 9,60% (yoy), diikuti oleh

Dumai dan Tembilahan masing-masing sebesar 6,53% dan 5,30% (yoy). Inflasi

volatile food di ketiga kota tersebut tercatat meningkat bila dibandingkan triwulan

II-2016 yang masing-masing tercatat sebesar 2,43%, 2,33%, dan 4,21% (yoy).

Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.20. Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota Pekanbaru

Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Pekanbaru

Grafik 2.21. Perkembangan Harga Daging dan Telur di Kota Pekanbaru

2.2.3. Inflasi Administered Prices

Pada triwulan III-2016 kelompok administered prices mengalami inflasi sebesar

0,02% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II-2016 yang mengalami deflasi

sebesar 0,26% (yoy). Inflasi administered price pada triwulan laporan terutama

bersumber dari kenaikan tarif listrik dan harga rokok kretek filter. Kenaikan harga

komoditas tersebut disebabkan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral terkait penyesuaian tarif listrik sebagai dampak

-8

-4

0

4

8

12

16

20

24

28

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU

10,000 12,000 14,000 16,000 18,000 20,000 22,000 24,000 26,000

I II III

IV

I II III

IV

I II III

IV V

I II III

IV

I II III

IV V

I II III

IVI II III

IV

I II III

IV V

I II III

IV

I II III

IV MI

MII

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

2016

Rp

Beras Kualitas Murah I Beras Kualitas Murah II Beras Kualitas Medium IBeras Kualitas Medium II Beras Kualitas Super I Beras Kualitas Super II

15,000 25,000

35,000 45,000 55,000 65,000 75,000

I II III

IVI II III

IVI II III

IV VI II III

IVI II III

IV VI II III

IVI II III

IVI II III

IV VI II III

IVI II III

IV MI

MII

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

2016

Rp

Cabe Merah Besar Cabe Merah Keriting Cabe Rawit

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

45,000

I III I III I III V II IV II IV I III I III I III V II IV II IV MII

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

2016

RpRp

Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi

Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI

Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI

Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

46

kenaikan harga minyak dan depresiasi nilai tukar Rupiah di bulan Agustus 2016, serta

kebijakan pemerintah yang menaikkan cukai rokok sebesar 11,19% per tahun.

Jika dilihat per kota perhitungan inflasi di Provinsi Riau, meningkatnya tekanan inflasi

administered price terjadi di Kota Dumai dari 1,25% (yoy) pada triwulan II-2016

menjadi 1,67% (yoy) pada triwulan III-2016. Inflasi administred price tertinggi kedua

pada triwulan laporan terjadi di Kota Tembilahan sebesar 0,75% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 1,65% (yoy). Sementara itu, di Kota

Pekanbaru kelompok administered price tercatat deflasi 0,61% (yoy), namun tidak

serendah deflasi pada triwulan II-2016 yang sebesar 0,87% (yoy).

Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)

Sumber : BPS, diolah

2.3 Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan Berjalan

Secara tahunan inflasi IHK Riau sampai dengan Oktober 2016 mencapai 4,08% (yoy)

atau secara kumulatif Januari-Oktober 2016 mengalami inflasi sebesar 2,64% (ytd),

meningkat jika dibandingkan posisi September 2016 yang secara kumulatif realisasi

inflasi sebesar 1,99% (ytd) dan secara tahunan 3,27% (yoy). Namun demikian

realisasi inflasi sampai dengan Oktober tersebut masih berada di kisaran sasaran

inflasi Bank Indonesia 4±1% (yoy). Jika dilihat per kelompok disagregasi,

peningkatan inflasi berasal dari tekanan inflasi volatile food yaitu kenaikan harga

cabai merah dan daging ayam ras akibat gangguan pasokan, serta kenaikan tarif

listrik, harga rokok putih, rokok kretek filter dan rokok kretek. Tarif listrik di bulan

Oktober 2016 mengalami kenaikan seiring dengan adanya penyesuaian tarif listrik

sebagai dampak kenaikan harga minyak dan depresiasi nilai tukar Rupiah dibulan

Agustus 2016, sementara inflasi pada komoditas rokok didorong oleh kenaikan cukai

-4

0

4

8

12

16

20

24

28

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

47

rokok. Namun demikian jika dilihat secara historis, inflasi IHK secara year on year

pada bulan Oktober tahun 2016 masih relatif terkendali dan lebih rendah

dibandingkan rata-rata historis 5 tahun terakhir yang tercatat sebesar 5,85% (yoy).

Grafik 2.23. Inflasi Kumulatif Riau

Sumber : BPS, diolah

Ke depan, inflasi diperkirakan masih berada pada sasaran inflasi nasional 2016, yaitu

pada kisaran 4%±1% (yoy). Pada bulan November 2016, inflasi secara bulanan

(mtm) diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Oktober

2016. Penurunan tersebut diperkirakan terjadi pada kelompok disagregasi

administered price yakni penurunan tarif dasar listrik rata-rata Rp3 per kwh pada 12

golongan yang tidak mendapatkan subsidi. Penurunan tarif listrik ini disebabkan

penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar USD dan penurunan harga minyak

Indonesia. Sementara itu, koordinasi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia

dalam mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan

inflasi volatile food akibat adanya fenomena La Nina yang masih berpotensi

menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung sehingga dapat menganggu

produksi daerah sentra pertanian dan berpotensi memberikan gangguan dari sisi

supply. Namun demikian tekanan inflasi kelompok bahan makanan secara

keseluruhan diperkirakan akan berkurang pada periode November 2016. Koordinasi

dalam pengendalian tekanan inflasi ini akan terus diperkuat melalui upaya menjamin

ketersediaan pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok,

dan menjaga ekspektasi inflasi agar tetap terkendali.

-0.61-1.24 -1.25

-0.53 -0.01

0.69

1.311.76

1.381.23

0.33-0.02

0.45

-0.65 -0.46

-0.03

1.04 1.17

1.99

2.63

0.80 0.90 1.05 1.131.28

1.87

2.85

3.774.21

4.77

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct

(% Ytd) 2015 2016 2014

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

48

Grafik 2.24. Pergerakan Inflasi Tahunan

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.26. Perkiraan Harga 3 Bulan Ke Depan

Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik 2.26. Perkiraan Harga Per Kelompok

Sumber : Su rvei Konsumen Bank Indonesia

Grafik 2.25. Perbandingan Inflasi Oktober

Sumber : BPS, diolah

2.4 Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau

Kegiatan pengendalian inflasi yang dilakukan di Provinsi Riau pada periode laporan

adalah terus meningkatkan koordinasi untuk mengendalikan harga. Pada jangka

pendek, TPID berkoordinasi dan menyusun program yang akan fokus pada 7

program prioritas antara lain: (i) meningkatkan produktivitas, ketersediaan pasokan,

kelancaran distribusi hasil pertanian (fokus komoditas padi, cabai merah, bawang

merah, daging sapi, daging ayam); (ii) mendorong pembangunan infrastruktur yang

mendukung kelancaran produksi/distribusi hasil pertanian; (iii) perbaikan struktur

pasar dan tata niaga yang kompetitif dan efisien; (iv) peningkatan kegiatan intervensi

dalam rangka stabilisasi harga; (v) pengelolaan dampak dari penyesuaian harga

barang dan jasa yang ditetapkan pemerintah pusat; (vi) mendorong ketersediaan

informasi surplus defisit, ketersediaan stok distributor, dan monitoring harga harian;

(vii) peningkatan koordinasi intensif antar SKPD anggota TPID dan antar TPID Provinsi

dan TPID Kab/Kota terutama dalam hal sharing program pengelolaan inflasi, serta

rencana kerjasama antar daerah.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Jan

-15

Fe

b-1

5

Ma

r-1

5

Ap

r-1

5

Ma

y-1

5

Jun

-15

Jul-

15

Au

g-1

5

Se

p-1

5

Oct

-15

No

v-1

5

De

c-1

5

Jan

-16

Fe

b-1

6

Ma

r-1

6

Ap

r-1

6

Ma

y-1

6

Jun

-16

Jul-

16

Au

g-1

6

Se

p-1

6

Oct

-16

% YOY

Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan

0.14

0.630.67

0.47 0.49

0.10

0.39 0.40 0.37

0.06

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan

Inflasi Bulan Oktober (% mtm)

Oktober 2016 Avg Oktober (2011-2015)

130

140

150

160

170

180

190

200

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2013 2014 2015 2016

100

110

120

130

140

150

160

170

180

190

200

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2013 2014 2015 2016

Bahan makanan

Makanan jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau

Sandang

Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Grafik 2.27. Perkiraan Harga Per Kelompok Barang

Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

49

Pada jangka menengah, TPID akan melakukan evaluasi rumusan Roadmap TPID

Tahun 2015 untuk memonitor perkembangan kegiatan pengendalian inflasi yang

dilakukan, fokus pada komoditas volatile food beras, cabe merah, bawang merah,

daging sapi, dan daging ayam ras. Evaluasi meliputi beberapa aspek diantaranya:

progress dan kendala pelaksanaan program perbaikan sarana irigasi, pencetakan

lahan sawah baru, perbaikan teknis budidaya cabe, pengembangan bawang merah

varietas Bima, penyusunan masterplan pengembangan tanaman hortikultura, dan

sebagainya. Roadmap tersebut kemudian akan dilengkapi dengan penyesuaian

program kerja terbaru dan telah ditandatangani sebagai bentuk komitmen

pelaksanaan program TPID. Roadmap tersebut juga akan dilengkapi rencana tindak

lanjut hasil Rakornas VII TPID.

Adapun pokok pembahasan dalam dalam Rakornas adalah: (i) Pemerintah Daerah

perlu memberi perhatian khusus yang berimbang pada pencapaian pertumbuhan

ekonomi dan pengendalian inflasi; (ii) Pemerintah Daerah perlu segera merealisasikan

APBD guna menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah; (iii) Dalam konteks

pengendalian inflasi, Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah-langkah konkrit

untuk menjaga inflasi ke tingkat yang rendah dan stabil; serta (iv) Koordinasi antar

pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci untuk menghadapi berbagai tantangan

perekonomian domestik maupun global. Cakupan prioritas program pengendalian

inflasi daerah ke depan antara lain:

a. Penguataan kelembagaan TPID di seluruh Kabupaten/Kota.

b. Merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian harga yang

diperlukan dengan alokasi APBD.

c. Berkoordinasi dengan penegak hukum untuk melakukan monitoring

kewajaran stok pangan di gudang-gudang daerah secara berkala.

d. Monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah.

e. Mencermati kondisi distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi faktor-

faktor yang memicu disparitas harga.

z

Implementasi Permendag No. 63/M-Dag/Per Tahun 2016

Dalam upaya pengendalian harga terutama bahan pangan pokok masyarakat,

pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan berupa

Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-Dag/Per Tahun 2016 tentang Penetapan

Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Peraturan yang ditetapkan sejak tanggal 9 September 2016 tersebut memiliki pokok

pembahasan mengenai penetapan harga 7 (tujuh) komoditas baik di tingkat

produsen maupun konsumen. Komoditas yang ditetapkan harga acuannya adalah (i)

beras; (ii) jagung; (iii) kedelai; (iv) gula; (v) bawang merah; (vi) cabai; dan (vii) daging

sapi. Mekanisme stabilisasi

harga tersebut akan

dikelola oleh Bulog

dan/atau BUMN

bekerjasama dengan

BUMD, Koperasi dan/atau

Swasta. Kebijakan tersebut

mengatur mengenai harga

beli di tingkat produsen

dan harga jual di tingkat

konsumen dengan

mempertimbangkan

struktur biaya yang wajar

mencakup antara lain biaya

produksi, biaya distribusi,

keuntungan, dan/atau

biaya lain. Penetapan harga

tersebut ditetapka oleh

Menteri yang akan dikaji

setiap 4 bulan untuk

menilai relevansi dengan

kondisi di lapangan.

Boks

Peraturan tersebut dipandang relevan untuk menjadi solusi bagi fluktuasi harga

bahan pangan pokok yang merugikan baik dari sisi produsen maupun konsumen.

Pola musim tanam yang relatif masih serentak membuat beberapa komoditas

mengalami fluktuasi yang sangat tinggi. Pada periode panen raya, harga bahan

pangan cenderung menurun dikarenakan pasokan melimpah. Hal tersebut

menjadikan disinsentif bagi para petani yang memiliki struktur biaya realtif tetap.

Sementara di saat musim paceklik, keterbatasan pasokan membuat harga jual di

tingkat konsumen meningkat. Dengan penetapan harga pembelian di tingkat

produsen, petani memiliki kepastian harga penjualan sehingga menjaga

keberlangsungan usaha pertanian pangan. Sementara di sisi konsumen penetapan

harga jual memberikan kepastian harga komoditas di pasar. Pengelolaan 3

komoditas (beras, jagung, dan kedelai) akan ditangani oleh Bulog sementara untuk

4 komoditas lain (gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi) dapat dikelola oleh

Bulog dan/atau BUMN bekerjasama dengan BUMD, Koperasi dan/atau pihak swasta.

Implementasi peraturan tersebut di Provinsi Riau dapat menjaga stabilitas harga

terutama untuk komoditas utama agar berada pada tingkat yang wajar. Namun

dalam penerapan di lapangan, masih terdapat beberapa aspek yang perlu mendapat

perhatian:

1. Provinsi Riau belum memiliki BUMD yang mengelola pangan secara

berkelanjutan, sehingga implementasi pengelolaan cadangan pangan dan

stabilisasi harga bergantung terhadap peran Bulog dan BUMN yang memiliki

keterbatasan dalam menjawab tantangan dengan karakteristik spesifik di

masing-masing daerah.

2. Diperlukan upaya peningkatan infrastruktur pendukung dalam pengelolaan

cadangan pangan terutama ketersediaan gudang untuk penyimpanan

komoditas yang bersifat perishable. Kondisi gudang Bulog di Riau secara

desain baru mampu menampung komoditas beras. Upaya penyimpanan

komoditas lain perlu menambah spesifikasi sarana yang memadai.

