Jurnal Tambahan Komplit Merkuri Tesis

164
RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg) PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI) DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Dosen Pembimbing : OLEH : NITA RATNA JUNITA 109101000027 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/ 1434 H

description

merkuri

Transcript of Jurnal Tambahan Komplit Merkuri Tesis

  • RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg)

    PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI)

    DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR

    TAHUN 2013

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

    Dosen Pembimbing :

    OLEH :

    NITA RATNA JUNITA

    109101000027

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2013 M/ 1434 H

  • ii

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

    Skripsi, 8 November 2013

    Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027

    Risiko Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin

    (PETI) di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013

    xxiii + 112 halaman, 19 tabel, 5 gambar, 3 bagan, 4 lampiran

    ABSTRAK

    Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang

    memiliki tingkat toksik tinggi (Widowati et. al., 2008). Penggunaan merkuri dalam

    proses pengolahan emas dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan yaitu berupa

    kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada

    ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan

    menggunakan pengukuran biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah 1-2

    ppm. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 10 pekerja PETI di Desa Cisarua

    Kecamatan Nanggung terdapat 8 pekerja yang mengalami keracunan merkuri.

    Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross

    Sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 40 orang pekerja PETI di Desa Cisarua

    Kecamatan Nanggung. Sampel diambil dengan menggunakan teknik accidental

    sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, status gizi, massa kerja,

    jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Adapun variabel terikatnya adalah

    kejadian keracunan merkuri. Data yang diperoleh diolah dengan mengunakan uji

    statistik t independent, mann withey wil. dan chi square pada 5%.

    Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang pekerja

    (60%) terdeteksi mengalami keracunan merkuri, sedangkan yang tidak mengalami

    keracunan merkuri adalah sebanyak 16 pekerja (40%). Selanjutnya berdasarkan hasil

    analisis bivariat diketahui bahwa terdapat dua variabel independen yang berhubungan

    secara signifikan terhadap keracunan merkuri, yaitu variabel massa (p value=0,0005)

    dan jam kerja (p value=0,035).

    Dari hasil penelitian, disarankan bagi pemerintah dan pihak terkait sebaiknya

    memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait merkuri dan dampaknya terhadap

    kesehatan dan lingkungan sekitar. Kemudian, untuk mengurangi risiko kejadian

  • iii

    keracunan merkuri pada pekerja sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan Alat

    Pelindung Diri (APD) yaitu berupa masker, sarung tangan karet, dan baju lengan

    panjang selama proses pengolahan emas. Selanjutnya, untuk penelitian berikutnya

    diharapkan dapat melakukan pengukuran terhadap faktor lingkungan, yaitu terkait

    kadar merkuri yang terdapat baik di air, udara, tanah, maupun makanan.

    Kata kunci: Pekerja PETI, Keracunan merkuri, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung

    Daftar bacaan: 55 (2000-2013)

  • iv

    FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

    DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

    MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH

    Final Test, 8 November 2013

    Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027

    The Risk of Mercury Poisoning (Hg) in the workers of illegal gold mining

    (PETI) at Cisarua Village, Nanggung Subdistrict, Bogor District Year 2013

    xxiii + 112 pages, 19 tables, 5 pictures, 3 charts, 4 attactments

    ABSTRACT

    Mercury is a heavy metal which is grouped into categories that have high

    level of toxicity (Widowati et. al., 2008). The use of mercury in gold processing can

    cause health effect, such as incident of mercury poisoning. That was indicated with

    reference of the normal limit of total mercury that was established by WHO. That was

    determined by using biomarker measurements. The normal level in hair is 1-2 ppm.

    Based on preliminary studies of 10 workers mining at Cisarua Village Nanggung

    Subdistrict, there were 8 workers who have mercury poisoning.

    This research was a quantitative research with cross sectional approach. The

    samples of this study were 40 workers of illegal gold mining at Cisarua Village,

    Nanggung Subdistrict. The samples were taken with using accidental sampling

    technique. The independent variables in this study were age, nutritional status,

    working period per year, working time in a day, working activity, and consumption of

    fish. The dependent variable was the incidence of mercury poisoning. The data were

    processed by using independent t, mann withey wil. dan chi square test at 5%.

    The results of this research indicate that were 24 workers (60%) have mercury

    poisoning, while that were 16 workers (40%) havent mercury poisoning. Then, based on the results of bivariate analysis was known that there were two independent

    variables have significant correlation with mercury poisoning. That variables were

    working period per year (p value=0,0005) and working time in a day (p

    value=0,035).

    Based on The results, there is a advisable for the government and relevant

    parties, should give the information to the community about mercury and its impacts

    for health and environment. Then, the workers should be using personal protective

  • v

    equipments to reduce the risk of mercury poisoning, such as masks, rubber gloves

    and long clothes. Then, for the next study is expected to take measurement of

    mercury levels in the environmental (water, air, soil, and food).

    Keywords: PETI workers, Mercury poisoning, Cisarua Village, Nanggung Subdistrict

    Bibliography: 55 (2000-2013)

  • vi

  • vii

  • viii

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

    Nama : Nita Ratna Junita

    Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 07 Juni 1991

    Alamat : Jl. Maritim No.2A RT 01/005 Cilandak Barat,

    Cilandak, Jaksel. Kode pos: 12430

    Agama : Islam

    No. Telp : 085697323975

    Email : [email protected]

    PENDIDIKAN FORMAL

    1997 2003 : SDN 04 Pagi Jakarta

    2003 2006 : SMPN 68 Jakarta

    2006 2009 : SMAN 70 Jakarta

    2009 sekarang : S1 Peminatan Kesehatan Lingkungan

    Program Studi Kesehatan Masyarakat

    Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta

  • ix

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta

    ridho-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam

    kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke

    zaman yang terang saat ini, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

    Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

    Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

    Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Pada proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak arahan,

    bimbingan, serta masukan dan motivasi/dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena

    itu, peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada:

    1. Papa dan Mama yang tiada hentinya memberikan kasih sayang, doa serta

    semangat kepada penulis agar dapat menjadi individu yang sukses dan

    bermanfaat bagi semua orang, bangsa, dan agama. Serta kakakku

    (Ismawantini), adikku (Nisrina Nabila), kakak iparku (Wahyu), mbak aan dan

    keluarga besar Muhammad serta Yakub yang selalu memberikan motivasi dan

    senantiasa membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

    dengan baik.

  • x

    2. Bapak Prof. Dr. (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas

    Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Ibu Ir. Febrianti, M. Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

    FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku dosen pembimbing I dan

    Penanggung Jawab Pemintaan Kesehatan Lingkungan, yang dengan setia dan

    tanpa lelah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis

    baik dalam hal penyusunan skripsi maupun dalam hal pembentukkan

    kematangan dan kedewasaan diri penulis dalam menyongsong masa depan.

    5. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing II, yang dengan

    sabar dan setia selalu memberikan arahan, masukan, bimbingan, serta

    motivasi dan semangat kepada penulis.

    6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Bapak Ir. Untung Suryanto, MSc dan Bapak

    dr.Yuli P. Satar, MARS selaku dosen penguji pada sidang skripsi yang telah

    memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan skripsi ini

    lebih baik lagi.

    7. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen Peminatan Kesehatan Lingkungan yang

    menjadi sumber inspirasi penulis, serta seluruh dosen yang telah berbagi

    ilmunya kepada penulis sehingga menambah wawasan dan cara pandang

    penulis dalam penyusunan skripsi ini.

  • xi

    8. Bapak Idris, selaku Kepala Desa Cisarua beserta istri dan keluarganya yang

    telah memberikan izin penelitian di Desa Cisarua dan telah menerima penulis

    serta membantu penulis dalam penelitian.

    9. Agung, Heni, Yudi, dan Rudi yang telah membantu saya pada saat turun

    lapangan.

    10. Seluruh pekerja penambang emas di Desa Cisarua, selaku responden dalam

    penelitian ini, yang telah memberikan kerja sama yang baik terhadap penulis.

    11. Teman-teman ENVIHSA UIN Jakarta dan seluruh teman mahasiswa/i

    Kesehatan Masyarakat angkatan 2009 (khususnya untuk Malik, Desi, Imah,

    Ratna, dan Vita) yang selalu berbagi baik senang maupun duka.

    12. Para sahabat karang taruna MBS yang telah memberikan motivasi kepada

    penulis.

    Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh

    sebab itu dibutuhkan saran, kritik serta masukan dari semua pihak demi terciptanya

    kebaikan bersama. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis serta yang

    membacanya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan keberakahan dalam

    hidup kita. Amin.

    Jakarta, Oktober 2013

    Nita Ratna Junita

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN

    LEMBAR PERNYATAAN............................................................... i

    ABSTRAK.......................................................................................... ii

    ABSTRACT........................................................................................ iv

    LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................. vi

    LEMBAR PENGESAHAN............................................................... vii

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................... viii

    KATA PENGANTAR....................................................................... ix

    DAFTAR ISI....................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL............................................................................... xiv

    DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xv

    DAFTAR BAGAN.......................................................................... xvi

    DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... xvii

    BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang.................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah............................................................... 7

    1.3 Pertanyaan Penelitian........................................................... 8

  • xiii

    1.4 Tujuan Penelitian................................................................. 9

    1.4.1 Tujuan Umum............................................................ 9

    1.4.2 Tujuan Khusus........................................................... 9

    1.5 Manfaat Penelitian............................................................... 9

    1.5.1 Bagi Pemerintah daerah............................................. 9

    1.5.2 Bagi Pekerja....................................... 10

    1.5.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 10

    1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................. 10

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 11

    2.1 Merkuri (Hg)...................................................................... 11

    2.1.1 Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri..................... 11

    2.1.2 Jenis Merkuri............................................................. 11

    2.1.3 Penggunaan Merkuri................................................. 12

    2.1.4 Merkuri di Lingkungan.............................................. 13

    2.1.5 Batas Aman Merkuri................................................. 15

    2.1.6 Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh...................... 16

    2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi ................................ 16

    2.1.6.2 Ekskresi ........................................................ 17

    2.1.7 Toksisitas Merkuri..................................................... 18

    2.1.7.1 Keracunan Merkuri........................................ 19

  • xiv

    2.1.7.1.1 Keracunan Akut........................... 20

    2.1.7.1.2 Keracunan Kronis........................ 21

    2.2 Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).............................. 22

    2.2.1 Definisi PETI............................................................. 22

    2.2.2 Kegiatan PETI........................................................... 22

    2.2.3 Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI................. 26

    2.2.4 Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI.................. 28

    2.2.5 Paradigma Pajanan Merkuri terhadap

    Pekerja PETI.............................................................

