Jurnal Tambahan Komplit Merkuri Tesis
-
Upload
cendani-laras -
Category
Documents
-
view
22 -
download
7
description
Transcript of Jurnal Tambahan Komplit Merkuri Tesis
-
RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg)
PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI)
DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH :
NITA RATNA JUNITA
109101000027
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/ 1434 H
-
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 8 November 2013
Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027
Risiko Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin
(PETI) di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013
xxiii + 112 halaman, 19 tabel, 5 gambar, 3 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang
memiliki tingkat toksik tinggi (Widowati et. al., 2008). Penggunaan merkuri dalam
proses pengolahan emas dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan yaitu berupa
kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada
ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan
menggunakan pengukuran biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah 1-2
ppm. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 10 pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung terdapat 8 pekerja yang mengalami keracunan merkuri.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross
Sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 40 orang pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung. Sampel diambil dengan menggunakan teknik accidental
sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, status gizi, massa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Adapun variabel terikatnya adalah
kejadian keracunan merkuri. Data yang diperoleh diolah dengan mengunakan uji
statistik t independent, mann withey wil. dan chi square pada 5%.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang pekerja
(60%) terdeteksi mengalami keracunan merkuri, sedangkan yang tidak mengalami
keracunan merkuri adalah sebanyak 16 pekerja (40%). Selanjutnya berdasarkan hasil
analisis bivariat diketahui bahwa terdapat dua variabel independen yang berhubungan
secara signifikan terhadap keracunan merkuri, yaitu variabel massa (p value=0,0005)
dan jam kerja (p value=0,035).
Dari hasil penelitian, disarankan bagi pemerintah dan pihak terkait sebaiknya
memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait merkuri dan dampaknya terhadap
kesehatan dan lingkungan sekitar. Kemudian, untuk mengurangi risiko kejadian
-
iii
keracunan merkuri pada pekerja sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) yaitu berupa masker, sarung tangan karet, dan baju lengan
panjang selama proses pengolahan emas. Selanjutnya, untuk penelitian berikutnya
diharapkan dapat melakukan pengukuran terhadap faktor lingkungan, yaitu terkait
kadar merkuri yang terdapat baik di air, udara, tanah, maupun makanan.
Kata kunci: Pekerja PETI, Keracunan merkuri, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung
Daftar bacaan: 55 (2000-2013)
-
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Final Test, 8 November 2013
Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027
The Risk of Mercury Poisoning (Hg) in the workers of illegal gold mining
(PETI) at Cisarua Village, Nanggung Subdistrict, Bogor District Year 2013
xxiii + 112 pages, 19 tables, 5 pictures, 3 charts, 4 attactments
ABSTRACT
Mercury is a heavy metal which is grouped into categories that have high
level of toxicity (Widowati et. al., 2008). The use of mercury in gold processing can
cause health effect, such as incident of mercury poisoning. That was indicated with
reference of the normal limit of total mercury that was established by WHO. That was
determined by using biomarker measurements. The normal level in hair is 1-2 ppm.
Based on preliminary studies of 10 workers mining at Cisarua Village Nanggung
Subdistrict, there were 8 workers who have mercury poisoning.
This research was a quantitative research with cross sectional approach. The
samples of this study were 40 workers of illegal gold mining at Cisarua Village,
Nanggung Subdistrict. The samples were taken with using accidental sampling
technique. The independent variables in this study were age, nutritional status,
working period per year, working time in a day, working activity, and consumption of
fish. The dependent variable was the incidence of mercury poisoning. The data were
processed by using independent t, mann withey wil. dan chi square test at 5%.
The results of this research indicate that were 24 workers (60%) have mercury
poisoning, while that were 16 workers (40%) havent mercury poisoning. Then, based on the results of bivariate analysis was known that there were two independent
variables have significant correlation with mercury poisoning. That variables were
working period per year (p value=0,0005) and working time in a day (p
value=0,035).
Based on The results, there is a advisable for the government and relevant
parties, should give the information to the community about mercury and its impacts
for health and environment. Then, the workers should be using personal protective
-
v
equipments to reduce the risk of mercury poisoning, such as masks, rubber gloves
and long clothes. Then, for the next study is expected to take measurement of
mercury levels in the environmental (water, air, soil, and food).
Keywords: PETI workers, Mercury poisoning, Cisarua Village, Nanggung Subdistrict
Bibliography: 55 (2000-2013)
-
vi
-
vii
-
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Nita Ratna Junita
Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 07 Juni 1991
Alamat : Jl. Maritim No.2A RT 01/005 Cilandak Barat,
Cilandak, Jaksel. Kode pos: 12430
Agama : Islam
No. Telp : 085697323975
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1997 2003 : SDN 04 Pagi Jakarta
2003 2006 : SMPN 68 Jakarta
2006 2009 : SMAN 70 Jakarta
2009 sekarang : S1 Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
-
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta
ridho-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke
zaman yang terang saat ini, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak arahan,
bimbingan, serta masukan dan motivasi/dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada:
1. Papa dan Mama yang tiada hentinya memberikan kasih sayang, doa serta
semangat kepada penulis agar dapat menjadi individu yang sukses dan
bermanfaat bagi semua orang, bangsa, dan agama. Serta kakakku
(Ismawantini), adikku (Nisrina Nabila), kakak iparku (Wahyu), mbak aan dan
keluarga besar Muhammad serta Yakub yang selalu memberikan motivasi dan
senantiasa membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
-
x
2. Bapak Prof. Dr. (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M. Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku dosen pembimbing I dan
Penanggung Jawab Pemintaan Kesehatan Lingkungan, yang dengan setia dan
tanpa lelah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis
baik dalam hal penyusunan skripsi maupun dalam hal pembentukkan
kematangan dan kedewasaan diri penulis dalam menyongsong masa depan.
5. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing II, yang dengan
sabar dan setia selalu memberikan arahan, masukan, bimbingan, serta
motivasi dan semangat kepada penulis.
6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Bapak Ir. Untung Suryanto, MSc dan Bapak
dr.Yuli P. Satar, MARS selaku dosen penguji pada sidang skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan skripsi ini
lebih baik lagi.
7. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen Peminatan Kesehatan Lingkungan yang
menjadi sumber inspirasi penulis, serta seluruh dosen yang telah berbagi
ilmunya kepada penulis sehingga menambah wawasan dan cara pandang
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
-
xi
8. Bapak Idris, selaku Kepala Desa Cisarua beserta istri dan keluarganya yang
telah memberikan izin penelitian di Desa Cisarua dan telah menerima penulis
serta membantu penulis dalam penelitian.
9. Agung, Heni, Yudi, dan Rudi yang telah membantu saya pada saat turun
lapangan.
10. Seluruh pekerja penambang emas di Desa Cisarua, selaku responden dalam
penelitian ini, yang telah memberikan kerja sama yang baik terhadap penulis.
11. Teman-teman ENVIHSA UIN Jakarta dan seluruh teman mahasiswa/i
Kesehatan Masyarakat angkatan 2009 (khususnya untuk Malik, Desi, Imah,
Ratna, dan Vita) yang selalu berbagi baik senang maupun duka.
12. Para sahabat karang taruna MBS yang telah memberikan motivasi kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
sebab itu dibutuhkan saran, kritik serta masukan dari semua pihak demi terciptanya
kebaikan bersama. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis serta yang
membacanya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan keberakahan dalam
hidup kita. Amin.
Jakarta, Oktober 2013
Nita Ratna Junita
-
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAR PERNYATAAN............................................................... i
ABSTRAK.......................................................................................... ii
ABSTRACT........................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................. vi
LEMBAR PENGESAHAN............................................................... vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................... viii
KATA PENGANTAR....................................................................... ix
DAFTAR ISI....................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xv
DAFTAR BAGAN.......................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian........................................................... 8
-
xiii
1.4 Tujuan Penelitian................................................................. 9
1.4.1 Tujuan Umum............................................................ 9
1.4.2 Tujuan Khusus........................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian............................................................... 9
1.5.1 Bagi Pemerintah daerah............................................. 9
1.5.2 Bagi Pekerja....................................... 10
1.5.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 11
2.1 Merkuri (Hg)...................................................................... 11
2.1.1 Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri..................... 11
2.1.2 Jenis Merkuri............................................................. 11
2.1.3 Penggunaan Merkuri................................................. 12
2.1.4 Merkuri di Lingkungan.............................................. 13
2.1.5 Batas Aman Merkuri................................................. 15
2.1.6 Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh...................... 16
2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi ................................ 16
2.1.6.2 Ekskresi ........................................................ 17
2.1.7 Toksisitas Merkuri..................................................... 18
2.1.7.1 Keracunan Merkuri........................................ 19
-
xiv
2.1.7.1.1 Keracunan Akut........................... 20
2.1.7.1.2 Keracunan Kronis........................ 21
2.2 Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).............................. 22
2.2.1 Definisi PETI............................................................. 22
2.2.2 Kegiatan PETI........................................................... 22
2.2.3 Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI................. 26
2.2.4 Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI.................. 28
2.2.5 Paradigma Pajanan Merkuri terhadap
Pekerja PETI.............................................................