3. Upaya perlindungan komoditas lokal yang terkendala dengan kualitas yang

belum memadai. Penetapan harga pembelian minimum di tingkat petani

menemui tantangan dikarenakan secara kualitas, produksi lokal memiliki

standar yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan produksi impor.

Sehingga pelaku usaha hilir cenderung memilih komoditas impor

dikarenakan memiliki kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih rendah.

4. Upaya stabilisasi harga terkendala dengan keterbatasan anggaran yang

dimiliki. BUMD yang dibiayai oleh APBD tidak memiliki dukungan anggaran

yang memadai untuk dapat mengelola cadangan pangan dan melakukan

intervensi pasar apabila dilakukan.

5. Perlunya penetapan harga acuan dengan mempertimbangan karakteristik

masing-masing daerah. Perbedaan kondisi infrastruktur dasar dan panjang

rantai nilai belum diakomodir dengan optimal oleh peraturan, sehingga

penetapan harga beli di petani dan harga jual di pedagang akan menemui

kendala untuk diterapkan. Diperlukan kebijakan khusus yang dapat

mengakomodir perbedaan/variasi harga di masing-masing daerah sesuai

karakteristik daerah.

Ilustrasi tantangan dalam penetapan harga beli di tingkat produsen:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

50

1. Kondisi Umum

Perkembangan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi

Riau1 hingga triwulan III 2016 secara umum lebih baik dibandingkan periode yang

sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan III 2016 Anggaran Pendapatan

Daerah telah terealisasi sebesar 64,58% dari total yang dianggarkan, sementara itu

1 APBD Provinsi Riau yang dimaksud dalam bab ini adalah APBD Pemerintah Provinsi Riau.

ASESMEN KEUANGAN

PEMERINTAHAAH

Bab 3

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

51

realisasi Anggaran Belanja Daerah telah mencapai 38,68% dari total yang

dianggarkan.

Grafik 3.1. Realisasi APBD Provinsi Riau Tw III 2015 dan Tw III 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

2. Realisasi APBD Triwulan III 2016

Alokasi APBD Provinsi Riau pada tahun 2016 secara umum mengalami penurunan

dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat

menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,72 triliun pada tahun 2015 menjadi

Rp7,58 triliun pada tahun 2016. Kondisi ini didorong oleh penurunan rata-rata harga

minyak internasional yaitu dari USD 48,68/Barel di tahun 2015 menjadi USD 34,27/

Barel di tahun 2016, yang berdampak terhadap penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi

Riau hingga 65% (yoy) dari Rp2,90 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp1,01 triliun

pada tahun 2016. Di samping faktor harga, penurunan Dana Bagi Hasil juga

disebabkan karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural declining.

Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif meningkat

dibandingkan tahun 2015 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari Rp10,68 triliun pada tahun

2015 menjadi Rp10,97 triliun pada tahun 2016. Peningkatan utamanya berasal dari

anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah Kab/Kota.

5,654,90

3,24

4,24

0

2

4

6

8

10

12

Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi

Tw III 2015 Tw III 2016

Rp. Triliun Pendapatan Daerah Belanja Daerah

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

52

Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Triwulan III 2015 dan Triwulan III 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada triwulan III 2016 khususnya belanja

pemerintah daerah relatif meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun

sebelumnya, sementara realisasi pendapatan daerah mengalami penurunan

meskipun tidak signifikan. Realisasi pendapatan dan belanja pemerintah Provinsi Riau

pada triwulan III 2016 masing-masing mencapai 64,58% dan 38,68% sementara

realisasi pada triwulan yang sama tahun 2015 tercatat sebesar 64,84% dan 30,33%

dari total anggaran. Rendahnya realisasi belanja pemerintah selama dua tahun

terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk

mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja daerah pada tahun 2016.

2.1. Realisasi Pendapatan Realisasi pendapatan daerah Provinsi Riau hingga triwulan III 2016 tercatat sebesar

64,58%, relatif sama dibandingkan realisasi periode yang sama pada tahun

sebelumnya yang tercatat 64,84%. Penurunan realisasi pendapatan didorong oleh

penurunan realisasi kelompok pendapatan asli daerah (PAD).

Grafik 3.2. Realisasi Pendapatan APBD Prov Riau Tw III 2015 dan Tw III 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi %

Pendapatan Daerah 8.721,57 5.655,08 64,84% 7.588,65 4.900,40 64,58%

Belanja Daerah 10.683,97 3.240,22 30,33% 10.972,07 4.243,52 38,68%

Pembiayaan Daerah 1.962,40 3.981,56 202,89% 3.383,43 3.131,90 92,57%

Surplus / (Defisit) -1.962,40 2.019,16 -102,89% -3.383,43 251,53 -7,43%

UraianTriwulan III 2015 Triwulan III 2016

2,11

4,08

0,0060

1

2

3

4

5

Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain PendapatanDaerah Yang Sah

Rp Triliun Realisasi Tw III 2015 Realisasi TW III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

53

Komponen utama yang mendorong penurunan realisasi PAD berasal dari realisasi

pajak daerah yang baru mencapai Rp1,59 triliun atau sebesar 57,54% dari total yang

dianggarkan pada tahun 2016, yaitu sebesar Rp2,76 triliun. Realisasi ini lebih rendah

jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

Rp1,90 triliun atau sebesar 65,27% dari total yang dianggarkan.

Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau

Triwulan III Tahun 2015 dan 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

Sementara itu, pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan hingga triwulan III

2016 tercatat mencapai Rp2,77 triliun atau sebesar 67,95% dari total yang

dianggarkan. Realisasi ini relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada

tahun sebelumnya yang terealisasi sebesar Rp2,37 triliun atau 56,58% dari total yang

dianggarkan. Peningkatan realisasi Dana Perimbangan berasal dari komponen

pendapatan dana alokasi khusus yang pada triwulan III 2016 tercatat realisasi sebesar

Rp 1,02 triliun atau sebesar 70,75% dari yang dianggarkan. Jumlah ini meningkat

dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dimana Dana Alokasi Khusus

hanya terealisasi sebesar Rp 23,76 miliar atau 30% dari yang dianggarkan. Adanya

peningkatan pendapatan dari Dana Alokasi Khusus sejalan dengan beberapa proyek

pemerintah pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai dan

rencana pembangunan jalur lintas kereta api trans-Sumatera. Penurunan

pendapatan daerah yang berasal dari Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

diperkirakan mencapai 65% pada tahun 2016. Kondisi ini terjadi akibat penurunan

Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %

PENDAPATAN DAERAH 8.721,57 5.655,08 64,84 7.588,64 4.900,40 64,58

PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.656,36 2.624,69 71,78 3.495,55 2.117,50 60,58

Pajak Daerah 2.924,92 1.909,07 65,27 2.765,55 1.591,26 57,54

Retribusi Daerah 24,37 14,35 58,87 11,00 9,63 87,55

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 208,54 177,33 85,03 218,00 75,81 34,78

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 498,52 523,94 105,10 501,00 440,80 87,98

DANA PERIMBANGAN 4.196,34 2.374,32 56,58 4.085,27 2.776,05 67,95

Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak 559,67 730,45 130,51 877,34 568,62 64,81

Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam 2.903,25 1.074,93 37,03 1.015,83 630,22 62,04

Pendapatan Dana Alokasi Umum 654,22 545,18 83,33 737,74 548,30 74,32

Pendapatan Dana Alokasi Khusus 79,20 23,76 30,00 1.454,36 1.028,91 70,75

LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 868,88 656,07 75,51 7,82 6,85 87,60

Hibah - - - 2,82 1,85 65,60

Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 868,88 656,07 75,51 5,00 5,00 100,00

Uraian (Miliar Rupiah)Tw III 2015 Tw III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

54

harga minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang disebabkan oleh kondisi

sumur yang semakin tua (natural declining).

2.2. Realisasi Belanja

Realisasi anggaran belanja Provinsi Riau sampai dengan triwulan III-2016 tercatat

sebesar Rp4,24 triliun atau sebesar 38,68% dari total alokasi anggaran. Anggaran

belanja langsung pada tahun 2016 secara umum menurun dibandingkan tahun

2015, khususnya pada komponen belanja barang dan jasa, serta belanja modal.

Belanja barang dan jasa pada tahun 2016 dianggarkan sebanyak Rp2,7 triliun, lebih

rendah dibandingkan tahun 2015 yang dianggarkan sebanyak Rp3,10 triliun.

Sementara itu, belanja modal yang dianggarkan pada tahun 2016 adalah sebesar

Rp2,53 triliun, juga menurun jika dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp2,90

triliun. Penurunan alokasi anggaran diperkirakan akibat penyesuaian terhadap

menurunnya pendapatan di tahun 2016.

Di sisi lain, rencana anggaran kelompok belanja tidak langsung pada tahun 2016

cenderung meningkat dibandingkan tahun 2015, yaitu dari Rp4,40 triliun menjadi

Rp5,38 triliun. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pada belanja hibah,

belanja bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa, belanja

pegawai, serta belanja bantuan keuangan. Kondisi ini diperkirakan karena fokus

pemerintahan di tahun 2016 yang lebih menitikberatkan pada percepatan

pembangunan di pedesaan.

Tabel 3.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw III 2015 dan Tw III 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %

BELANJA DAERAH 10.683,97 3.240,22 30,33 10.972,07 4.243,52 38,68

BELANJA TIDAK LANGSUNG 4.402,19 2.022,84 45,95 5.388,35 2.362,54 43,85

Belanja Pegawai 1.122,75 676,80 60,28 1.202,95 730,13 60,69

Belanja Bunga - - - - -

Belanja Subsidi - - - - - -

Belanja Hibah 1.070,65 679,37 63,45 1.293,61 956,52 73,94

Belanja Bantuan Sosial 7,18 - - 10,00 5,27 52,70

Belanja Bagi Hasil 1.159,15 538,39 46,45 1.283,58 486,26 37,88

Belanja Bantuan Keuangan 1.032,47 128,28 12,42 1.580,21 184,36 11,67

Belanja Tidak Terduga 10,00 - - 18,00 - -

BELANJA LANGSUNG 6.281,78 1.217,38 19,38 5.583,72 1.880,98 33,69

Belanja Pegawai 272,81 113,71 41,68 340,56 174,36 51,20

Belanja Barang dan Jasa 3.107,85 539,56 17,36 2.711,04 908,92 33,53

Belanja Modal 2.901,12 564,11 19,44 2.532,12 797,70 31,50

Uraian (Miliar Rupiah)Triwulan III 2015 Triwulan III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

55

Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada triwulan III 2016 tercatat

sebesar Rp4,24 triliun atau 38,68% dari total belanja sebesar Rp10,97 triliun yang

dianggarkan dalam APBD 2016. Kondisi ini menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan jika dibandingkan dengan realisasi belanja daerah pada triwulan III tahun

2015 yang tercatat sebesar Rp3,24 triliun atau 30,33% dari total belanja sebesar

Rp10,68 triliun pada APBD 2015. Penyerapan anggaran belanja daerah khususnya

belanja langsung mengalami kenaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan

dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada triwulan III 2016 ini realisasi

belanja langsung di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp1,8 triliun atau sebesar 33,69%

dari total anggaran belanja langsung sebesar Rp5,58 triliun. Kondisi ini meningkat

jika dibandingkan dengan realisasi belanja langsung pada triwulan III 2015 yang baru

mencapai 19,38% dari anggaran belanja langsung.

Meningkatnya realisasi belanja langsung pada triwulan III 2016 bersumber dari

realisasi belanja pegawai, belanja barang dan jasa maupun belanja modal yang

tercatat relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Hingga September 2016, realisasi belanja pegawai Provinsi Riau tercatat mencapai

Rp174,36 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015

yang baru mencapai Rp113,71 miliar. Selanjutnya, realisasi belanja barang dan jasa

hingga akhir September 2016 mencapai Rp908,92 miliar, lebih tinggi dibandingkan

realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp539,56

miliar, sementara realisasi belanja modal mencapai Rp797,70 miliar lebih tinggi

dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

Rp564,11 miliar.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

56

Grafik 3.3. Realisasi Belanja Langsung Tw III 2015 dan Tw III 2016

Sumber : BPKAD Provinsi Riau

Meskipun relatif lebih baik dibanding tahun sebelumnya, realisasi belanja pemerintah

Provinsi Riau hingga akhir tahun 2016 masih perlu mendapat perhatian serius.

Adapun kendala dalam realisasi belanja APBD di Provinsi Riau antara lain:

1. Keterlambatan pengesahan APBD Kabupaten/Kota/Provinsi, termasuk

keterlambatan Daerah dalam menetapkan Perda APBD dan terlambatnya

penyusunan dan penetapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD;

2. Belum kuatnya manajemen keuangan daerah, dan masih lemahnya

pemantauan pelaksanaan program/ kegiatan dengan belum diberlakukannya

reward dan punishment bagi SKPD yang tidak dapat memenuhi target

penyerapan;

3. Belum memadainya kemampuan manajemen pelaksanaaan proyek, antara lain

kurangnya koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah, dan

keterbatasan SDM terkait dengan persiapan teknis, penyusunan RAB, dan

desain konstruksi atas pekerjaan fisik.

4. Tingginya pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan pada awal tahun anggaran.

5. Pemerintah Daerah sangat berhati-hati dalam melaksanaan pengadaan barang

dan/atau jasa melalui lelang di daerah, sehingga terkadang proses lelang

174,36

908,92

797,7

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

Belanja Pegawai Belanja Barang danJasa

Belanja Modal

Rp Miliar Realisasi Tw III 2015 Realisasi TW III 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Keuangan Pemerintah

57

mengalami keterlambatan. Proses pengadaan barang dan/atau jasa dapat

terhambat karena:

a. Tidak terdapat tenaga ahli (PPK) yang memadai pada masing-masing

satker, kurangnya personil yang mempunyai sertifikasi pengadaan

barang dan jasa; termasuk Keengganan pegawai untuk ditunjuk

menjadi PPK karena takut terjerat kasus hukum oleh oknum di

kepolisian dan kejaksaan.

b. Belum ditetapkannya pengelola anggaran dan pengelola kegiatan/

pengadaan;

c. Perencanaan pengadaan yang mengalami keterlambatan, meliputi

penetapan jadwal pengadaan, penyusunan dan penetapan dokumen

pengadaan, serta pengumuman pengadaan.

