Isi Referat

56
PENDAHULUAN Morbus Hansen (Hansen’s Dissease, Leprosy, Lepra, Kusta) adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik progresif dengan sekuelnya disebabkan oleh Myobacterium lepraeyang bersifat obligat intraseluler, infeksi primer menyerang kulit dan saraf perifer, kemudian dapat menyerang traktus respiratorius bagian atas dan organ lain kecuali Susunan Saraf Pusat. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae. Kuman ini berbentuk batang, gram positip, tahan asam dan alkohol, bersifat obligat intraseluler, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Mycobacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistem retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Dalam sekret kering dengan temperatur dan kelembapan yang bervariasi M. leprae dapat bertahan 7-9 hari. Sedangkan dalam temperatur kamar dapat bertahan 46 hari. (1) Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai 1

description

MH

Transcript of Isi Referat

Page 1: Isi Referat

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (Hansen’s Dissease, Leprosy, Lepra, Kusta) adalah penyakit infeksi

granulomatosa kronik progresif dengan sekuelnya disebabkan oleh Myobacterium lepraeyang

bersifat obligat intraseluler, infeksi primer menyerang kulit dan saraf perifer, kemudian dapat

menyerang traktus respiratorius bagian atas dan organ lain kecuali Susunan Saraf Pusat.

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae. Kuman ini berbentuk

batang, gram positip, tahan asam dan alkohol, bersifat obligat intraseluler, berukuran 0.34 x

2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Mycobacterium leprae hidup pada sel

Schwann dan sistem retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk

kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Dalam sekret kering dengan

temperatur dan kelembapan yang bervariasi M. leprae dapat bertahan 7-9 hari. Sedangkan

dalam temperatur kamar dapat bertahan 46 hari.(1)

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai

107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun

2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau

lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%

dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah

India, dan Brazil.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola

penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara

nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun

2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru

di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru

adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar

dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di

Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011,

tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000

penduduk

Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013

merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka

prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000

penduduk) dan telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk (< 10 per 100.000 penduduk).

Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun 2012

1

Page 2: Isi Referat

yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler.

Sedangkan menurut jenis kelamin, 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan.

Jumlah penderita penyakit Kusta di Provinsi Jawa Tengah terbilang cukup tinggi,

menempati urutan ketiga terbanyak di Indonesia pada tahun 2008 dengan jumlah 2,260 kasus

dengan prevalensi 0,65 per 10.000 penduduk. (2)

Insidensi penyakit Morbus Hansen tipe Pausibasiler di RSUD Kardinah, Tegal pada

tahun 2014 yaitu 10 kasus dengan jumlah pasien perempuan penderita Morbus Hansen tipe

Pausibasiler sebanyak 5 orang dan pasien laki-laki penderita Morbus Hansen tipe Pausibasiler

sebanyak 5 orang. Insidensi tertinggi kategori usia adalah pasien dengan rentang usia 25-44

tahun yaitu sebanyak 7 orang, diikuti rentang usia 45-64 tahun yaitu 2 orang, kemudian usia

15-24 tahun yaitu 1 orang.

Insidensi penyakit Morbus Hansen tipe Multibasiler di RSUD Kardinah, Tegal pada

tahun 2014 yaitu 74 kasus dengan jumlah pasien perempuan penderita Morbus Hansen tipe

Multibasiler sebanyak 26 orang dan pasien laki-laki penderita Morbus Hansen tipe

Multibasiler sebanyak 48 orang. Insidensi tertinggi kategori usia adalah pasien dengan

rentang usia 25-44 tahun yaitu sebanyak 43 orang, diikuti rentang usia 45-64 tahun yaitu 12

orang, kemudian usia 15-24 tahun yaitu 11 orang, pasien dengan usia 5-14 tahun 4 orang dan

pasien dengan umur > 65 tahun sebanyak 4 orang.

Penyakit morbus hansen dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak

penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejaia yang mirip dengan

penyakit morbus hansen. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis

penyakit morbus hansen secara tepat dan rnembedakannya dengan pelbagai penyakit yang

lain agar tidak rnembuat kesalahan yang merugikan pasien.

Pada referat ini akan dibahas mengenai Morbus Hansen meliputi definisi,

epidemiologi, etiologi, cara penularan, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, reaksi kusta,

diagnosis banding, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis.

2

Page 3: Isi Referat

MORBUS HANSEN

2.1 Definisi

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa menahun yang

disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M. leprae yang terutama menyerang kulit dan

saraf.

Penyakit kusta dinamakan juga sebagai Lepra, Morbus Hansen, Hanseniasis,

Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum, Leontiasis, Kushta, Melaats, Mal de

San Lazaro

Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran napas atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang

terinfeksi dapat asimptomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan

mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.(1)

2.2 Epidemiologi

Jumlah penderita kusta baru pada tahun 2007 adalah sekitar 296.499 orang. Dari

jumlah tersebut paling banyak terdapat pada regional Asia Tenggara 201.635 orang, Afrika

42.814 orang, Amerika 41.780 orang, dan sisanya terdapat di regional lain di dunia. Penyakit

kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan

perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama

bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. (1)

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada

umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penderita kasus tuberkuloid dengan usia 2,5 bulan.