29
2.2.6 Biomarker Pajanan Merkuri..................................... 31
2.2.7 Metode Analisis........................................................ 34
2.2.8 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan.................. 35
2.3 Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap
Keracunan Merkuri (Hg) ...................................................
36
2.3.1 Faktor Internal........................................................... 36
2.3.2 Faktor Pekerjaan........................................................ 38
2.3.3 Faktor Perilaku.......................................................... 43
2.3.4 Faktor Lainnya........................................................... 47
2.5 Kerangka Teori................................................................... 48
-
xv
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,
DAN HIPOTESIS................................................................
49
3.1 Kerangka Konsep............................................................... 49
3.2 Definisi Operasional........................................................... 51
3.3 Hipotesis............................................................................. 54
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN......................................... 55
4.1 Jenis Penelitian................................................................... 55
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 55
4.3 Populasi dan Sampel........................................................... 55
4.4 Metode Pengumpulan Data................................................ 58
4.5 Metode Pengukuran Ikan................................................ 58
4.6 Sampling Rambut............................................................... 59
4.6.1 Alat dan Bahan yang Digunakan............................... 59
4.6.2 Teknik Sampling Rambut.......................................... 60
4.7 Instrumen Penelitian........................................................... 60
4.8 Pengolahan dan Analisis Data............................................ 63
4.8.1 Pengolahan Data....................................................... 63
4.8.2 Analisis Data............................................................. 64
4.8.2.1 Analisis Univariat........................................ 64
4.8.2.2 Analisis Bivariat........................................... 64
-
xvi
BAB V HASIL PENELITIAN........................................................... 66
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................... 66
5.1.1 Geografis................................................................... 66
5.1.2 Profil Penambangan Emas di Desa Cisarua.............. 68
5.2 Analisis Univariat............................................................... 69
5.2.1Gambaran Karakteristik Pekerja Berdasarkan
Tingkat Pendidikan..................................................
69
5.2.2 Gambaran Keracunan Merkuri (Hg)
pada Pekerja PETI....................................................
70
5.2.3 Gambaran Umur Pekerja PETI.................................. 71
5.2.4 Gambaran Status Gizi Pekerja PETI........................ 71
5.2.5 Gambaran Masa Kerja Pekerja PETI......................... 72
5.2.6 Gambaran Jam Kerja Pekerja PETI........................... 72
5.2.7 Gambaran Jenis Aktivitas Pekerja PETI................... 73
5.2.8 Gambaran Konsumsi Ikan Pekerja PETI................... 74
5.3 Analisis Bivariat................................................................. 74
5.3.1 Hubungan antara Umur dengan
KeracunanMerkuri.....................................................
74
5.3.2 Hubungan antara Status Gizi dengan
KeracunanMerkuri.....................................................
75
-
xvii
5.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan
Keracunan Merkuri....................................................
76
5.3.4 Hubungan antara Jam Kerja dengan
Keracunan Merkuri....................................................
77
5.3.5 Hubungan antara Jenis Aktivitas dengan
Keracunan Merkuri....................................................
77
5.3.6 Hubungan antara Konsumsi Ikan dengan
Keracunan Merkuri....................................................
79
5.4 Gambaran Gangguan Kesehatan Pekerja .......................... 79
BAB VI PEMBAHASAN................................................................... 81
6.1 Keterbatasan Penelitian...................................................... 81
6.2 Keracunan Merkuri............................................................. 81
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Keracunan Merkuri.............................................................
84
6.3.1 Faktor internal............................................................ 84
6.3.2 Faktor pekerjaan........................................................ 90
6.3.3 Faktor prilaku............................................................ 95
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 100
7.1 Kesimpulan......................................................................... 100
-
xviii
7.2 Saran................................................................................... 101
7.2.1 Bagi Pemerintah Daerah............................................ 101
7.2.2 Bagi Pekerja............................................................... 101
7.2.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 103
-
xix
DAFTAR TABEL
HALAMAN
2.1 Batasan Kadar Hg di Lingkungan 14
2.2 Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin 19
2.3 Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an) 19
2.4 Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang 29
2.5 Batas IMT di Indonesia 37
5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja PETI Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Cisarua Tahun 2013
70
5.2 Distribusi Frekuensi Keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
70
5.3 Distribusi Frekuensi Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71
5.4 Distribusi Frekuensi IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71
5.5 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013
72
5.6 Distribusi Frekuensi Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013
73
5.7 Distribusi Frekuensi Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
73
5.8 Distribusi Frekuensi Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
74
5.9 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Umur Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
74
-
xx
HALAMAN
5.10 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan IMT Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
75
5.11 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Masa Kerja Pekerja PETI
di Desa Cisarua Tahun 2013
76
5.12 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jam Kerja Pekerja PETI
di Desa Cisarua Tahun 2013
77
5.13 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jenis Aktivitas Pekerja
PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
78
5.14 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Konsumsi Ikan Pekerja
PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
79
-
xxi
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
2.1 Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas 23
2.2 Gelundungan 24
2.3 Tahap Pencucian dan Pemerasan 25
2.4 Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran 26
5.1 Peta Lokasi Desa Cisarua 67
-
xxii
DAFTAR BAGAN
HALAMAN
2.1 Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul) 48
3.1 Kerangka Konsep 50
4.1 Flowchart Pengukuran dengan metode CV-AAS 61
-
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Skripsi
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Hasil Analisis Data
Lampiran 4 Lembar Pernyataan
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi produksi pertambangan emas di Indonesia termasuk dalam kategori
cukup besar. Total produksi selama tahun 1990-2011 adalah sebesar 2501849,73 kg,
sedangkan produksi tambang emas rata-rata adalah sebesar 113720,4423 kg per tahun
(Sultan, 2011). Hal tersebut sejalan dengan nilai ekspor hasil industri penghasil emas,
yang termasuk cukup besar juga. Menurut data Kementerian Perindustrian RI (2013),
ekspor kelompok hasil industri penghasil emas (khususnya emas dalam batang,
tuangan dan keranjang) memiliki nilai tertinggi diantara industri perhiasaan dan
kerajinan dari logam lainnya, yaitu puncaknya pada tahun 2011 sebesar dalam US$
2.224.205.514 dan nilainya selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu dari tahun 2007
sampai tahun 2011. Selain itu, diketahui juga bahwa persentasi peran ekspor dari
kelompok industri penghasil emas terhadap total ekspor hasil industri pada tahun
2011 berada di posisi tertinggi, yaitu sebesar 1,82%.
Sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada produksi dan kegiatan ekspor
hasil industri penghasil emas tersebut, terjadi pula peningkatan kegiatan pada sektor
pertambangan emas baik legal maupun non-legal, salah satunya yaitu kegiatan
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang biasa dilakukan oleh penambang emas
-
2
tradisional. Meningkatnya jumlah penambang emas tradisional ini salah satunya
terjadi di kawasan Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 1998-
2000, daerah tambang Pongkor yang luasnya sekitar 4.000 ha ini menjadi lahan mata
pencaharian baru bagi ribuan orang; pada puncaknya diperkirakan mencapai 26.000
orang (McMahon et al., 2000; Kartodihardjo & Suntana, 2010). Selanjutnya,
berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 1999 jumlah Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) yang melakukan penambangan di ruas Sungai Cikaniki
diperkirakan berjumlah 6000 orang (Anonim, 2000; Yoyok Sudarso et al., 2009).
Penduduk lokal turut berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan rakyat ini, terutama
yang bermukim di tiga desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Pongkor, yaitu
Desa Bantar Karet, Cisarua, dan Malasari. Diperkirakan sekitar 30% dari para
penambang adalah penduduk lokal (Zulkarnain et al., 2004; Kartodihardjo & Suntana,
2010).
Bila ditinjau dari segi administratif kegiatan PETI menjadi permasalahan
karena tidak memiliki izin penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan
tersebut dikenal dengan sebutan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) seperti yang
tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara. Begitu pula halnya apabila ditinjau dari segi lingkungan dan kesehatan.
Kegiatan PETI dapat memberikan kontribusi negatif berupa pencemaran lingkungan
karena penggunaan bahan kimia yang bersifat toksik bagi manusia. Salah satu bahan
kimia yang digunakan adalah merkuri.
-
3
Dari hasil survei pendahuluan diketahui bahwa kegiatan pengolahan emas
yang dilakukan di Desa Cisarua masih secara tradisional dan menggunakan teknik
amalgamasi yang menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya, Biji emas
hasil penambangan di kawasan Gunung Pongkor tersebut, digiling dengan alat
gelundungan yang telah ditambahkan merkuri, sampai menjadi serbuk pasir lalu
dicampur dengan merkuri dan diperas dengan menggunakan kain sehingga sebagian
merkuri dan air keluar dari pori-pori kain. Setelah itu, dilakukan pemijaran atau
pembakaran, kemudian ditumbuk.
