Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

download Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

of 232

Transcript of Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    1/232

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    2/232

    i

    Jelajah Nusantara 3Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan

    Penulis

    Agung Dwi Laksono

    Nor Efendi

    Marselinus Laga Nur

    Aprizal Satria Hanafi Lafi Munira

    Samuel Josafat Olam

    Deni Frayoga

    Titan Amaliani

    Lailatul Maghfiroh

    Khoirul Faizin

    Roland Alberto Nggeolima

    Sutamin Hamzah

    Hendra Dhermawan Sitanggang

    Ade Aryanti Fahriani

    Putra Apriadi Siregar

    Siti Rahmawati

    Editor

    Agung Dwi Laksono

    Health Advocacy

    Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    3/232

    ii

    Jelajah Nusantara 3. Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan

    ©2016. Health Advocacy

    Penulis:Agung Dwi Laksono, Nor Efendi, Marselinus Laga Nur, Aprizal Satria Hanafi,

    Lafi Munira, Samuel Josafat Olam, Deni Frayoga, Titan Amaliani,

    Lailatul Maghfiroh, Khoirul Faizin, Roland Alberto Nggeolima,

    Sutamin Hamzah, Hendra Dhermawan Sitanggang, Ade Aryanti Fahriani

    Putra Apriadi Siregar, Siti Rahmawati

    Editor:

    Agung Dwi Laksono

    Penata Letak – ADdesign

    Desain Sampul – ADdesign

    Cetakan Pertama – Juni 2016

    Buku ini diterbitkan atas kerjasama:

    HEALTH ADVOCACY

    Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat

    Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232

    Email: [email protected]

    dengan

    PUSAT HUMANIORA DAN MANAJEMEN KESEHATAN

    BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

    KEMENTERIAN KESEHATAN RI.

    Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat

    ISBN 978 602 6958 04 4

    Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

    Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh

    isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    4/232

    iii

    Pengantar

    Buku “Jelajah Nusantara 3, Catatan Enam Belas

    Orang Peneliti Kesehatan” ini merupakan edisi ke-tiga

    sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan

    yang sama pada edisi pertama dan kedua. Pada edisi ke-tiga

    kali ini enam belas peneliti kesehatan berkolaborasi penuh

    menyajikan catatan perjalanan di 18 wilayah yang berbeda.

    Catatan perjalanan dalam buku ini disajikan secara

    urut dari Timur ke Barat. Mulai dari Provinsi Papua sampai

    dengan Provinsi Aceh. Mulai dari kegagalan menembus

    Kabupaten Tolikara sampai perjalanan ke Kabupaten Aceh

    Barat Daya.

    Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan

    penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas

    sebagai seorang peneliti. Rasa keprihatinan, trenyuh,empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring

    realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan

    pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga

    kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu

    kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap

    permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri

    di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupunwilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada

    ke wilayah lain di Republik ini. Sungguh para penulis

    menikmati setiap proses lahirnya buku ini, seperti

    pengakuan salah satu penulis buku ini;

    “Saya akan meresapi setiap momen hidup saya di

    sini untuk memahami betapa peliknya membenahi

    masalah kesehatan di sudut-sudut republik ini. Dan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    5/232

    iv

    dari sinilah saya akan belajar mengenal bangsa saya

    sendiri, mencari makna, dan juga terus bertanya

    dalam proses menjadi Indonesia yang sebenarnya.”

    (Samuel Josafat Olam)

    Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini

    mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan

    perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya

    nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,

    tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai

    wilayah-wilayah perbatasan negeri.

    Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk

    bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.

    Sungguh kami berharap banyak untuk itu!

    Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.

    Salam!

    Jakarta, Juni 2016

    Editor 

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    6/232

    v

    Daftar Isi

    Pengantar iii

    Daftar Isi v

    1.  Kami Tidak akan Menyerah Tolikara! 1 

     Agung Dwi Laksono

    2. Rekam Kematian dari Pulau Seram; 13 

    Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah 

    Nor Efendi  

    3. Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta 29

    Nor Efendi  

    4. Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata;  49

    Catatan Perjalanan ke Sumba Barat Daya

    Marselinus Laga Nur

    5.  Coto  yang Menggoyang Lidah; 67 

    Catatan Perjalanan ke Kota Makassar

     Aprizal Satria Hanafi

    6.  Surga Kecil Tojo Una-Una dan Ironi 77 

    Kondisi Kesehatan Masyarakat

    Lafi Munira

    7.  Baram  Tewang Rangkang; 85 

    Catatan Perjalanan ke Kabupaten Katingan

    Samuel Josafat Olam

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    7/232

    vi

    8.  Menemukan Misteri di Bumi Khatulistiwa; 103 

    Catatan Perjalanan ke Kabupaten Melawi

    Deni Frayoga

    9.  Menyapa ‘Macan Dahan’ Borneo 113 

    Catatan Perjalanan ke Kabupaten Kutai Barat

    Titan Amaliani

    10.  Selayang Pandang Pulau Garam; 121 

    Catatan Perjalanan ke Kabupaten Pamekasan

    Lailatul Maghfiroh

    11.  Wedang Uwuh; Diantara Persimpangan 129 

    Tradisi dan Modernisasi 

    Khoirul Faizin

    12.  Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh ; 131 

    Catatan Perjalanan ke Bangka Selatan

       Agung Dwi Laksono

    13. Paket ‘Wisata Laka Lantas’ di Toboali  151

    Roland Alberto Nggeolima

    14. Pandangan Pertama di Bumi Raflessia 161 

    Catatan Perjalanan ke Bengkulu Selatan

    Sutamin Hamzah

    15. Cerita dari Negeri Kepulauan Anambas 177 

    Hendra Dhermawan Sitanggang

    16. Nias Ku Sayang, Nias Barat Ku... Malang? 189

    Catatan Perjalanan ke Kabupaten Nias Barat

     Ade Aryanti Fahriani

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    8/232

    vii

    17. Menilik Surga di Pulau Simeulue, 201 

    Kabupaten Terluar Provinsi Aceh 

    Putra Apriadi Siregar

    18. Menembus Batas Tirai Hitam 215 

    Catatan Perjalanan ke Aceh Barat Daya 

    Siti Rahmawati

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    9/232

    viii

    “Ini tugas berat, tentu saja!

    karena itulah kita ada…”

    -ADL- 

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    10/232

    1

    Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!

    Agung Dwi Laksono

    Wamena, 03 Mei 2016

    Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali

    ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan

    kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada

    perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik

    Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan

    Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecilyang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di

    Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah!

    Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus

    ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah

    Papua lainnya.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    11/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    2

    Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui

    dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota

    Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harusditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road  yang

    cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa

    ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan

    untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter.

    Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.

    Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara

    Sumber: antaranews

    Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam

    pemberitaan nasional dengan berita yang kurang

    mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin

    dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    12/232

    Jelajah Nusantara #3

    3

    dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom

    waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.

    Pembangunan Kesehatan di Tolikara

    Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian

    saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya

    menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

    Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita

    membandingkan dengan pembangunan di wilayah lainrepublik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan.

    Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan

    akselerasi pembangunan di wilayah ini.

    Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara,

    Provinsi Papua dan Nasional

    Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013

    0,00

    0,10

    0,20

    0,30

    0,400,50

    0,60

    0,700,80

    0,25

    0,140,06

    0,27

    0,65

    0,120,03

    0,57

    0,320,28

      0,34

    0,710,66

    0,25

    0,61

    0,48

    0,38   0,37

    0,63

    0,75

    0,54

    KAB. TOLIKARA PAPUA INDONESIA

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    13/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    4

    Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah

    penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan

    Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks

    pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang

    melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM

    disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh

    Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan

    Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh

    Badan Pusat Statistik.

    Palang Duka

    Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi

    Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan

    menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam,

    anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorangasisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak

    belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui.

    Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari

    berangkat!

    Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota

    Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami

    mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan

    polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami

    tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa

    gerangan?

    Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama

    dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan.

    Sementara beberapa orang lokal berkulit legam tampak

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    14/232

    Jelajah Nusantara #3

    5

    duduk serampangan di depan pohon yang melintang

    tersebut. Palang!

    Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong.Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah

    keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan

    tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.

    Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil

    Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan

    bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal

    dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pundiijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel

    tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk

    membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak,

    kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak

    perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena

    dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer

    (Danramil) di Kurulu.

    Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara

    yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen

    perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja

    tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke

    atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski

    akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo viaBluetooth  dari para tentara itu yang mengambilnya dengan

    mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya

    kurang begitu tajam.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    15/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    6

    Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu

    Sumber: Personel Koramil Kurulu

    Seorang personel tentara lain asli Medan,

    Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya,

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    16/232

    Jelajah Nusantara #3

    7

    menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal

    membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati

    datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka,tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang

    datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang

    menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko

    Polhutkam.

    Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting

    yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai

    putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah DistrikKurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah

    menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten

    Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas

    Sosial di kantor Kabupaten yang sama.

    Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang

    membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala

    suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran

    Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru,

    memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum

    sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih

    berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.

    Belum puas kami berbincang dengan para tentara

    yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohontersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup

    kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan

    nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak

    mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana

    Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia

    pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    17/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    8

    meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum

    tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang

    dipalang tersebut.Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk

    berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara

    lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai

    kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami

    kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di

    wilayah ini.

    Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota

    sebelum Bertolak Kembali ke Wamena

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat

    puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil

     jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa

    almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    18/232

    Jelajah Nusantara #3

    9

     jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil

    menenteng busur beserta anak panah.

    Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraansejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit

    saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan

    dengan warga lokal yang sedang sensitif.

    Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali

    ke Rumah Duka

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya

    menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya

    dapatkan ketika menempuh perjalanan ke KabupatenTolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik

    Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut

    terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa

    warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan

    meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut.

    “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    19/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    10

     jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir,

    sopir Strada yang mengantar kami.

    Kembali ke Wamena

    Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas

    Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah

    gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus

    meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab

    terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untukmendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten

    Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu

    yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-

    dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.

    Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang

    lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau

    membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    20/232

    Jelajah Nusantara #3

    11

    Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang

    seperti yang kami alami.

    Tentang Penduduk Lokal

    Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita

    perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak

    pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.

    Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai

    dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikanhamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik.

    Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya

    saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak

    boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam

    dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak

    saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk

    mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.

    Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena

    Sumber: Dokumentasi Peneliti 

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    21/232

    Kami Tidak Akan M enyerah To likara!

    12

    Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan

    pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam

    hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telingasaya menangkap seperti ipere), petatas  (Ipomoea Batatas L., 

    sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi

    hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam

    kacang panjang dan tomat.

    Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat

    siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di

    Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan.

    Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan

    perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak

    akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali

    menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di

    Karubaga. Suatu saat. @dl.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    22/232

    13

    Rekam Kematian dari Pulau Seram

    Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah 

    Nor Efendi

    Perjalanan dan penugasan ke wilayah Timur Indonesia,

    impian yang sejak lama saya harapkan menjadi kenyataan.

    Saking berharapnya, tak jarang keinginan tersebut saya

    sisipkan dalam rangkaian do’a setelah sholat. Dan Allah SWT

    membuktikan bahwa janjinya dalam Qur’an Surat Al-Mukmin

    ayat 60, yang berbunyi, “Berdoalah (mintalah) kepadaKu,

    niscaya Aku kabulkan untukmu”,  benar adanya. Melalui

    kegiatan Kajian Sistem Rujukan Maternal Neonatal  saya

    berkesempatan menjejakkan langkah untuk pertama kalinya

    di belahan Timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Maluku

    Tengah, Provinsi Maluku.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    23/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    14

    Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Maluku Tengah di Indonesia

    Sumber: Google Map

    Kajian yang merupakan hajat United Nations

    Children’s Fund (UNICEF) bekerjasama dengan Badan

    Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan

    (Badan Litbang Kemenkes) dilakukan di 4 Provinsi terpilih.

    Keempat provinsi tersebut adalah Kalimantan Tengah, NusaTenggara Barat, Papua dan Maluku. Masing-masing Provinsi di

    wakili oleh 2 kabupaten yang ‘sulit dijangkau’ dan 1

    kabupaten yang ‘mudah dijangkau’, berdasarkan jarak

    terhadap rumah sakit (RS) provinsi. Kami diamanahkan untuk

    mengumpulkan data dari bidan desa, Puskesmas dengan

    Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) maupun

    non PONED, Dinas Kesehatan, RS, lintas sektor, tokoh

    masyarakat, pasien serta masyarakat yang salah satu anggota

    keluarganya pernah mengalami kematian maternal atau

    neonatal.

    Perjalanan dari Jakarta dimulai saat maskapai plat

    merah menerbangkan kami berempat, tim enumerator yang

    berpersonelkan dokter, perawat, bidan dan sarjana kesehatan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    24/232

    Jelajah N usantara # 3

    15

    masyarakat pada tanggal 9 Agustus 2015 mulai pukul 23.45

    WIB hingga mendarat di Bandara Patimura-Ambon pada

    pukul 06.50 WIT keesokan harinya. Penerbangan melintasbatas waktu ini memberikan kesempatan istimewa lainnya

    kepada saya untuk mencicipi sepertiga malam, ibadah subuh

    dan indahnya fajar Timur di udara. Subhanallah…! 

    Setibanya di Ambon kami langsung menumpang taksi

    travel  (mobil Avanza plat hitam) menuju Pelabuhan Tulehu

    dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit, untuk mencari

    kapal cepat yang bisa membawa kami ke Masohi, ibukota

    Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pulau Seram.

    Sekitar pukul 09.00 WIT kapal mulai bergerak menuju

    Pelabuhan Amahai, gerbang Kota Masohi lewat jalur laut.

    Kelas ekonomi dengan tarif Rp. 125.000,- per orang kami pilih

    sesuai ketentuan yang dipersyaratkan penyandang dana.

    Perjalanan melintas laut selama 2 jam di warnai denganperjuangan melawan tegang di-60 menitnya. Bagaimana

    tidak, kami bersama penumpang lain berjibaku di dalam kapal

    yang terombang ambing membelah terjangan gelombang laut

    Banda yang saat itu lumayan besar.

    Kabupaten Maluku Tengah adalah satu dari 11

    kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku, mewakili

    daerah yang ‘mudah dijangkau’ dalam kajian ini. Berdasarkan

    catatan Dinas Kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) di

    Maluku Tengah tergolong rendah di bawah target minimal

    yang disasar Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada

    2015, sedangkan Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) masih di

    atas target MDG’s.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    25/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    16

    Gambar 2. Angka Kematian Ibu dan Bayi Kabupaten Maluku TengahTahun 2010-2013

    Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013

    Kabupaten yang memiliki luas wilayah 275.907 km2 

    dan 95,8%-nya merupakan wilayah lautan, terbagi ke dalam

    18 kecamatan dan 178 desa. Wilayahnya mencakup 49 pulau,

    yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua-Nusalaut,

    Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau kecil lainnya.

    Hanya 14 pulau yang sudah dihuni, sedangkan sisanya 35

    buah merupakan pulau tak berpenghuni beserta 2 dataran, 3

    gunung, 2 danau dan 144 sungai yang ikut melengkapi lukisan

    geografis.  Fasilitas kesehatan utama di Maluku Tengah di

    topang oleh 4 RSUD yang tersebar di Tulehu, Saparua, Banda

    dan Masohi serta 31 Puskesmas yang melayani sekitar375.393 jiwa penduduk.

    Tiga hari pertama, saya bersama tim menyelesaikan

    pengumpulan data di Dinas Kesehatan dan RSUD Masohi,

    sebelum akhirnya melanjutkan ke 2 Puskesmas PONED

    terpilih beserta 2 Puskesmas non PONED yang menjadi satelit.

    Hasil kajian ini selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    26/232

    Jelajah N usantara # 3

    17

     policy brief   terkait sistem rujukan maternal neonatal yang

    dapat dimanfaatkan dalam perbaikan berbagai program

    kesehatan sebagai upaya menurunkan angka kematian ibudan bayi di Indonesia.

    Amahai, 13 Agustus 2015

    Amahai adalah Puskesmas PONED pertama yang kami

    sambangi. Puskesmas ini hanya berjarak 7 km dari Masohi

    dan dapat ditempuh menggunakan alat transportasi darat,baik roda 2 maupun roda 4. Seperti telah saya sebutkan

    sebelumnya, Amahai juga merupakan pintu masuk Maluku

    Tengah melalui jalur laut seiring didirikannya dermaga kapal

    cepat yang berlokasi di sini.

    Di Amahai saya kebagian mewawancarai salah seorang

    bidan desa, IL (36 tahun). IL jarang mendapat kesempatan

    diikutkan pelatihan terkait peningkatan kapasitas dan

    keterampilan sebagai bidan, meski telah menekuni profesinya

    ±10 tahun. Desa tempat bidan berdarah Manado ini bertugas

    berada di atas bukit, terletak agak jauh sekitar 8 km dari

    Puskesmas Amahai. Menurutnya, masyarakat desa tempatnya

    bertugas sebagian besar berprofesi sebagai petani penggarap

    lahan yang tidak terlalu subur, sehingga tergolongberekonomi rendah. Seringkali jasa pelayanan kesehatan yang

    diberikan oleh bidan IL hanya dibayar dengan ucapan

    terimakasih atau imbalan hasil-hasil bumi seperti pisang, ubi

    atau sayur-sayuran.

    Masih di wilayah kerja Puskesmas Amahai, sebuah

    desa yang letaknya lebih ke pesisir ternyata menyimpan kisah

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    27/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    18

    kematian ibu bersalin yang dramatis. Bagaimana tidak, desa

    yang sejatinya telah memiliki Puskesmas Pembantu (Pustu)

    beserta penempatan 2 petugas kesehatan yaitu seorangperawat perempuan dan seorang bidan tersebut, harus

    kehilangan salah seorang warganya akibat kasus ‘ketuban

    pecah dini (KPD)’.

    Ny. N (26 tahun) yang sedang mengandung anak

    pertamanya di usia kehamilan sekitar 8,5 bulan, pada suatu

    malam secara tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang

    merembes dari jalan lahirnya. Semula ia mengira itu hanya air

    kencing biasa yang keluar sendiri tanpa bisa dikendalikan.

    Namun sampai bangun di pagi keesokan harinya, keluarnya

    air yang terasa merembes itu masih terus berlangsung

    dengan aroma yang berbeda dari air kencing biasa. Ny. N

    menceritakan hal tersebut ke suaminya yang kemudian

    memutuskan untuk memanggil bidan L (36 tahun) untukmemeriksa kondisi isterinya.

    Bidan L menyimpulkan bahwa air yang keluar dari

    tubuh Ny. N adalah air ketuban, dan kondisi ini harus segera

    mendapat pertolongan di rumah sakit. Keluarga Ny. N

    kemudian meminta waktu untuk rembukan keluarga.

    Sepertinya terjadi diskusi yang sangat panjang di keluarga Ny.

    N untuk sebuah keputusan membawanya ke RS. Hingga

    sampai malam hari akhirnya baru di bawa menuju kota

    Masohi, namun bukan ke RS, melainkan ke praktik dokter

    umum. Menurut keterangan bapak W (47 tahun), keputusan

    seperti itu diambil karena pihak keluarga berusaha

    semaksimal mungkin agar Ny. N tidak sampai dirawat di RS.

    Selain karena keinginan yang kuat untuk bisa melahirkan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    28/232

    Jelajah N usantara # 3

    19

    secara normal di rumah, juga karena alasan biaya dan

    terbatasnya anggota keluarga yang bisa menunggu di RS.

    Dokter umum yang didatangi Ny. N dan keluarga jugamemberikan saran yang sama, Ny. N harus masuk RS. Namun

    sekali lagi sangat disayangkan, Ny. N atas keinginannya sendiri

    yang di-amin-kan keluarga justru dibawa pulang ke rumah.