    29

    2.2.6 Biomarker Pajanan Merkuri..................................... 31

    2.2.7 Metode Analisis........................................................ 34

    2.2.8 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan.................. 35

    2.3 Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap

    Keracunan Merkuri (Hg) ...................................................

    36

    2.3.1 Faktor Internal........................................................... 36

    2.3.2 Faktor Pekerjaan........................................................ 38

    2.3.3 Faktor Perilaku.......................................................... 43

    2.3.4 Faktor Lainnya........................................................... 47

    2.5 Kerangka Teori................................................................... 48

  • xv

    BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,

    DAN HIPOTESIS................................................................

    49

    3.1 Kerangka Konsep............................................................... 49

    3.2 Definisi Operasional........................................................... 51

    3.3 Hipotesis............................................................................. 54

    BAB IV METODOLOGI PENELITIAN......................................... 55

    4.1 Jenis Penelitian................................................................... 55

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 55

    4.3 Populasi dan Sampel........................................................... 55

    4.4 Metode Pengumpulan Data................................................ 58

    4.5 Metode Pengukuran Ikan................................................ 58

    4.6 Sampling Rambut............................................................... 59

    4.6.1 Alat dan Bahan yang Digunakan............................... 59

    4.6.2 Teknik Sampling Rambut.......................................... 60

    4.7 Instrumen Penelitian........................................................... 60

    4.8 Pengolahan dan Analisis Data............................................ 63

    4.8.1 Pengolahan Data....................................................... 63

    4.8.2 Analisis Data............................................................. 64

    4.8.2.1 Analisis Univariat........................................ 64

    4.8.2.2 Analisis Bivariat........................................... 64

  • xvi

    BAB V HASIL PENELITIAN........................................................... 66

    5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................... 66

    5.1.1 Geografis................................................................... 66

    5.1.2 Profil Penambangan Emas di Desa Cisarua.............. 68

    5.2 Analisis Univariat............................................................... 69

    5.2.1Gambaran Karakteristik Pekerja Berdasarkan

    Tingkat Pendidikan..................................................

    69

    5.2.2 Gambaran Keracunan Merkuri (Hg)

    pada Pekerja PETI....................................................

    70

    5.2.3 Gambaran Umur Pekerja PETI.................................. 71

    5.2.4 Gambaran Status Gizi Pekerja PETI........................ 71

    5.2.5 Gambaran Masa Kerja Pekerja PETI......................... 72

    5.2.6 Gambaran Jam Kerja Pekerja PETI........................... 72

    5.2.7 Gambaran Jenis Aktivitas Pekerja PETI................... 73

    5.2.8 Gambaran Konsumsi Ikan Pekerja PETI................... 74

    5.3 Analisis Bivariat................................................................. 74

    5.3.1 Hubungan antara Umur dengan

    KeracunanMerkuri.....................................................

    74

    5.3.2 Hubungan antara Status Gizi dengan

    KeracunanMerkuri.....................................................

    75

  • xvii

    5.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan

    Keracunan Merkuri....................................................

    76

    5.3.4 Hubungan antara Jam Kerja dengan

    Keracunan Merkuri....................................................

    77

    5.3.5 Hubungan antara Jenis Aktivitas dengan

    Keracunan Merkuri....................................................

    77

    5.3.6 Hubungan antara Konsumsi Ikan dengan

    Keracunan Merkuri....................................................

    79

    5.4 Gambaran Gangguan Kesehatan Pekerja .......................... 79

    BAB VI PEMBAHASAN................................................................... 81

    6.1 Keterbatasan Penelitian...................................................... 81

    6.2 Keracunan Merkuri............................................................. 81

    6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

    Keracunan Merkuri.............................................................

    84

    6.3.1 Faktor internal............................................................ 84

    6.3.2 Faktor pekerjaan........................................................ 90

    6.3.3 Faktor prilaku............................................................ 95

    BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 100

    7.1 Kesimpulan......................................................................... 100

  • xviii

    7.2 Saran................................................................................... 101

    7.2.1 Bagi Pemerintah Daerah............................................ 101

    7.2.2 Bagi Pekerja............................................................... 101

    7.2.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 102

    DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 103

  • xix

    DAFTAR TABEL

    HALAMAN

    2.1 Batasan Kadar Hg di Lingkungan 14

    2.2 Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin 19

    2.3 Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an) 19

    2.4 Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang 29

    2.5 Batas IMT di Indonesia 37

    5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja PETI Berdasarkan Tingkat

    Pendidikan di Desa Cisarua Tahun 2013

    70

    5.2 Distribusi Frekuensi Keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di

    Desa Cisarua Tahun 2013

    70

    5.3 Distribusi Frekuensi Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71

    5.4 Distribusi Frekuensi IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71

    5.5 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun

    2013

    72

    5.6 Distribusi Frekuensi Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun

    2013

    73

    5.7 Distribusi Frekuensi Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa Cisarua

    Tahun 2013

    73

    5.8 Distribusi Frekuensi Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa Cisarua

    Tahun 2013

    74

    5.9 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Umur Pekerja PETI di

    Desa Cisarua Tahun 2013

    74

  • xx

    HALAMAN

    5.10 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan IMT Pekerja PETI di

    Desa Cisarua Tahun 2013

    75

    5.11 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Masa Kerja Pekerja PETI

    di Desa Cisarua Tahun 2013

    76

    5.12 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jam Kerja Pekerja PETI

    di Desa Cisarua Tahun 2013

    77

    5.13 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jenis Aktivitas Pekerja

    PETI di Desa Cisarua Tahun 2013

    78

    5.14 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Konsumsi Ikan Pekerja

    PETI di Desa Cisarua Tahun 2013

    79

  • xxi

    DAFTAR GAMBAR

    HALAMAN

    2.1 Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas 23

    2.2 Gelundungan 24

    2.3 Tahap Pencucian dan Pemerasan 25

    2.4 Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran 26

    5.1 Peta Lokasi Desa Cisarua 67

  • xxii

    DAFTAR BAGAN

    HALAMAN

    2.1 Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul) 48

    3.1 Kerangka Konsep 50

    4.1 Flowchart Pengukuran dengan metode CV-AAS 61

  • xxiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Skripsi

    Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

    Lampiran 3 Hasil Analisis Data

    Lampiran 4 Lembar Pernyataan

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Potensi produksi pertambangan emas di Indonesia termasuk dalam kategori

    cukup besar. Total produksi selama tahun 1990-2011 adalah sebesar 2501849,73 kg,

    sedangkan produksi tambang emas rata-rata adalah sebesar 113720,4423 kg per tahun

    (Sultan, 2011). Hal tersebut sejalan dengan nilai ekspor hasil industri penghasil emas,

    yang termasuk cukup besar juga. Menurut data Kementerian Perindustrian RI (2013),

    ekspor kelompok hasil industri penghasil emas (khususnya emas dalam batang,

    tuangan dan keranjang) memiliki nilai tertinggi diantara industri perhiasaan dan

    kerajinan dari logam lainnya, yaitu puncaknya pada tahun 2011 sebesar dalam US$

    2.224.205.514 dan nilainya selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu dari tahun 2007

    sampai tahun 2011. Selain itu, diketahui juga bahwa persentasi peran ekspor dari

    kelompok industri penghasil emas terhadap total ekspor hasil industri pada tahun

    2011 berada di posisi tertinggi, yaitu sebesar 1,82%.

    Sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada produksi dan kegiatan ekspor

    hasil industri penghasil emas tersebut, terjadi pula peningkatan kegiatan pada sektor

    pertambangan emas baik legal maupun non-legal, salah satunya yaitu kegiatan

    Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang biasa dilakukan oleh penambang emas

  • 2

    tradisional. Meningkatnya jumlah penambang emas tradisional ini salah satunya

    terjadi di kawasan Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 1998-

    2000, daerah tambang Pongkor yang luasnya sekitar 4.000 ha ini menjadi lahan mata

    pencaharian baru bagi ribuan orang; pada puncaknya diperkirakan mencapai 26.000

    orang (McMahon et al., 2000; Kartodihardjo & Suntana, 2010). Selanjutnya,

    berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 1999 jumlah Penambangan

    Emas Tanpa Izin (PETI) yang melakukan penambangan di ruas Sungai Cikaniki

    diperkirakan berjumlah 6000 orang (Anonim, 2000; Yoyok Sudarso et al., 2009).

    Penduduk lokal turut berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan rakyat ini, terutama

    yang bermukim di tiga desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Pongkor, yaitu

    Desa Bantar Karet, Cisarua, dan Malasari. Diperkirakan sekitar 30% dari para

    penambang adalah penduduk lokal (Zulkarnain et al., 2004; Kartodihardjo & Suntana,

    2010).