Apabila ditinjau dari segi lingkungan, sumber pencemaran dapat terjadi dari
setiap tahapan pengolahan emas. Pada tahap penggilingan, unsur merkuri dapat
terlepas dari gelundung sehingga jatuh dan dapat mencemari tanah sekitar dan dapat
pula mencemari sungai (Juliawan, 2006). Pada tahap pencucian dan pemerasan,
limbah cair yang mengandung merkuri dari hasil kegiatan tersebut dapat tercecer di
sekitar area pengolahan emas sehingga dapat mecemari tanah. Selanjutnya, pada
tahap pembakaran,, uap merkuri yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat mencemari
udara dan kemudian mengendap di permukaan tanah (Juliawan, 2006).
Dari hasil analisis lingkungan juga mengindikasikan adanya pencemaran oleh
merkuri yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan PETI. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya hasil analisis terhadap sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu
di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai
Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-
-
4
241,6 ppm. Sedangkan pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua
sungai bermuara, konsentrasi Hg berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006;
Widowati et al., 2008). Bila dibandingkan dengan baku mutu air sungai golongan B
dalam KepMen LH No 2 Tahun 1998, maka diketahui bahwa Sungai Cipanas,
Cikawung, Cimarinten, dan Cikaniki sudah melewati baku mutu untuk parameter
merkuri, yaitu sebesar 0,001 mg/L (ppm).
Selanjutnya, diketahui juga kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana
menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di
Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25
ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008). Jika dibandingkan dengan baku mutu
yang terdapat dalam peraturan KepBPOM No. 3725/B/SK/VII/89 terkait kadar
merkuri dalam bij-bijian, diketahui bahwa kandungan beras yang didapat dari sawah
di Nunggul dan Kalongliud Pongkor yang menggunakan air limbah penambangan
emas tradisional sebagai sistem irigasinya, telah melewati batas aman yang telah
ditetapkan, yaitu 0,05 mg/kg (ppm).
Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh
melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap
merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri (Lestarisa, 2010).
Paparan terhadap merkuri ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
manusia, khususnya kesehatan pekerja PETI. Dampak negatif tersebut dapat berupa
keracunan merkuri baik bersifat akut maupun kronis. Proses pengolahan emas dimana
-
5
pekerjanya tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) tersebut dapat
memperbesar risiko terjadinya keracunan merkuri. Keracunan merkuri tersebut dapat
ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi
kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa
tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare (Wardhana, 2001; Subanri,
2008).
Keracunan oleh merkuri anorganik utamanya dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi ginjal, hati, serta sistem enzim. Sedangkan, untuk merkuri
organik, yaitu metil merkuri, dapat menembus plasenta dan merusak janin, serta dapat
mengganggu saluran darah ke otak hingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
otak (Herman, 2006). Keracunan merkuri juga dapat menyebabkan kelainan psikiatri
berupa insomnia, nervus, pusing, mudah lupa, tremor dan depresi (Sudarmaji et al.,
2006).
Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap
kesehatan manusia, berupa keracunan tersebut dapat ditinjau dari paradigma
kesehatan lingkungan yang disebut dengan teori simpul (Achmadi, 2011). Dalam
paradigma tersebut, besarnya pajanan merkuri pada pekerja PETI dapat dipengaruhi
oleh variabel berupa umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, jenis
aktivitas PETI, dan konsumsi ikan. Besarnya pajanan tersebut dapat diketahui melalui
pemeriksaan biomonitoring dengan menggunakan biomarker berupa rambut.
-
6
Menurut WHO (1991) rambut merupakan media indikator yang berguna
untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan rambut
merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam
berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat
kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus
(Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Indikator keracunan merkuri dapat
dilihat dengan menbandingkan kadar merkuri pada rambut dengan ketetapan dari
WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar
antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.
Terdapat beberapa penelitian terkait merkuri yang sebelumnya telah
dilakukan, salah satunya adalah penelitian terkait Status Kontaminasi Merkuri di
Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat pada tahun 2010 yang disusun oleh Tri Suryono
dkk. Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri total yang terdapat di air dan yang
terakumulasi di sedimen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kontaminasi
logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air
maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat.
Pada penelitian tersebut diketahui pula bahwa kontaminasi merkuri total pada air di
ruas sungai Cikaniki, yaitu Desa Cisarua sudah tergolong tercemar berat pada bulan
Agustus 2008, sedangkan kontaminasi merkuri total pada sedimen tergolong tercemar
berat pada bulan Juni 2008.
-
7
Selanjutnya, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada
10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh
kadar merkuri rata-rata adalah sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti
terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan
Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh
WHO (1990), yaitu sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm.
Dengan pertimbangan berbagai masalah pencemaran merkuri yang terjadi
serta dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian merkuri dengan adanya
kegiatan PETI tersebut maka sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pajanan
merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan, yang dalam hal ini adalah berupan risiko
keracunan merkuri terhadap pekerja penambangan emas tanpa izin tersebut. Hal
tersebut juga dipertegas dengan pernyataan dari WHO (2012) yang menyatakan
bahwa merkuri merupakan salah satu dari sepuluh kelompok kimia yang menjadi
perhatian utama bagi kesehatan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Kegiatan PETI yang memiliki andil terhadap terjadinya pencemaran merkuri
dapat mempengaruhi kesehatan, seperti keracunan merkuri. Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh kadar merkuri rata-rata adalah
-
8
sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami
keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa paparan merkuri akibat dari
kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas
kadar normal yang telah ditetapkan oleh WHO (1990), yaitu untuk kadar pada rambut
sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis mengenai
pemaparan terhadap risiko keracunan merkuri pada pekerja PETI sehingga dapat
diketahui besarnya pajanan merkuri pada pekerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013?
2. Bagaimana gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan, dan gangguan kesehatan pada
pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
tahun 2013?
3. Bagaimana hubungan variabel umur, status gizi, massa kerja, jam kerja,
jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri (Hg) pada
pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
tahun 2013?
-
9
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa
Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
2. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa
kerja, jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan dan gangguan kesehatan
pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor tahun 2013.
3. Diketahuinya hubungan antara variabel umur, status gizi, massa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri
(Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung
Kabupaten Bogor tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi-
instansi yang terkait, seperti BLH Kabupaten Bogor dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan lingkungan.
-
10
1.5.2 Bagi Pekerja
Menambah pengetahuan dan informasi mengenai dampak merkuri yang
dihasilkan dari kegiatan pengolahan emas yang menggunakan merkuri
tersebut.
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
1. Sebagai informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kadar merkuri pada rambut dan gangguan kesehatan yang terjadi di
masyarakat sekitar area penambangan emas tanpa izin
2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai risiko keracunan
merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. Objek penelitian ini adalah
rambut dan pemaparan pekerja yang mempengaruhi keracunan merkuri melalui
rambut tersebut. Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Merkuri (Hg)
2.1.1. Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri
Merkuri atau air raksa (Hg) adalah salah satu jenis logam sebagai senyawa
organic dan anorganik yang banyak dtemukan di alam dan tersebar dalam batu-
batuan, biji tambang, tanah, air, dan udara (BPOM, 2004). Merkuri (Hg) merupakan
logam yang dalam keadaan normal berbentuk cairan dengan warna abu-abu dan tidak
berbau (BPOM, 2004). Merkuri memiliki sifat mudah menguap pada suhu ruangan
dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm. Merkuri juga dapat larut dalam asam
sulfat atau asam nitrit, tetapi tahan terhadap basa. Sifat kimia dari merkuri yang
lainnya adalah merkuri memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol.
Selain itu, merkuri mempunyai titik lebur -38,9oC dan titik didih sebesar 356,6
oC
Widowati et.al. (2008).
2.1.2. Jenis Merkuri
Merkuri dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
a) Merkuri elemental atau metalik
Merkuri elemental (Hg0) merupakan logam perak-putih, berkilau, dan
berbentuk cairan pada suhu kamar. Merkuri elemental biasa digunakan
-
12
dalam termometer, lampu neon dan beberapa saklar listrik (EPA, 2013).
Merkuri elemental merupakan bentuk merkuri yang paling mudah
menguap (WHO, 2003). Menurut EPA, paparan merkuri elemental dapat
menguap pada suhu kamar dan memiliki sifat tidak terlihat, tidak berbau,
serta beracun.
b) Merkuri inorganik
Senyawa merkuri inorganik (dengan simbol kimia Hg (II) atau Hg2+
)
berbentuk garam merkuri dan bubuk yang umumnya berwarna putih atau
kristal, kecuali merkuri sulfida yang berwarna merah. Senyawa merkuri
inorganik biasa digunakan pada fungisida, antiseptik atau disinfektan.