6. Terdapatnya double penganggaran antara pemerintah pusat dan

daerah terhadap kegiatan yang sama sehingga anggaran tidak terserap

dengan maksimal.

7. Kurang baiknya perencanaan anggaran yang berdampak terhadap

adanya revisi anggaran di pertengahan tahun. Hal ini biasanya akan

menyebabkan program dan kegiatan dimana program dan kegiatan

yang belum/tidak direncanakan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan

pada awal tahun anggaran, karena harus menunggu perubahan

anggaran (APBD-P).

Solusi yang ditempuh agar penyerapan APBD di Provinsi Riau lebih maskimal

kedepannya antara lain :

1. Menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang

sinkron dengan rencana pengadaan (procurement plan).

2. Mengurangi pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun

anggaran sehingga kelancaran pelaksanaan anggaran pada tahun

berjalan dapat dilakukan dengan baik.

3. Komitmen dan kesepakatan antara legislatif dan yudikatif terhadap

pentingnya ketepatan waktu dalam penyusunan anggaran.

4. Penyusunan program di daerah berpatokan pada RPJMD dengan

mengacu kepada RPJMN.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

58

1. Kondisi Umum Perbankan

Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 cenderung membaik jika

dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang tercermin dari pertumbuhan Aset dan

penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang membaik, namun demikian

penyaluran Kredit justru mengalami perlambatan. Pada triwulan III-2016 aset

perbankan tercatat mencapai Rp89,19 triliun, membaik dari kontraksi 11,28% (yoy)

pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi sebesar 7,58% (yoy). Sementara, DPK

pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp67,31 triliun, membaik dari kontraksi

6,66% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi sebesar 3,93% (yoy) pada

triwulan III 2016.

Bab 4 STABILITAS KEUANGAN

DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN dan

UMKM

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

59

Berbanding terbalik dengan perkembangan aset dan DPK yang mengalami

perbaikan, penyaluran kredit pada triwulan III-2016 mengalami perlambatan, yaitu

dari tumbuh 7,94% di triwulan II 2016 menjadi 6,26% (yoy) dengan nilai mencapai

Rp59,36 triliun. Di tengah perlambatan pertumbuhan kredit, kualitas kredit yang

disalurkan perbankan di provinsi Riau tercatat mengalami perbaikan. NPL perbankan

di triwulan III-2016 tercatat sebesar 4,13%, sedikit membaik dibandingkan dengan

NPL di triwulan II-2016 yang sebesar 4,14%. Dengan pertumbuhan kredit yang

melambat dan DPK yang membaik, LDR perbankan provinsi Riau mengalami

penurunan dari 89,11% pada triwulan II 2016 menjadi 88,18% pada triwulan III

2016. Hal ini mencerminkan ruang penyaluran kredit masih terbuka serta likuiditas

perbankan yang terjaga.

Tabel 4.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta)

Sumber : Bank Indonesia

2. Perkembangan Bank Umum

2.1. Perkembangan Aset

Pada triwulan III 2016, aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp87,90

triliun, atau mengalami kontraksi 7,78% (yoy). Kondisi tersebut lebih baik jika

dibandingkan triwulan II 2016 yang mengalami kontraksi lebih dalam sebesar

11,48% (yoy). Jika dilihat secara triwulanan aset bank umum mengalami ekspansi

sebesar 0,86% (qtq), melambat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mengalami ekspansi sebesar 3,12% (qtq).

I II III IV I II III Tw I 2016 Tw II 2016 Tw III 2016

Aset (Rp Juta) 91.724.376 99.637.187 96.510.233 82.914.524 85.760.926 88.403.026 89.193.853 (6,50) (11,28) (7,58)

- Bank Umum 90.534.888 98.451.429 95.323.470 81.686.208 84.514.141 87.150.773 87.903.910 (6,65) (11,48) (7,78)

- BPR/S 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785 1.252.252 1.289.943 4,82 5,61 8,69

Kredit (Rp Juta) 53.266.023 54.923.581 55.863.081 57.445.328 57.169.102 59.283.067 59.360.964 7,33 7,94 6,26

- Bank Umum 52.401.716 54.012.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232 58.325.238 58.407.053 7,35 7,98 6,30

- BPR/S 864.307 911.096 916.504 907.081 916.870 957.829 953.911 6,08 5,13 4,08

Kredit UMKM (Rp Juta) 19.809.940 20.212.276 19.894.360 19.884.668 19.905.368 20.633.645 20.495.810 0,48 2,08 3,02

Dana Pihak Ketiga (Rp Juta) 67.372.858 71.278.108 70.070.676 62.927.349 63.483.576 66.527.545 67.314.691 (5,77) (6,66) (3,93)

- Bank Umum 66.525.297 70.420.859 69.189.487 62.050.178 62.588.183 65.616.219 66.367.322 (5,92) (6,82) (4,08)

- BPR/S 847.560 857.250 881.188 877.171 895.392,67 911.325,21 947.368,95 5,64 6,31 7,51

LDR 79,06% 77,06% 79,72% 91,29% 90,05% 89,11% 88,18%

NPL 3,82% 4,33% 4,50% 3,86% 4,23% 4,14% 4,13%

- Bank Umum 3,64% 4,16% 4,34% 3,71% 4,07% 3,98% 3,91%

- BPR/S 14,45% 13,84% 14,39% 12,92% 14,08% 13,76% 14,07%

2015Indikator

2016 (yoy, %)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

60

Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok

Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan kepemilikannya, membaiknya pertumbuhan aset bank umum pada

triwulan laporan terutama bersumber dari aset kelompok bank umum pemerintah

masih mengalami kontraksi 10,94% (yoy), namun lebih baik jika dibandingkan

triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 16,05% (yoy).

Sementara pertumbuhan aset bank swasta mengalami pertumbuhan sebesar 0,89%

(yoy), mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh

sebesar 1,74% (yoy). Pangsa aset bank umum pemerintah masih tetap mendominasi

dengan share 70,82% mengalami peningkatan dibandingkan share pada triwulan

sebelumnya yang sebesar 70,48%.

Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank

Sumber : Bank Indonesia

Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kegiatannya, aset bank umum konvensional

(pangsa 93,44%) pada triwulan III-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar

9,14% (yoy) dengan nilai mencapai Rp82,14 triliun, membaik dibandingkan triwulan

sebelumnya yang terkontraksi 13,05% (yoy) dengan nilai mencapai Rp81,43 triliun.

Namun berbeda dengan kinerja bank umum konvensional yang mengalami

-15-10-5051015202530

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Triliun Aset g - yoy (RHS)

20

40

60

80

100

120

10

20

30

40

50

60

70

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Rp Triliun Pemerintah Swasta Total (RHS)

1

2

3

4

5

6

7

10

30

50

70

90

110

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Rp Triliun Konvensional Total Syariah (RHS)

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

0

20

40

60

80

100

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%) Konvensional Syariah

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

61

perbaikan pertumbuhan aset, bank umum syariah (pangsa 6,56%) mengalami

perlambatan pertumbuhan aset dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III

2016, aset bank umum syariah tumbuh sebesar 12,22% (yoy) dengan nilai mencapai

Rp5,77 miliar, melambat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh

sebesar 19,14% (yoy) dengan nilai Rp 5,72 miliar.

2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)

Penghimpunan DPK oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat

mengalami kontraksi 4,08% (yoy), membaik jika dibandingkan triwulan II 2016 yang

mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 6,82% (yoy). Membaiknya pertumbuhan

DPK pada triwulan III 2016 ditopang oleh Deposito (pangsa 36,00%) yang walaupun

mengalami kontraksi 8,02% (yoy) lebih membaik jika dibandingkan kontraksi pada

triwulan sebelumnya yang sebesar 16,08% (yoy). Sementara itu komponen giro

(pangsa 17,02%) relatif tidak berubah jika dibandingkan triwulan sebelumnya,

dimana pada triwulan III 2016 mengalami kontraksi 23,60% (yoy), sedikit lebih baik

dari triwulan II 2016 mengalami kontraksi sebesar 23,59% (yoy). Di sisi lain Tabungan

(pangsa 46,98%) mengalami perlambatan pertumbuhan dari 11,61% (yoy) di

triwulan II-2016 menjadi 9,68% (yoy) di Triwulan III-2016.

Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan

S Sumber : Bank Indonesia

Membaiknya pertumbuhan deposito ditopang baik deposito milik pemerintah

maupun swasta yang mengalami perbaikan kinerja. Deposito milik pemerintah pada

triwulan III 2016 mengalami kontraksi sebesar 40,52% (yoy), membaik jika

dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi lebih dalam sebesar 59,00%

(yoy). Sementara deposito sektor swasta tumbuh sebesar 17,20% (yoy) membaik jika

dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 52,03% (yoy).

5

10

15

20

25

30

35

10

20

30

40

50

60

70

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

RpTriliun DPK Giro Tabungan Deposito

-40

-20

0

20

40

60

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014 2015 2016

Persen (%)Giro Tabungan Deposito DPK

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

62

Namun demikian membaiknya pertumbuhan DPK tertahan oleh melambatnya

pertumbuhan tabungan di sektor pemerintah yang mengalami kontraksi 7,27% (yoy)

pada triwulan III 2016, menurun dibanding triwulan II 2016 yang mengalami

pertumbuhan 110,93% (yoy). Menurunnya tabungan pemerintah seiring dengan

terkontraksinya tabungan pemerintah pusat sebesar 42,59% di triwulan III 2016,

yang mengindikasikan terjadi penyaluran dana oleh pemerintah ke masyarakat

sebagai upaya untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Sementara itu tabungan di

sektor perorangan justru melambat dari tumbuh 15,93% (yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi tumbuh sebesar 9,11% (yoy) pada triwulan III 2016. Kondisi

tersebut di atas mengindikasikan adanya switching preferensi masyarakat dalam hal

menyimpan uangnya ke produk yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi

terkait kebijakan penurunan tingkat suku bunga.

Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar)

Sumber : Bank Indonesia

2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit

Pada triwulan III-2016, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau

tercatat sebesar Rp58,41 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 6,30% (yoy), melambat

jika dibandingkan triwulan II-2016 yang tumbuh sebesar 7,98%(yoy). Perlambatan

penyaluran kredit menunjukkan masih rendahnya permintaan kredit pada triwulan

laporan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang masih terbatas (mengalami

perlambatan).

I II III IV I II III

Pemerintah 16.103 17.859 16.726 6.254 9.396 8.065 9.421 -43,68

Pemerintah Pusat 291 294 335 360 431 412 440 31,22

Pemerintah Daerah 13.832 15.818 14.341 4.094 7.634 6.467 5.905 -58,82

Badan/ Lembaga Pemerintah 106 102 114 130 165 164 183 59,78

Badan Usaha Milik Negara 1.820 1.602 1.768 1.525 1.038 907 2.789 57,80

Badan Usaha Milik Daerah 53 43 168 144 129 116 103 -38,58

Swasta 8.093 9.256 8.165 9.133 7.734 8.175 8.637 5,78

Perusahaan Asuransi 84 67 80 85 82 69 72 -9,62

Perusahaan Swasta 7.001 8.189 7.051 7.836 6.561 6.949 7.258 2,93

Yayasan dan Badan Sosial 793 783 820 922 848 887 996 21,52

Koperasi 214 218 214 290 242 269 311 45,16

Lainnya 3 3 3 2 3 3 2 -20,63

Perorangan 42.326 43.302 44.295 46.661 45.455 49.374 48.307 9,06

2016g - yoyRpMiliar

2015

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

63

Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan

S Sumber : Bank Indonesia

Melambatnya penyaluran kredit pada triwulan III-2016 terjadi pada penyaluran kredit

pada sektor pemerintah yang tumbuh sebesar 12,19% (yoy) melambat jika

dibandingkan triwulan II-2016 yang tumbuh 14,40 (yoy). Sementara itu penyaluran

kredit di sektor swasta mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 5,67% (yoy)

dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi 4,43% (yoy). Jika

dilihat penyaluran kredit berdasarkan jenis penggunaanya, kredit investasi (pangsa

29,34%) mengalami kontraksi sebesar 1,69% (yoy) dengan nilai Rp 17,13 triliun,

menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mampu tumbuh 2,60% (yoy)

dengan nilai Rp17,57 triliun. Sementara kredit modal kerja (pangsa 31,86%)

mengalami perlambatan jika dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari tumbuh

11,01% (yoy) di triwulan II 2016, melambat menjadi 10,77% (yoy) di triwulan III

2016 dengan nilai Rp 18,61 triliun. Kondisi yang sama juga terjadi pada kredit

konsumsi (pangsa 38,80%) yang tumbuh dari 10,05% (yoy) di triwulan II-2016

menjadi 9,39% (yoy) di triwulan III-2016 dengan nilai Rp22,66 triliun. Berdasarkan

kondisi tersebut, maka penyaluran kredit produktif di triwulan III-2016 mencapai

Rp35,75 triliun atau tumbuh melambat sebesar 4,43% (yoy). Dibandingkan triwulan

II 2016 yang tumbuh sebesar 7,98% (yoy).