    Bila ditinjau dari segi administratif kegiatan PETI menjadi permasalahan

    karena tidak memiliki izin penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan

    tersebut dikenal dengan sebutan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) seperti yang

    tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan

    Batubara. Begitu pula halnya apabila ditinjau dari segi lingkungan dan kesehatan.

    Kegiatan PETI dapat memberikan kontribusi negatif berupa pencemaran lingkungan

    karena penggunaan bahan kimia yang bersifat toksik bagi manusia. Salah satu bahan

    kimia yang digunakan adalah merkuri.

  • 3

    Dari hasil survei pendahuluan diketahui bahwa kegiatan pengolahan emas

    yang dilakukan di Desa Cisarua masih secara tradisional dan menggunakan teknik

    amalgamasi yang menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya, Biji emas

    hasil penambangan di kawasan Gunung Pongkor tersebut, digiling dengan alat

    gelundungan yang telah ditambahkan merkuri, sampai menjadi serbuk pasir lalu

    dicampur dengan merkuri dan diperas dengan menggunakan kain sehingga sebagian

    merkuri dan air keluar dari pori-pori kain. Setelah itu, dilakukan pemijaran atau

    pembakaran, kemudian ditumbuk.

    Apabila ditinjau dari segi lingkungan, sumber pencemaran dapat terjadi dari

    setiap tahapan pengolahan emas. Pada tahap penggilingan, unsur merkuri dapat

    terlepas dari gelundung sehingga jatuh dan dapat mencemari tanah sekitar dan dapat

    pula mencemari sungai (Juliawan, 2006). Pada tahap pencucian dan pemerasan,

    limbah cair yang mengandung merkuri dari hasil kegiatan tersebut dapat tercecer di

    sekitar area pengolahan emas sehingga dapat mecemari tanah. Selanjutnya, pada

    tahap pembakaran,, uap merkuri yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat mencemari

    udara dan kemudian mengendap di permukaan tanah (Juliawan, 2006).

    Dari hasil analisis lingkungan juga mengindikasikan adanya pencemaran oleh

    merkuri yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan PETI. Hal ini ditunjukkan dengan

    adanya hasil analisis terhadap sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu

    di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai

    Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-

  • 4

    241,6 ppm. Sedangkan pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua

    sungai bermuara, konsentrasi Hg berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006;

    Widowati et al., 2008). Bila dibandingkan dengan baku mutu air sungai golongan B

    dalam KepMen LH No 2 Tahun 1998, maka diketahui bahwa Sungai Cipanas,

    Cikawung, Cimarinten, dan Cikaniki sudah melewati baku mutu untuk parameter

    merkuri, yaitu sebesar 0,001 mg/L (ppm).

    Selanjutnya, diketahui juga kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana

    menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di

    Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25

    ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008). Jika dibandingkan dengan baku mutu

    yang terdapat dalam peraturan KepBPOM No. 3725/B/SK/VII/89 terkait kadar

    merkuri dalam bij-bijian, diketahui bahwa kandungan beras yang didapat dari sawah

    di Nunggul dan Kalongliud Pongkor yang menggunakan air limbah penambangan

    emas tradisional sebagai sistem irigasinya, telah melewati batas aman yang telah

    ditetapkan, yaitu 0,05 mg/kg (ppm).

    Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh

    melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap

    merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri (Lestarisa, 2010).

    Paparan terhadap merkuri ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan

    manusia, khususnya kesehatan pekerja PETI. Dampak negatif tersebut dapat berupa

    keracunan merkuri baik bersifat akut maupun kronis. Proses pengolahan emas dimana

  • 5

    pekerjanya tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) tersebut dapat

    memperbesar risiko terjadinya keracunan merkuri. Keracunan merkuri tersebut dapat

    ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi

    kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa

    tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare (Wardhana, 2001; Subanri,

    2008).

    Keracunan oleh merkuri anorganik utamanya dapat mengakibatkan

    terganggunya fungsi ginjal, hati, serta sistem enzim. Sedangkan, untuk merkuri

    organik, yaitu metil merkuri, dapat menembus plasenta dan merusak janin, serta dapat

    mengganggu saluran darah ke otak hingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan

    otak (Herman, 2006). Keracunan merkuri juga dapat menyebabkan kelainan psikiatri

    berupa insomnia, nervus, pusing, mudah lupa, tremor dan depresi (Sudarmaji et al.,

    2006).

    Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap

    kesehatan manusia, berupa keracunan tersebut dapat ditinjau dari paradigma

    kesehatan lingkungan yang disebut dengan teori simpul (Achmadi, 2011). Dalam

    paradigma tersebut, besarnya pajanan merkuri pada pekerja PETI dapat dipengaruhi

    oleh variabel berupa umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, jenis

    aktivitas PETI, dan konsumsi ikan. Besarnya pajanan tersebut dapat diketahui melalui

    pemeriksaan biomonitoring dengan menggunakan biomarker berupa rambut.

  • 6

    Menurut WHO (1991) rambut merupakan media indikator yang berguna

    untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan rambut

    merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam

    berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat

    kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus

    (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Indikator keracunan merkuri dapat

    dilihat dengan menbandingkan kadar merkuri pada rambut dengan ketetapan dari

    WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar

    antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.

    Terdapat beberapa penelitian terkait merkuri yang sebelumnya telah

    dilakukan, salah satunya adalah penelitian terkait Status Kontaminasi Merkuri di

    Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat pada tahun 2010 yang disusun oleh Tri Suryono

    dkk. Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri total yang terdapat di air dan yang

    terakumulasi di sedimen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kontaminasi

    logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air

    maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat.

    Pada penelitian tersebut diketahui pula bahwa kontaminasi merkuri total pada air di

    ruas sungai Cikaniki, yaitu Desa Cisarua sudah tergolong tercemar berat pada bulan

    Agustus 2008, sedangkan kontaminasi merkuri total pada sedimen tergolong tercemar

    berat pada bulan Juni 2008.

  • 7

    Selanjutnya, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada

    10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh

    kadar merkuri rata-rata adalah sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti

    terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan

    bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan

    Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh

    WHO (1990), yaitu sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm.

    Dengan pertimbangan berbagai masalah pencemaran merkuri yang terjadi

    serta dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian merkuri dengan adanya

    kegiatan PETI tersebut maka sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pajanan

    merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan, yang dalam hal ini adalah berupan risiko

    keracunan merkuri terhadap pekerja penambangan emas tanpa izin tersebut. Hal

    tersebut juga dipertegas dengan pernyataan dari WHO (2012) yang menyatakan

    bahwa merkuri merupakan salah satu dari sepuluh kelompok kimia yang menjadi

    perhatian utama bagi kesehatan masyarakat.

    1.2 Rumusan Masalah

    Kegiatan PETI yang memiliki andil terhadap terjadinya pencemaran merkuri

    dapat mempengaruhi kesehatan, seperti keracunan merkuri. Berdasarkan studi

    pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua

    Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh kadar merkuri rata-rata adalah

  • 8

    sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami

    keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa paparan merkuri akibat dari

    kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas

    kadar normal yang telah ditetapkan oleh WHO (1990), yaitu untuk kadar pada rambut

    sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis mengenai

    pemaparan terhadap risiko keracunan merkuri pada pekerja PETI sehingga dapat

    diketahui besarnya pajanan merkuri pada pekerja dan faktor-faktor yang

    mempengaruhinya.

    1.3 Pertanyaan Penelitian

    1. Bagaimana gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di

    Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013?

    2. Bagaimana gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa kerja,

    jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan, dan gangguan kesehatan pada

    pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor

    tahun 2013?

    3. Bagaimana hubungan variabel umur, status gizi, massa kerja, jam kerja,

    jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri (Hg) pada

    pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor

    tahun 2013?

  • 9

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Menganalisis risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa

    Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

    1.4.2 Tujuan Khusus

    1. Diketahuinya gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di

    Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

    2. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa

    kerja, jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan dan gangguan kesehatan

    pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten

    Bogor tahun 2013.

    3. Diketahuinya hubungan antara variabel umur, status gizi, massa kerja,

    jam kerja, jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri

    (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung

    Kabupaten Bogor tahun 2013.

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1 Bagi Pemerintah Daerah

    Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi-

    instansi yang terkait, seperti BLH Kabupaten Bogor dalam pengambilan

    keputusan dan perencanaan lingkungan.

  • 10

    1.5.2 Bagi Pekerja

    Menambah pengetahuan dan informasi mengenai dampak merkuri yang

    dihasilkan dari kegiatan pengolahan emas yang menggunakan merkuri

    tersebut.

    1.5.3 Bagi Peneliti Lain

    1. Sebagai informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

    kadar merkuri pada rambut dan gangguan kesehatan yang terjadi di

    masyarakat sekitar area penambangan emas tanpa izin

    2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

    1.6 Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai risiko keracunan

    merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Cisarua

    Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. Objek penelitian ini adalah

    rambut dan pemaparan pekerja yang mempengaruhi keracunan merkuri melalui

    rambut tersebut. Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan

    Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

    Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Merkuri (Hg)

    2.1.1. Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri

    Merkuri atau air raksa (Hg) adalah salah satu jenis logam sebagai senyawa

    organic dan anorganik yang banyak dtemukan di alam dan tersebar dalam batu-

    batuan, biji tambang, tanah, air, dan udara (BPOM, 2004). Merkuri (Hg) merupakan

    logam yang dalam keadaan normal berbentuk cairan dengan warna abu-abu dan tidak

    berbau (BPOM, 2004). Merkuri memiliki sifat mudah menguap pada suhu ruangan

    dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm. Merkuri juga dapat larut dalam asam

    sulfat atau asam nitrit, tetapi tahan terhadap basa. Sifat kimia dari merkuri yang

    lainnya adalah merkuri memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol.