    Sampai di rumah, pihak keluarga kembali memanggil bidan L

    dan perawat I (30 tahun) serta meminta mereka agar

    mengupayakan bisa membantu perawatan Ny. N yang

    dilakukan di rumah saja. Tentu saja bidan L dan perawat I

    menolak melakukan itu. Mereka kembali memberikan

    pengertian dan pemahaman kepada Ny. N dan keluarga agar

    bersedia dirujuk ke RS.

    Setelah susah payah dibujuk, Ny. N benar-benar

    dibawa ke RSUD Masohi pada keesokan harinya. Dua hari

    dirawat di RS, Ny. N kembali pulang paksa ‘atas permintaansendiri (APS)’ dengan alasan tidak bersedia untuk dilakukan

    tindakan operasi. Menurut Bapak W, mereka saat itu

    diwajibkan menandatangani berbagai surat pernyataan

    bahwa menolak segala bentuk tindakan medis atas keinginan

    sendiri dan siap dengan segala risikonya, meskipun telah

    mendapat penjelasan bahwa tindakan yang akan dilakukan

    pihak RS semata-mata untuk menyelamatkan dirinya dan bayi

    yang di kandungnya.

    Dua hari di rumah, kondisi Ny. N semakin lemah.

    Melihat hal itu, suami dan keluarga Ny. N berinisiatif kembali

    memanggil petugas kesehatan yang bertugas di desa itu, dan

    tentu saja kembali diharuskan untuk dirujuk. Kali ini keluarga

    Ny. N menurut. Namun masalah kemudian muncul ketika di

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    29/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    20

    RS Ny. N dan keluarga masih saja menolak untuk dilakukan

    tindakan pertolongan seperti prosedur periksa dalam dan

    operasi. Hal ini membuat petugas RS menjadi jengkel, dansempat memanggil bantuan polisi untuk mengatasi hal

    tersebut. Ny. N dan keluarga pun kemudian sedikit melunak

    dan mau untuk dilakukan periksa dalam dan tindakan medis

    lainnya. Dari situ kemudian diketahui bahwa bayi dalam

    kandungan Ny. N sudah tidak bernyawa lagi. Kondisi ini

    semakin menegaskan bahwa tindakan operasi sectio caesaria 

    satu-satunya cara yang harus dilakukan. Keluarga kembali

    meminta waktu untuk berdiskusi dan berpikir ulang dalam

    menyetujui tindakan operasi yang diindikasikan. Namun

    malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Ny. N

    akhirnya juga menghembuskan napas terakhir sebelum

    sempat dilakukan tindakan operasi tersebut.

    Beberapa saat setelah meninggalnya Ny. N, dimasyarakat beredar isu yang konon disebar oleh suaminya

    bahwa meninggalnya Ny. N akibat tindakan periksa dalam

    atau yang dalam bahasa mereka disebut dengan ‘…kasih

    masuk tangan…’ yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

    Masalah lainnya juga muncul ketika pihak keluarga, terutama

    kakak kandungnya, menyalahkan suami Ny. N yang mereka

    nilai lamban mengambil keputusan dan persetujuan tindakan

    medis untuk menyelamatkan Ny. N.

    Kisah kematian maternal yang dramatis, yang untuk

    mendapatkan datanya harus saya lakukan dengan susah

    payah, dan ‘berdarah-darah’ karena informan utama (Bapak

    W), kakak kandung Ny. N, sempat menolak diwawancara

    siapapun, terutama petugas kesehatan yang ingin mengorek

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    30/232

    Jelajah N usantara # 3

    21

    keterangan terkait hal itu. Mungkin beliau berpikir bahwa

    kasus kematian Ny. N memang harus ditutupi sebagai sebuah

    kenangan buruk keluarga. Segala upaya dengan mengerahkanberbagai teknik dan keterampilan komunikasi yang pernah

    saya dapatkan di berbagai pelatihan, serta tak lupa

    memanjatkan doa memohon kemudahan dari Allah SWT,

    akhirnya Bapak W mau berbagi cerita. Ada kepuasan

    tersendiri bagi saya pribadi bisa menaklukkan kekerasan hati

    Bapak W yang merupakan saksi hidup kematian maternal

    yang dialami Ny. N, dimana selama ini sangat tertutup dan

    sulit dimintai keterangan oleh petugas kesehatan setempat.

    Semoga dapat menjadi pembelajaran buat keluarga-keluarga

    lain dan untuk perbaikan program kesehatan ibu dan anak di

    negeri ini.

    Tamilouw, 14 Agustus 2015

    Puskesmas Tamilouw kami datangi keesokan harinya,

    tepatnya tanggal 14 Agustus 2015. Untuk menuju Puskesmas

    yang berjarak ±45 km dari Masohi ini, kami menggunakan

    mobil angkot carteran. Perjalanan menuju Puskesmas ini

    menyajikan pemandangan pesisir pantai pulau seram dengan

    deburan ombak yang sangat cantik dan berada persis di tepi jalan yang kami lalui.

    Di Puskesmas Tamilouw saya bertemu bidan desa

    bermarga Latuconsina, sama dengan artis muda peranakan

    Maluku yang juga lagi populer di ibukota. Bidan NI (27 tahun),

    menurut saya tergolong bidan wonder woman di tengah

    keterbatasan tenaga bidan yang hanya 3 orang, sudah

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    31/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    22

    termasuk bidan koordinator di Puskesmas. Dari 7 desa yang

    ada wilayah kerja Puskesmas Tamilouw, 3 diantaranya

    menjadi tanggung jawab dan binaannya dalam memberikanpelayanan kesehatan.

    Gambar 3. Pemandangan Pantai Pesisir Pulau Seram

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Bidan NI harus membagi diri dalam 6 bahkan 7 hari

    seminggu untuk berkeliling ke desa-desa yang jarak masing-

    masingnya tidak bisa dibilang mudah. Dan lagi-lagi, semua

    pelayanan yang diberikan, meskipun itu di luar jam kerjanormal sebagai pegawai negeri sipil (PNS), tetap saja gratis.

    Menurut NI, hal ini karena telah menjadi kebiasaan dan pola

    pikir yang melekat pada masyarakat setempat bahwa segala

    pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan

    yang ditunjuk oleh pemerintah seyogyanya adalah gratis.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    32/232

    Jelajah N usantara # 3

    23

    Di wilayah kerja Puskesmas Tamilouw kami juga

    berkesempatan dibawa ke sebuah dusun yang masih

    mempertahankan adat dan tradisi yang sangat kental. SukuNaulu namanya, etnis yang mendiami Dusun Sepa ini

    mempunyai ciri khas dimana para pria dewasanya selalu

    mengenakan ikat kepala merah, hingga sebutan lain yang

    melekat pada mereka adalah ‘Suku Kepala Merah’.

    Ada satu tradisi yang diyakini Suku Naulu dan sangat

    terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Mereka mempercayai

    bahwa wanita dalam kondisi haid atau melahirkan (bersalin)

    dinilai memiliki sesuatu yang ‘kotor’. Oleh karena itu, wanita

    seperti ini harus di asingkan ke sebuah gubuk kecil beratap

    dan berdinding daun sagu yang dibuat dalam jarak agak jauh

    dari rumah, bahkan ada yang di hutan. Wanita bersalin akan

    mulai diasingkan kurang lebih seminggu menjelang perkiraan

    hari persalinan, selanjutnya melahirkan di situ, hinggakemudian darah nifasnya bersih.

    Selama masa pengasingan, sang wanita hanya

    mengenakan sehelai kain sarung yang melilit tubuh sebatas

    dada dan tidak diperbolehkan mandi. Mandi diperbolehkan

    bila darah haid atau nifasnya telah benar-benar bersih. Hal ini

     juga sebagai penanda mereka akan diizinkan kembali dibawa

    ke rumah dengan rangkaian ritual-ritual adat tertentu. Tradisi

    ini mirip dengan yang dilakukan suku Muyu di Mindiptana-

    Papua, seperti pernah di eksplore melalui Riset Etnografi

    Kesehatan tahun 2014 oleh senior Mas Agung Dwi Laksono,

    dan kawan-kawan.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    33/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    24

    Gambar 4. Rumah Pengasingan Wanita Bersalin Suku Naulu dan Pria

    Kepala Merah

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Teluti, 15 Agustus 2015Hari berikutnya di tanggal 15 Agustus 2016 perjalanan

    kami lanjutkan ke Puskesmas Teluti. Puskesmas ini adalah

    Puskesmas terjauh dari keempat lokasi kajian kami. Berjarak

    sekitar 87 Km dari Kota Masohi, kami tempuh selama ±3,5

     jam perjalanan menggunakan mobil Innova carteran seharga

    1,5 juta.Pemandangan pesisir pantai Pulau Seram yang

    menyajikan bentangan keindahan debur ombak berpadu

    dengan horizon biru putih langit kembali tersaji mengiringi

    perjalanan kami. Namun sayangnya hal itu tidak berlangsung

    sampai ke ujung tempat tujuan. Dalam 10 km terakhir

    sebelum sampai Teluti, kami melewati cerukan lembah yang

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    34/232

    Jelajah N usantara # 3

    25

    menurut  Bu Hapsa Salampessy , Kepala Seksi KIA Dinas

    Kesehatan Maluku Tengah yang mendampingi kami,

    sebenarnya merupakan kali (sungai dangkal)  terlebar diIndonesia. Uniknya, kali dengan lebar 3,5-4 km ini, bisa tiba-

    tiba menjadi dalam dan penuh air bah yang sangat deras. Hal

    ini seringkali terjadi jika wilayah pegunungan di hulunya

    mendapat siraman hujan yang mulai lebat.