0

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Rp TriliunModal kerja Investasi Konsumsi Produktif Total

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

35

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%) Modal kerja InvestasiKonsumsi ProduktifTotal

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

64

Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta

S Sumber : Bank Indonesia

Sementara itu perlambatan kredit juga terjadi pada penyaluran kredit berdasarkan

valuta. Penyaluran kredit valas mencapai Rp742,09 miliar mengalami kontraksi

sebesar 37,50% (yoy), lebih dalam jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mengalami kontraksi sebesar 28,15% (yoy). Hal ini diikuti oleh penyaluran kredit

dalam mata uang Rupiah yang mengalami perlambatan. Kredit Rupiah mencapai

Rp57,66 triliun, tumbuh 7,27% (yoy) melambat jika dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 8,78% (yoy).

3. Intermediasi dan Risiko Perbankan

Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 mengalami

penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika

dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya fungsi

intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 88,01%,

lebih rendah dibandingkan LDR pada triwulan II-2016 yang tercatat 88,89%. Namun

demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko

likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan

dalam penyaluran kredit.

0

1

2

3

0

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

RptriliunPemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan)

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

-10

-5

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Persen (%)Pemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

65

Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

NPL kredit bank umum pada periode laporan menunjukkan penurunan dibandingkan

triwulan sebelumnya yaitu dari 3,98% menjadi 3,91%. Tingkat NPL kredit bank

umum yang menurun menunjukkan trend perbaikan kualitas kredit yang disalurkan

bank umum di Provinsi Riau dalam kurun 3 bulan terakhir. Dengan demikian kualitas

kredit di Provinsi Riau masih berada di bawah batas kewajaran yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia (5%) namun perlu menjadi perhatian oleh perbankan, mengingat

kecenderungan NPL dapat meningkat di triwulan berikutnya.

Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan II-2016

S Sumber : Bank Indonesia

74

76

78

80

82

84

86

88

90

92

94

10

20

30

40

50

60

70

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp TriliunDPK Kredit LDR (kanan)

1

2

3

4

5

-

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)RpTriliun

Kurang lancar Diragukan Macet Diragukan -60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

Pe

rtan

ian

Pe

rtam

ban

gan

Pe

rin

du

stri

an

List

rik,

gas

dan

air

Ko

nst

ruks

i

Pe

rdag

, re

sto

..

Pe

nga

ngk

uta

n, p

e..

Jasa

Lain

nya

26,22

-27,94

96,25

71,45

-23,71

-3,92

14,61

-48,38

-1,15

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

66

Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-2016

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-2016

S Sumber : Bank Indonesia

Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor

pengangkutan dan pergudangan yaitu sebesar 10,77%, meningkat dibandingkan

triwulan II 2016 yang sebesar 4,61%. Beberapa sektor lain yang memilki NPL cukup

tinggi pada periode laporan ini adalah sektor konstruksi sebesar 6,67% dan sektor

perdagangan yaitu 6,25%. Namun demikian pada kedua sektor tersebut angka NPL

juga tercatat menunjukkan penurunan jika dibandingkan triwulan sebelumnya.

4. Stabilitas Sistem Keuangan

4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah

Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan III 2016 masih didominasi oleh

sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 22,76%

dan 21,60% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp13,29 triliun dan Rp12,62

triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari tingginya

porsi kedua sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.

Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor

perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 93,20%dari total kredit sektor pertanian

atau sebesar Rp12,39 triliun. Sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh

subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau dengan pangsa

18,67% dari total kredit sektor perdagangan atau sebesar Rp2,36 triliun.

Pada triwulan III 2016 penyaluran kredit kepada sektor pertanian menurun yaitu

tercatat tumbuh 9,48% (yoy), melambat dibandingkan triwulan II 2016 yang tumbuh

21,95

0,21

2,88

0,08 5,79

34,01

6,19

6,44

22,45

Pertanian

Pertambangan

Perindustrian

Listrik, gas dan air

Konstruksi

Perdagangan, resto dan hotel

Pengangkutan, pergudangan

Jasa

Lainnya

0

2

4

6

8

10

12

Pe

rtan

ian

Pe

rtam

ban

gan

Pe

rin

du

stri

an

List

rik,

gas

dan

..

Ko

nst

ruks

i

Pe

rdag

anga

n, r

es.

.

Pe

nga

ngk

uta

n, p

er.

.

Jasa

Lain

nya

3,83

1,29

2,80

0,92

6,67 6,25

10,77

4,25

2,30

Persen (%)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

67

sebesar 13,11% (yoy), begitu pula dengan penyaluran kredit di sektor perdagangan

yang juga melambat dari tumbuh sebesar 11,28% (yoy) di triwulan II 2016, menjadi

tumbuh 9,88% (yoy) di triwulan III 2016.

Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)

Sumber : Bank Indonesia

Menurunnya penyaluran kredit sektor pertanian utamanya didorong oleh

penurunan subsektor perkebunan kelapa sawit yang pada triwulan III 2016

tumbuh sebesar 11,27% (yoy) melambat dibanding triwulan sebelumnya yang

tumbuh sebesar 15,51% (yoy). Hal ini ditengarai akibat masih rendahnya harga

komoditas kelapa sawit dan turunannya sehingga perbankan melihat adanya

peningkatan faktor risiko dalam penyaluran kredit yang menyebabkan

perbankan lebih berhati-hati di dalam penyaluran kredit ke subsektor ini.

Sementara itu menurunnya penyaluran kredit sektor perdagangan utamanya

didorong oleh melambatnya penyaluran kredit pada sub sektor hotel berbintang

dimana pada triwulan II 2016 tumbuh sebesar 47,18% (yoy) melambat dibanding

triwulan III 2016 yang tumbuh 34,62% (yoy).

Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016

S Sumber : Bank Indonesia

I II III IV I II III

Pertanian 11,45 11,87 12,14 12,62 12,54 13,43 13,29 22,76 9,48

Pertambangan 0,39 0,50 0,42 0,45 0,36 0,40 0,38 0,66 (8,60)

Perindustrian 2,14 2,26 2,28 2,31 2,43 2,52 2,38 4,08 4,46

Listrik, gas dan air 0,11 0,10 0,11 0,22 0,21 0,20 0,19 0,32 77,40

Konstruksi 1,76 1,88 2,14 1,90 1,73 1,85 2,01 3,45 (6,01)

Perdag, resto dan hotel 11,20 11,47 11,48 12,04 12,18 12,76 12,62 21,60 9,88

Pengangkutan, pergud 1,62 1,57 1,55 1,51 1,46 1,38 1,33 2,28 (13,70)

Jasa 4,08 4,24 4,08 4,05 3,76 3,64 3,51 6,02 (13,96)

Lainnya 19,65 20,11 20,74 21,43 21,58 22,15 22,68 38,82 9,34

Total 52,40 54,01 54,95 56,54 56,25 58,33 58,41 100,00 6,30

g (yoy)2016

PangsaRpTriliun2015

11,27

3,97

6,52

13,95

0,03

34,62

-30,00 -20,00 -10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00

Perkebunan kelapa sawit

Perkebunan karet dan getah lainnya

Perdagangan eceran didominasimakanan

Perdagangan kelapa dan kelapa sawit

Perdagangan eceran komoditi lainnya

Perdagangan eceran bahankonstruksi

Hotel bintangPersen (%)

93,20

2,45

18,67

5,27

5,57

5,00

0,00 50,00 100,00

Perkebunan kelapa sawit

Perkebunan karet dan getah lainnya

Perdagangan eceran didominasi makanan

Perdagangan kelapa dan kelapa sawit

Perdagangan eceran komoditi lainnya

Perdagangan eceran bahan konstruksiPersen (%)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

68

Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)

Sejalan dengan kredit berdasarkan lokasi bank, jumlah penyaluran kredit

berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau pada triwulan III 2016 tercatat sebesar

Rp85,06 triliun atau tumbuh sebesar 9,94% (yoy) menurun jika dibandingkan

triwulan II 2016 yang tercatat sebesar Rp85,76 triliun atau tumbuh sebesar 13,33%

(yoy). Penyaluran kredit masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan

yang memiliki pangsa masing-masing 30,32% dan 17,58% dengan nilai kredit

masing-masing sebesar Rp25,79 triliun dan Rp14,96 triliun.

Secara sektoral NPL sektor pertanian pada triwulan III 2016 berada pada level 3,83%

membaik jika dibandingkan triwulan II 2016 yang sebesar 4,25%, sementara NPL di

sektor perdagangan pada triwulan III 2016 berada pada level 6,25% membaik jika

dibandingkan triwulan II 2016 yang sebesar 6,52%. Namun demikian level tersebut

telah berada diatas treshold yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%, sehingga

penyaluran kredit secara ekspansif di sektor perdagangan diharapkan harus dengan

tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.

Berdasarkan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia, optimisme masyarakat terhadap

ketersediaan lapangan kerja berada pada level 81,25 (di bawah 100) hal ini sebagai

dampak belum pulihnya kondisi keuangan korporasi atas pelemahan harga

komoditas yang terjadi sehingga sebagian besar korporasi masih melakukan efisiensi

termasuk dalm hal penyediaan tenaga kerja. Namun demikian Indeks Penghasilan

Konsumen menunjukkan peningkatan dari 101,50 pada triwulan II 2016 menjadi

121,75 pada triwulan III 2016. Hal ini menunjukkan ekspektasi masyarakat terhadap

kondisi perekonomian Provinsi Riau dalam enam bulan mendatang lebih baik.

I II III IV I II III

Pertanian 19,34 19,83 20,24 24,91 24,43 25,25 25,79 30,32% 27,42

Pertambangan dan Penggalian 1,18 1,21 1,11 1,08 0,92 0,95 0,94 1,10% -15,38

Industri Pengolahan 9,03 8,72 9,23 8,98 8,31 8,44 7,14 8,39% -22,62

Listrik, Gas dan Air 0,45 0,45 0,48 1,76 1,65 1,75 1,39 1,64% 187,71

Konstruksi 1,95 2,23 2,46 2,29 2,17 2,35 2,32 2,72% -5,81

Perdagangan 12,04 12,50 12,59 14,36 14,59 14,96 14,96 17,58% 18,81

Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 1,93 1,89 1,96 1,94 1,85 1,89 1,73 2,04% -11,69

Jasa 4,53 4,67 4,37 4,77 4,61 4,48 4,53 5,32% 3,56

Lainnya 23,60 24,17 24,93 25,13 25,28 25,69 26,26 30,87% 5,35

TOTAL KREDIT 74,05 75,67 77,37 85,22 83,82 85,76 85,06 100,00% 9,94

2016g (yoy)Sektor Ekonomi (Rp Triliun)

2015Pangsa

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

69

Grafik 4.18. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia

4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah

Pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 mengalami

perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan II 2016, dimana pada triwulan ini

kredit konsumsi tercatat tumbuh sebesar 9,39% (yoy) melambat jika dibandingkan

triwulan sebelumnya yang tumbuh 10,05% (yoy).

Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.20. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor

S Sumber : Bank Indonesia

Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke

sektor kendaraan bermotor, kredit multi guna dan kredit durable goods. Kredit

kendaraan bermotor pada triwulan III-2016 tercatat sebesar Rp343,84 miliar,

mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan sebelumnya yakni

dari kontraksi 15,66% menjadi 17,41% (yoy). Melambatnya pertumbuhan di sektor

kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya kredit kendaraan roda empat

121,75

81,25

0

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Indeks Kegiatan Usaha Indeks Penghasilan Konsumen

Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 100

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Triliun Perumahan g yoy (kanan)

-25

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

0

100

200

300

400

500

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp. MiliarKendaraan g yoy (kanan)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

70

(pangsa 89,41%) yang mengalami kontraksi lebih dalam dari kontraksi triwulan

sebelumnya yaitu 16,83% menjadi 18,61% (yoy). Sementara kredit kendaraan roda

dua (pangsa 8,06%) tercatat sebesar Rp27,70 miliar tercatat atau melambat dari

15,05% di triwulan II 2016 menjadi 5,75% (yoy) di triwulan III 2016. Perlambatan

kredit juga terjadi pada sektor kredit durable goods yang mengalami perlambatan

dari 253,61% (yoy) di triwulan II-2016 menjadi 138,76% (yoy) di triwulan III-2016

dengan nilai mencapai Rp77,83 miliar. Melambatnya kredit durable goods diikuti

oleh kredit multiguna yang mengalami kontraksi sebesar 1,25% (yoy), lebih rendah

dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 11,26% (yoy) dengan nilai Rp12,14

triliun. Melambatnya penyaluran kredit kendaraan bermotor di atas sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian yang juga mengalami penurunan.

Namun demikian perlambatan kredit konsumsi lebih dalam tertahan oleh Kredit

Perumahan yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan

III-2016, kredit perumahan tercatat sebesar Rp8,16 triliun atau tumbuh sebesar

9,02% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang tercatat tumbuh

Rp8,02 triliun atau tumbuh 7,73% (yoy). Membaiknya penyaluran kredit di sektor

perumahan bersumber dari meningkatnya kredit rumah tangga kepemilikan rumah

tinggal tipe 22 s.d 70 (pangsa 56,36%) yang pada triwulan II 2016 tercatat tumbuh

sebesar 23,52% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang hanya 18,46% (yoy).

Membaiknya penyaluran kredit di sektor perumahan seiring dengan pelonggaran

kebijakan LTV yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan properti,

dimana pada triwulan III 2016 jumlah uang muka (down payment) yang harus

dibayarkan oleh nasabah untuk pembelian rumah turun menjadi rata-rata 15% dari

semula 20% sesuai dengan tipe dan jenis rumah yang diambil. Kebijakan tersebut di

satu sisi diharapkan dapat memperkuat permintaan domestik untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

71

Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods

S Sumber : Bank Indonesia

Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau sejalan dengan hasil

Survei Konsumen Bank Indonesia dimana Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks

Kondisi Ekonomi Saat ini masing-masing berada pada level 97,08 dan 89,75

(dibawah 100), namun demikian masyarakat memandang bahwa pada triwulan

mendatang kinerja perekonomian akan terakselerasi, hal ini terlihat dari Indeks

Ekspektasi Konsumen yang mengalami peningkatan dari 101,66 pada triwulan II

2016 menjadi 104,42 di triwulan III 2016.