    Selain itu, merkuri mempunyai titik lebur -38,9oC dan titik didih sebesar 356,6

    oC

    Widowati et.al. (2008).

    2.1.2. Jenis Merkuri

    Merkuri dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:

    a) Merkuri elemental atau metalik

    Merkuri elemental (Hg0) merupakan logam perak-putih, berkilau, dan

    berbentuk cairan pada suhu kamar. Merkuri elemental biasa digunakan

  • 12

    dalam termometer, lampu neon dan beberapa saklar listrik (EPA, 2013).

    Merkuri elemental merupakan bentuk merkuri yang paling mudah

    menguap (WHO, 2003). Menurut EPA, paparan merkuri elemental dapat

    menguap pada suhu kamar dan memiliki sifat tidak terlihat, tidak berbau,

    serta beracun.

    b) Merkuri inorganik

    Senyawa merkuri inorganik (dengan simbol kimia Hg (II) atau Hg2+

    )

    berbentuk garam merkuri dan bubuk yang umumnya berwarna putih atau

    kristal, kecuali merkuri sulfida yang berwarna merah. Senyawa merkuri

    inorganik biasa digunakan pada fungisida, antiseptik atau disinfektan.

    Selain itu, biasa digunakan pula pada beberapa krim pencerah kulit serta

    beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013).

    b) Merkuri organik

    Senyawa merkuri organik yang paling umum ditemukan di lingkungan

    adalah metilmerkuri (dengan rumus kimia MeHg) yang terbentuk pada

    saat merkuri bergabung dengan karbon. Organisme renik mengkonversi

    merkuri inorganic menjadi metilmerkuri. Metilmerkuri dapat terakumulasi

    dalam rantai makanan, seperti pada ikan (EPA, 2013).

    2.1.3. Penggunaan Merkuri

    Merkuri memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, terutama di berbagai

    industri. Industri farmasi menghasilkan produk yang mengandung merkuri yang

  • 13

    digunakan untuk antiseptic, diuretic, katartik serta penggunaan senyawa merkuri

    anorganik dan organik untuk pengobatan sifilis. Industri listrik menggunakan merkuri

    pada lampu floresens, saklar lampu tidak berbunyi dan pada lampu jalan. Merkuri

    juga digunakan pada industri emas dan perak untuk proses amalgamasi. Untuk alat

    kedokteran, merkuri digunakan pada alat tekanan darah, thermometer, dan

    pacemaker. Selain itu, merkuri anorganik juga terdapat pada pigmen, cat, bahan

    pencelup, bahan tattoo, pembalseman, pengawet kayu, herbisida, insektisida, jeli

    spermisidal, cat kuku, germisidal pada sabun, pemadam api, dan baterai merkuri yang

    tahan lama (Sari, 2002).

    2.1.4 Merkuri di Lingkungan

    Merkuri merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di udara, air, dan tanah

    yang dapat didistribusikan ke seluruh lingkungan baik secara alami maupun karena

    adanya kegiatan manusia (antropogenik) (UNEP dan WHO, 2008). Menurut

    Widowati et.al. (2008), Hg yang masuk dalam lingkungan perairan dapat dalam

    bentuk:

    a) Hg anorganik: berasal dari air hujan atau aliran sungai, memiliki sifat stabil

    pada pH yang rendah.

    b) Hg organik: berasal dari kegiatan pertanian, yaitu penggunaan pestisida

    c) Terikat: suspended soil

    d) Logam Hg: berasal d ari kegiatan industri (Budiono, 2002)

  • 14

    Sebagian besar merkuri yang berada di atmosfer dalam bentuk Hg0 uap, yang

    dapa berada/beredar di atmosfer hingga satu tahun, sehingga dapat tersebar ribuan mil

    dari sumber emisi. Sebagian besar merkuri dalam air, tanah, sedimen, atau tanaman

    dan hewan berada dalam bentuk merkuri ionik (seperti merkuri klorida) (US EPA,

    1997; UNEP dan WHO, 2008). Sedangkan untuk metilmerkuri utamanya terdapat

    dalam ikan. Merkuri dapat berakumulasi di rantai makanan, sehingga dapat

    dinyatakan bahwa semakin tinggi suatu organisme dalam rantai makanan yang secara

    otomatis semakin tinggi juga tingkat trofiknya, maka akan menyebabkan semakin

    tinggi pula konsentrasi metilmerkuri pada organisme tersebut (Watras et al., 1998;

    UNEP dan WHO, 2008).

    Terdapat berbagai peraturan mengenai batasan kadar Hg di lingkungan,

    begitupun halnya yang berlaku di Indonesia. Peraturan mengenai batasan kadar Hg di

    lingkungan yang berlaku di Indonesia dijelaskan pada tabel 2.2 berikut.

    Tabel 2.1. Batasan Kadar Hg di Lingkungan

    No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan

    1. Kadar Hg dalam air minum pada

    Permenkes No. 907/ 2002 0,001 mg/l

    2. Kadar Hg dalam air bersih pada

    Permenkes No. 416/ 1990 0,001 mg/l

    3. Kadar Hg dalam udara tempat kerja

    Kepmenkes No. 261/ 1998 0,1 mg/l

  • 15

    No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan

    4.

    Kadar Hg dalam makanan dan

    minuman pada KepBPOM No.

    3725/B/SK/VII/89

    Dalam ikan segar: 0,5 mg/kg

    Dalam sayur-sayuran: 0,03 mg/kg

    Dalam biji- bijian: 0,05 mg/kg

    5. Kadar Hg dalam air sungai Kepmen

    LH No. 02/ 1998

    Golongan A (baku mutu air minum):

    0,001 mg/l

    Golongan B (untuk perikanan): 0,001 mg/l

    Golongan C (untuk pertanian): 0,002 mg/l

    Golongan D (yang tidak termasuk

    golongan A, B dan C): 0,005 mg/l

    Sumber: Inswiasri (2008)

    2.1.5. Batas Aman Merkuri

    Menurut WHO dan UNEP (2008), kadar merkuri normal dalam darah rata-

    rata berkisar antara 5-10 mg/L, untuk rambut berkisar antara 1-2 ppm, sedangkan

    untuk urin konsentrasi merkuri maksimum adalah 50 mg/g kreatinin. Kadar merkuri

    pada urin orang yang pekerjaannya tidak terpapar merkuri jarang melebihi 5 ug/g

    kreatinin.

    Batas aman dari segi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung

    merkuri telah ditetapkan oleh The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food

    Additives (JECFA). JECFA menetapkan konsumsi mingguan yang ditoleransi untuk

    total merkuri adalah sebesar 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk metilmerkuri

  • 16

    sebesar 1,6 mg/kg berat. Sedangkan, menurut US EPA dosis metilmerkuri per-hari

    adalah 0,1 mg/kg berat badan dan dosis merkuri klorida per-hari adalah 0,3 mg/kg

    berat badan (WHO dan UNEP, 2008).

    Menurut EPA (2007), dosis letal akut merkuri inorganik untuk orang dewasa

    adalah 1-4 gram atau 14-57 mg/kg berat badan untuk seseorang yang memiliki berat

    badan sebesar 70 kg. Sedangkan, dosis letal minimum metilmerkuri untuk seseorang

    yang memiliki berat badan sebesar 70 kg adalah berkisar antara 20-60 mg/kg berat

    badan.

    2.1.6. Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh

    Kontak yang terjadi antara merkuri dengan individu dapat melalui inhalasi,

    kulit, atau saluran cerna (tertelan) yang kemudian diabsorbsi (diserap) untuk

    kemudian didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh dan nantinya akan mengalami

    proses ekskresi melalui beberapa rute yaitu lewat urin, keringat, air liur, air susu,

    feses, kuku dan rambut (W. Hartono, 2003).

    2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi

    Untuk merkuri elemental (Hg0) tidak diabsorbsi secara signifikan atau diubah

    oleh sistem pencernaan manusia. Akan tetapi, untuk paparan melalui inhalasi

    penyerapan Hg0 terjadi secara efisien dan cepat melalui paru-paru karena sekitar 80%

    dari uap yang terhirup akan diserap oleh jaringan paru-paru (UNEP dan WHO, 2008).

    Di dalam darah, merkuri terdapat pada plasma dan sel darah merah. Sebagian masuk

  • 17

    ke jaringan otak tanpa teroksidasi, dan sebagian lagi mengalami oksidasi dalam

    bentuk ion dan berakumulasi di ginjal. Untuk merkuri elemental dan organik

    cenderung berakumulasi di syaraf, sedangkan merkuri anorganik di ginjal (Matsuo et

    al., 1989; W. Hartono, 2003). Merkuri elemental memiliki sifat larut dalam lemak

    yang tinggi. Karena sifatnya tersebut, maka merkuri elemental dengan mudah dapat

    melewati sawar otak dan plasenta (Larry et. al., 2002; BPOM, 2004).

    2.1.6.2 Ekskresi

    Merkuri ionik utamanya diekskresikan melaui urin dan tinja, tetapi dapat pula

    melalui ASI. Sedangkan, untuk metil merkuri, ekskresi utama melalui feses, rambut

    dan kurang dari sepertiga dari total ekskresi melalui urin, tetapi dapat pula melalui

    ASI dengan kadar yang lebih rendah (UNEP dan WHO, 2008). Pada proses ekskresi

    yang terjadi sangat dipengaruhi dengan waktu paruhnya. Adapun pengertian waktu

    paruh yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekskresi sehingga

    mencapai separuh kadar yang ada di dalam tubuh. Waktu paruh merkuri secara

    biologik sekitar 60 hari atau antara 35-90 hari (W. Hartono, 2003). Pengeluaran

    merkuri terutama dalam bentuk urine dan feses memiliki waktu paruh 40-60 hari.