Selain itu, biasa digunakan pula pada beberapa krim pencerah kulit serta
beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013).
b) Merkuri organik
Senyawa merkuri organik yang paling umum ditemukan di lingkungan
adalah metilmerkuri (dengan rumus kimia MeHg) yang terbentuk pada
saat merkuri bergabung dengan karbon. Organisme renik mengkonversi
merkuri inorganic menjadi metilmerkuri. Metilmerkuri dapat terakumulasi
dalam rantai makanan, seperti pada ikan (EPA, 2013).
2.1.3. Penggunaan Merkuri
Merkuri memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, terutama di berbagai
industri. Industri farmasi menghasilkan produk yang mengandung merkuri yang
-
13
digunakan untuk antiseptic, diuretic, katartik serta penggunaan senyawa merkuri
anorganik dan organik untuk pengobatan sifilis. Industri listrik menggunakan merkuri
pada lampu floresens, saklar lampu tidak berbunyi dan pada lampu jalan. Merkuri
juga digunakan pada industri emas dan perak untuk proses amalgamasi. Untuk alat
kedokteran, merkuri digunakan pada alat tekanan darah, thermometer, dan
pacemaker. Selain itu, merkuri anorganik juga terdapat pada pigmen, cat, bahan
pencelup, bahan tattoo, pembalseman, pengawet kayu, herbisida, insektisida, jeli
spermisidal, cat kuku, germisidal pada sabun, pemadam api, dan baterai merkuri yang
tahan lama (Sari, 2002).
2.1.4 Merkuri di Lingkungan
Merkuri merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di udara, air, dan tanah
yang dapat didistribusikan ke seluruh lingkungan baik secara alami maupun karena
adanya kegiatan manusia (antropogenik) (UNEP dan WHO, 2008). Menurut
Widowati et.al. (2008), Hg yang masuk dalam lingkungan perairan dapat dalam
bentuk:
a) Hg anorganik: berasal dari air hujan atau aliran sungai, memiliki sifat stabil
pada pH yang rendah.
b) Hg organik: berasal dari kegiatan pertanian, yaitu penggunaan pestisida
c) Terikat: suspended soil
d) Logam Hg: berasal d ari kegiatan industri (Budiono, 2002)
-
14
Sebagian besar merkuri yang berada di atmosfer dalam bentuk Hg0 uap, yang
dapa berada/beredar di atmosfer hingga satu tahun, sehingga dapat tersebar ribuan mil
dari sumber emisi. Sebagian besar merkuri dalam air, tanah, sedimen, atau tanaman
dan hewan berada dalam bentuk merkuri ionik (seperti merkuri klorida) (US EPA,
1997; UNEP dan WHO, 2008). Sedangkan untuk metilmerkuri utamanya terdapat
dalam ikan. Merkuri dapat berakumulasi di rantai makanan, sehingga dapat
dinyatakan bahwa semakin tinggi suatu organisme dalam rantai makanan yang secara
otomatis semakin tinggi juga tingkat trofiknya, maka akan menyebabkan semakin
tinggi pula konsentrasi metilmerkuri pada organisme tersebut (Watras et al., 1998;
UNEP dan WHO, 2008).
Terdapat berbagai peraturan mengenai batasan kadar Hg di lingkungan,
begitupun halnya yang berlaku di Indonesia. Peraturan mengenai batasan kadar Hg di
lingkungan yang berlaku di Indonesia dijelaskan pada tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.1. Batasan Kadar Hg di Lingkungan
No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan
1. Kadar Hg dalam air minum pada
Permenkes No. 907/ 2002 0,001 mg/l
2. Kadar Hg dalam air bersih pada
Permenkes No. 416/ 1990 0,001 mg/l
3. Kadar Hg dalam udara tempat kerja
Kepmenkes No. 261/ 1998 0,1 mg/l
-
15
No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan
4.
Kadar Hg dalam makanan dan
minuman pada KepBPOM No.
3725/B/SK/VII/89
Dalam ikan segar: 0,5 mg/kg
Dalam sayur-sayuran: 0,03 mg/kg
Dalam biji- bijian: 0,05 mg/kg
5. Kadar Hg dalam air sungai Kepmen
LH No. 02/ 1998
Golongan A (baku mutu air minum):
0,001 mg/l
Golongan B (untuk perikanan): 0,001 mg/l
Golongan C (untuk pertanian): 0,002 mg/l
Golongan D (yang tidak termasuk
golongan A, B dan C): 0,005 mg/l
Sumber: Inswiasri (2008)
2.1.5. Batas Aman Merkuri
Menurut WHO dan UNEP (2008), kadar merkuri normal dalam darah rata-
rata berkisar antara 5-10 mg/L, untuk rambut berkisar antara 1-2 ppm, sedangkan
untuk urin konsentrasi merkuri maksimum adalah 50 mg/g kreatinin. Kadar merkuri
pada urin orang yang pekerjaannya tidak terpapar merkuri jarang melebihi 5 ug/g
kreatinin.
Batas aman dari segi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung
merkuri telah ditetapkan oleh The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA). JECFA menetapkan konsumsi mingguan yang ditoleransi untuk
total merkuri adalah sebesar 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk metilmerkuri
-
16
sebesar 1,6 mg/kg berat. Sedangkan, menurut US EPA dosis metilmerkuri per-hari
adalah 0,1 mg/kg berat badan dan dosis merkuri klorida per-hari adalah 0,3 mg/kg
berat badan (WHO dan UNEP, 2008).
Menurut EPA (2007), dosis letal akut merkuri inorganik untuk orang dewasa
adalah 1-4 gram atau 14-57 mg/kg berat badan untuk seseorang yang memiliki berat
badan sebesar 70 kg. Sedangkan, dosis letal minimum metilmerkuri untuk seseorang
yang memiliki berat badan sebesar 70 kg adalah berkisar antara 20-60 mg/kg berat
badan.
2.1.6. Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh
Kontak yang terjadi antara merkuri dengan individu dapat melalui inhalasi,
kulit, atau saluran cerna (tertelan) yang kemudian diabsorbsi (diserap) untuk
kemudian didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh dan nantinya akan mengalami
proses ekskresi melalui beberapa rute yaitu lewat urin, keringat, air liur, air susu,
feses, kuku dan rambut (W. Hartono, 2003).
2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi
Untuk merkuri elemental (Hg0) tidak diabsorbsi secara signifikan atau diubah
oleh sistem pencernaan manusia. Akan tetapi, untuk paparan melalui inhalasi
penyerapan Hg0 terjadi secara efisien dan cepat melalui paru-paru karena sekitar 80%
dari uap yang terhirup akan diserap oleh jaringan paru-paru (UNEP dan WHO, 2008).
Di dalam darah, merkuri terdapat pada plasma dan sel darah merah. Sebagian masuk
-
17
ke jaringan otak tanpa teroksidasi, dan sebagian lagi mengalami oksidasi dalam
bentuk ion dan berakumulasi di ginjal. Untuk merkuri elemental dan organik
cenderung berakumulasi di syaraf, sedangkan merkuri anorganik di ginjal (Matsuo et
al., 1989; W. Hartono, 2003). Merkuri elemental memiliki sifat larut dalam lemak
yang tinggi. Karena sifatnya tersebut, maka merkuri elemental dengan mudah dapat
melewati sawar otak dan plasenta (Larry et. al., 2002; BPOM, 2004).
2.1.6.2 Ekskresi
Merkuri ionik utamanya diekskresikan melaui urin dan tinja, tetapi dapat pula
melalui ASI. Sedangkan, untuk metil merkuri, ekskresi utama melalui feses, rambut
dan kurang dari sepertiga dari total ekskresi melalui urin, tetapi dapat pula melalui
ASI dengan kadar yang lebih rendah (UNEP dan WHO, 2008). Pada proses ekskresi
yang terjadi sangat dipengaruhi dengan waktu paruhnya. Adapun pengertian waktu
paruh yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekskresi sehingga
mencapai separuh kadar yang ada di dalam tubuh. Waktu paruh merkuri secara
biologik sekitar 60 hari atau antara 35-90 hari (W. Hartono, 2003). Pengeluaran
merkuri terutama dalam bentuk urine dan feses memiliki waktu paruh 40-60 hari.
Empedu dan feses merupakan jalur utama ekskresi metil merkuri yang memiliki
waktu paruh sekitar 70 hari (Cakrawati, 2002).