Grafik 4.23. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia

4.3. Ketahanan Sektor UMKM

Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) oleh

bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,50 triliun pada triwulan III 2016 atau

tumbuh sebesar 3,02% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya

yang tumbuh 2,08% (yoy). Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang

-10

0

10

20

30

40

50

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp. TriliunMultiguna g yoy (kanan)

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar

Durable Goods g yoy (kanan)

97,08

89,75

104,42

0

30

60

90

120

150

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

IKK IKE IEK Garis 100

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

72

diberikan bank umum di Provinsi Riau mengalami penurunan dibandingkan triwulan

sebelumnya yaitu dari 35,38% menjadi 35,09%. Penyaluran kredit skala usaha mikro

(pangsa 29,67%) memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan III 2016 yaitu

mampu tumbuh sebesar 11,27% (yoy). Kredit skala usaha menengah (pangsa

31,29%) juga mengalami perbaikan walaupun masih tercatat kontraksi 3,66% (yoy)

namun masih lebih baik jika dibandingkan kontraksi pada triwulan II 2016 yang

sebesar 6,32% (yoy). Di sisi lain pertumbuhan kredit skala usaha kecil (pangsa

terbesar 39,03%) pada triwulan II 2016 mengalami perlambatan dari 3,71% (yoy)

pada triwulan II 2016 menjadi tumbuh 2,95% (yoy) pada triwulan III 2016.

Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha

S Sumber : Bank Indonesia

Jika dilihat porsinya, kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil sebesar

Rp8,00 triliun (pangsa 39,03%), kemudian diikuti oleh kredit usaha menengah

(pangsa 31,29%) dan kredit usaha mikro (pangsa 29,67%) masing-masing sebesar

Rp6,41 triliun dan Rp6,08 triliun.

Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau TwIV-2015 Menurut Sektor Ekonomi (RpMiliar)

Sumber : Bank Indonesia

-5

0

5

10

15

20

25

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Triliun Kredit UMKM g - yoy

Mikro30%

Kecil39%

Menengah31%

I II III IV I II

Pertanian 6.658 6.956 6.952 6.772 6.693 6.896 33,42 -0,85

Pertambangan 158 186 150 161 92 95 0,46 -48,94

Perindustrian 466 391 390 432 415 452 2,19 15,62

Listrik, gas dan air 107 99 105 38 89 176 0,85 78,32

Konstruksi 1.060 1.060 1.023 1.046 1.078 1.184 5,74 11,66

Perdagangan 8.456 8.634 8.563 8.831 9.056 9.400 45,55 8,87

Pengangkutan 719 708 662 640 580 565 2,74 -20,14

Jasa 2.166 2.168 2.041 1.945 1.888 1.825 8,84 -15,82

Lainnya 21 12 9 20 17 41 0,20 254,25

Total 19.810 20.212 19.894 19.885 19.905 20.634 100 2,08

2016Pangsa g (yoy)RpMiliar

2015

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

73

Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di

Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan (pangsa 45,68%) dan

pertanian (pangsa 32,66%). Pada triwulan III-2016, kredit UMKM yang disalurkan ke

sektor perdagangan mencapai Rp9,36 triliun atau tumbuh sebesar 9,34% (yoy), lebih

tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 8,87% (yoy). Sementara itu,

kredit UMKM yang disalurkan ke sektor pertanian mencapai Rp6,69 triliun

mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 3,72% (yoy) menurun dibandingkan

triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,85% (yoy).

Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan II-2016 (%)

S Sumber : Bank Indonesia

NPL UMKM pada triwulan III-2016 tercatat mengalami penurunan dibandingkan

triwulan II-2016 yaitu dari 7,69% menjadi 7,29%. Penurunan NPL didorong oleh

membaiknya NPL sektor pertanian yang tercatat sebesar 6,59% dibandingkan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,30%. Selain itu NPL pada sektor

perdagangan juga mengalami perbaikan dari 8,21% pada triwulan II 2016 menjadi

7,95% pada triwulan III 2016. Walaupun terjadi penurunan level NPL kredit UMKM,

namun angka NPL tersebut telah jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia yaitu sebesar 5%, sehingga prinsip kehati-hatian perlu ditingkatkan.

5. Perkembangan Perbankan Syariah

Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat menurun

dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari melambatnya

pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan II-2016. Aset

perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,80 triliun, tumbuh 17,23% (yoy) atau

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp TriliunKredit UMKM NPL

6,59

4,72

5,40

1,02

6,79

7,95

9,21

7,30

7,97

Pertanian

Pertambangan

Perindustrian

Listrik, gas dan air

Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

Jasa

LainnyaPersen (%)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

74

melambat jika dibandingkan triwulan II-2016 yang tumbuh sebesar 19,12% (yoy).

Sementara itu, dana yang dihimpun oleh perbankan syariah tercatat sebesar Rp4,25

triliun atau tumbuh 10,41% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya

yang tumbuh 13,79% (yoy). Perlambatan DPK perbankan syariah didorong oleh

perlambatan jenis simpanan deposito (pangsa 36,16%) dan tabungan (pangsa

51,12%) dibandingkan triwulan II-2016. Deposito tumbuh melambat dari 25,87%

menjadi 9,87% (yoy), begitu halnya Tabungan tumbuh melambat dari 8,49%

menjadi 8,24% (yoy). Sementara Giro (pangsa 12,72%) tumbuh dari 4,11% (yoy)

pada triwulan II 2016 menjadi 21,96% (yoy) pada triwulan laporan.

Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan

S Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Penggunaan

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral

S Sumber : Bank Indonesia

Sementara itu sisi pembiayaan perbankan syariah pada triwulan III-2016 tercatat

sebesar Rp4,14 triliun meningkat dari tumbuh 17,88% di triwulan II 2016 menjadi

20,86% (yoy). Meningkatnya pembiayaan perbankan syariah didorong oleh

peningkatan pembiayaan konsumsi (pangsa 49,25%) dan investasi (pangsa

32,71%). Pembiayaan konsumsi meningkat dari 16,61% pada triwulan II 2016

menjadi 19,68% (yoy) pada triwulan III 2016, sementara pembiayaan investasi

-20

-10

0

10

20

30

40

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)

Rp Triliun Aset g yoy (kanan)

- 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Rp MiliarGiro Tabungan Deposito Total

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Rp Miliar Modal Kerja Investasi

Konsumsi Total

606

54

22

23

220

657

110

396

2.040

Pertanian

Pertambangan

Perindustrian

Listrik, gas dan air

Konstruksi

Perdag, resto dan hotel

Pengangkutan, pergud

Jasa

Lainnya

Rp Miliar

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

75

mengalami perbaikan yang pada triwulan II 2016 tumbuh sebesar 33,81%, pada

triwulan III 2016 tumbuh menjadi 39,82% (yoy).

Secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi pada sektor

perdagangan (pangsa 15,91%) dan pertanian (pangsa 14,69%). Pembiayaan sektor

pertanian dan perdagangan pada triwulan III-2016 masing-masing tercatat sebesar

Rp606 miliar dan Rp657 miliar. Pembiayaan sektor pertanian meningkat dari tumbuh

sebesar 20,16% menjadi 44,67% (yoy), sementara pembiayaan sektor perdagangan

melambat dari 67,88% menjadi 48,59% (yoy).

Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah

S Sumber : Bank Indonesia

Selanjutnya, kualitas pembiayaan oleh perbankan syariah pada triwulan laporan

tercatat memburuk, hal ini tercermin dari meningkatnya NPF yaitu dari 4,96% di

triwulan II-2016 menjadi 4,99% di triwulan III-2016. Tingkat NPF perbankan syariah

tersebut hampir menyentuh threshold Bank Indonesia sebesar 5%, sehingga

perbankan syariah perlu meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran

pembiayaan. Seiring dengan menurunnya kualitas pembiayaan, FDR perbankan

syariah menurun dari 101,87% pada triwulan II 2016 menjadi 96,92% yang

menunjukkan bahwa risiko likuiditas berada pada kondisi yang masih terjaga.

6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)

Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebesar Rp1,29 triliun,

tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan II-2016 yaitu dari 5,61% (yoy)

menjadi 8,69% (yoy) pada triwulan III-2016. Sementara itu, DPK BPR/S pada triwulan

II-2016 tercatat sebesar Rp947 miliar, tumbuh 7,51% (yoy) membaik dibandingkan

0

1

2

3

4

5

6

7

0

50

100

150

200

250

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp MiliarNominal NPF Kanan

75

80

85

90

95

100

105

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

DPK Pembiayaan FDR (Kanan)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

76

dengan triwulan II-2016 yang tumbuh sebesar 6,31% (yoy). Membaiknya

pertumbuhan DPK BPR/S didorong oleh membaiknya pertumbuhan tabungan

(pangsa 37,91%) yang pada triwulan II 2016 mengalami kontraksi sebesar 3,48%

(yoy) pada triwulan III 2016 tumbuh sebesar 1,54% (yoy). Namun demikian

membaiknya pertumbuhan DPK tertahan oleh melambatnya pertumbuhan deposito

(pangsa 62,08%) yang pada triwulan II 2016 tumbuh 13,04% (yoy), melambat

dibandingkan triwulan III 2016 yang tumbuh sebesar 11,52% (yoy).

Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S

S Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral

S Sumber : Bank Indonesia

Perlambatan juga terjadi dari sisi penyaluran kredit, pada triwulan III-2016 kredit yang

disalurkan oleh BPR/S tercatat sebesar Rp954 miliar atau tumbuh 4,08% (yoy) atau

melambat dibandingkan triwulan II-2016 yang tumbuh mencapai 5,13% (yoy).

Melambatnya penyaluran kredit utamanya bersumber dari perlambatan sektor

perdagangan (pangsa 24,76%) dari 7,79% (yoy) di triwulan II-2016 menjadi tumbuh

sebesar 7,03% (yoy). Sementara itu penyaluran ke sektor pertanian (pangsa 27,53%)

mengalami kontraksi lebih dalam dimana pada triwulan II 2016 terkontraksi sebesar

1,44% (yoy) menjadi terkontraksi 2,36% (yoy) pada triwulan III 2016.

012345678910

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar Aset g yoy (kanan)

-

200

400

600

800

1.000

-

100

200

300

400

500

600

700

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Tabungan Deposito DPK (Kanan)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

-

200

400

600

800

1.000

1.200

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp MiliarKredit g yoy (kanan)

-

50

100

150

200

250

300

350

400

Pe

rta

nia

n

Pe

rta

mb

an

ga

n

Pe

rin

du

stri

an

List

rik

, g

as

da

n a

ir

Ko

nst

ruk

si

Pe

rda

ga

ng

an

Pe

ng

an

gk

uta

n

Jasa

Lain

nya

263

1 7 3 14

236

23 38

368 Rp Miliar

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

77

Selain itu kualitas kredit yang disalurkan oleh BPR/S pada triwulan III 2016 tercatat

memburuk yakni sebesar 14,07%, lebih buruk dibandingkan dengan triwulan II-

2016 dimana NPL tercatat pada level 13,76%. Sementara itu, risiko likuiditas BPR/S

juga perlu menjadi perhatian dimana angka LDR BPR/S pada triwulan III-2016

mencapai 100,69% menurunkan dibandingkan triwulan II 2016 yang sebesar

105,10%.

Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S

Sumber : Bank Indonesia

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

-

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2013 2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar Nominal NPL (kanan)

Boks 7 Days Repo Rate

Pada tanggal 15 April 2016 yang lalu, Bank Indonesia mengumumkan formula baru suku bunga acuan

perbankan, yaitu BI 7-day (Reverse) Repo1 Rate. Kebijakan ini berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016.

Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai instrumen transmisi kebijakan moneter.

Rapat Dewan Gubernur yang dilakukan setiap bulan. BI Rate merupakan suku bunga kebijakan yang

mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia dan

diumumkan kepada publik. BI Rate diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank

Indonesia melalui liquidity management di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan

moneter. Sasaran operasional tersebut ditercerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang

Antar Bank2 Overnight (PUAB O/B). Penggerakan suku bunga pada pasar uang tersebut diharapkan

akan diikuti oleh perkembangan suku bunga deposito, dan pada gilirannya mempengaruhi suku

bunga kredit yang disalurkan oleh perbankan. Kemudian, suku bunga perbankan akan mempengaruhi

aggregate demand dan output gap, yang pada akhirnya berdampak pada inflasi.

Lalu, apa itu BI 7-Day Repo Rate ? BI 7-Day Repo Rate merupakan suku bunga transaksi pembelian

surat berharga surat berharga besyarat oleh perbankan kepada BI dengan jangka waktu tujuh hari,

dengan kewajiban penjualan kembali (bisa disebut dengan transaksi Repo). Instrumen BI 7-Day Repo

Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubunga yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya

transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan.

Aspek BI Rate BI 7 Days Repo Rate Term Structure Operasi Moneter

Ekuivalen 9 12 bulan 7 hari

Sifat Non Transaksional Transaksional (dengan Bank Sentral)

Transmisi Belum tercermin optimal pada suku bunga pasar uang.

Hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang.

Pendalaman Pasar Cost of being illiquid terlalu tinggi, kurang mendorong pendalaman pasar.

Cost of being illiquid lebih rendah, lebih mendorong pendalaman pasar.

Penguatan kerangka operasi moneter tersebut memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat

sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga (Reverse) Repo Rate 7 hari sebagai acuan utama di pasar

keuangan. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada

pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga, mendorong pendalaman

pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antarbank

(PUAB) untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.

1 REPO adalah transaksi penjualan instrumen efek antara dua belah pihak dengan perjanjian dimana pada tanggal yang telah ditentukan akan dilaksanakan pembelian kembali atas efek yang sama dengan harga tertentu. 2 PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana jangka pendek (dalam satuan malam) antar bank yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronis.