    Jembatan penghubung berbahan beton dan baja

    sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah di atas kali raksasa

    ini. Namun tak berselang lama, beberapa bagiannya runtuh

    dan hanyut akibat tak mampu menahan derasnya terjangan

    arus ketika musim hujan dan banjir bah datang. Beruntung

    siang itu kami melewatinya saat sedang panas terik, hingga

    volume air tidak terlalu tinggi dan mobil tumpangan kamipun

    bisa mencari celah-celah daratan mirip pulau di tengah sungai

    yang bisa dijadikan lintasan jalan. Meskipun di beberapabagian, menceburkan mobil ke air untuk menyeberang

    derasnya arus kali tak dapat dihindari. Hal ini sempat

    membuat kami cemas dan panik karena merupakan

    pengalaman pertama berada dan menjadi penumpang mobil

    yang seolah-olah seperti diterjang gelombang tsunami. Untuk

    mengabadikan momen menyeberang kali super lebar ini, saya

    pun hanya berani menjepretkan kamera semampunya lewat

     jendela mobil tempat saya duduk.

    Sesampainya di Teluti, saya ditugaskan mendatangi

    rumah keluarga Ny. AY (21 tahun). Keluarga ini berdasarkan

    informasi dari pihak Puskesmas diketahui memiliki riwayat

    kematian neonatal. Bayi Ny. AY meninggal saat usianya ± 2

     jam setelah dilahirkan. Dari hasil wawancara saya peroleh

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    35/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    26

    keterangan bahwa bayi yang di kandung Ny. AY adalah anak

    pertama hasil hubungan di luar nikah bersama pacar sejak

    SMA yang sekarang menjadi suaminya.

    Gambar 5. Perjalanan Menyeberang Kali Terlebar se-Indonesia

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Saat hamil, Ny. AY hanya sesekali memeriksakan

    kehamilannya ke Posyandu. Saat proses bersalin tiba, Ny. AY

     juga lebih mempercayai dukun kampung yang dipanggil

    pertama kali untuk membantunya. Bidan desa yang tinggal

    tidak terlalu jauh dari rumah, dipanggil setelah persalinannya

    mengalami kemacetan >48 jam. Walaupun kemudian

    kelahiran bayinya secara spontan telah ditolong oleh bidan

    desa, namun nyawa bayi tersebut tidak terselamatkan danmeninggal karena asfiksia  yang sering terjadi pada kasus

     partus (persalinan) lama.

    Tehoru, 16 Agustus 2016

    Dari Teluti kami bergerak ke Puskesmas Tehoru yang

    berjarak ±50 km. Kami kembali melewati kali lebar dalam

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    36/232

    Jelajah N usantara # 3

    27

    suasana sudah gelap malam dan gerimis. Kondisi demikian

    membuat kami was-was akan cerita bahwa kali tersebut bisa

    kedatangan banjir bandang tiba-tiba jika terjadi hujan lebat.Bersyukur kami bisa melewatinya meskipun driver   harus

    bersusah payah dan penuh perhitungan memilih jalan di

    tengah deras arus kali yang sekiranya aman untuk

    menceburkan ban mobil. Kami sampai di Puskesmas Tehoru

    sekitar jam 8 malam, dan telah disambut dengan rumah dinas

    dokter yang kosong dan cukup nyaman untuk tempat kami

    bermalam.

    Makan malam dengan menu ikan laut kuah kuning,

    kuliner favorit saya selama di Maluku Tengah selain ikan asar  

    (ikan asap) yang di cocol ke sambal colo-colo, menjadi

    santapan yang pas pengusir lelah. Tak cukup sampai disitu,

    seorang staf Puskesmas Tehoru yang berlatar pendidikan

    vokasi di bidang fisioterapi pun menawarkan kami pijatrelaksasi yang sangat sulit untuk saya lewatkan.

    Keesokan harinya kami melakukan pengumpulan data

    yang sama seperti di Puskesmas lainnya. Puskesmas Tehoru

    adalah salah satu Puskesmas rujukan gugus pulau yang

    membawahi beberapa Puskesmas satelit di sekitarnya.

    Keberadaan Puskesmas Tehoru sebagai Puskesmas PONED

    sangat membantu menjembantani penatalaksanaan kasus-

    kasus komplikasi maternal neonatal rujukan dari Puskesmas-

    Puskesmas satelitnya. Puskesmas-Puskesmas satelit Gugus

    Pulau Tehoru hampir semua berstatus sangat terpencil yang

    hanya bisa ditempuh melalui jalur laut atau jalur darat

    dengan medan yang sangat ekstrim. Salah satu cerita kasus

    kematian maternal yang terjadi di wilayah Tehoru disebabkan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    37/232

    Rekam Kem atian d ari Pulau Seram

    28

    karena sulitnya akses transportasi. Konon itu terjadi saat

    musim hujan dimana gelombang sedang tinggi sehingga akses

     jalur laut menggunakan perahu tidak memungkinkan samasekali. Akses darat pun terputus akibat kali raksasa tidak bisa

    dilewati karena belum ada jembatan penghubung pada saat

    itu. 

    Ora; Maldives and Halong Bay of Indonesia  

    Masa penugasan selama 16 hari di bulan Agustustahun 2015 di Kabupaten Maluku Tengah, tak terasa berlalu.

    Terlalu banyak pembelajaran tentang bagaimana perjuangan

    pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak di salah satu

    belahan Timur Indonesia ini. 16 hari pun terasa sangat

    pendek untuk bisa menikmati setiap jengkal keindahan dan

    kekayaan alamnya.

    Satu yang pasti, perjalanan ini juga meninggalkan satu

    kenangan terindah dimana saya bisa merayakan dan

    mengibarkan bendera merah putih lambang kemerdekaan

    Negara Indonesia di Pantai Ora. Pantai Ora yang saya yakin

    kedepannya akan menjadi salah satu primadona pariwisata

    Indonesia Timur. Semoga tak berlebihan jika saya yang begitu

    takjub melihat objek wisata di desa Sawai bagian utara PulauSeram ini sebagai perpaduan Maldives dan Halong Bay yang

    dimiliki Indonesia.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    38/232

    29

    Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh CintaCatatan Perjalanan Peneliti di Kep. Sula, Maluku Utara

    Nor Efendi

    Sanan, 19 Mei 2016

    Alhamdulillah, tahun ini saya kembali dipercaya Badan

    Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian

    Kesehatan RI terlibat dalam Riset Etnografi Kesehatan (REK)

    tahun 2016. Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku

    Utara, yang beberapa tahun lalu sempat saya dengar

    namanya dalam sebuah pelatihan tingkat nasional karena ada

    seorang teman peserta berasal dari sana, menjadi lokasi yang

    diamanahkan ke kami. Saya ditugaskan menjadi koordinator

    tim yang beranggotakan 2 rekan peneliti lainnya. Satu peneliti

    berlatar magister promosi kesehatan asal Medan dan 1

    peneliti lainnya dengan keahlian bidang antropologi sosial

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    39/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    30

    asal Lombok. Kedua personel tim saya berjenis kelamin laki-

    laki. Bukan tanpa alasan, mungkin tantangan perjalanan yang

    bukan hanya berdurasi lama namun juga ekstrim dengangelombang lautnya dianggap “layak” untuk kami.

    Gambar 1. Peta Lokasi Provinsi Maluku Utara di Indonesia

    Sumber: Google Map

    Sampai sebelum masa pengumpulan data, salah satu

    kabupaten sangat terpencil di Indonesia ini masih terasa asing

    bagi kami. Bagaimana tidak, niat sampai disana saat masa

    persiapan lapangan di minggu kedua April 2016, harus

    terhenti di “Negeri para Sultan”, Ternate dan Tidore. Jatah

    hanya 1 minggu dan kerusakan mesin kapal satu-satunya yang

    gagal berlayar sesuai jadwal masa tugas perjalanan menuju

    Kepulauan Sula, menjadi penyebabnya. Beruntung kemudian

    ada salah seorang staf Dinas Kesehatan (Dinkes) Kepulauan

    Sula yang berkegiatan kedinasan di Ternate dan dapat kami

     jadikan “jendela pertama” untuk mengintip permasalahan

    kesehatan di sana.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    40/232

    Jelajah N usantara # 3

    31

    Sebulan kemudian di hari ke-10 bulan Mei tahun 2016,

    masa pengumpulan data REK 2016 pun tiba. Dari Banjarmasin

    saya bergerak menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta-Jakarta, yang kami sepakati sebagai meeting point   untuk

    kemudian bersama-sama terbang menuju Ternate. Seperti

    sebelumnya, penerbangan dini hari akan melewati suguhan

    sunrise  dari balik jendela pesawat. Beberapa saat sebelum

    mendarat, ketika pesawat berputar seolah menari di atas

    Kepulauan Maluku Utara yang sedang pamer pesona

    kecantikannya di pagi hari, salah satu momen favorit saya.

    Gambar 2. Ternate di Pagi Hari dengan Latar Gunung Gamalama Dilihat

    dari Udara

    Sumber: Dokumentasi peneliti

    Dari Ternate kami menumpang Kapal Motor (KM) Agil

    Pratama yang bertingkat 3 dengan bagian lambungnya khusus

    diisi barang. Kelas ekonomi bertarif Rp. 300.000,- per orang

    ada di lantai 2, berisi jejeran tempat tidur yang juga

    bertingkat 2 seukuran cukup badan orang dewasa,

    menyerupai barak tentara. Masing-masing penumpang

    mendapat jatah 1 area tempat tidur beserta barang

    bawaannya sesuai nomor tiket. Kelas VIP dan eksekutif yang

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    41/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    32

    disebut “kamar” terletak di lantai paling atas. Ukurannya

    sekitar 2 x 2,5 meter berfasilitias 2 tempat tidur bertingkat

    yang sedikit lebih besar dari kelas ekonomi, serta dilengkapidengan AC atau kipas angin. Harga per kamar dipatok Rp.

    600.000,- dan sepertinya sangat laris di-booking  sekitar 1-2

    minggu sebelum keberangkatan. Bagian buritan lantai atas

     juga terdapat kantin yang menyediakan minuman kopi dan

    the, serta cemilan ringan. Saya sempat mencicipi segelas teh

    hangatnya dengan membayar Rp. 5.000,-. Bagi yang hobi

    bernyanyi atau sekedar membunuh bosan menjalani

    perjalanan laut selama 16-17 jam, kantin kapal juga

    menyediakan perangkat TV karaoke yang harus dibayar

    penumpang sebesar Rp. 10.000,- untuk setiap 3 lagu yang

    dinyanyikan.