Serangan untuk pertama kalinya diatas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi terbanyak adalah

pada umur 15-29. Terdapat perbedaan, baik dalam hal ras dan geografis. Ras Cina, Eropa dan

Myanmar lebih rentan terhadap bentuk lepromatosa dibanding ras Afrika, India dan

Melanesia. (1)

2.3 Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh

Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873. M. leprae dimasukkan dalam genus

Mycobacterium, famili Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales, klas Schyzomycetes.

Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua

ujungnya bulat; ukuran panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm. Basil ini menyerupai kuman

berbentuk batang yang Gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. (1)

3

Page 4: Isi Referat

M. leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer yang

superfisial dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau kerokan mukosa hidung.

Secara klinis telah dibuktikan bahwa basil ini biasanya tumbuh pada daerah temperatur

kurang dari 37°C, hal ini dibuktikan oleh Rees pada mencit. Pada suatu penelitian in vitro

pada mencit didapatkan bahwa pertumbuhan optimum basil M. leprae pada temperatur 27-30 oC. (1)

Dengan mikroskop elektron kuman ini akan terlihat gambaran ultrastruktur yang

umumnya sama dengan mikobakteria lain. M. leprae terdiri dari:

Kapsul: terdiri dari 2 macam lemak yaitu phthiocerol dimycerosate, lemak yang

berperan sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1), lemak dengan 3

molekul gula metilat yang melekat pada molekul fenol pada lemak phthiocerol. Pada

imunofluoresensi tidak langsung didapatkan lokasi PGL1 ini yaitu pada permukaan

M. leprae. Kapsul lemak akan melindungi bakteri dari efek toksis enzim lisosom dan

metabolit oksigen reaktif lainnya dalam makrofag host. Adanya ikatan trisakarida

spesifik pada PGL1 terhadap laminin-2 lamina basalis sel schwann saraf

menyebabkan M. leprae dapat memasuki sel saraf perifer.

Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri dari 2 lapisan yaitu:

a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang

arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang

ditemukan pada mikobakterium lain serta kompleks protein lipopolisakarida.

b). Lapisan dalam: terdiri dari peptidoglikan yang berbeda dengan peptidoglikan

mikobakteria lainnya, dimana L-alanin diganti dengan glisin.

Dinding sel yang berhubungan dengan lipoprotein ini berikatan dengan Toll-like receptor 2/1

yang berperan dalam inisiasi respon host terhadap invasi M. leprae.

Membran sel: berada dibawah dinding sel, penting untuk transportasi molekul ke

dalam dan ke luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari lemak dan protein.

Sitoplasma: merupakan isi sel dan terdiri dari granul-granul cadangan, DNA, dan

RNA.

2.4 Cara Penularan

Ada beberapa cara masuk M. leprae ke dalam tubuh: (1)

Penularan melalui kontak.

Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama dan berulang. M.leprae

terutama memasuki tubuh manusia melalui lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan

bahwa penularan melalui kulit yang intak juga mungkin tetapi lebih sulit. Menggunakan

4

Page 5: Isi Referat

pakaian pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi kemungkinan penularan kusta

pada negara berkembang dimana kusta masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup

pada lingkungan diluar tubuh manusia / tanah selama lebih dari 46 hari.

Penularan melalui inhalasi

Penularan melalui saluran pernapasan yaitu percikan ludah, dimana M.leprae tidak

mengakibatkan lesi pada paru-paru karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung

masuk ke aliran darah. Dari aliran darah M. leprae kemudian dapat mencapai saraf tepi dan

difagosit sel schwann dan bermultiplikasi didalamnya.

Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan.

Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengandung sangat banyak bakteri

yang hidup, namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu yang menderita kusta

lepromatosa hanya setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal ini

menunjukkan bahwa penularan melalui air susu masih dipertanyakan.

Penularan melalui gigitan serangga.

Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga, untuk terjadinya

penularan, ada 3 hal yang diperlukan:

1. Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak.

2. Adanya makanan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat ditularkan kepada host.

3. Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.

2.5 Patofisiologi

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh

karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. (1-3)

Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan

penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut

terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,

meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai

40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10

tahun untuk kusta lepromatosa.

Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput

lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah

5

Page 6: Isi Referat

tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh

mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan

perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan

pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.

M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan

afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat

mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer)

dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang

respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis.

Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan

kematian aksonal.

Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan

penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,

mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.

Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel

respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag. (1-3)

Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.

Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang

lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang

terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),

tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan

lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,

spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam

bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,

kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat

keparahan penyakit.

Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta. M

leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann,

terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel

yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk

aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada

orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel

Schwann juga merupakan target masuk untuk M.leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari

6

Page 7: Isi Referat

jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari

demielinasi pada kusta.

Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon

kekebalan host terhadap M.leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang

terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel

dendritik. Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa

hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain

dimanfaatkan oleh M.leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan

apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi. Sebuah

peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I reaksi reversal.

Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun pada jaringan

dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi

menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat

saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai

dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler

(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS

rendah memberikan gambaran lepromatosa.

