Isi Referat
-
Upload
muhammad-agrifian -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
description
Transcript of Isi Referat
PENDAHULUAN
Morbus Hansen (Hansen’s Dissease, Leprosy, Lepra, Kusta) adalah penyakit infeksi
granulomatosa kronik progresif dengan sekuelnya disebabkan oleh Myobacterium lepraeyang
bersifat obligat intraseluler, infeksi primer menyerang kulit dan saraf perifer, kemudian dapat
menyerang traktus respiratorius bagian atas dan organ lain kecuali Susunan Saraf Pusat.
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae. Kuman ini berbentuk
batang, gram positip, tahan asam dan alkohol, bersifat obligat intraseluler, berukuran 0.34 x
2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Mycobacterium leprae hidup pada sel
Schwann dan sistem retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk
kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Dalam sekret kering dengan
temperatur dan kelembapan yang bervariasi M. leprae dapat bertahan 7-9 hari. Sedangkan
dalam temperatur kamar dapat bertahan 46 hari.(1)
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai
107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun
2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau
lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%
dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah
India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara
nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun
2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru
di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru
adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar
dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011,
tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000
penduduk
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000
penduduk) dan telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk (< 10 per 100.000 penduduk).
Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun 2012
1
yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler.
Sedangkan menurut jenis kelamin, 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan.
Jumlah penderita penyakit Kusta di Provinsi Jawa Tengah terbilang cukup tinggi,
menempati urutan ketiga terbanyak di Indonesia pada tahun 2008 dengan jumlah 2,260 kasus
dengan prevalensi 0,65 per 10.000 penduduk. (2)
Insidensi penyakit Morbus Hansen tipe Pausibasiler di RSUD Kardinah, Tegal pada
tahun 2014 yaitu 10 kasus dengan jumlah pasien perempuan penderita Morbus Hansen tipe
Pausibasiler sebanyak 5 orang dan pasien laki-laki penderita Morbus Hansen tipe Pausibasiler
sebanyak 5 orang. Insidensi tertinggi kategori usia adalah pasien dengan rentang usia 25-44
tahun yaitu sebanyak 7 orang, diikuti rentang usia 45-64 tahun yaitu 2 orang, kemudian usia
15-24 tahun yaitu 1 orang.
Insidensi penyakit Morbus Hansen tipe Multibasiler di RSUD Kardinah, Tegal pada
tahun 2014 yaitu 74 kasus dengan jumlah pasien perempuan penderita Morbus Hansen tipe
Multibasiler sebanyak 26 orang dan pasien laki-laki penderita Morbus Hansen tipe
Multibasiler sebanyak 48 orang. Insidensi tertinggi kategori usia adalah pasien dengan
rentang usia 25-44 tahun yaitu sebanyak 43 orang, diikuti rentang usia 45-64 tahun yaitu 12
orang, kemudian usia 15-24 tahun yaitu 11 orang, pasien dengan usia 5-14 tahun 4 orang dan
pasien dengan umur > 65 tahun sebanyak 4 orang.
Penyakit morbus hansen dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak
penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejaia yang mirip dengan
penyakit morbus hansen. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis
penyakit morbus hansen secara tepat dan rnembedakannya dengan pelbagai penyakit yang
lain agar tidak rnembuat kesalahan yang merugikan pasien.
Pada referat ini akan dibahas mengenai Morbus Hansen meliputi definisi,
epidemiologi, etiologi, cara penularan, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, reaksi kusta,
diagnosis banding, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis.
2
MORBUS HANSEN
2.1 Definisi
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa menahun yang
disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M. leprae yang terutama menyerang kulit dan
saraf.
Penyakit kusta dinamakan juga sebagai Lepra, Morbus Hansen, Hanseniasis,
Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum, Leontiasis, Kushta, Melaats, Mal de
San Lazaro
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran napas atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang
terinfeksi dapat asimptomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.(1)
2.2 Epidemiologi
Jumlah penderita kusta baru pada tahun 2007 adalah sekitar 296.499 orang. Dari
jumlah tersebut paling banyak terdapat pada regional Asia Tenggara 201.635 orang, Afrika
42.814 orang, Amerika 41.780 orang, dan sisanya terdapat di regional lain di dunia. Penyakit
kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan
perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama
bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. (1)
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada
umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penderita kasus tuberkuloid dengan usia 2,5 bulan.