    Empedu dan feses merupakan jalur utama ekskresi metil merkuri yang memiliki

    waktu paruh sekitar 70 hari (Cakrawati, 2002).

  • 18

    2.1.7. Toksisitas Merkuri

    Pengaruh toksisitas merkuri terhadap manusia tergantung dari bentuk

    komposisi merkuri, rute masuknya kedalam tubuh dan lamanya terpajan. Toksisitas

    uap merkuri pada tubuh melalui saluran pernafasan biasanya menyerang sistem syaraf

    pusat, sedangkan toksisitas kronik dapat menyerang ginjal (Darmono, 2001; Iman .R,

    2005). Pekerja yang peka dan terpajan dengan uap merkuri sebesar 0,05 mg/m3 di

    udara secara terus-menerus, dapat menimbulkan gejala nonspesifik berupa

    neuroasthenia (Idris, 1998). Menurut ATSDR (2011), merkuri dapat menembus

    darah-otak dan plasenta. Diketahui pula bahwa pada anak-anak peningkatan risiko

    toksisitas pada paru-paru mungkin terjadi dan dapat berkembang menjadi gangguan

    dalam pernafasan (sulit bernafas).

    Menurut Silalahi (2005), Hg berpengaruh terhadap proses ateroskelorsis

    (penyempitan dan penebalan pembuluh darah) karena Hg dapat membentuk radikal

    bebas yang dapat merusak sel. Kandungan merkuri tinggi, yaitu sebesar > 2,0 mg/g

    pada rambut pria dewasa dapat berkolerasi dengan peningkatan risiko PJK, dan atau

    infarksi miokardial 2-3 kali lipat dibandingkan dengan yang memiliki kandungan

    merkuri rendah.

  • 19

    Tabel 2.2. Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin

    Organ Hg pada induk (g/g) Hg pada janin (g/g)

    Ginjal

    Paru-paru

    Hati

    Cerebrum

    Cerebellum

    Jantung

    Limpa

    Darah

    518

    77,5

    8

    10,9

    5,8

    3,2

    5,2

    15 g/100 ml

    5,8

    0,6

    10,1

    0,05

    0,24

    0,15

    1,8

    2,35 g/100 ml

    Sumber: Widowati et.al. (2008)

    2.1.7.1 Keracunan Merkuri

    Paparan merkuri dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, yaitu berupa

    keracunan merkuri. Peristiwa keracunan merkuri tersebut telah terjadi di berbagai

    Negara dan memakan banyak korban, baik yang cidera maupun korban yang

    meninggal. Hal ini seperti yang dijelaskan pada table di bawah ini:

    Tabel 2.3. Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an)

    Lokasi Tahun Akibat

    Minamata-Jepang 1953-1960 111 orang meninggal cidera

    Irak 1961 35 orang meninggal 321 orang cidera

    Pakistan Barat 1963 4 orang meninggal 34 orang cidera

  • 20

    Lokasi Tahun Akibat

    Guatemala 1966 20 orang meninggal 45 orang cidera

    Nigata-Jepang 1968 5 orang meninggal 25 orang cidera

    Sumber: Heryando Palar (1994)

    Keracunan oleh logam merkuri tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu keracunan

    merkuri akut dan kronis.

    2.1.7.1.1. Keracunan Akut

    Keracunan akut terjadi karena adanya pemaparan merkuri secara langsung dan

    dalam dosis yang besar (Irwan, 2009). Gejala yang ditimbulkan dari kejadian

    keracunan akut adalah pharyngitis (peradangan tekak), dyspaghia, sakit pada bagian

    perut, mual-mual dan muntah, murus disertai dengan darah dan shok. Apabila gejala

    tersebut tidak diatasi, maka dapat terjadi efek lanjutannya yaitu pembengkakan pada

    kelenjaran ludah, radang ginjal (nephritis) dan radang pada hati (hepatitis) (Palar,

    1994). Menurut Kamitsuka et al. (1984) dalam W. Hartono (2003), beberapa kasus

    Keracunan merkuri akut telah terjadi pada pekerja tambang emas tradisional yang

    sedang mengekstraksi emas dan pada neonates yang terinhalasi merkuri dari

    thermometer yang pecah, dengan gejala seperti batuk, nyeri dada, sesak nafas,

    bahkan dapat menimbulkan bronchitis dan pneumonitis.

    Di dalam tubuh, senyawa atau garam-garam merkuri yang merupakan penyebab

    dari keracunan akut akan mengalami proses ionisasi. Akibat dari adanya proses

  • 21

    ionisasi tersebut adalah daya racun dari senyawa atau garam-garam merkuri tersebut

    dapat menjadi berlipat ganda. Adapun proses ionisasi yang terjadi adalah sebagai

    berikut (Palar, 1994):

    Hg(CN)2 Hg2+

    + CN

    dalam tubuh

    2.1.7.1.2. Keracunan Kronis

    Keracunan kronis adalah kejadian keracunan yang terjadi dalam kurun waktu

    yang lama dengan kadar merkuri yang sedikit dan terjadi secara perlahan-lahan dan

    terus-menerus, sehingga dapat mengendap dalam tubuh dan menimbulakan gejala

    keracunan. Keracunan ini dapat terjadi karena menghirup uap atau debu merkuri atau

    melakukan kontak dengan merkuri melalui kulit. Tanda-tanda yang ada pada pekerja

    yang terpajan merkuri secara kronik meliputi: pengeluaran ludah berlebih

    (hipersaliva), sariawan, gigi menjadi tanggal, guratan biru pada gusi, nyeri dan mati

    rasa pada bagian kaki dan tangan, nephritis, diare, gelisah, sakit kepala, penurunan

    berat badan, anoreksia, jiwa tertekan, halusinasi, dan kemunduran mental secara jelas

    (W. Hartono, 2003).

    Selain itu, menurut Widowati (2008), toksisitas kronis dapat berupa gangguan

    sistem pencernaan, gingivitis (radang gusi), dan sistem syaraf, berupa tremor,

    parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan, serta

    anemia ringan. Hal tersebut juga sejalan dengan Palar (1994), yang menyatakan

  • 22

    bahwa secara umum terdapat dua organ yang akan mengalami gangguan akibat

    keracunan kronis tersebut, yaitu sistem pencernaan dan sistem syaraf. Gejala dapat

    berupa gingivitis, tremor ringan dan parkinsonisme disertai dengan tremor pada otot

    sadar. Gejala tremor dimulai dari ujung jari tangan/ kaki dan menjalar sampai otot

    wajah dan pangkal tenggorokan.

    2.2. Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)

    2.2.1. Definisi PETI

    PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) adalah kegiatan penambang emas

    yang dilakukan oleh para penambang emas atau yang secara lokal biasa disebut

    dengan gurandil atau penambang emas tradisional yang tidak memiliki izin

    penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan

    IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun

    2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

    adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan

    rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

    2.2.2. Kegiatan PETI

    Kegiatan penambangan di daerah Pongkor, salah satunya di Desa Cisarua,

    dilakukan dengan sistem penambangan bawah tanah, yaitu dengan membuat

    terowongan yang mempunyai tinggi sekitar 1 meter dan mempunyai kedalaman yang

    bervariasi (Juliawan, 2006). Hasil dari penambangan emas berupa batu-batuan yang

  • 23

    mengandung emas (bijih) tersebut dibawa untuk dilakukan pengolahan. Dari hasil

    studi pendahuluan, secara umum diketahui bahwa pengolahan emas yang terdapat di

    Desa Cisarua menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan menggunakan merkuri.

    .

    Gambar 2.1. Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas

    Teknik amalgamasi tersebut memanfaatkan sifat dari merkuri itu sendiri, yang

    dapat melarutkan berbagai jenis logam (misalnya: emas) sehingga membentuk

    amalgam. Biji emas yang dicampur dengan merkuri akan berfungsi melarutkan emas

    dan karena merkuri memiliki massa yang lebih berat, maka batuan dan bahan

    pengotor lainnya akan mengapung di permukaan air sehingga dapat dengan mudah

    dipisahkan (Silalahi, 2005). Adapun pengolahan yang dilakukan terdiri dari: tahap

    penumbukan awal, tahap penggilingan, tahap pencucian dan pemerasan, tahap

    pembakaran, serta tahap penumbukan akhir (finishing). Adapun penjelasan dari

    masing-masing tahapannya adalah sebagai berikut.

  • 24

    a) Tahap penumbukan awal

    Batu-batuan yang mengandung emas (bijih) dari hasil penambangan

    tersebut, ditumbuk sampai hancur sehingga mempunyai ukuran yang

    lebih kecil untuk dimasukkan ke amalgamator atau gelundung.

    b) Tahap penggilingan

    Proses penggilingan diproses di dalam amalgamator atau gelundung

    yang telah diberi merkuri. Pada masing-masing gelundung terdapat

    besi atau disebut dengan pelor yang berfungsi untuk menghancurkan

    dan mengubah bijih emas tersebut menjadi butiran yang lebih halus

    dan membentuk amalgam. Selain itu, proses penggilingan juga

    berfungsi untuk memisahkan bijih emas dengan pengotor lainnya.