Gambar 1. Patofisiologi Morbus Hansen (3)

2.6 Klasifikasi

Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis klasifikasi yang telah

umum digunakan yaitu:

1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid

Indeterminate (I)

Tuberkuloid (T)

7

Page 8: Isi Referat

Borderline – Dimorphous (B)

Lepromatosa (L)

2. Ridley dan Jopling

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit

morbus hansen yang terdiri atas: (1,4)

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil.

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT : Borderline tuberkuloid

BB : Mid Borderline

BL : Borderline lepromatous

Li : Lepromatosa indefinite

LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.

3. Menurut WHO :

a. Multibasiler berarti banyak mengandung basil, yaitu tipe LL, BL dan BB

dengan indeks bakteri lebih dari 2+.

b. Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT dan I dengan

indeks bakteri kurang dari 2+.

Klasifikasi Klinis: (1,4)

Tipe TT (Tuberkuloid-Tuberkuloid) = Tipe PB

Terdapat pada individu dengan reaksi imunitas seluler baik.

Mengenai kulit maupun saraf.

Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat dengan ukuran 3-

30 cm

Batas jelas.

Pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan

di tengah.

Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai

gambaran psoriasis.

Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan

sedikit rasa gatal.

8

Page 9: Isi Referat

Gambar 2. Tipe TT, Makula hipopigmentasi soliter disertai adanya central healing

Tipe BT (Borderline Tuberkuloid)

Menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anestesi atau plak yang sering disertai lesi

satelit di pinggirnya.

Jumlah lesi satu atau beberapa.

Batas kurang jelas dibandingkan tipe TT

Sentral healing kurang tampak jelas

Gambaran hipopigmentasi.

Kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe TT.

Gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT dan biasanya asimetrik.

Ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.

Gambar 3. Tipe BT, Plakat eritem yang disertai lesi satelit di pinggirnya

Tipe BB (Borderline-Borderline)

Tidak stabil.

Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk makula infiltrat.

Permukaan lesi mengkilat, batas kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe

BT dan cenderung simetrik.

9

Page 10: Isi Referat

Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.

Lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas

yang merupakan ciri khas tipe ini.

Gambar 4. Borderline-Borderline

Tipe BL (Borderline-Lepromatous)

Dimulai dengan makula.

Awalnya hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh

badan.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.

Walau masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir

simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah.

Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrat lebih jelas

dibanding pinggir luarnya.

Beberapa plak tampak seperti punched out.

Gambar 5. Borderline-lepromatous

Tipe LL (Lepromatous-Lepromatous)

Individu dengan imunitas seluler rendah.

10

Page 11: Isi Referat

Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,

berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada

stadium dini.

Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,

sedangkan badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan,

dan permukaan ekstensor tungkai bawah.

Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,

garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai

madarosis, iritis, dan keratitis.

Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung.

Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi

atrofi testis.

Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.

Gambar 6. Lepromatous-Lepromatous

Gambar 7. Facies Leonina

Tipe Indeterminate

Bentuk jinak, tidak stabil, jarang bakteri positif

11

Page 12: Isi Referat

Dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, atau menetap tanpa progresivitas, atau

berubah ke tipe lain (setelah bertahun-tahun)

Satu/dua makula hipopigmentasi atau eritema, datar

Tidak ada kehilangan sensasi

Setelah bertahun-tahun dapat berubah bentuk ke tipe lain.

Gambar 8. Tipe Indeterminate

Bagan diagnosis klinis menurut WHO: (5-6)

PB MB

1. Lesi kulit (makula datar, papul

yang meninggi, nodus)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/

eritema

Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi jelas

>5 lesi

Distribusi lebih

simetris

Hilangnya sensasi

kurang jelas

2. Kerusakan saraf (hilang

senses /kelemahan otot yg

dipersarafi)

Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi

Bentuk Makula

Infiltrat difus

Papul

Makula

Plakat

Papul

Plakat

Dome-shape (kubah)

Punched-out

12

Page 13: Isi Referat

Nodus

Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

   Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA

Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB)

Karakteristik Tuberkuloid (TT)

Borderline Tuberculoid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi

Tipe Makula ; makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat

saja

Hanya Infiltrat

Jumlah Satu atau dapat beberapa

Beberapa atau satu dengan lesi satelit

Satu atau beberapa

Distribusi Terlokalisasi & asimetris

Asimetris Bervariasi

Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas

Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas

BTA

lesi kulit Hampir selalu negatif

Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif

13

Page 14: Isi Referat

2.7 Diagnosis

Diagnosis penyakit morbus hansen didasarkan pada penemuan (tanda kardinal atau

tanda utama) yaitu: (1)

1.   Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).

Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa (raba, rasa suhu, dan rasa

nyeri).

2. Penebalan saraf perifer dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa

gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :

a. Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)

b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonorn: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada

daerah endemik kusta temuan adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk

menegakkan diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan latihan yang terus menerus cara

meraba saraf dan pada saat pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.

Penebalan saraf (awal biasanya asimetri) pada daerah yang berdekatan dengan lesi

kulit seperti aurikular, ulnar, radial, peroneal superfisial dan tibial posterior. Penebalan saraf

ini dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri dan menyebabkan gangguan sensoris dan

motoris pada saraf yang terkena. (1)

3. Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian

yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit morbus hansen, paling sedikit harus ditemukan

satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat

mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan

sampai diagnosis morbus hansen dapat ditegakkan atau disingkirkan.