Serangan untuk pertama kalinya diatas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi terbanyak adalah
pada umur 15-29. Terdapat perbedaan, baik dalam hal ras dan geografis. Ras Cina, Eropa dan
Myanmar lebih rentan terhadap bentuk lepromatosa dibanding ras Afrika, India dan
Melanesia. (1)
2.3 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873. M. leprae dimasukkan dalam genus
Mycobacterium, famili Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales, klas Schyzomycetes.
Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua
ujungnya bulat; ukuran panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang Gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. (1)
3
M. leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer yang
superfisial dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau kerokan mukosa hidung.
Secara klinis telah dibuktikan bahwa basil ini biasanya tumbuh pada daerah temperatur
kurang dari 37°C, hal ini dibuktikan oleh Rees pada mencit. Pada suatu penelitian in vitro
pada mencit didapatkan bahwa pertumbuhan optimum basil M. leprae pada temperatur 27-30 oC. (1)
Dengan mikroskop elektron kuman ini akan terlihat gambaran ultrastruktur yang
umumnya sama dengan mikobakteria lain. M. leprae terdiri dari:
Kapsul: terdiri dari 2 macam lemak yaitu phthiocerol dimycerosate, lemak yang
berperan sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1), lemak dengan 3
molekul gula metilat yang melekat pada molekul fenol pada lemak phthiocerol. Pada
imunofluoresensi tidak langsung didapatkan lokasi PGL1 ini yaitu pada permukaan
M. leprae. Kapsul lemak akan melindungi bakteri dari efek toksis enzim lisosom dan
metabolit oksigen reaktif lainnya dalam makrofag host. Adanya ikatan trisakarida
spesifik pada PGL1 terhadap laminin-2 lamina basalis sel schwann saraf
menyebabkan M. leprae dapat memasuki sel saraf perifer.
Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri dari 2 lapisan yaitu:
a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang
arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang
ditemukan pada mikobakterium lain serta kompleks protein lipopolisakarida.
b). Lapisan dalam: terdiri dari peptidoglikan yang berbeda dengan peptidoglikan
mikobakteria lainnya, dimana L-alanin diganti dengan glisin.
Dinding sel yang berhubungan dengan lipoprotein ini berikatan dengan Toll-like receptor 2/1
yang berperan dalam inisiasi respon host terhadap invasi M. leprae.
Membran sel: berada dibawah dinding sel, penting untuk transportasi molekul ke
dalam dan ke luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari lemak dan protein.
Sitoplasma: merupakan isi sel dan terdiri dari granul-granul cadangan, DNA, dan
RNA.
2.4 Cara Penularan
Ada beberapa cara masuk M. leprae ke dalam tubuh: (1)
Penularan melalui kontak.
Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama dan berulang. M.leprae
terutama memasuki tubuh manusia melalui lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan
bahwa penularan melalui kulit yang intak juga mungkin tetapi lebih sulit. Menggunakan
4
pakaian pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi kemungkinan penularan kusta
pada negara berkembang dimana kusta masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup
pada lingkungan diluar tubuh manusia / tanah selama lebih dari 46 hari.
Penularan melalui inhalasi
Penularan melalui saluran pernapasan yaitu percikan ludah, dimana M.leprae tidak
mengakibatkan lesi pada paru-paru karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung
masuk ke aliran darah. Dari aliran darah M. leprae kemudian dapat mencapai saraf tepi dan
difagosit sel schwann dan bermultiplikasi didalamnya.
Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan.
Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengandung sangat banyak bakteri
yang hidup, namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu yang menderita kusta
lepromatosa hanya setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal ini
menunjukkan bahwa penularan melalui air susu masih dipertanyakan.
Penularan melalui gigitan serangga.
Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga, untuk terjadinya
penularan, ada 3 hal yang diperlukan:
1. Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak.
2. Adanya makanan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat ditularkan kepada host.
3. Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.
2.5 Patofisiologi
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. (1-3)
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan
penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut
terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,
meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai
40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10
tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
5
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh
mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan
perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan
afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer)
dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang
respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis.
Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan
kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan
penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,
mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.
Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel
respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag. (1-3)
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan
lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,
spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam
bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,
kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat
keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta. M
leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann,
terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel
yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk
aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada
orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel
Schwann juga merupakan target masuk untuk M.leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari
6
jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari
demielinasi pada kusta.
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon
kekebalan host terhadap M.leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang
terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel
dendritik. Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa
hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain
dimanfaatkan oleh M.leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan
apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi. Sebuah
peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I reaksi reversal.
Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun pada jaringan
dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi
menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat
saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Gambar 1. Patofisiologi Morbus Hansen (3)
2.6 Klasifikasi
Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis klasifikasi yang telah
umum digunakan yaitu:
1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
7
Borderline – Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
2. Ridley dan Jopling
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
morbus hansen yang terdiri atas: (1,4)
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil.
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberkuloid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.
3. Menurut WHO :
a. Multibasiler berarti banyak mengandung basil, yaitu tipe LL, BL dan BB
dengan indeks bakteri lebih dari 2+.
b. Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT dan I dengan
indeks bakteri kurang dari 2+.
Klasifikasi Klinis: (1,4)
Tipe TT (Tuberkuloid-Tuberkuloid) = Tipe PB
Terdapat pada individu dengan reaksi imunitas seluler baik.
Mengenai kulit maupun saraf.
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat dengan ukuran 3-
30 cm
Batas jelas.
Pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan
di tengah.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai
gambaran psoriasis.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal.
8
Gambar 2. Tipe TT, Makula hipopigmentasi soliter disertai adanya central healing
Tipe BT (Borderline Tuberkuloid)
Menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anestesi atau plak yang sering disertai lesi
satelit di pinggirnya.
Jumlah lesi satu atau beberapa.
Batas kurang jelas dibandingkan tipe TT
Sentral healing kurang tampak jelas
Gambaran hipopigmentasi.
Kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe TT.
Gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT dan biasanya asimetrik.
Ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.
Gambar 3. Tipe BT, Plakat eritem yang disertai lesi satelit di pinggirnya
Tipe BB (Borderline-Borderline)
Tidak stabil.
Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk makula infiltrat.
Permukaan lesi mengkilat, batas kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe
BT dan cenderung simetrik.
9
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.
Lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas
yang merupakan ciri khas tipe ini.
Gambar 4. Borderline-Borderline
Tipe BL (Borderline-Lepromatous)
Dimulai dengan makula.
Awalnya hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh
badan.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walau masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah.
Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrat lebih jelas
dibanding pinggir luarnya.
Beberapa plak tampak seperti punched out.
Gambar 5. Borderline-lepromatous
Tipe LL (Lepromatous-Lepromatous)
Individu dengan imunitas seluler rendah.
10
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,
berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada
stadium dini.
Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,
sedangkan badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan,
dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,
garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis, dan keratitis.
Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung.
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis.
Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.
Gambar 6. Lepromatous-Lepromatous
Gambar 7. Facies Leonina
Tipe Indeterminate
Bentuk jinak, tidak stabil, jarang bakteri positif
11
Dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, atau menetap tanpa progresivitas, atau
berubah ke tipe lain (setelah bertahun-tahun)
Satu/dua makula hipopigmentasi atau eritema, datar
Tidak ada kehilangan sensasi
Setelah bertahun-tahun dapat berubah bentuk ke tipe lain.
Gambar 8. Tipe Indeterminate
Bagan diagnosis klinis menurut WHO: (5-6)
PB MB
1. Lesi kulit (makula datar, papul
yang meninggi, nodus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/
eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas
>5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf (hilang
senses /kelemahan otot yg
dipersarafi)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB)
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
12
Nodus
Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat
Sukar dihitung, masih ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB)
Karakteristik Tuberkuloid (TT)
Borderline Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat
saja
Hanya Infiltrat
Jumlah Satu atau dapat beberapa
Beberapa atau satu dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi & asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif
13
2.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit morbus hansen didasarkan pada penemuan (tanda kardinal atau
tanda utama) yaitu: (1)
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa (raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri).
2. Penebalan saraf perifer dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonorn: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu
Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada
daerah endemik kusta temuan adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan latihan yang terus menerus cara
meraba saraf dan pada saat pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.
Penebalan saraf (awal biasanya asimetri) pada daerah yang berdekatan dengan lesi
kulit seperti aurikular, ulnar, radial, peroneal superfisial dan tibial posterior. Penebalan saraf
ini dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri dan menyebabkan gangguan sensoris dan
motoris pada saraf yang terkena. (1)
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit morbus hansen, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis morbus hansen dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Pemeriksaan Pasien
Anamnesis
o Keluhan penderita
o Riwayat kontak
14
o Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.
Palpasi
o Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.
Kelainan saraf : Cara pemeriksaan saraf :
1. Membandingkan saraf bagian kiri dan kanan.
2. Membesar atau tidak
3. Bentuk bulat atau oval
4. Pembesaran regular (smooth) atau irregular.
5. Perabaan keras atau kenyal
6. Nyeri atau tidak.
Gejala - Gejala Kerusakan Saraf :
N. Ulnaris : - Anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis.
- Clawing jari kelingking dan jari manis.