    Gambar 3. Alat Transportasi untuk Mencapai Kabupaten Kepulauan Sula

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Alternatif transportasi lain ke Sanana menggunakan

    pesawat Twin Otter milik maskapai Dimonim Air yang terbang

    setiap Rabu (pulang-pergi) dengan tarif Rp. 334.000,- per

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    42/232

    Jelajah N usantara # 3

    33

    seat . Berangkat dari Ternate pukul 07.10 dan akan tiba di

    Bandara Emalamo-Sanana sekitar pukul 08.45. Penerbangan

    ini hanya tersedia 12 seat  per kali terbang dan tiketnya punhanya bisa dibeli di kantor perwakilan maskapai bandara

    keberangkatan. Bagi calon penumpang dadakan, jangan

    berharap akan mendapat tempat untuk mencicipi terbang

    bersama pesawat perintis ini. Menurut informasi seorang

    kenalan di Dinas Perhubungan setempat, booking-an seat  

    biasanya sudah penuh 3-4 minggu sebelum tanggal

    keberangkatan. Sebelumnya saya telah coba menelusur

    website  maskapai ini untuk kemungkinan penjualan tiket

    online, namun hasilnya nihil.

    Kabupaten Kepulauan Sula membawahi 12 kecamatan

    dan 78 desa definitif yang tersebar di 2 pulau besarnya,

    Sulabesi dan Mangoli. Ibukotanya di Sanana, sebuah kota

    kecil nan manis sebelah Timur Pulau Sulabesi.Skor Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

    (IPKM) Tahun 2013 menempatkan Kepulauan Sula di ranking

    476 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Ranking tersebut

    merupakan peringkat terendah dari 9 kabupaten/kota yang

    ada di Provonsi Maluku Utara.

    Daerah endemis Malaria, itu yang terbayang di benak

    ketika mendapat penugasan ke daerah pengasil kopra,

    cengkeh, pala dan rempah lain ini. Data tahun 2014 daerah ini

    menunjukkan  Annual Malaria Incidence  (AMI) mencapai

    24/1.000 penduduk dengan  Annual Positive Insidence  (API)

    4/1.000 penduduk. Data dari laporan tahunan Dinkes

    Kabupaten Kepulauan Sula ini sempat membuat kami

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    43/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    34

    berancang-ancang menjadikan malaria sebagai topik tematik

    riset etnografi kesehatan yang akan kami lakukan.

    Namun diskusi dan telaah laporan sesampainya kamidi kantor Dinkes Kabupaten Kepulauan Sula menyimpulkan

    hal yang berbeda. Pengelola Program Filariasis dan Kepala

    Seksi Pemberantasan Penyakit (P2) yang kemudian diamini

    oleh Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

    Lingkungan (P2PL) sepakat menempatkan kami ke wilayah

    kerja Puskesmas Kabau. Puskesmas yang terletak di

    Kecamatan Sulabesi Barat ini merupakan penyumbang kasus

    Filariasis terbanyak, yaitu 4 dari 7 kasus tercatat di Kepulauan

    Sula. Alasan utama lainnya tentu saja karena budaya dan

    tradisi yang masih sangat kuat melekat di masyarakat Kabau.

    Saya bersama tim pun merasa sudah mengumpulkan

     justifikasi   yang cukup kuat untuk menyetujui pilihan ini.

    Setelah menginap 1 malam di Sanana, keesokan harinya kamimemantapkan diri untuk segera menuju Kabau.

    Dari kota Sanana yang berada di tepian Timur, kami

    harus menempuh kembali perjalanan laut sekitar 2,5 jam

    menyisir pulau Sulabesi ke arah Barat. Satu-satunya angkutan

    umum yang tersedia adalah perahu motor dari kayu yang

    disebut bodi  oleh orang Sula. Tarif yang dipatok menurut saya

    cukup murah untuk duduk manis menikmati keindahan bibir

    Pantai Sulabesi di sepanjang perjalanan, hanya Rp. 20.000,-

    per orang. Hamparan laut dengan gradasi warna biru hijau

    berpadu cantik dengan cerahnya langit. Kebun-kebun kelapa

    berlatar hutan perawan yang diselingi beberapa

    perkampungan kecil berada di tepian pantainya. Sapaan ikan-

    ikan besar yang sesekali melompat ke atas permukaan air laut

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    44/232

    Jelajah N usantara # 3

    35

    dan penyu-penyu besar yang mengambang tiba-tiba,

    melengkapi kesempurnaan lukisan alam yang tercipta. Bagi

    penulis pemula seperti saya, sungguh sulit mengungkapkankeindahannya dengan kata-kata. Jaket hodie  dan kacamata

    hitam nyaman digunakan untuk sedikit berlindung dari

    matahari Sula yang siang itu terasa menyengat di sepanjang

    perjalanan. Buaian gelombang kecil berirama dengan decak

    kagum tak henti saya kumandangkan. Subhanallah... Sula

    memang teramat cantik dan saya seakan jatuh cinta!

    Gambar4. Perjalanan Laut menuju Kabau Menggunakan Bodi  

    Sumber : Dokumentasi peneliti

    Kabau terletak di muara sebuah teluk yang

    belakangan saya ketahui bahwa penduduk setempat

    menyebutnya sebagai telaga. Menurut legenda yang

    diceritakan turun temurun di masyarakat Kabau, telaga

    tersebut terbentuk akibat semacam kutukan. Pada suatu

    masa di zaman dahulu kala, penduduk setempat mengangkat

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    45/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    36

    imam  (pemimpin) seorang perempuan. Hal ini tidak direstui

    dan diperkenankan oleh penjaga alam. Hingga beberapa saat

    kemudian, seekor biya (kerang) raksasa tiba-tiba naik dari lautdan menyapu keseluruhan kampung hingga berubah menjadi

    sebuah telaga besar. Hampir seluruh isi kampung dan

    penduduk ikut tenggelam berubah wujud menjadi buaya-

    buaya di dalam telaga. Sebagian kecil penduduk ada yang

    selamat dan menjadi 4 marga pertama penghuni Kabau yang

    sekarang, yaitu Lidamona, Kedafota, Sanela dan Papalia. 

    Penduduk yang menjelma menjadi buaya diyakini terus hidup

    sampai sekarang dan menjadi penghuni telaga hingga

     jumlahnya pun puluhan.

    Buaya-buaya penghuni telaga masih sangat sering

    menampakkan diri dalam berbagai ukuran, mulai dari yang

    kecil hingga ada yang sebesar perahu. Menurut warga

    setempat, ada 2 jenis buaya yang hidup di telaga berair asintersebut. Yang pertama adalah buaya jelmaan penduduk desa

    yang ditenggelamkan di dalam telaga. Buaya jenis ini dapat

    muncul dan hilang tiba-tiba secara gaib. Asal tidak diganggu

    mereka juga tidak akan membahayakan dan dapat hidup

    berdampingan dengan manusia. Buaya jenis ke-2 adalah

    buaya muara yang sebenarnya. Meskipun jarang, jenis buaya

    ini pernah beberapa kali memakan korban manusia, ayam,

    kambing, bahkan sapi yang banyak dipelihara masyarakat

    Kabau. Buaya jelmaan konon dapat dibedakan berdasarkan

     jumlah jari di ke-4 kakinya yang sama-sama 5 seperti jari kaki

    dan tangan manusia. Sedangkan buaya muara yang

    sesungguhnya, jari kakinya hanya berjumlah 4.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    46/232

    Jelajah N usantara # 3

    37

    Gambar 5. Desa Kabau Laut yang Terletak di Muara Telaga

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Minggu pertama masa pengumpulan data, kamitelah 2 kali berkesempatan bertemu langsung dengan buaya.

    Kali pertama pada suatu malam ketika pulang dari

    memancing ikan di laut bersama bapak kepala Puskesmas.

    Tiba-tiba beliau memerintahkan saya untuk mengarahkan

    cahaya senter ke gundukan pasir yang terbentuk di tengah-

    tengah pantai muara telaga. Saya pun menurut, hingga

    tampaklah sebentuk kepala buaya dengan moncongnya yang

    memanjang dan sepasang mata yang bersinar tersorot

    cahaya. Jarak perahu kami hanya beberapa meter dari tempat

    buaya menampakkan diri. Kami pun takjub, ternyata cerita

    masyarakat tentang banyaknya buaya di telaga desa , bukan

    isapan jempol belaka. Selang 1 malam kemudian kami

    dihebohkan lagi oleh kabar penjaga rumah mesin (genset

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    47/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    38

    listrik desa) yang melaporkan di belakang rumahnya terlihat

    seekor buaya. Dan benar saja, ketika didatangi tempat yang

    tidak jauh dari rumah mama piara  (ibu kos) kami tersebut,tampak seekor buaya sedang mencoba mengintai mangsa.

    Buaya itu pun kemudian ramai-ramai diusir dan dilempari

    warga hingga kembali ke dalam gelapnya rawa yang masih

    terhubung dengan telaga.

    Gambar 6. Telaga Air Asin yang Menjadi Legenda Asal Usul Kampung

    Kabau Laut

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Selain hanya diterangi listrik desa yang menyala

    menjelang waktu Maghrib hingga sekitar pukul 11 malam,Kabau juga memiliki sejarah pernah porak poranda diterjang

    tsunami kecil tahun 1965 sebagai dampak gempa di daerah

    Kepulauan Buru. Peristiwa ini membuat kampung Kabau yang

    sekarang masih fakir signal seluler   ini terbagi menjadi dua.

    Kabau Laut yang dihuni oleh orang-orang yang masih

    bertahan untuk tetap berumah di tepi pantai, dan Kabau

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    48/232

    Jelajah N usantara # 3

    39

    Darat yang semula merupakan kampung pengungsian orang-

    orang Kabau Laut saat kejadian bencana alam tersebut. Selain

    2 desa ini, wilayah kerja Puskesmas Kabau juga mencakup 4desa pesisir lainnya yaitu Paratina, Nahi, Ona dan Wai’ina.