Pemeriksaan Pasien

Anamnesis

o Keluhan penderita

o Riwayat kontak

14

Page 15: Isi Referat

o Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.

Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.

Palpasi

o Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.

Kelainan saraf : Cara pemeriksaan saraf :

1. Membandingkan saraf bagian kiri dan kanan.

2. Membesar atau tidak

3. Bentuk bulat atau oval

4. Pembesaran regular (smooth) atau irregular.

5. Perabaan keras atau kenyal

6. Nyeri atau tidak.

Gejala - Gejala Kerusakan Saraf :

N. Ulnaris : - Anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis.

- Clawing jari kelingking dan jari manis.

- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial.

N. Medianus : - Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,

telunjuk, dan jari tengah.

- Tidak mampu aduksi ibu jari.

- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.

- Ibu jari kontraktur.

- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

N. Radialis : - Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk.

- Tangan gantung (wrist drop).

- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

N.Poplitea - Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum

15

Page 16: Isi Referat

Lateralis: pedis.

- Kaki gantung (foot drop).

- Kelemahan otot peroneus.

N.Tibialis

Posterior:

- Anestesia telapak kaki.

- Claw toes.

- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

N. Fascialis : - Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan

lagoftalmus.

- Cabang bukal, mandibular dan servikal hilang ekspresi

wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.

N.Trigeminus: - Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.

Gambar 9. Keterlibatan saraf tepi pada kusta

16

Page 17: Isi Referat

Pemeriksaan saraf tepi

a. N. auricularis magnus

Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan

terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari

pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan,

maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal

besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. (5-7)

b. N. ulnaris

Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan

pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya penebalan

atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau

tidaknya.

c. N. peroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri

dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

d. N. tibialis posterior

Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba bagian

posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal

besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Tes Fungsi Saraf

Tes Sensoris

- Rasa Suhu

o Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas

(sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20oC)

o Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal

- Rasa Raba

Dengan kapas dilancipkan menyinggung kulit.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa

di tengahnya dan jangan di pinggirnya.

-Rasa Nyeri

17

Page 18: Isi Referat

Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang

tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien dalam keadaan sambil

menutup mata harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,

pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :

1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)

2. Tes Pilokarpin

3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. Peroneus

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaaan bakteriologik

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan

dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan

pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan

berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan

lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan

jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya

minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling

aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya

didapati banyak M. leprae.

Pada pemeriksaan bakteriologik, yang penting adalah perhitungan Indeks Bakteriologi

(IB) dan Indeks Morfologi (IM). IB, yaitu angka yang menunjukkan banyaknya kuman M.

leprae pada tiap satuan lapangan tertentu, baik kuman yang mati maupun kuman yang hidup.

IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Kepadatan BTA tanpa

membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B)

dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. (1,6,7)

0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

18

Page 19: Isi Referat

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi (IM) adalah angka yang menunjukkan persentase basil kusta utuh

(solid) dalam semua basil yang dihitung. Kegunaan menghitung IM adalah untuk menilai

kemajuan pengobatan/efektif obat kusta dan membantu menentukan kemungkinan resistensi

obat. Dalam berlangsungnya pengobatan, IM lebih cepat berubah dibandingkan dengan IB.

IM yang naik kembali setelah menurun menunjukkan kemungkinan-kemungkinan antara lain

penderita tidak makan obat atau ada gangguan absorpsi obat, atau mungkin telah terjadi

resistensi basil terhadap obat. (1)

IM = Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi,

makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman

disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya

berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi

sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia

Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut

tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan

SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada

didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau

sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Ada beberapa variasi gambaran histopatologik di antara lesi yang berbeda-beda.

Uraian singkat berikut dapat menjelaskan hal tersebut: (1)

Tipe tuberkuloid, kulit terlihat lesi kulit yang granulomatosa yang terdiri atas

sekelompok sel limfosit epiteloid dan sel Datia Langhans. Terdapat banyak sel Datia

Langhans, tetapi tidak dijumpai perkejuan.

19

Page 20: Isi Referat

Tipe borderline tuberkuloid, gambaran histopatologik dari BT ini mirip dengan kusta

tipe tuberkuloid, didapati adanya sekelompok granuloma tuberkuloid yang terdiri atas

sel epitel, sel raksasa (giant cell), dan limfosit dalam dermis yang meluas ke atas

sampai jaringan subkutan. Biasanya BTA dapat ditemukan dengan mudah, terutama

diantara makrofag.

Tipe borderline, gambaran yang paling khas adalah gambaran sel epiteloid yang difus

sepanjang granuloma. Limfosit dan sel raksasa langhans tidak terdapat pada daerah

tersebut, tetapi basil tahan asam banyak ditemukan.

Tipe borderline lepromatosa, lesi kulit bentuknya multiform, ukurannya bervariasi, tebal

atau terinfiltrasi, berwarna merah atau coklat, bisa bilateral, tetapi tidak simetris.

Inflamasi granulomatosa pada kulit umumnya terdapat pada dermis yang meluas ke atas

sampai jaringan subkutan. Sebagian besar granuloma ini terdiri atas makrofag, beberapa

dari makrofag ini mempunyai sitoplasma yang vacillated, dan sebenarnya sel ini adalah

form cell.