Boks

Untuk menjaga keefektifan kebijakan ini, Bank Indonesia akan menjaga koridor suku bunga yang

simetris dan lebih sempit, yaitu batas bawah koridor (deposit facility rate/DF rate) dan batas atas

koridor (lending facility rate/LF rate) berada masing-masing 75 bps di bawah dan di atas BI 7-day

(Reverse) Repo Rate.

Dalam menjalankan operasi moneter tersebut, Bank Indonesia juga akan menempuh langkah-langkah

percepatan pendalaman pasar uang. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain mencakup: (1)

memperkuat peran suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR)3 bagi terbentuknya struktur

suku bunga di pasar uang untuk tenor dari overnight sampai dengan 12 bulan; (2) mempercepat

transaksi Repo dengan mendorong bank-bank berpartisipasi ke dalam General Master Repo

Agreement (GMRA); (iii) mengurangi segmentasi dan meningkatkan kapasitas transaksi pasar dengan

mendorong perbankan untuk lebih membuka akses counterparty.

Gambar 1. Latar Belakang Penggunaan 7 Days Repo Rate.

3 JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk meminjamkan rupiah pada tenor tertentu di Indonesia.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

78

1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai

Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan III 2016

tercatat mengalami net outlow, sejalan dengan kondisi yang terjadi pada triwulan

yang sama pada tahun sebelumnya. Secara umum pada triwulan III 2016 terjadi

peningkatan inflow jika dibandingkan dengan triwulan II 2016, sementara outflow

pada triwulan III 2016 tercatat mengalami penurunan setelah pada triwulan II 2016

tercatat outflow sebesar Rp Rp6,96 triliun yang merupakan outflow tertinggi dalam

5 tahun terakhir akibat seasonal factor bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri serta

musim liburan sekolah. Namun demikian, secara keseluruhan jumlah outflow yang

Bab 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN

SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG

RUPIAH

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

79

lebih tinggi dibandingkan jumlah inflow telah menyebabkan terjadinya net outflow

di triwulan III 2016 di Provinsi Riau. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring

mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun volume.

2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai

2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)

Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau dapat terlihat dari pergerakan

arus uang masuk (inflow) dan arus uang keluar (outflow). Pada triwulan laporan,

terjadi penurunan sisi outflow dari Rp6,96 triliun pada triwulan II 2016 menjadi

Rp3,19 triliun pada triwulan III 2016, atau menurun dibanding triwulan sebelumnya

sebesar 54,17% (qtq). Sementara itu jumlah inflow pada triwulan III 2016 mengalami

peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu Rp1,29 triliun menjadi

Rp3,01 triliun atau meningkat 133,01% (qtq). Peningkatan jumlah inflow pada

triwulan III 2016 didorong oleh tingginya inflow pada bulan Juli 2016 yang

merupakan arus balik masuknya kembali uang kartal ke sistem perbankan setelah

mengalami net outflow yang tinggi pada triwulan II 2016 yang merupakan net

outflow tertinggi dalam 5 tahun terakhir dikarenakan tingginya aktifitas ekonomi

masyarakat seiring dengan kebutuhan pada saat bulan puasa, hari raya idul fitri dan

persiapan memasuki tahun ajaran baru. Namun secara keseluruhan jumlah outflow

yang lebih tinggi dibandingkan jumlah inflow telah menyebabkan terjadinya net

outflow pada triwulan III 2016 di Provinsi Riau sebesar Rp 0,18 triliun.

Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Triwulan III-2016

S Sumber : Bank Indonesia

1,80

0,18

(1,00)

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

(8,00)

(6,00)

(4,00)

(2,00)

-

2,00

4,00

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Rp. TriliunInflow Outflow Net Outflow

3,01

3,19

0,18

-4,00

-3,00

-2,00

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

Inflow Outflow NetOutflow

Rp. Triliun

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

80

2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar

Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar

(fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan Bank

Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar

(UTLE) yang diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat.

Untuk meningkatkan kualitas uang beredar di masyarakat, KPw BI Provinsi Riau

melakukan kerjasama dengan 48 Bank Umum di Provinsi Riau untuk melayani

masyarakat dalam hal penukaran uang lusuh. Selain itu Kantor Perwakilan Bank

Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas keliling wholesale untuk

perbankan dan kas keliling retail untuk melayani masyarakat umum. Kegiatan kas

keliling wholesale selama periode triwulan III 2016 dilakukan di Pasir Pangaraian,

Rengat, Dumai dan Pulau Rupat, Tembilahan, Bengkalis dan Air Molek, Sementara

itu kegiatan kas keliling retail untuk kepentingan masyarakat umum dilakukan setiap

1 kali dalam seminggu.

Upaya lain yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau untuk

memenuhi uang layak beredar di Provinsi Riau adalah dengan membuka kas titipan.

Kas titipan yang sudah beroperasi normal berada di kota Dumai dengan plafon

sebesar Rp50 miliar, dan rencananya akan ditingkatkan menjadi Rp100 miliar agar

uang layak edar dapat didistribusikan sampai ke pelosok pelosok daerah, Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga berencana menambah jumlah kas

titipan saat ini telah dilakukan survei dan pembuatan kajian eligibilitas pembukaan

kas titipan di 5 Kabupaten di Riau, dan telah dilakukan sosialisasi di Rengat (Kab.

Indragiri Hulu) dan Pasir Pangaraian (kab. Rokan Hulu).

Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan

Sumber : Bank Indonesia

-50

0

50

100

150

200

250

300

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp Miliar

UTLE Inflow Rasio g - yoy

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

81

Jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

pada triwulan III-2016 tercatat sebesar Rp955 miliar, meningkat jika dibanding

triwulan sebelumnya sebesar 55,34% (qtq) dengan rasio UTLE terhadap inflow

sebesar 31,68%. Meningkatnya pemusnahan UTLE pada triwulan III 2016 tersebut

sejalan dengan meningkatnya jumlah inflow pada triwulan laporan.

2.3. Uang Rupiah Tidak Asli

Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian

uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan

sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat di beberapa

daerah termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba,

Diterawang) melalui kunjungan industri yang dilakukan oleh sekolah-sekolah

maupun event khusus seperti Expo maupun Car Free Day. Dengan adanya sosialisasi

ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang

rupiah tidak asli. Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan III-2016 tercatat sebanyak 295

lembar, lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang sebanyak 431

lembar.

Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia

Provinsi Riau terdiri dari 167 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 102 lembar

menyerupai pecahan Rp50 ribu, 8 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu, serta 18

lembar menyerupai pecahan Rp5 ribu. Penemuan tersebut berdasarkan permintaan

klarifikasi perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan

Bank Indonesia Provinsi Riau.

21,15

113,37

134,13

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

250

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Lembar Lembar g yoy (kanan)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

82

3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI

3.1. Transaksi Kliring

Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan III 2016 tercatat menurun baik

dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Nilai transaksi

kliring pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp6,37 triliun dengan volume transaksi

mencapai 191.425 lembar, menurun jika dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang

nilainya tercatat sebesar Rp6,56 triliun dengan volume transaksi 194.424 lembar.

Terjadinya penurunan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari segi nominal

transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, diikuti pula dengan penurunan

nilai rata-rata transaksi per warkat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari

Rp33,74 juta menjadi Rp33,29 juta per warkat. Penurunan transaksi kliring pada

triwulan III 2016 baik dari nominal transaksi maupun warkat yang digunakan

diperkirakan akibat implementasi Surat Edaran Bank Indonesia No.17/753/DPSP,

terhitung tanggal 16 November 2015 sampai dengan 30 Juni 2016, nilai nominal

transfer untuk transaksi RTGS diwajibkan diatas Rp500.000.000 (lima ratus juta

rupiah) per transaksi. Sementara untuk transaksi yang menggunakan SKNBI tidak

terdapat batasan. Per 1 Juli 2016, nilai nominal transfer menggunakan RTGS kembali

diturunkan menjadi diatas Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) per transaksi. Untuk

transaksi yang menggunakan SKNBI semula tidak terdapat batasan menjadi paling

besar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) per transaksi. Sehingga diperkirakan

masyarakat memilih menggunakan RTGS dibandingkan kliring dalam melakukan

transfer dana.

Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Provinsi Riau

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Provinsi Riau

S Sumber : Bank Indonesia

-30

-25

-20

-15

-10

-5

0

5

10

-

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

10.000

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)Rp. Miliar Nominal yoy - nominal

-30

-25

-20

-15

-10

-5

0

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

I II III IV I II III IV I II III

2014 2015 2016

Persen (%)WarkatWarkat yoy - lembar

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

83

3.2. Layanan Keuangan Digital (LKD)

Definisi LKD sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 16/8/PBI/2014

tentang Uang Elektronik (Electronic Money) adalah kegiatan layanan jasa sistem

pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga

serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile/web dalam

rangka keuangan inklusif. LKD akan memberikan kesempatan kepada masyarakat

yang tidak terjangkau oleh layanan resmi perbankan seperti kantor cabang bank atau

ATM (unbanked) untuk mendapatkan layanan keuangan yang mudah, murah,

terjangkau, nyaman, aman, terpercaya serta proporsional.

Penyelenggaraan LKD dapat dilakukan bank dengan agen LKD badan hukum

maupun agen LKD individu. Khusus untuk implementasi LKD menggunakan agen

LKD individu, saat ini hanya diperuntukkan bagi bank BUKU 41. Sampai saat ini baru

3 (tiga) bank yang memperoleh izin dari Bank Indonesia antara lain Bank Rakyat

Indonesia, Bank Mandiri dan Bank Central Asia.

Jumlah agen LKD di Provinsi Riau per posisi September 2016 sebanyak 3.281 agen

atau tumbuh 357,60% (ytd). Daerah dengan jumlah agen terbanyak berada di Kota

Pekanbaru sebanyak 1.179 agen (pangsa 35,93%) sementara daerah dengan jumlah

agen terendah berada di Kabupaten Kuantan Singingi sebanyak 124 agen (pangsa

3,78%)

Grafik 5.7. Perkembangan Jumlah Agen LKD

1 Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun.

191,64

0

50

100

150

200

250

300

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep

2016

Persen (%) - yoyJumlah AgenJumlah Agen LKD g - yoy (kanan)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

84

Grafik 5.8. Jumlah Agen LKD Spasial Provinsi Riau

Upaya pengembangan LKD terus dilakukan oleh Bank Indonesia melalui kegiatan

edukasi dan sosialisasi yang akan dilaksanakan di daerah-daerah yang potensial.

Seperti edukasi keuagan kepada masyarakat, pelajar dan UMKM Binaan Bank

Indonesia.

3,78%

35,93%

Kab. Kampar

Kab. Bengkalis

Kab. Indragiri Hulu

Kab. Indragiri Hilir

Kab. Rokan Hulu

Kab. Rokan Hilir

Kab. Pelalawan

Kab. Siak

Kab. Kuantan Singingi

Kab. Kepulauan Meranti

Kota Pekanbaru

Kota Dumai

Kab./Kota Lainnya di Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

85

1. Kondisi Umum

Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada Agustus

2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Beberapa

indicator menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara lain

menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 7,83% pada

Agustus 2015 menjadi 7,43% pada Agustus 2016. Sementara perkembangan

kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari penurunan persentase

jumlah penduduk miskin dibanding jumlah penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada

Maret 2015 menjadi 7,98% pada Maret 2016 dan peningkatan Nilai Tukar Petani

dari 98,11 pada triwulan II 2016 menjadi 99,11 pada triwulan III 2016.

Bab 6

ASESMEN

KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

86

2. Ketenagakerjaan

Grafik 6.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Agustus - 2016

Sumber : BPS - diolah

Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus - 2016

Sumber : BPS - diolah

Kondisi ketenagakerjaan Provinsi Riau pada periode Agustus 2016 menunjukkan

bahwa 2,99 juta (atau 66,25%) dari 4,51 juta jiwa penduduk Riau dengan usia 15

tahun ke atas merupakan angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka

(TPT) mengalami penurunan dari periode Agustus 2015 yang tercatat sebesar 7,83%

menjadi 7,43%. Trend penurunan TPT Riau searah dengan pergerakan TPT Indonesia

yang tercatat 6,18% pada Agustus 2015 menjadi 5,61% di Agustus 2016 sehingga

mengindikasikan terjadinya peningkatan ketenagakerjaan secara nasional. Hal ini

juga searah dengan arah perbaikan perekonomian Riau sampai dengan triwulan III

tahun 2016 dibandingkan tahun 2015.

Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT ketiga tertinggi di

Sumatera. Sementara Bangka Belitung menjadi daerah dengan TPT terendah di

Sumatera dengan angka 2,60%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2015,

Kepulauan Riau merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami

peningkatan TPT di tahun 2016, yang diperkirakan sebagai akibat perlambatan

ekonomi khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang dirumahkan.

66,25

60,00 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00

Bengkulu

Sumatera Selatan

Lampung

Bangka Belitung

Jambi

Sumatera Barat

Indonesia

Riau

Sumatera Utara

Kepulauan Riau

Aceh

7,43

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kepulauan Riau

Aceh

Riau

Sumatera Utara

Indonesia

Sumatera Barat

Lampung

Sumatera Selatan

Jambi

Bengkulu

Bangka Belitung

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

87

Tabel 6.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%)

Sumber: BPS. - diolah

Tabel 6.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama

Sumber: BPS Provinsi Riau

Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja di Riau masih didominasi oleh

sektor pertanian yaitu mencapai 41,88% dari total tenaga kerja, diikuti oleh sektor

perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi serta sektor jasa kemasyarakatan

sosial dan perorangan dengan share penyerapan tenaga kerja masing-masing

mencapai 18,65% dan 17,40%. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian

tercatat menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu

dari 42,61% menjadi 41,88%. Seiring dengan penurunan penyerapan tenaga kerja

pada sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan rumah

makan dan jasa akomodasi pun mengalami penurunan, yaitu dari 20,40% menjadi

18,65%. Sementara Sektor Industri mengalami peningkatan yaitu dari 5,97%

menjadi 7,56%.

Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri

Agt 2014 9,02 6,23 6,50 6,56 5,08 4,96 3,47 4,79 5,14 6,69

Feb 2015 7,73 6,39 5,99 6,72 2,73 5,03 3,21 3,44 3,35 9,05

Agt 2015 9,93 6,71 6,89 7,83 4,34 6,07 4,91 5,14 6,29 6,20

Feb 2016 8,13 6,49 5,81 5,94 4,66 3,94 3,84 4,54 6,17 9,03

Agt 2016 7,57 5,84 5,09 7,43 4,00 4,31 3,30 4,62 2,60 7,69

2015 2016

Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan 42,61 41,88

Pertambangan dan Penggalian 1,50 1,50

Industri 5,97 7,56

Listrik Gas dan Air Minum 0,22 0,65

Konstruksi 5,72 5,70

Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 20,40 18,65

Transportasi Pergudangan dan Komunikasi 3,84 4,28

Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,60 2,38

Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan 17,14 17,40

Total 100 100

AgustusLapangan Pekerjaan Utama

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

88

Grafik 6.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama

Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai

buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,53%. Angka ini cenderung menurun

dibandingkan Agustus 2015 yang tercatat sebesar 46,29%. Penurunan penduduk

yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya

perlambatan ekonomi khususnya penurunan Kinerja sektor migas yang

menyebabkan terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut.

Sementara itu, penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri mengalami

peningkatan dari 18,69% pada Agustus 2015 menjadi 21,23% pada Agustus 2016.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi menuntut sebagian

masyarakat untuk lebih kreatif dalam menciptakan lapangan kerja sendiri, terutama

pasca terjadinya pengurangan karyawan di beberapa sektor usaha.

Grafik 6.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama

41,88

0 10 20 30 40 50

Pertanian Perkebunan Kehutanan…

Pertambangan dan Penggalian

Industri

Listrik Gas dan Air Minum

Konstruksi

Perdagangan Rumah Makan dan Jasa…

Transportasi Pergudangan dan Komunikasi

Lembaga Keuangan Real Estate Usaha…

Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan

Persen (%)2016 2015

21,23

41,53

Berusaha Sendiri

Berusaha Dibantu Buruh TidakTetap / Buruh Tidak Dibayar

Berusaha Dibantu Buruh Tetap /Buruh Dibayar

Buruh / Karyawan

Pekerja Bebas

Pekerja tidak dibayar

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

89

Dilihat dari jumlah jam kerja per hari, mayoritas tenaga kerja di Riau menghabiskan

waktu jam kerjanya selama 0*1 dan lebih dari 35 jam seminggu, yaitu sebanyak

64,04%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam seminggu merupakan pekerja

penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari 35 jam seminggu merupakan

pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas angkatan kerja yang bekerja di

Riau pada Agustus 2015 merupakan pegawai dengan waktu kerja penuh. Hal ini

sesuai dengan jumlah status pekerja terbesar di Riau yang berprofesi sebagai

buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau didominasi oleh pekerja yang

berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan buruh bebas.

Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu Agustus - 2016

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

Grafik 6.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

1 Termasuk penduduk yang sementara tidak bekerja.

3% 6%

14%

13%64%

1 - 7

8 - 14

15 - 24

25 - 34

0* dan 35+

37%

18%

33%

12%SD kebawah

SMP

SMA / SMK

Pendidikan Tinggi

2,79

5,66

12,93

7,74

0

2

4

6

8

10

12

14

SD kebawah SMP SMA / SMK Pendidikan Tinggi

Agustus 2015 Agustus 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

90

Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas

merupakan tamatan SMP ke bawah, dengan prosentase sebesar 55,24%. Kondisi ini

tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 56,26%dari total

angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan Diploma dan

Universitas hanya mencapai 11,89%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat

pendidikan SMA dan SMK mencapai 32,87%. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong rendah.

Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka

(TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan SMA

dan SMK yaitu mencapai 12,93%. Sementara TPT kelompok penduduk dengan

tingkat pendidikan perguruan tinggi mengalami penurunan dari 9,51% pada

Agustus 2015 menjadi 7,74% pada Agustus 206. Kondisi ini menunjukkan adanya

perbaikan kondisi ketenagakerjaan bahwa lapangan kerja yang tersedia di Provinsi

Riau semakin optimal dalam menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi.

3. Kesejahteraan Daerah

3.1 Penduduk Miskin Riau

Jumlah penduduk miskin di Riau pada bulan Maret 2016 sebesar 515,40 ribu atau

7,98% dari jumlah penduduk Riau. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak

15,98 ribu jiwa jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang

berjumlah 531,39 ribu atau 8,42% dari jumlah penduduk Riau.

Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

8,47

8,22

7,72

8,12

8,42

7,98

7,2

7,4

7,6

7,8

8

8,2

8,4

8,6

420

440

460

480

500

520

540

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Persen (%)Dalam Ribu

Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin

68%

32%

Perdesean Perkotaan

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

91

Jumlah penduduk miskin di Riau baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun

perkotaan pada Maret 2016 mengalami penurunan. Dimana pada daerah pedesaan

jumlah penduduk miskinnya mencapai 352,9 ribu penduduk, turun sebesar 11,98

ribu penduduk atau sekitar 3,28% jika dibandingkan dengan Maret 2015 yang

sebanyak 364,94 ribu penduduk. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Riau

yang tinggal di daerah perkotaan Maret 2016 sebesar 162,45 ribu jiwa, juga turun

sebesar 4 ribu jiwa atau sebesar 2,40% jika dibandingkan dengan Maret 2015 yang

sebesar 166,45 ribu jiwa.

3.2 Garis Kemiskinan Riau

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh GK, karena

penduduk miskin adalah penduduk yang memiki rata-rata pengeluaran per kapita

per bulan di bawah GK. Semakin tinggi GK, semakin banyak penduduk yang

tergolong sebagai penduduk miskin.

Tabel 6.3 Garis Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 2016

Sumber : BPS Provinsi Riau

Garis Kemiskinan (GK) Riau pada tahun 2016 mencapai angka Rp426.001 per

kapita/bulan, meningkat 6,71% (yoy) dari tahun 2015 yang tercatat Rp399.211 per

kapita/bulan. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan yang terdiri dari

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM),

terlihat bahwa komoditas makanan memiliki peranan yang jauh lebih besar

GKM GKNM

Perkotaan

Mar-15 280.361 124.441 404.802

Mar-16 292.026 134.320 426.346

Perdesaan

Mar-15 302.422 93.327 395.659

Mar-16 326.262 99.515 425.777

Kota + Desa

Mar-15 293.851 105.361 399.211

Mar-16 312.352 113.648 426.001

GK Tahun 2015Daerah Total

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

92

dibandingkan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan

kesehatan).

Peningkatan GK di daerah perdesaan pada tahun 2016 mencapai 7,61% (yoy)

sementara peningkatan GK di daerah perkotaan pada tahun 2016 mencapai 5,32%

(yoy). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa GK di daerah perdesaan mengalami

peningkatan yang lebih besar dibandingkan perkotaan sehingga mengakibatkan

jumlah peningkatan penduduk miskin di Riau relatif lebih cepat bertambah.

3.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan

(P2) Riau

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) pada tahun 2016 menunjukkan adanya trend

penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,382 pada Maret 2015

menjadi 1,359 pada Maret 2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan bahwa rata-

rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan.

Grafik 6.10. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

Apabila dilihat secara terpisah, tingkat kedalaman kemiskinan di daerah perkotaan

mengalami penurunan yaitu dari 1,088 pada Maret 2015 menjadi 0,934 pada Maret

2016, berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kemiskinan di daerah

perdesaan yang mengalami kenaikan yaitu dari 1,569 pada Maret 2015 menjadi

1,633 pada Maret 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran

penduduk miskin di daerah perkotaan semakin mendekati garis kemiskinan

sementara rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan semakin

menjauhi garis kemiskinan.

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

1,6

1,8

2

Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I

2013 2014 2015 2016

Ind

ek

s K

ed

ala

ma

n K

em

isk

ina

n (

%)

Kota Desa Riau

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I

2013 2014 2015 2016

Ind

ek

s K

ep

ara

ha

n K

em

isk

ina

n (

%) Kota Desa Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan

93

Kondisi yang sama juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau yang

menunjukkan trend penurunan, yaitu tercatat turun dari 0,358 pada Maret 2015

menjadi 0,337 pada Maret 2016. Penurunan indeks ini mengindikasikan

ketimpangan pengeluaran penduduk miskin mengalami penurunan. Jika

dibandingkan antara daerah perdesaan dan perkotaan tercatat bahwa Indeks

Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan mengalami peningkatan dari 0,410

pada Maret 2015 menjadi 0,424 pada Maret 2016, sedangkan di daerah perkotaan

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan dari 0,275 pada Maret

2015 menjadi 0,203 pada Maret 2016, hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan

ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan sementara di

daerah perkotaan terjadi penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin.

3.4 Nilai Tukar Petani

Nilai Tukar Petani pada triwulan III-2016 meningkat jika dibandingkan dengan

triwulan II-2016 yakni dari 98,11 menjadi 99,11. Kenaikan NTP pada triwulan III-

2016 disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 2,61%,

lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar

1,59%. Nilai NTP dibawah 100 secara umum memberikan gambaran bahwa

kegiatan pertanian di Provinsi Riau belum berjalan efisien dan kurang bernilai tambah

untuk meningkatkan taraf hidup petani, tercermin dari besarnya biaya yang harus

dikeluarkan petani dibanding pendapatan yang diperoleh. Peningkatan nilai tukar

petani dicatatkan oleh seluruh sub sektor. Nilai tukar petani terendah dicatatkan oleh

subsektor holtikultura sebesar 106,32. Sementara nilai tukar petani tertinggi

dicatatatkan oleh subsektor perikanan sebesar 117,85.

Grafik 6.12. Perkembangan Nilai Tukar Petani

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.

90

95

100

105

110

115

120

125

130

Mar Jun Sep Des Mar Juni Sep Des Mar Juni Sept

2014 2015 2016

Tanaman Pangan Hortikultura

Tanaman Perkebunan Rakyat Peternakan

Perikanan Indeks yang diterima

Indeks yang dibayar Nilai Tukar Petani Umum

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

94

1. PROSPEK MAKROREGIONAL

Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2016 diperkirakan tumbuh

meningkat pada kisaran 2,04+0,5%(yoy) dengan sumber pertumbuhan berasal dari

konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi (dari sisi penggunaan),

serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor

konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran (dari sisi sektoral). Di sisi lain

pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya kontraksi sektor

pertambangan dan penggalian serta ekspor pada akhir tahun berjalan.

Arah perbaikan ditunjukkan oleh beberapa indikator diantaranya permintaan

domestik terutama konsumsi rumah tangga, sejalan dengan perkembangan Indeks

PROSPEK PEREKONOMIAN

DAERAH

Bab 7

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

95

Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Ekonomi Konsumen (IKK) hingga Oktober

2016 yang menunjukkan adanya tren peningkatan. Peningkatan optimisme

konsumen tersebut diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi sampai

dengan 6 bulan yang akan datang, terutama ekspektasi terhadap kondisi dunia

usaha dan peningkatan penghasilan konsumen meskipun masih terbatas.

Tabel 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan

Ekonomi Triwulan IV-2016 serta Triwulan I-2017 (dalam % yoy)

P Proyeksi Bank Indonesia

Grafik 7.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik 7.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika

dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan realisasi anggaran yang semakin

intensif menjelang akhir tahun sehingga mendorong peningkatan realisasi APBD

pada triwulan IV-2016. Selain itu, pengesahan APBD-P tahun ini juga relatif lebih

cepat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan arahan Gubernur

Provinsi Riau yang meminta komitmen kepada seluruh Kepala SKPD untuk

meningkatkan realisasi belanja di semester II-2016. Peningkatan belanja pemerintah

juga diikuti oleh peningkatan investasi seiring dengan berlanjutnya proyek strategis

yang prosesnya terus dipercepat.

III IV I II III IVP IP

PDRB 2.70 -1.38 4.45 0.22 2.32 2.40 1.11 1.54-2.54 1.48-2.48 2.2-3.2 3.0-4.0

201720172016P2014

20152015

2016Komponen

70

80

90

100

110

120

130

140

150

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2011 2012 2013 2014 2015 2016

IKK IKE IEK Garis 100

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2013 2014 2015 2016

Indeks Penghasilan Konsumen Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja

Indeks Kegiatan Usaha Garis 100

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

96

Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan IV-2016 diperkirakan mengalami

kontraksi sebagai dampak dari ketidakpastian ekonomi global terutama negara

mitra dagang utama dan fluktuasi harga komoditas dunia. Secara umum,

menurunnya ekspor luar negeri diperkirakan bersumber dari kontraksi sektor

pertambangan dan penggalian dari sisi migas, serta masih terbatasnya perbaikan

kinerja sektor perkebunan sawit dan industri CPO (non migas).

Tabel 7.2 Outlook Perekonomian Global

Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia, Oktober 2016

Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian diperkirakan membaik, didorong perbaikan

kinerja subsektor perkebunan sawit. Kurang optimalnya produksi sawit pada awal

tahun 2016 karena tertundanya pemupukan pada saat kondisi asap pada semester

II-2015, diperkirakan ke depan akan mengalami perbaikan. Selain itu mulai

meningkatnya harga TBS lokal dan meningkatnya permintaan domestik CPO

(termasuk penyerapan untuk produk turunan), serta mulai berproduksinya beberapa

lahan replanting mendorong laju pertumbuhan sektor pertanian.

Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian Riau, perkembangan sektor

industri pengolahan juga diperkirakan akan meningkat yang didorong oleh

perbaikan harga komoditas internasional, meningkatnya kinerja industri pengolahan

CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and

paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas dan batubara

menjadi faktor yang menahan pertumbuhan.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

97

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 secara keseluruhan

diperkirakan tetap berada pada kisaran 1,48 2,48% (yoy), lebih rendah dari proyeksi

pada triwulan sebelumnya, namun masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang

hanya tumbuh sebesar 0,22% (yoy). Peningkatan kinerja ekonomi didorong oleh

peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri

pengolahan, konstruksi, dan sektor perdagangan besar & eceran. Peningkatan

pertumbuhan ekonomi ini diperkirakan akan terus berlanjut pada triwulan I-2017

pada kisaran 2,2 3,2% (yoy) dan keseluruhan pertumbuhan triwulan I-2017 sekitar

3,0-4,0% (yoy). Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan pada tahun 2017

tersebut diperkirakan berasal dari terus membaiknya kinerja konsumsi rumah tangga,

konsumsi pemerintah, investasi serta net ekspor. Meningkatnya pertumbuhan

ekonomi periode mendatang didorong oleh perbaikan kondisi ekonomi yang diikuti

dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, percepatan konsumsi pemerintah,

optimisme pelaku usaha terhadap perbaikan kondisi ekonomi ke depan yang turut

meningkatkan investasi, serta perbaikan harga komoditas dunia yang mendorong

peningkatan kinerja net ekspor. Hal ini juga terkonfirmasi dari perbaikan kontraksi

likert scale liaison dari sisi ekspor dan meningkatnya angka Prompt Manufacturing

Index (PMI) Survei Kegiatan Dunia Usaha KPwBI Provinsi Riau.

Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor

pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi,

sektor perdagangan besar dan eceran. Hal ini sudah mulai terlihat dengan adanya

potensi peningkatan permintaan produk hilirisasi seperti kontrak penjualan biodiesel

yang semakin efektif sejak semester I-2016.

Faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari perbaikan

harga komoditas, meningkatnya permintaan ekspor dan penyerapan domestik,

volume produksi seiring dengan mulai berproduksinya tanaman yang telah di

replanting, percepatan realisasi anggaran pemerintah daerah dan terus berlanjutnya

pembangunan proyek infrastruktur strategis yang mendorong peningkatan kinerja

sektor konstruksi, serta membaiknya kondisi perekonomian mendorong peningkatan

daya beli masyarakat dan ekspektasi pedagang terhadap kondisi ekonomi ke depan

sehingga berpotensi mendorong pertumbuhan di sektor perdagangan besar dan

eceran di Provinsi Riau.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

98

Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan

ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini

utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural

declining), tidak optimalnya penggunaan teknologi injeksi untuk optimalisasi

produksi, serta eksplorasi sumur baru yang terkendala proses perizinan sehingga

diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih dalam pada sektor

pertambangan migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor pertanian masih

cukup rendah, terutama terhadap subsektor perkebunan kelapa sawit sehubungan

dengan dampak el nino dan la nina yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan

dan lahan, serta kondisi banjir sehingga produksi pertanian relatif terganggu.

2. PERKIRAAN INFLASI

Tabel 7.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan III-2016 dan Triwulan I-2017

Inflasi Provinsi Riau tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran 4,15+0.5% (yoy)

mengalami peningkatan jika dibandingkan inflasi tahun 2015 sebesar 2,65% (yoy).

Peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan harga terutama bahan makanan

yang cukup tinggi pada awal triwulan IV-2016. Faktor pendorong inflasi Riau pada

triwulan IV-2016 diperkirakan terutama berasal dari inflasi volatile food, bersumber

dari kenaikan harga bahan makanan akibat keterbatasan pasokan seiring dengan

kemungkinan terjadinya la nina yang menguat sehingga mengganggu pasokan dari

beberapa sentra produksi yang banyak memasok kebutuhan ke wilayah Riau.

Beberapa komoditas seperti aneka cabai, beras, bawang merah, daging sapi, dan

daging ayam ras perkirakan akan meningkat karena keterbatasan pasokan. Selain itu

tekanan inflasi volatile food juga didorong oleh meningkatnya permintaan

masyarakat menjelang perayaan hari raya Natal dan Tahun Baru. Kondisi serupa

diperkirakan akan terus berlanjut hingga triwulan I-2017 dan dengan tingkat inflasi

sampai dengan akhir tahun 2017 yang berada pada kisaran 4,50+0.5% (yoy).

Inflasi kelompok administered price, diperkirakan mengalami penurunan seiring

penurunan tarif listrik dan penurunan bahan bakar Dexlite. Sementara itu, meskipun

2017

I II III IV I II III

INFLASI 6.17 7.40 5.70 2.65 4.42 1.92 3.27 3.2-4.2 3.45-4.45 3.7-4.7 3.8-4.8

Keterangan2015 2016

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

99

relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit meningkat akibat mulai

membaiknya daya beli masyarakat karena meningkatnya penghasilan (akibat mulai

meningkatnya harga TBS lokal) dan peningkatan realisasi belanja pemerintah

sehingga akan meningkatkan sisi permintaan. Faktor yang menahan peningkatan

tekanan inflasi inti adalah penguatan nilai tukar rupiah sehingga menurunkan

imported inflation.

Grafik 7.3. Perkembangan Harga Bumbu-Bumbuan di Kota Pekanbaru

Grafik 7.4. Perkembangan Harga Daging Segar & Hasilnya di Kota Pekanbaru

Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia

Beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran

proyeksi antara lain menguatnya kemungkinan terjadinya la nina yang berpotensi

menganggu produksi daerah sentra pertanian, kenaikan permintaan pada

momentum liburan sekolah dan hari besar keagamaan, penyesuaian tarif listrik,

kenaikan cukai rokok, kenaikan harga pakan ternak, dan sebagainya. Sementara itu,

faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah yaitu perkembangan harga

minyak dunia yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi

dari kelompok administered prices, apresiasi nilai rupiah, melimpahnya pasokan pada

saat musim panen yang terjadi bersamaan di beberapa daerah sentra produksi,

kebijakan pemerintah yang semakin baik di bidang ketahanan pangan, kebijakan

impor, penurunan tingkat suku bunga, dan sebagainya. Pada tingkat regional,

koordinasi aktif forum Tim Pengendalian Inflasi Daerah terus ditingkatkan baik di

tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dengan beberapa fokus pembahasan

antara lain implementasi roadmap TPID Provinsi dan menyusun roadmap TPID di

tingkat Kota/Kabupaten, serta sosialisasi dan membuat rencana tindak lanjut arahan

Presiden dalam Rakornas VII TPID antara lain:

1. Mengintensifkan koordinasi dan mengoptimalkan program/kegiatan

pengendalian inflasi di tingkat Kota/Kabupaten.

15,000 25,000 35,000 45,000 55,000 65,000 75,000 85,000 95,000

III

III

IVI

II

III

IVI

II

III

IV VI

II

III

IVI

II

III

IV VI

II

III

IVI

II

III

IVI

II

III

IV VI

II

III

IVI

II

III

IV

MI

MII

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

2016

Rp

Cabe Merah Besar Cabe Merah Keriting Cabe Rawit Bawang Merah Bawang Putih

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

45,000

I III I III I III V II IV II IV I III I III I III V II IV II IV MII

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

2016

RpRp

Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

100

2. Merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian arga yang

diperlukan dengan alokasi APBD yang memadai

3. Melakukan monitoring kewajaran stok pangan di gudang-gudang secara

berkala dengan berkoordinasi dengan penegak hukum

4. Monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah, melakukan respon

perbaikan secara cepat, dan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat jika

terjadi kendala

5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga seperti biaya

transportasi, biaya dan kondisi bongkar muat, kondisi penyimpanan barang,

serta faktor-faktor lainnya.

3. REKOMENDASI

Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan

pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Jangka pendek

a. Melakukan tindak lanjut dan monitoring secara intensif arahan Presiden

dalam Rakornas VII TPID, serta diintegrasikan dalam roadmap

pengendalian inflasi yang saat ini sedang dilengkapi (TPID Provinsi)/akan

disusun (untuk beberapa TPID Kabupaten/Kota).

b. Pada tahun 2016, terdapat 168 ribu Ha lahan perkebunan rakyat yang

akan direplanting. Dengan karakteristik kelapa sawit yang baru akan

menghasilkan pada tahun ke 4 dan mencapai produksi optimal pada

tahun ke 7, perlu dilakukan budidaya tanaman pangan dalam periode

tanaman belum menghasilkan. Selain menjaga daya beli masyarakat,

program tersebut berpotensi meningkatkan produksi pangan Riau yang

dapat menjaga ketersediaan pasokan dan pengendalian harga.

c. Mekanisme dan pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)

Sawit perlu diperjelas sehingga transparansi dan akuntabilitas

pengelolaan CPO Fund dapat dipertanggungjawabkan. Riau sebagai

penyumbang CPO Fund terbesar perlu mendapat perhatian khusus

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

101

terutama pembiayaan replanting yang belum dapat di support dengan

optimal oleh lembaga keuangan.

d. Diusulkan ke pemerintah pusat agar prioritas pengembangan saluran

irigasi yang sebagian besar menggunakan anggaran APBN merupakan

saluran untuk tanaman pangan, sehingga produksi tanaman pangan di

Riau dapat lebih ditingkatkan.

e. Penguatan sektor pariwisata dan industri kreatif sebagai sumber

pertumbuhan ekonomi daerah, yang diawali dengan penyusunan

konsep & blueprint pengembangan pariwisata berbasis alam dan budaya

yang diintegrasikan dengan rencana pengembangan infrastruktur

pendukung untuk meningkatkan aksesibilitas daerah wisata serta

promosi yang memadai.

2. Jangka Menengah Panjang

a. Berdasarkan hasil simulai kebijakan dengan menggunakan model CGE-

INDOTERM, untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi di

Provinsi Riau terdapat beberapa prioritas kebijakan yang dapat menjadi

fokus pemerintah daerah antara lain peningkatan kualitas sumber daya

manusia, percepatan pembangunan infrastruktur jalan, listrik dan

pelabuhan sebagai lalu lintas distribusi dan perdagangan. Hal ini

berkenaan dengan pengembangan kawasan industri dan infrastruktur

yang mendukung industrialisasi seperti sarana jalan, pelabuhan dan

kelistrikan dengan terus melakukan monitoring progress dan evaluasi

secara intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit.

Pembangunan infrastruktur jalan tol, irigasi dan pelabuhan (Tanjung

Buton dan Kuala Enok) sebagai jalur distribusi membutuhkan peran

pemerintah pusat dikarenakan kebijakan dan penggunaan anggaran

APBN yang memiliki porsi lebih besar. Dalam hal pemenuhan kelistrikan

PLN untuk kebutuhan industri (terutama industri CPO), saat ini juga

terhitung sangat costly bagi pihak perusahaan yang diminta

mempersiapkan sisi infrastruktur dan perlengkapannya.

GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

102

b. Diperlukan kerjasama antar daerah dalam pemenuhan kebutuhan

pangan dikarenakan karakteristik Provinsi Riau bukan merupakan daerah

sentra produksi pangan, sebagai langkah awal diperlukan realisasi

rencana kerjasama antar Gapoktan provinsi Sumbar, Sumut, Sumsel

komoditas beras.

c. Perlunya penyusunan roadmap pengembangan kemaritiman di Provinsi

Riau mengingat potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar. Hal

ini tercermin dari total produksi perikanan yang terus meningkat setiap

tahunnya. Namun fokus pengembangan terhadap sektor kemaritiman di

Riau relatif minim. Sampai dengan saat ini, tidak ada industri pakan ikan

sehingga biaya pengembangan perikanan di Riau menjadi lebih mahal.

Selain itu, pemerintah daerah Provinsi Riau perlu untuk memperketat

pengawasan kapal yang beroperasi di wilayah perairan Riau terutama di

daerah perbatasan yang rawan tindakan pencurian ikan dan penjualan

ikan di tengah laut, mendata kembali seluruh kapal penangkap ikan,

optimalisasi alokasi bantuan anggaran untuk nelayan, peningkatan

kualitas pelabuhan perikanan, dan mengaktifikan kembali galangan

kapal. Di sisi lain, diperlukan optimalisasi pengembangan potensi wisata

bahari Riau, antara lain melalui percepatan perbaikan infrastruktur,

peningkatan fasilitas pendukung dan kondisi akomodasi agar lebih

memadai, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor Pariwisata

dan sektor Jasa, serta peningkatan sosialisasi dan kampanye Sadar

Wisata.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah

xv

Aktiva Produktif

Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan

tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran

kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank

Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya.

Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)

Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan

risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin

kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah

mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang

diberikan kepada perorangan.

Kualitas Kredit

Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan

kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5

kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar,

Diragukan dan Macet.

Capital Adequacy Ratio (CAR)

Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva

Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).

Dana Pihak Ketiga (DPK)

Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,

tabungan atau deposito.

DAFTAR ISTILAH

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah

xvi

Financing to Deposit Ratio (FDR)

Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap

dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum

konvensional.

Inflasi

Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).

Inflasi Administered Price

Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam

kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan

bakar).

Inflasi Inti

Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan

agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan

ekspektasi masyarakat.

Inflasi Volatile Food

Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk

dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya

beras).

Kliring

Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta

kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang

perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

Kliring Debet

Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan

penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada

penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang

memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah

xvii

dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit

kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan

secara nasional.

Kliring Kredit

Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung

oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa

menyampaikan fisik warkat (paperless).

Loan to Deposit Ratio (LDR)

Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang

diterima (giro, tabungan dan deposito).

Net Interest Income (NII)

Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.

Non Core Deposit (NCD)

Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan

10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan.

Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)

Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar,

Diragukan dan Macet

Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)

Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin

timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP

ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar

PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang

Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi

agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah

100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah

xviii

Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)

Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total

kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin

rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.

Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net

Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan

Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit

Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)

Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan

seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta

pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan

pembayaran.

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)

Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring

kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Adalah persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.