    Dengan nebeng  kegiatan Posyandu kami ikut menyambangi

    desa-desa tersebut menggunakan perahu motor dinas untuk

    Puskesmas perairan milik Puskesmas Kabau yang terbuat dari

    bahan  fiber glass  yang mereka sebut Fiber . Bentuknya tidak

     jauh berbeda dengan bodi  yang berbahan papan kayu.

    Gambar 7. Perahu Motor Dinas Puskesmas Kabau yang Biasa Disebut Fiber  Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Fiber  ini lah yang selalu menghantarkan para petugas

    Puskesmas Kabau mendekatkan pelayanan kesehatan ke

    desa-desa pesisir terpencil di wilayah kerjanya. Meskipun tak

     jarang, dalam pengabdiannya mereka harus mempertaruhkan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    49/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    40

    nyawa ketika musim gelombang angin Timur datang

    menerjang.

    Selain memiliki pantai-pantai dangkal eksotis yangmembuat penikmat snorkelling seperti saya tak pernah jemu

    menjelajahinya, Kabau juga menyimpan segudang

    permasalahan kesehatan masyarakat. Sengatan matahari

    yang membakar Kabau cenderung membuat kita selalu

    bermandi keringat. Ini mengingatkan saya akan seloroh

    seorang teman dari Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan RI

    saat tugas dinas ke Maluku Utara sempat berujar, “...disini

    matahari berasa 2 biji...”.

    Gambar 8. Penderita Penyakit Kulit yang Banyak Ditemukan di Kabau

    Sumber : Dokumentasi Peneliti 

    Personal hygiene masyarakat yang umumnya sangat

    kurang berdampak terhadap banyaknya penderita penyakit

    kulit disini. Hampir setiap penduduk, baik anak-anak, remaja

    hingga orang tua, kulitnya berhiaskan gatal-gatal hingga panu

    di sana-sini. Mandi keringat dan jarang mandi serta kebiasaan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    50/232

    Jelajah N usantara # 3

    41

    membawa masuk alas kaki dari luar yang bekas tanah dan

    debu ke dalam rumah, mungkin sebagai penyebab kondisi ini.

    Padahal aliran air bersih dari pancuran di atas bukit keperkampungan, sudah cukup tersedia disini.

    Gambar 9. Anak-Anak yang Buang Air Besar di Pantai pada Pagi Hari

    Sumber : Dokumentasi Peneliti 

    Suatu pagi saya pergi ke belakang rumah mama piara 

    yang langsung berada di bibir pantai, berniat menikmati

    keindahan laut saat sengatan mentari pagi masih bersahabat

    dengan kulit. Hal mengejutkan kembali saya dapati. Beberapa

    anak usia sekitar 7-12 tahun tampak nongkrok di beberapa

    tempat. Posisi mereka menghadap ke arah laut dengan

    bagian pantat terbuka tanpa busana. Tidak salah lagi, instingsaya mengatakan mereka sedang buang hajat di atas pasir

    pantai. Dan kotoran yang dibuang sembarangan tersebut

    kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa perlakuan yang

    sifatnya untuk “pengamanan”. Sepertinya mereka

    menyerahkan tugas itu kepada air pasang dan sapuan ombak

    yang nanti akan membawanya hilang tak berbekas entah

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    51/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    42

    kemana. Padahal yang saya tahu, hampir semua penduduk di

    Kabau telah melengkapi rumahnya dengan jamban/wc,

    termasuk rumah anak-anak yang pagi itu merusak selera sayauntuk melanjutkan jalan-jalan di bibir pantai. Mungkin alasan

    kepraktisan agar setelah selesai bisa langsung cuci bokong ke

    laut atau kurangnya penyuluhan akan pentingnya membuang

    air besar di jamban, hingga mereka berperilaku demikian.

    Entahlah, nanti jawabannya akan saya cari tahu lagi melalui

    wawancara mendalam.

    Masalah kesehatan masyarakat lainnya yang saya

    temukan adalah kebiasaan merokok yang dilakukan oleh

    hampir sebagian besar laki-laki Kabau. Mulai dari remaja

    hingga yang telah lanjut usia, para lelaki Kabau seakan

    menjadikan rokok sebagai teman pergi kemana saja dan

    dalam aktivitas apapun. Dalam beberapa kesempatan saya

    berinteraksi dengan informan-informan penelitian, mau tidakmau, suka tidak suka, tawaran merokok dan paparan asap

    rokok terpaksa saya rasakan. Demikian pula halnya dalam

    beberapa jamuan seperti acara peringatan hari kematian dan

    pesta perkawinan, suguhan rokok harus disediakan bersama

    sajian lainnya yang kedudukannya setara dengan nasi dan

    lauk pauk yang wajib ada. Kondisi ini menjadi bukti nyata hasil

    Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang

    menempatkan Maluku Utara sebagai provinsi dengan

    proporsi penduduk usia ≥ 15 tahun yang mengkonsumsi

    tembakau hisap dan kunyah terbanyak ke-dua di Indonesia.

    Poligami, pernikahan di bawah umur dan pergaulan

    bebas juga menjadi fenomena sosial tersendiri di Kabau. Di

    beberapa kesempatan melakukan wawancara mendalam

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    52/232

    Jelajah N usantara # 3

    43

    dengan ibu hamil, ibu bersalin dan nifas serta remaja terkait

    kesehatan reproduksi, fakta mengejutkan terkuak. Usia

    perkawinan mereka rata-rata di bawah 17 tahun dan banyakdi antaranya terjadi karena kehamilan di luar nikah.

    Bertebaran lah ibu-ibu muda usia 20 tahun ke bawah yang

    telah memiliki anak 1 orang, dan bahkan lebih. Kondisi ini

    diperkuat lagi dengan pengakuan informan dari kalangan

    remaja putra dan para pemuda yang dengan bangga

    menceritakan pengalaman-pengalaman seks di luar nikah

    mereka. Yang tak kalah membuat tercengang ketika

    mayoritas para lelaki dewasa Kabau yang menjadi informan

    riset kami, rata-rata ternyata telah menikah lebih dari 1 kali.

    Sebagian karena dengan sengaja berpoligami, dan sebagian

    lainnya akibat cerai atau ditinggal mati isteri.

    Filariasis (penyakit kaki gajah) yang menjadi alasan

    utama kami memilih Kabau sebagai lokasi melakukan REK punpelan-pelan menemukan jawabannya. Enam desa di wilayah

    kerja Puskesmas Kabau tuntas kami kunjungi di minggu

    pertama masa pengumpulan data. Selain mengunjungi kasus

    Filariasis positif yang telah kami kantongi datanya, kasus-

    kasus suspek   (tersangka) yang memiliki gejala klinis pun

    berhasil kami temukan. Hasil rekapitulasi data sementara

    kami menyimpulkan bahwa tidak ada satupun desa di wilayah

    kerja Puskesmas Kabau yang bebas dari kasus positif maupun

    kasus tersangka klinis Filariasis. Gejala klinis yang tampak

    berupa pembesaran kaki atau kaki gajah yang disebut

    penduduk setempat Yai Aya dan pembesaran skrotum  (buah

    zakar) pada pria yang dalam bahasa daerah mereka sebut

    sebagai Fattel Aya. Kasus-kasus suspek   ini masih tersebar di

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    53/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    44

    beberapa desa dan sepertinya belum tersentuh pemeriksaan

    lebih lanjut oleh petugas kesehatan. Terbukti penuturan

    Pengelola Program Filariasis Dinkes Kabupaten yangmenceritakan bahwa ada salah seorang penderita Filariasis di

    wilayah Puskesmas lain menolak pengobatan. Semata-mata

    karena keyakinan bahwa penyakitnya akibat pengaruh mistis

    telaga saat dia pernah tinggal di Desa Kabau laut.

    Persepsi bahwa filariasis disebabkan terkena tulah

     penuntutan akibat sewaktu hamil orang tua berburu binatang

    dengan cara menjeratnya di kaki, juga diyakini sebagian

    keluarga penderita. Ramuan tradisional dari akar, batang atau

    daun yang kemudian ditambah dengan bacaan doa yang

    mereka sebut tiup-tiup, menjadi pilihan pengobatan penyakit

    yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ini. Program

    pengobatan massal Filariasis telah digagas Dinkes Kabupaten

    Kepulauan Sula sebagai daerah dengan mikrofilaria rate ≥ 1%sejak tahun 2015 (tahun pertama) hingga 4 tahun ke depan.

    Pengobatan bertujuan memutus mata rantai penularan demi

    terwujudnya eliminasi Filariasis tahun 2020. Namun evaluasi

    sederhana yang sempat kami lakukan melalui beberapa

    informan, menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan.

    Banyak informan tidak mengetahui pernah ada pengobatan

    massal atau pembagian obat untuk Filariasis. Sebagian besar

    yang mendapat pembagian obat massal, tidak mendapat

    penjelasan dan pemahaman atau sosialisasi yang cukup

    tentang Filariasis. Hingga kemudian beberapa informan

    mengaku tidak perlu meminum paket obat tersebut karena

    merasa tidak memiliki keluhan atau gejala yang mengarah

    pada penyakit Filariasis. Mendapati hal ini, saya sempatkan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    54/232

    Jelajah N usantara # 3

    45

    berbagi informasi akan pentingnya pengobatan massal

    Filariasis bagi daerah endemis seperti wilayah mereka. Selain

    agar kegiatan tersebut dapat efektif memberantas Filariasis, juga supaya biaya sangat mahal yang dikeluarkan pemerintah

    untuk mendanainya tidak berakhir sia-sia hanya karena

    kurangnya kepatuhan dengan angka keberhasilan pengobatan

    yang rendah.

    Gambar 10. Penderita dan suspek Filariasis yang tersebar di semua desa

    Sumber: Dokumentasi Peneliti 

    Permasalahan kesehatan klasik lainnya seperti

    banyak terjadi di pelosok sangat terpencil negeri ini, adalah

    keterbatasan sarana dan tenaga di fasilitas pelayanan

    kesehatan. Puskesmas Kabau menjadi perpanjangan tangan

    dan ujung tombak pemerataan pelayanan kesehatan ke 6

    desa sangat terpencil di luas wilayah 246 km

    2

     yang sebagian

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    55/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    46

    besar hanya bisa ditempuh melalui jalur laut. Puskesmas yang

    melayani 4.821 penduduk ini, hanya di motori oleh 4 orang

    petugas kesehatan PNS (termasuk kepala Puskesmas yangberpendidikan perawat), bidan desa pegawai tidak tetap (PTT)

    yang tersebar di 6 desa serta 3 orang honorer sukarela.