Tipe lepromatosa, lesi granulomatosa kebanyakan terdiri dari histiosit yang disebut

sel lepra atau form cell dari virchow. Di antara form cell ini terlihat fibroblas dan

beberapa limfosit yang menjadi banyak. Infiltrasi ini menyebabkan destruksi adneksa

kutaneus dan meluas ke dalam lemak subkutan.

Tipe indeterminate, dapat diinterpretasikan sebagai suatu lesi, yaitu granuloma belum

dapat berkembang atau granuloma hanya terdiri atas beberapa sel, epidermis tampak

normal. Dermis menunjukkan suatu inflamasi kronik yang nonspesifik menginfiltrasi

beberapa pembuluh darah, adneksa dan perineural.

3. Pemeriksaan serologik:

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.

Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti

phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi

yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan

oleh kuman M.tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang

meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah

MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-

Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). (6-9)

20

Page 21: Isi Referat

4. Tes lepromin

Pemeriksaan lepromin merupakan salah satu alat penunjang diagnosis penyakit kusta

yang menunjukkan seberapa besar kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap

kuman M. leprae yang masuk ke tubuh. Lepromin adalah suatu suspensi steril yang didapat

dari jaringan yang dihancurkan yang mengandung kuman M. leprae dan dipakai sebagai tes

kulit secara intradermal pada penyakit kusta. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem

imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil

organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi

Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat

indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu

respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkulosis. (1)

Reaksi dan Pembacaan Lepromin

Reaksi kulit terhadap tes lepromin ada 2 macam, yaitu :

1. Reaksi Dini (Reaksi Fernandez)

Reaksi dini berbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah

penyuntikan. Reaksi ini menunjukkan hipersensitivitas yang telah ada terhadap antigen yang

disuntikkan. Pembacaan biasanya dilakukan 48 jam kemudian setelah penyuntikan dan hasil

tes dinyatakan dalam degradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

Reaksi Dini (Reaksi Femandez).

- : tidak terlihat apa apa

± : eritema indurasi diameter kurang dari 5 mm

+1 : eritema dan indurasi diameter 5-10 mm

+2 : eritema dan indurasi diameter 10-15 mm

+3 : eritema dan indurasi diameter lebih dari 16 mm

Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)

Reaksi ini berbentuk noduler yang tampak paling jelas pada hari ke 21-30. Reaksi ini

menunjukkan respon terhadap imunitas seluler. Pembacaan dilakukan setelah hari ke 21

penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam gradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)

- : tidak ada apa apa

± : papul (indurasi) diameter sama atau kurang dari 3 mm

+1 : papul dan eritema diameter 4 - 7 mm

+2 : papul dan eritema diameter 7 - 10 mm

21

Page 22: Isi Referat

+3 : papul dan eritema diameter lebih dari 10 mm atau ada ulserasi.

Gambar 10. Lepromin tes standar WHO (1)

2.8 Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular

response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum

pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis

terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang

memegang peranan adalah sistem imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang

memegang peranan adalah imunitas humoral. (1,5,6)

a. Reaksi tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang

disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi

hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down

leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang

cepat.

Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai respon

terhadap antigen dari M. leprae yang dapat diperlihatkan secara in vitro dengan tes

transformasi limfosit. Patogenesa meningkatnya CMI ini tidak diketahui secara pasti. Pada

dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga

sebagai hasil akhir reaksi ini dapat terjadi up-grading / reversal, apabila menuju ke arah

bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down -grading bila menuju ke bentuk

lepromatosa (terjadi penurunan SIS).

22

Page 23: Isi Referat

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang

subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga

disebut reaksi borderline.

Gambaran klinis yaitu berupa penambahan atau perluasan lesi yang ada, tetapi bukan

nodus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai berat. Neuritis merupakan

bagian terpenting dari reaksi yang umumnya dialami oleh penderita tipe borderline. Neuritis

dapat terjadi bersamaan dengan perubahan kulit atau berdiri sendiri yang ditandai dengan

pembesaran saraf pada tempat predileksi dan gangguan fungsi saraf berupa paralisis

mendadak pada saraf dan otot. Anestesi berkembang dengan cepat sesuai distribusi saraf

yang terkena. Penurunan fungsi saraf terjadi secara progresif dan bertahap, dan akan menjadi

ireversibel dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan bila tidak diterapi dengan baik. (1)

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi

infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu

seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.

b. Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi hipersensitivitas

tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen.

Eritema nodosum diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi

pada pembuluh darah. Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, berarti

banyak pula antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi membentuk suatu

kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan

dalam berbagai organ yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.

Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering

disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,

mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,

terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan

paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang

berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi

dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga

memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.

Beberapa penderita dapat mengalami perluasan lesi dan rekurensi yang terus menerus

nampak selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. ENL dinyatakan berat bila disertai

23

Page 24: Isi Referat

demam tinggi, kelemahan umum, lesi kulit menjadi pustuler dan atau ulserasi, nyeri saraf,

nyeri periosteal, miositis, kehilangan fungsi saraf atau terdapat tanda-tanda iridosiklitis,

orkitis, pembengkakan sendi atau albuminuria yang menetap.

