Kabin TB-MAulidya Rahmi.doc

25
BAB I PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehat yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) (A & Chairil, 2002). iperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah teri Mycobacterium tuberculosis. (epkes "#, 200$). Angka ke%adian TB di #ndonesia menempati urutan ketiga terbanyak di d setelah #ndia dan Cina. iperkirakan setiap tahun terdapat 2'.000 kasus T dengan kematian sekitar .000 orang. Pre*alensi TB di #ndonesia pada tah adalah 00 per 00.000 penduduk dan TB ter%adi pada lebih dari +0 usia p ( - 0 tahun) ( / , 20 0). 1trategi penanganan TB berdasarkan World HealthOrganization ( / ) tahun 0 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (# AT3) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment ( T1) se4ara ekonomis paling e!ekti! (cost!e"ective#, strategi ini %uga #ndonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi T1 diberikan selama $-' dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombin dengan %umlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis ( AT) yaitu 5 # "i!ampisin ("), Pira6inamid (8), 1treptomisin (1) dan 9tambutol (9). 9!ek AT yang dapat timbul antara lain tidak ada na!su makan, mual, sakit peru sendi, kesemutan sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, hingga gangguan !ungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat b nekrosis %aringan hati. bat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik a "i!ampisin dan Pira6inamid. /epatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase darah (1:PT;1: T) sampai pada hepatitis !ulminan, akibat pem #7/ dan; "i!ampisin (epkes "#, 200$< 1udoyo, 200+). BAB II

Transcript of Kabin TB-MAulidya Rahmi.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. (Depkes RI, 2006).

Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).

Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Sudoyo, 2007).BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m (Brooks,et al 2004).

Gambar 2.1. Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel, 1999).

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2007).2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).2.5 Patogenesis tuberkulosis

2.5.1 Infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).2.6 Diagnosis tuberkulosisDiagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

2.6.1 Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

2.6.3 Pemeriksaan radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)

Gambar 2.2

Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis

a. Sputum

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positifb. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).

b. Darah

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)

Gambar 2.4 Penyuntikan Tes Tuberkulin

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).2.7 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).2.8 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernahmengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).b. Kambuh (relaps)Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.c. Pindahan (transfer in)Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatukabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobatpaling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.d. Gagal Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.e. Kasus kronis

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelahselesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

f. Tuberkulosis resistensi gandaTuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes RI, 2006).2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.9.1 Prinsip pengobatan

Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).2.9.2 Kemoterapi TB

Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten (Bahar & Amin, 2007).

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Bahar & Amin, 2007; Depkes RI, 2006).

2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT

Jenis OATSifatKeterangan

Isoniazid (H)Bakterisid

terkuatObat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway

Rifampisin (R)bakterisidRifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis

Pirazinamid (Z)bakterisidPirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.

Streptomisin (S)bakterisidobat ini adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E)bakteriostatik-

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar & Amin, 2007) :

Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan

Kategori pengobatan TBPasien TBPaduan pengobatan TB alternatif

Fase awal

(setiap hari / 3 x seminggu)Fase lanjutan

IKasus baru TB paru dahak positif; kasus baru TB paru dahak negatif dengan kelainan luas di paru; kasus baru TB ekstra-pulmonal berat

2 EHRZ (SHRZ)

2 EHRZ (SHRZ)

2 EHRZ (SHRZ)6 HE

4 HR

4 H3 R3

IIKambuh, dahak positif; pengobatan gagal; pengobatan setelah terputus

2 SHRZE / 1 HRZE

2 SHRZE / 1 HRZE

5 H3R3E3

5 HRE

IIIKasus baru TB paru dahak negatif (selain dari kategori I); kasus baru TB ekstra-pulmonal yang tidak berat2 HRZ atau 2H3R3Z32 HRZ atau 2H3R3Z32 HRZ atau 2H3R3Z36 HE

2 HR/4H

2 H3R3/4H

IVKasus kronis (dahak masih positif setelah menjalankan pengobatan ulang)TIDAK DIPERGUNAKAN

(merujuk ke penuntun WHO guna pemakaian obat lini kedua yang diawasi pada pusat-pusat spesialis)

(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):

Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.

Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.

Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.

Kategori III : 2HRZ/2H3R3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.

Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).

Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).

Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).

2.9.5 Dosis obat

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar & Amin, 2007):

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia

JenisDosis

Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB

intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Rifampisin (R)

harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)

harian : 25mg/kg BB

intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)

harian = intermiten : 15 mg/kgBB

usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari

usia > 60 th : 0,50 gr/hari

Etambutol (E)

harian : 15mg/kg BB

intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.9.6 Kombinasi obat

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3Berat badanTahap Intensif tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 37 kg2 tablet 4KDT2 tablet 4KDT

38 54 kg3 tablet 4KDT3 tablet 4KDT

55 70 kg4 tablet 4KDT4 tablet 4KDT

> 71 kg5 tablet 4KDT5 tablet 4KDT

(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3

Berat

BadanTahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + STahap Lanjutan3x seminggu

RH (150/150) + E (400)

Selama 58 hariSelama 28 hariSelama 2 Minggu

30 37 kg2 tab 4KDT + 500mg

Streptomisin inj2 tab 4KDT2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol

38 54 kg3 tab 4KDT + 750mg

Streptomisin inj3 tab 4KDT3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol

55 70 kg4 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj4 tab 4KDT4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol

> 71 kg5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj5 tab 4KDT5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan

Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 37 kg 2 tablet 4KDT

38 54 kg 3 tablet 4KDT

55 70 kg 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT

(Depkes RI, 2006)

2.9.7 Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT

Jenis ObatRinganBerat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, nyeri otot dan gangguan kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai defisiensi piridoksin (pellagra) dan kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.

Hepatitis, ikhterus

Rifampisin (R)

gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom flu, sindrom perut. Hepatitis, sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok), purpura, anemia hemolitik yang akut, gagal ginjal

Pirazinamid (Z)

Reaksi hipersensitifitas : demam, mual dan kemerahan

Hepatitis, nyeri sendi, serangan arthritis gout

Streptomisin (S)

Reaksi hipersensitifitas : demam, sakit kepala, muntah dan eritema pada kulitKerusakan saraf VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran

Etambutol (E)

Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan Buta warna untuk warna merah dan hijau

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):

a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol

b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin

c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)

2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.

c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.

Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih positif.

Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari pengobatan.

d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab kematiannya.

2.11 Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :

a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.

b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.

c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama, 2007).BAB IIIILUSTRASI KASUSUNIVERSITAS ANDALAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien

a. Nama/Kelamin/Umur: Tn. Jamal Ahmad / Laki-laki/ 85 tahun

b. Pekerjaan/pendidikan: Pensiunan Petugas Kebersihan Kota/ tamat SDc. Alamat

: Gurun Sariak2. Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga

a. Status Perkawinan

: Dudab. Jumlah Anak

: 6 orang

c. Status Ekonomi Keluarga: Cukup, penghasilan dari uang pensiunan dan dari menantunyad. KB

: Tidak adae. Kondisi Rumah

:

Rumah semi permanen 1 lantai, lantai dilapisi oleh semen, 2 kamar , tidak ada ruang tamu, tidak ada ruang makan, tidak ada dapur dan kamar mandi seadanya, serta bagian rumah depan terdapat kandang ayam dengan lantai dari tanah, perkarangan cukup luas. Jumlah penghuni 1 orang

Ventilasi udara dan sirkulasi udara kurang baik, pencahayaan kurang, kondisi rumah lembab. Listrik ada

Sumber air minum : air gallon, mandi cuci kakus dengan menggunakan air sumur. Sampah dibakar di halaman rumah Pasien tinggal di daerah yang rawan banjir.