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
N. Medianus : - Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah.
- Tidak mampu aduksi ibu jari.
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. Radialis : - Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk.
- Tangan gantung (wrist drop).
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
N.Poplitea - Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
15
Lateralis: pedis.
- Kaki gantung (foot drop).
- Kelemahan otot peroneus.
N.Tibialis
Posterior:
- Anestesia telapak kaki.
- Claw toes.
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
N. Fascialis : - Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus.
- Cabang bukal, mandibular dan servikal hilang ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
N.Trigeminus: - Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.
Gambar 9. Keterlibatan saraf tepi pada kusta
16
Pemeriksaan saraf tepi
a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan
terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari
pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan,
maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. (5-7)
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan
pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya penebalan
atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya.
c. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri
dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba bagian
posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
Tes Fungsi Saraf
Tes Sensoris
- Rasa Suhu
o Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20oC)
o Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal
- Rasa Raba
Dengan kapas dilancipkan menyinggung kulit.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa
di tengahnya dan jangan di pinggirnya.
-Rasa Nyeri
17
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien dalam keadaan sambil
menutup mata harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. Peroneus
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan bakteriologik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan
lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. leprae.
Pada pemeriksaan bakteriologik, yang penting adalah perhitungan Indeks Bakteriologi
(IB) dan Indeks Morfologi (IM). IB, yaitu angka yang menunjukkan banyaknya kuman M.
leprae pada tiap satuan lapangan tertentu, baik kuman yang mati maupun kuman yang hidup.
IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B)
dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. (1,6,7)
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
18
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah angka yang menunjukkan persentase basil kusta utuh
(solid) dalam semua basil yang dihitung. Kegunaan menghitung IM adalah untuk menilai
kemajuan pengobatan/efektif obat kusta dan membantu menentukan kemungkinan resistensi
obat. Dalam berlangsungnya pengobatan, IM lebih cepat berubah dibandingkan dengan IB.
IM yang naik kembali setelah menurun menunjukkan kemungkinan-kemungkinan antara lain
penderita tidak makan obat atau ada gangguan absorpsi obat, atau mungkin telah terjadi
resistensi basil terhadap obat. (1)
IM = Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi
sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Ada beberapa variasi gambaran histopatologik di antara lesi yang berbeda-beda.
Uraian singkat berikut dapat menjelaskan hal tersebut: (1)
Tipe tuberkuloid, kulit terlihat lesi kulit yang granulomatosa yang terdiri atas
sekelompok sel limfosit epiteloid dan sel Datia Langhans. Terdapat banyak sel Datia
Langhans, tetapi tidak dijumpai perkejuan.
19
Tipe borderline tuberkuloid, gambaran histopatologik dari BT ini mirip dengan kusta
tipe tuberkuloid, didapati adanya sekelompok granuloma tuberkuloid yang terdiri atas
sel epitel, sel raksasa (giant cell), dan limfosit dalam dermis yang meluas ke atas
sampai jaringan subkutan. Biasanya BTA dapat ditemukan dengan mudah, terutama
diantara makrofag.
Tipe borderline, gambaran yang paling khas adalah gambaran sel epiteloid yang difus
sepanjang granuloma. Limfosit dan sel raksasa langhans tidak terdapat pada daerah
tersebut, tetapi basil tahan asam banyak ditemukan.
Tipe borderline lepromatosa, lesi kulit bentuknya multiform, ukurannya bervariasi, tebal
atau terinfiltrasi, berwarna merah atau coklat, bisa bilateral, tetapi tidak simetris.
Inflamasi granulomatosa pada kulit umumnya terdapat pada dermis yang meluas ke atas
sampai jaringan subkutan. Sebagian besar granuloma ini terdiri atas makrofag, beberapa
dari makrofag ini mempunyai sitoplasma yang vacillated, dan sebenarnya sel ini adalah
form cell.
Tipe lepromatosa, lesi granulomatosa kebanyakan terdiri dari histiosit yang disebut
sel lepra atau form cell dari virchow. Di antara form cell ini terlihat fibroblas dan
beberapa limfosit yang menjadi banyak. Infiltrasi ini menyebabkan destruksi adneksa
kutaneus dan meluas ke dalam lemak subkutan.