Dampak psikologis yang ditimbulkan akibat ENL cukup berat. Episode ENL yang

rekuren membuat pasien harus istirahat (bed rest) selama beberapa hari yang dapat

menyebabkan hilangnya upah harian untuk penderita dari kalangan ekonomi menengah ke

bawah. (1)

Gambar 11. Reaksi ENL, tampak gambaran beberapa nodul eritematosa pada dada

Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2(1)

No

.

Gejala/tanda Tipe I (Reversal) Tipe II (ENL)

1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan

febris

2 Peradangan di

kulit

Bercak kulit lama menjadi

lebih meradang (merah),

dapat timbul bercak baru

Timbul nodul kemerahan,

lunak, dan nyeri tekan.

Biasanya pada lengan dan

tungkai. Nodul dapat pecah

(ulserasi)

3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang

lama, umumnya lebih dari

6 bulan

4 Tipe kusta PB atau MB MB

5 Saraf Sering terjadi

Umumnya berupa nyeri

tekan saraf dan atau

Dapat terjadi

24

Page 25: Isi Referat

gangguan fungsi saraf

6 Keterkaitan

organ lain

Hampir tidak ada Terjadi pada mata, KGB,

sendi, ginjal, testis, dll

7 Faktor pencetus Melahirkan

Obat-obat yang

meningkatkan

kekebalan tubuh

Emosi

Kelelahan dan stress

fisik lainnya

Kehamilan

2.9 Diagnosis Banding

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:

Ada makula hipopigmentasi

Ada daerah anestesi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,

pitiriasis alba atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.

2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,

psoriasis, lupus eritematosus tipe diskoid, reaksi obat, sifilis.

3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas,

sunburn skin, hipotiroidisme.

4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau

erupsi obat

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk

menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,

mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang

dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan

DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang

semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan

untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. (7-9)

25

Page 26: Isi Referat

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil

sulfon) kemudian klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat

antibiotik lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah

kemungkinan resistensi obat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971. (7-8)

Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui

Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug

standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta, WHO,

Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik untuk ibu dan

anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan. Sebuah jumlah kecil obat

anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek samping sebagai akibat

dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena klofazimin. Perlakuan

dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah

melahirkan.

Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan menyebabkan sel-

dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari ibu dengan berat lahir

rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang penyakit itu. WHO

merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan. Namun, obat yang

digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus di bawah

pengawasan spesialis. Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran

kontrasepsi sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin

teratogenik dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama. Dapson dapat

menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika perlu harus diresepkan

untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat. Klofazimin dapat menyebabkan

perubahan warna pada kulit bayi yang disusui. Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-

ditunjukkan pada wanita usia subur. (4-6)

DDS:

Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten.

Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit

tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi

setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang

semula dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan

sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.

26

Page 27: Isi Referat

Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat

dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap

DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh

karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.

Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-

obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri

kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,

nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

Rifampicin:

Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.

Rifampicin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar

kemungkinan terjadinya resistensi. Efek Samping yang harus di perhatikan adalah

hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene) :

Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau

3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada

penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja

baru timbul setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada

sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat

warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini

menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat

penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal

yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi

penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat

diberikan.

Ofloksasin:

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae

in vitro. Obat ini dapat menghambat subunit alfa dari enzim girase DNA sehingga dapat

mengganggu replikasi DNA bakteri. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang

diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar

99,99%.

27

Page 28: Isi Referat

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai

gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan

halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan

penghentian pemakaian obat.

Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena

pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan

levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif.

Minosiklin:

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada

klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg.

Merupakan satu-satunya obat yang dapat memperlihatkan efek bermakna dan aktif melawan

M. leprae. Hal ini disebabkan oleh sifat lipofilik yang dapat menembus dinding sel M.

Leprae. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna

dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan

untuk anak-anak atau selama kehamilan. (1)

Klaritromisin:

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,

dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%

dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di

temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah

RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut

tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5

tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS

100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam,

pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir

pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan

bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap

negative, maka dinyatakan RFC.

28

Page 29: Isi Referat

WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus

Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus

Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.

Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula

dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan

menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6

bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg

setiap hari selama 8 bulan.

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari

atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600

mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan

selama 24 bulan.

WHO Recommended treatment regimens (1)

Dapson Rifampisin

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap hari

600 mg

Sebulan sekali di bawah

pengawasan

Anak

10-14 tahun *

50 mg

Setiap hari

450 mg

Sebulan sekali di bawah

pengawasan

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy

* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap

hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.

12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin

29

Page 30: Isi Referat

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap Hari

600 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 300 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

Anak

10-14 tahun *

50 mg

Setiap hari

450 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 150 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari,

rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg

diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah

pengawasan

Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications taken

together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin

Dewasa

50-70 kg

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

5- 14 tahun *

300 mg 200 mg 50 mg

* Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun, obat ditelan

didepan petugas.