    Bagaimana bicara soal kualitas pelayanan yang diberikan, jika

    secara kuantitas saja kondisi fasilitas dan sarana kesehatan di

    belahan negeri berpantai indah ini, ibarat pepatah “  jauh

    panggang dari api”.

    Gambar 11. Pelayanan Imunisasi BCG dan Bayi-Bayi Posyandu di Kabau

    Sumber: Dokumentasi Peneliti 

    Sebagai contoh kecil, saya yang diminta membantu

    pemberian imunisasi di Posyandu “terpaksa” melewatkan

    tindakan pembersihan area penyuntikan, karena ketiadaan

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    56/232

    Jelajah N usantara # 3

    47

    alkohol swab atau yang minimal sekalipun, kapas air hangat.

    Injeksi vaksinasi BCG pun “terpaksa” menggunakan jarum dan

    spuit ukuran yang lebih besar dari seharusnya, juga karenaketiadaan spuit Auto Destructible Syringe (ADS) 1 cc atau 0,05

    cc. Semua terjadi atas alasan “keterbatasan”. Hati saya miris

    dan merasa ikut bersalah hanya mampu memberikan yang

    demikian ke bayi-bayi negeri Timur yang lucu. Binar cahaya

    mata-mata mereka seolah berkata, “...berikan kami cinta

    kasih dan hak sehat yang sama, seperti teman-teman di kota

    sana...,” membuat saya harus berbesar hati. Jikapun

    pemberian imunisasi dengan beberapa protap yang

    terabaikan itu belum mampu menjadi efektif untuk

    melindungi mereka dari peyakit, semoga doa dan ingin saya

    sesudahnya diijabah oleh Penguasa Semesta. Saya berharap

    mereka terus tumbuh berkembang menjadi sehat, menggapai

    cita-cita yang akan ada diantaranya menjadi pejuangkesehatan selanjutnya. Pejuang kesehatan yang akan terus

    memberikan dharma bakti terbaiknya untuk wilayah Timur

    Indonesia, untuk Maluku Utara dan untuk Kepulauan Sula.

    Hingga jika umur panjang dan takdir rejeki untuk datang lagi

    ke Sula masih ada, saya masih bisa jatuh cinta tanpa perlu

    menitikkan air mata...!

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    57/232

    Antara Buaya, Yai Aya  dan Jatuh Cinta

    48

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    58/232

    49

    Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata

    Catatan Perjalanan ke Sumba Barat Daya

    Marselinus Laga Nur

    Kodi, April 2016

    “Tidak usah ke sana pak, daerahnya rawan.”

    Sebenarnya saya tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan

    tersebut. Daerah Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya dari

    dahulu memang telah terkenal sebagai daerah yang rawan

    konflik. Pencurian (terutama hewan ternak) sampai dengan

    masalah yang sepele dapat berujung pada konflik berdarah.

    Yang membuat saya terkejut dan bercampur agak marah

    karena pernyataan tersebut diucapkan salah seorang

    mahasiswa. Ya. Saat itu kami sedang mendiskusikan tentang

    rencana praktek ‘Survei Konsumsi Makanan dan Kesehatan’

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    59/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    50

    yang menjadi bagian dari mata kuliah Dasar Ilmu Gizi dan

    Kesehatan Masyarakat. Untungnya sebagian besar mahasiswa

    yang lainnya sepakat dan menyanggupi, maka kami punmenetapkan untuk pergi ke Kampung Adat Ratenggalo.

    Sejak masih kecil dan mulai belajar membaca, kira-kira

    tahun 1988, saya sering membaca Surat Kabar Mingguan

    DIAN, sebuah surat kabar lokal Nusa Tenggara Timur. Dari

    surat kabar tersebut beberapa kali saya membaca tentang

    pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Kodi. Bahkan

    seringkali terjadi pembunuhan menyertainya. Gambaran

    tentang daerah ini mulai menyeramkan.

    Selanjutnya saya semakin terpapar informasi serupa.

    Di tahun 1998 TVRI memberitakan tentang pembunuhan dan

    pembakaran kampung karena dugaan kecurangan tes CPNS.

    Dan setelah itu informasi lisan saat membicarakan tentang

    Pulau Sumba selalu dipenuhi cerita tentang pencurian danaksi kekerasan. Konflik pasca pilkada terakhir tahun 2013 di

    Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) juga berlangsung

    berkepanjangan dengan memakan korban jiwa dan rumah

    terbakar yang tak terhitung.

    Namun semua hal tersebut malah membuat saya

    merasa tertantang untuk dapat mengetahui gambaran Kodi

    secara langsung. Dugaan saya adalah, jika semua informasi

    tersebut benar, tidak mungkin masih ada masyarakat yang

    mau tinggal di sana. Malah setelah Kabupaten SBD mekar dari

    Kabupaten Sumba Barat, Kecamatan Kodi pun bisa

    dimekarkan menjadi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Kodi

    sendiri, Kodi Bangedo dan Kodi Utara. Pertanyaan lain yang

    muncul dalam benak saya adalah gambaran pariwisata yang

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    60/232

    Jelajah N usantara # 3

    51

    semakin maju serta beberapa destinasi wisata yang semakin

    terkenal ke dalam dan luar negeri.

    Lama saya menatap peta wisata di dinding lobi HotelSumba Sejahtera yang saya tinggali sebanyak empat kali

    selama mengajar di Kampus Universitas Nusa Cendana III. Dan

    memang butuh waktu yang lama untuk membaca satu

    persatu destinasi wisata di Kabupaten SBD yang sangat

    banyak dan sebagian besar berada di wilayah Kodi. Jenis

    destinasi wisata yang ada di daerah Kodi berupa pantai,

    danau dan kampung adat yang memiliki keunikan berupa atap

    menjulang beserta pekuburan megalitiknya.

    Kabupaten SBD awalnya terkenal saat pesawat Adam

    Air mendarat secara darurat di Bandara Tambolaka (saat itu

    masih tergabung dengan Kabupaten Sumba Barat).

    Selanjutnya Kabupaten SBD lebih dikenal lagi dengan

    sengketa Pilkada yang memakan banyak korban jiwa danharta benda.

    Dalam beberapa kali kesempatan dari atas pesawat

    yang saya tumpangi untuk pergi ke Kabupaten Sumba Barat

    dapat saya saksikan lahan hijau yang terhampar luas. Agak

    sedikit berbeda dengan Sumba Timur dan Sumba Tengah.

    Topografi yang datar tanpa bukit-bukit terjal tentunya

    merupakan lahan yang ideal untuk pemukiman, pertanian dan

    peternakan. Namun kebanyakan masih berupa lahan kosong

    yang belum dihuni dan dikelola. Potensi lahan, selain

    pariwisata, seharusnya dapat memberikan kemakmuran bagi

    masyarakat Kodi dan Kabupaten SBD pada umumnya. Namun

    hal itu tidak sesuai kenyataan. Masih banyak masyarakat

    Kabupaten SBD termasuk Kodi yang berkategori miskin.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    61/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    52

    Kemiskinan di Kabupaten SBD turut berpengaruh pada

    gambaran kesehatan secara kuantitatif. Skor Indeks

    Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013,Kabupaten SBD berada pada urutan 488 dari 497

    kabupaten/kota, dan berada pada urutan kedua dari bawah di

    Propinsi NTT, di atas Kabupaten Manggarai Timur. Skor ini

    lebih menonjol pada indikator-indikator yang berkaitan

    dengan kesehatan lingkungan yaitu 0,0691 berada pada

    urutan empat dari bawah di atas Kabupaten Sumba Tengah,

    Sumba Barat dan Sabu Raijua.

    Cakupan akses ke air bersih SBD 31,01 terendah

    nomor dua di atas Kabupaten Sumba tengah. Prevalensi diare

    18,28 tertinggi kedua di bawah Kabupaten Manggarai Timur,

    proporsi mencuci tangan dengan benar 19,34, terendah

    nomor dua di atas Kabupaten Alor, cakupan akses sanitasi

    hanya 1,45 terendah kedua di atas Sabu raijua.Transportasi ke Kabupaten SBD dan ke wilayah Kodi

    sebenarnya tidak begitu sulit. Wilayah Kabupaten SBD dapat

    dijangkau dari darat laut dan udara. Melalui darat dapat

    ditempuh dari Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat.

    Transportasi melalui laut tersedia melalui Pelabuhan Waikelo

    dimana kapal barang banyak berlabuh, serta pelabuhan feri

    yang secara regular melayari rute Waikelo-Bima di Provinsi

    Nusa Tenggara Barat. Melalui udara, ada bandara Tambolaka

    yang didarati maskapai Garuda, Wings air dan Transnusa

    setiap hari.

    Selanjutnya perjalanan ke Kodi tidak terlalu sukar.

    Prasarana jalan tersedia cukup memadai dan dapat ditempuh

    dari tiga jalur yaitu dari Weetebula (ibukota kabupaten SBD),

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    62/232

    Jelajah N usantara # 3

    53

    dan dua jalur dari Waimangura. Topografi yang relatif datar

     juga membuat perjalanan terasa lebih nyaman.

    Untuk sarana transportasi regular, tersedia bis dariWeetebula dan dari Waikabubak (ibukota Kabupaten Sumba

    Barat) dengan tarif 45 ribu. Selanjutnya untuk sampai ke

    sejumlah tempat wisata, contohnya kampung adat dan pantai

    ratenggaro yang kami datangi dapat dilanjutkan dengan ojek

    sepeda motor seharga sepuluh ribu rupiah (dapat berubah

    bila tukang ojek melihat penumpangnya adalah wisatawan

    yang belum terlalu paham wilayah).