Tipe indeterminate, dapat diinterpretasikan sebagai suatu lesi, yaitu granuloma belum
dapat berkembang atau granuloma hanya terdiri atas beberapa sel, epidermis tampak
normal. Dermis menunjukkan suatu inflamasi kronik yang nonspesifik menginfiltrasi
beberapa pembuluh darah, adneksa dan perineural.
3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-
Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). (6-9)
20
4. Tes lepromin
Pemeriksaan lepromin merupakan salah satu alat penunjang diagnosis penyakit kusta
yang menunjukkan seberapa besar kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap
kuman M. leprae yang masuk ke tubuh. Lepromin adalah suatu suspensi steril yang didapat
dari jaringan yang dihancurkan yang mengandung kuman M. leprae dan dipakai sebagai tes
kulit secara intradermal pada penyakit kusta. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat
indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkulosis. (1)
Reaksi dan Pembacaan Lepromin
Reaksi kulit terhadap tes lepromin ada 2 macam, yaitu :
1. Reaksi Dini (Reaksi Fernandez)
Reaksi dini berbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah
penyuntikan. Reaksi ini menunjukkan hipersensitivitas yang telah ada terhadap antigen yang
disuntikkan. Pembacaan biasanya dilakukan 48 jam kemudian setelah penyuntikan dan hasil
tes dinyatakan dalam degradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).
Reaksi Dini (Reaksi Femandez).
- : tidak terlihat apa apa
± : eritema indurasi diameter kurang dari 5 mm
+1 : eritema dan indurasi diameter 5-10 mm
+2 : eritema dan indurasi diameter 10-15 mm
+3 : eritema dan indurasi diameter lebih dari 16 mm
Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)
Reaksi ini berbentuk noduler yang tampak paling jelas pada hari ke 21-30. Reaksi ini
menunjukkan respon terhadap imunitas seluler. Pembacaan dilakukan setelah hari ke 21
penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam gradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).
Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)
- : tidak ada apa apa
± : papul (indurasi) diameter sama atau kurang dari 3 mm
+1 : papul dan eritema diameter 4 - 7 mm
+2 : papul dan eritema diameter 7 - 10 mm
21
+3 : papul dan eritema diameter lebih dari 10 mm atau ada ulserasi.
Gambar 10. Lepromin tes standar WHO (1)
2.8 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah sistem imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral. (1,5,6)
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang
disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down
leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang
cepat.
Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai respon
terhadap antigen dari M. leprae yang dapat diperlihatkan secara in vitro dengan tes
transformasi limfosit. Patogenesa meningkatnya CMI ini tidak diketahui secara pasti. Pada
dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga
sebagai hasil akhir reaksi ini dapat terjadi up-grading / reversal, apabila menuju ke arah
bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down -grading bila menuju ke bentuk
lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
22
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang
subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga
disebut reaksi borderline.
Gambaran klinis yaitu berupa penambahan atau perluasan lesi yang ada, tetapi bukan
nodus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai berat. Neuritis merupakan
bagian terpenting dari reaksi yang umumnya dialami oleh penderita tipe borderline. Neuritis
dapat terjadi bersamaan dengan perubahan kulit atau berdiri sendiri yang ditandai dengan
pembesaran saraf pada tempat predileksi dan gangguan fungsi saraf berupa paralisis
mendadak pada saraf dan otot. Anestesi berkembang dengan cepat sesuai distribusi saraf
yang terkena. Penurunan fungsi saraf terjadi secara progresif dan bertahap, dan akan menjadi
ireversibel dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan bila tidak diterapi dengan baik. (1)
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi
infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu
seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi hipersensitivitas
tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen.
Eritema nodosum diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi
pada pembuluh darah. Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, berarti
banyak pula antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi membentuk suatu
kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan
dalam berbagai organ yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.
Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering
disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,
mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi
dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga
memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.
Beberapa penderita dapat mengalami perluasan lesi dan rekurensi yang terus menerus
nampak selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. ENL dinyatakan berat bila disertai
23
demam tinggi, kelemahan umum, lesi kulit menjadi pustuler dan atau ulserasi, nyeri saraf,
nyeri periosteal, miositis, kehilangan fungsi saraf atau terdapat tanda-tanda iridosiklitis,
orkitis, pembengkakan sendi atau albuminuria yang menetap.
Dampak psikologis yang ditimbulkan akibat ENL cukup berat. Episode ENL yang
rekuren membuat pasien harus istirahat (bed rest) selama beberapa hari yang dapat
menyebabkan hilangnya upah harian untuk penderita dari kalangan ekonomi menengah ke
bawah. (1)
Gambar 11. Reaksi ENL, tampak gambaran beberapa nodul eritematosa pada dada
Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2(1)
No
.