Tipe PB

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released

from treatment). Pemeriksaan ulangan untuk pengamatan hanya dilakukan 1 x setahun selama

2 tahun. Bila penderita yang telah dinyatakan RFT ternyata timbul lesi baru atau perluasan

lesi lama, maka penderita tersebut dianggap relaps (kambuh) dan diklasifikasikan kembali

menjadi penderita MB. Pengobatan MDT diulangi dengan rejimen MB. Bila setelah 2 tahun

30

Page 31: Isi Referat

berturut-turut tidak timbul gejala aktif, atau tidak datang memeriksakan diri, maka penderita

dinyatakan RFC (sembuh).

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps (300mg

+ 150mg) + DDS 1 tab

(50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) + DDS 1 tab

(100mg)

Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)

*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB

Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan

dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT

meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

Bila ada kontraindikasi dapat diberikan kombinasi 600 mg rifampisin, 400 mg

ofloksasin dan 100 mg minosiklin selama 24 bulan. Penderita MB yang telah mendapat MDT

12 dosis dalam waktu 24 bulan atau maksimum 18 bulan dan BTA negatif (pemeriksaan tiap

bulan) dapat dinyatakan RFT. Bila masih BTA positif, pengobatan diteruskan sampai BTA

negatif (pemeriksaan tiap 6 bulan).

Penderita yang tidak cocok dengan rifampisin dapat diberikan 50 mg klofasimin tiap

hari, 400 mg ofloksasin dan 100 mg minoksiklin selama 6 bulan. Dilanjutkan dengan 50 mg

klofasimin, 100 mg minosiklin atau 400 mg ofloksasin selama kurang lebih 18 bulan.

Pemeriksaan dilakukan 1 kali setahun selama 5 tahun untuk pemeriksaan klinis dan

bakteriologis. Bila setelah 5 tahun tidak timbul lesi baru atau perluasan lesi lama dan tidak

menunjukkan tanda aktif, maka penderita dapat dinyatakan RFC (sembuh). (1)

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps

(300mg + 150mg) +

Klofazimin 3caps

(3x50mg) + DDS 1 tab

(50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) +

Klofazimin 3caps

(3x100) + DDS 1 tab

(100mg)

31

Page 32: Isi Referat

Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg)

+ DDS 1 tab (50mg)

Klofazimin 1cap

(100mg) + DDS 1 tab

(100mg)

* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Gambar 12. Regimen MDT

Pengobatan Reaksi Kusta:

Pengobatan E.N.L :

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.

Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,

kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila

reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya

diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. (1,5,6)

Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide,

merupakan drug of choice ENL berat dan dapat digunakan pada ENL yang kronik atau

berulang pada pria dan wanita yang sudah menopause, juga untuk penderita yang resisten

terhadap klofazimin. Efek anti inflamasi obat ini digunakan untuk neuritis dan iritis serta

dapat membantu penghentian pemakaian kortikosteroid. Dosis awal diberikan 4 x 100 mg

sehari, kemudian diturunkan secara bertahap 100 mg setiap minggu. Pemberiannya harus

disertai pengawasan yang ketat karena efek teratogenik dan neurotoksik, dan memberi rasa

mengantuk.

Klofazimin diberikan pada penderita ENL yang persisten dan pada penderita yang

tidak dapat diberikan talidomid. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan lain

klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Dosis

32

Page 33: Isi Referat

pengobatan 100-300 mg sehari selama ENL, kemudian diturunkan secara bertahap.

Klofazimin tidak hanya digunakan untuk reaksi kusta tapi juga merupakan pengobatan

spesifik untuk penyakit kusta itu sendiri.

Pengobatan reaksi reversal:

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa

neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan

pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya

neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari,

kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis

yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. (6-8)

Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa

kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang

efektif, oleh karena itu jarang dipakai.

2.11 Pencegahan(1)

Pencegahan khusus penyakit kusta belum ada. Pada zaman dahulu penderita diisolasi.

Cara ini selain tidak manusiawi, juga menyebabkan leprofobi terus menerus. Cara sekarang

lebih efektif dengan menemukan kasus sedini mungkin dan segera diobati dengan MDT

sehingga mengurangi transmisi penyakit.

Salah satu upaya dalam pemberantasan penyakit menular ini adalah melalui vaksinasi.

Para ahli telah lama berusaha untuk mendapatkan upaya pencegahan penyakit kusta melalui

vaksinasi. Dalam upaya pengembangan vaksin kusta ada 2 pendekatan yaitu:

1. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang sehat

yang mempunyai risiko untuk tertular kusta (prophylactic vaccine).

2. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaiki sistem imunitas seluler pada penderita kusta

lepromatosa di daerah endemik kusta yang tinggi. Cara ini lebih menguntungkan (therapeutic

vaccine).

Pada penyakit kusta sebenarnya ada 3 tipe vaksin yang potensial untuk penyakit

kusta, (1) yang berasal dari M. leprae mati yang dirangsang untuk imunoprofilaksis, (2) yang

berasal dari M. leprae mati lain yang memberikan reaksi silang dari M. leprae, (3) campuran

M. leprae mati dengan BCG hidup yang dirancang untuk imunoterapi.

Sampai saat ini berbagai penelitian vaksin untuk penyakit kusta, salah satu

diantaranya adalah dengan vaksin BCG, baik itu menggunakan BCG saja maupun dengan

menggunakan campuran BCG dan kuman M. leprae.