Kesan : higine dan sanitasi kurang baikf. Kondisi Lingkungan Keluarga

Pasien tinggal di lingkungan yang kepadatan penduduknya kurang padat. Jumlah penghuni rumah 1 orang, yaitu pasien sendiri Lingkungan sekitar kurang bersih dan kurang tertata dengan rapi 3. Aspek Psikologis di keluarga

Hubungan dengan anggota keluarga baik. Anak bungsu pasien selalu memperhatikan kondisi pasien. Baju pasien selalu di cuci sama anaknya. Makan pasien juga selalu disediakan oleh anaknya. Faktor stress dalam keluarga tidak ada4. Riwayat Penyakit dahulu / Penyakit Keluarga

Pasien sebelumnya pernah mengalami batuk-batuk seperti ini pada tahun 1984. Tetapi pasien menyangkal pernah mendapatkan pengobatan rutin dalam jangka waktu yang lama. Pasien memiliki riwayat merokok, sejak tahun 1984 pasien sudah berhenti merokok. Dulu pasien merokok lebih kurang 2 bungkus sehari. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi Pasien tidak memiliki riwayat penyaki diabetes melitus Anak pasien yang pertama menderita penyakit diabetes melitus.5. Keluhan Utama

Batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. 6. Riwayat Penyakit Sekarang Batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Sejak satu minggu ini batuk semakin parah. Dahak berwarna hijau kekuningan dan tidak disertai bercak darah. Demam meriang pada sore hari ada sejak 1 bulan yang lalu Keringat malam ada sejak sakit lebih kurang satu bulan yang lalu Nafsu makan berkurang sejak 1 bulan yang lalu Penurunan berat badan sejak 1 bulan ini, tetapi pasien tidak mengetahui seberapa besar penurunan berat badannya Sesak nafas tidak ada Nyeri dada tidak ada Bengkak dileher tidak ada. Riwayat merokok ada selama lebih kurang selama 40 tahun, sehari maksimal 2 bungkus. Sejak 28 tahun yang lalu pasien tidak ada merokok lagi. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan steroid tidak ada Riwayat kontak dengan orang batuk-batuk lama disngkal oleh pasien7. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: CMC

Nadi

: 80x/ menit

Nafas

: 19x/menit

TD

: 120/80 mmHg

Suhu

: 36,7 0C

BB

: 34 Kg

TB

: 156 cm

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik

Kulit

: Turgor kulit baikKGB

: tida teraba pembesaran KGBDada

:

Paru

:Inspeksi: simetris kiri = kananPalpasi: fremitus kiri = kananPerkusi: sonor

Auskultasi: suara nafas vesikuler, wheezing (-/-),ronkhi basah halus (+) di apek kedua paru Jantung

Inspeksi: iktus tidak terlihat

Palpasi: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi: Kiri: 1 jari medial LMCS RIC V

Kanan : LSD

Atas: RIC II

Auskultasi: bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)

Abdomen

Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit

Palpasi: Hati dan lien tidak teraba, Nyeri Tekan ( - )

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+) N

Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, Refleks fisiologis (+/+), Reflek Patologis (-/-), edem +/+

8. Pemeriksaan Laboratorium:

Tidak ada9. Laboratorium dan Pemeriksaan Anjuran : Pemeriksaan darah lengkap ( Hb, Leukosit, LED, hitung jenis leukosit) Pemeriksaan sputum basil tahan asam SPS

Rontgen foto thorak

Pemeriksaan fungsi paru

10. Diagnosis Kerja

TB Paru11. Diagnosis Banding : PPOK terinfeksi12. Manajemen

a. Preventif:

Kalau batuk jangan buang dahak sembarangan, dahak sebaiknya ditampung lalu dibuang ke lubang WC Menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin Meningkatkan daya tahan tubuh dengan diet seimbang dan olah raga teratur 2-3 x/ minggu selama 30 menit Menggunakan alat-alat makan seperti sendok, garpu dan gelas yang berlainan dengan anggota keluarga lainnya untuk menghindari penularan dalam satu keluarga Menjaga sirkulasi udara tetap lancar serta menjaga pencehayaan rumah tetap baik. Antara lain membuka jendela supaya aliran udara tetap lancar. Istirahat cukup dengan tidur sekurangnya 6 jam perhari Menerapkan PHBSb. Promotif:

Menunjuk PMO bagi pasien untuk menunjang keberhasilan pengobatan pasien

Memberikan pengertian dan pengetahuan pada pasien maupun keluarga mengenai penyakit dan pentingnya keteraturan pengobatan serta evaluasi pengobatan. Memberikan edukasi kepada pasien bahwa penyakitnya menular melalui droplet dahak sehingga pasien harus hati-hati saat akan membuang dahak atau batuk. Mengedukasi pasien bahwa pengobatan yang dilakukan tidak boleh terputus demi kesembuhan pasien Mengedukasi pasien bahwa penting untuk melakukan evaluasi pengobatan untuk memantau keberhasilan pengobatan Mengedukasi pasien mengenai komplikasi yang mungkin terjadi jika pasien tidak berobat Menjelaskan efek samping obat yang muncul selama pengobatan Menjelaskan kepada pasien pentingnya pemberantasan penyakit TB, sehingga jika ada keluarga atau tetangga yang batuk selama > 2 minggu agar memeriksakan diri ke dokter, puskesmas ayau ke rumah sakit.c. Kuratif:

Gliseril Guaikolat tab 3x100 mg Paracetamol tab 3x500 mg (bila demam) Vitamin B Kompleks 3 x 1

Pemeriksaan sputum SPSd. Rehabilitatif : Kontrol teratur ke puskesmas dan mendapatkan pengobatan OAT jika hasil BTA (+)

Mengkonsumsi makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) Menjelaskan efek-efek yang akan muncul akibat konsumsi obat TB, misalnya urin berwarna merah keoranyean, mual, sakit perut, tidak nafsu makan, muntah dan kadang-kadang diare. Selain itu, bisa juga timbul sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. Kalau ada muncul efek seperti berikut ini harus segera kontrol dan pergi berobat ke layanan kesehatan yaitu tanda-tanda keracunan pada syraf tepi seperti kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri pada otot, gangguan pada hati seperti muncul perarnaan kuning disklera, purpura, anemia, syok, gagal ginjal, berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna dan gangguan pendengaran serta keseimbangan.

DAFTAR PUSTAKAAditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta : Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.

Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419

Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996 15.

Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.

Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.

Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.

Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. Jawetz, Melnick & Adelberghs: Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.

Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Gambar 2.3

Alur Diagnosis TB paru

Hasil BTA

+ + +

+ + -

Hasil BTA

+ - -

Hasil BTA

- - -

Periksa Rontgen Dada

Beri Antibiotik Spektrum Luas

Hasil Mendukung TB

Hasil Tidak Mendukung TB

Tidak Ada Perbaikan

Ada Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak SPS

Hasil BTA

+ + +

+ + -

Hasil BTA

- - -

Periksa Rontgen Dada

Hasil Mendukung TB

Hasil Rontgen Negatif

Bukan TBC, Penyakit Lain

TB BTA Negatif Rontgen Positif

Penderita Tuberkulosis BTA Positif

Tersangka Penderita TB (suspek TB)

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Dinas Kesehatan Kota Padang

Puskesmas Nanggaalo

Dokter: Maulidya Rahmi

Tanggal: 24 Desember 2012

R/ Parasetamol tab 500 mg No. X

S 3 dd tab I

R/ GG tab 100 mg No. X

S 3 dd tab I

R/ Vit B Komp No. X

S 3 dd tab I

Pro :Tn. Jamal Ahmad

Umur : 85 tahun

Alamat : Jl. Payakumbuh 9 No.