Gejala/tanda Tipe I (Reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di
kulit
Bercak kulit lama menjadi
lebih meradang (merah),
dapat timbul bercak baru
Timbul nodul kemerahan,
lunak, dan nyeri tekan.
Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
Dapat terjadi
24
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan
organ lain
Hampir tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan
Obat-obat yang
meningkatkan
kekebalan tubuh
Emosi
Kelelahan dan stress
fisik lainnya
Kehamilan
2.9 Diagnosis Banding
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
Ada makula hipopigmentasi
Ada daerah anestesi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
pitiriasis alba atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis, lupus eritematosus tipe diskoid, reaksi obat, sifilis.
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas,
sunburn skin, hipotiroidisme.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau
erupsi obat
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. (7-9)
25
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah
kemungkinan resistensi obat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971. (7-8)
Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui
Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug
standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta, WHO,
Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik untuk ibu dan
anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan. Sebuah jumlah kecil obat
anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek samping sebagai akibat
dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena klofazimin. Perlakuan
dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah
melahirkan.
Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan menyebabkan sel-
dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari ibu dengan berat lahir
rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang penyakit itu. WHO
merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan. Namun, obat yang
digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus di bawah
pengawasan spesialis. Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran
kontrasepsi sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin
teratogenik dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama. Dapson dapat
menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika perlu harus diresepkan
untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat. Klofazimin dapat menyebabkan
perubahan warna pada kulit bayi yang disusui. Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-
ditunjukkan pada wanita usia subur. (4-6)
DDS:
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten.
Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit
tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi
setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang
semula dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan
sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.
26
Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap
DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-
obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri
kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,
nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi. Efek Samping yang harus di perhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada
sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini
menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat
diberikan.
Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae
in vitro. Obat ini dapat menghambat subunit alfa dari enzim girase DNA sehingga dapat
mengganggu replikasi DNA bakteri. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar
99,99%.
27
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena
pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif.
Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg.
Merupakan satu-satunya obat yang dapat memperlihatkan efek bermakna dan aktif melawan
M. leprae. Hal ini disebabkan oleh sifat lipofilik yang dapat menembus dinding sel M.
Leprae. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna
dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan. (1)
Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di
temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut
tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5
tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap
negative, maka dinyatakan RFC.
28
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus
Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6
bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg
setiap hari selama 8 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600
mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan
selama 24 bulan.
WHO Recommended treatment regimens (1)
Dapson Rifampisin
Dewasa
50-70 kg
100 mg
Setiap hari
600 mg
Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Anak
10-14 tahun *
50 mg
Setiap hari
450 mg
Sebulan sekali di bawah
pengawasan
6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy
* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap
hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy
Dapsone Rifampisin Clofazimin
29
Dewasa
50-70 kg
100 mg
Setiap Hari
600 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap hari
DAN 300 mg
Sebulan sekali di
bawah
pengawasan
Anak
10-14 tahun *
50 mg
Setiap hari
450 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap hari
DAN 150 mg
Sebulan sekali di
bawah
pengawasan
*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari,
rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg
diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah
pengawasan
Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications taken
together)
Rifampisin Ofloxasin Minosiklin
Dewasa
50-70 kg
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
5- 14 tahun *
300 mg 200 mg 50 mg
* Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun, obat ditelan
didepan petugas.
Tipe PB
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released
from treatment). Pemeriksaan ulangan untuk pengamatan hanya dilakukan 1 x setahun selama
2 tahun. Bila penderita yang telah dinyatakan RFT ternyata timbul lesi baru atau perluasan
lesi lama, maka penderita tersebut dianggap relaps (kambuh) dan diklasifikasikan kembali
menjadi penderita MB. Pengobatan MDT diulangi dengan rejimen MB. Bila setelah 2 tahun
30
berturut-turut tidak timbul gejala aktif, atau tidak datang memeriksakan diri, maka penderita
dinyatakan RFC (sembuh).
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps (300mg
+ 150mg) + DDS 1 tab
(50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) + DDS 1 tab
(100mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB
Tipe MB
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan
dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Bila ada kontraindikasi dapat diberikan kombinasi 600 mg rifampisin, 400 mg
ofloksasin dan 100 mg minosiklin selama 24 bulan. Penderita MB yang telah mendapat MDT
12 dosis dalam waktu 24 bulan atau maksimum 18 bulan dan BTA negatif (pemeriksaan tiap
bulan) dapat dinyatakan RFT. Bila masih BTA positif, pengobatan diteruskan sampai BTA
negatif (pemeriksaan tiap 6 bulan).