33

Page 34: Isi Referat

2.12 Komplikasi(1)

Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi

akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin panjang waktu penundaan

dari saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, makin besar resiko

timbulnya kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Dengan alasan inilah

maka diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka

panjang.

Penderita yang mempunyai resiko mendapat cacat adalah

- Penderita yang terlambat berobat MDT.

- Penderita dengan reaksi, terutama reaksi reversal.

- Penderita dengan banyak tanda / bercak di kulit.

- Penderita dengan nyeri saraf tepi atau ada pembesaran saraf. Cacat pada penyakit kusta

dapat timbul secara primer dan sekunder.

Secara umum cacat kusta itu sendiri terbagi atas :

Cacat primer

Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi

kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman penyebab. Adapun patolofisiologi

terjadinya adalah sebagai berikut; Pada penderita kusta, kuman kuman akan menginvasi

aliran darah sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran pada hampir seluruh tubuh. Pada

kebanyakan jaringan, kuman ini lebih bersifat simbiose daripada sebagai parasit, sehingga

tidak mengakibatkan kerusakan jaringan tersebut. Hanya pada jaringan tertentu seperti saraf,

kuman akan menginvasi dalam jumlah besar dan akibat respons tubuh terhadap kuman ini

justru menyebabkan kerusakan pada saraf itu sendiri. Kerusakan saraf ini tidak ada

hubungannya langsung dengan jumlah atau banyaknya kuman yang menginvasi saraf

tersebut, tetapi yang paling menentukan adalah intensitas respons seluler dari tubuh terhadap

kuman penyebab. Adapun yang termasuk cacat primer antara lain :

a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya: anestesia, fungsi saraf motorik, misalnya claw

hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagoftalmus.

b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan yang menyebabkan alopesia atau

madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera sehingga menyebabkan kulit menjadi

kering dan tidak elastis.

c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta yang dapat terjadi pada tendon,

ligamen, bola mata, sendi, tulang rawan dan tulang testis.

Cacat sekunder

34

Page 35: Isi Referat

Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri

atau cacat primer, terutama diakibatkan oleh adanya gangguan saraf (sensoris, motoris dan

otonom). Adapun patofisiologi terjadi cacat sekunder dapat dijelaskan sebagai berikut. Kerusakan

pada saraf meliputi anestesi akibat kerusakan saraf sensoris yang mana anestesi juga akan

memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat menginfeksi sekunder

dengan segala akibatnya, misalnya karena hilangnya rasa nyeri dan rasa suhu, maka penderita

akan gagal menghindar terhadap trauma terutama pada tangan dan kaki. Keadaan ini pada

akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris, luka

memar, distorsi sendi, dan sebagainya. Di samping itu adanya anestesi ini menyebabkan

seseorang individu tidak mampu membedakan antara dirinya dengan badannya, bagian anggota

badan yang sudah mengalami anestesi ini dianggap bukan merupakan bagian dari tubuhnya

sehingga dipelihara dan bahkan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Keadaan ini akan

lebih buruk lagi bila disertai dengan kerusakan saraf motoris dan otonom yang merupakan faktor

predisposisi untuk terjadi infeksi sekunder. Dengan demikian, hal ini akan mempertinggi resiko

timbulnya cacat.

Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menyebabkan

gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf

otonom menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas berkurang, akibatnya kulit menjadi

mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Kerusakan saraf simpatis akan

menyebabkan kegagalan pengeluaran keringat sehingga kulit menjadi kering, tidak fleksibel

dan rapuh. Perubahan struktur kulit di atas menyebabkan mudah terjadinya fisura atau celah

yang merupakan permulaan terjadi ulkus.

35

Page 36: Isi Referat

Gambar 13. Disabilitas pada penyakit kusta(1)

2.13 Prognosis

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih

singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,

prognosis menjadi kurang baik.

36

Page 37: Isi Referat

DAFTAR PUSTAKA

1. Dali, AM. Ilmu Penyakit Kusta, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. FK-

UNHAS, Makassar, 2003.

2. Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta,

2008.

3. Wolff K, Johnson R, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology. 5th Ed., The Mc Graw Hill. USA, 2007

4. Handayani, Sarwo. Eliminasi Penyakit Kusta pada Tahun 2000. Cermin Dunia

Kedokteran, No. 117,1997.

5. Hiswani. Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih Dijumpai di

Indonesia. FK-USU, Medan, 2001

6. Kosasih A, I Made Wisnu, Daili ES, Linuwih Sri Menaldi. Kusta(leprae).

Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Edisi Kelima, cetakan ketiga. Jakarta. FKUI. 2008: 73 – 88

7. Menaldi, Sri Linuwih. Kusta. Dept. IK Kulit dan Kelamin. FKUI, Jakarta,

2008.

8. Siregar RS. Kusta(leprae). Dalam: Hartanto H (ed). Atlas Berwarna Penyakit

Kulit – Saripati Edisi 2. Jakarta. EGC. 2005: 7: 154-59

9. Sjamsoe Daili, Emmy S; Menaldi, S.L, Wisnu, I made, Sebuah Panduan

Bergambar, Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia.

37