    Gambar 1. Bis rute Weetebula-Kodi

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Pada kesempatan kali ini saya mengunjungi Kodi

    bersama para mahasiswa Prodi S1 Ilmu Kesehatan

    Masyarakat. Perjalanan kami tempuh bersama dengan

    sepeda motor. Sepanjang perjalanan banyak terhampar padi

    ladang, jagung dan jambu mete. Sebelum sampai ke

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    63/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    54

    ratenggaro kami banyak melihat kampung-kampung adat

    lainnya dengan atap rumah berupa menara yang menjulang.

    Sesekali kami melihat di pinggir jalan warga yang membawakerbau untk mencari makan. Kami singgah ke Puskesmas

    untuk menjemput Bidan Imelda yang pernah cukup lama

    mengabdi di Desa Waiha di mana Kampung Adat Ratenggaro

    berlokasi.

    Gambar 2. Hamparan jagung sepanjang perjalanan masuk menuju

    Kampung Adat Ratenggaro

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Sesampainya di Kampung Adat Ratenggaro kami

    langsung berhadapan dengan rumah dan kuburan yang unik.

    Rumah beratap alang-alang dengan atap berbentuk menara

    tinggi menjulang. Tiang dibuat dari kayu kadimbul   yang

    merupakan tanaman endemik di Kodi dan Wewewa,

    sementara lantai dan dinding dibuat dari bambu yang dibelah.

    Batang kelapa digunakan untuk gelagar tempat alang-alang

    diikat. Tiang kayu terdiri dari tiga jenis. Paling tengah terdiri

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    64/232

    Jelajah N usantara # 3

    55

    dari empat buah dan berukuran sangat besar. Tiang tengah ini

    menyangga bagian tengah atap yang berbentuk menara.

    Selanjutnya terdapat dua belas tiang berukuran lebih kecilyang menyangga ujung atap terletak sejajar dan membentuk

    dinding rumah. Kemudian empat belas tiang lagi yang lebih

    kecil yang menyangga terusan atap yang membentuk

    serambi.

    Pada seluruh tiang terdapat bermacam-macam ukiran.

    Saya masuk ke salah satu rumah yaitu rumah bapak RK. Dia

    menceritakan bahwa perkampungan adat ini pernah terbakar

    pada tahun 1964 namun segera dibangun lagi.

    Di setiap generasi harus ada yang tinggal menjaga

    rumah adat. Karena rumah adat yang tidak ditinggali akan

    mudah rusak dimakan rayap. Bapak RK menunjukkan salah

    satu tiang utama di mana terukir nama silsilah dari generasi

    ke generasi. Anggota keluarga yang tidak tinggal di kampungadat kini tingal di sekitarnya, di Weetebula ataupun kota-kota

    lainnya tergantung pekerjaannya, namun dalam setiap acara

    adat baik perkawinan maupun kematian akan kembali untuk

    melaksanakan ritual adat di kampung asalnya sebelum

    melanjutkan di lembaga gereja dan negara.

    Sehari-hari warga kampung bekerja sebagai petani

    sekaligus peternak. Pertanian diperlukan untuk memberikan

    suplai makanan. Sedangkan peternakan untuk menghasilkan

    hewan yang diperlukan untuk urusan adat. “Hampir setiap

    tahun kami membutuhkan hewan untuk urusan adat. Setiap

    ada keluarga yang meninggal kami harus membawa hewan,

    apalagi kalau dulu dia membawa hewan untuk kami.”

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    65/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    56

    Pertanian warga kampung Retenggaro kebanyakan

    berupa padi ladang, jagung, umbi-umbian dan sayur mayur.

    Sebagian besar hasil pertanian digunakan untuk konsumsikeluarga dan pakan ternak. Pakan ternak orang Sumba boleh

    dibilang cukup mewah. Selain makanan yang umumnya sama

    dengan daerah lain, kerbau dan babi juga diberi makan sayur

    yang direbus beserta batang dan daun talas. Hal ini karena

    hewan memiliki nilai adat dan nilai sosial yang tinggi saat

    dihadirkan ke acara adat. Kerbau dinilai dari ukuran

    tanduknya, sedangkan babi dinilai dari tinggi badan, panjang

    taring, dan tidak bercacat.

    Gambar 3. Batang Talas yang Akan Direbus untuk Pakan Kerbau dan Babi

    Sumber: Dokumentasi Peneliti

    Saya sempat masuk ke salah satu rumah adat dan

    melihat ukiran-ukiran beserta keadaan rumah. Kamar anak

    laki-laki berada di sebelah kanan sedangkan perempuan di

    sebelah kiri. Saya tertarik melihat tungku di tengah-tengah

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    66/232

    Jelajah N usantara # 3

    57

    rumah beserta daging iris yang diletakkan di atasnya. Rupanya

    bagian tengah rumah yang berada tepat di bawah atap

    menara digunakan sebagai dapur. Api ataupun bara dibiarkantetap meyala sehingga asap tetap keluar. Rupanya selain

    daging, ada juga jagung yang diletakkan sebagai persediaan.

    “Daging itu kami dapatkan dari saudara kami yang

    barusan ini melakasanakan ritual adatnya. Anggota

    keluarganya baru saja meninggal dan kami melayat

    bawa hewan. Kalau pulang pasti bawa daging. Tidak

    habis dimakan sehari. Kalau ditaruh di situ bisa

    berbulan-bulan tidak rusak”. (Istri pak RK)

    Demikian istri bapak RK bercerita tentang dapur dan

    daging di tengah rumah mereka. Melihat itu saya sempat

    terpikirkan manfaat kesehatan dari atap yang tinggi

    menjulang. Tekanan udara di bagian tengah rumah akan lebih

    rendah karena ruang yang lebih tinggi, dengan demikian asapakan mudah naik ke atas dan diteruskan ke seluruh bagian

    atap yang terbuat dari alang-alang. Atap terhindar dari

    kerusakan namun sekaligus menjaga sirkulasi udara sehingga

    penghuni rumah tidak terganggu oleh asap dari dapur.

    Cadangan makanan pun akan tetap terjaga karena

    profesi mereka sebagai petani ditambah keterbatasan

    ekonomi tidak memungkinkan untuk membeli makanan yang

    banyak tetapi lebih besar menggantungkan ketahanan

    pangannya dari lahan pertanian mereka. Sirkulasi udara yang

    terjaga serta tungku yang tetap menyala mengurangi

    kemungkinan hidupnya vektor dan mikroba penyebab

    penyakit seperti bakteri MTB dan nyamuk yang menyebarkan

    malaria dan demam berdarah.

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    67/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    58

    Namun demikian tidak seluruh kondisi kampung

    berpengaruh baik pada kesehatan. Data IPKM tentang

    indikator-indikator kesehatan lingkungan yang rendahtercermin juga pada keadaan di Kampung adat ini. Desain

    rumah adat tidak disertai dengan Kamar mandi dan toilet.

    Bapak RK menunjukkan sebuah bangunan di sudut kampung.

    Gambar 4. Irisan Daging di

    Atas Tungku

    Sumber: Dokumentasi

    Peneliti

    “Pemerintah pariwisata bangun itu wc dan kamar

    mandi dan buat sumur di luar kampung. Sumur

    untuk tiga kampung adat ini tapi wc itu untuk

    seluruh warga kampung adat ini pakai.” (pak RK)

    Selanjutnya nona M anak bapak RK menceritakan

    bahwa banyak orang mandi dan mencuci di sumur saja. Air

    dibawa ke rumah untuk masak dan minum walaupun rasanya

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    68/232

    Jelajah N usantara # 3

    59

    agak payau. Jumlah air cukup untuk di pakai tiga kampung

    adat di sekitar sumur tersebut.

    Gambaran tentang orang Kodi yang dekil telah sayadapatkan dari televisi dan cerita orang-orang yang pernah ke

    Kodi. Bahkan sebelum kami ke sini ketua kelas telah

    menjelaskan ke seluruh mahasiswa untuk jangan

    menunjukkan sikap jijik pada anak-anak yang kotor. Di pantai

    saya bertemu dengan empat orang anak yang sesuai dengan

    gambaran tadi. Dengan baju yang kotor mereka tetap

    kelihatan ceria berlarian dari satu kubur batu ke kubur batu

    yang lain. Walaupun mereka datang saat saya panggil namun

    saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka karena

    ternyata mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.

    Rupanya masalah di Kodi bukan hanya ekonomi,

    kemiskinan dan kesehatan. Ternyata pendidikan juga masih

    menjadi masalah. Bidan Imelda bercerita bahwa sebagianbesar warga terlebih anak-anak tidak bisa berbahasa

    Indonesia. Guru-guru terpaksa mengajar dengan Bahasa Kodi.

    Jika dipaksa menggunakan Bahasa Indonesia maka mereka

    tidak bisa paham.

    Sebenarnya Pulau Sumba memiliki banyak orang

    cerdas. Profesor Frans Umbu Datta pernah menjadi Rektor

    saya di Universitas Nusa cendana, sedang Profesor Kebamoto

    adalah professor matematika yang terkenal di Amerika, yang

    berasal dari pulau ini. Di luar nama-nama terkenal itu banyak

    teman-teman kerja saya dengan kecerdasan luar biasa.

    Namun itu semua seolah hanya menjadi puncak gunung es di

    mana mereka muncul di permukaan sedangkan yang lainnya

    tenggelam di bawah air. Bahasa menjadi salah satu kendala

  • 8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan

    69/232

    Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata

    60

    untuk bisa menangkap perkembangan ilmu pengetahuan di

    Kodi.

    Cerita dari Kodi lainnya yang juga saya rasakan dalamkunjungan kali ini adalah tentang kekerasan yang telah

    melegenda. Saat masuk ke kampung adat dan baru saja

    duduk di dalam salah satu rumah, ternyata kami disusul oleh

    seorang pemuda dengan sepeda motornya. Tubuh pemuda

    tersebut tidak terlalu besar dibanding keberaniannya. Namun

    dia langsung berbicara dengan cukup kasar pada sejumlah

    mahasiswa dengan bahasa Kodi. Karena tidak semua

    mahasiswa bisa berbahasa Kodi, Bidan Imelda bersama tuan

    rumah langsung ke luar untuk melerai dan akhirnya