Penderita yang tidak cocok dengan rifampisin dapat diberikan 50 mg klofasimin tiap
hari, 400 mg ofloksasin dan 100 mg minoksiklin selama 6 bulan. Dilanjutkan dengan 50 mg
klofasimin, 100 mg minosiklin atau 400 mg ofloksasin selama kurang lebih 18 bulan.
Pemeriksaan dilakukan 1 kali setahun selama 5 tahun untuk pemeriksaan klinis dan
bakteriologis. Bila setelah 5 tahun tidak timbul lesi baru atau perluasan lesi lama dan tidak
menunjukkan tanda aktif, maka penderita dapat dinyatakan RFC (sembuh). (1)
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps
(300mg + 150mg) +
Klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab
(50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) +
Klofazimin 3caps
(3x100) + DDS 1 tab
(100mg)
31
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg)
+ DDS 1 tab (50mg)
Klofazimin 1cap
(100mg) + DDS 1 tab
(100mg)
* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB
Gambar 12. Regimen MDT
Pengobatan Reaksi Kusta:
Pengobatan E.N.L :
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. (1,5,6)
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide,
merupakan drug of choice ENL berat dan dapat digunakan pada ENL yang kronik atau
berulang pada pria dan wanita yang sudah menopause, juga untuk penderita yang resisten
terhadap klofazimin. Efek anti inflamasi obat ini digunakan untuk neuritis dan iritis serta
dapat membantu penghentian pemakaian kortikosteroid. Dosis awal diberikan 4 x 100 mg
sehari, kemudian diturunkan secara bertahap 100 mg setiap minggu. Pemberiannya harus
disertai pengawasan yang ketat karena efek teratogenik dan neurotoksik, dan memberi rasa
mengantuk.
Klofazimin diberikan pada penderita ENL yang persisten dan pada penderita yang
tidak dapat diberikan talidomid. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan lain
klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Dosis
32
pengobatan 100-300 mg sehari selama ENL, kemudian diturunkan secara bertahap.
Klofazimin tidak hanya digunakan untuk reaksi kusta tapi juga merupakan pengobatan
spesifik untuk penyakit kusta itu sendiri.
Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. (6-8)
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu jarang dipakai.
2.11 Pencegahan(1)
Pencegahan khusus penyakit kusta belum ada. Pada zaman dahulu penderita diisolasi.
Cara ini selain tidak manusiawi, juga menyebabkan leprofobi terus menerus. Cara sekarang
lebih efektif dengan menemukan kasus sedini mungkin dan segera diobati dengan MDT
sehingga mengurangi transmisi penyakit.
Salah satu upaya dalam pemberantasan penyakit menular ini adalah melalui vaksinasi.
Para ahli telah lama berusaha untuk mendapatkan upaya pencegahan penyakit kusta melalui
vaksinasi. Dalam upaya pengembangan vaksin kusta ada 2 pendekatan yaitu:
1. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang sehat
yang mempunyai risiko untuk tertular kusta (prophylactic vaccine).
2. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaiki sistem imunitas seluler pada penderita kusta
lepromatosa di daerah endemik kusta yang tinggi. Cara ini lebih menguntungkan (therapeutic
vaccine).
Pada penyakit kusta sebenarnya ada 3 tipe vaksin yang potensial untuk penyakit
kusta, (1) yang berasal dari M. leprae mati yang dirangsang untuk imunoprofilaksis, (2) yang
berasal dari M. leprae mati lain yang memberikan reaksi silang dari M. leprae, (3) campuran
M. leprae mati dengan BCG hidup yang dirancang untuk imunoterapi.
Sampai saat ini berbagai penelitian vaksin untuk penyakit kusta, salah satu
diantaranya adalah dengan vaksin BCG, baik itu menggunakan BCG saja maupun dengan
menggunakan campuran BCG dan kuman M. leprae.
33
2.12 Komplikasi(1)
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi
akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin panjang waktu penundaan
dari saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, makin besar resiko
timbulnya kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Dengan alasan inilah
maka diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka
panjang.
Penderita yang mempunyai resiko mendapat cacat adalah
- Penderita yang terlambat berobat MDT.
- Penderita dengan reaksi, terutama reaksi reversal.
- Penderita dengan banyak tanda / bercak di kulit.