    Tenaga penggerak gelundung terdiri dari 3 jenis, yaitu yang

    mennggunakan kincir air, tenaga listrik, dan tenaga generator diesel

    (Rohmana, Suharsono Kamal dan Suhandi, 2006). Proses

    penggilingan tersebut berlangsung selama sekitar 8 jam.

    Gambar 2.2. Gelundungan

  • 25

    c) Tahap pencucian dan pemerasan

    Amalgam yang dihasilkan dari proses penggilingan, kemudian dicuci

    dan diperas dengan menggunakan kain. Hal ini bertujuan untuk

    membersihkan dari pengotor lain (seperti tanah dan sebagainya) dan

    mengurangi kandungan merkuri yang masih terdapat pada amalgam

    basah tersebut. Sisa-sisa merkuri keluar dari pori-pori kain dan jatuh

    ke tempat penampungan untuk pencucian tersebut. Merkuri dari hasil

    pencucian dan pemerasan yang mengendap di tempat pencucian,

    nantinya akan digunakan kembali untuk proses pengolahan emas.

    Gambar 2.3. Tahap Pencucian dan Pemerasan

    d) Tahap pembakaran atau penggarangan

    Proses pembakaran/penggarangan dilakukan untuk menghilangkan

    unsur merkuri yang masih tertinggal pada amalgam tersebut.

    Pembakaran yang dilakukan pada proses pengolahan emas ini

  • 26

    menggunakan alat yang sederhana, seperti yang terdapat pada gambar

    dibawah ini.

    Gambar 2.4. Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran

    Pada tahap pembakaran ini, merkuri yang ada pada amalgam

    menguap keudara. Bola amalgam yang tadinya berwarna perak

    berubah menjadi berwarna emas. Setelah proses pembakaran didapat

    kadar emas sekitar 30-60%.

    e) Tahap penumbukan akhir (finishing)

    Pada tahap ini emas hasil dari pembakaran ditumbuk dan dibentuk

    sesuai dengan permintaan pasar atau konsumen.

    2.2.3. Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI

    Kegiatan pengolahan emas yang dilakukan secara amalgamasi dari kegiatan

    PETI ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan baik di air, tanah,

    maupun udara. Hal tersebut sejalan dengan Herman (2006) dalam Widowati et.al.

    (2008) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh Hg

  • 27

    adalah berasal dari pengolahan emas secara amalgamasi yang menghasilkan buangan

    berupa tailing. Dari hasil proses tersebut sebagian Hg akan membentuk amalgam

    dengan logam lain, seperti Au, Ag dan Pt; dan sebagian Hg akan hilang dalam proses

    pengolahan emas tersebut.

    Pada tahun 2003, diketahui penggunaan merkuri dari kegiatan PETI sebesar

    16,2 ton perbulan (Senny Sunanisari, 2008). Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri

    dibuang ke Sungai Cikaniki oleh PETI setiap tahunnya (Anonim, 2009; Yoyok

    Sudarso dkk, 2009). Sungai Cikaniki, Sub DAS Cisadane yang merupakan sungai

    yang alirannya melewati lokasi pertambangan telah tercemar logam merkuri (Hg)

    cukup berat, bila dibandingkan batas maksimum Baku Mutu Air dalam PP No. 20

    Tahun 1995. Pencemaran oleh merkuri tersebut berasal dari kegiatan pertambangan

    emas tanpa izin di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor (Margaret Bunga A. S.,

    2010). Sama halnya dengan Sungai Cikaniki, Status kontaminasi logam merkuri pada

    air Sungai Cisadane relatif tinggi hingga mencapai 3,33 ppb (Anonim, 2000) (Yoyok

    Sudarso dkk, 2009).

    Selain itu, kegiatan PETI tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran

    lingkungan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa sedimen aktif di lokasi PETI

    didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi

    pengolahan emas, yaitu di Sungai Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah

    mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-241,6 ppm. Selanjutnya, pada Sungai

    Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg

  • 28

    berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006; Widowati et al., 2008). Selain itu, dari

    hasil penelitian diketahui kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana

    menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di

    Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25

    ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008).

    2.2.4. Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI

    Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, seluruh rangkaian kegiatan

    pengolahan emas dilakukan pekerja tanpa menggunakan APD (Alat Pelinding Diri).

    Sedangkan para pekerja mempunyai risiko untuk terpapar merkuri baik melalui

    kontak langsung, yaitu pada tahap pencampuran merkuri baik yang digunakan untuk

    amalgamator, maupun yang digunakan untuk proses pemerasan amalgam. Pada tahap

    pemerasan juga terjadi kontak langsung antara pekerja dengan merkuri. Dari hasil

    observasi dan wawancara diketahui bahwa pekerja tidak menggunakan sarung tangan

    pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan juga dapat terjadi pada proses

    penggarangan atau pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran dapat terhirup

    langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak menggunakan masker

    pada saat melakukan proses pembakaran.

  • 29

    Tabel 2.4. Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang

    Jalan Masuk Mekanisme

    Melalui inhalasi Terhirup melalui hidung kemudian menembus alveoli dengan

    cara terdisfusi dan masuk ke dalam peredaran darah

    Melalui kulit Senyawa merkuri bersifat lipofilik, karena kulit mengandung

    kelenjar sebasea yang dapat melepaskan asam lemak maka

    merkuri akan diabsorpsi ke dalam kulit. Setelah itu, masuk

    melalui kapiler darah dibawah kulit dan didistribusikan ke

    seluruh tubuh

    Sumber: Hartono (2003)

    2.2.5. Paradigma Pajanan Merkuri terhadap Pekerja PETI

    Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap

    kesehatan manusia dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma

    tersebut menjelaskan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang

    berpotensi menimbulkan penyakit terhadap manusia. Hal ini dapat digambarkan

    dalam teori simpul, yang terbagi atas lima simpul, yaitu: sumber penyakit, media

    transmisi penyakit,perilaku pemajanan, kejadian penyakit dan variabel supra sistem

    (Achmadi, 2011).

    Pada simpul satu, yaitu sumber penyakit merupakan titik yang mengeluarkan

    agent penyakit. Dalam hal ini diketahui agent penyakit berupa merkuri atau air raksa

  • 30

    (Hg) yang berada di lingkungan. Keberadaan merkuri ini salah satunya dapat

    disebabkan karena adanya kegiatan PETI.

    Pada simpul dua, media transmisinya dapat berupa udara, air, tanah

    (sedimen), dan pangan. Orang dapat terpajan uap Hg bila bernafas dalam lingkungan

    yang terkontaminasi oleh uap merkuri (Hg), menelan/makan makanan atau minum air

    yang terkontaminasi oleh merkuri (Hg), dan melalui kulit yang kontak dengan

    merkuri (Hg). (ATSDR, 1999; WHO, 2001; Inswiasri, 2008).

    Besarnya jumlah kontak yang diterima manusia dari lingkungannya yang

    mengandung agent penyakit tergantung dari perilaku pemajan, yaitu pada simpul tiga

    (Inswiasri, 2008) (Achmadi, 2011). Dalam hal ini variabel pada simpul ketiga dapat

    berupa: umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, penggunaan APD,

    kadar pemakaian merkuri/ hari, jenis aktivitas PETI, konsumsi ikan, kebiasaan mandi

    di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi merkuri, dan pemakaian kosmetik.

    Sebagai contoh keterkaitan variabel tersebut terhadap pemajan merkuri, yaitu adanya

    kontak langsung melalui kulit dalam hal ini dapat terjadi ketika seseorang memiliki

    kebiasaan mandi di sungai yang telah terkontaminasi dengan merkuri (Hg). Untuk

    mengukur atau memperkirakan besarnya pajanan yang diterima dapat diukur melalui

    biomarker atau tanda biologi. Biomarker pajanan yang umum dilakukan untuk

    pemeriksaan kadar Hg salah satunya adalah rambut (Inswiasri, 2008).

  • 31

    Simpul empat merupakan outcome dari adanya hubungan interaktif antara

    individu dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya, sehingga menimbulkan

    kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh merkuri

    tersebut, yaitu keracunan merkuri atau tidak. Penetapan kejadian keracunan ini adalah

    berdasarkan pengukuran pada biomarker berupa rambut pekerja. Setelah hasil

    pengukuran laboratorium didapat, kemudian kadar merkuri pada masing-masing

    rambut dibandingkan dengan ketetapan WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar

    normal Hg dalam rambut berkisar antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.

    Simpul lima merupakan variabel supra sistem yang juga harus diperhitungkan

    dalam setiap upaya analisis kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Dalam lingkup

    kejadian keracunan merkuri akibat dari adanya kegiatan PETI, variabel yang juga

    harus diperhitungkan dapat berupa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah

    dapat mempengaruhi baik simpul 1, 2, 3, maupun simpul 4.

    2.2.6. Biomarker Pajanan Merkuri

    Biomarkers atau biologicalmarkers dapat diartikan sebagai penanda biologis

    atau jaringan tubuh yang berfungsi untuk mengukur paparan polutan terhadap

    manusia. Biomarkers merupakan indeks yang sensitif dari paparan merkuri pada

    masing-masing individu (IPCS, 2000; WHO, 2008). Hasil pengukuran merkuri

    melalui biomarker yang dilakukan pada pekerja dapat memberikan gambaran pajanan

    atau pemaparan dari suatu hazard, yang dalam hal ini adalah merkuri, terhadap

  • 32

    kesehatan pekerja tersebut. Pajanan atau pemaparan akibat kerja tersebut

    dihubungkan dengan proses kerja yang disebut dengan indeks atau indikator pajanan

    (Idris, 1998).