-
18
2.1.7. Toksisitas Merkuri
Pengaruh toksisitas merkuri terhadap manusia tergantung dari bentuk
komposisi merkuri, rute masuknya kedalam tubuh dan lamanya terpajan. Toksisitas
uap merkuri pada tubuh melalui saluran pernafasan biasanya menyerang sistem syaraf
pusat, sedangkan toksisitas kronik dapat menyerang ginjal (Darmono, 2001; Iman .R,
2005). Pekerja yang peka dan terpajan dengan uap merkuri sebesar 0,05 mg/m3 di
udara secara terus-menerus, dapat menimbulkan gejala nonspesifik berupa
neuroasthenia (Idris, 1998). Menurut ATSDR (2011), merkuri dapat menembus
darah-otak dan plasenta. Diketahui pula bahwa pada anak-anak peningkatan risiko
toksisitas pada paru-paru mungkin terjadi dan dapat berkembang menjadi gangguan
dalam pernafasan (sulit bernafas).
Menurut Silalahi (2005), Hg berpengaruh terhadap proses ateroskelorsis
(penyempitan dan penebalan pembuluh darah) karena Hg dapat membentuk radikal
bebas yang dapat merusak sel. Kandungan merkuri tinggi, yaitu sebesar > 2,0 mg/g
pada rambut pria dewasa dapat berkolerasi dengan peningkatan risiko PJK, dan atau
infarksi miokardial 2-3 kali lipat dibandingkan dengan yang memiliki kandungan
merkuri rendah.
-
19
Tabel 2.2. Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin
Organ Hg pada induk (g/g) Hg pada janin (g/g)
Ginjal
Paru-paru
Hati
Cerebrum
Cerebellum
Jantung
Limpa
Darah
518
77,5
8
10,9
5,8
3,2
5,2
15 g/100 ml
5,8
0,6
10,1
0,05
0,24
0,15
1,8
2,35 g/100 ml
Sumber: Widowati et.al. (2008)
2.1.7.1 Keracunan Merkuri
Paparan merkuri dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, yaitu berupa
keracunan merkuri. Peristiwa keracunan merkuri tersebut telah terjadi di berbagai
Negara dan memakan banyak korban, baik yang cidera maupun korban yang
meninggal. Hal ini seperti yang dijelaskan pada table di bawah ini:
Tabel 2.3. Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an)
Lokasi Tahun Akibat
Minamata-Jepang 1953-1960 111 orang meninggal cidera
Irak 1961 35 orang meninggal 321 orang cidera
Pakistan Barat 1963 4 orang meninggal 34 orang cidera
-
20
Lokasi Tahun Akibat
Guatemala 1966 20 orang meninggal 45 orang cidera
Nigata-Jepang 1968 5 orang meninggal 25 orang cidera
Sumber: Heryando Palar (1994)
Keracunan oleh logam merkuri tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu keracunan
merkuri akut dan kronis.
2.1.7.1.1. Keracunan Akut
Keracunan akut terjadi karena adanya pemaparan merkuri secara langsung dan
dalam dosis yang besar (Irwan, 2009). Gejala yang ditimbulkan dari kejadian
keracunan akut adalah pharyngitis (peradangan tekak), dyspaghia, sakit pada bagian
perut, mual-mual dan muntah, murus disertai dengan darah dan shok. Apabila gejala
tersebut tidak diatasi, maka dapat terjadi efek lanjutannya yaitu pembengkakan pada
kelenjaran ludah, radang ginjal (nephritis) dan radang pada hati (hepatitis) (Palar,
1994). Menurut Kamitsuka et al. (1984) dalam W. Hartono (2003), beberapa kasus
Keracunan merkuri akut telah terjadi pada pekerja tambang emas tradisional yang
sedang mengekstraksi emas dan pada neonates yang terinhalasi merkuri dari
thermometer yang pecah, dengan gejala seperti batuk, nyeri dada, sesak nafas,
bahkan dapat menimbulkan bronchitis dan pneumonitis.
Di dalam tubuh, senyawa atau garam-garam merkuri yang merupakan penyebab
dari keracunan akut akan mengalami proses ionisasi. Akibat dari adanya proses
-
21
ionisasi tersebut adalah daya racun dari senyawa atau garam-garam merkuri tersebut
dapat menjadi berlipat ganda. Adapun proses ionisasi yang terjadi adalah sebagai
berikut (Palar, 1994):
Hg(CN)2 Hg2+
+ CN
dalam tubuh
2.1.7.1.2. Keracunan Kronis
Keracunan kronis adalah kejadian keracunan yang terjadi dalam kurun waktu
yang lama dengan kadar merkuri yang sedikit dan terjadi secara perlahan-lahan dan
terus-menerus, sehingga dapat mengendap dalam tubuh dan menimbulakan gejala
keracunan. Keracunan ini dapat terjadi karena menghirup uap atau debu merkuri atau
melakukan kontak dengan merkuri melalui kulit. Tanda-tanda yang ada pada pekerja
yang terpajan merkuri secara kronik meliputi: pengeluaran ludah berlebih
(hipersaliva), sariawan, gigi menjadi tanggal, guratan biru pada gusi, nyeri dan mati
rasa pada bagian kaki dan tangan, nephritis, diare, gelisah, sakit kepala, penurunan
berat badan, anoreksia, jiwa tertekan, halusinasi, dan kemunduran mental secara jelas
(W. Hartono, 2003).
Selain itu, menurut Widowati (2008), toksisitas kronis dapat berupa gangguan
sistem pencernaan, gingivitis (radang gusi), dan sistem syaraf, berupa tremor,
parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan, serta
anemia ringan. Hal tersebut juga sejalan dengan Palar (1994), yang menyatakan
-
22
bahwa secara umum terdapat dua organ yang akan mengalami gangguan akibat
keracunan kronis tersebut, yaitu sistem pencernaan dan sistem syaraf. Gejala dapat
berupa gingivitis, tremor ringan dan parkinsonisme disertai dengan tremor pada otot
sadar. Gejala tremor dimulai dari ujung jari tangan/ kaki dan menjalar sampai otot
wajah dan pangkal tenggorokan.
2.2. Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)
2.2.1. Definisi PETI
PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) adalah kegiatan penambang emas
yang dilakukan oleh para penambang emas atau yang secara lokal biasa disebut
dengan gurandil atau penambang emas tradisional yang tidak memiliki izin
penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan
IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan
rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
2.2.2. Kegiatan PETI
Kegiatan penambangan di daerah Pongkor, salah satunya di Desa Cisarua,
dilakukan dengan sistem penambangan bawah tanah, yaitu dengan membuat
terowongan yang mempunyai tinggi sekitar 1 meter dan mempunyai kedalaman yang
bervariasi (Juliawan, 2006). Hasil dari penambangan emas berupa batu-batuan yang
-
23
mengandung emas (bijih) tersebut dibawa untuk dilakukan pengolahan. Dari hasil
studi pendahuluan, secara umum diketahui bahwa pengolahan emas yang terdapat di
Desa Cisarua menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan menggunakan merkuri.
.
Gambar 2.1. Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas
Teknik amalgamasi tersebut memanfaatkan sifat dari merkuri itu sendiri, yang
dapat melarutkan berbagai jenis logam (misalnya: emas) sehingga membentuk
amalgam. Biji emas yang dicampur dengan merkuri akan berfungsi melarutkan emas
dan karena merkuri memiliki massa yang lebih berat, maka batuan dan bahan
pengotor lainnya akan mengapung di permukaan air sehingga dapat dengan mudah
dipisahkan (Silalahi, 2005). Adapun pengolahan yang dilakukan terdiri dari: tahap
penumbukan awal, tahap penggilingan, tahap pencucian dan pemerasan, tahap
pembakaran, serta tahap penumbukan akhir (finishing). Adapun penjelasan dari
masing-masing tahapannya adalah sebagai berikut.
-
24
a) Tahap penumbukan awal
Batu-batuan yang mengandung emas (bijih) dari hasil penambangan
tersebut, ditumbuk sampai hancur sehingga mempunyai ukuran yang
lebih kecil untuk dimasukkan ke amalgamator atau gelundung.
b) Tahap penggilingan
Proses penggilingan diproses di dalam amalgamator atau gelundung
yang telah diberi merkuri. Pada masing-masing gelundung terdapat
besi atau disebut dengan pelor yang berfungsi untuk menghancurkan
dan mengubah bijih emas tersebut menjadi butiran yang lebih halus
dan membentuk amalgam. Selain itu, proses penggilingan juga
berfungsi untuk memisahkan bijih emas dengan pengotor lainnya.
Tenaga penggerak gelundung terdiri dari 3 jenis, yaitu yang
mennggunakan kincir air, tenaga listrik, dan tenaga generator diesel
(Rohmana, Suharsono Kamal dan Suhandi, 2006). Proses
penggilingan tersebut berlangsung selama sekitar 8 jam.