- Penderita dengan nyeri saraf tepi atau ada pembesaran saraf. Cacat pada penyakit kusta
dapat timbul secara primer dan sekunder.
Secara umum cacat kusta itu sendiri terbagi atas :
Cacat primer
Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi
kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman penyebab. Adapun patolofisiologi
terjadinya adalah sebagai berikut; Pada penderita kusta, kuman kuman akan menginvasi
aliran darah sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran pada hampir seluruh tubuh. Pada
kebanyakan jaringan, kuman ini lebih bersifat simbiose daripada sebagai parasit, sehingga
tidak mengakibatkan kerusakan jaringan tersebut. Hanya pada jaringan tertentu seperti saraf,
kuman akan menginvasi dalam jumlah besar dan akibat respons tubuh terhadap kuman ini
justru menyebabkan kerusakan pada saraf itu sendiri. Kerusakan saraf ini tidak ada
hubungannya langsung dengan jumlah atau banyaknya kuman yang menginvasi saraf
tersebut, tetapi yang paling menentukan adalah intensitas respons seluler dari tubuh terhadap
kuman penyebab. Adapun yang termasuk cacat primer antara lain :
a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya: anestesia, fungsi saraf motorik, misalnya claw
hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagoftalmus.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan yang menyebabkan alopesia atau
madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera sehingga menyebabkan kulit menjadi
kering dan tidak elastis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta yang dapat terjadi pada tendon,
ligamen, bola mata, sendi, tulang rawan dan tulang testis.
Cacat sekunder
34
Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri
atau cacat primer, terutama diakibatkan oleh adanya gangguan saraf (sensoris, motoris dan
otonom). Adapun patofisiologi terjadi cacat sekunder dapat dijelaskan sebagai berikut. Kerusakan
pada saraf meliputi anestesi akibat kerusakan saraf sensoris yang mana anestesi juga akan
memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat menginfeksi sekunder
dengan segala akibatnya, misalnya karena hilangnya rasa nyeri dan rasa suhu, maka penderita
akan gagal menghindar terhadap trauma terutama pada tangan dan kaki. Keadaan ini pada
akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris, luka
memar, distorsi sendi, dan sebagainya. Di samping itu adanya anestesi ini menyebabkan
seseorang individu tidak mampu membedakan antara dirinya dengan badannya, bagian anggota
badan yang sudah mengalami anestesi ini dianggap bukan merupakan bagian dari tubuhnya
sehingga dipelihara dan bahkan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Keadaan ini akan
lebih buruk lagi bila disertai dengan kerusakan saraf motoris dan otonom yang merupakan faktor
predisposisi untuk terjadi infeksi sekunder. Dengan demikian, hal ini akan mempertinggi resiko
timbulnya cacat.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menyebabkan
gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf
otonom menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas berkurang, akibatnya kulit menjadi
mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Kerusakan saraf simpatis akan
menyebabkan kegagalan pengeluaran keringat sehingga kulit menjadi kering, tidak fleksibel
dan rapuh. Perubahan struktur kulit di atas menyebabkan mudah terjadinya fisura atau celah
yang merupakan permulaan terjadi ulkus.
35
Gambar 13. Disabilitas pada penyakit kusta(1)
2.13 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,
prognosis menjadi kurang baik.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Dali, AM. Ilmu Penyakit Kusta, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. FK-
UNHAS, Makassar, 2003.
2. Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta,
2008.
3. Wolff K, Johnson R, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 5th Ed., The Mc Graw Hill. USA, 2007
4. Handayani, Sarwo. Eliminasi Penyakit Kusta pada Tahun 2000. Cermin Dunia
Kedokteran, No. 117,1997.
5. Hiswani. Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih Dijumpai di
Indonesia. FK-USU, Medan, 2001
6. Kosasih A, I Made Wisnu, Daili ES, Linuwih Sri Menaldi. Kusta(leprae).
Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima, cetakan ketiga. Jakarta. FKUI. 2008: 73 – 88
7. Menaldi, Sri Linuwih. Kusta. Dept. IK Kulit dan Kelamin. FKUI, Jakarta,
2008.
8. Siregar RS. Kusta(leprae). Dalam: Hartanto H (ed). Atlas Berwarna Penyakit
Kulit – Saripati Edisi 2. Jakarta. EGC. 2005: 7: 154-59
9. Sjamsoe Daili, Emmy S; Menaldi, S.L, Wisnu, I made, Sebuah Panduan
Bergambar, Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia.
37