    Menurut UNEP dan WHO (2008), biomarkers yang dapat digunakan untuk

    mengetahui adanya paparan merkuri terhadap manusia adalah rambut, darah. jaringan

    dan darah plasenta, urin, kuku dan air susu manusia (ASI). Kadar merkuri dalam

    darah menunjukkan adanya paparan yang baru atau untuk kasus jangka pendek. Hal

    ini disebabkan karena waktu paruh merkuri dalam darah hanya 3 hari. Dengan

    pertimbangan tersebut maka diperlukan pengambilan sampel sesegera mungkin

    setelah terjadinya paparan (IPCS, 2003). Begitupun halnya untuk darah pada plasenta

    dan jaringan plasenta yang juga dapat digunakan untuk mengetahui paparan

    terakhir/saat ini. Untuk urin, merupakan biomarker yang tepat untuk paparan merkuri

    anorganik, tetapi tidak untuk merkuri organic. Hal ini dikarenakan merkuri organik

    direpresentatifkan hanya sedikit pada urin (IPCS, 2003). Sedangkan, rambut dapat

    digunakan untuk mengetahui paparan jangka panjang, khususnya untuk

    methylmercury. Hal tersebut dikarenakan merkuri yang telah berada di rambut tidak

    kembali lagi ke darah (UNEP dan WHO, 2008).

    Rambut merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi

    berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk

    menunjukkan tingkat kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar

    terus-menerus (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Hal tersebut sejalan

  • 33

    dengan Soepanto et al. (1992) dalam Cakrawati (2002) yang menyatakan bahwa

    tingkat kandungan merkuri di dalam rambut merupakan salah satu indicator tingkat

    kandungan merkuri di tubuh. Selain itu, kandungan merkuri di dalam rambut dapat

    digunakan untuk menilai kondisi penduduk yang berkaitan dengan pemaparan

    merkuri.

    Pada rambut, konsentrasi merkuri dapat meningkat dengan adanya paparan

    dari uap merkuri di lingkungan. Hal tersebut dikarenakan adanya adsorbsi langsung.

    Selain itu, pemeriksaan rambut sangat penting dilakukan untuk pajanan metil merkuri

    dari makanan (IPCS, 1990). Menurut WHO (1991) dalam Warsono. S (2000), rambut

    merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang

    keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi Hg di rambut kepala yang terjadi

    pada saat pembentukan rambut, setara dengan konsentrasi Hg di dalam darah. Akan

    tetapi belum diketahui hubungan antara konsentrasi rambut, darah, dan urin. Selain

    itu, menurut WHO (1996) merkuri juga merupakan indikator spesimen yang sangat

    baik pada rambut, dibanding logam-logam lain (W. Hartono, 2003).

    Rambut lebih banyak digunakan sebagai indikator akumulasi merkuri. Hal

    tesebut berdasarkan kadar merkuri dalam rambut yang relatif lebih tinggi

    dibandingkan dengan kadar merkuri dalam urin, keringat, tinja maupun darah. Selain

    itu, rambut secara unik juga dapat digunakan untuk membedakan antara kontaminasi

    internal dengan eksternal. Untuk mengetahui adanya kontaminasi internal

    ditunjukkan dengan rambut bagian dalam yang selalu tertutup rapat oleh pakaian.

  • 34

    Sedangkan kontaminasi eksternal ditujukan untuk kontaminasi total, yaitu

    kontaminasi internal dan eksternal (Sasmito dan Kamal, 2002).

    2.2.7 Metode Analisis

    Terdapat banyak metode yang tersedia untuk menganalisis kadar merkuri

    dengan menggunakan biomarker yang salah satunya berupa rambut. Beberapa

    metode yang digunakan, seperti Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS), Neutron

    Activation Analysis (NAA), dan Cold Vapour Atomic Absorption Spectrometry

    (CVAAS). Akan tetapi, metode yang paling banyak digunakan adalah Cold Vapour

    Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS) (ATSDR, 1999; IPCS, 2003; UNEP dan

    WHO, 2008).

    CVAAS ini memiliki sensitivitas yang memadai untuk pengukuran merkuri

    pada tingkat sub-ppm, juga ke tingkat sub-ppt dibandingkan dengan Neutron

    Activation Analysis (NAA), yang memiliki batas deteksi kurang bagus. Oleh karena

    tingginya tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh CVAAS, maka sampel berupa

    rambut yang dibutuhkan hanya sedikit (beberapa helai) saja. Sedangkan, untuk

    metode Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS) memiliki kelemahan, yaitu

    memerlukan sampel berupa rambut yang cukup banyak. Sampel yang dibutuhkan

    untuk dianalisis adalah sekitar 5-10 mg, sedangkan untuk mendapatkan resolusi

    spasial (untuk tujuan biomonitoring), dibutuhkan sekitar 100-150 helai rambut.

  • 35

    Besarnya jumlah sampel tersebut dapat mengganggu responden (UNEP dan WHO,

    2008).

    2.2.8. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

    Menurut Widowati et.al. (2008), upaya pencegahan yang harus dilakukan

    terhadap pencemaran limbah merkuri sebagai dampak dari kegiatan PETI diantaranya

    adalah sebagai berikut:

    1. Menerapkan sistem pertambangan tertutup dengan tujuan memperkecil

    keluaran Hg dari dalam tanah. Hal ini adalah sebagai bentuk dari

    pemilihan teknik penggalian yang ramah lingkungan.

    2. Mengganti penggunaan Hg dalam proses pengolahan emas menjadi

    menggunakan mikroba, contohnya adalah Thiobacillus feroxidans

    (Bapeldada Sulut, 2002).

    Adapun cara yang perlu dilakukan sebagai bentuk penanggulangan terhadap

    pencemaran limbah merkuri di lingkungan sebagai dampak dari kegiatan PETI adalah

    diantaranya adalah sebagai berikut (Widowati et.al., 2008):

    1. Memindahkan sedimen yang telah tercemar oleh Hg dan

    mengisolasinya dengan membuat bak pengendap yang selain berfungsi

    sebagai tempat pengisolasi sedimen, tetapi juga dapat menjadi tempat

    isolasi bagi material lainnya yang telah tercemar oleh Hg . Untuk uap

  • 36

    merkuri yang dilakukan di ruangan yang tertutup dapat pula dialirkan

    masuk kedalam bak pengendap yang tertutup rapat.

    2. Melakukan treatment terhadap tanah dan air yang telah tercemar, salah

    satunya dengan menerapkan fitoremediasi, yaitu pengolahan bahan

    pencemar dengan menggunakan tanaman. Tanaman yang dapat

    digunakan seperti Stelaria setacea atau eceng gondok (Siswoyo,

    2011), Selain itu, dapat juga menerapkan bioremediasi, yaitu

    penggunaan mikroorganisme untuk mengabsorpsi polutan Hg,

    contohnya adalah Pseudomonas syringae.

    2.3. Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap Keracunan Merkuri (Hg)

    2.3.1. Faktor Internal

    a. Umur

    Menurut Hamid (1991) dan Tugaswati (2006) salah satu faktor

    yang dapat mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah

    umur. Janin, anak yan baru lahir dan masih berusia muda sangat rentan

    terhadap paparan merkuri karena sensitivitas dari perkembangan syaraf.

    Selain itu, neonatus juga dapat terpapar dari konsumsi ASI yang telah

    terkontaminasi merkuri (ATSDR, 1999; UNEP dan WHO, 2008).

    Konsentrasi metilmerkuri dalam darah janin adalah sekitar 1,5

    sampai 2 kali lipat lebih besar dibandingkan ibunya, karena transport aktif

  • 37

    metilmerkuri ke janin melalui plasenta (NRC, 2000; IPCS, 1990; UNEP

    dan WHO, 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Eto (1999) dan

    Sudarmaji et. al. (2006) bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari

    kepekaan individu, yakni anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anak-

    anak, dan orang tua.

    b. Status Gizi

    Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari

    konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009).

    Pengukuran status gizi berdasarkan pada rumus:

    [ ]

    Hasil dari pengukuran IMT tersebut dibandingkan dengan batasan IMT

    yang telah ditetapkan untuk mengetahui keadaan/status gizi seseorang.

    Batasan IMT yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

    Tabel 2.5. Batas IMT di Indonesia

    Keadaan Gizi IMT (Kg/m2)

    Kurus Sekali < 17,0

    Kurus 17,0-18,4

    Normal 18,5-25,0

    Gemuk 25,1-27,0

    Gemuk Sekali > 27,0

    Sumber: Depkes RI (2003), Harahap (2005)

  • 38

    Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang

    baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan

    Sintawati, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan Sumamur (1996), yang

    menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang

    sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja. Selain itu, status gizi juga

    dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap paparan logam

    berat ke tubuh. Diketahui kadar Cad dan Fe yang tinggi dalam makanan

    yang dikonsumsi oleh seseorang, akan menurunkan penyerapan tubuh

    terhadap logam berat (Fergusson, 1991). Kemudian, menurut Silalahi

    (2005) diketahui bahwa vitamin E dan antioksidan dapat mengurangi

    toksisitas merkuri.

    2.3.2. Faktor Pekerjaan

    a. Masa Kerja

    Pengaruh masa kerja dengan kadar merkuri pada area kerja yang

    memiliki risiko tinggi terhadap paparan merkuri, adalah berkaitan dengan

    akumulasi merkuri dalam tubuh. Apabila semakin lama orang tersebut

    bekerja, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar dengan

    merkuri. Hal tersebut sejalan dengan Sumamur (1996), yang menyatakan

    bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan

    bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya.

    Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak

    langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri

  • 39

    pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan

    saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan

    merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang

    tinggi, yaitu sekitar 80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat

    larut dalam lipida (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)

    b. Jam Kerja

    Jam kerja dapat menentukan tingkat keterpajanan pekerja terhadap

    kontaminasi bahan kimia di lingkungan kerja. Hal ini sejalan dengan

    penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan

    Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan

    bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value

    sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8 jam

    dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan

    dengan pekerja dengan jam kerja 8 jam/hari.

    Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

    Rianto (2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi

    Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang

    bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri

    dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang

    penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%) yang

    mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam

    dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami

  • 40

    keracunan merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan

    merkuri.

    Jam kerja juga terkait dengan lama keterpaparan pekerja di

    lingkungan kerjanya dalam sehari. Hal ini dinyatakan dalam Nilai

    Ambang Batas (NAB), dimana menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja

    dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011, definisi dari NAB adalah standar

    faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang

    waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa

    mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan

    sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa penentuan lama jam kerja tergantung dari

    besarnya paparan/kadar unsur kimia di udara yang berada pada tempat

    kerja tersebut.

    Terkait merkuri (Hg), berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri

    Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011 diketahui bahwa

    NAB di udara lingkungan kerja untuk senyawa merkuri anorganik

    ditetapkan sebesar 0,025 mg/m3. Sedangkan untuk

    Paparan Singkat

    Diperkenankan (PSD)/ Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) dari Hg

    adalah 0,03mg/m3. Adapun definisi dari Paparan Singkat Diperkenankan

    (PSD) adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh

    dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak

  • 41

    lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi,

    kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih

    dari 4 kali dalam satu hari kerja. Sedangkan, Kadar Tertinggi

    Diperkenankan (KTD) adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja

    yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga

    kerja melakukan pekerjaan.

    c. Penggunaan APD

    Alat Pelindung Diri yang direkomendasikan untuk pekerja

    penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan

    baju lengan panjang. Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat

    pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah

    melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan

    ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang

    mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa senyawa air raksa

    (II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit (Setiyono dan

    Maywati, 2010).

    d. Kadar Pemakaian Merkuri/ hari

    Menurut Parkhut dan Thaxton (1973) dalam Widiana (2007),

    besarnya toksisitas merkuri berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin

    besar konsentrasinnya maka makin besar tingkat toksisitasnya.

  • 42

    e. Jenis Aktivitas PETI

    Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh PETI terdiri dari

    menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan.

    Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan

    gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana

    terjadi proses pencampuran merkuri dan pemerasan emas yang telah

    dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran

    atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan.

    Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Trilianty Lestarisa

    (2010), diketahui bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai

    aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram

    mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini

    disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung

    dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila

    penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari

    pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui

    saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri

    tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh

    tubuh (Lestarisa, 2010)

  • 43

    2.3.3. Faktor Perilaku

    a. Konsumsi Ikan

    Konsumsi ikan merupakan salah satu faktor yang dapat

    mempengaruhi terjadinya keracunan merkuri pada manusia. Hal tersebut

    karena merkuri merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi

    sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah

    satunya adalah ikan. Menurut Arsentina (2008) dalam Agustina (2010),

    definisi dari bioakumulasi yakni peningkatan zat kimia yang terjadi pada

    tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan dengan

    konsentrasi zat kimia yang berada di alam.

    Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi

    bentuk organik, yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya aktivitas

    bakteri. Bentuk senyawa metilmerkuri (CH3Hg) dapat dengan mudah

    berdifusi dan berikatan dengan protein biota akuatik. Hal tersebut

    termasuk pada protein jaringan otot ikan (Bureau of Nutritional Sciences,

    Food Directorate, Health Products and Food Branch Canada, 2007;

    Athena dan Inswiasri, 2009). Diketahui pula ion metil merkuri yang telah

    termakan akan larut dalam lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada

    ikan. Metil merkuri dapat ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan

    sampai kadar 3000 kali dari kadar yang ada di air, namun ikan tersebut

    tidak menunjukkan gangguan merkuri atau menderita sakit (Polii dan

  • 44

    Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia mengkonsumsi ikan yang

    terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi peningkatan risiko untuk

    terjadinya keracunan merkuri.

    Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kadar merkuri

    yang terkandung dalam ikan, salah satunya adalah umur ikan tersebut.

    Kandungan merkuri akan meningkat sesuai dengan umur ikan. Hal

    tersebut berarti ikan-ikan yang berukuran besar sebagai ujung dari rantai

    makanan memiliki konsentrasi merkuri yang paling tinggi (Athena dan

    Inswiasri, 2009).

    Biomarker berupa rambut dapat digunakan untuk mengetahui

    pajanan metilmerkuri (UNEP, 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan

    oleh R. Kowalski dan J. Wierciski (2006) yang berjudul Determination

    of Total Mercury Concentration in Hair of Lubartw-Area Citizens

    (Lublin Region, Poland)., diketahui bahwa konsentrasi merkuri dari

    rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi

    konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya konsentrasi

    merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi

    ikan.

    Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Andri et.al.

    (2011) pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui

  • 45

    bahwa variabel konsumsi ikan >3 kali/minggu memiliki hubungan yang

    signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut masyarakat dengan p value

    sebesar 0,007.

    b. Kebiasaan Mandi di Sungai

    Masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat disebabkan karena

    melakukan kegiatan yang memiliki risiko untuk terpapar merkuri.

    Beberapa masyarakat yang tinggal di desa terkadang memiliki kebiasaan

    mandi di sungai. Pada saat mandi, air sungai yang terkontaminasi merkuri

    dapat masuk ke tubuh dengan adanya kontak langsung melalui kulit.

    Rutinitas menggosok gigi pada saat mandi juga dapat menjadi alur masuk

    merkuri ke dalam tubuh . Selain itu, akibat dari adanya reaksi penguapan

    merkuri dalam air dapat berisiko untuk masuk ke tubuh melalui saluran

    pernafasan (Andri DH et al., 2011).

    c. Konsumsi air yang terkontaminasi merkuri

    Seperti yang telah dijelaskan bahwa masuknya merkuri ke dalam

    tubuh dapat melalui saluran pencernaan. Menurut Andri DH et al. (2011),

    masyarakat yang mengkonsumsi air sungai yang telah terkontaminasi oleh

    merkuri dengan konsentrasi yang tinggi, cenderung memiliki kadar

    merkuri yang tinggi juga dalam tubuhnya.

  • 46

    d. Pemakaian Kosmetik

    Pemakaian kosmetika yang mengandung merkuri dapat

    menyebabkan terjadinya penyerapan merkuri melalui kulit, sehingga dapat

    mempengaruhi kadar merkuri pada tubuh. Penambahan bahan merkuri

    pada kosmetika tersebut bertujuan untuk memutihkan atau mencerahkan

    kulit (W. Hartono, 2003). Produk pencerah kulit termasuk sabun dan krim

    memiliki perkiraan kadar merkuri yang berbeda-beda. Untuk sabun,

    mengandung sekitar 1-3% iodida merkuri dan mempunyai konsentrasi

    merkuri sebesar 31 mg/kg. Sedangkan untuk krim terdiri dari 1-10%

    ammonium merkuri dan mempunyai konsentrasi merkuri sebesar 33.000

    mg/kg (WHO, 2011).

    Walaupun peredaran kosmetik yang mengandung merkuri telah

    dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi pada peredarannya masih

    ditemukan merk tertentu yang mengandung merkuri. Beberapa merk

    terdaftar yang mengandung merkuri adalah; chiumien pearl cream, cupid

    pearl nourishing cream, albani cream, jeany pearl cream, contra B, ultra

    cream dosha, fair check pearl cream, deluxe dosha, dan UE cream. Selain

    itu terdapat pula beberapa merk kosmetika yang tidak terdaftar, yaitu: UB

    formula 99 AA whitening pearl cream, AQL cream, BQL cream,dan

    chiumin bleaching pearl cream (W. Hartono, 2003).

  • 47

    2.3.4. Faktor Lainnya

    a. Kebijakan Pemerintah

    Merkuri yang terdapat di lingkungan, baik di udara, tanah, air,

    maupun makanan dapat disebabkan oleh penggunaannya yang tidak

    terkendali. Penggunaan merkuri ini dapat berasal dari aktifitas PETI

    (Nimitch, 2012). Kebijakan pemerintah terkait merkuri erat kaitannya

    dengan peraturan yang menjadi landasan guna mengendalikan pencemaran

    serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan PETI tersebut. Aspek yang

    dibahas pada peraturan yang berlaku di Indonesia tersebut baik dari segi

    peredaran dan penggunaanya, baku mutu pada lingkungan, keterpaparan

    terhadap pekerja, maupun batas aman yang diterima tubuh. Peraturan

    tersebut diantaranya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LH, PP

    RI No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan

    Beracun, Kepmen LH No. 02/ 1998 Tentang Penetapan Pedoman Baku

    Mutu Lingkungan, dan sebagainya.

  • 48

    2.5. Kerangka Teori

    Bagan 2.1. Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul)

    Sumber: Teori Modifikasi dari Achmadi (2011), Lestarisa (2010), Fergusson (1991),

    Maywati (2011), Athena dan Inswiasri (2009), R. Kowalski dan J. Wierciski (2006),

    Andri DH et al. (2011), W. Hartono (2003), Nimitch (2012).

    Merkuri

    (Hg)

    Udara

    Air

    Pangan

    Tanah

    Faktor internal: umur,

    status gizi (IMT)

    Faktor pekerjaan: masa

    kerja, jam kerja,

    penggunaan APD,

    kadar pemakaian

    merkuri/ hari, jenis

    aktivitas PETI