Gambar 2.2. Gelundungan
-
25
c) Tahap pencucian dan pemerasan
Amalgam yang dihasilkan dari proses penggilingan, kemudian dicuci
dan diperas dengan menggunakan kain. Hal ini bertujuan untuk
membersihkan dari pengotor lain (seperti tanah dan sebagainya) dan
mengurangi kandungan merkuri yang masih terdapat pada amalgam
basah tersebut. Sisa-sisa merkuri keluar dari pori-pori kain dan jatuh
ke tempat penampungan untuk pencucian tersebut. Merkuri dari hasil
pencucian dan pemerasan yang mengendap di tempat pencucian,
nantinya akan digunakan kembali untuk proses pengolahan emas.
Gambar 2.3. Tahap Pencucian dan Pemerasan
d) Tahap pembakaran atau penggarangan
Proses pembakaran/penggarangan dilakukan untuk menghilangkan
unsur merkuri yang masih tertinggal pada amalgam tersebut.
Pembakaran yang dilakukan pada proses pengolahan emas ini
-
26
menggunakan alat yang sederhana, seperti yang terdapat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 2.4. Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran
Pada tahap pembakaran ini, merkuri yang ada pada amalgam
menguap keudara. Bola amalgam yang tadinya berwarna perak
berubah menjadi berwarna emas. Setelah proses pembakaran didapat
kadar emas sekitar 30-60%.
e) Tahap penumbukan akhir (finishing)
Pada tahap ini emas hasil dari pembakaran ditumbuk dan dibentuk
sesuai dengan permintaan pasar atau konsumen.
2.2.3. Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI
Kegiatan pengolahan emas yang dilakukan secara amalgamasi dari kegiatan
PETI ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan baik di air, tanah,
maupun udara. Hal tersebut sejalan dengan Herman (2006) dalam Widowati et.al.
(2008) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh Hg
-
27
adalah berasal dari pengolahan emas secara amalgamasi yang menghasilkan buangan
berupa tailing. Dari hasil proses tersebut sebagian Hg akan membentuk amalgam
dengan logam lain, seperti Au, Ag dan Pt; dan sebagian Hg akan hilang dalam proses
pengolahan emas tersebut.
Pada tahun 2003, diketahui penggunaan merkuri dari kegiatan PETI sebesar
16,2 ton perbulan (Senny Sunanisari, 2008). Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri
dibuang ke Sungai Cikaniki oleh PETI setiap tahunnya (Anonim, 2009; Yoyok
Sudarso dkk, 2009). Sungai Cikaniki, Sub DAS Cisadane yang merupakan sungai
yang alirannya melewati lokasi pertambangan telah tercemar logam merkuri (Hg)
cukup berat, bila dibandingkan batas maksimum Baku Mutu Air dalam PP No. 20
Tahun 1995. Pencemaran oleh merkuri tersebut berasal dari kegiatan pertambangan
emas tanpa izin di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor (Margaret Bunga A. S.,
2010). Sama halnya dengan Sungai Cikaniki, Status kontaminasi logam merkuri pada
air Sungai Cisadane relatif tinggi hingga mencapai 3,33 ppb (Anonim, 2000) (Yoyok
Sudarso dkk, 2009).
Selain itu, kegiatan PETI tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa sedimen aktif di lokasi PETI
didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi
pengolahan emas, yaitu di Sungai Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah
mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-241,6 ppm. Selanjutnya, pada Sungai
Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg
-
28
berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006; Widowati et al., 2008). Selain itu, dari
hasil penelitian diketahui kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana
menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di
Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25
ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008).
2.2.4. Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, seluruh rangkaian kegiatan
pengolahan emas dilakukan pekerja tanpa menggunakan APD (Alat Pelinding Diri).
Sedangkan para pekerja mempunyai risiko untuk terpapar merkuri baik melalui
kontak langsung, yaitu pada tahap pencampuran merkuri baik yang digunakan untuk
amalgamator, maupun yang digunakan untuk proses pemerasan amalgam. Pada tahap
pemerasan juga terjadi kontak langsung antara pekerja dengan merkuri. Dari hasil
observasi dan wawancara diketahui bahwa pekerja tidak menggunakan sarung tangan
pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan juga dapat terjadi pada proses
penggarangan atau pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran dapat terhirup
langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak menggunakan masker
pada saat melakukan proses pembakaran.
-
29
Tabel 2.4. Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang
Jalan Masuk Mekanisme
Melalui inhalasi Terhirup melalui hidung kemudian menembus alveoli dengan
cara terdisfusi dan masuk ke dalam peredaran darah
Melalui kulit Senyawa merkuri bersifat lipofilik, karena kulit mengandung
kelenjar sebasea yang dapat melepaskan asam lemak maka
merkuri akan diabsorpsi ke dalam kulit. Setelah itu, masuk
melalui kapiler darah dibawah kulit dan didistribusikan ke
seluruh tubuh
Sumber: Hartono (2003)
2.2.5. Paradigma Pajanan Merkuri terhadap Pekerja PETI
Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap
kesehatan manusia dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma
tersebut menjelaskan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang
berpotensi menimbulkan penyakit terhadap manusia. Hal ini dapat digambarkan
dalam teori simpul, yang terbagi atas lima simpul, yaitu: sumber penyakit, media
transmisi penyakit,perilaku pemajanan, kejadian penyakit dan variabel supra sistem
(Achmadi, 2011).
Pada simpul satu, yaitu sumber penyakit merupakan titik yang mengeluarkan
agent penyakit. Dalam hal ini diketahui agent penyakit berupa merkuri atau air raksa
-
30
(Hg) yang berada di lingkungan. Keberadaan merkuri ini salah satunya dapat
disebabkan karena adanya kegiatan PETI.
Pada simpul dua, media transmisinya dapat berupa udara, air, tanah
(sedimen), dan pangan. Orang dapat terpajan uap Hg bila bernafas dalam lingkungan
yang terkontaminasi oleh uap merkuri (Hg), menelan/makan makanan atau minum air
yang terkontaminasi oleh merkuri (Hg), dan melalui kulit yang kontak dengan
merkuri (Hg). (ATSDR, 1999; WHO, 2001; Inswiasri, 2008).
Besarnya jumlah kontak yang diterima manusia dari lingkungannya yang
mengandung agent penyakit tergantung dari perilaku pemajan, yaitu pada simpul tiga
(Inswiasri, 2008) (Achmadi, 2011). Dalam hal ini variabel pada simpul ketiga dapat
berupa: umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, penggunaan APD,
kadar pemakaian merkuri/ hari, jenis aktivitas PETI, konsumsi ikan, kebiasaan mandi
di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi merkuri, dan pemakaian kosmetik.
Sebagai contoh keterkaitan variabel tersebut terhadap pemajan merkuri, yaitu adanya
kontak langsung melalui kulit dalam hal ini dapat terjadi ketika seseorang memiliki
kebiasaan mandi di sungai yang telah terkontaminasi dengan merkuri (Hg). Untuk
mengukur atau memperkirakan besarnya pajanan yang diterima dapat diukur melalui
biomarker atau tanda biologi. Biomarker pajanan yang umum dilakukan untuk
pemeriksaan kadar Hg salah satunya adalah rambut (Inswiasri, 2008).
-
31
Simpul empat merupakan outcome dari adanya hubungan interaktif antara
individu dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya, sehingga menimbulkan
kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh merkuri
tersebut, yaitu keracunan merkuri atau tidak. Penetapan kejadian keracunan ini adalah
berdasarkan pengukuran pada biomarker berupa rambut pekerja. Setelah hasil
pengukuran laboratorium didapat, kemudian kadar merkuri pada masing-masing
rambut dibandingkan dengan ketetapan WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar
normal Hg dalam rambut berkisar antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.
Simpul lima merupakan variabel supra sistem yang juga harus diperhitungkan
dalam setiap upaya analisis kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Dalam lingkup
kejadian keracunan merkuri akibat dari adanya kegiatan PETI, variabel yang juga
harus diperhitungkan dapat berupa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah
dapat mempengaruhi baik simpul 1, 2, 3, maupun simpul 4.
2.2.6. Biomarker Pajanan Merkuri
Biomarkers atau biologicalmarkers dapat diartikan sebagai penanda biologis
atau jaringan tubuh yang berfungsi untuk mengukur paparan polutan terhadap
manusia. Biomarkers merupakan indeks yang sensitif dari paparan merkuri pada
masing-masing individu (IPCS, 2000; WHO, 2008). Hasil pengukuran merkuri
melalui biomarker yang dilakukan pada pekerja dapat memberikan gambaran pajanan
atau pemaparan dari suatu hazard, yang dalam hal ini adalah merkuri, terhadap
-
32
kesehatan pekerja tersebut. Pajanan atau pemaparan akibat kerja tersebut
dihubungkan dengan proses kerja yang disebut dengan indeks atau indikator pajanan
(Idris, 1998).
Menurut UNEP dan WHO (2008), biomarkers yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya paparan merkuri terhadap manusia adalah rambut, darah. jaringan
dan darah plasenta, urin, kuku dan air susu manusia (ASI). Kadar merkuri dalam
darah menunjukkan adanya paparan yang baru atau untuk kasus jangka pendek. Hal
ini disebabkan karena waktu paruh merkuri dalam darah hanya 3 hari. Dengan
pertimbangan tersebut maka diperlukan pengambilan sampel sesegera mungkin
setelah terjadinya paparan (IPCS, 2003). Begitupun halnya untuk darah pada plasenta
dan jaringan plasenta yang juga dapat digunakan untuk mengetahui paparan
terakhir/saat ini. Untuk urin, merupakan biomarker yang tepat untuk paparan merkuri
anorganik, tetapi tidak untuk merkuri organic. Hal ini dikarenakan merkuri organik
direpresentatifkan hanya sedikit pada urin (IPCS, 2003). Sedangkan, rambut dapat
digunakan untuk mengetahui paparan jangka panjang, khususnya untuk
methylmercury. Hal tersebut dikarenakan merkuri yang telah berada di rambut tidak
kembali lagi ke darah (UNEP dan WHO, 2008).
Rambut merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi
berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk
menunjukkan tingkat kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar
terus-menerus (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Hal tersebut sejalan
-
33
dengan Soepanto et al. (1992) dalam Cakrawati (2002) yang menyatakan bahwa
tingkat kandungan merkuri di dalam rambut merupakan salah satu indicator tingkat
kandungan merkuri di tubuh. Selain itu, kandungan merkuri di dalam rambut dapat
digunakan untuk menilai kondisi penduduk yang berkaitan dengan pemaparan
merkuri.
Pada rambut, konsentrasi merkuri dapat meningkat dengan adanya paparan
dari uap merkuri di lingkungan. Hal tersebut dikarenakan adanya adsorbsi langsung.
Selain itu, pemeriksaan rambut sangat penting dilakukan untuk pajanan metil merkuri
dari makanan (IPCS, 1990). Menurut WHO (1991) dalam Warsono. S (2000), rambut
merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang
keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi Hg di rambut kepala yang terjadi
pada saat pembentukan rambut, setara dengan konsentrasi Hg di dalam darah. Akan
tetapi belum diketahui hubungan antara konsentrasi rambut, darah, dan urin. Selain
itu, menurut WHO (1996) merkuri juga merupakan indikator spesimen yang sangat
baik pada rambut, dibanding logam-logam lain (W. Hartono, 2003).
Rambut lebih banyak digunakan sebagai indikator akumulasi merkuri. Hal
tesebut berdasarkan kadar merkuri dalam rambut yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar merkuri dalam urin, keringat, tinja maupun darah. Selain
itu, rambut secara unik juga dapat digunakan untuk membedakan antara kontaminasi
internal dengan eksternal. Untuk mengetahui adanya kontaminasi internal
ditunjukkan dengan rambut bagian dalam yang selalu tertutup rapat oleh pakaian.
-
34
Sedangkan kontaminasi eksternal ditujukan untuk kontaminasi total, yaitu
kontaminasi internal dan eksternal (Sasmito dan Kamal, 2002).
2.2.7 Metode Analisis
Terdapat banyak metode yang tersedia untuk menganalisis kadar merkuri
dengan menggunakan biomarker yang salah satunya berupa rambut. Beberapa
metode yang digunakan, seperti Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS), Neutron
Activation Analysis (NAA), dan Cold Vapour Atomic Absorption Spectrometry
(CVAAS). Akan tetapi, metode yang paling banyak digunakan adalah Cold Vapour
Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS) (ATSDR, 1999; IPCS, 2003; UNEP dan
WHO, 2008).
CVAAS ini memiliki sensitivitas yang memadai untuk pengukuran merkuri
pada tingkat sub-ppm, juga ke tingkat sub-ppt dibandingkan dengan Neutron
Activation Analysis (NAA), yang memiliki batas deteksi kurang bagus. Oleh karena
tingginya tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh CVAAS, maka sampel berupa
rambut yang dibutuhkan hanya sedikit (beberapa helai) saja. Sedangkan, untuk
metode Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS) memiliki kelemahan, yaitu
memerlukan sampel berupa rambut yang cukup banyak. Sampel yang dibutuhkan
untuk dianalisis adalah sekitar 5-10 mg, sedangkan untuk mendapatkan resolusi
spasial (untuk tujuan biomonitoring), dibutuhkan sekitar 100-150 helai rambut.
-
35
Besarnya jumlah sampel tersebut dapat mengganggu responden (UNEP dan WHO,
2008).
2.2.8. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Menurut Widowati et.al. (2008), upaya pencegahan yang harus dilakukan
terhadap pencemaran limbah merkuri sebagai dampak dari kegiatan PETI diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan sistem pertambangan tertutup dengan tujuan memperkecil
keluaran Hg dari dalam tanah. Hal ini adalah sebagai bentuk dari
pemilihan teknik penggalian yang ramah lingkungan.
2. Mengganti penggunaan Hg dalam proses pengolahan emas menjadi
menggunakan mikroba, contohnya adalah Thiobacillus feroxidans
(Bapeldada Sulut, 2002).
Adapun cara yang perlu dilakukan sebagai bentuk penanggulangan terhadap
pencemaran limbah merkuri di lingkungan sebagai dampak dari kegiatan PETI adalah
diantaranya adalah sebagai berikut (Widowati et.al., 2008):
1. Memindahkan sedimen yang telah tercemar oleh Hg dan
mengisolasinya dengan membuat bak pengendap yang selain berfungsi
sebagai tempat pengisolasi sedimen, tetapi juga dapat menjadi tempat
isolasi bagi material lainnya yang telah tercemar oleh Hg . Untuk uap
-
36
merkuri yang dilakukan di ruangan yang tertutup dapat pula dialirkan
masuk kedalam bak pengendap yang tertutup rapat.
2. Melakukan treatment terhadap tanah dan air yang telah tercemar, salah
satunya dengan menerapkan fitoremediasi, yaitu pengolahan bahan
pencemar dengan menggunakan tanaman. Tanaman yang dapat
digunakan seperti Stelaria setacea atau eceng gondok (Siswoyo,
2011), Selain itu, dapat juga menerapkan bioremediasi, yaitu
penggunaan mikroorganisme untuk mengabsorpsi polutan Hg,
contohnya adalah Pseudomonas syringae.
2.3. Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap Keracunan Merkuri (Hg)
2.3.1. Faktor Internal
a. Umur
Menurut Hamid (1991) dan Tugaswati (2006) salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah
umur. Janin, anak yan baru lahir dan masih berusia muda sangat rentan
terhadap paparan merkuri karena sensitivitas dari perkembangan syaraf.
Selain itu, neonatus juga dapat terpapar dari konsumsi ASI yang telah
terkontaminasi merkuri (ATSDR, 1999; UNEP dan WHO, 2008).
Konsentrasi metilmerkuri dalam darah janin adalah sekitar 1,5
sampai 2 kali lipat lebih besar dibandingkan ibunya, karena transport aktif
-
37
metilmerkuri ke janin melalui plasenta (NRC, 2000; IPCS, 1990; UNEP
dan WHO, 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Eto (1999) dan
Sudarmaji et. al. (2006) bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari
kepekaan individu, yakni anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anak-
anak, dan orang tua.
b. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009).
Pengukuran status gizi berdasarkan pada rumus:
[ ]
Hasil dari pengukuran IMT tersebut dibandingkan dengan batasan IMT
yang telah ditetapkan untuk mengetahui keadaan/status gizi seseorang.
Batasan IMT yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5. Batas IMT di Indonesia
Keadaan Gizi IMT (Kg/m2)
Kurus Sekali < 17,0
Kurus 17,0-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk 25,1-27,0
Gemuk Sekali > 27,0
Sumber: Depkes RI (2003), Harahap (2005)
-
38
Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang
baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan
Sintawati, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan Sumamur (1996), yang
menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang
sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja. Selain itu, status gizi juga
dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap paparan logam
berat ke tubuh. Diketahui kadar Cad dan Fe yang tinggi dalam makanan
yang dikonsumsi oleh seseorang, akan menurunkan penyerapan tubuh
terhadap logam berat (Fergusson, 1991). Kemudian, menurut Silalahi
(2005) diketahui bahwa vitamin E dan antioksidan dapat mengurangi
toksisitas merkuri.
2.3.2. Faktor Pekerjaan
a. Masa Kerja
Pengaruh masa kerja dengan kadar merkuri pada area kerja yang
memiliki risiko tinggi terhadap paparan merkuri, adalah berkaitan dengan
akumulasi merkuri dalam tubuh. Apabila semakin lama orang tersebut
bekerja, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar dengan
merkuri. Hal tersebut sejalan dengan Sumamur (1996), yang menyatakan
bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan
bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya.
Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak
langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri
-
39
pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan
saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan
merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang
tinggi, yaitu sekitar 80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat
larut dalam lipida (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)
b. Jam Kerja
Jam kerja dapat menentukan tingkat keterpajanan pekerja terhadap
kontaminasi bahan kimia di lingkungan kerja. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan
Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value
sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8 jam
dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan
dengan pekerja dengan jam kerja 8 jam/hari.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rianto (2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi
Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri
dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang
penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%) yang
mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam
dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami
-
40
keracunan merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan
merkuri.
Jam kerja juga terkait dengan lama keterpaparan pekerja di
lingkungan kerjanya dalam sehari. Hal ini dinyatakan dalam Nilai
Ambang Batas (NAB), dimana menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011, definisi dari NAB adalah standar
faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang
waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan
sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penentuan lama jam kerja tergantung dari
besarnya paparan/kadar unsur kimia di udara yang berada pada tempat
kerja tersebut.
Terkait merkuri (Hg), berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011 diketahui bahwa
NAB di udara lingkungan kerja untuk senyawa merkuri anorganik
ditetapkan sebesar 0,025 mg/m3. Sedangkan untuk
Paparan Singkat
Diperkenankan (PSD)/ Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) dari Hg
adalah 0,03mg/m3. Adapun definisi dari Paparan Singkat Diperkenankan
(PSD) adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh
dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak
-
41
lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi,
kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih
dari 4 kali dalam satu hari kerja. Sedangkan, Kadar Tertinggi
Diperkenankan (KTD) adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja
yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga
kerja melakukan pekerjaan.
c. Penggunaan APD
Alat Pelindung Diri yang direkomendasikan untuk pekerja
penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan
baju lengan panjang. Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat
pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah
melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan
ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang
mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa senyawa air raksa
(II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit (Setiyono dan
Maywati, 2010).
d. Kadar Pemakaian Merkuri/ hari
Menurut Parkhut dan Thaxton (1973) dalam Widiana (2007),
besarnya toksisitas merkuri berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin
besar konsentrasinnya maka makin besar tingkat toksisitasnya.
-
42
e. Jenis Aktivitas PETI
Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh PETI terdiri dari
menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan.
Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan
gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana
terjadi proses pencampuran merkuri dan pemerasan emas yang telah
dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran
atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Trilianty Lestarisa
(2010), diketahui bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai
aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram
mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini
disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung
dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila
penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari
pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui
saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri
tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh
tubuh (Lestarisa, 2010)
-
43
2.3.3. Faktor Perilaku
a. Konsumsi Ikan
Konsumsi ikan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya keracunan merkuri pada manusia. Hal tersebut
karena merkuri merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi
sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah
satunya adalah ikan. Menurut Arsentina (2008) dalam Agustina (2010),
definisi dari bioakumulasi yakni peningkatan zat kimia yang terjadi pada
tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
konsentrasi zat kimia yang berada di alam.
Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi
bentuk organik, yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya aktivitas
bakteri. Bentuk senyawa metilmerkuri (CH3Hg) dapat dengan mudah
berdifusi dan berikatan dengan protein biota akuatik. Hal tersebut
termasuk pada protein jaringan otot ikan (Bureau of Nutritional Sciences,
Food Directorate, Health Products and Food Branch Canada, 2007;
Athena dan Inswiasri, 2009). Diketahui pula ion metil merkuri yang telah
termakan akan larut dalam lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada
ikan. Metil merkuri dapat ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan
sampai kadar 3000 kali dari kadar yang ada di air, namun ikan tersebut
tidak menunjukkan gangguan merkuri atau menderita sakit (Polii dan
-
44
Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia mengkonsumsi ikan yang
terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi peningkatan risiko untuk
terjadinya keracunan merkuri.
Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kadar merkuri
yang terkandung dalam ikan, salah satunya adalah umur ikan tersebut.
Kandungan merkuri akan meningkat sesuai dengan umur ikan. Hal
tersebut berarti ikan-ikan yang berukuran besar sebagai ujung dari rantai
makanan memiliki konsentrasi merkuri yang paling tinggi (Athena dan
Inswiasri, 2009).
Biomarker berupa rambut dapat digunakan untuk mengetahui
pajanan metilmerkuri (UNEP, 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh R. Kowalski dan J. Wierciski (2006) yang berjudul Determination
of Total Mercury Concentration in Hair of Lubartw-Area Citizens
(Lublin Region, Poland)., diketahui bahwa konsentrasi merkuri dari
rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi
konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya konsentrasi
merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi
ikan.
Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Andri et.al.
(2011) pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui
-
45
bahwa variabel konsumsi ikan >3 kali/minggu memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut masyarakat dengan p value
sebesar 0,007.
b. Kebiasaan Mandi di Sungai
Masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat disebabkan karena
melakukan kegiatan yang memiliki risiko untuk terpapar merkuri.
Beberapa masyarakat yang tinggal di desa terkadang memiliki kebiasaan
mandi di sungai. Pada saat mandi, air sungai yang terkontaminasi merkuri
dapat masuk ke tubuh dengan adanya kontak langsung melalui kulit.
Rutinitas menggosok gigi pada saat mandi juga dapat menjadi alur masuk
merkuri ke dalam tubuh . Selain itu, akibat dari adanya reaksi penguapan
merkuri dalam air dapat berisiko untuk masuk ke tubuh melalui saluran
pernafasan (Andri DH et al., 2011).
c. Konsumsi air yang terkontaminasi merkuri
Seperti yang telah dijelaskan bahwa masuknya merkuri ke dalam
tubuh dapat melalui saluran pencernaan. Menurut Andri DH et al. (2011),
masyarakat yang mengkonsumsi air sungai yang telah terkontaminasi oleh
merkuri dengan konsentrasi yang tinggi, cenderung memiliki kadar
merkuri yang tinggi juga dalam tubuhnya.
-
46
d. Pemakaian Kosmetik
Pemakaian kosmetika yang mengandung merkuri dapat
menyebabkan terjadinya penyerapan merkuri melalui kulit, sehingga dapat
mempengaruhi kadar merkuri pada tubuh. Penambahan bahan merkuri
pada kosmetika tersebut bertujuan untuk memutihkan atau mencerahkan
kulit (W. Hartono, 2003). Produk pencerah kulit termasuk sabun dan krim
memiliki perkiraan kadar merkuri yang berbeda-beda. Untuk sabun,
mengandung sekitar 1-3% iodida merkuri dan mempunyai konsentrasi
merkuri sebesar 31 mg/kg. Sedangkan untuk krim terdiri dari 1-10%
ammonium merkuri dan mempunyai konsentrasi merkuri sebesar 33.000
mg/kg (WHO, 2011).
Walaupun peredaran kosmetik yang mengandung merkuri telah
dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi pada peredarannya masih
ditemukan merk tertentu yang mengandung merkuri. Beberapa merk
terdaftar yang mengandung merkuri adalah; chiumien pearl cream, cupid
pearl nourishing cream, albani cream, jeany pearl cream, contra B, ultra
cream dosha, fair check pearl cream, deluxe dosha, dan UE cream. Selain
itu terdapat pula beberapa merk kosmetika yang tidak terdaftar, yaitu: UB
formula 99 AA whitening pearl cream, AQL cream, BQL cream,dan
chiumin bleaching pearl cream (W. Hartono, 2003).
-
47
2.3.4. Faktor Lainnya
a. Kebijakan Pemerintah
Merkuri yang terdapat di lingkungan, baik di udara, tanah, air,
maupun makanan dapat disebabkan oleh penggunaannya yang tidak
terkendali. Penggunaan merkuri ini dapat berasal dari aktifitas PETI
(Nimitch, 2012). Kebijakan pemerintah terkait merkuri erat kaitannya
dengan peraturan yang menjadi landasan guna mengendalikan pencemaran
serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan PETI tersebut. Aspek yang
dibahas pada peraturan yang berlaku di Indonesia tersebut baik dari segi
peredaran dan penggunaanya, baku mutu pada lingkungan, keterpaparan
terhadap pekerja, maupun batas aman yang diterima tubuh. Peraturan
tersebut diantaranya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LH, PP
RI No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun, Kepmen LH No. 02/ 1998 Tentang Penetapan Pedoman Baku
Mutu Lingkungan, dan sebagainya.
-
48
2.5. Kerangka Teori
Bagan 2.1. Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul)
Sumber: Teori Modifikasi dari Achmadi (2011), Lestarisa (2010), Fergusson (1991),
Maywati (2011), Athena dan Inswiasri (2009), R. Kowalski dan J. Wierciski (2006),
Andri DH et al. (2011), W. Hartono (2003), Nimitch (2012).
Merkuri
(Hg)
Udara
Air
Pangan
Tanah
Faktor internal: umur,
status gizi (IMT)
Faktor pekerjaan: masa
kerja, jam kerja,
penggunaan APD,
kadar pemakaian
merkuri/ hari, jenis
aktivitas PETI